[Document subtitle]
[DATE]
[COMPANY NAME]
[Company address]
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Disclaimer
Seluruh substansi dalam buku ini adalah milik Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan
Wilayah dan Sektor, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam penyusunannya, turut didukung oleh Ikatan Ahli Perencana.
Peristilahan yang digunakan dan penyajian materi dalam buku ini mewakili pendapat dari Tim
Penyusun dan tidak digunakan untuk tujuan komersial. Tidak diperkenankan menyalin dan/atau
mencetak konten dalam buku ini tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan.
Setiap materi yang diambil dari buku ini untuk kebutuhan publikasi lain, harus menggunakan kutipan yang benar:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2023. Buku Materi Teknis Penentuan dan Penetapan
Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Provinsi Jawa Timur. Direktorat Jenderal
Planologi dan Tata Lingkungan: Jakarta, Indonesia.
i
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
KATA PENGANTAR
Direktorat PDLKWS
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya buku ini sebagai bentuk kerjasama
antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan dengan Ikatan Ahli Perencana (IAP). Buku Materi Teknis Penentuan
dan Penetapan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) Provinsi Jawa Timur Tahun
2023 ini disusun dengan tujuan untuk menggambarkan profil atau kondisi D3TLH di Indonesia yang
diperkuat dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pada masing-masing
pulau/kepulauan.
Buku ini terealisasi berkat keterlibatan dari para pakar dan para pemangku kepentingan terkait.
Buku ini menghasilkan ambang batas yang terdiri dari jumlah penduduk optimum dan luas lahan
optimum dengan menggunakan metode perhitungan luas lahan eksisting dan mengkonversi jejak
ekologis ke dalam satuan luas lahan serta memasukan perhitungan standar kebutuhan ruang ke
dalamnya. Buku ini juga berisi pemetaan posisi pulau/kepulauan dalam bentuk kuadran
keberlanjutan yang diperoleh dari indeks jasa lingkungan hidup dan indeks sosial, budaya, ekonomi
yang dikompositkan ke dalam parameter keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan (KMK).
Penentuan D3TLH Provinsi turut mengembangkan pendekatan sistem grid skala ragam untuk
memvisualisasikan pemetaan distribusi spasial D3TLH Provinsi yang lebih mudah digunakan dalam
perencanaan strategis ke depannya.
Beberapa keterbatasan seperti belum dimasukannya ekosistem udara dan laut, serta karena adanya
variasi data yang tidak seragam baik secara skala maupun secara kelengkapan dalam tiap
pulau/kepulauan di Indonesia menjadikan buku ini memiliki keterbatasan dalam data dan metode.
Akan tetapi dari berbagai diskusi yang diikuti oleh para tenaga ahli dan para pemangku kepentingan
terkait, maka metode dan data yang dipakai dalam penyusunan D3TLH ini secara umum sudah
memenuhi kebutuhan minimal kelayakan untuk perhitungannya.
Harapan kami, buku ini mampu memberikan manfaat dan dapat dipergunakan sebagai mestinya
bagi para pemangku kepentingan terkait. Tentunya kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna, kami menerima saran dan kritik dari berbagai pihak demi penyempurnaan metodologi
yang sedang dikembangkan. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam penyusunan Materi Teknis Penentuan dan Penetapan Daya Dukung dan
Daya Tampung Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur Tahun 2023.
ii
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
DAFTAR ISI
iii
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
DAFTAR TABEL
iv
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
DAFTAR GAMBAR
v
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
DAFTAR LAMPIRAN
vi
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
1 BAB I PENDAHULUAN
1
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Urgensi menjaga lingkungan hidup telah tertuang dalam beberapa peraturan perundang-
undangan. Terlebih D3TLH yang ditekankan sebagai amanat dari Pasal 12 Ayat (2) UU 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berlanjut pada peraturan turunannya
hingga yang terbaru tercantum dalam PP 46/2016 tentang Penyelenggaraan KLHS, PP 21/2021
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan, serta UU 6/2023 tentang Cipta Kerja. Segala peraturan tersebut menempatkan D3TLH
sebagai urgensi dalam memberikan rambu-rambu untuk merencanakan dan mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam. Melalui D3TLH dapat mengidentifikasi status atau kemampuan
ekoregion dalam menjaga keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup
sehingga tercapainya keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
D3TLH dapat dijadikan referensi terhadap segala perencanaan dalam RTRWN, RPJPN, RPJMN, serta
RPPLHN.
2
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Sementara itu, di tingkat provinsi, Materi Teknis ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi yang andal dan akurat. Dengan akses yang mudah terhadap informasi D3TLH yang
berkualitas, para pemangku kepentingan di tingkat provinsi, termasuk pemerintah daerah dan
masyarakat lokal, akan dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan berdaya guna dalam
mengelola sumber daya alam di wilayahnya.
Keseluruhan dari penyusunan Materi Teknis Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup Provinsi ini adalah untuk mencapai keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber
daya alam, menjaga keseimbangan ekosistem, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dengan panduan yang jelas dan akses informasi yang mudah, diharapkan pengelolaan lingkungan
hidup dan sumber daya alam di Indonesia akan menjadi lebih baik dan berkelanjutan di masa yang
akan datang.
3
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Pada penyusunan Materi Teknis Penentuan dan Penetapan D3TLH Provinsi, peninjauan
terhadap kondisi provinsi dilakukan dengan menganalisis kondisi biogeofisik dan sosial, ekonomi,
dan budaya (sosekbud). Kondisi biogeofisik didefinisikan sebagai kondisi lingkungan hidup yang
berpotensi untuk memenuhi kebutuhan manusia sesuai dengan standardisasi kebutuhannya.
Kondisi biogeofisik tergambarkan melalui biokapasitas sebagai penyediaan lingkungan hidup yang
dapat memenuhi kebutuhan manusia berdasarkan jejak ekologis dalam bentuk penutupan lahan.
Kedua hal tersebut akan menjadi parameter dalam Optimasi Alokasi Penutupan Lahan yang
kemudian dijadikan acuan untuk menentukan hasil meliputi: (1) Status D3TLH dengan klasifikasi
Belum Terlampaui dan Terlampaui dari membandingkan jumlah penduduk optimum dengan
penduduk eksisting, serta (2) Gap Jasa Lingkungan Hidup dari membandingkan antara jasa
lingkungan hidup eksisting dan jasa lingkungan hidup optimum.
Kondisi sosekbud didefinisikan sebagai narasi causal model yang menggambarkan kondisi
masyarakat dalam rangka jaring pengaman sosial (sosial safety net) sebagai strategi tata kelola
lingkungan hidup di suatu wilayah. Kondisi sosekbud tergambarkan melalui Indeks KMK
berdasarkan komposit antara Keselamatan (keselamatan hidup dan keselamatan dari bahaya),
Mutu Hidup (kualitas penduduk dan pemajuan kebudayaan penduduk), dan Kesejahteraan (kinerja
ekonomi makro maupun ketenagakerjaan). Kondisi biogeofisik dan sosekbud akan menjadi acuan
dalam Kuadran Keberlanjutan sebagai penggambaran sejauh mana pulau/kepulauan hingga
provinsi-provinsi yang dapat menyokong wilayahnya dari sisi lingkungan hidup dan masyarakat
menuju kondisi keberlanjutan.
Posisi ideal dalam Kuadran Keberlanjutan adalah Kuadran I atau Pembangunan yang
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan dimana Indeks Jasa Lingkungan hidup Eksisting dan
Indeks KMK bernilai di atas rata-rata Nasional. Kondisi biogeofisik diwakilkan oleh Indeks Jasa
Lingkungan Hidup Eksisting yang dikompositkan berdasarkan rata-rata geometrik dari jasa
lingkungan hidup terkait pengaturan air, penyediaan pangan, dan pendukung keanekaragaman
hayati. Rata-rata Nasional dalam Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting yang dimaksud
merupakan hasil Indeks Jasa Lingkungan Hidup Optimum Gabungan. Sedangkan kondisi sosekbud
diwakilkan oleh Indeks KMK (Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan) yang dikompositkan
berdasarkan akumulatif dari Skor Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan.
4
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Gambar 1-3 Kerangka Pikir dalam Penentuan D3TLH berbasis SES Framework
Sumber: Diadopsi dari Martín-López et al, 2014
Dengan mempertimbangkan keterbatasan data dan teknik pemodelan yang digunakan, dan
untuk mempermudah pemahaman konsep keterkaitan antara kondisi sosial dan lingkungan hidup,
maka dikembangkan model perhitungan indeks yang dapat menggambarkan peta situasi dari suatu
ekoregion terhadap kedua nilai sosial budaya dan lingkungan hidup. Pemetaan kedua indeks tersebut
diterjemahkan ke dalam suatu matriks, yang disebut dengan kuadran keberlanjutan. Gambar 1-3 di
bawah ini menunjukkan hubungan antara lingkungan hidup dan kondisi masyarakat. Pada kolom hijau
terlihat kondisi biogeofisik sebagai ketersediaan lingkungan hidup yang mengacu pada Biokapasitas
dan Jejak Ekologis sehingga mampu menentukan jumlah populasi dan jasa lingkungan hidup
optimum yang seharusnya. Sedangkan kolom jingga sebagai kondisi masyarakat dari sosial,
ekonomi, dan budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan hidup untuk mencapai keselamatan, mutu
hidup, dan kesejahteraan. Kondisi lingkungan hidup dan masyarakat tersebut akan mampu
menggambarkan posisi suatu wilayah dalam Kuadran Keberlanjutan. Hubungan timbal balik antar
keduanya terjadi dalam satuan unit pengelolaan berbasis ekoregion sebagai ciri-ciri sifat dan faktor
pembatas potensi sumber daya alam beserta kemampuan suksesinya dalam memproduksi jasa
lingkungan hidup yang dapat dimanfaatkan masyarakat.
Apabila megacu pada SES Framework dan didukung oleh berbagai kajian literatur, maka D3TLH
pada dasarnya berkaitan erat dengan prinsip human-carrying capacity yang mengacu pada biophysical
capacity dan sosial capacity. Oleh karena itu, definisi D3TLH dilakukan penyesuaian menjadi “Jumlah
populasi optimum yang hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan dalam satuan unit
ekoregion (Biophysical Capacity)”. Dengan ketentuan sebagai berikut:
• Jumlah populasi optimum dimaksudkan ambang batas penduduk yang dapat ditampung dan
dipenuhi kebutuhan fisiologisnya
• Menuju hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan maka populasi perlu
memperhatikan ketersediaan jasa lingkungan hidup
• Satuan unit ekoregion sebagai kesatuan pengelolaan wilayah yang dapat lintas batas
administrasi dan/atau kewenangan tertentu yang ditetapkan melalui peraturan perundang-
undangan
5
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Oleh karena itu, hasil penyusunan D3TLH ini adalah (1) Status D3TLH yang ditunjukkan dari jumlah
populasi dan luas lahan optimum dan (2) Posisi dalam kuadran keberlanjutan sebagai baseline
perencanaan pembangunan ke depan di masing-masing ekoregion pulau/kepulauan.
1. Jenis ekosistem yang digunakan belum mempertimbangkan kualitas udara dan laut:
Dalam perhitungan daya dukung lingkungan hidup, sangat penting untuk
mempertimbangkan jenis ekosistem yang ada di darat, laut, dan udara. Pada kajian D3TLH
ini baru memperhitungkan ekosistem darat saja karena adanya keterbatasan dan
keseragaman data antara pulau/kepulauan di Indonesia.
2. Skala Regional yang Besar: meskipun kedalaman data menggunakan skala 1:250.000,
pembagian unit analisis ke dalam pulau atau kepulauan masih dapat menghasilkan
generalisasi yang besar. Ini berarti bahwa D3TLH Nasional mungkin tidak dapat
menggambarkan supply dan demand terhadap sumber daya alam pada wilayah yang lebih
kecil atau mikro (kabupaten/kota).
3. Keragaman Regional yang Terabaikan: setiap pulau atau wilayah di Indonesia memiliki
karakteristik unik dalam hal sumber daya alam, budaya, sosial, dan ekonomi. D3TLH yang
diterapkan pada tingkat pulau/kepulauan mungkin tidak cukup sensitif untuk
menggambarkan keragaman ini di tingkat provinsi.
4. Ketidakpastian Data: pengumpulan data yang diperlukan untuk D3TLH tidak banyak data
yang memiliki keseragaman, baik dari sisi skala maupun variabilitias. Pada beberapa
6
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
provinsi, data mungkin terbatas atau tidak selalu terbaru, yang dapat mengurangi
keakuratan analisis D3TLH.
Namun dengan keterbatasan tersebut, penyusunan D3TLH ini sudah dapat dianggap
menggambarkan kondisi optimum pemanfaatan sumber daya alam dengan asumsi belum
menggunakan rekayasa teknologi pengolahan dan masih terbatas pada kemampuan sendiri.
Informasi dalam muatan D3tlh ini sangat penting untuk memberikan rambu-rambu dalam
perencanaan pembangunan dan tata ruang, mendorong pentingnya environmental safeguard
apabila ada rekayasa teknologi yang harus diterapkan, dan meningkatkan prinsip kehati-
hatian (prudentiality) dalam pelaksanaan pembangunan.
Oleh karena itu, D3TLH masih merupakan alat yang berpotensi kuat dalam mengarahkan
pembangunan menuju keberlanjutan, dan dalam mengatasi limitasi ini, dapat diperluas dengan
perencanaan yang lebih spesifik dan sensitif terhadap karakteristik setiap wilayah, serta
mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya dalam pengambilan keputusan yang
berkelanjutan. Selain itu, terus meningkatkan ketersediaan dan akurasi data dapat membantu
meningkatkan validitas analisis D3TLH. Meskipun memiliki keterbatasan, D3TLH tetap menjadi
alat penting dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian
lingkungan di Indonesia.
Definisi Operasional
Definisi operasional D3TLH berisikan batasan pengertian yang menunjukkan tentang apa yang harus
diamati dan diukur dalam metodologi penentuan D3TLH.
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU
Nomor 32 Tahun 2009).
2. Ekoregion adalah satuan unit pengelolaan yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora,
dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem lingkungan hidup.
3. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) adalah jumlah populasi
optimum yang hidup sejahtera secara mandiri dan berkelanjutan (Social Capacity) dengan
didukung oleh kapasitas lingkungan hidup dalam satuan unit ekoregion (Biophysical
Capacity).
4. Status D3TLH adalah kondisi yang menggambarkan kemandirian suatu wilayah melalui
perbandingan antara jumlah penduduk optimum dengan eksistingnya berdasarkan hasil
optimasi alokasi penutupan lahan
5. Jasa lingkungan hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan hidup bagi manusia
dan keberlangsungan kehidupan yang diantaranya mencakup penyediaan sumber daya
alam, pengaturan alam dan lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian
nilai budaya (PP Nomor 47 Tahun 2017).
6. Indeks jasa lingkungan hidup adalah penilaian kinerja lingkungan hidup dalam
memberikan jasa bagi para pemanfaatnya yang dapat mewakili perspektif biogeofisik
terhadap pengaturan air, penyedia pangan, dan pendukung kehati.
7
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
7. Sosial, ekonomi, dan budaya (sosekbud) adalah narasi causal model yang menggambarkan
kondisi masyarakat dalam rangka jaring pengaman sosial (sosial safety net) sebagai strategi
tata kelola lingkungan hidup di suatu wilayah.
8. Indeks KMK (Keselamatan, Mutu hidup, Kesejahteraan) adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan peningkatan
kualitas penghidupan.
9. Keselamatan adalah kondisi normalnya fungsi organ tubuh (fisik manusia) dan rohani/batin
manusia dalam interaksi penghidupannya yang terhindar dari gangguan atau ancaman,
yang dilihat dari keselamatan hidup dan keselamatan dari bahaya.
10. Mutu hidup adalah wujud kualitas penduduk (tingkat pendidikan, literasi dan perilaku
budayanya) serta proses atau dinamika pemajuan budaya yang bersesuaian dengan
kapasitas jasa lingkungan hidup di sekitarnya (situation) dan diukur dengan kualitas
penduduk dan pemajuan kebudayaan.
11. Kesejahteraan adalah keadaan dimana manusia secara individu dan atau kolektif dapat
menikmati utilitas hidup (utilitas neto) yang maksimal, yang pencapaian ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan tingkat
pengangguran terbuka.
12. Kuadran D3TLH adalah posisi suatu wilayah yang dapat menggambarkan sejauh mana
kondisi lingkungan hidup dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan.
Materi Teknis Penentuan dan Penetapan D3TLH Provinsi ini terdiri dari empat bab sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup wilayah dan substansi, kerangka
konsep, limitasi dan definisi operasional D3TLH, serta sistematika penulisan.
BAB II Ekoregion
Bab ini akan menggambarkan kondisi provinsi dari bentuk alamiah fisik wilayah yang terdiri dari
bentang alam dan vegetasi utama sebagai pembentuk ekoregion. Identifikasi ekoregion memegang
peranan penting dalam semua kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
8
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Ekoregion diartikan sebagai wilayah geografi yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, flora
dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem
alam lingkungan hidup. Identifikasi ekoregion memegang peranan penting dalam semua kegiatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sejak tahap perencanaan hingga pengawasan
dan pengendaliannya.
Provinsi Jawa Timur memiliki luas wilayah terbesar di Pulau Jawa yang menyebabkan
wilayah ini memiliki keberagaman wilayah ekoregion, baik ekoregion darat dan laut. Terdapat 10
wilayah ekoregion pada Provinsi Jawa Timur, yang mana Bentang Vulkanik Peradaban Solo
dan Brantas memiliki persentase wilayah paling banyak. Wilayah ekoregion Bentang
Pegunungan Kendal Jati Kencana melingkupi dua provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Bentang Vulkanik Peradaban Solo dan Brantas dan Bentang Perbukitan Karstik Wonosari –
Malang melingkupi tiga provinsi, yaitu Provinsi D.I Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sedangkan, Lahan Basah Muara Solo – Brantas, Dataran Selatan Jawa Lumajang – Jember,
Pegunungan Tumpang Pitu Meru Betiri, Dataran Savana Blambangan, Perbukitan Gamping Alas
Purwo, Bukit Gamping Nusa Barung, dan Bentang Perbukitan Gamping Madura hanya berada pada
Provinsi Jawa Timur. Kesamaan wilayah ekoregion merepresentasikan adanya kesamaan dalam
bentang alam, flora, fauna, maupun vegetasi pada provinsi-pronvinsi di sekitar Provinsi Jawa
Timur.
9
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur memiliki lima ekoregion yang berbeda, yaitu ekoregion kompleks
dataran fluviovulkanik, ekoregion kompleks dataran organik koralian, ekoregion pegunungan
kerucut organic, ekoregion pegunungan krucut vulkanik, dan perbukitan denudasional. Secara
fisiografi wilayah Provinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan (plato),
zona tengah (gunung berapi), dan zona utara (lipatan).
Dataran rendah dan dataran tinggi pada bagian tengah (dari Ngawi, Blitar, Malang,
hingga Bondowoso) memiliki tanah yang cukup subur yang mana sangat cocok untuk bertani
dan bercocok tanam. Dengan potensi berupa lahan dan iklim yang mendukung, Provinsi Jawa
Timur menjadi produsen padi terbesar pada tahun 2022, dengan capaian produksi 9,52 juta
ton GKG atau 17,39% dari total produksi padi nasional (Annur, 2023). Selain itu, Provinsi Jawa
timur juga merupakan penghasil tanaman buah-buahan di Indonesia pada tahun 2020, salah
satunya penghasil buah pisang terbesar (Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur, 2022).
Selain dataran rendah dan tinggi pada bagian Tengah, terdapat juga rangkaian pegunungan
berapi yang terbentang. Rangkaian tersebut memiliki potensi wisata yang sangat tinggi dan
menjadikan Provinsi Jawa Timur terkenal akan wisata alamnya, seperti Kawasan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru yang sangat banyak dikunjungi oleh pengunjung local maupun
mancanegara yang menjadikan kawasan ini salah satu daerah tujuan wisata andalan Jawa Timur,
bahkan nasional. Kementerian Pariwisata bahkan menetapkan kawasan TNBTS sebagai
Kawasan Strategis Parwisata Nasional (KSPN).
Taman nasional ini memiliki luas 800 , yang mana meliputi 4 kabupaten di Jawa Timur, yaitu
Pasuruan, Malang, Lumajang, dan Probolinggo. TNBTS memiliki tipe ekosistem sub-montana,
10
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
montana, dan sub-alphin dan masuk ke daftar Unesco World Network of Biosphere Reserve
dengan 38 jenis satwa liar yang dilindungi (Elang Jawa, Macan Tutul Jawa, Lutung Jawa), 1.025
jenis flora yang 40 diantaranya anggrek langka, kaldera di dalam kaldera (gunung aktif Bromo
didalam kaldera gn. Tengger), dan lautan pasir vulkanik berbisik. Selain itu, terdapat Gunung
Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa yang mana sangat diminati oleh para
pendaki gunung.
Lalu, terdapat Gunung Ijen yang sangat terkenal akan fenomena “Blue Fire”. Selain
terkenal akan keindahannya, gunung yang termasuk dalam Taman Nasional Alas Purwo ini juga
merupakan salah satu penghasil belerang terbanyak di Indonesia yang mana berdasarkan
informasi dari pengelola Taman Nasional Alas Purwo, sedikitnya 14 ton belerang berhasil
ditambang setiap harinya.
Pada bagian utara (dari Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Pulau Madura) terdapat
Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng yang relatif tandus. Pegunungan tersebut
merupakan daerah karst yang dipenuhi dengan batu karang dan tebing. Walaupun memiliki
lahan yang relative tandus, tetapi pegunungan ini kaya akan sumber daya alam untuk
pertambangan semen.
Kemudian, pada bagian selatan terdapat rangkaian perbukitan, yakni dari pesisir pantai
selatan Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, hingga Malang. Pegunungan Kapur Selatan
merupakan kelanjutan dari rangkaian Pegunungan Sewu di Yogyakarta yang mana termasuk ke
dalam daerah karst. Salah satu buktinya adalah Kota Pacitan yang memiliki julukan sebagai Kota
Seribu Goa karena memiliki 105 gua karst. Hal tersebut menjadi salah satu daya tarik wisata untuk
Kot Pacitan. Terdapat 2 Goa yang menjadi daya tarik utama, yaitu Gua Gong dan Goa Tabuhan yang
berada di Kecamatan Punung.
Gua Gong memiliki panorama khas berupa stalagtit dan stalagmit yang masih aktif.
Bahkan keindahannya disebut-sebut teratas di Asia Tenggara. Sedangkan Gua Tabuhan
memiliki kekhasan dimana bebatuan di dalamnya jika ditabuh dapat menghasilkan harmoni
layaknya musik gamelan.
Lalu, Provinsi Jawa Timur memiliki 2 Sungai terpenting yang mana merupakan Sungai
terpanjang di Pulau Jawa, yaitu Sungai Bengawan Solo (548 km) dan Sungai Brantas (290 km). kedua
sungai ini dimanfaatkan oleh warga sebagai bahan baku air minum, irigasi, pemenuhan bahan
baku industri, dan pembangkit listrik. Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo dikelola oleh
Perum Jasa Tirta I. Di lereng Gunung Lawu di dekat perbatasan dengan Jawa Tengah juga terdapat
Telaga Sarangan, sebuah danau alami. Bendungan utama di Jawa Timur antara lain Waduk Ir.
Sutami, dan Bendungan Selorejo, yang digunakan untuk irigasi, perikanan, dan pariwisata.
Ekoregion laut di Provinsi Jawa Timur terdiri dari Laut Jawa dan Samudera Hindia
bagian Selatan Jawa. Laut Jawa memiliki laut dangkal yang kondisi oseonografinya dipengaruhi
oleh pasang surut bertipe campuran diurnal di Laut Jawa dan juga Monsun. Sedangkan ekoregion
Samudera Hindia bagian Selatan Jawa memiliki arus dan massa air yang terbentuk oleh kondisi
batimetri yang kontras, yakni oleh palung Java Trench yang terhubung dengan Samudera Hindia
bagian Tenggara.
11
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Pada Provinsi Jawa Timur, ekoregion Samudera Hindia terdapat keanekaragaman hayati
seperti penyu. Dimana ujung Kawasan Plengkung di wilayah Alas Purwo merupakan tempat
mencari makan bagi penyu belimbing pasifik saat ubur-ubur sedang melimpah. Selain itu,
wilayah pada ekoregion ini rawan akan bencana gempa dan tsunami karena merupakan zona
subduksi lempeng tektonik.
12
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Muatan D3TLH Provinsi Jawa Timur terdiri dari ambang batas yang menghasilkan jumlah
penduduk dan luas lahan optimum. Jumlah penduduk optimum dan luas lahan optimum
mengadopsi dari hasil perhitungan tingkat nasional yang sudah memperhitungkan kondisi
biokapasitas dan jejak ekologis dalam unit pulau/kepulauan. Dalam hal ini, Provinsi Jawa Timur
mengacu kepada perhitungan tingkat nasional dari unit analisis Pulau Jawa. Secara rinci, jumlah
penduduk optimum didapatkan dari hasil pengolahan data tutupan lahan yang telah
dioptimumkan menggunakan standar ruang dalam mendukung kebutuhan dasar manusia
kemudian dikonversi menjadi kebutuhan ruang per penduduk sehingga menghasilkan jumlah
penduduk optimum. Sementara luas lahan optimum didapatkan dari hasil pengoptimalan luas
lahan eksisting dengan standar kebutuhan ruang sehingga menjadi luas lahan optimum, apabila
antara eksisting dengan optimum bernilai defisit, maka dicari alokasi spasialnya melalui
pemodelan kesesuaian fisik lahan dan pemodelan 2K (Kedekatan dan Kepadatan) Simultan.
Sebagai outcome, maka dilengkapi dengan faktor sosial budaya serta ekonomi dalam bentuk
kondisi keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan.
*Status D3TLH ini adalah kondisi ketersediaan sumberdaya alam yang disediakan oleh ekoregion itu sendiri tanpa
dukungan ekoregion lainnya
Sumber: Hasil Analisis, 2023
Perlu dipahami bahwa jumlah penduduk optimum hanya mengacu pada pemenuhan
kebutuhan fisiologis pada setiap Pulau/Kepulauan. Sehingga apabila ada intervensi untuk
memenuhi pemajuan ekonomi, maka jumlah penduduk optimumnya akan menurun. Jumlah
penduduk optimum ini kemudian dibandingkan dengan kondisi eksisting yang menggunakan
baseline tahun 2022 guna mengetahui statusnya. Dengan jumlah penduduk eksisting yang
berjumlah ±41,22 juta orang, maka ambang batas D3TLH Provinsi Jawa Timur secara indikatif
13
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
memiliki status terlampaui. Wilayah dengan status D3TLH terlampaui menunjukkan bahwa
wilayah tersebut tidak dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan fisiologisnya sehingga
membutuhkan pengadaan atau impor komoditas dari luar wilayahnya. Sedangkan wilayah yang
memiliki status yang belum terlampaui menunjukkan bahwa provinsi tersebut dapat terpenuhi
kebutuhan wilayahnya dan dapat memenuhi kebutuhan provinsi lain disekitarnya dalam satu
pulau/kepulauan.
Dari enam provinsi di Pulau Jawa, keseluruhannya memiliki status indikatif terlampaui,
termasuk Provinsi Jawa Timur. Persebaran penduduk optimum digambarkan melalui peta sistem
grid sehingga pada masing-masing grid memiliki jumlah yang berbeda. Pada peta terlihat untuk
yang bernilai nol diartikan lokasinya merupakan kawasan lindung/konservasi dan badan air.
Distribusi dengan rentang jumlah penduduk tertinggi pada gid-nya untuk Provinsi Jawa Timur
mendominasi di daerah ibukota dan daerah sekitar perbatasan antara Pulau Jawa dengan Pulau
Madura. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat kepadatan pendudunya yang lebih tinggi
dibandiingkan wilayah lainnya. Sementara untuk distribusi panduduk dengan rentang jumlah
penduduk yang rendah pada gridnya berada pada bagian barat Provinsi Jawa Timur.
Gambar 3-1 Peta Distribusi Area Optimasi untuk Pertumbuhan Penduduk Provinsi Jawa Timur
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2023
14
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
secara indikatif sudah terlampaui. Provinsi dengan status terlampaui dikatakan tidak dapat
secara mandiri memenuhi kebutuhan fisiologisnya karena terbatasnya ketersediaan lahan untuk
pemenuhan kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu diperlukan usaha lebih dengan cara import atau
kerja sama antar pulau/kepulauan.
Tabel 3-2 Jumlah Royeksi Penduduk Tahun 2045 dan Optimum Provinsi Jawa Timur
D3TLH dikaitan dengan Jumlah Penduduk
Jumlah Proyeksi Jumlah Perbandingan Jumlah
Provinsi
Penduduk Tahun Penduduk Penduduk Proyeksi Tahun Status D3TLH
2045 (Jiwa) Optimum (Jiwa) 2045 dan Optimum (Jiwa)
Jawa Timur 44.860.790 37.595.892 -7.264.898 Terlampaui
*Status D3TLH ini adalah kondisi ketersediaan sumberdaya alam yang disediakan oleh ekoregion itu sendiri tanpa
dukungan ekoregion lainnya
Sumber: Hasil Analisis, 2023
15
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
berjumlah sama. Hal ini dikarenakan asumsi bahwa luas lahan terbangun saat ini sudah melebihi
standarisasi nasional terhadap cakupan luas tempat tinggal dan ruang publik.
Hasil optimasi terhadap penutupan lahan menghasilkan luas lahan optimum di Provinsi
Jawa Timur yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3-3 Penutupan Lahan Optimum Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur saat ini memiliki lahan optimum ±4,88 juta hektar, dari luasan tersebut
maka luas optimum yang dapat digunakan untuk mendukung kebutuhan dasar manusia ada
sekitar 2,8 juta Ha atau sekitar 89% dari total luas provinsi. Sementara sisanya dipertahankan
untuk Kawasan lindung/konservasi sekitar 500 ribu Ha atau 11% dari luas total Provinsi Jawa Timur.
Berikut adalah peta hasil pemodelan optimasi alokasi spasial yang menghasilkan penutupan lahan
optimum Provinsi Jawa Timur.
Gambar 3-2 Peta Alokasi Spasial Penutupan Lahan Optimum di Provinsi Jawa Timur
Sumber: Hasil Analisis, 2023
16
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
3.3 Kondisi Keselamatan, Mutu Hidup, dan Keselamatan Provinsi Jawa Timur
Asumsi yang dibangun adalah keselamatan itu berasal dari keselamatan hidup dan
keselamatan dari ancaman bahaya bencana alam, sehingga semakin tinggi akses terhadap hunian
layak dan semakin rendah indeks risiko bencananya artinya semakin selamatlah penduduk yang
ada di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil analisis, Provinsi Jawa Timur memiliki skor
keselamatan sebesar 0,55 dengan predikat sedang yang mana lebih baik dari Pulau Jawa dan
Nasional dengan masing-masing skor 0,54 dan 0,44 dengan predikat yang sama yaitu sedang.
Hal tersebut menjadikan Provinsi Jawa Timur menjadi provinsi dengan keselamatan tertinggi ke-4
di Pulau Jawa dikarenakan akses terhadap hunian layaknya yang diatas rata-rata nasional yaitu
66,28% dan memiliki nilai IRBI sedang yang berada dibawah IRBI Nasional, yaitu 121,7.
a. Keselamatan Hidup
Hunian Layak menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Terdapat empat indikator
dalam penilaian kualitas hunian layak hidup, yaitu ketahanan bangunan, akses air minum, akses
sanitasi, dan kepadatan hunian (luas lantai per kapita).
Proporsi hunin layak di Provinsi Jawa Timur memiliki rata-rata sejumlah 66,28% yang mana
lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata hunian Pulau Jawa dan Nasional yang masing-masing
adalah 61,47% dan 60,66%. Akses hunian layak di Provinsi Jawa Timur berada pada presentase
sedang. Walaupun Provinsi Jawa Timur berusaha untuk mencapai target berdasarkan RPJMN 2020-
2024, namun terdapat kendala yang menciptakan persentase belum mecapai tingkat tinggi.
Kendala tersebut yaitu Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang bellum bisa dijalankan
sepenuhnya karena belum adanya pendamping dari Pemerintah Kota Surabaya.
17
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Tabel 3-5 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan Terjangkau Menurut
Provinsi Jawa Timur
Tahun
Cakupan Wilayah
2019 2020 2021 2022
Provinsi Jawa Timur 65,61 68,08 66,93 66,28
Pulau Jawa 58,73 60,65 62,08 61,47
Nasional 56,51 59,54 60,9 60,66
Sumber : Diolah dari Data BPS, 2023
Menurut data BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2021, Salah satu penyebab Provinsi Jawa
Timur memiliki persentase akses hunian layak di atas rata-rata nasional karena Akses air minum
layak Provinsi Jawa Timur termasuk tertinggi sebesar 95,05% di atas capaian rata-rata nasional
sebesar 91,05%. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi di Pulau Jawa dengan persentase akses
air minum layak ketiga setelah Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi D.I Yogyakarta. Selain itu akses
sanitasi layak di Provinsi Jawa Timur sebesar 81,13% yang merupakan persentase akses sanitasi
urutan ke-18 secara nasional dan melebihi capaian rata-rata nasional sebesar 80,29%.
Provinsi Jawa Timur rawan terhadap bencana dikarenakan dilewati oleh beberapa patahan
diantaranya Sesar Baribis Kendeng, Sesar Pasuruan, Sesar Probolinggo dan Sesar Wonorejo
(PusGen, 2017). Provinsi Jawa Timur juga memiliki beberapa gunungapi aktif yakni Gunung Kelud,
Gunung Arjuno Welirang, Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Lamongan, Gunung Raung dan
Gunung Ijen (PVMBG, 2016). Selanjutnya, Berdasarkan data yang diperoleh dari BMKG, suhu rata-
rata diseluruh wilayah Provinsi Jawa Timur selama tahun 2021 adalah 27,1o C. Rata-rata curah hujan
per bulan setinggi 210,5 mm dan rata-rata hari hujan per bulan sebanyak 13,5 hari (BPS Provinsi
Jawa Timur, 2022). Selain itu, terdapat ancaman bencana seperti, gempabumi, letusan gunung api,
banjir, tanah longsor, kekeringan, abrasi, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrim, dan tsunami .
DIBI mencatat selama kurun waktu 2022, jumlah kejadian bencana mencapai 55 kejadian, yang
didominasi oleh bencana puting beliung (72 kejadian), banjir (55 kejadian) dan tanah longsor (29
kejadian).
18
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Tabel 3-6 Indeks Risiko Bencana Provinsi Jawa Timur Tahun 2022
19
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Kondisi mutu hidup dalam D3TLH dapat dilihat dalam dua variabel pembentuk, yaitu Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan akumulatif tiga dimensi pemajuan kebudayaan (warisan budaya,
ketahanan sosial dan budaya, dan budaya literasi). Kedua variabel pembentuk tersebut sudah
dapat mewakili dari mutu hidup. Hasil skor mutu hidup dapat dilihat pada Tabel 3-7.
Tabel 3-7 Skor Mutu Hidup Provinsi Jawa Timur
Dinamika Karakteristik Ruang
Kualitas Penduduk
Budaya
Skor Mutu
Hasil Karakter
Provinsi Hidup (Indeks Predikat
IPM Normalisasi Ruang Budaya Normalisasi
Perubahan)
2022 IPM (Pemajuan IP
Kebudayaan)
Jawa Timur 72,75 0,56 0,93 0,27 0,42 Sedang
Pulau Jawa 75,71 0,71 0,94 0,32 0,51 Sedang
Nasional 72,91 0,57 0,97 0,42 0,49 Sedang
Sumber : Hasil Analisis, 2023
Berdasarkan tabel di atas skor mutu hidup Provinsi Jawa Timur memiliki skor sebesar
0,42 dengan predikat sedang di bawah nilai rata-rata Pulau Jawa dan di bawah nilai rata-rata
Nasional. Skor mutu hidup Provinsi Jawa Timur hampir mendekati rata-rata nasional dipengaruhi
oleh hasil karakter ruang budaya dan IPM yang hampir mendekati rata-rata nasional. Indeks
Pembangunan Manusia Provinsi Jawa Timur di atas nilai 72,75 di maknai baik serta memiliki hasil
karakter ruang budaya mendekati nilai 1. Provinsi Jawa Timur memiliki predikat sedang, sehingga
dapat diartikan dalam segi pembangunan manusia terbilang baik dan dari segi kebudayaannya juga
menjaga kelestarian budayanya dengan baik. Provinsi Jawa Timur memiliki nilai IPM tahun 2022
dibawah rata-rata IPM Pulau Jawa dan Nasional serta memiliki hasil karakter ruang budaya Provinsi
Jawa Timur dibawah Pulau Jawa dan Nasional.
a. Kualitas Penduduk
Menurut data BPS tahun 2022, Provinsi Jawa Timur memiliki nilai IPM 72,25% dengan nilai
rata-rata IPM Nasional 72,91%. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki nilai IPM
dibawah nilai rata-rata IPM Nasional. Dari 6 (enam) provinsi yang ada di Pulau Jawa, Provinsi Jawa
Timur berada pada peringkat terakhir untuk IPM. Pada tahun 2020 IPM Provinsi Jawa Timur
mengalami penurunan dikarenakan wabah COVID-19, namun dengan adanya pemulihan ekonomi
sosial IPM Jawa Timur tahun 2022 sebesar 72,75 atau tumbuh 1,45 persen (meningkat 1,04 poin)
dibandingkan capaian tahun sebelumnya.
20
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
73 72.75
72.5 72.14
72 71.71
71.5
71.5
71
70.5
2019 2020 2021 2022
Indeks Pembangunan Manusia
Gambar 5‑3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Timur, 2010-2022
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2023
Salah satu yang menjadikan IPM Provinsi Jawa Timur mengalami penaikkan diakibatkan
terjadinya persentase peningkatan dalam Kesehatan, Pendidikan, dan Ekonomi. Dari dimensi
kesehatan, bayi yang lahir pada tahun 2022 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga usia 71,74
tahun, lebih lama 0,36 tahun dibandingkan dengan mereka yang lahir pada tahun sebelumnya.
Dari dimensi pendidikan, komponen Harapan Lama Sekolah (HLS) tahun 2022 tercatat
sebesar 13,37 tahun, lebih tnggi 0,01 tahun dibanding sebelumnya yaitu 13,36 tahun. Sedangkan
komponen pendidikan lainnya, yaitu Rata-rata Lama Sekolah (RLS 25thn+) tahun 2022 mencapai 8,03
tahun, atau meningkat 1,90 persen dibanding tahun lalu. Dari sisi perekonomian, Indikator
Pengeluaran per Kapita yang disesuaikan pada tahun 2022 mencapai Rp. 11.992.000,- atau meningkat
2,43 persen dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp. 11.707.000,-. (BPS Provinsi Jawa
Timur, 2023)
b. Pemajuan Kebudayaan
Pemajuan kebudayaan dibentuk dari gabungan 3 dimensi dari 7 dimensi yaitu warisan budaya,
katahanan sosial budaya, dan budaya literasi dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang
disebut sebagai karakter ruang budaya. Provinsi Jawa Timur memiliki hasil karakter ruang budaya
0,93 sedikit lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Jawa dan Nasional dengan nilai sebesar 0,97.
Dari ketiga dimensi tersebut hasil karakter ruang budaya yang tinggi berada di warisan budaya
dengan nilai 1,07.
Tabel 3-8 Persentase Budaya Literasi Di Provinsi Jawa Timur
Budaya Literasi
Provinsi
2019 2020 2021
Jawa Timur 57,48 60,19 50,81
Nasional 59,11 61,63 54,29
Sumber: IPK Kemendikbud, 2019-2021
Salah satu indikator penentu dalam pemajuan kebudayaan adalah warisan budaya, budaya
literasi, dan ketahanan sosial budaya. Pada Provinsi Jawa Timur, indikator yang paling rendah
adalah indikator budaya literasi. Dalam indikator tersebut, terdapat faktor yang menyebabkan
tingkat budaya literasi kurang tinggi yang mana faktor tersebut berada dibawah rata-rata nasional,
yaitu persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang membaca selain kitab suci baik cetak maupun
21
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
elektronik dalam satu minggu terakhir dan persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang
mengakses internet dalam tiga bulan terakhir.
Tabel 3-9Persentase Warisan Budaya Di Provinsi Jawa Timur
Warisan Budaya
Provinsi
2019 2020 2021
Jawa Timur 49,54 46,71 49,82
Nasional 43,89 41,00 46,63
Sumber: IPK Kemendikbud, 2019-2021
Kemudian, terdapat dua faktor yang berada dibawah rata-rata nasional pada indikator warisan
budaya, yaitu persentasi benda, bangunan, struktur, dan situs cagar budaya yang telah ditetapkan
terhadap total registrasi, persentase warisan budaya tak benda yang telah ditetapkan terhadap total
registrasi, dan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengunjungi peninggalan
sejarah/wardun.
Tabel 3-10Persentase Ketahanan Sosial Budaya Di Provinsi Jawa Timur
Untuk ketahanan sosial budaya, terdapat lima faktor yang berada dibawah rata-rata nasional,
yaitu persentase masyarakat yang setuju jika ada sekelompok orang dari agama lain yang
melakukan kegiatan di lingkungan sekitar tempat tinggal, persentase masyarakat yang setuju jika
ada sekelompok orang dari suku lain yang melakukan kegiatan di lingkungan sekitar tempat tinggal,
persentase masyarakat yang setuju jika salah satu anggota rumah tangga Anda bersahabat dengan
orang lain yang beda agama, persentase masyarakat yang setuju jika salah satu anggota rumah
tangga Anda bersahabat dengan orang lain yang berbeda suku, dan rumah tangga yang merasa
khawatir dengan keamanan saat berjalan kaki sendirian di malam hari dalam setahun terakhir.
Tabel 3-11Hasil Karakter Ruang Budaya Pemajuan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Tahun 2021-2022
Berdasarkan data IPK Kemendikbud, terjadi penurunan indeks pada tahun 2020 ke tahun
2021. Hal tersebut dipengaruhi oleh Pandemi covid-19 yang terjadi pada tahun 2020 yang
menyebabkan banyak program dalam pemajuan budaya terhentikan. Pada budaya literasi, salah
satu dampak yang terlihat adalah sepinya perpustakaan.
22
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Kondisi kesejahteraan Provinsi Jawa Timur akan berbeda dengan provinsi lainnya, sesuai
dengan ekonomi makro di provinsi tersebut. Ekonomi makro dievaluasi dengan Pertumbuhan
Ekonomi, Stabilitas Harga Umum (Inflasi), dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Kondisi
kesejahteraan Provinsi Jawa Timur dijabarkan sebagai berikut.
a. Skor Kesejahteraan
Berdasarkan hasil analisis skor kesejahteraan Provinsi Jawa Timur memiliki predikat
tinggi dengan skor sebesar 4,00 yang lebih tinggi dibandingkan dengan skor kesejahteraan
Pulau Jawa dan Nasional. Provinsi Jawa Timur memiliki skor kesejahteraan tinggi yang
disebabkan oleh adanya stabilitas pada inflasi yang digambarkan oleh laju IHI dan persentase TPT
yang rendah. Provinsi Jawa Timur memiliki laju IHI sedang Lebih jelasnya dapat dilihat pada
penjabaran tabel di bawah.
Tabel 3-12 Skor Kesejahteraan
Laju
Pertumbuhan TPT Skor
Cakupan Predikat IHI Normalis Normalis
Ekonomi 2021- 2022 Kesejahtera Predikat
Wilayah LPE 2021- asi IHI asi TPT
2022 (%) (%) an
2022
Jawa Timur 5,34 Tinggi 5,62 Rendah 5,49 Rendah 4,00 Tinggi
Pulau Jawa 5,25 Tinggi 5,08 Rendah 6,45 Sedang 3,86 Sedang
Nasional 5,31 Tinggi 9,57 Sedang 5,86 Rendah 3,63 Sedang
Sumber: Hasil analisis, 2023
b. Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan gambar di bawah, Provinsi Jawa Timur memiliki laju pertumbuhan ekonomi
pada tahun 2022 sebesar 5,34%, dibawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi nasional dan Pulau
Jawa tahun 2022 yang berturut-turut tumbuh sebesar 5,72% dan 5,76%. Namun, Provinsi Jawa
Timur terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif pasca COVID-19. Pada tahun 2020
terjadi kontraksi ekonomi sebesar -2,33% yang disebabkan dari adanya pandemi COVID-19, dan
terus mengalami pertumbuhan ke arah positif yang ditandai kenaikan pada PDRB Provinsi Jawa
Timur setiap tahunnya (BPS Provinsi Jawa Timur, 2023).
Gambar 3-3 Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur Tahun 2019-2022
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2023
23
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Berdasarkan tabel di atas, diketahui kontribusi terbesar untuk PDRB Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2022 berasal dari lapangan Industri Pengolahan. Lapangan usaha tersebut
berkontribusi sebesar 30,5% terhadap PDRB Provinsi Jawa Timur pada tahun 2022. Persentase
kontribusi setiap lapangan usaha terhadap PDRB Provinsi Jawa Timur dapat dilihat pada gambar di
bawah.
24
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Gambar 3-4 Persentase Konribusi Lapangan Usaha Terhadap PDRB Provinsi Jawa Timur Tahun 2022
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2023
Pada sektor pengolahan, terdapat 4 sektor industri penyumbang terbesar, yaitu industri
makanan dan minuman, industri pengolahan tembakau, industri kimia, farmasi, dan obat
tradisional, dan industri kertas. Industri makanan dan minuman menjadisektor industri paling kuat,
porsi ini terhadap industri pengolahan sebesar 38,87%. Berdasarkan data BPS, pada 2020 terdapat
191 ribu perusahaan yang bergerak di bidang industri kecil makanan dan minuman. Nilai transaksi
yang dihasilkan dari industri di Jatim mencapai Rp 115,73 triliun. Sedangkan berdasarkan data
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Jatim saat ini memiliki sekitar 4.000-an
anggota. Sebanyak 75 persen diantaranya merupakan industri skala mikro dan kecil, sebanyak 10
persen merupakan industri skala menengah dan sisanya merupakan industri besar. Sektor makanan
dan minuman terus tumbuh karena ditopang faktor konsumsi dalam negeri dan juga permintaan
dari pasar ekspor.
Lalu, industri pengolahan tembakau juga masih menjadi penopang utama ekonomi Provinsi
Jawa Timur, walaupun industri ini terus menghadapi tantangan yang cukup berat karena regulasi
makin ketat dan perilaku konsumen yang mulai berubah. ada tahun 2021 output industri hasil
tembakau (IHT) menempati urutan kedua terbesar dari total output industri manufaktur di Jatim.
Kontribusinya sebesar 23,65 persen terhadap PDRB industri pengolahan Jatim. IHT Jatim juga
menghasilkan cukai tembakau sebesar Rp115,10 triliun atau 61 persen dari total penerimaan cukai
hasil tembakau secara nasional sebesar Rp188,80 triliun. Dengan demikian, Jatim menjadi
penyumbang cukai hasil tembakau terbesar nasional. Provinsi Jawa Timur juga merupakan sentra
ekosistem tembakau terbesar nasional yang berkembang dari hulu hingga hilir. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik mencatat, Jatim memiliki area perkebunan tembakau seluas 101.800 hektar
(ha) pada 2021. Perkebunan tersebut menjadi yang terluas di Tanah Air.
Pada industri kimia, farmasi, dan obat tradisional, Provinsi Jawa Timur sejak lama sudah
menjadi salah satu besis industri kimia nasional. Industri kimia memiliki karakteristik padat modal
dan padat teknologi. Berdasarkan data BPS tahun 2020, di Provinsi Jawa Timur memiliki 348
25
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
industri kimia menengah besar dengan tenaga kerja yang diserap lebih dari 38 ribu. Sedangkan
pada sektor farmasi, menurut data Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), Provinsi Jawa Timur
memiliki industri farmasi yang berjumlah sebanyak 30 – 35 perusahaan dengan kontribusi total 30
persen terhadap industri farmasi nasional. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jawa Timur,
Sektor Industri Kimia dan Farmasi mencatat realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA)
tertinggi di Jatim selama Triwulan I-2020 dengan Rp 1,81 triliun.
Untuk industri kertas, Provinsi Jawa Timur masuk dalam lima besar di Indonesia.
Sementara untuk ekspor industri kertas dari Provinsi Jawa Timur, menyumbang 23 persen industri
kertas nasional. Provinsi Jawa Timur juga merupakan daerah yang menarik investasi, tercatat
menurut data Kemenperin, selama tahun 2020 sampai dengan triwulan I 2021, tercatat investasi
industri kertas dan barang dari kertas senilai Rp 4,62 triliun, terbesar kedua setelah Sumatera
Selatan Rp 11,11 triliun. Kontribusi sub-kategori manufaktur tersebut memberikan dampak yang
luas dalam meningkatkan perekonomian secara inklusif.
26
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Jawa Timur pada Agustus 2022 adalah
sebesar 5,49%. Presentase angka tersebut lebih baik dibandingkan rata-rata TPT nasional, seperti
pada tabel skor kesejahteraan. Hal tersebut disebabkan dengan perlambatan ekonomi Provinsi
Jawa Timur akibat eskalasi ketidakpastian global yang berdampak pada tertahannya kinerja
investasi di sejumlah lapangan usaha utama. Moderasi kondisi ketenagakerjaan dibandingkan
Februari 2022 tercermin dari peningkatan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari 4,82% pada
Februari 2022 menjadi 5,49% pada Agustus 2022. Meskipun demikian, Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) di Provinsi Jawa Timur pada Agustus 2022 tercatat sebesar 71,23%, menunjukkan
peningkatan dibandingkan Februari 2022 (70,98%), ditopang oleh pertumbuhan absolut jumlah
tenaga kerja. Berdasarkan tingkat pendidikan, terdapat peningkatan jumlah tenaga kerja yang
menyelesaikan pendidikan SD dan SMA. Di tengah perlambatan kinerja ekonomi Provinsi Jawa
Timur pada triwulan III 2022, peningkatan serapan tenaga kerja pada triwulan laporan berdasarkan
SKDU Bank Indonesia di Provinsi Jawa Timur menjadi indikasi positif potensi peningkatan kinerja
ekonomi Provinsi Jawa Timur ke depan. TPT Provinsi Jawa Timur selama tahun 2019-2022 dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3-5 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Jawa Timur Tahun 2019-2022
Sumber: BPS, 2023
27
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Jasa Lingkungan Hidup dikompositkan menjadi indeks yang terdiri dari Jasa Pengatur Air,
Jasa Penyedia Air, Jasa Penyedia Pangan, dan Jasa Pendukung Kehati. Nilai komposit ini dapat
memberikan informasi tambahan mengenai kondisi suplai yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. Selain itu, indeks jasa lingkungan juga mampu memberikan kondisi pada
suatu lokasi yang dapat ditingkatkan maupun tetap dilindungi fungsinya. Berikut adalah gambaran
singkat mengenai IJLH secara nasional berbasis unit analisis Provinsi Jawa Timur.
1. IJLH Pengatur Air: IJLH Pengatur Air di Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 3,314. Hal ini
mencerminkan secara agregat pengatur air pada provinsi ini berkualitas sedang yang
mempengaruhi kemampuannya dalam mengatur siklus hidrologi secara berkala.
2. IJLH Penyedia Air: IJLH Penyedia Air di Provinsi Jawa Timur adalah sebesar 2,817. Hal ini
mencerminkan secara agregat penyedia air di Provinsi Jawa Timur memiliki kualitas sedang
kemampuannya dalam menyediakan air termasuk kapasitas penyimpanan.
3. IJLH Pendukung Kehati: IJLH Perlindungan Kehati Provinsi Jawa Timur adalah sebesar
2,855. Hal ini mencerminkan secara agregat lingkungan hidup di Provinsi Jawa Timur
berkualitas sedang dalam menyediakan habitat untuk pembiakan, makan dan istirahat
bagi kehati serta spesies transien.
4. IJLH Penyedia Pangan: IJLH Penyedia Pangan di Provinsi Jawa Timur adalah sebesar
3,708. Hal ini mencerminkan secara agregat lingkungan hidup di Provinsi Jawa Timur
berkualitas tinggi kapasitasnya dalam ketersediaan bahan produksi primer untuk pangan.
5. IJLH Gabungan: IJLH Gabungan adalah sebesar 3,153. IJLH Gabungan menggambarkan
proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup di suatu wilayah. Hal ini mencerminkan
bahwa secara agregat di Provinsi Jawa Timur berkualitas sedang fungsi lingkungan
hidupnya. Sehingga ada beberapa wilayahnya yang perlu dipulihkan maupun ditingkatkan
kinerjanya guna mencapai mencapai kondisi lebih optimum untuk mendukung kebutuhan
fisiologis penduduknya.
Berdasarkan kondisi di atas, kinerja IJLH di Provinsi Jawa Timur dapat sangat bervariasi
karena dipengaruhi oleh karakteristik bentang alam dan vegetasi alami serta pemanfaatan lahan di
atasnya. Kombinasi nilai IJLH yang telah digabungkan berbeda-beda tergantung pada kinerja pada
masing-masing jenis jasa lingkungan hidup.
Tabel 4-1 Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting Provinsi Jawa Timur
28
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
4.2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan Provinsi Jawa Timur
Kondisi keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan di Provinsi Jawa Timur akan berbeda
dengan provinsi-provinsi yang lainnya, karena memiliki keunikan yang beragam baik dari aspek
sosial, ekonomi, dan budaya. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dalam penyusunan
D3TLH, Provinsi Jawa Timur memiliki indeks KMK dibawah Pulau Jawa dan diatas nasional dengan
masing-masing indeks 0.69 (tinggi) dan 0.52 (sedang). Dimana nilai yang didapatkan berdasarkan
komposit dari skor kesejahteraan, mutu hidup, dan keselamatan, Provinsi Jawa Timur memiliki
indeks KMK sebesar 0,67 memiliki nilai predikat tinggi dan berada di atas dari nilai nasional
dengan nilai 0,52. Tingginya indeks KMK Provinsi Jawa Timur dipengaruhi oleh indeks KMK yang
melebihi rata-rata nasional.
Tabel 4-2 Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan (KMK) Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur memiliki predikat yang tinggi karena dipengaruhi oleh indeks KMK
yang melebihi rata-rata nasional. Tingginya skor kesejahteraan yang dipengaruhi oleh rendahnya
tingkat pengangguran dengan persentase sebesar 5,49% dan laju IHI Provinsi Jawa Timur yang
berada di bawah rata-rata nasional. Di sisi lain, kondisi mutu hidup di Provinsi Jawa Timur berada
di bawah rata-rata nasional, walaupun memiliki predikat yang sama, yaitu sedang. Pada kondisi
kesejahteraan Provinsi Jawa Timur memiliki predikat sedang.
Kuadran keberlanjutan adalah konsep yang menggambarkan posisi suatu wilayah dalam
mendukung aspek lingkungan hidup dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan. Sumbu X
diwakili oleh indeks jasa lingkungan hidup, sumbu Y diwakili oleh Indeks KMK. Berikut merupakan
gambar kuadran keberlanjutan Provinsi Jawa Timur apabila dilihat berdasarkan ruang lingkup
nasional dan ruang lingkup Pulau Jawa.
29
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Gambar 4-1 Simulasi Kuadran Keberlanjutan Provinsi Jawa Timur Terhadap Tingkat Nasional
Sumber : Hasil Analisis, 2023
Provinsi Jawa Timur berada di Kuadran II yang artinya Provinsi Jawa Timur berada pada
predikat “Pemulihan Sumber Daya Berkelanjutan”. Predikat tersebut menandkan bahwa Indeks
Jasa ingkungan Hidup Eksisting bernilai sedang, sehingga perlu adanya pemulihan dan juga
penggunaan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan jasa lingkungan hidup karena fungsinya
sudah mulai menurun. Sedangkan pada indeks KMK Eksisting, Provinsi Jawa Timur berada pada
kategori tinggi sehingga diperlukan upaya peningkatan dan pemanfaatan yang lebih baik lagi
terhadap akses hunian layak, nilai IPM, karakter ruang budaya, pertumbuhan ekonomi, stabilitas
harga, dan mengurangi risiko bencana serta tingkat pengangguran terbuka agar semakin menuju
keselamatan bermutu hidup dan sejahtera. Apabila dilihat dari lingkup nasional, ada delapan
provinsi lainnya di Indoneisa yang berada di kuadran yang sama dengan Provinsi Jawa Timur.
30
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Gambar 4-2 Kuadran D3TLH Provinsi Jawa Timur terhadap Tingkat Pulau/Kepulauan
Sumber : Hasil Analisis, 2023
Apabila dilihat dalam lingkup Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur menjadi bagian salah satu
dari empat provinsi yang berada di Kuadran II, sementara dua provinsi lainnya berada di kuadran IV
tetapi mereka berada di garis tipis antara kuadran IV dan II. Provinsi Jawa Timur saat ini memiliki
predikat “Pemulihan Sumber Daya Berkelanjutan”, predikat tersebut menandakan bahwa Indeks
Jasa Lingkungan Hidup (IJLH) eksisting bernilai sedang, sehingga perlu adanya pemulihan dan juga
menggunakan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan jasa lingkungan hidup karena fungsinya
sudah mulai menurun.
31
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. (2023). LAPORAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TIMUR FEBRUARI 2023.
https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/lpp/Pages/Laporan-Perekonomian-Provinsi-
Jawa Timur-Februari-2023.aspx
Benson, C., Twigg, J., & Rossetto, T. (2007). Tools for Mainstreaming Disaster Risk Reduction:
Guidance Notes for Development Organisations. Geneva: ProVention Consortium.
Borucke et al. 2012. Accounting for demand and supply of the biosphere’s regenerative capacity: The
National Footprint Accounts’ underlying methodology and framework. Ecological Indicators,
24.
BPS Kabupaten Jawa Timur Utara. (2023). Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Jawa Timur
Utara menurut Lapangan Usaha Tahun 2018-2022. Arga Makmur: BPS Kabupaten Jawa Timur
Utara.
BPS Provinsi Jawa Timur. (2023). Laju Pertumbuhan PDRB menurut Kabupaten/Kota (Persen)
(Persen), 2020-2022. https://Jawa Timur.bps.go.id/indicator/11/9/1/laju-pertumbuhan-
pdrb-menurut-kabupaten-kota-persen-.html. Diakses 15 Okteber 2023.
BPS Provinsi Jawa Timur. (2023). Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur. BPS Provinsi Jawa Timur.
BPS. (2022). Statistik Kriminal 2022. Jakarta: BPS.
BSN (2004). SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, Badan
Standarisasi Nasional
Coburn, A.W., Spence, R.J.S., & Pomonis. A. (1994). Mitigasi Bencana (Edisi Kedua) Program Pelatihan
Manajemen Bencana. United Kingdom: Cambridge Architectural Research Limited.
32
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Commission on Environment and Development (1987): Our common future, Oxford University Press,
Oxford, UK, 400 pp.
Coppola, D. (2007). Introduction to International Disaster Management. Oxford: Elsevier.
Darman. (2013). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat Pengangguran: Analisis Hukum
Okun. Journal The Winners, 14(1), 1-12.
Ditjen Kebudayaan. (2022). IPK Provinsi Jawa Timur. https://ipk.kemdikbud.go.id/provinsi/17.
Diakses 19 Okteber 2023.
Febrianto. (2017). Daya Dukung Lingkungan Berbasis Ecological Footprint Di Kelurahan Tamangapa
Kota Makassar. Uin Alauddin Makassar.
Fiala, Nathan. (2008). Measuring sustainability: Why the ecological footprint is bad economics and
bad environmental science. Ecological Economics Volume 67, Issue 4, Pages 519-525.
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2008.07.023
Florian Schaefer, Ute Luksch, Nancy Steinbach, Julio Cabeça, Jörg Hanauer. (2006). Ecological
Footprint and Biocapacity: The world’s ability to regenerate resources and absorb waste in
a limited time period. European Communities: Luxembourg. ISBN 92-79-02943-6.
https://ec.europa.eu/eurostat/documents/3888793/5835641/KS-AU-06-001-EN.PDF
Frank et al. (2011). Harvesting the sun: New estimations of the maximum population of planet Earth.
Ecological Modelling, 222, 2019. DOI: 10.1016/j.ecolmodel.2011.03.030.
Frick, H., & Mulyani, T. H. (2006). Arsitektur Ekologis: Konsep Di Iklim Tropis, Penghijauan Kota
Ekologis, Serta Energi Terbarukan. Yogyakarta : Kanisius.
Galli et al. (2012). Integrating Ecological, Carbon and Water footprint into a “Footprint Family” of
indicators: Definition and role in tracking human pressure on the planet. Ecological
Indicators, 16.
Galli, A., Iha, K., Moreno, S., Serena, M., Alves, A., Zokai, G., Lin, D., Murthy, A., dan Wackernagel, M.
(2020): Assessing the Ecological Footprint and biocapacity of Portuguese cities: Critical results
for environmental awareness and local management, Cities, 96(February 2019), 102442.
https://doi.org/10.1016/j.cities.2019.102442
Geertz, Hildred. (1963). Indonesian cultures and communities. New Haven: HRAF P.
Halim, L.N., & Panjaitan, T. W. 2016. Perancangan Dokumen Hazard Identification Risk Assessment
control (HIRARC) Pada Perusahaan Furniture. Titra, Vol. 4, No. 2 : 279-284
Hasan, M., & Muhammad, A. (2018). Pembangunan Ekonomi & Pemberdayaan Masyarakat Strategi
Pembangunan Manusia Dalam Perpektif Ekonomi Lokal (Kedua). CV. Nur Lina.
IESR. (2022). Indonesia Energy Transition Outlook 2023. Tracking Progress of Energy Transition in
Indonesia: Aiming for Net-Zero Emissions by 2050.
33
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
IPCC (2014): Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to
the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing
Team, R.K. Pachauri and L.A. Meyer (eds.)], Geneva, Switzerland, 151 pp
Iskandar, A., & Subekan, A. (2018). Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter dan Fiskal Regional Terhadap
Inflasi Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Pembuktian Flypaper Effect di Era Desentralisasi
Fiskal di Sulawesi Selatan (Issue September). https://doi.ssrn.com/abstract=2937564
Jan Matuštík, Vladimír Kočí. (2021). What is a footprint? A conceptual analysis of environmental
footprint indicators. Journal of Cleaner Production, Volume 285, 2021, 124833, ISSN 0959-
6526, https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.124833
Januandari, M. U., Rachmawati, T. A., & Sufianto, H. (2017). Analisa Risiko Bencana Kebakaran
Kawasan Segiempat Tunjungan Surabaya. Jurnal Pengembangan Kota, 5(2), 149-158.
João-Pedro Ferreira, João Lourenço Marques, Sara Moreno Pires, Katsunori Iha, Alessandro Galli.
(2023). Supporting national-level policies for sustainable consumption in Portugal: A socio-
economic Ecological Footprint analysis. Ecological Economics Volume 205, ISSN 0921-8009,
https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2022.107687
Juhadi, J. (2007). Pola-pola pemanfaatan lahan dan degradasi lingkungan pada kawasan
perbukitan. Jurnal Geografi.
Kartodihardjo, H. 2022. Pertanian dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati. Diakses dari
https://www.forestdigest.com/detail/1964/keanekaragaman-hayati.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). 2015. Implementasi Kebijakan Ekonomi dan
Energi Nasional (Pertama). Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya
Mineral. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/KEI-
Implementasi_Kebijakan_Ekonomi_dan_Energi_Nasional.pdf
Kementerian Kesehatan. 2020. Infodatin Air Dan Kesehatan Tahun 2020. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2013). Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan.
Jakarta Timur: Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Deskripsi Peta Wilayah Ekoregion Indonesia.
Jakarta Pusat: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Ecological Footprint of Indonesia 2010. Jakarta: Direktorat
Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Kerinci Seblat National Park. (2018). Taman Nasional Kerinci Seblat Harapan Terakhir Habitat
Harimau Sumatera. Sungai Penuh, Jambi: Kerinci Seblat National Park.
Kharisma R, Purnomo H, Kuncahyo B. 2022. Ecological footprint and biocapacity analysis of upper
Cisadane Watershed. Journal of Natural Resources and Environmental Management, 12(2),
197-209. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.12.2.197-209.
Kitzes et al. 2008. Guidebook to the National Footprint Accounts: 2008 Edition. Oakland: Global
Footprint Network.
34
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Lane et al. 2013. The essential parameters of a resource-based carrying capacity assessment model:
An Australian case study. Ecological Modelling, 272: 220– 231.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2013.10.006.
Lestari, H. 2023. Kearifan Lokal Dalam Peningkatan Ketahanan Pangan di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Diakses pada 18 September 2023 dari
https://distan.babelprov.go.id/content/kearifan-lokal-dalam-peningkatan-ketahanan-
pangan-di-provinsi-kepulauan-bangka-belitung.
Małgorzata Świąder, David Lin, Szymon Szewrański, Jan K. Kazak, Katsunori Iha, Joost van Hoof,
Ingrid Belčáková, Selen Altiok. (2020). The application of ecological footprint and
biocapacity for environmental carrying capacity assessment: A new approach for European
cities. Environmental Science & Policy Volume 105, Pages 56-74, ISSN 1462-9011,
https://doi.org/10.1016/j.envsci.2019.12.010
Manafi et al. 2009. Aplikasi Konsep Daya Dukung Untuk Pembangunan Berkelanjutan Di Pulau Kecil
(Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia, 16(1), 63.
MANGOBAY Indonesia. (2019, Agustus 26). Jawa Timur Harus Siap, Hadapi Potensi Bencana.
MANGOBAY Situs Berita Lingkungan: https://www.mongabay.co.id/2019/08/26/Jawa Timur-
harus-siap-hadapi-potensi-bencana/
Marini, L., & Putri, N. T. (2020). Peluang Terjadinya Pengangguran Di Provinsi Jawa Timur : Seberapa
Besar? Convergence: The Journal of Economic Development, 1(2), 70–83.
https://doi.org/10.33369/convergence-jep.v1i2.10900
Maruf, M. 2023. Indonesia Negara Darurat Impor Pangan. Diakses pada 18 September 2023 dari
https://www.cnbcindonesia.com/research/20230704185303-128-451320/indonesia-
negara-darurat-impor-pangan.
Maryanti et al. (2016). The Urban Green Space Provision Using The Standards Approach: Issues And
Challenges Of Its Implementation In Malaysia, WIT Transactions on Ecology and The
Environment, Vol 210, WIT Press
Meadows, D., Randers, J., dan Meadows, D. (2005): Limits to Growth: The-30-Year Update, Earthscan,
London, 205
Monfreda et al. 2004. Establishing national natural capital accounts based on detailed Ecological
Footprint and biological capacity assessments. Land Use Policy, 21(3).
Muslim, M. R. (2014). Pengangguran Terbuka Dan Determinannya. Jurnal Ekonomi Dan Studi
Pembangunan Volume 15, Nomor 2, 15(2), 171–181.
http://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/download/1234/1292
Mutaali, L. (2011). Environmental Carrying Capacity Based On Spatial Planning. Indonesian Journal
of Geography, 43(2), 142–155.
35
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Nge, U., Maw, D., Tun, U. (1992). Norms and Standards of Education Facilities, Working Paper Series
no. 5,4, Ministry of Education/UNDP/UNESCO, Myanmar
Nirupama, N. (2013). Disaster Risk Management. In P. T. Bobrowsky (Ed.), Encyclopedia of Natural
Hazards (pp. 164–170). Netherlands: Springer.
Pambudhi et al. 2012. Estimasi Stok Karbon Hutan Dengan Menggunakan Citra Alos Avnir-2 Di
Sebagian Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Bumi Indonesia. 1.
Panjaitan et al. 2020. Impact of agriculture on water pollution in Deli Serdang Regency, North
Sumatra Province, Indonesia. Organic Agriculture, 10, 420. https://doi.org/10.1007/s13165-020-
00282-7.
Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat nomor 403/KPTS/2002 Keputusan Menteri Kipraswil 2002
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Polat, H. Ibrahim (2019). A Recommendation for Health Facility Areas in the Urban Planning,
Journal of Architecture and Construction Volume 2, Issue 1, 2019, PP 42-45 ISSN 2637-5796
Presiden Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Sekretariat Negara. Jakarta.
Rachman, A. 2023. RI Kaya Hasil Laut, Tapi Impor Ikan Bejibun dari China & AS. Diakses pada 08
September 2023 dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20230216082540-4-414202/ri-
kaya-hasil-laut-tapi-impor-ikan-bejibun-dari-china-as
Rahardja, P., & Manurung, M. (2019). Pengatar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi).
Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Rees, W. 1990. The ecology of sustainable development. Ecologist, 20(1).
Richard, G. (2002). Human carrying capacity of Earth. ILEA Leaf Winter 2022 Issue. Institute for
Lifecycle Environmental Assessment, Washington DC.
Santoso et al. (2014). Concept of Carrying Capacity: Challenges in Spatial Planning (Case Study of
East Java Province, Indonesia). Procedia–Sosial and Behavioral Sciences, 135: 130-135. DOI:
10.1016/j.sbspro.2014.07.336.
Silitonga, D. (2021). Pengaruh Inflasi Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Pada
Periode Tahun 2010-2020. ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis, 24(1), 2021.
36
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Skole, D. (1994). Data on Global Land-Cover Change: Acquisition, Assessment, and Analysis.
Dalam W. Meyer, & B. Turner (Penyunt.), Changes in Land Use and Land Cover: A Global
Perspective (Vol. II, hal. 437-471). Cambridge: Cambridge University Press.
Smith, A. (1776). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations. Knowledge and
Postmodernism in Historical Perspective, July 2016, 62–72. https://doi.org/10.2307/2221259
Statista (2018). Retail Space per Capita in Selected Countries Worldwide 2018,
Statista.com/statistics/10588552/retail-space-per-capita-selected-countires-worldwide/
Subekti, R.M dan Suroso, D.A. (2018). Ecological Footprint and Ecosystem Services Models: A
Comparative Analysis of Environmental Carrying Capacity Calculation Approach in
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 158.
https://dx.doi.org/10.1088/1755-1315/158/1/012026.
Supriyadi, Ramdan, F. (2017). Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko pada Divisi Boiler
Menggunakan Metode Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control (Hirarc).
Journal of Industrial Hygiene and Occupational Health. 1 (2). 161-177.
Suryo, Mahatma Sindu (2017). Analisia Kebutuhan Luas Minimal Pada rumah Sederhana Tapak di
Indonesia. Jurnal Permukiman Vol. 12 no. 2 November 2017: 116-123
Susanto, D. et al. (2022). The Minimum Space Standard: Proposing New House Floorplan on Dwelling
Activities in Greater Jakarta Region, Indonesia, Urban, Planning And Transport Research
2022, VOL. 10, NO. 1, 372–395
Świąder M, Szewrański S and Kazak JK (2020) Environmental Carrying Capacity Assessment—the
Policy Instrument and Tool for Sustainable Spatial Management. Front. Environ. Sci.
8:579838. https://doi.org/10.3389/fenvs.2020.579838
Świąder M, Szymon Szewrański, Jan K. Kazak, Joost Van Hoof, David Lin, Mathis Wackernagel, and
Armando Alves. (2018). Application of Ecological Footprint Accounting as a Part of an
Integrated Assessment of Environmental Carrying Capacity: A Case Study of the Footprint of
Food of a Large City. Resources 7. https://doi.org/10.3390/resources7030052
Taradini, J. 2018. Pemodelan Alokasi Spasial Penutup/Penggunaan Lahan Berdasarkan Daya Dukung
Lingkungan Hidup Sebagai Skenario Perencanaan (Wilayah Studi: Pulau Jawa, Indonesia).
Institut Teknologi Bandung.
TFCA-Sumatera. (2020). Ekosistem Kerinci Seblat. Tropical Forest Conservation Action¬-Sumatra
(TFCA-Sumatera): https://tfcasumatera.org/bentang_alam/ekosistem-kerinci-seblat/
TFCA-Sumatera. (2020). Taman Nasional Bukit Barisan. Tropical Forest Conservation Action¬-
Sumatra (TFCA-Sumatera): https://tfcasumatera.org/bentang_alam/taman-nasional-bukit-
barisan-selatan/
The SDGs Wedding Cake. www.stockholmresilience.org. Retrieved 12 July 2022.
UN Environment, dan UNEP (2012): Global Environment Outlook 5 - Environment for the Future We
Want, United Nations Environment Programme (UNEP), Nairobi, Kenya, 550 pp.
UN. (2002). Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Geneva: United
Nations/Inter-Agency Secretariat of the International Strategy for Disaster Reduction
37
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
United Nations. (2012). Initial input of the Secretary-General to the Open Working Group on
Sustainable Development Goals. 64538(December 2012).
USAID. (2010). Urban Governance and Community Resilience Guides-Risk Assessment in Cities
(book 2). Asian Disaster Preparedness Center-United State Agency International
Development.
Wackernagel, M., J. Kitzes. (2008). Ecological Footprint. Encyclopedia of Ecology: Academic Press
Halaman 1031-1037, ISBN 9780080454054, https://doi.org/10.1016/B978-008045405-
4.00620-0
Wackernagel, M., Lin, D., Hanscom, L., Galli, A., dan Iha, K. (2019): Ecological Footprint, Encyclopedia
of Ecology, 4(March 2018), 270–282. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-409548-9.09567-1
Wackernagel, M., Lin, David. (2019). Ecological footprint accounting and its critics. GreenBiz:
Oakland, California. https://www.greenbiz.com/article/ecological-footprint-accounting-
and-its-critics diakses 8 Agustus 2023
Wackernagel, M., Rees, W. (1996). Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth.
New Society Publishers, Gabriola Island.
Wang et al. 2022. Identification of Priority Areas for Improving Urban Ecological Carrying Capacity:
Based on Supply–Demand Matching of Ecosystem Services. Land 2022, 11, 698.
https://doi.org/10.3390/land11050698.
WHO (2016). Urban Green Spaces and Health: A Review of Evidence, WHO Regional Office for Europe,
Denmark
Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., Davis, I. (2004). At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability and
Disaster. London: Routledgemusabbe
World Wide Fund For Nature. (2006). Living Planet Report. Cambridge: A BANSON Production.
38
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
5 LAMPIRAN
5.1.1 Literatur
5.1.1.1 Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup: Ukuran Keseimbangan antara
Penyediaan Sumber Daya Alam dan Kebutuhan Manusia
Dinamika global mempengaruhi perkembangan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik.
Sebagai contoh adalah pertambahan populasi penduduk di kawasan perkotaan dan peri urban
akibat fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Terjadinya perubahan pemanfaatan lahan yang
pesat serta eksploitasi alam mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Salah
satunya adalah isu perubahan iklim yang mempengaruhi tatanan pengelolaan lingkungan hidup
saat ini. Indonesia adalah negara kepulauan di daerah tropis dan sangat rentan terhadap ancaman
perubahan iklim. Dalam upaya merespons terhadap isu tersebut maka perlu dilakukan pendekatan
melalui penilaian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH).
Pembangunan wilayah harus memperhatikan ketahanan lingkungan hidup sebagai
respons terhadap ancaman global. Untuk mencegah risiko kerusakan lingkungan hidup, perlu
adanya upaya untuk menghubungkan antara prinsip pemerataan dan keberlanjutan.
Pembangunan keberlanjutan pertama kali didefinisikan oleh Brundtland Commission atau World
Commission on Environment and Development (1987), yaitu pembangunan yang memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhan mereka sendiri. Sehingga seiring berjalannya waktu, pembangunan wilayah dengan
prinsip berkelanjutan telah menjadi komitmen di berbagai negara guna menciptakan
pengharmonisasian antara alam dan manusia (Wackernagel et al, 2019; Fu et al, 2015 dalam
Kharisma et al, 2022). Akan tetapi dalam praktikalnya, pembangunan lebih banyak memberikan
efek paradoks berupa degradasi lingkungan karena mengejar pertumbuhan ekonomi (Subekti dan
Suroso, 2018).
Agar pembangunan dapat menjamin kualitas hidup yang baik bagi masyarakat, perlu
adanya sinergi antara tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta kebijakan pemerintah. Hal ini
dapat tergambarkan melalui konsep D3TLH sebagai ambang batas dalam menjamin keberlanjutan
suatu wilayah. Merujuk pada Tabel 3-1, D3TLH memiliki posisi sebagai indikator penting yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan,
hingga pengelolaan sumber daya alam.
Peran penting D3TLH terhadap keberlanjutan wilayah juga tergambarkan sebagai salah
satu instrumen lingkungan hidup untuk menunjukkan upaya terciptanya kondisi lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Tujuan tersebut menjadi bagian dari hak asasi manusia yang diamanatkan
dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945. D3TLH mampu menunjukkan kemampuan
lingkungan hidup terkait keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan. Dimana
kemampuan tersebut mampu mendukung perikehidupan manusia terkait keselamatan, mutu
hidup, dan kesejahteraan manusia. Dengan kata lain, D3TLH memperkuat aspek environmental and
social safeguard dalam perencanaan yang ingin dilakukan ke depannya.
39
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Kemampuan lingkungan hidup dimaksudkan untuk ketersediaan aset sumber daya alam
(SDA) di dalamnya. Berdasarkan klasifikasi oleh Miller (1990), SDA terbagi menjadi tiga jenis, yaitu
perpetual resources (sumber daya yang selalu tersedia/terbarukan), potentially renewable (sumber
daya yang berpotensi terbarukan), dan non-renewable resources (sumber daya tidak terbarukan).
Apabila dibandingkan dengan kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan papan) manusia, kondisi
SDA potensi terbarukan yang secara langsung terpengaruh. Adapun SDA Potensi Terbarukan yang
dimaksud adalah air, udara, lahan, laut, dan keanekaragaman hayati (kehati). Namun, pada
penentuan D3TLH ini hanya berdasarkan tiga SDA meliputi air, lahan, dan keanekaragaman hayati
(kehati).
Diantara ketiga SDA tersebut, lahan adalah yang paling penting bagi keberlanjutan
keseluruhan lingkungan hidup karena mampu mempengaruhi kuantitas maupun kualitas air dan
kehati. Lahan juga memiliki perubahan yang cukup dinamis. Perencanaan penggunaan lahan yang
optimal dapat lebih mudah menjaga keseimbangan antara supply dan demand (Wang et al, 2022).
Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Subekti dan Suroso (2018),
pendekatan Jejak Ekologis dari sembilan pendekatan lainnya yang paling memenuhi semua kriteria
untuk menghitung D3TLH dengan lahan menjadi unit analisisnya. Adapun lahan yang dimaksud
adalah penutupan lahan sebagai bagian dari biogeofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati.
Penutupan lahan mengalami sistem klasifikasi yang akan berkaitan dengan penggunaan lahan atau
penutupan lahan yang dimanfaatkan (Taradini, 2018).
Kondisi ketiga SDA pada D3TLH berkaitan erat dengan jasa ekosistem yang yang
diasumsikan nilainya berbanding lurus, yaitu semakin tinggi nilai jasa ekosistem, maka semakin
tinggi daya dukung lingkungannya. Terminologi jasa ekosistem diadopsi di Indonesia menjadi jasa
lingkungan hidup yang dimodelkan sebagai hasil perpaduan dari proses alami dan faktor manusia
mencakup sosial, ekonomi, dan budaya di dalamnya. Dengan kata lain, jasa lingkungan hidup
menghasilkan nilai manfaat bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam penilaiannya, jasa
lingkungan hidup mengacu pada lanskap atau ekoregion dan penutupan lahan. Hasilnya yang
berupa indeks kemudian digunakan sebagai dasar untuk pemetaan D3TLH.
D3TLH tentunya tidak dapat lepas dari aktivitas manusia sebagai makhluk sosial dan
memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan ekonomi. Hal ini dikarenakan segala aktivitas manusia
mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas lingkungan hidup. Padahal
idealnya kegiatan ekonomi menyesuaikan dengan peruntukkan pemanfaatan SDA yang
direncanakan. Terlebih dalam UU 32/2009, apabila Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
menyatakan D3TLH telah terlampaui, maka perlu dilakukan perubahan kebijakan/rencana
pembangunan, serta segala usaha atau kegiatan yang melebihi ambang batas D3TLH tidak
diperbolehkan lagi.
Dukungan D3TLH terhadap kesejahteraan, keselamatan, dan mutu hidup serta
terpenuhinya kebutuhan terhadap ketersediaan sumber daya alam dapat meningkatkan
kapabilitas manusia dalam menghadapi kondisi kerentanan. Adapun kerentanan yang dimaksud
meliputi: (1) keselamatan dalam menghadapi kekeringan, kelangkaan air, banjir, maupun bahaya
lainnya yang berimplikasi pada ketersediaan pangan sebagai kebutuhan paling dasar setelah air
dalam tatanan kehidupan; (2) mutu hidup dalam keterjaminan kualitas manusia dan kekayaan
40
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
budaya dari jasa lingkungan hidup; serta (3) kesejahteraan dalam menikmati utilitas hidup yang
maksimal melalui perekonomian yang aman.
Sebagaimana uraian di atas, D3TLH dapat memberikan ambang batas atau rambu guna
menjamin keberlanjutan suatu wilayah. Dengan kata lain, menurut Manafi et al (2009),
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam sangat ditentukan dari tingkat pemanfaatan yang
tidak melebihi daya dukungnya. Perlu dipahami bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan
tentunya memiliki nilai D3TLH yang berbeda-beda. Perbedaan mencolok berada di pulau-pulau
kecil dikarenakan karakteristik ekosistemnya dengan keanekaragaman hayati endemik dan risiko
lingkungan yang tinggi. Hal tersebut berimplikasi terbatasnya daya dukung pulau seperti
ketersediaan air dan tanaman pangan sehingga sangat rentan terhadap segala bentuk perubahan
baik dari faktor alam maupun manusia.
D3TLH dinilai urgensi untuk ditentukan dan ditetapkan sebagai target utama pelestarian
fungsi lingkungan hidup bagi pulau/kepulauan di Indonesia. Terlebih bagi pulau-pulau kecil yang
sebagian besar kawasan tertinggal, sarana dan prasarana yang masih terbatas, serta kurangnya
keberpihakan pemerintah sehingga pengelolaan sumber daya alamnya belum kuat dari penegakan
hukum dan saling terintegrasi terhadap lintas sektor di pusat. Nilai D3TLH yang berkaitan dengan
ketersediaan jasa lingkungan hidup sebagian besar dipengaruhi oleh ekoregion.
Ekoregion adalah sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air,
flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem alam dan lingkungan hidup (KLHK, 2020). Ekoregion juga dapat dipahami sebagai konsep
unit karakter lahan yang berperan sebagai penciri sifat dan faktor pembatas (constraint). Dimana
ekoregion mampu memberikan gambaran potensi jasa lingkungan hidup sebagai dasar
pengelolaan wilayah yang menyesuaikan dengan daya dukung dan daya tampungnya. Ekoregion
antar wilayah di Indonesia pun berbeda didasarkan pada karakteristik bentang alam diwakili oleh
aspek morfologi maupun morfogenesa lahan dan vegetasi alami diwakili oleh tingkat
keanekaragaman hayati. Interaksi kedua karakteristik tersebut yang kemudian turut mempengaruhi
pola budaya masyarakat yang bermukim di setiap pulau/kepulauan.
Melalui pendekatan ekoregion dalam D3TLH mampu memastikan terjalinnya penguatan
koordinasi horizontal antar wilayah sesuai batas administrasi. Koordinasi yang bersifat saling
bergantung juga antara kawasan hulu dan hilir dapat mempengaruhi pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup yang di dalamnya mengatur persoalan pemanfaatan dan
pencadangan sumber daya alam, serta permasalahan lingkungan hidup. Selain itu, dikarenakan
letak geografisnya, kondisi D3TLH di Indonesia secara tidak langsung berkontribusi terhadap isu
global seperti perubahan iklim.
Adapun poin utama kontribusi Indonesia adalah keanekaragaman hayati yang tinggi
melalui keberadaan kawasan hutan. Berdasarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)
2011-2030, cakupan luas kawasan hutan di daratan sebesar 120 juta hektar dan laut sebesar 5 juta
hektar. Indonesia memiliki banyak hutan hujan tropis yang termasuk jenis hutan penyerap dan
penyimpan ratusan miliar ton karbon akibat keberagaman jenis dan kerapatan vegetasinya
(Pambudhi et al, 2012). Hal ini menyebabkan Indonesia berpotensi sebagai pemilik cadangan
karbon terbesar dengan 75-80% dari total stok di dunia. Dikarenakan potensi itulah menjadikan
41
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Indonesia juga berpotensi sebagai carbon offset superpower di dunia melalui perdagangan karbon
sukarela secara global.
Dikutip dari website goodnewsfromindonesia.id, sumbangan kawasan hutan terluas
Indonesia berada di Pulau Kalimantan dan Papua. Namun kecenderungan kinerja jasa lingkungan
hidup pengatur air periode tahun 1996-2020 menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut terindikasi
mengalami penurunan. Hal ini terutama disebabkan alih fungsi lahan dari hutan lahan kering
primer menjadi sekunder atau bekas tebangan sekitar 2–3 juta hektar pada masing-masing wilayah.
Menyambung dengan penentuan D3TLH ini, hutan lahan kering primer merupakan salah satu
bagian dari kawasan lindung /konservasi yang tetap dipertahankan dalam pengalokasian lahan
untuk kebutuhan fisiologis manusia.
Biokapasitas memiliki arti sempit sebagai ketersediaan (supply) dan kapasitas (capacity)
lingkungan hidup untuk memasok sumber daya alam. Menurut Ecological Footprint of Indonesia
(2010), biokapasitas merupakan kapasitas ekosistem untuk menghasilkan bahan biologis yang
berguna dan untuk menyerap bahan buangan (limbah) yang dihasilkan oleh kegiatan manusia
dengan menggunakan skema pengelolaan dan teknologi ekstraksi yang dikuasai saat ini. Kondisi
biokapasitas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain produktivitas tanah, ketersediaan air,
kemampuan menyerap karbon dan menetralisir polutan, serta ketersediaan keanekaragaman
hayati. Dalam hal ini, biokapasitas berfungsi untuk menyedikan jasa ekosistem (lingkungan hidup)
yang dapat dapat dimanfaatkan.
Galli et al (2012) menyatakan biokapasitas adalah nilai yang dinyatakan dalam satuan bagi
suatu daerah yang diperlukan untuk menyediakan atau regenerasi ekosistem setiap tahunnya.
Mengetahui biokapasitas secara tidak langsung memperoleh faktor pembatas pembangunan dan
ekonomi agar tidak melebihi kemampuan lingkungan hidup (Borucke et al., 2012). Melalui
penelitian National Footprint Accounts yang dilakukan selama 47 tahun (1961-2008), pada skala
dunia menunjukkan kondisi biokapasitas yang mengalami penurunan.
Sedangkan kondisi biokapasitas di Indonesia dijelaskan melalui National Footprint Account
2017 dalam Subekti dan Suroso (2018). Hasilnya menujukkan bahwa biokapasitas Indonesia
periode 1961-2013 terus menurun dengan gap tertinggi berada di antara tahun 1961-1985
sedangkan jejak ekologisnya fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Hingga saat ini melihat
maraknya alih fungsi lahan dan kegiatan perekonomian yang eksploitasi besar-besaran sudah
dipastikan kondisi biokapasitas semakin menurun sehingga mempengaruhi daya dukung
lingkungan hidup.
Pada keseimbangan sumber daya alam, biokapasitas disebut sebagai mitra dari jejak
ekologis yang digunakan untuk menghitung permintaan atau kebutuhan dari makhluk hidup.
Sehingga dalam melacak biokapasitas diperlukan mengetahui tren pola konsumsi dan
pengalokasian barang yang dihasilkan dari penutupan lahan. Adapun penutupan lahan yang dapat
42
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
diukur dalam biokapasitas adalah wilayah bioproduktif. Wilayah bioproduktif diartikan sebagai
lahan teoretis dengan terdapat produktivitas biologis dan dijadikan sebagai ambang batas
(Febrianto, 2017; Monfreda et al, 2004; Wackernagel dan Rees, 1996).
Kapasitas lahan bioproduktif ditentukan melalui nilai ekuivalen yang dikeluarkan oleh
Global Footprint Network melalui The Underlying Calculation Method. Nilai ekuivalen ini merupakan
faktor untuk dalam konversi produktivitas satu hektar lahan tertentu ke dalam produktivitas rata-
rata dunia, yakni dalam satuan hektar (G). Berikut adalah nilai ekuivalen pada masing-masing lahan
bioproduktif.
Tabel 5-1 Faktor Ekuivalen pada Lahan Bioproduktif
43
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
1. Lahan pertanian mewakili produktivitas gabungan dari semua lahan yang ditujukan untuk
menanam tanaman
2. Lahan terbangun selalu memiliki nilai biokapasitas yang sama dengan jejak ekologisnya
dikarenakan setiap pembukaan lahan baru akan disertai dengan pertumbuhan lahan
terbangun
3. Lahan Serapan Karbon tidak memiliki biokapasitas atau bernilai nol. Bersumber dari
asumsi bahwa seluruh penyerapan karbon merupakan kebutuhan biokapasitas lahan
hutan. Sehingga nilai biokapasitas pada lahan penyerap karbon dijadikan tambahan bagi
lahan hutan.
Oleh karena itu, luas penutupan lahan merupakan salah satu syarat mutlak dalam
perhitungan biokapasitas yang dipengaruhi dengan produktivitas pada masing-masing penutupan
lahan. Dalam kaitannya penutupan lahan, tidak dapat terlepas dari penggunaan lahan. Menurut
Skole (1994), penutupan lahan yang dimanfaatkan oleh manusia untuk aktivitas produksi dari faktor
sosial-ekonomi disebut dengan penggunaan lahan. Sehingga penutupan lahan yang menjadi lahan
bioproduktif akan mencakup turunan jenis sesuai penggunaannya. Biokapasitas pada penentuan
D3TLH Provinsi merujuk pada pendefinisian tersebut dengan ada penyesuaian klasifikasi
penutupan lahan berdasarkan ketersediaan data dan pemilihan metodologi. Perbedaan ini
akan dijelaskan subbab 4.1 di keterbatasan data dan metodologi.
Biokapasitas sebagai kunci dalam lingkungan yang akan mempengaruhi pembangunan
suatu wilayah ke depannya. Seperti yang diketahui, pembangunan lebih banyak menyebabkan
degradasi lingkungan dikarenakan umumnya menekan pada kemajuan ekonomi. Dimana dalam
prosesnya menyebabkan alih fungsi lahan hingga pembukaan kawasan hutan. Menurut Living
Planet Report (2006) yang dikeluarkan oleh World Wide Fund for Nature, perbandingan antara
biokapasitas (penyediaan) dan jejak ekologis (kebutuhan) mampu mencerminkan daya dukung
44
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
lingkungan hidup (carrying capacity). Perbandingan tersebut akan menghasilkan dua status
meliputi:
1. Defisit Ekologis diartikan daya dukung lingkungan hidup telah terlampaui dan tidak
berkelanjutan apabila biokapasitas lebih kecil dari jejak ekologis
2. Surplus Ekologis diartikan daya dukung lingkungan hidup belum terlampaui dan
berkelanjutan apabila biokapasitas lebih besar dari jejak ekologis
Kondisi idealnya tentu Surplus Ekologis yang menunjukkan bahwa dalam memenuhi
kebutuhannya, penduduk sudah mampu memperhatikan daya dukung sebagai ambang batas dari
lingkungan hidup. Kemampuan penduduk terlihat dengan aktivitas pemanfaatan sumber daya
alam tidak lagi bersifat destruktif dan ekspoitasi yang berlebihan yang mengancam terjadinya
degradasi. Kondisi ideal juga menunjukkan bahwa lingkungan hidup terjamin keberlanjutannya
sehingga tidak membutuhkan impor sumber daya maupun rekayasa teknologi. Adapun
keberlanjutan yang dimaksud adalah terbentungnya cadangan sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan hingga di masa mendatang.
Brundtland Report (1987) mengasumsikan bahwa dari jumlah total luasan biokapasitas,
hanya sebesar 12% diperuntukkan bagi makhluk hidup lain (selain manusia) atau untuk
keanekaragaman hayati. Sehingga jumlah yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sebesar 88% dari
jumlah total biokapasitas. Biokapasitas seharusnya mampu memenuhi kebutuhan suatu wilayah
secara mandiri, namun pada kenyataannya dengan maraknya aktivitas illegal menyebabkan tidak
semuanya terserap. Selain itu, terkadang sumber daya alam tersebut lebih didahulukan untuk
kegiatan ekspor sehingga turut menyebabkan kondisi daya dukung lingkungan hidup yang Defisit
Ekologis. Di lain pihak, Defisit Ekologis apabila secara murni dikarenakan kekurangan biokapasitas
akan mengurangi potensi ekspor dan meningkatkan impor yang akan mempengaruhi
perekonomian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa biokapasitas bersama jejak ekologis membantu
evaluasi keberlanjutan praktik manusia.
Jejak ekologis adalah konsep penting dalam ilmu lingkungan, secara luas diteliti dalam
berbagai karya ilmiah selama dua dekade terakhir. Jejak ekologis diperkenalkan oleh Wackernagel
dan Rees (1996) sebagai ukuran sederhana keberlanjutan konsumsi populasi. Berfungsi sebagai alat
ukur, konsep ini mengukur sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan barang konsumsi
oleh individu atau populasi (Fiala, 2008). Secara signifikan, jejak ekologis berperan sebagai
instrumen yang kuat untuk mengukur pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan, dengan
kata lain dapat juga untuk mengevaluasi keberlanjutan pola konsumsi manusia. Prinsip dasarnya
menekankan bahwa setiap usaha manusia memiliki dampak ekologis, yang dapat diukur dalam hal
sumber daya alam yang diperlukan untuk mendukung aktivitas tersebut.
Konsep jejak ekologis ini memainkan peran sentral dalam menggambarkan area-area di
mana aktivitas manusia menunjukkan ketidakberlanjutan. Dengan mengidentifikasi titik-titik kritis
di mana keseimbangan antara konsumsi sumber daya dan pemulihan lingkungan terancam, strategi
dapat dirumuskan untuk mengurangi dampak merugikan dari tindakan manusia (Matustik dan
Koci, 2021). Strategi tersebut dapat meliputi pergeseran menuju penggunaan sumber daya yang
lebih efisien, adopsi teknologi ramah lingkungan, dan promosi inisiatif konservasi.
45
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Penerapan konsep ini mungkin merupakan konsep yang paling relevan untuk diterapkan di
masa yang penuh keprihatinan lingkungan. Saat dampak antropogenik terhadap planet semakin
mencolok, jejak ekologis berfungsi sebagai sebuah peringatan untuk tindakan proaktif guna
mencegah ketidakseimbangan ekologis. Konsep ini dapat bertindak sebagai kompas, membimbing
para pembuat kebijakan, peneliti, dan pemangku kepentingan menuju intervensi terarah untuk
meredakan tekanan terhadap lingkungan dan mendorong keberlanjutan bersama (Fereira et all,
2023).
Oleh karena itu, jejak ekologis adalah sebuah ukuran seberapa bergantungnya manusia
terhadap sumber daya alam dan mengindikasikan jumlah tekanan yang manusia berikan pada
sumber daya alam yang tersedia bagi mereka. Konsep ini dapat membantu menilai keberlanjutan
dari aktivitas manusia dan dampaknya terhadap lingkungan. Dengan memahami dan mengurangi
jejak ekologis, kita dapat berkontribusi pada perlindungan lingkungan dan menjaga kapasitas
lingkungan dan manusia yang berkelanjutan.
Terdapat beberapa cara untuk menghitung jejak ekologis seseorang, diantaranya adalah
dengan menggunakan platform perhitungan jejak ekologis yang dikeluarkan oleh EcoOnline,
ClimateHero, Greenly.Earth, dan TreeHugger.com. Dari berbagai platform tersebut, beberapa
langkah umum untuk menghitung jejak ekologis dalam membantu individu mengukur dan
mengurangi dampak lingkungan mereka antara lain:
1. Langkah pertama dalam menghitung jejak ekologis adalah menentukan luas lahan dan air
produktif biologis yang diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikonsumsi
serta menyerap limbah yang dihasilkan oleh individu, komunitas, atau negara tertentu.
Pada langkah ini, berbagai faktor seperti emisi karbon dioksida, penggunaan lahan
pertanian untuk bercocok tanam, atau hutan untuk produksi kayu, dan faktor-faktor
lainnya diperhitungkan.
2. Langkah kedua melibatkan perhitungan total luas area yang diperlukan dengan
menjumlahkan luas berbagai jenis lahan dan air yang berbeda.
3. Langkah ketiga mengajukan perbandingan antara total luas area yang diperlukan dengan
biokapasitas yang tersedia, yaitu area produktif dari daratan dan laut yang dapat
meregenerasi sumber daya dan menyerap limbah yang dihasilkan.
4. Langkah terakhir adalah mengungkapkan hasil perhitungan dalam satuan luas (hektar). Hal
ini memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang dampak konsumsi sumber daya dan
produksi limbah dalam skala global.
Dalam perkembangan teknologi informasi, beberapa peran kalkulator jejak ekologis telah
menjadi alat yang berharga bagi seseorang yang ingin memahami dampak lingkungan dari gaya
hidup mereka. Salah satu contoh adalah kalkulator yang disediakan oleh ClimateHero1. Dalam
simulasi tersebut, akan ada beberapa pertanyaan sederhana tentang gaya hidup ekologis, seperti
transportasi, makanan, dan perumahan, dan memberikan umpan balik tentang apa yang sudah
dilakukan pengguna dengan baik serta saran untuk mengurangi jejak ekologis mereka dan hidup
lebih ramah lingkungan.
1
https://ecological-footprint-calculator.climatehero.me
46
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Secara keseluruhan, penghitungan jejak ekologis melibatkan penentuan luas lahan dan air
produktif biologis yang diperlukan untuk produksi barang dan jasa serta penyerapan limbah yang
dihasilkan, perbandingan dengan biokapasitas yang tersedia, dan pengungkapan hasil perhitungan
dalam hektar global atau dengan jumlah Bumi yang dibutuhkan. Kalkulator jejak ekologis
membantu individu menghitung jejak ekologis mereka dan memberikan saran untuk mengurangi
dampak lingkungan.
Studi lain terkait dengan luasan rumah sehat sederhana dilakukan oleh Pusat Litbang
Permukiman tahun 2011 berdasarkan antropometri orang Indonesia. Studi tersebut menghasilkan
nilai luasan kebutuhan ruang berdasarkan kenyamanan ruang gerak dengan variabel antara lain:
47
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Dari studi tersebut, diperoleh luasan minimal rumah sederhana adalah 47,56 m2 atau 11,89
m2 per jiwa (asumsi 1 keluarga terdiri atas 4 orang). Selain Indonesia, beberapa negara juga memiliki
standar kebutuhan ruang untuk rumah tinggal sederhana, baik di Asia, Eropa, maupun Australia.
Setiap negara memiliki standar yang berbeda dan digunakan sebagai acuan dalam merancang
rumah. Berikut adalah standar luas lantai per jiwa untuk rumah sederhana dari beberapa negara:
Tabel 5-3 Standar Kebutuhan Luas Lantai Per Jiwa Rumah Sederhana Internasional
Perbandingan dari tabel di atas dapat dilihat bahwa standar luas ruang per orang untuk
rumah sederhana di Indonesia cukup terbatas. Sedangkan negara yang memiliki standar luas ruang
untuk rumah sederhana yang paling besar adalah Jerman, yaitu 55 m2/jiwa.
2. Standar Kebutuhan Ruang Publik
Perhitungan kebutuhan ruang publik di Indonesia mengikuti acuan yang dibuat oleh
SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Standar
tersebut membagi jenis ruang-ruang publik, antara lain (1) sarana ruang terbuka, taman dan
lapangan olahraga, (2) sarana budaya dan rekreasi, (3) sarana perdagangan dan niaga, (4) sarana
peribadatan, (5) sarana kesehatan, dan (6) sarana Pendidikan dan pembelajaran. Setiap jenis ruang
48
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
publik memiliki ukuran luasan (m2/jiwa) yang berbeda-beda. Standar ukuran luasan ruang dapat
dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 5-5 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional
Selain Indonesia, negara-negara lain juga memiliki standar kebutuhan ruang publik. Bahkan
organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO) dan UNESCO juga mengeluarkan
standar kebutuhan ruang sebagai rekomendasi dalam perencanaan dan menjaga kualitas
lingkungan. Jenis ruang publik yang memiliki standar internasional antara lain, sarana ruang
terbuka hijau, sarana budaya dan rekreasi, sarana perdagangan dan niaga, sarana kesehatan, dan
sarana Pendidikan. Ukuran standar pada setiap negara berbeda-beda karena menyesuaikan dengan
kondisi geografi, fisik, kebutuhan masyarakat, faktor sosial, ekonomi dan faktor-faktor lainnya.
Umumnya, negara-negara di Amerika, Eropa dan Australia memiliki standar kebutuhan ruang yang
lebih besar dibandingkan negara-negara Asia, khususnya Indonesia. Sebagai contoh kebutuhan
sarana perdagangan dan jasa di Amerika Serikat adalah 2.18 m2/jiwa, sedangkan SNI
merekomendasikan sebesar 0.3 – 0,5 m2/jiwa. Pada standar sarana kesehatan, Inggris memiliki
standar sebesar 1.71 m2/jiwa, Jerman 0.82 m2/jiwa, dan Pakistan 0,7 m2/jiwa. Sedangkan SNI
merekomendasikan kebutuhan ruang sarana kesehatan sebesar 0,006 – 0,12 m2/jiwa. Dari
perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa kebutuhan ruang publik di Indonesia berdasarkan SNI
masih cukup kecil.
3. Sarana Ruang Terbuka, Taman, dan Lapangan Olahraga
Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan memiliki peran peting untuk
memastikan bahwa setiap masyarakat memiliki akses dalam menggunakan ruang hijau perkotaan
dalam beraktivitas sebagai bagian untuk memenuhi kebutuhan sosial terutama di daerah perkotaan
dengan kepadatan tinggi. Penyediaan ruang hijau perkotaan sangat penting untuk meningkatkan
kualitas hidup karena ruang terbuka hijau memiliki berbagai manfaat seperti aspek sosial,
lingkungan, ekonomi dan estetika kehidupan perkotaan dan sekitarnya. Oleh karena itu,
penyediaan ruang hijau perkotaan diperlukan untuk menciptakan kota yang layak huni dan
mendorong pembangunan perkotaan menuju kerangka keberlanjutan.
Ruang hijau perkotaan memiliki banyak manfaat antara lain menjaga ekosistem lingkungan
sekitar yang memiliki kaitan dengan tanaman dan hewan, menyediakan udara yang lebih bersih,
memungkinkan air meresap ke dalam tanah, dan mengurangi dampak gelombang panas. Selain itu,
ruang terbuka hijau juga memberikan dampak positif terhadap aktivitas fisik, kesejahteraan sosial
dan psikologis, mengurangi polusi udara dan suara (kebisingan) (WHO, 2016). Pemerintah kota
memiliki kewajiban untuk menyediakan ruang hijau yang berkualitas bagi Masyarakat baik dari
ketersediaan, hingga pemeliharaan dan pengelolaan. Pemanfaatan ruang hijau di kawasan
49
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
perkotaan juga perlu dibarengi dengan faktor keamanan, kenyamanan, dan kemudahan
aksesibilitas. Setiap negara memiliki standar ruang terbuka hijau yang berbeda-beda. WHO
merekomendasikan standar sebesar 9 m2/jiwa di kawasan perkotaan (Maryanti et al., 2016;
https://urban.jrc.ec.europa.eu/thefutureofcities/space-and-the-city#the-chapter).
Di Indonesia, pemerintah membuat Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1733-2004) yang
mengatur ukuran ruang terbuka, taman dan fasilitas olahraga di kawasan perkotaan. Berdasarkan
rekomendasi SNI 2004, standar ruang hijau adalah 0,2 – 1 m2/jiwa. Ukuran ruang terbuka hijau ini
cukup kecil apabila dibandingkan dengan standar dari WHO dan kebutuhan ruang hijau untuk
meminimalkan dampak polusi udara dan suara di kawasan perkotaan.
4. Sarana Budaya dan Rekreasi
Pertumbuhan kota yang pesat mendorong perencanaan beragam sarana, salah satunya
terkait dengan rekreasi. Sarana rekreasi dapat dibagi atas dua jenis, yaitu aktif dan pasif. Sarana
rekreasi aktif memiliki karakteristik dimanfaatkan oleh aktivitas fisik seperti permainan aktif anak,
pertunjukan seni dan budaya, pameran, dan lainnya. Sedangkan sarana rekreasi pasif aktivitas fisik
terbatas, seperti membaca, mengamati orang, melukis, membuat kerajinan, menonton film, dan
lainnya. Perencanaan sarana rekreasi menjadi prioritas dalam perencanaan kawasan karena
banyak memberikan hasil positif bagi masyarakat. Di Amerika Serikat, sarana rekreasi memiliki
standar ukuran antara 0.09 - 0.18 m2/jiwa sedangkan di Australia sebesar 28 m2/jiwa.
Standar sarana rekreasi di Indonesia berdasarkan SNI 03-1733-2004 sebesar 0.017 – 0,12
m2/jiwa. Jenis sarana kebudayaan dan rekreasi yang dijelaskan dalam standar SNI 2004 antara lain
balai pertemuan, balai serbaguna, gedung serbaguna, dan gedung bioskop. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa gedung dari sarana ini juga dapat digunakan sebagai bangunan sarana pemerintahan dan
pelayanan umum (SNI, 2004).
5. Sarana Perdagangan dan Niaga
Kebutuhan ruang untuk sarana perdagangan dan niaga di setiap negara memiliki
perbedaan ukuran. Salah satu negara yang memiliki ukuran sarana perdagangan dan niaga
(khususnya mall/ pusat perbelanjaan modern) adalah Amerika Serikat (1.97 m2/jiwa) dan Kanada
(1,41 m2/jiwa), sedangkan ukuran pusat perbelanjaan di Inggris hanya 0.42 m2/jiwa (Baker
Consulting, 2018). Adanya perbedaan ukuran sarana perdagangan dan niaga terkait dengan sistem
perencanaan di masing-masing negara. Di Amerika Serikat, sistem perencanaan bersifat terbuka
terhadap investasi dan pembangunan, sedangkan di Inggris sistem perencanaan berusaha untuk
melindungi pemilik pertokoan kecil dengan membatasi pembangunan pusat perbelanjaan di
daerah padat penduduk (ibid).
Di Indonesia, standar sarana perdagangan dan niaga diatur dalam SNI 03-1733-2004. Dalam
standar tersebut, dijelaskan rekomendasi luasan untuk toko/warung hingga pusat perbelanjaan
skala besar. Namun SNI 2004 tidak memberikan standar ukuran untuk pasar tradisional yang
merupakan tempat perbelanjaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam SNI
direkomendasikan ukuran sarana perdagangan dan niaga sebesar 0.3-0.5 m2/jiwa. Hampir seperti
Amerika Serikat perencanaan sarana perdagangan dan niaga di Indonesia terbuka terhadap
investasi dan pembangunan, dengan minim perlindungan pada pemilik pertokoan kecil.
50
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
6. Sarana Peribadatan
Sarana peribadatan merupakan sarana yang digunakan oleh masyarakat dalam
melaksanakan ritual beribadah. Sarana ibadah harus dihormati sebagai tempat yang damai agar
masyarakat yang menjalankan ibadah merasa aman dan nyaman. Agar perencanaan sarana
peribadatan sesuai maka dibuat standar ukuran sebagai referensi. Setiap sarana peribadatan
memiliki standar yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat digeneralisasi ukuran untuk seluruh
fasilitas peribadatan.
Ukuran sarana peribadatan di Indonesia dijelaskan dalam SNI 03-1733-2004, akan tetapi
masih terbatas untuk mushola dan masjid. SNI 2004 belum memiliki standar ukuran untuk sarana
peribadatan lain seperti gereja, pura, vihara, dan lainnya. Mengacu pada SNI, standar sarana
peribadatan direncanakan sesuai jumlah penduduk; untuk mushola hingga masjid berkisar antara
0,03 – 0,36 m2/jiwa.
7. Sarana Kesehatan
Meningkatnya kebutuhan sarana kesehatan di setiap negara mendorong berbagai
pendekatan, salah satunya pendekatan berbasis standar dalam menyediakan sarana yang
diperlukan. Standar ukuran fasilitas kesehatan berhubungan langsung dengan jumlah penduduk
dan koefisien yang akan ditentukan untuk fasilitas tersebut (Polat, 2019). Semakin tinggi Jumlah
penduduk maka Jumlah fasilitas kesehatan akan semakin beragam jenisnya dan meningkat
jumlahnya. Umumnya negara-negara di Eropa memiliki standar ukuran sarana kesehatan yang
cukup tinggi, sebagai contoh Inggris memiliki standar 1,71 m2/jiwa sedangkan Jerman 0,82 m2/jiwa.
Di Indonesia, standar untuk sarana kesehatan sudah dibuat oleh pemerintah dalam SNI 03-
1733-2004. Dalam SNI tersebut, dijelaskan jenis-jenis sarana kesehatan yang disediakan
berdasarkan jumlah populasi, yaitu posyandu, balai pengobatan warga, puskesmas, rumah sakit,
tempat praktek dokter, dan apotek. Pada kawasan perkotaan, Lokasi fasilitas kesehatan tersebar,
ada yang berada di kawasan permukiman (posyandu dan balai pengobatan) dan ada juga yang
berada pada area khusus seperti puskesmas dan rumah sakit. Lebih lanjut, SNI 03-1733-2004
merekomendasikan standar ukuran sarana kesehatan per jiwa antara 0,006 – 0,12 m2/jiwa. Sarana
kesehatan dibahas hanya sampai pada puskesmas, sedangkan standar ukuran untuk rumah sakit
tidak ada.
8. Sarana Pendidikan dan Pembelajaran
Pada tahun 1982, Department of Basic Education (DBE) Myanmar membuat inventarisasi
terkait ukuran luas sarana Pendidikan, mulai dari sarana Pendidikan dasar hingga sarana
Pendidikan menengah atas. Usulan dari DBE tersebut merupakan ukuran luas minimal sebagai
berikut 3 hektar untuk sekolah dasar, 6 hektar untuk sekolah menengah, dan 7,5 hektar untuk
sekolah atas (mencakup sekolah dasar), atau 6,5 hektar (tanpa sekolah dasar). DBE juga membuat
usulan standar ukuran ruang per murid pada sarana sekolah atas (setingkat SMA) sebesar 27.11
m2/jiwa. Pada tahun 1992, Kementerian Pendidikan Myanmar bekerjasama dengan UNDP dan
UNESCO mengevaluasi standar ukuran ruang per murid untuk sarana sekolah atas yaitu sebesar
27,25 m2/jiwa. (Nge, et al., 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam perencanaan sarana
Pendidikan perlu untuk mengadaptasi nilai-nilai lokal berdasarkan lokasi sarana pendidikan baik
51
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
yang berada di kawasan perkotaan maupun pedesaan, serta tingkat pendidikan (sekolah dasar,
menengah, dan atas).
Perencanaan sarana Pendidikan di Indonesia mengikuti referensi SNI 03-1733-2004 yang
merekomendasikan ukuran luas sebesar 0.28 – 2,6 m2/jiwa. Dalam SNI tersebut dijelaskan bahwa
perencanaan sarana Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk melayani setiap unit administrasi
pemerintahan baik formal (kelurahan hingga kecamatan) maupun informal (RT hingga RW), bukan
hanya berdasarkan pada Jumlah penduduk yang akan dilayani. “Dasar penyediaan sarana
pendidikan ini juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok
lingkungan yang ada. Sedangkan penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan
jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk
melayani pada area tertentu” (ibid). Dari penjelasan di atas, perencanaan sarana Pendidikan dalam
SNI maupun oleh Ministry of Education/UNDP/UNESCO mempertimbangkan aspek keruangan selain
populasi. Akan tetapi, standar ukuran luas sarana Pendidikan di Indonesia masih cukup terbatas.
Tabel 5-6 Perbandingan Ruang Publik Standar Nasional Indonesia dan Internasional
Standar Nasional
Jenis Ruang Publik Standar Internasional (m2/jiwa)
Indonesia (m2/jiwa)
Sarana ruang terbuka, taman,
0,2 – 1 9 (WHO)
dan lapangan olahraga
0.09 – 0.18 (USA)
(northernarchitecture.us/space-
Sarana budaya dan rekreasi 0,017 -0,12 requirements/)
28 (Australia)
(Khan, 2014)
2.18 (USA)
Sarana perdagangan dan 1.56 (Canada)
0,3 – 0,5
niaga 1.04 (Australia)
(statista.com, 2022)
Sarana peribadatan 0,03 – 0,36 0,72 (International)
0.82 (Jerman)
1.71 (Inggris)
0.4 (Iran)
Sarana kesehatan 0,006 – 0,12 0.55 (Israel)
0.7 (Pakistan)
0.1 (Portugal)
(Polat, 2017 dalam Polat, 2019)
27,25 (Ministry of
Education/UNDP/UNESCO, 1992 – SMA)
Sarana Pendidikan dan
0,28 – 2,6 9.85 – 12 (USA – SMA)
pembelajaran
(Oklahoma State Department of
Education, 1998)
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2023
5.1.1.5 Perkembangan Keselamatan sebagai Ukuran Kesehatan dan Keamanan dari Bahaya
Berbagai macam bencana yang terjadi di Indonesia telah memberikan pelajaran bagi
masyarakat Indonesia. Akibat dari kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pencegahan bencana
maka menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda. Dalam parameter keselamatan
52
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
berkaitan erat dengan kenyamanan hidup. Kenyamanan hidup dapat dikatakan bila terpenuhinya
kebutuhan fisiologis yang meliputi air dan tempat tinggal yang mempengaruhi kenyamanan dan
kelayakan hidup manusia, dengan terpenuhinya kebutuhan secara langsung maupun tidak.
Parameter keselamatan mencerminkan kemampuannya menghindar dari bahaya, tekanan dan
perubahan yang terjadi di sekitar. Daya dukung alam dan juga daya dukung masyarakat yang
diandalkan dalam situasi rawan, akan menentukan kapasitas individu dan keluarga untuk
menghadapi kekeringan, banjir, kelangkaan air, wabah dan kondisi bahaya lain yang dapat
menimpa.
Keselamatan dapat diartikan sebagai sehat dan aman. Sehat apabila berkaitan dengan
keselamatan hidup dan aman berbicara tentang keselamatan dari bahaya bencana. Dalam
penyusunan D3TLH parameter keselamatan melingkupi keselamatan hidup dan keselamatan dari
bahaya. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing indikator untuk keselamatan.
1. Keselamatan Hidup
Keselamatan diri merupakan pengetahuan sebagai kapasitas seseorang dalam menjaga,
melindungi diri dan sosialnya terhadap ancaman/bahaya dan cara-cara untuk menghindari diri dari
segala sesuatu yang mengancam dan membahayakan keselamatan. Keselamatan diri secara fisik
merupakan jaminan terhadap kondisi kesehatan diri sendiri maupun masyarakat yang dapat
mencerminkan tingkat kesejahteraan pada masyarakat. Keselamatan diri dapat diartikan sebagai
keselamatan hidup yang merupakan upaya pemenuhan ketangguhan manusia dalam mencapai
kesehatan jasmani, rohani, dan sosialnya melalui hunian yang layak. Dalam D3TLH keselamatan diri
berhubungan dengan kemampuan masyarakat untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dan
aman (Ability to live in an environmental clean and safe shelter). Salah satunya adalah dengan miliki
rumah layak huni.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 rumah adalah bangunan gedung yang
berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan
harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Pengertian rumah bukan hanya
bangunan (struktural) saja tetapi juga sebagai tempat tinggal yang memenuhi syarat-syarat
kehidupan yang layak, dilihat dari berbagai kehidupan masyarakat (Frick dan Muliani). Berdasarkan
definisi tersebut rumah tinggal diartikan sebagai tempat tinggal yang memiliki multifungsi sebagai
tempat hidup manusia dari berbagai macam ancaman baik dari alam maupun kejahatan sosial.
Menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 29/PRT/M Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal, Rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan
dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Rumah juga memiliki
syarat minimal bagi kebutuhan manusia untuk hidup secara manusiawi agar terhindar dari berbagai
ancaman. Setelah tahun 2019, untuk rumah layak dimaknai dari beberapa segi, bukan hanya dari
segi fisik bangunan tetapi di antaranya dari segi sosial, masyarakat, kesehatan dan energi. Menurut
Badan Pusat Statistika, Hunian layak adalah hunian yang memiliki kriteria antara lain yaitu akses
terhadap air minum layak, akses sanitasi layak, kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2 m2
per kapita, dan memiliki ketahanan bangunan dalam meminimalisir risiko bencana alam yang
terjadi. Secara sederhana rumah yang layak memiliki fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar
mulai dari air bersih, penerangan, sanitasi saluran pembuangan limbah, serta aman baik aktivitas
penghuninya untuk meraih produktivitas.
53
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Dalam upaya untuk pengendalian risiko bencana oleh masyarakat, kita harus memahami
terlebih dahulu mengenai risiko atau risiko bencana itu seperti apa. Ada sejumlah konsep yang
harus dipahami dalam kaitannya dengan pengendalian risiko bencana, di antaranya adalah bahaya,
kerentanan dan kapasitas. Definisi risiko bencana menurut UNDRR (United Nations Disaster Risk
Reduction) yaitu potensi hilangnya nyawa, cedera, atau aset yang hancur/rusak pada sistem,
masyarakat, atau komunitas dalam periode waktu tertentu yang ditentukan secara probabilitas
sebagai fungsi dari bahaya, keterpaparan, kerentanan, dan kapasitas. Kajian risiko bencana adalah
perangkat untuk menilai kemungkinan dan besaran kerugian akibat ancaman bencana guna
menunjang penyusunan perencanaan dan keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada suatu wilayah (Peraturan kepala BNPB No.2 Tahun 2012).
54
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
pada masa mendatang serta peningkatan kapasitas dalam penanganan bencana. Berikut
merupakan rumus yang menjadi konsep pendekatan dalam proses pengkajian risiko bencana
sesuai Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012:
𝐻𝑥𝑉
𝑅=
𝐶
Keterangan :
R = Risk (Risiko)
H = Hazard (Bahaya)
V = Vulnerability (Kerentanan)
C = Capacity (Kapasitas)
Potensi kerusakan serta kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ditinjau berdasarkan
kombinasi antara komponen tingkat bahaya dan kerentanan terhadap bencana, sementara
komponen tingkat kapasitas berperan dalam mengantisipasi kerusakan dan kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana (Januandari et al, 2017). Demikian komponen-komponen yang
digunakan dalam proses pengkajian risiko bencana meliputi bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Berdasarkan isi penjelasan dalam Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Daerah Tingkat
Kabupaten/Kota oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), proses dalam pengkajian
risiko bencana dilakukan melalui identifikasi, analisis, serta evaluasi terhadap komponen tingkat
bahaya, kerentanan, dan kapasitas terhadap bencana.
A. Hazard (Bahaya)
Menurut Supriyadi et al (2017), hazard (bahaya) adalah suatu kondisi atau tindakan atau
potensi yang dapat menimbulkan potensi yang dapat menimbulkan kerugian terhadap manusia,
harta benda, atau lingkungan. Bahaya adalah sebuah situasi yang membahayakan dan memiliki
potensi untuk menyebabkan kecelakaan atau penyakit pada manusia serta merusak lingkungan
(Halim dkk, 2016). Perlindungan terhadap bencana dapat diperoleh dengan upaya meminimalisir
potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Perlindungan terhadap bencana data
55
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
diperoleh dengan upaya meminimalisir potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana tersebut
(Coburn et al, 1994). Berikut adalah komponen terkait bahaya terhadap bencana berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.2 Tahun 2012, yaitu:
B. Vulnerability (Kerentanan)
Definisi kerentanan dari BNPB merupakan suatu kondisi pada komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi. Definisi lain adalah
karakteristik manusia atau komunitas dan situasinya dapat mempengaruhi kapasitas dalam
mengantisipasi, mengatasi, bertahan dan pulih dari pengaruh bahaya alami (kejadian maupun
prosesnya) (Wisner, dkk, 2004). Kerentanan dapat pula diartikan suatu ukuran kecenderungan dari
objek, tempat, individu, grup, komunitas, negara atau entitas lainnya untuk terkena konsekuensi
bahaya (Coppola, 2007). Berikut adalah komponen terkait kerentanan terhadap bencana
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012, yaitu:
1. Kerentanan fisik, meliputi prasarana dasar dan bangunan.
2. Kerentanan ekonomi, meliputi luas lahan produktif dan PDRB per sektor.
3. Kerentanan sosial, meliputi kepadatan penduduk dan kelompok rentan.
4. Kerentanan lingkungan, meliputi kawasan hijau berupa hutan lindung, hutan alam, bakau,
rawa dan semak.
C. Capacity (Kapasitas)
Kapasitas merupakan kombinasi dari kekuatan, kemampuan, serta sumberdaya yang
tersedia pada suatu komunitas, organisasi, maupun individu guna mengurangi tingkat risiko atau
pengaruh dari Bahaya (USAID, 2010). Menurut Benson dkk (2007), kapasitas adalah kemampuan
dalam mengantisipasi, mencegah, dan memulihkan diri dari dampak bahaya. Berikut adalah
komponen terkait kapasitas terhadap bencana berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No. 2 Tahun 2012, yaitu:
1. Kelembagaan/kebijakan, meliputi peraturan daerah terkait penanggulangan bencana,
kelembagaan penanggulangan bencana, penanggulangan bencana dalam pembangunan
daerah, PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan anggaran dalam penanggulangan bencana.
2. Peringatan dini, meliputi peta rawan bencana dan early warning system.
3. Peningkatan kapasitas, meliputi peta sosialisasi pengurangan risiko bencana, kurikulum
terkait Pendidikan bencana, dan desa tangguh.
4. Mitigasi, meliputi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) berbasis mitigasi bencana dan
mitigasi bencana struktural.
Pada penyusunan dokumen D3TLH ini pada indikator keselamatan salah satu variabelnya
adalah Risiko Bencana. Risiko Bencana ini digunakan untuk penyusunan D3TLH dengan
menggunakan nilai dari Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Data Indeks Risiko Bencana
Indonesia sudah dapat mewakili dari aspek kebencanaan untuk penyusunan dokumen D3TLH. Nilai
pada indeks risiko bencana ini dihasilkan dari perhitungan antara bahaya, kerentanan dan
kapasitas. Dengan mengetahui risiko bencana, kita dapat melihat dan mempertimbangkan
56
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
perencanaan pembangunan pada suatu daerah. Oleh karena itu, Risiko bencana merupakan salah
satu hal yang penting dalam keberlanjutan lingkungan.
5.1.1.6 Perkembangan Mutu Hidup sebagai Ukuran Kualitas Penduduk dan Pemajuan
Kebudayaan
Mutu hidup sebagai salah satu basis tujuan yang diperhatikan dalam penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Konteks pernyataan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab IV Pemanfaatan Pasal 12 (2)
c. Jika mencermati Bab I Ketentuan Umum dan Penjelasan Pasal Demi Pasal, maka tidak terdapat
definisi dan ruang lingkup Mutu Hidup. Oleh karena itu, diperlukan suatu kajian dan naskah untuk
menjabarkannya.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara garis besar
sangat jelas faktor dari mutu hidup adalah Percaya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
(Beragama-mental); Menjunjung nilai-nilai luhur (Nilai budaya luhur), dan Berkehidupan
kebangsaan yang bebas (kreatif-produktif-bermanfaat).
Faktor pertama adalah beragama dan penghayat kepercayaan yang tertuang dalam Pasal
29 Ayat 1 dan 2, pada ayat 1 tertulis ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan pada
ayat 2 tertulis ’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Agama yang
sudah diakui dan hidup berdampingan dalam lingkungan Masyarakat dengan menghargai nilai yang
dianut satu sama lain berjumlah enam (6) agama. Agama tersebut antara lain Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain agama, penghayat kepercayaan
seperti kepercayaan lokal, kepercayaan yang seperti didasarkan pada ajaran islam, budha, tao dan
konghucu, serta penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Nilai-nilai penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan YME juga tertuang dalam PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 1.
Faktor kedua adalah nilai budaya luhur yang tertuang dalam Pasal 32 yang tertulis
‘Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia’. Hal tersebut memiliki makna yang
berisikan tentang terjaminnya kebebasan Masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Mengingat Pasal 32 tersebut, menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang
Pemajuan Kebudayaan. Sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda sudah melakukan sensus
penduduk tahun 1930 terkait kemajemukan suku bangsa di Nusantara, pihak pemerintah Belanda
menggunakan antara lain tolok ukur bahasa yang dipergunakan penduduk sehari-hari, adat
istiadat, di samping batas wilayah persebaran serta golongan ras.
57
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, terutama yang
berkaitan dengan kompleks totemisme yang didominasi dengan upacara-upacara keagamaan
dalam bentuk rangkaian upacara inisiasi dan diperkuat dengan dongeng-dongeng suci baik yang
berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan. Hingga saat ini, dalam SDG wedding cake model, sudah
tertuang aspek budaya. Pada indikator turunan melalui 24 issues relevant to all nations and business
terdapat aspek budaya yang telah tercakup pada Goal 4 dengan Quality Education, Goal 11 dengan
Sustainable Cities and Communities, dan Goal 23 dengan Bussiness Integrity.
Keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dilengkapi
legalitas/regulasi, ideologi agama, organisasi sosial budaya, organisasi ekonomi dan organisasi
lainnya mengantar ke multikulturalisme modern yang selanjutnya menjadi pegangan perilaku
inter–antar kelompok budaya (peran energetik), dalam konteks tugas dan fungsi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu ekspresi/perilaku manusia (budaya) yang
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
1. Pemajuan Kebudayaan
Pemajuan kebudayaan diartikan sebagai peningkatan kualitas kehidupan. dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan pasal 1 ayat 3 pemajuan kebudayaan
adalah upaya untuk meningkatkan ketahanan budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui
perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Kementerian
Kebudayaan telah membuat Indeks Pembangunan Kebudayaan, berdasarkan dimensi SDG’s, dan
merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dilakukan
pemetaan indikator kandidat penyusun Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK), sehingga
diperoleh 40 indikator awal penyusun IPK, yang dikelompokkan dalam 8 dimensi, yaitu: Ekonomi
Budaya, Pendidikan, Ketahanan Sosial Budaya, Warisan Budaya, Ekspresi Budaya, Budaya
Literasi, Gender, dan Tata Kelola Budaya.
Melalui analisis faktor dapat diketahui matriks hubungan antar sejumlah indikator.
Selanjutnya matriks hubungan tersebut diuji dengan Measure Sampling Adequancy (MSA).
Pengujian ini dilakukan untuk menyeleksi indikator mana yang akan masuk dalam penghitungan
IPK. Suatu indikator akan masuk sebagai indikator penyusun indeks apabila memiliki hubungan
yang kuat dengan indikator lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai MSA 0,5 ke atas (MSA ≥ 0,5).
Sebaliknya, indikator yang memiliki hubungan lemah (nilai MSA <0,5) akan dikeluarkan dari
penghitungan IPK. Analisis faktor ini dilakukan terhadap masing-masing dimensi secara terpisah.
Dalam penyusunan D3TLH telah dilakukan diskusi bersama beberapa ahli terkait pemilihan
dimensi-dimensi yang akan digunakan dengan nilai bobot sebesar >50 persen dari terkait 3
dimensi yang akan digunakan sebagai pembentuk pemajuan kebudayaan, yakni dimensi
ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi yang kemudian dapat disebut
dengan Karakter Ruang Budaya. Dimana terdapat 17 indikator penyusun ketiga dimensi tersebut.
Pendekatan ini sebagai proxy dalam menganalogikan mutu hidup dan menuju sejahtera rakyat saat
bangsa tersebut dapat menjaga nilai warisan budaya /cagar budaya (benda cagar budaya,
bangunan bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cahar budaya, struktur cagar
budaya) dan bahasa, seni daerah. Keempat dimensi lain dalam IPK yang tidak dimasukkan
dalam pemajuan kebudayaan, karena memiliki kesamaan dengan data lainnya yang akan
digunakan oleh variabel lainnya di Indeks Pembangunan Manusia.
58
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Karakter Ruang Budaya menjadi indikator penyusun dalam variabel pemajuan budaya.
Warisan budaya merupakan hasil dari budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-
prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam membentuk
jati diri suatu kelompok atau bangsa. Sehingga, warisan budaya dapat diartikan sebagai hasil
budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intagible) dari masa lalu (Davidson, 1991). Apabila ditelaah
warisan budaya menjadi indikasi pembelajaran dari keberagamaan budaya lokal dan luar. Warisan
budaya sendiri telah mengandung mutu hidup yang sudah ada dan menjadi inovasi masa kini.
Warisan budaya didukung oleh proses pembelajaran untuk memberikan sumbangan dalam
meningkatkan budaya nasional di samping mempertebal jati diri dan kepribadian bangsa.
Peninggalan warisan budaya dapat meningkatkan harkat, martabat, dan derajat manusia. Norma-
norma, tata cara, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi landasan hidup nenek
moyak masa lalu merupakan tolak ukur dalam mengetahui kemajuan budaya dan peradaban
bangsa (Kusumawati, 2010). Hilangnya warisan budaya disebabkan oleh rendahnya kinerja
menghargai, melupakan budaya, dan penentuan identitas itu sendiri.
Ketahanan sosial budaya dapat diterminologikan sebagai ketahanan budaya.
KEMENDIKBUD telah mendefinisikan ketahanan sosial budaya adalah kemampuan satu
kebudayaan dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas, pengetahuan, serta praktik
budaya yang relevan, dan didukung oleh kondisi sosial masyarakat. Sedangkan budaya literasi
berarti Aktivitas serta sarana/prasarana pendukung dalam memperoleh, menguji kesahihan, dan
menghasilkan informasi dan pengetahuan untuk pemberdayaan kecakapan masyarakat. Budaya
literasi sebagai pokok dari pembelajaran. Dimana budaya literasi di masyarakat akan menentukan
tingkat kualitas penghidupan. Menjaga literasi berarti menjaga pengetahuan lokal tetap terjaga.
2. Kualitas Penduduk
Menurut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Pasal 1 Ayat (5), kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam
aspek fisik dan non fisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas,
tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan
kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya,
berkepribadian, berkebangsaan dan hidup layak. United Nations Development Programme (UNDP)
pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development
Report (HDR) memperkenalkan suatu perhitungan yang dapat menjelaskan bagaimana penduduk
dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan
sebagainya yang kemudian akan disebut Indeks Pembangunan Manusia.
59
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Empat indikator pembentuk IPM terdiri dari angka harapan hidup saat lahir, angka melek
huruf, rata-rata sekolah, dan pengeluaran perkapita. Keempat indikator tersebut dijabarkan sebagai
berikut:
1. Angka harapan hidup saat lahir adalah suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir
yang akan dicapai oleh penduduk.
2. Angka melek huruf adalah Proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang memiliki
kemampuan membaca dan menulis kalimat sederhana dalam huruf latin, huruf arab dan
huruf lainnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas.
3. Rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk berumur 25
tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. RLS digunakan untuk mengetahui kualitas
pendidikan masyarakat dalam suatu wilayah.
4. Pengeluaran perkapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota
rumah tangga selama sebulan baik yang berasal dari pembelian, pemberian maupun
produksi sendiri dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga dalam rumah tangga
tersebut. Indikator ini menggambarkan kemampuan daya beli masyarakat selama periode
tertentu.
60
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam
Undang-Undang 1945 secara garis besar sangat jelas faktor kesejahteraan masyarakat, yaitu: 1)
Merdeka, damai, adil (modal dasar); 2) Melindungi segenap bangsa Indonesia (manusia/budaya); 3)
Melindungi tumpah darah Indonesia (Tanah air); 4) Mencerdaskan kehidupan bangsa (Literasi-
pendidikan); dan 5) Melaksanakan ketertiban dunia (Tata Kelola/Governance).
Acuan yang dijadikan pokok keberhasilan pembangunan dalam daerah adalah semua yang
berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat (Hasan & Muhammad, 2018). Konsep
kesejahteraan berkaitan erat dengan kebijakan sosial-ekonomi sebagai upaya dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam pembangunan yang berkelanjutan, indikator-indikator kesejahteraan berpengaruh
terhadap konsep D3TLH pada wilayah. Kesejahteraan masyarakat dalam beberapa literature review
ditentukan oleh tata kelola lingkungan hidup. Mutaali (2011) menyatakan apabila ecological power
melemah, maka kesejahteraan yang tercapai tidak berarti. United Nations (2012) menyebutkan
bahwa inti dari tujuan dari SDGs adalah untuk mencapai kesejahteraan, dimana dapat diartikan
menempatkan kesejahteraan di atas tujuan utama dalam pembangunan. Hasan & Muhammad
(2018) mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan yang dapat dinikmati saat ini harus bisa dinikmati
oleh generasi selanjutnya sehingga menimbulkan keberlanjutan (sustainability) dari adanya
kelestarian human development opportunities. Kelestarian dari kapital yang dimaksud di antaranya
finansial, lingkungan hidup, kapital fisik, dan sumber daya manusia, dengan kemampuan
meregenerasi dan memperbaharui kapital tersebut.
1. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu indikator dalam melihat kinerja perekonomian
ditingkat nasional dan regional. Menurut Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into
The Nature and Causes of The Wealth of Nation, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses
yang bersifat kumulatif (Hasan & Muhammad, 2018). Suatu perekonomian dapat dikatakan
mengalami pertumbuhan ekonomi apabila jumlah produksi barang dan jasa meningkat (Rahardja
& Manurung, 2019). Produktivitas tinggi mencerminkan tingginya daya saing yang berpotensi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat
(Appiah & McMahon, 2002).
Pertumbuhan ekonomi tercermin dalam nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi, nilai PDB yang digunakan adalah PDB berdasarkan harga
konstan (PDB riil). Perubahan nilai PDB menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa
61
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
yang dihasilkan selama periode pengamatan (Rahardja & Manurung, 2019). Perhitungan tingkat
pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Interval selang waktu pertumbuhan hanya satu periode
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
𝐺𝑡 = 𝑥 100%
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
Keterangan:
Gt = Pertumbuhan ekonomi periode t (triwulanan atau tahunan)
PDRBt = Produk Domestik Bruto Riil perode t (berdasarkan harga konstan)
PDRBt-1 = PDRB satu periode sebelumnya
Keterangan:
Tujuan utama perhitungan pertumbuhan ekonomi adalah untuk melihat apakah kondisi
perekonomian makin membaik. Suatu pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan baik atau buruk bila
dilihat dari struktur produksi (sektoral) atau daerah asal produksi (regional). Dengan melihat
struktur produksi dapat diketahui apakah ada sektor yang terlalu tinggi atau lambat dalam
pertumbuhannya (Rahardja & Manurung, 2019). Proses pertumbuhan ekonomi jangka panjang
diarahkan pada proses pertumbuhan sektoral mencakup sektor produksi primer dan sekunder
(Kaldor dalam Djoyohadikusumo, 1994). PDRB berdasarkan sektoral atau lapangan usaha
memberikan bobot 70-80% pada nilai pertumbuhan ekonomi yang terdiri dari beberapa sektor
unggulan, yakni sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, perdagangan besar dan
eceran, transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum.
Pertumbuhan ekonomi sangat penting dan dibutuhkan, karena akan berpengaruh terhadap
kesempatan kerja, produktivitas, distribusi pendapatan, dan tingkat kesejahteraan (Rahardja &
Manurung, 2019). Faktor tenaga kerja mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Lewis, 1954 dalam
Hasan & Muhammad, 2018). Tenaga kerja dengan unsur kualitas (pendidikan) di dalamnya (Appiah
62
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
& McMahon, 2002), mampu mengurangi angka kemiskinan yang berpengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat (Hasan & Muhammad, 2018). Masyarakat dapat dikatakan semakin
sejahtera apabila output per kapita meningkat. Apabila tingkat PDB per-kapita semakin tinggi, maka
dapat dikatakan semakin sejahtera. Agar PDB per-kapita terus meningkat, maka pertumbuhan
ekonomi harus lebih besar atau lebih tinggi daripada pertambahan penduduk (Rahardja &
Manurung, 2019).
Namun, PDB per-kapita yang tinggi belum dapat menjamin kemakmuran masyarakat,
apabila ada ketidakmerataan kemakmuran masyarakat. Sehingga, PDB dalam konteks
kesejahteraan masyarakat, PDB baru dapat berjalan dengan baik apabila diiringi dengan perbaikan
dalam distribusi pendapatan (Rahardja & Manurung, 2019). Berdasarkan pengalaman empiris,
wilayah/daerah yang menunjukkan wilayah dengan potensi PDB tinggi menjadi wilayah untuk
migrasi.
2. Tingkat stabilitas harga umum
Pengertian sederhana dari stabilitas harga ekonomi adalah sangat kecilnya tindakan
spekulasi dalam perekonomian (Rahardja & Manurung, 2019). Menurut European Central Bank
stabilitas harga merupakan kontribusi terbaik bahwa monetary policy (kebijakan moneter) bisa
membuat ekonomi tumbuh. Tujuan utama dari kebijakan moneter menurut Bank Indonesia adalah
untuk mencapai stabilitas nilai mata uang, memelihara stabilitas pada sistem pembayaran, dan
turut menjaga stabilitas keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Konsep stabilitas nilai mata uang mencakup kestabilan harga jasa dan barang serta nilai tukar
diukur dari inflasi yang rendah dan stabil.
Menurut Bank Indonesia, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan
terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Apabila harga barang dan jasa di dalam negeri
meningkat, maka terjadi kenaikan inflasi. Kenaikan harga tersebut menyebabkan turunnya nilai
mata uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Namun, apabila hanya beberapa saja
barang atau jasa yang mengalami kenaikan tidak disebut inflasi, kecuali kenaikan tersebut
berpengaruh atau menyebabkan kenaikan pada harga baran dan jasa lainnya (Boediono, 2022
dalam KESDM, 2015). Kebalikan dari inflasi disebut deflasi, yaitu penurunan harga barang dan jasa
terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Ada 3 komponen yang harus dipenuhi bila terjadi inflasi, yaitu (Rahardja & Manurung, 2019):
1. Kenaikan harga umum, yakni apabila suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi
daripada harga periode sebelumnya.
2. Bersifat umum, yakni kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika
kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik.
3. Berlangsung terus menerus, yakni kenaikan harga umum dapat menyebabkan inflasi jika
terjadi hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi harus dilakukan dalam rentang waktu
bulanan.
Pengukuran laju inflasi menggunakan data Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks harga
Implisit (IHI). Menurut Bank Indonesia, indikator lain yang digunakan dalam mengukur tingkat
inflasi yaitu dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Nilai IHK diperoleh berdasarkan hasil
perhitungan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dalam periode tertentu (Rahardja
63
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
& Manurung, 2019). Perubahan IHK menunjukkan pergeseran harga barang dan jasa yang
dikonsumsi masyarakat. Kondisi ekonomi over heated terjadi apabila inflasi tinggi, yang artinya
permintaan produk melebihi kapasitas penawaran dan mengakibatkan harga cenderung
mengalami kenaikan, sehingga menyebabkan menurunnya daya beli uang dan menurunkan tingkat
pendapatan riil (Tandelilin, 2001). IHK dirumuskan sebagai berikut:
𝐼𝐻𝐼𝑛 − 𝐼𝐻𝐼𝑛−1
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐼𝐻𝐼𝑛−1
Keterangan:
IHKn = Indeks Harga Konsumen Periode n.
IHKn-1 = Indeks Harga Konsumen sebelum Periode n.
Indeks Harga implisit (IHI) diasumsikan sebagai pengukuran inflasi yang paling menggambarkan
keadaan sebenarnya (Silitonga, 2021). Angka IHI merupakan rasio antara nilai PDB harga berlaku
dengan PDB harga konstan. Inflasi berdasarkan angka IHI menunjukkan laju inflasi yang paling
agregat. Dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
𝐼𝐻𝐼𝑛 − 𝐼𝐻𝐼𝑛−1
𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐼𝐻𝐼𝑛−1
Keterangan:
IHIn = Indeks Harga Implisit Periode n.
IHIn-1 = Indeks Harga Implisit sebelum Periode n
Alternatif lain dari perhitungan IHI dapat digunakan apabila data yang dibutuhkan tidak
tersedia. Hal ini karena prinsip perhitungan inflasi berdasarkan deflator PDB dengan
membandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi nominal dengan pertumbuhan riil (Rahardja &
Manurung, 2019). Adanya keterbatasan data dalam perhitungan stabilitas harga umum maka
digunakan 2 pendekatan, yakni dari data IHK dan IHI dari kota-kota besar yang tersedia.
Berdasarkan pengalaman empiris stabilitas harga pasar berada pada persentase normal
berkisar 3-4%. Hal ini menunjukkan harga secara umum tidak terakselerasi atau stabil. Apabila jika
ekonomi terakselerasi maka ekonomi tersebut akan bersifat panas atau akan terjadi inflasi.
Kestabilan inflasi adalah prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan nantinya
dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kestabilan inflasi diperlukan kerja
64
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
sama dan koordinasi antar instansi untuk menekan atau stabil untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat (Iskandar & Subekan, 2018).
3. Tingkat Pengangguran Terbuka
Menurut BPS penduduk yang termasuk angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja (>15
tahun) yang bekerja atau punya pekerjaan, namun sementara sedang tidak bekerja dan
pengangguran. Pengangguran meliputi penduduk yang tidak bekerja atau sedang mencari
pekerjaan, sedang mempersiapkan diri untuk membuka usaha baru atau merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan (putus asa), atau telah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja (Marini
& Putri, 2020).
65
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Dalam dua periode terakhir tingkat pengangguran di Indonesia berkisar antara 5-7%.
Tingkat pengangguran terbuka ini masih tergolong tingkat pengangguran yang wajar bila
dibandingkan negara lainnya (Rahardja & Manurung, 2019). Terdapat dua klasifikasi pengangguran,
yakni pendekatan angkatan kerja dan pendekatan pemanfaatan tenaga kerja. Pendekatan angkatan
kerja (labour force approach) mendefiniskan penganggur sebagi angkatan kerja yang tidak bekerja.
5.1.2 Metodologi
Metodologi penentuan D3TLH Provinsi dilakukan melalui serangkaian penilaian secara
kuantitatif dan kualitatif oleh para pakar terkait. Dimulai dari pemodelan numerik hingga visualisasi
secara spasial. Kerangka pikir dalam penentuan D3TLH mengadopsi konsep Sosial-Ecological
System (SES) Framework. SES Framework merupakan penggambaran dinamika antara alam dengan
sosial yang saling terkait dan bergantung pada suatu ekosistem. Dengan kata lain, terjadi hubungan
timbal balik dimana kebutuhan manusia sangat bergantung pada pasokan ecosystem services (jasa
lingkungan hidup) dan menjadi tantangan utama untuk mencapai keberlanjutan (Martín-López et
al, 2014; Fischer et al, 2015). Mewujudkan keseimbangan antara supply dan demand, maka
dilakukan pendekatan perhitungan berdasarkan kondisi lingkungan hidup atau biogeofisik pada
kolom hijau serta sosial, ekonomi, budaya (sosekbud) pada kolom jingga.
Perhitungan kondisi biogeofisik akan menghasilkan definisi operasional D3TLH, yaitu Status
D3TLH yang meliputi status Terlampaui dan Belum Terlampaui. D3TLH diperkuat dengan kondisi
sosekbud yang merupakan narasi causal model yang menggambarkan kondisi masyarakat dalam
rangka jaring pengaman sosial (sosial safety net) sebagai strategi tata kelola lingkungan hidup di
suatu wilayah. Kondisi biogeofisik dan sosekbud tersebut selanjutnya akan mampu
menggambarkan Kuadran Keberlanjutan guna melihat sejauh mana provinsi dapat mendukung
wilayahnya menuju Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.
66
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Gambar 5-6 Kerangka dalam Penentuan D3TLH Nasional berbasis SES Framework
Sumber: Diolah dari Ecosystem Services dalam Martín-López et al, 2014
Kondisi biogeofisik didefinisikan supply dari lingkungan hidup yang berpotensi untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia sesuai dengan standarnya. Kebutuhan biogeofisik
sangat dipengaruhi dari karakteristik wilayah dari ekoregion yang akan mempengaruhi
ketersediaan sumber daya alam mencakup air, lahan, dan keanekaragaman hayati. Guna
mempermudah perhitungan, maka dilakukan pemodelan berdasarkan pengalokasian penutupan
lahan yang disebut dengan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan. Pemodelan ini mengacu apda
interaksi antara penyediaan dari biokapasitas dengan kebutuhan sumber daya alam dari jejak
ekologis. Adapun alur metodologi dalam biogeofisik adalah sebagai berikut.
67
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Proses perhitungan diawali dengan mengetahui kondisi Biokapasitas yang diwakilkan oleh
penutupan lahan eksisting beserta produktivitas lahan dalam menyediakan kebutuhan dasar
manusia. Penutupan lahan eksisting dilakukan reklasifikasi sekaligus dinilai probabilitas
kesesuaian lahannya terhadap 12 parameter fisik. Selanjutnya dilakukan perhitungan Jejak
Ekologis dengan mengumpulkan data statistik terkait kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Pada Jejak Ekologis akan dilakukan konversi semua kebutuhan tersebut menjadi satuan ruang
berbasis lahan (hektar). Hasil dari proses kesesuaian lahan dan Jejak Ekologis akan menjadi input
bagi pemodelan optimasi melalui bantuan otomasi dari python guna mendapatkan jumlah
penduduk yang dapat didukung dan pengalokasian luas penutupan lahan sesuai kebutuhan dasar
(optimum). Adapun pengalokasian tersebut mencakup lahan hutan dan belukar untuk pemenuhan
kayu, pertanian, perkebunan, terbangun, padang penggembalaan, serta kawasan yang perlu
dipertahankan. Apabila dibandingkan, suatu penutupan lahan pastinya akan ada yang berbeda
antara eksisting dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, penutupan lahan yang bernilai defisit akan
diidentifikasi spasialnya melalui pemodelan 2K (Kedekatan dan Kepadatan) Simultan agar tercapai
kondisi paling ideal untuk mendukung sejumlah penduduk tersebut. Sehingga hasil dari biogeofisik
melalui pemodelan Optimasi Alokasi Penutupan Lahan adalah sebagai berikut.
1. Ambang batas D3TLH dari jumlah penduduk yang dapat didukung oleh lingkungan hidup
dengan diartikan mampu dipenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara mandiri dari jasa
lingkungan hidup. Ambang batas ini akan menjadi acuan dalam mengetahui status D3TLH
dengan membandingkan terhadap jumlah penduduk eksisting di tahun 2022. Status D3TLH
yang dimaksudkan terdiri dari Belum Terlampaui dan Terlampaui.
2. Luas penutupan lahan yang seharusnya dengan diartikan sebagai kondisi paling ideal
untuk mendukung ambang batas D3TLH. Dengan kata lain, dapat disebut sebagai
penutupan lahan optimum yang menjadi input dalam penilaian gap jasa lingkungan hidup
terhadap kondisi eksisting di tahun 2022. Kuantifikasi gap menggunakan indeks yang
diartikan sebagai kualitas fungsi lingkungan hidup dan dapat dijadikan acuan arahan
dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Nasional.
68
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
lindung dan konservasi memiliki fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup sedangkan
badan air memiliki kecenderungan bentuknya selalu sama (Taradini, 2018).
Meskipun klasifikasi jenis penutupan lahan mengacu pada inventarisasi data dari KLHK
Tahun 2022. Namun, dalam proses reklasifikasinya merujuk pada definisi operasional oleh Badan
Standardisasi Nasional Tahun 2008 (RSNI 1b – Kelas Penutupan Lahan dalam Penafsiran Citra Optis
Resolusi Sedang). Sehingga terjadi penyempitan definisi dan fungsional penutupan lahan tersebut.
Sebagai contoh, semak belukar dimasukkan ke dalam penutupan lahan hutan untuk pemenuhan
kayu. Dikarenakan pemodelan yang dilakukan bersifat general menyebabkan pemenuhan kayu
yang dimaksud berbeda dari proseduralnya. Pemenuhan kayu ini dimaksudkan untuk kebutuhan
bangunan bukan kayu gelondongan. Selain itu, banyak dari semak belukar yang saat ini sedang
proses suksesi ekologis sehingga berpotensi untuk dihutankan kembali guna pemenuhan kayu.
Pada dasarnya, hutan lindung dan konservasi pasti ada yang berada di dalam kawasan
penutupan lahan lainnya. Oleh karena itu, dalam proses reklasifikasi terlebih dahulu mengeluarkan
hutan lindung dan konservasi sehingga akan mengurangi luasan penutupan lahan lainnya.
Penetapan hutan lindung dan konservasi mengacu pada identifikasi dari UU 26/2007 tentang
Penataan Ruang, UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta
Data Perkembangan Kawasan Hutan Tahun 1999 hingga 2021. Adapun reklasifikasi lahan untuk
pemenuhan kebutuhan yang digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 5-7 Reklasifikasi Lahan untuk Pemenuhan Kebutuhan
69
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
pola spasial yang paling tepat untuk penggunaan lahan di masa depan dengan tingkatan/level
kesesuaian untuk setiap lokasi. Melalui berbagai rujukan dan pertimbangan, matriks kesesuaian
lahan yang digunakan terdiri dari 12 parameter fisik meliputi elevasi, kemiringan lereng, ekoregion,
temperatur/suhu permukaan tanah, curah hujan, jenis tanah, ketersediaan air, kandungan organik
tanah/organic carbon content (% weight), pH tanah(-log(H+)), carbon capture and storage (mm)/bulk
density (g/cm3), Topographic Wetness Index (TWI), serta Terrain Ruggedness Index (TRI). Adapun data-
data ini didapatkan dari berbagai sumber dengan kelengkapan wali datanya berada di subbab 3.3
Kebutuhan Data.
Unit analisis yang digunakan adalah grid dengan resolusi 30” x 30” (~0,9 km x 0,9 km).
Terkhusus untuk ketersediaan air ini didapatkan melalui konversi terhadap bobot berdasarkan jasa
lingkungan penyedia air. Perhitungan kesesuaian lahan menggunakan Error–Correcting Output Code
Support Vector Machine (ECOC-SVM) yang sudah sering digunakan dalam penelitian dengan akurasi
mencapai lebih dari 75%. Metode ini dipilih dikarenakan kemampuan multi-kelas dan menghitung
nilai probabilitas kelas posterior sebagai tingkat kesesuaian penutupan lahan. Nilai probabilitas
posterior (dalam rentang 0-100%) yang dihitung menggunakan ECOC-SVM menunjukkan tingkat
kesesuaian penutupan lahan (McDowell et al, 2018). Sehingga tingkat probabilitas yang tinggi
menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi untuk jenis penutupan lahan tertentu. Pemodelan
alokasi spasial dilakukan melalui perangkat lunak (software) QGis sehingga penjelasan
metodologinya hanya sebatas konsep pada masing-masing tahapannya saja.
Secara teori, setiap lokasi memiliki kesesuaian terhadap semua jenis penutupan lahan
namun tingkat kesesuaiannya berbeda. SVM memberikan batas antar kelas berdasarkan 12
parameter fisik terpilih secara bersama dan ECOC memungkinkan SVM untuk menghasilkan nilai
probabilitas posterior untuk tujuh kelas penutupan lahan pada setiap grid. Akurasi hasil dari ECOC-
SVM sangat tergantung pada kualitas data. Proses pengerjaan dengan dimana masing-masing grid
memiliki nilai dari 12 parameter fisik dengan rentang nilai normalisasi 0-1 menggunakan metode
normalisasi min-max. Penilaian setiap parameter pada setiap grid dilakukan dengan metode
maximum combined area (MCA), yaitu nilai di setiap grid dibandingkan luas total terbesar yang
dominan, akan dipilih menjadi nilai grid. Hasil perhitungan ini menjadi input (nilai α/alpha) untuk
Pemodelan matematika melalui python guna mendapatkan perhitungan jumlah penduduk dan
penutupan lahan optimum pada pulau/kepulauan.
Gambar di atas merupakan contoh tabel yang menampilkan hasil kesesuaian lahan dengan
metode ECOC-SVM. Angka 1-7 menunjukkan reklasifikasi lahan untuk pemenuhan kebutuhan
70
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
meliputi: (1) hutan dan belukar untuk pemenuhan kayu; (2) pertanian lahan basah; (3) pertanian
lahan kering; (4) perkebunan; (5) lahan terbangun; (6) padang rumput; (7) tambak; (8) hutan lindung
dan hutan konservasi; serta (9) badan air. Nilai pada tabel menunjukkan persentase luas dari
beberapa perhitungan probabilitas dengan terdapat nilai maximum dan minimum. Namun untuk
hutan lindung dan hutan konservasi dan badan air akan selalu memiliki nilai probabilitas 0,00%
dikarenakan tetap dipertahankan luasannya. Sebagai contoh, pada tabel di hutan memperoleh
persentase luas sebesar 15,2% sebagai nilai maksimum. Hal ini dapat diartikan bahwa di suatu
lokasi akan menjadi prioritas utama dalam pemilihan lokasi baru untuk lahan hutan. Namun
apabila tidak terpenuhi persyaratannya, maka dapat dipilih tingkat kesesuaian yang kedua dan
seterusnya. Berbeda lagi dengan padang rumput memperoleh persentase sebesar 65,18% sebagai
nilai minimum. Hal ini dapat diartikan bahwa di suatu lokasi tidak menjadi prioritas atau pilihan
terakhir sebagai lokasi padang rumput. Cakupan luas kesesuaian lahan pada masing-masing
penutup lahan dihasilkan melalui mengalikan persentase dengan total luas suatu lokasi.
Tabel di bawah ini menunjukkan hasil ECOC-SVM dengan nilai probabilitas terbesar pada
keseluruhan pulau/kepulauan secara nasional. Dengan kata lain, reklasifikasi lahan tersebut
mampu menyediakan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup
manusia. Meskipun begitu, jumlah persentase pada pulau/kepulauan akan berbeda-beda
dikarenakan perbedaan karakteristik fisik wilayah. Hasil perhitungan ini digunakan sebagai salah
satu input (nilai α/alpha) untuk pemodelan matematika melalui python guna mendapatkan jumlah
penduduk yang dapat didukung dan luas lahan optimum pada pulau/kepulauan.
Tabel 5-8 Kesesuaian Parameter Fisik pada Reklasifikasi Lahan terhadap Kebutuhan
71
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
5.1.2.1 Perhitungan Kebutuhan Lahan per Orang dengan Pendekatan Jejak Ekologis
Menurut Wackernagel dan Rees (1996), Jejak Ekologis merupakan suatu pendekatan
kuantifikasi kebutuhan manusia akan sumber daya yang berkaitan dengan luas lahan produktif
dalam menyediakan sumber daya tersebut. Namun pada kenyataannya interaksi antara penyediaan
dan kebutuhan tidak sepenuhnya dapat seimbang akibat keterbatasan lahan. Oleh karena itu,
diperlukan pengalokasian lahan untuk menentukan optimasi luas yang dibutuhkan dengan
meminimalisir terjadinya degradasi lingkungan hidup. Kebutuhan yang dimaksud merujuk pada
Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, yaitu kebutuhan yang wajib dipenuhi sehari-hari dan apabila
tidak dipenuhi dengan baik akan mempengaruhi kelayakan hidup manusia. Sehingga ruang
lingkupnya mencakup kebutuan pangan, sandang, dan papan.
Jejak Ekologis berfungsi untuk menilai keberlanjutan sumber daya yang mampu
menyediakan status ekologi jangka panjang dan peringatan potensi risiko ekologis. Peringatan
risiko ekologis menjabarkan tingkat ambang batas (threshold) daya dukung dan daya tampung
suatu wilayah. Kelebihan metode ini adalah memiliki satuan perhitungan yang transparan,
ketersediaan data, metode yang umumnya sudah terstandar, serta ukuran keberlanjutan
lingkungan yang sederhana namun komprehensif (Miao et al, 2016 dan Taradini, 2018).
Pada Jejak Ekologis, terdapat beberapa asumsi yang menjadi batasan. Pertama, jenis
kebutuhan dasar diasumsikan penggunaan 3 SDA Potensi Terbarukan mencakup air,
keanekaragaman hayati, dan lahan. Kedua, jumlah kebutuhan dasar kebiasaan konsumsi penduduk
dengan diasumsikan setiap orang pada suatu pulau/kepulauan membutuhkan jumlah yang sama.
Ketiga, jumlah kebutuhan dasar diperhitungkan untuk memenuhi selama 1 tahun dengan
penggunaannya dalam jangka waktu tidak terbatas. Keempat, pada perhitungan Jejak Ekologis
belum menambahkan input kegiatan impor dan ekspor sehingga hanya berdasarkan asumsi
kebutuhan penduduk yang dapat disediakan oleh suatu pulau/kepulauan secara mandiri.
Langkah 1: Inventarisasi Kebutuhan Fisiologis
1. Kebutuhan Pangan
Kebutuhan pangan didasarkan pada data konsumsi pangan penduduk berdasarkan energi
bahan pangan yang dikonsumsi setiap orang per hari dalam satuan kilo-kalori (kkal). Jumlah
konsumsi pangan menjadi acuan untuk menghitung kebutuhan lahan yang dapat memproduksi.
Sedangkan jumlah kandungan energi bahan pangan menjadi acuan untuk mengetahui seberapa
besar energi (kkal) yang dikonsumsi setiap orang per harinya. Adapun acuan besaran energi
berdasarkan rata-rata angka kecukupan energi dari Permenkes 28/2019 sebesar 2.100
kkal/kapita/hari. Kelompok bahan pangan yang dipilih sudah menyesuaikan dengan
perkembangan konsumsi energi di Indonesia. Terkhusus untuk pangan hewani perikanan dibatasi
hanya dari perairan darat berupa tambak. Standar konsumsi pangan berdasarkan Statistik
Ketahanan Pangan Tahun 2020-2022; konsumsi energi pangan berdasarkan Statistik Ketahanan
Pangan Tahun 2021; sedangkan kandungan energi bahan pangan berdasarkan Statistik Ketahanan
Pangan Tahun 2014 yang disamaratakan secara nasional.
72
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Ketiga data tersebut digunakan untuk mengkonversi menjadi satuan lahan dengan
perbandingan massa (kilogram) per hektar. Pendekatan ini diperlukan untuk nantinya didapatkan
seberapa luas lahan yang dapat memproduksi bahan pangan tersebut. Pada dasarnya, proporsi
kebutuhan pangan ini akan berbeda pada setiap pulau/kepulauan yang didasarkan pada pola
konsumsi masyarakatnya. Sehingga akan ada pulau/kepulauan yang proporsi pada suatu jenis
bahan pangannya lebih tinggi dibandingkan lainnya. Proses selanjutnya pada setiap kelompok
bahan pangan dihitung konversi luas yang dibutuhkan untuk dapat memproduksi dengan
persamaan matematik sebagai berikut. Luas yang dihasilkan akan disesuaikan dengan lahan yang
dapat ditanami oleh suatu bahan pangan. Hasil dari luas yang masih berupa satuan m2 akan diubah
menjadi satuan hektar.
𝐾𝑏𝑗 100 𝐹𝐼𝑗
𝐿𝑃𝑖𝑗 = × ×
𝐸𝑗 1000 𝐼𝑃𝑗
LPij = Luas jenis penutupan lahan I yang dibutuhkan untuk produksi bahan pangan jenis j (m²)
Kbj = Kebutuhan energi bahan pangan jenis j setiap orang dalam 1 tahun (kkal)
Ej = Kandungan energi bahan pangan jenis j (kkal/100 gram)
FIj = Footprint intensity dalam poduksi bahan pangan jenis j (m²/kg)
IPj = Intensitas produksi bahan pangan jenis j dalam 1 tahun (kali)
2. Kebutuhan Sandang
Kebutuhan sandang dimaksudkan berupa pakaian yang dikuantifikasikan menggunakan
bahan baku produksinya, yaitu kapas. Dikarenakan keterbatasan data, jumlah kebutuhan kapas
didasarkan pada rata-rata per kapita/tahun secara nasional sebesar 7,5 kg (Asosiasi Pertekstilan
Indonesia, 2013). Dikutip dari website Kementerian Perindustrian, secara nasional dari keseluruhan
produksi pakaian/tekstil membutuhkan kapas sekitar 42% dari total bahan baku teksitil. Sehingga
nanti pada saat perhitungannya akan ada faktor pengkoreksi berupa 42% dengan kata lain kapas
tidak 100% dapat menjadi pakaian. Proses selanjutnya dihitung konversi luas yang dibutuhkan
untuk dapat memproduksi dengan persamaan matematik sebagai berikut. Sebagai informasi,
Intensitas produksi kapas bersumber dari Kementerian Pertanian dengan diketahui per proses
73
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
panen terjadi 3 kali dalam satu tahun. Hasil dari luas yang masih berupa satuan m2 akan diubah
menjadi satuan hektar.
𝐹𝐼
𝐿𝑇 = 𝐾𝑏 × ×𝑃
𝐼𝑃
LT = Luas perkebunan yang dibutuhkan untuk produksi kapas (m2)
Kb = Kebutuhan pakaian setiap orang dalam 1 tahun (kg)
3. Kebutuhan Papan
a. Tempat Tinggal dan Ruang Publik
Untuk tempat tinggal dan ruang publik tidak membutuhkan persamaan matematika untuk
konversi menjadi satuan lahan. Hal ini dikarenakan keduanya sudah berupa standar ruang dari
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman
Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT) dan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan. Pada tabel berikut, terlihat perbedaan cakupan
standar ruang dimana untuk tempat tinggal dipilih yang sesuai syarat nasional sedangkan untuk
ruang publik akan dipilih luasan yang paling besar karena diasumsikan yang paling bernilai
optimum.
Tabel 5-10 Standar Kebutuhan Tempat Tinggal dan Ruang Publik
b. Pemenuhan Kayu
Selain diketahui standar ruangnya, untuk membangun bangunan-bangunan tersebut
digunakan pendekatan penggunaan kayu sebagai bahan material pola ruang bangunan. Hal ini
dikarenakan kayu menjadi penggambaran bahan yang dapat diambil secara langsung dari alam
atau kondisi biogeofisik suatu wilayah. Dalam perhitungannya, menggunakan data kebutuhan kayu
untuk bangunan dan footprint intensity terhadap total penduduk pada pulau/kepulauan. Apabila
tidak ada maka dapat bersumber dari literatur Universitas Michigan (2003) dan Working Guidebook
to the National Footprint Accounts oleh Global Footprint Network (Lin et al, 2017). Luas lahan hutan
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kayu dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan matematik sebagai berikut. Hasil dari luas yang masih berupa satuan m2 akan diubah
menjadi satuan hektar.
74
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
𝐿𝐾𝑖 = 𝐿𝐵𝑖 × 𝐾𝑏 × 𝐹𝐼
LKi = Luas hutan yang dibutuhkan untuk produksi kayu sebagian bahan bangunan jenis i (m2)
LBi = Luas hutan terbangun jenis i (m2 bangunan)
Kb = Kebutuhan kayu untuk bangunan (m3 kayu)
FI = Footprint intensity dalam produksi kayu (m2 hutan/m3 kayu)
c. Listrik
Perhitungan kebutuhan listrik digunakan untuk menentukan luas lahan yang diperlukan
dalam pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik seperti Pembangkit Tenaga Listrik. Adapun
data yang digunakan meliputi persentase ketersediaan pembangkit listrik eksisting bersumber dari
Statistik PLN Tahun 2021; jumlah konsumsi listrik dari Statistik Ketenagalistrikan Tahun 2020;
footprint intensity untuk pembangkit listrik dari ketentuan Global Footprint Network.
Langkah 2: Konversi Jumlah Penduduk yang dapat Dipenuhi Kebutuhan Dasar pada Satu
Hektar
Pada dasarnya, inventarisasi kebutuhan dasar di atas sudah menunjukkan perhitungan rinci
konversi kebutuhan menjadi satuan luas. Apabila disederhanakan, jejak ekologis didapatkan
membandingkan dua parameter, yaitu produktivitas lahan (kg/ha) dan kebutuhan dasar per orang
(kg/orang). Perhitungan ini akan menghasilkan konversi luas lahan penghasil kebutuhan dasar
terhadap banyaknya manusia yang dapat dipenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, hasil konversi
masih berupa seberapa banyak orang yang dapat dipenuhi kebutuhannya dalam 1 hektar lahan di
suatu pulau/kepulauan. Terdapat asumsi dalam proses perhitungannya bahwa sejumlah orang per
luas ini didasarkan pada faktor pengkoreksi per 1.000 penduduk. Hal ini dikarenakan apabila tidak
diberikan faktor pengkoreksi maka yang dihasilkan akan sangat kecil. Sehingga penyederhanaan ini
berupa perumusan matematika dengan:
𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠
𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 =
𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛
Keterangan:
• Satuan Konversi Kebutuhan Lahan = Orang/Ha
• Satuan Produktivitas = Kg/Ha
• Satuan Kebutuhan Dasar = Kg/Orang
• Produktivitas sudah termasuk dikalikan dengan Indeks Penanaman
• Kebutuhan sudah dihitungkan untuk 1 tahun
Hasil perhitungan ini akan menjadi input konversi jumlah penduduk yang dapat dipenuhi
kebutuhan dasar pada satu hektar (nilai beta/β) untuk pemodelan matematika melalui python guna
mendapatkan jumlah penduduk yang dapat didukung dan luas lahan optimum pada
pulau/kepulauan. Adapun secara lengkap hasil konversi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
Langkah 3: Pemodelan Matematika dengan Algoritma Ambang Batas dan Alokasi Lahan
75
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
menguraikan jejak ekologis menjadi 16 komoditas yang diasumsikan setiap penduduk memerlukan
seluruh komoditas tersebut. Adapun komoditasnya mencakup beras; jagung dan terigu; umbi-
umbian; daging dan susu; unggas dan telur; ikan; minyak dan lemak; buah/biji berminyak; kacang-
kacangan; gula; sayuran dan buah; kapas; tempat tinggal; ruang publik; pemenuhan kayu; serta
listrik. Hasil dari proses-proses sebelumnya berupa hasil kesesuaian lahan (nilai α) dan konversi
jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan dasar pada satuan hektar (nilai β) akan menjadi
constraint dalam pemodelan ini. Dengan kata lain, ke-16 komoditas tersebut dapat secara mandiri
terpenuhi pada suatu pulau/kepulauan. Melalui algoritma ambang batas dan lokasi lahan, berikut
adalah formula dan alur yang digunakan dalam optimasi ini.
1) Menentukan Jejak Ekologis
Dalam langkah 2, didapatkan jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan dasar pada
satu hektar. Namun, dalam pemodelan matematika ini membutuhkan konversi yang dapat
menghasilkan kebutuhan lahan per orangnya sebagai nilai Jejak Ekologis. Masih mengacu
pada faktor pengkoreksi per 1000 penduduk maka untuk mendapatkan nilai Jejak Ekologis
dengan perumusan matematika:
Dimaksudkan bahwa untuk mendapatkan nilai Jejak Ekologis (KLi), maka perlu
membalikkan rumus di Langkah 2 (nilai β). Dengan kata lain, Jejak Ekologis didapatkan
dengan membagi antara Kebutuhan (Kg/Orang) dengan Produktivitas (Kg/Ha). Adapun
proses perhitungnya merupakan akumulasi dari ke-16 komoditas (j) sehingga akan
didapatkan 1 nilai Jejak Ekologis, yaitu hektar/orang.
Berdasarkan hasil data DTmaxi selanjutnya akan dicari berapa hektar yang dibutuhkan
setiap komoditas dan berapa lahan yang tersedia. Ketersediaan lahan ini menggunakan bantuan
otomasi dengan menginput nilai α yang berisikan persentase kesesuaian lahan yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan per komoditas. Proses ini akan mengoptimalkan jumlah
penduduk yang dapat didukung oleh lingkungan hidup beserta luas lahan yang dibutuhkan untuk
setiap komoditas sesuai dengan penduduk tersebut. Terdapat toleransi pada jumlah komoditas
yang dapat didukung. Hal ini merujuk pada bahwa tidak semua lahan sesuai untuk ke-16 komoditas
76
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
sehingga apabila dipaksakan maka nilai jumlah penduduk akan semakin kecil. Selain itu, secara
faktualnya pemenuhan kebutuhan pada pulau/kepulauan juga tidak dapat 100% terpenuhi dari
wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, toleransi yang digunakan adalah maksimal 6 komoditas tidak
dapat terpenuhi sebanyak 100%. Tentunya toleransi komoditas tersebut akan berbeda-beda pada
setiap pulau/kepulauan. Toleransi komoditas akan menyebabkan sebagian orang tidak dapat
terpenuhi kebutuhan dasarnya. Sehingga jumlah penduduk yang dapat didukung secara optimal
akan berada di bawah batas maksimalnya dengan perumusan matematika berikut.
Keterangan:
• DTopti = Jumlah penduduk yang dapat didukung secara optimal (satuan juta orang)
• DTmaxi = Jumlah penduduk maksimal yang dapat dipenuhi (satuan juta orang)
• Pendi = Jumlah maksimal penduduk yang tidak dapat dipenuhi
Bantuan otomasi dari python juga akan didapatkan luas lahan pada masing-masing
reklasifikasi lahan untuk pemenuhan kebutuhan yang bernilai optimum. Luas lahan ini sudah
disesuaian dengan kesesuaian lahan yang dapat digunakan untuk menghasilkan ke-16 komoditas
dan mampu memenuhi kebutuhan sejumlah penduduk yang dapat didukung secara optimal.
Merujuk pada subbab X, terdapat beberapa komoditas yang dapat dihasilkan pada jenis penutupan
lahan yang sama. Namun perlu dipahami bahwa ini hanya berupa angka luasan saja (hektar) tanpa
mengetahui lokasi spasialnya. Tentunya hasil perhitungan baik untuk jumlah penduduk dan luas
lahan yang dimaksud juga menyesuaikan dengan kondisi eksisting di tahun 2022 sebagai sumber
supply. Sehingga luas lahan yang dihasilkan dapat lebih kecil maupun lebih besar dari eksistingnya.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa pada beberapa kasus suatu pulau/kepulauan akan terdapat
keterbatasan dengan tidak semua kebutuhan dasar dapat sepenuhnya didukung oleh
pulau/kepulauan tersebut.
77
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Pemodelan 2K Spasial secara simultan dilakukan melalui perangkat lunak (software) QGis
sehingga penjelasan metodologinya hanya sebatas konsep pada masing-masing tahapannya saja.
Kedekatan Spasial akan menggambarkan sekumpulan bidang dengan jenis penutup/penggunaan
lahan tertentu berkumpul atau bertetangga dengan bidang dan jenis penutupan lahan yang sama.
Misalnya pada gambar berikut menunjukkan pencarian lokasi sawah yang baru berdasarkan
kedekatan, yaitu bersebelahan dengan lokasi sawah eksisting. Hal ini dilakukan guna mencegah
terjadinya fragmentasi lahan. Dalam perhitungan Kedekatan Spasial menggunakan algoritma
nearest neighbor berdasarkan jarak lurus atau Euclidean sesuai nilai koordinat centroid setiap grid,
serta nilai probabilitas posterior dari perhitungan kesesuaian lahan.
Sedangkan Kepadatan Spasial menggambarkan bidang-bidang dengan jenis penutupan
lahan yang sama saling bertetangga, membentuk sebuah lingkaran/melingkar (Cao, 2018 dan
Ligmann-Zielinska et al, 2008 dalam Safitri, 2021). Dalam Kepadatan Spasial menggunakan sistem
metrik polsby-popper yang paling konsisten dalam menghitung berbagai bentuk geometri melalui
perbandingan luas wilayah dengan luas lingkaran yang kelilingnya sama dengan keliling wilayah
78
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
(Safitri, 2021). Kepadatan Spasial digunakan untuk mempermudah tersedianya beberapa maupun
seluruh batas pareto sebagai hasil dari optimasi atau disebut dengan istilah optimasi multi-tujuan.
Sehingga secara singkat metode pemilihan lokasi atau alokasi spasial pada masing-masing
pendekatan adalah sebagai berikut.
▪ Pemilihan lokasi dengan kedekatan spasial (K1) menggunakan pendekatan nearest neighbor:
Lokasi Penutupan Lahan K1 = 𝒇 {jarak antar centroid, probabilitas kesesuaian penutupan
lahan}
▪ Pemilihan lokasi dengan kepadatan spasial (K2) menggunakan pendekatan optimasi pareto:
Lokasi Penutupan Lahan K2 = 𝒇 {jarak antar centroid, skor PP, luas kluster, luas pulau,
probabilitas kesesuian penutupan lahan}
▪ Pemilihan lokasi dengan 2K secara simultan menggunakan pendekatan optimasi pareto:
Lokasi Penutupan Lahan 2K = 𝒇 {K1, K2 probabilitas kesesuian penutupan lahan}
(a)
(b)
Gambar 5-9 Konsep Pemodelan 2K Spasial: (a) Kedekatan (b) Kepadatan Spasial untuk Alokasi Spasial Penutupan
Lahan
Sumber: Safitri, 2021
79
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Gambar 5-10 Optimasi Pareto untuk Lokasi-Alokasi Penutupan Lahan dengan Kedekatan
Dan Kepadatan Spasial (2K) Simultan
Sumber: Safitri et al, 2021
Gambar di atas menunjukkan model alokasi spasial penutupan lahan dengan 2K Spasial
simultan menggunakan optimasi pareto melalui tahapan mengombinasikan algoritma-algoritma
yang telah dibangun untuk kedekatan dan kepadatan spasial. Algoritma pendekatan integrasi
model 2K Spasial Simultan pada alokasi spasial memang pada dasarnya dibangun karena adanya
permasalahan pembangunan yang cepat tanpa perencanaan sehingga menimbulkan penurunan
kualitas lingkungan, alih fungsi lahan menyebabkan fragmentasi lahan dan penggunaan lahan yang
berdampingan tapi saling memberi dampak negatif (permukiman bersebelahan dengan kawasan
industri). Pendekatan model 2K Spasial secara simultan menjadi model terbaik dengan jarak
terdekat paling kecil dan kepadatan spasial paling tinggi tetapi dengan hasil jumlah kandidat lokasi
lahan baru yang lebih sedikit namun dengan perbedaan yang tidak signifikan. Hal tersebut
dikarenakan jumlah pembatas yang lebih banyak dibandingkan dengan model lainnya dalam
rangka mencapai perubahan penutupan lahan yang berkelanjutan. Sehingga tiap klasifikasi
penutupan lahan yang telah disesuaikan berdasarkan hasil model spasial alokasi lahan akan
diteruskan menjadi komposisi penutupan lahan optimum.
Perlu dipahami optimasi alokasi luas dan spasial penutupan lahan memang
mengedepankan kondisi optimum yang ideal. Namun tetap pada pengaplikasiannya mengacu
aturan kebijakan penataan ruang yang berlaku. Sehingga tidak serta merta harus dialih
fungsikan semuanya menjadi optimum. Apabila kasus terburuknya dibutuhkan untuk alih fungsi
lahan harus melihat kondisi penutupan lahan di beberapa tahun belakangnya. Hal ini dilakukan
guna mengecek apabila berubah tidak akan mengganggu tatanan fungsi lingkungan hidup secara
keseluruhan.
5.1.2.2 Penentuan Status D3TLH dan Gap Jasa Lingkungan Hidup
80
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
penduduk yang dapat didukung oleh lingkungan hidup dan luas penutupan lahan yang ideal untuk
mendukung penduduk tersebut. Kedua hasil optimasi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai acuan
untuk memperoleh status D3TLH dan gap jasa lingkungan hidup sebagai berikut.
Status D3TLH
Status D3TLH didefinisikan sebagai kondisi D3TLH melalui pendekatan perbandingan
antara jumlah penduduk yang dapat didukung dengan eksisting pada saat D3TLH ditetapkan.
Klasifikasinya terbagi menjadi Belum Terlampaui dan Terlampaui. Adapun status Belum Terlampaui
diartikan jumlah penduduk eksisting tahun 2022 kurang dari jumlah penduduk yang dapat
didukung, sedangkan Terlampaui diartikan sebaliknya. Meskipun begitu, status Terlampaui bukan
berarti harus mengurangi jumlah penduduknya. Tetapi suatu pulau/kepulauan tetap berfungsi dan
penduduk di dalamnya dapat dipenuhi kebutuhan dasar hidupnya apabila didukung oleh
pulau/kepulauan lainnya. Selain itu, jumlah penduduk yang dapat didukung dapat menjadi acuan
dalam menilai sejauh mana dan sebesar apa jasa lingkungan yang perlu dipersiapkan maupun
dipertahankan fungsinya. Sehingga status D3TLH mampu dijadikan acuan ambang batas
pengelolaan pola perilaku maupun konsumsi manusia terhadap pemanfaatan sumber daya alam di
suatu Pulau/Kepulauan.
Penduduk yang dapat didukung dari proses pemodelan matematika dapat diketahui
persebarannya pada pulau/kepulauan. Prosesnya diawali dengan melakukan overlay data spasial
meliputi grid skala ragam ukuran 30’’ x 30” (± 0,9km x 0,9km), batas administrasi, peta penutupan
lahan dan jaringan jalan, serta jumlah penduduk yang dapat didukung setiap pulau/kepulauan.
Setelahnya dilihat densitas penduduk pada setiap grid berdasarkan bobot penutupan lahan dan
jalan. Bobot ini merupakan penentuan yang dilakukan oleh pakar dan/atau disesuaikan referensi
ilmiah. Berdasarkan kajian D3TLH terdahulu, semakin besar bobot pada tipe penutupan lahan,
maka distribusi jumlah penduduk di wilayah tersebut akan semakin besar. Adapun bobotnya
meliputi hutan (0,009), pertanian lahan basah (0,048), pertanian lahan kering (0,029), perkebunan
(0,002), lahan terbangun (0,328), tambak (0,038). Sedangkan padang rumput, hutan lindung dan
konservasi, serta badan air bernilai 0. Dengan kata lain, tidak semua wilayah pada pulau/kepulauan
sesuai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup penduduk.
81
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Gap jasa lingkungan hidup dimaksudkan untuk sebagai informasi tambahan kondisi suplai
dengan membandingkan kondisi jasa lingkungan hidup eksisting dan optimum pada saat D3TLH
ditetapkan. Analisis yang dilakukan dengan membandingkan nilai IJLH eksisting di tahun 2022
dengan optimumnya. Guna mempermudah analisis, maka sebelumnya dilakukan agregat nilai IJLH
pada setiap penyedia dan pengatur air, pendukung kehati, serta penyedia pangan. Agregat ini
dilakukan guna mendapatkan satu nilai IJLH dari keempat jenis jasa lingkungan hidup tersebut bagi
pulau/kepulauan maupun provinsi. Adapun pendekatan rumus matematiknya adalah sebagai
berikut.
82
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Keterangan:
• Nilai IJLH untuk penyedia dan pengatur air, pendukung kehati, serta penyedia pangan pada
pulau/kepulauan maupun provinsi berbeda-beda.
• Dimulai dari rentang kinerja 1-5 (tabel di atas) sekaligus memiliki cakupan luasan yang berbeda-beda
dikonversikan menjadi satu nilai IJLH saja untuk pulau/kepulauan
• Perhitungan ini dilakukan baik untuk jasa lingkungan hidup eksisting tahun 2022 dan optimum
Setelah didapatkan satu nilai IJLH pada keempat jenis jasa lingkungan hidup, maka
selanjutnya dilakukan akumulatif menjadi IJLH Gabungan. Proses ini dilakukan dengan metode
rata-rata geometrik baik di eksisting maupun optimum. IJLH Gabungan diasumsikan mampu
menggambarkan kondisi proses dan fungsi lingkungan hidup pada pulau/kepulauan. Selain itu,
juga mempermudah untuk mengetahui kinerja jasa lingkungan hidup di provinsi pada Kuadran
Keberlanjutan. Pada gap jasa lingkungan hidup, terdapat tiga kondisi yang memungkinkan.
Pertama, apabila kinerja IJLH Gabungan eksisting lebih rendah dari optimum maka masih memiliki
cadangan yang cukup tinggi sehingga berpotensi untuk dilakukan pengoptimalan fungsi lingkungan
hidup yang lebih tinggi. Kedua, apabila kinerja IJLH Gabungan eksisting sama dengan optimum
maka perlu dipelihara agar fungsi lingkungan hidupnya tetap dapat dimanfaatkan. Ketiga, apabila
kinerja IJLH Gabungan eksisting lebih tinggi dari optimum maka perlu dipertahankan fungsi
lingkungan hidupnya agar tidak menurun. Gap jasa lingkungan hidup ini dapat berfungsi sebagai
acuan arahan yang harus dilakukan guna mempertahankan keberlanjutan suatu wilayah. Dengan
kata lain, dapat dijadikan acuan dalam menentukan arahan RPPLH bagi keberlangsungan
lingkungan hidup ke depannya.
5.1.2.3 Perhitungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kondisi sosial, ekonomi dan budaya dijadikan
sebagai narasi causal model yang menggambarkan kondisi masyarakat dalam rangka jaring
pengaman sosial (social safety net) sebagai strategi tata kelola lingkungan hidup di suatu wilayah.
Selain itu, kondisi sosial, budaya dan ekonomi dapat dijadikan acuan dalam mengetahui isu
kendala ataupun dorongan masyarakat terhadap keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan
sumber daya alam. Mengetahui kondisi sosial, budaya dan ekonomi berfungsi untuk terwujudnya
masyarakat yang sejahtera, yaitu masyarakat yang ditopang oleh abundance dari ragam sumber
yang disediakan oleh alam.
Taraf kehidupan masyarakat adalah kondisi kecukupan dalam pemenuhan kebutuhan
fisiologis, yang meliputi sandang, pangan dan papan, yang diperlukan untuk menjaga kesehatan
dan perkembangan fisik anggota keluarga. Dalam kondisi normal, sebuah keluarga akan
mengandalkan berbagai sumber kebutuhannya. Masyarakat tradisional yang mengerjakan
perburuan dan meramu akan sangat tergantung pada kawasan hutan atau alam terbuka untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Sedangkan masyarakat kota, mengandalkan pemenuhan
kebutuhannya lewat mekanisme jual beli di pasar, yang mana ditentukan oleh pendapatan dari
pekerjaan yang dimiliki seseorang. Kesempatan kerja, kestabilan pola pencaharian serta
penghidupan (employment dan livelihood) menjadi sangat menentukan mutu hidup dan
kesejahteraan seseorang.
83
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
84
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Pada dasarnya ketiga indikator yang disebut dikategorikan sebagai outcome yang sifatnya goal
based dan causal model.
Dapat disepakati pentingnya titik tolak pemahaman substantif akan konsep jasa lingkungan
sebagai dasar rujukan membangun sistem pemantauan dan pengendalian terhadap daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Loss of ecosystem services may compromise the resilience of
social-ecological systems (SESs) and, thus, the economic, mental, and physical well-being of future
generations (Mooney et al. 2009, Ehrlich et al. 2012). Pendekatan kawasan ekosistem (ekoregion)
merupakan tantangan tersendiri. Pendekatan dengan basis karakteristik alam dan lingkungan yang
khas memerlukan pemahaman pada dimensi dasar dari karakteristik, yang mana menandakan
potensi.
Lebih lanjut, kita ketahui bahwa upaya mencapai perbaikan keselamatan, mutu hidup dan
kesejahteraan masyarakat sesuai yang tertuang dalam Pasal 12 pada Undang-Undang 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup akan sangat tergantung pada
banyak hal. Realita dinamika penghidupan masyarakat sangat kompleks dan mencakup bekerjanya
berbagai unsur yang memberikan hasil akhir perbaikan taraf kehidupan masyarakat. Terkait fokus
pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, penting kita mencatat dua hal pokok
meliputi (1) kondisi dan bekerjanya tata kelola kebijakan lingkungan hidup (ecosystem governance)
dan (2) bagaimana kualitas dari tata kelola pemerintahan secara umum (state governance). Diagram
berikut memberikan gambaran lebih jauh tentang inter-relasi yang menentukan kondisi tata kelola
lingkungan hidup dan tata kelola kebijakan pemerintahan dalam mengelola kehidupan, khususnya
di bidang ekonomi (yang mencakup pula pilihan teknologi) yang menjadi driver utama perubahan
lingkungan hidup.
Pada Diagram berikut memberikan gambaran singkat tentang struktur interaksi elemen
yang menentukan hasil akhir keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Menjadi
perhatian kita adalah unsur penggerak perubahan lingkungan (driver perubahan) yang sangat erat
dengan berjalannya proses industrialisasi, pertambahan penduduk dan teknologi yang digunakan
85
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
untuk menggerakkan produksi. Semua unsur ini menjadi stressor (penekan) bagi berfungsinya jasa
lingkungan hidup; memberikan manfaat lingkungan bagi kehidupan manusia. Dalam konteks
bekerjanya industri, urbanisasi dan fasilitasi kesejahteraan masyarakat akan ditentukan oleh
kualitas kebijakan publik dan khususnya kebijakan serta implementasi tata kelola lingkungan
hidup.
Aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan dirumuskan pada suatu parameter yang
terminologinya sudah disepakati, yaitu Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan sebagai
indikator outcome dari D3TLH Provinsi. Kemudian, gabungan dari ketiga indeks tersebut akan
menjadi indeks akumulatif yang disebut Indeks Keselamatan, Mutu Hidup dan Kesejahteraan (KMK).
Indeks KMK ini termasuk dalam kategori indeks rata-rata relatif kuantitas sederhana, yang memiliki
bobot masing-masing unsur pembentuknya dengan nilai yang setara. Dalam perhitungan ini
menunjukkan masing-masing indeks pembentuk memiliki nilai 1/3 atau 3,33. Kemudian, setiap
indeks akan terdiri dari 2 atau lebih variabel. Variabel tersebut akan terdiri dari satu indikator yang
menjadi tolok ukur serta menggunakan data yang sudah tersedia. Hal ini menunjukkan pendekatan
perhitungan Indeks KMK ini menggambarkan secara makro terhadap kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi suatu wilayah.
86
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
5.1.2.4 Keselamatan
Keselamatan adalah kondisi kesehatan diri yang menyangkut fisik manusia yang harus
dijaga baik mengenai keamanan tubuh/jasmani, rohani/jiwa dan sosial maupun keselamatan dari
gangguan/ancaman terhadap jiwa dan raga manusia. Keselamatan hidup yang tingkatannya
ditinjau menggunakan akses hunian layak, sedangkan untuk keselamatan dari bahaya ditinjau
menggunakan indikator risiko bencana suatu wilayah. Hasil dari perhitungan kedua variabel
tersebut akan bermakna semakin tinggi nilai akses hunian yang layak dan terjangkau serta semakin
kecil nilai risiko bencana di suatu wilayah, maka semakin besar nilai keselamatan wilayah tersebut.
Keselamatan Hidup
Keselamatan hidup merupakan pengetahuan sebagai kapasitas seseorang dalam menjaga,
melindungi diri dan sosialnya terhadap ancaman/bahaya dan cara-cara untuk menghindari diri dari
segala sesuatu yang mengancam dan membahayakan keselamatan. Variabel keselamatan diri
diidentifikasi dengan indikator akses hunian yang layak dan terjangkau. Data untuk keselamatan
hidup ini bersumber dari walidata: Badan Pusat Statistik melalui ‘Persentase Rumah Tangga yang
Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan Terjangkau Menurut Provinsi’. Data tersebut dalam
bentuk proporsi dengan dengan satuan persentase. Pemilihan akses hunian layak dan terjangkau
karena memiliki kriteria yang sudah cukup makro dan memiliki makna yang mengindikasi pada
kondisi kesehatan masyarakat. Pendekatan akses hunian layak ini sejak tahun 2019 ini sudah
memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu kecukupan luas tempat tinggal per kapita, akses terhadap air
minum layak, akses terhadap sanitasi layak dan ketahanan bangunan. Sejalan dengan tujuan
Sustainable Development Goals tentang komitmen masyarakat internasional mendukung hak asasi
manusia melalui aksi mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi
lingkungan.
Keselamatan dari Bahaya
Keselamatan dari bahaya adalah suatu usaha, kegiatan atau peristiwa baik mencapai sehat
dan aman dari manusia, makhluk hidup maupun untuk alam yang dapat dinilai bisa
87
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
membahayakan diri komunitas, bangsa dan maupun tanah air. Variabel keselamatan dari bahaya
(aman) diidentifikasi melalui indikator risiko bencana. Makna dari indikator risiko bencana ini
nantinya merupakan nilai yang berbanding terbalik untuk penilaian keselamatan. Data untuk
keselamatan dari bahaya ini bersumber dari walidata: Badan Penanggulangan Bencana Indonesia
melalui Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Data tersebut berupa indeks nilai. Pemilihan IRBI
karena kajian risiko bencana dilakukan dengan melakukan perhitungan pada komponen bahaya
(ancaman dan keterpaparan bencana alam), kerentanan dan atau kerawanan (kondisi fisik
lingkungan dan sosial, ekonomi, dan budaya), dan kapasitas (kebijakan dan kelembagaan) di
masing-masing provinsi (BNPB, 2023).
Penilaian parameter bahaya dilakukan penentuan bobot pada masing-masing jenis bahaya
yang diidentifikasi melalui hubungan antara frekuensi kejadian dengan adanya tidak peringatan.
Ilustrasi menggunakan kuadran dari keterhubungan tersebut di Gambar 3-6. Jenis bahaya tersebut
diberikan tingkat bobot yang bernilai 3, 4 dan 5, sebagai berikut:
- Bobot 3 dengan frekuensi kejadian rendah dan terdapat peringatan, yaitu bencana letusan
gunung api.
- Bobot 4 dengan frekuensi kejadian rendah tetapi dan tanpa peringatan, yaitu tsunami, gempa
bumi dan kebakaran permukiman
- Bobot 4 dengan frekuensi kejadian tinggi dan ada peringatan, yaitu badai, banjir, dan
kebakaran hutan
- Bobot 5 dengan frekuensi kejadian tinggi dan tanpa peringatan, yaitu banjir dan longsor.
Disclaimer Keselamatan
Kondisi sehat terbagi menjadi sehat sosial yang menunjukkan semakin banyak jumlah
Lembaga di suatu wilayah menandakan semakin baiknya wilayah tersebut melakukan bonding,
bridging dan linking social untuk beralkulturasi, asimilasi dan amalgamasi, menunjukkan
kohesifitas sosial dan colective efficacy sehingga tidak menimbulkan segregasi sosial yang dapat
88
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
menurunkan konflik antar individu atau kelompok. Sehat rohani pada suatu wilayah menandakan
bahwa setiap individu memiliki agama yang dianut. Selanjutnya, yang paling mendasar yaitu sehat
jasmani terkait kondisi fisik yang menandakan setiap individu mampu berperilaku memelihara,
menjaga normalnya fungsi organ tubuh yang tidak berpotensi terganggu agent penyakit dan kondisi
lingkungannya. Dalam perhitungan keselamatan alam penyusunan D3TLH disepakati
menggunakan aspek sehat jasmani melalui akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau.
89
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Kualitas Penduduk
Kualitas Penduduk adalah tujuan dari upaya pembangunan manusia diharapkan dapat
mengoptimalkan pembangunan nasional. Variabel kualitas penduduk diidentifikasi dengan
indikator pembangunan manusia. Pembangunan manusia adalah upaya untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia (freedom and choice) melalui berbagai aspek seperti umur panjang dan
sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak dan berkelanjutan. Data untuk kualitas penduduk ini
bersumber dari walidata, yaitu Badan Pusat Statistik melalui Indeks Pembangunan Manusia
Provinsi. Data tersebut merupakan data indeks nilai. Pemilihan Indeks Pembangunan Manusia
karena memiliki kriteria yang sudah cukup makro dan memiliki makna yang mengindikasi pada
kualitas hidup suatu penduduk dengan indikator umur harapan hidup saat lahir, harapan lma
sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan (BPS, 2022).
Pendekatan Indeks Pembangunan Manusia ini sejak tahun 2014 telah terjadi penyempurnaan
metode dan standarisasi dari UNDP.
Pemajuan Kebudayaan
Upaya meningkatkan ketahanan identitas (esensial dan interaksional) dan kontribusi
perilaku, budaya Indonesia merdeka menentukan pilihan (freedom and choice) di tengah peradaban
dunia melalui pembangunan kebudayaan disebut juga pemajuan kebudayaan. Variabel pemajuan
90
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
kebudayaan diidentifikasi dengan indikator karakter ruang budaya. Karakter ruang budaya adalah
gambaran dari kualitas kebudayaan yang dilihat dari ketahanan sosial dan budaya, warisan budaya
dan budaya literasi. Data untuk karakter ruang budaya ini bersumber dari walidata, yaitu
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Badan Pusat Statistik melalui Indeks Pembangunan Kebudayaan
Provinsi. Data tersebut merupakan indeks nilai. Pemilihan Indeks Pemajuan Kebudayaan karena
memiliki kriteria dalam 3 dimensi yang disepakati dapat mewakili gambaran dari dinamika
kebudayaan yang sudah memperhatikan bobot yang sudah memenuhi >50% dari keseluruhan
bobot dalam IPK, serta ketiga dimensi tersebut tidak mengalami pengulangan indikator penilaian
dengan indikator yang dipilih oleh Indeks Pembangunan manusia. Tindak lanjut terkait karakter
ruang budaya adalah untuk menilai perilaku budaya terkait lingkungan hidup. Dimensi yang
digunakan dalam penyusunan skor mutu hidup ini adalah dimensi warisan budaya, ketahanan
sosial dan budaya serta budaya literasi. Pendekatan ini sebagai proxy dalam menganalogikan mutu
hidup dan menuju sejahtera rakyat saat bangsa tersebut dapat menjaga nilai warisan budaya /cagar
budaya (benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cahar budaya,
struktur cagar budaya) dan bahasa, seni daerah. Sehingga, dinamisnya budaya dalam penilaian
pemajuan atau proses pembangunan budaya, lebih tepat dengan membandingkan dua periode
tahun dari masing-masing dimensi yang disepakati, yaitu selisih angka dari tahun 2021 dan 2020.
• Aspek budaya mendapati asumsi terkait unsur pengetahuan atau proses pembelajaran
sebagai penguatan akar suatu individu di suatu bangsa agar menciptakan kemampuan
beradaptasi, modifikasi, menemukan hal baru (invention) dan inovasi (murah, mudah,
cepat, tidak merusak dan berguna pendukung keberlangsungan lingkungan hidup).
• Penggunaan data dari Indeks Pembangunan Kebudayaan didapati masih terbatas yang
diidentifikasi bersumber dari daftar pertanyaan atau daftar indikator pada masing-masing
dimensi, tetapi sudah dapat dijadikan proxy bentuk Indeks Pembangunan kebudayaan
sebagaimana menggunakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang masih bersifat
makro. Hal ini menunjukan, setiap nilai dimensi yang nilainya langsung digunakan tidak
dapat mencerminkan kondisi yang lebih detail.
• Angka penilaian warisan budaya menunjukan indikasi angka pencapaian pemerintah
daerah terhadap kinerja pemajuan kebudaayan itu sendiri sesuain dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan Pemerintah sebagai acuan
legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
• Perihal warisan budaya/cagar budaya, setiap pemerintah pusat dan daerah membentuk
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB daerah provinsi, Kabupaten/Kota dan TACB Nasional) yang
kinerja dan capaiannya menjadi indikator penilaian apakah tim ahli cagar budaya tersebut
melakukan tugasnya yaitu : pengkajian, pengklasifikasian, mereview berkas usulan,
merekomendasikan: objek pendaftaran, penetapan, pemeringkatan, penginventarisasian
ulang cagar budaya yang ditemukan kembali dan penghapusan cagar budaya, dalam
rangka Pelestarian: perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya untuk
pembelajaran jejak nilai-nilai sejarah bangsa (jatidiri bangsa / identitas esensial dan
interaksional) atau masih belum optimal dalam menjaga warisan budaya yang tersedia di
masing-masing provinsi atau kabupaten/kota dan Nasional.
91
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
• Perihal literasi budaya, setiap pemerintah daerah bekerja sama dengan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Organisasi Riset Arbastra - BRIN (Arkeologi,
Bahasa, dan Sastra – Badan Riset Inovasi Nasional), khusus terkait dengan warisan budaya
intangible (tak benda), di antaranya: bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku
terstruktur lain. (Edi Sedyawati: dalam pengantar Seminar Warisan Budaya Takbenda,
2002).
• Keterbatasan pembahasan aspek budaya melalui dimensi yang terdapat di Indeks
Pembangunan Kebudayaan dalam penyusunan D3TLH masih belum menggunakan
kacamata Lingkungan dalam daftar pertanyaan atau indikator penilaiannya.
Sebelum perhitungan standarisasi data untuk variabel karakter ruang budaya, diperlukan
perhitungan dinamika dari tahun 2020 ke tahun 2021 untuk ketiga dimensi penyusunnya yaitu
Warisan Budaya, Budaya Literasi, dan Ketahanan Sosial dan Budaya, dengan persamaan sebagai
berikut:
Indeks Tahun 2021
𝐃𝐢𝐧𝐚𝐦𝐢𝐤𝐚 𝐏𝐞𝐫 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 − 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐦𝐞𝐧𝐬𝐢 = × 100
Indeks Tahun 2020
Kemudian, perhitungan yang dilakukan setelah menghitung dinamika untuk ketiga dimensi
adalah perhitungan akumulatif dinamika karakter ruang budaya. Persamaan tersebut sebagai
berikut:
Dinamika Karakter Ruang Budaya
D𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝑊𝑎𝑟𝑖𝑠𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎 + 𝐷𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎 𝐿𝑖𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 + 𝐷𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘𝑎 𝐾𝑒𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑑𝑎𝑦𝑎
=
3
Langkah selanjutnya adalah standarisasi untuk dinamika karakter ruang budaya. Berikut operasi
matematika standarisasi data min-max untuk karakter ruang budaya:
92
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Hasil perhitungan skor mutu hidup akan dikategorikan menggunakan rentang 0 sebagai skor
terendah dan 1 sebagai skor tertinggi. Penjabaran dari rentang kelas dan kategori mutu hiduppada
Tabel 3-18 berikut.
Tabel 318 Kelas Skor Mutu Hidup
5.1.2.6 Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah keadaan dimana manusia secara individu dan atau kolektif dapat
menikmati utilitas hidup (utilitas neto) yang maksimal, yang pencapaian ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan tingkat
pengangguran terbuka. Bila nilai sekarang (present value) utilitas yang dinikmati oleh generasi
yang akan mendatang adalah minimal sama (≥) dengan utilitas yang dinikmati generasi
sebelumnya, maka perekonomian mencapai kondisi berkelanjutan. Bila diasumsikan tidak adalah
masalah-masalah institusional dan tata nilai, maka tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yang dievaluasi dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan
tingkat pengangguran terbuka.
93
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah bertambahnya kuantitas produksi agregat perekonomian
suatu wilayah, selama satu periode tertentu. Suatu perekonomian dikatakan mengalami
pertumbuhan bila kuantitas produksi agregatnya bertambah. Laju kecepatan pertambahan
kuantitas produksi agregat per satuan waktu di sebut laju pertumbuhan ekonomi. Bila laju
pertumbuhan ekonomi makin tinggi, maka kinerja makro dikatakan makin baik. Di Indonesia,
selama periode 2010-2020 laju pertumbuhan ekonomi adalah antara -2,1% per tahun sampai
dengan 6,5% per tahun (Diolah dari data BPS). Sementara itu di tingkat provinsi, angka
pertumbuhan ekonomi lebih bervariasi, dimana terdapat provinsi-provinsi yang mengalami
pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% per tahun (BPS, 2023). Maka, diperlukan dasar penentuan
kriteria pertumbuhan ekonomi dari data nasional tahun 1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan
data provinsi khusus tahun 2022. Penentuan tingkatan dari pertumbuhan ekonomi dalam kriteria 5
kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-14 Dasar Penentuan Kriteria Pertumbuhan Ekonomi
Pengukuran laju inflasi menggunakan data Indeks Harga Implisit (IHI). Angka IHI merupakan
rasio antara nilai PDB harga berlaku dengan PDB harga konstan. Inflasi berdasarkan angka IHI
94
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
menunjukkan laju inflasi yang paling agregat (Rahardja & Manurung, 2019). Bila laju inflasi makin
tinggi maknanya kenaikan biaya hidup makin cepat.
Belum ada kesepakatan internasional tentang berapa laju inflasi atau deflasi yang baik,
walaupun sudah ada konsensus tentang laju inflasi yang dapat ditoleransi. Studi empiris
menunjukkan bahwa laju inflasi yang sangat tinggi, yaitu ≥30% per tahun akan sangat
membahayakan perekonomian dan stabilitas sosial. Dalam kasus-kasus khusus dapat terjadi
hyperinflation (lebih tinggi dari 100%/tahun), bahkan pernah mencapai lebih dari 1000% per tahun.
Kondisi-kondisi ekstrem ini terjadi karena buruknya pengelolaan perekonomian dan atau
ketidakstabilan politik dalam jangka panjang. Dampaknya terhadap kesejahteraan sosial jauh lebih
berat dibanding dengan laju inflasi yang sekitar 30% per tahun.
Kondisi ekstrem yang berkebalikan dari inflasi yang tinggi adalah deflasi. Perekonomian
yang mengalami deflasi apa lagi berkepanjangan, memberikan indikasi bahwa perekonomian
tersebut mengalami kelesuan atau resesi berkepanjangan. Dampak paling terasa dari deflasi adalah
meningkatnya angka pengangguran. Makin dalam dan makin lama deflasi berlangsung, maka
tingkat pengangguran juga akan semakin tinggi. Di Indonesia, data empiris inflasi selama periode
2010-2020 adalah antara -2,1% sampai dengan 11% per tahun. Pada level provinsi, datanya lebih
bervariasi, namun tidak ada provinsi yang inflasinya pernah mencapai lebih dari 12% per tahun.
Maka, diperlukan dasar penentuan kriteria stabilitas harga umum dari data nasional tahun
1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan data provinsi khusus tahun 2022. Penentuan tingkatan dari
stabilitas harga umum dalam kriteria 5 kelas, sebagai berikut:
Pengangguran adalah angkatan kerja (penduduk usia ≥ 15 tahun) dan ingin bekerja, tetapi
tidak mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran menunjukkan proporsi angkatan kerja yang
menganggur. Di Indonesia, angka pengangguran yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah, yakni
BPS (Badan Pusat Statistik), adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT), yaitu Tingkat
pengangguran terbuka adalah proporsi angkatan kerja yang menganggur dalam suatu wilayah,
selama satu periode tertentu. Karena berbagai faktor, terutama institusional, maka dalam kondisi
ekonomi yang paling baik dan stabil pun, TPT tidak pernah mencapai 0%. Kajian teoritis dan empiris
menunjukkan bahwa dalam kondisi ekonomi yang paling baik, TPT setidak-tidaknya adalah 4%-6%
angkatan kerja. Bila TPT makin tinggi, maka kinerja ekonomi makro dinilai semakin buruk.
Di Indonesia, selama 2010-2020 pada level nasional, angka TPT adalah antara 5% sampai
dengan 10%. Pada tingkat provinsi, di periode yang sama angka TPT tertinggi adalah 11%,
sedangkan terendah adalah antara 3,3%. Data-data empiris kinerja ekonomi makro pada level
95
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
nasional dan provinsi akan digunakan sebagai dasar untuk penghitungan skor indikator
kesejahteraan. Maka, diperlukan dasar penentuan kriteria Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari
data nasional tahun 1970-2022, data provinsi 2018-2022, dan data provinsi khusus tahun 2022.
Penentuan tingkatan dari TPT dalam kriteria 5 kelas, sebagai berikut:
Tabel 5-16 Dasar Penentuan Kriteria Tingkat Pengangguran Terbuka
Langkah kedua dengan melakukan perhitungan laju inflasi tahun 2021-2022. Data yang
digunakan adalah data harga implisi tahun 2021 dan 2022. Di bawah ini merupakan operasi
matematika:
Indeks Harga Implisit Tahun 2022 − Indeks Harga Implisit Tahun 2021
𝐋𝐚𝐣𝐮 𝐈𝐧𝐟𝐥𝐚𝐬𝐢 = × 100
Indeks Harga Implisit Tahun 2021
Predikat nilai di sebaran data pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum, tingkat
pengangguran terbuka, selanjutnya di akumulatifkan sehingga menghasilkan skor kesejahteraan.
Jadi, skor Kesejahteraan menggunakan operasi matematika sebagai berikut:
Skor Kesejahteraan = f {Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Harga Umum, Tingkat Pengangguran
Terbuka}
(P𝐸) + (SHU) + (𝑇𝑃𝑇)
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝐾𝑒𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 =
2
96
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Keterangan:
PE = Predikat Niliai Pertumbuhan Ekonomi
SHU = Predikat Nilai Stabilitas Harga Umum
TPT = Predikat Nilai Tingkat Pengangguran Terbuka
1. Hasil dari skor keselamatan dan mutu hidup dilakukan normalisasi data untuk
mendapatkan rentang 0-1
2. Skor keselamatan dan mutu hidup yang sudah dilakukan normalisasi, serta hasil dari skor
kesejahteraan diberikan skala peringkat untuk mendapatkan bobot yang setara pada
ketiga skor dengan rentang 1-5
3. Setelah dilakukan skala peringkat pada masing-masing skor, kemudian dilakukan rata-rata
hitung dari ketiga skor tersebut.
4. Setelah didapatkan rata-rata hitung tersebut, kemudian dilakukan normalisasi data untuk
mendapatkan hasil dari Indeks KMK dengan rentang 0 sebagai skor terendah dan 1 sebagai
skor tertinggi.
97
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Hasil perhitungan Indeks KMK dilakukan klasifikasi ke dalam 5 kategori visualisasi masing-
masing kategori dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Melalui metode pendekatan peta berbasis
wilayah administrasi provinsi ditambah data terkait dari lembaga yang kredibel.
Tabel 5-18 Kelas Indeks KMK
Pada tahap ini akan dilakukan sintesis untuk memadankan hasil perhitungan kondisi
biogeofisik dan sosekbud pada masing-masing wilayah. Sintesis dilakukan melalui analisis kuadran
yang umumnya bermanfaatkan untuk mengidentifikasi prioritas indikator-indikator yang harus
diperbaiki. Oleh karena itu, sintesisnya dinamakan Kuadran Keberlanjutan yang didefinisikan
sebagai posisi suatu wilayah yang dapat menggambarkan sejauh mana kondisi lingkungan hidup
dan masyarakatnya menuju kondisi keberlanjutan. Selain itu, Kuadran keberlanjutan juga
bermakna rambu-rambu yang harus dilakukan agar wilayahnya tetap dapat berfungsi sebagaimana
mestinya dan berkelanjutan dalam memenuhi demand dari masyarakat. Untuk pembahasan
Kuadran Keberlanjutan, wilayah yang dimaksud menggunakan batas administrasi berupa provinsi.
98
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Pada subbab Gap Jasa Lingkungan Hidup, telah dijelaskan bahwa jasa lingkungan hidup
dikompositkan menjadi satu nilai berupa indeks. Adapun indeksnya merupakan gabungan antara
jasa lingkungan hidup untuk tata air, pangan, dan kehati yang kemudian disebut dengan IJLH
Gabungan. Dalam Kuadran Keberlanjutan, rata-rata nasional menggunakan IJLH Gabungan untuk
optimum yang sudah melalui perhitungan rata-rata geometrik. Sedangkan IJLH Gabungan untuk
eksisting yang akan menentukan posisi kondisi lingkungan hidup suatu provinsi pada kuadran. IJLH
Gabungan untuk eksisting menjadi sumbu X dengan ketentuan berikut.
• Apabila IJLH Gabungan Eksisting < IJLH Gabungan Optimum maka posisinya akan berada
di sebelah kiri atau sekitar Kuadran II dan IV
• Apabila IJLH Gabungan Eksisting > IJLH Gabungan Optimum maka posisinya akan berada
di sebelah kanan atau sekitar Kuadran I dan III
Posisi Indeks Keselamatan, Mutu Hidup, dan Kesejahteraan
Pada subbab perhitungan kondisi keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan, telah
dijelaskan bahwa ketiga parameter dikompositkan menjadi satu nilai berupa indeks. Adapun
indeksnya merupakan gabungan antara tiga parameter tersebut yang kemudian disebut dengan
Indeks KMK. Dalam Kuadran Keberlanjutan, rata-rata nasional menggunakan perhitungan rata-rata
geometrik Indeks KMK, yang kemudian disebut Capaian Nasional. Sedangkan Indeks KMK masing-
masing provinsi yang akan menentukan posisi kondisi sosial, ekonomi, dan budaya suatu provinsi
pada kuadran. Indeks KMK menjadi sumbu Y dengan ketentuan berikut.
• Apabila Indeks KMK Provinsi < Capaian Nasional, maka posisinya akan berada di bagian
bawah atau di Kuadran III atau IV
• Apabila Indeks KMK Provinsi > Capaian Nasional, maka posisinya akan berada di bagian atas
atau sekitar Kuadran I dan II
Posisi Kuadran Keberlanjutan
99
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
• Kuadran III sebagai Peningkatan Kesejahteraan bernilai memiliki Indeks Jasa Lingkungan
Hidup Eksisting tinggi dan Indeks KMK Eksisting dibawah nilai rata-rata nasional, maka
mengedepankan lebih ditingkatkan lagi pemanfaatannya.
• Kuadran IV sebagai Tantangan Ekologis dimana Indeks Jasa Lingkungan Hidup Eksisting
dan Indeks KMK Eksisting di bawah rata-rata nasional, maka menunjukkan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhannya sehingga membutuhkan impor.
100
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
administrasi didasarkan pada penyediaan data secara nasional oleh instansi terkait yang umumnya
dimulai dari provinsi hingga kecamatan.
Berdasarkan tahapannya, data spasial yang digunakan hanya merujuk pada kondisi
biogeofisik untuk mendapatkan hasil dari Biokapasitas, Optimasi Alokasi Penutupan Lahan sebagai
acuan Jasa Lingkungan Hidup Optimum, serta Jasa Lingkungan Hidup Eksisting. Adapun secara
detail akan dijabarkan pada tabel berikut.
101
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
102
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
103
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Kedua, kurangnya alat ukur yang memadai dapat menjadi kendala. Beberapa data
dalam tabel ini, seperti jejak ekologis kayu bulat, mungkin kurang lengkap karena minimnya alat
ukur yang tersedia. Investasi yang rendah dalam pengembangan dan pemeliharaan peralatan
pemantauan lingkungan dapat mengganggu akurasi data dan kemampuan untuk mengukur
dampak aktivitas manusia pada lingkungan.
Ketiga, isu skala merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Data dalam tabel ini
memiliki berbagai tingkat skala dan resolusi. Beberapa data hanya tersedia pada tingkat provinsi,
sementara yang lain memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi. Perbedaan dalam skala data dapat
menjadi tantangan dalam mengintegrasikannya untuk analisis yang komprehensif.
Keempat, tidak tersedianya beberapa data fisik lainnya. Ada beberapa jenis data yang
seharusnya masuk ke dalam analisis tetapi tidak dimasukkan karena tidak tersedia datanya.
Beberapa informasi yang mungkin belum tercakup dalam inventarisasi adalah data iklim yang lebih
rinci, termasuk pola curah hujan tahunan, musim kering/basah, dan fluktuasi suhu yang dapat
memengaruhi produktivitas lingkungan. Selain itu, data yang mencakup faktor-faktor seperti
kualitas tanah, yang melibatkan parameter seperti kandungan nutrisi dan struktur fisik tanah tidak
104
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
tersedia secara lengkap. Begitu pula, data hidrologi seperti debit air dan pola aliran sungai yang
memainkan peran dalam analisis dampak hidrologi dan lingkungan juga tidak tersedia secara
lengkap.
Gap data ini menyoroti pentingnya mendapatkan sumber data yang lebih kaya dan
komprehensif dalam upaya menyusun D3TLH yang akurat dan representatif. Kolaborasi lintas sektor
dan integrasi data dari berbagai sumber menjadi krusial dalam mengatasi keterbatasan ini dan
menghasilkan analisis yang mendalam dan berkelanjutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
inventarisasi data mengalami keterbatasan dalam segi kondisi yang belum ideal. Hal ini
dikarenakan data biogeofisik harus lebih spesifik namun pada kenyataannya tidak bisa akibat
kurangnya alat ukur, investasi yang lemah dalam penyediaan alat ukur, serta isu skala yang
terkadang antar instansi kedalamannya berbeda. Namun dengan berbagai proses yang dilalui
seperti forum diskusi dengan berbagai kalangan ahli, akademisi, dan birokrat, memberikan
masukan bahwa dengan hasil inventarisasi data yang telah dikumpulkan sudah cukup untuk
membantu dalam perhitungan daya dukung daya tampung lingkungan hidup dari perspektif
biogeofisik.
Penentuan D3TLH ini akan sedikit berbeda dari perhitungan idealnya dimana dalam
prosesnya ada yang perlu dikurangi maupun ditambahkan. Tentunya metode tersebut dipastikan
mampu menggambarkan dengan tepat kompleksitas dan interaksi antar faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi kapasitas lingkungan. Selain itu, mencakup juga langkah kerja yang sistematik
dimulai dari pengumpulan data yang komprehensif, kesesuaian analisis terhadap ruang lingkup
wilayah, hingga mendapatkan hasil integrasi yang cukup holistik.
Meskipun terdapat pembaharuan, metode tersebut dalam praktiknya tetap tidak serta
merta bernilai sangat ideal. Tetap ada keterbatasan khususnya diakibatkan dari keterbatasan data
yang seringkali menjadi kendala utama dalam penerapan metode yang ideal. Dapat dikarenakan
ketersediaannya yang terbatas, tidak sesuai kualitas yang diinginkan, ataupun tidak memadainya
teknologi dalam menganalisis data. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian guna mengatasi
keterbatasan metodologi dengan mempertimbangkan kualitas dan validitas analisis, serta diskusi
lanjutan dari para ahli dan stakeholders terkait.
D3TLH didefinisikan sebagai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya
dukung sebagai ambang batas lingkungan hidup yang dapat memenuhi kebutuhan manusia secara
105
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
optimal. Sedangkan daya tampung sebagai ambang batas beban pencemaran yang dapat diserap
oleh lingkungan hidup misalnya timbulan sampah atau tinja. Namun sejauh ini belum ada diskursi
ilmiah yang menggabungkan keduanya. Bahkan pendefinisian dari UU 32/2009 masih diartikan
secara terpisah. Pada perhitungan biogeofisik sebenarnya hanya mampu memberikan
informasi daya dukung saja dengan hasilnya menunjukkan jumlah penduduk optimum yang
dapat didukung dari penutupan lahan optimum.
Selain itu, daya tampung di Indonesia yang ada hanya berkaitan dengan sungai dan baru
ada di 3 DAS. Sehingga melalui diskusi antara para pakar dan pemangku kebijakan terkait,
diperlukan pendefinisian baru untuk D3TLH yang mengikuti kaidah literatur dunia dan
metodologi yang dipilih. Daya tampung melebur menjadi satu dengan daya dukung dimana
merujuk pada jumlah penduduk yang dapat ditampung dan dipenuhi kebutuhan akan lingkungan
hidup pada suatu wilayah tertentu. Definisi baru D3TLH berkaitan dengan kemandirian suatu
wilayah dalam memenuhi kebutuhan fisiologis penduduknya sendiri. Hal ini menunjukkan
apabila suatu wilayah berstatus D3TLH telah terlampaui, maka bukan berarti harus mengurangi
penduduknya misalnya dengan program transmigrasi. Melainkan menunjukkan bahwa suatu
wilayah tersebut memiliki tantangan dalam memastikan ketersediaan dan kecukupan
pasokan kebutuhannya sehingga membutuhkan strategi pengadaan dari wilayah lainnya.
Optimasi Alokasi Penutupan Lahan
Optimasi alokasi penutup lahan memiliki dua fungsi, yaitu fungsi tujuan untuk
maksimalkan nilai daya dukung berupa jumlah penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhannya dan
fungsi pembatas (constraint) untuk menentukan luas tiap pulau/kepulauan yang dapat dijadikan
alternatif pemenuhan kebutuhan berdasarkan kesesuaian fisik lahan. Dalam proses analisisnya,
optimasi alokasi penutupan lahan memiliki keterbatasan metodologi sebagai berikut.
1. Pengolahan data pada pemodelan alokasi luas penutupan lahan
• Keterbatasan 1: Penggunaan terminologi biokapasitas yang berbeda dengan
perumusan matematis pada umumnya. Biokapasitas umumnya selain luas lahan dari
setiap kategori lahan bioproduktif juga mengacu pada faktor panen dan faktor
ekivalensi untuk kategori lahan yang dimaksud. Namun, pada pemodelan alokasi luas
penutupan lahan ini yang dimaksud biokapasitas berdasarkan luas dan
produktivitas lahan dari setiap kategori lahan bioproduktif yang sudah
mengadopsi sesuai ketentuan secara umum dan jenis penutupan lahan di
Indonesia. Sedangkan yield faktor (faktor panen) dan Equivalence Faktor (faktor
ekivalensi per kategori lahan) akan melebur dalam perhitungan di Jejak Ekologis yang
tentunya sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
• Keterbatasan 2: Kebutuhan fisiologis dalam Jejak Ekologis diasumsikan bahwa
setiap orang di setiap pulau/kepulauan memiliki standardisasi jumlah kebutuhan
yang sama. Mengacu pada kondisi eksisting hingga tahun 2022 dengan beberapa
ketentuan secara nasional maupun kajian literatur lainnya.
• Keterbatasan 3: Pemodelan lokasi luas hanya mampu menjelaskan pemenuhan
kebutuhan di wilayahnya sendiri. Belum mampu menjelaskan apakah suatu
Pulau/Kepulauan dapat melakukan ekspor maupun menyokong kebutuhan di
Pulau/kepulauan lainnya yang lebih defisit. Sehingga hanya menjelaskan suatu
106
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
107
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Merujuk kembali pada metodologi, hasil Optimasi Alokasi Penutupan Lahan akan diperoleh
dua hasil, yaitu jumlah penduduk optimum dan jasa lingkungan hidup optimum. Jumlah penduduk
optimum ini memiliki keterbatasan dengan disyaratkan dari jasa lingkungan hidup optimum.
Sedangkan posisi jasa lingkungan hidup optimum sebagai tambahan suplai untuk memenuhi
kebutuhan penduduk tersebut. Keterbatasan metodologi D3TLH terdapat dalam jasa lingkungan
hidup optimum.
Pada hakikatnya, jasa lingkungan hidup pada D3TLH seharusnya dapat menjelaskan 5 SDA
Potensi Terbarukan meliputi air, lahan, udara, laut, dan keanekaragaman hayati. Metodologi dalam
menghitung jasa lingkungan hidup berdasarkan pemberian bobot dan skoring pada parameter yang
membangun jasa lingkungan hidup. Adapun parameternya adalah karakteristik bentang alam,
karakteristik vegetasi alami, dan penutupan lahan. Namun melihat keterbatasan dalam bobot dan
skoring, jasa lingkungan hidup pada penentuan D3TLH ini diubah hanya menjadi 3 SDA Potensi
Terbarukan, yaitu air, lahan, dan kehati. Keterbatasan bobot dan skoring dimaksudkan untuk
mengikuti yang sudah ada meskipun belum melalui proses verifikasi secara faktual. Bobot dan
skoring juga mengikuti skala ekoregion dengan ukuran 1:250.000.
Melalui ketetapan ini, hasil jasa lingkungan hidup apabila nantinya diturunkan menjadi
skala 1:125.000 masih bernilai relevan. Selain itu, hingga Materi Teknis Penentuan dan Penetapan
D3TLH Nasional disusun, jasa lingkungan hidup yang dihasilkan akan mampu secara agregat
menjelaskan kondisi pengatur air, pendukung kehati, dan penyedia pangan. Keterbatasan yang
terakhir adalah jasa lingkungan hidup berkaitan dengan luasan. Namun apabila dijadikan
sebagai indeks jasa lingkungan hidup maka akan ada informasi terkait luasan menjadi tidak
bermakna. Selain itu, ketiga jenis jasa lingkungan hidup yang dikompositkan menjadi satu nilai
indeks atau disebut dengan IJLH Gabungan disamaratakan proporsinya menggunakan
perumusan rata-rata geometrik. Sehingga keterbatasannya tidak dapat dikatakan bahwa satu
sumber daya alam lebih penting untuk ditingkatkan maupun dilindungi dibandingkan yang
lainnya. Meskipun pada kenyataannya air dan kehati yang akan mempengaruhi jasa lingkungan
hidup lainnya. Dengan kata lain, IJLH Gabungan menggambarkan kualitas suatu wilayah terkait
fungsi, proses, dan produktivitas lingkungan hidup dalam menunjang kehidupan manusia.
108
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Variabel setiap indikatornya sudah menggambarkan kebutuhan data yang digunakan untuk
menyokong D3TLH serta mudah untuk diakses untuk data-data tersebut. Data yang digunakan
untuk perhitungan sosial, ekonomi dan budaya menggunakan data dari Pemerintahan terkait yang
tersedia sebagai walidata yang sah dengan kondisi data sudah sederhana dan operasional. Walidata
yang digunakan antara lain dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Satuan data yang digunakan
adalah menggunakan data Administrasi (Provinsi).
Data Sosial
Data sosial digunakan untuk mengukur kenyamanan hidup melalui kualitas tempat tinggal
dan tingkat risiko bencana. Data tersebut memainkan peran dalam analisis keselamatan. Data
untuk mengindikasi kualitas tempat tinggal menggunakan akses terhadap hunian yang layak.
Rumah tangga diklasifikasikan memiliki akses terhadap hunian/rumah layak huni apabila
memenuhi kriteria, yaitu: kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2 m2 per kapita (sufficient living
space); memiliki akses terhadap air minum layak; memiliki akses terhadap sanitasi layak; ketahanan
bangunan (durable housing). Data akses terhadap hunian yang layak merupakan data gabungan
dari beberapa variabel pembentuk dengan output dalam bentuk persentase dengan kedalaman
data pada tingkat provinsi.
Data kebencanaan merupakan indeks kebencanaan yang dihasilkan oleh walidata dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sehingga, untuk memberikan gambaran tentang
kebencanaan suatu wilayah sudah merupakan hasil indeks. Indeks risiko bencana sendiri
merupakan gabungan dari data bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Dimana data bahaya mencakup
9 (sembilan) jenis ancaman, yakni gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, banjir,
cuaca ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan gelombang ekstrim dan abrasi, semua
provinsi dihitung dengan ancaman yang sama tidak disesuaikan dengan karakteristik provinsi. Data
kerentanan diukur melalui parameter sosial budaya, lingkungan, fisik, dan ekonomi, sedangkan
data kapasitas diukur melalui unsur ketahanan Pemerintah Daerah dalam menghadapi bencana.
Sehingga keterbatasan dari data kebencanaan adalah indeks yang kemudian dilakukan
pembobotan menjadi indeks akumulatif akan menjadi sebuah permasalahan. Namun, karena
output yang dihasilkan merupakan komposit dari berbagai variabel dengan kedalaman skala di
level administrasi provinsi, hal tersebut dapat dimaklumi.
Data Budaya
Data budaya yang digunakan untuk mengukur kualitas penduduk dan pemajuan
kebudayaan. Kualitas penduduk diukur dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
dikeluarkan oleh BPS. Data yang digunakan untuk pemajuan kebudayaan menggunakan data
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK). Hanya beberapa dimensi saja yang digunakan, di
antaranya ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi. Pemilihan ketiga dimensi
tersebut berdasarkan diskusi dengan para ahli dengan mengambil bobot dimensi secara
keseluruhan sebesar 55 persen. Keterbatasan data IPK yang didapatkan hanya sampai kedalaman
data tahun 2021, dan data yang digunakan tidak berkaitan langsung dengan lingkungan.
Namun, data-data tersebut menunjukkan tingkat mutu hidup yang mencerminkan kualitas
109
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Baik data IPM maupun IPK berjenis data ordinal dengan
satuan indeks.
Data Ekonomi
Data ekonomi digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum
dan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi melalui perubahan nilai PDRB berdasarkan lapangan
usaha dengan harga konstan. Keterbatasan penggunaan PDRB dengan konteks pada analisis
kemakmuran dan keadilan, masalah tata nilai: baik dan buruk, serta kegiatan-kegiatan ekonomi tak
tercatatkan. Untuk penyusunan D3TLH ini menggunakan data dari 2021 dan tahun 2022 untuk
mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi adalah angka yang
menunjukkan kecepatan perubahan output agregat per periode waktu (% per tahun). Keterbatasan
dari laju pertumbuhan ekonomi, di tahun 2022 memiliki latar belakang filosofi ekonomi dengan
kondisi buruk, mengingat pada tahun 2020-2021 pertumbuhan ekonomi masih dipengaruhi oleh
adanya Covid-19 yang menyebabkan ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya untuk stabilitas harga umum melalui perhitungan PDB berdasarkan harga
berlaku dan harga konstan (PDB deflator). Pada penyusunan D3TLH data yang digunakan untuk
menentukan stabilitas harga umum merupakan data Indeks Harga Implisit (IHI) yang sudah
disediakan oleh BPS. Penggunaan data IHI sebagai pengukuran dalam variabel stabilitas harga
umum dikarenakan data IHI memiliki ke dalaman data sampai provinsi, sedangkan data Indeks
Harga Konsumen (IHK) tidak memiliki data pada tingkat provinsi.
Data terakhir dari kerja melalui tingkat pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka
adalah mereka yang mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha, atau mereka yang tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaaan dan mereka yang sudah
punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Output gap dan hukum okun (menyatakan bahwa
terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi) yaitu output aktual <
output potensial. Setiap peningkatan tingkat pengangguran 1% di atas pengangguran natural,
output aktual akan 2% di bawah output potensial. Data tingkat pengangguran terbuka berbentuk
persentase. Jumlah penduduk di suatu provinsi akan berpengaruh terhadap banyaknya jumlah
pengangguran di suatu provinsi, sehingga provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi akan
memiliki jumlah pengangguran yang lebih besar. Keterbatasan data tingkat pengangguran
terbuka di kota-kota besar akan berpengaruh lebih besar terhadap perhitungan skor
kesejahteraan.
Narasi aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan menghasilkan komposit indeks
keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan dari penetapan D3TLH
Nasional. Komposit indeks tersebut diharapkan akan memberikan gambaran kondisi sosial
ekonomi penduduk. Namun indeks ini dibangun dari berbagai asumsi yang masih memerlukan
justifikasi sesuai dengan pengolahan data. Adapun aspek sosial ekonomi sebagai indikator yang
dinamis memerlukan pemahaman dan penguatan berdasarkan fenomena dan ketersediaan data.
Pembobotan pada indikator ini masih menggunakan konsep natural break, yaitu proporsinya sama
yaitu 1/3, belum mempertimbangkan indikator yang memiliki peranan paling dominan.
110
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Perhitungan Keselamatan
Indikator risiko bencana merupakan faktor yang berbanding terbalik untuk skor
keselamatan. Adapun keterbatasannya: Satuan nilai akses terhadap hunian yang layak dan
terjangkau berbentuk persentase, sedangkan untuk risiko bencana sudah merupakan angka
indeks. Maka, langkah yang dilakukan untuk data dalam bentuk persentase agar menunjukkan
menjadi rasio 0-1 dilakukan dengan pendekatan normalisasi. Dimana nilai tertinggi memiliki nilai 1
(satu) dan terendah diberikan nilai 0 (nol). Selanjutnya untuk indeks seperti Indeks Risiko Bencana
Indonesia dilakukan pula normalisasi. Namun, data risiko bencana merupakan faktor yang
berbanding terbalik pada indeks keselamatan, maka data dengan nilai tertinggi diberi nilai 0 (nol)
dan terendah diberi nilai (1). Selanjutnya, provinsi dengan karakteristik fisik dengan gugusan pulau
(Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi di Kepulauan Maluku) akan mempengaruhi terkait variasi
bencana diperlukan pendekatan perhitungan keselamatan tersendiri.
Perhitungan Mutu Hidup
Tingkat Mutu hidup merupakan cerminan dari kualitas manusia dan kekayaan budaya yang
berkaitan dengan jasa lingkungan yang tersedia dimana penduduk tinggal. Analisis Mutu hidup
menggunakan indikator pembentuk dari pembangunan manusia dan pemajuan kebudayaan.
Pemajuan kebudayaan merujuk pada angka dari Indeks Pembangunan Kebudayaan. Dari
kedelapan dimensi Indeks Pembangunan Kebudayaan tersebut, maka khusus untuk detil data yang
dibutuhkan, yaitu dimensi ketahanan sosial budaya, warisan budaya, dan budaya literasi yang
kemudian disebut sebagai karakter ruang budaya. Dilakukan perhitungan pada masing-masing
data selama kurun waktu 2020-2021 untuk menghitung laju pertumbuhan dari ketiga data
pembentuk variabel pemajuan budaya. Selanjutnya mengkompositkan ketiga data tersebut dan
dibagi tiga.
Keterbatasan dalam menilai iskor kesejahteraan adalah asumsi yang menunjukkan tidak
adalah masalah-masalah institusional dan tata nilai, maka tingkat kesejahteraan ditentukan oleh
kinerja ekonomi makro, yang dievaluasi dari pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga umum dan
tingkat pengangguran terbuka. Sehingga, pendekatan perhitungan kesejahteraan akan
berdasarkan dengan pengalaman empiris terkait laju pertumbuhan ekonomi. Kemudian, saat
menghitung skor kesejahteraan harus bertahap mulia dengan menghitung pertumbuhan PDRB
dengan membandingkan tahun 2022 dengan tahun sebelumnya. Data yang dihasilkan dari
perhitungan pertumbuhan ekonomi dalam bentuk persentase. Stabilitas harga umum
menggunakan data laju Indeks Harga Implisit (IHI), dan tingkat pengangguran terbuka
menggunakan data proporsi angkatan kerja yang menganggur.
111
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Perhitungan dan pembobotan pada Indeks KMK masih melihat setiap indikator memiliki
bobot yang sama yaitu, 1/3, pembobotan tersebut masih belum melihat indikator yang paling
mempengaruhi pembentukan Indeks KMK. Pada level nasional, pendekatan ini masih dapat
diterima namun pada level yang lebih detail, yaitu level provinsi dan kota/kabupaten seharusnya
menetapkan indikator paling berpengaruh dalam melihat Indeks KMK.
Output dari Indeks KMK adalah peta KMK dengan batas administrasi, sedangkan
konsentrasi penduduk, aktivitas sosial budaya masyarakat hanya pada wilayah terbangun termasuk
permukiman dan konsentrasi tutupan lahan terbangun. Namun karena penyajian dalam batas
administrasi, wilayah non terbangun seperti hutan, perkebunan akan tetap diidentifikasi sebagai
bagian dari kondisi sosio ekosistem sebuah wilayah. Sehingga untuk skala yang lebih detail
nantinya perlu membedakan wilayah terbangun dan non terbangunnya.
Hasil dari setiap pengolahan data dan variabel mutu hidup, keselamatan dan kesejahteraan
memerlukan narasi tambahan untuk penguatan pemahaman berupa catatan kaki untuk setiap
fenomena yang dijadikan sebagai force majeure, misalnya kondisi kebudayaan yang terekam pada
tahun 2021 sebetulnya belum memberikan gambaran utuh terkait dengan kondisi kebudayaan
nasional akibat perubahan pola hidup masyarakat menjadi serba virtual.
112
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
1. Pangan
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per
Hari Luas yang dibutuhkan
Tahun
(dalam m2)
Pangan: Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2.150 kkal/orang/hari
Padi-Padian kkal
Umbi-umbian kkal
Pangan Hewani
(hanya darat dan kkal
perairan darat)
Minyak dan Lemak kkal
Buah/Biji Berminyak kkal
Kacang-Kacangan kkal
Gula kkal
Sayuran dan Buah kkal
Kebutuhan Lahan untuk Pangan
2. Sandang
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per
Hari Luas yang dibutuhkan
Tahun
(dalam m2)
Pakaian/Tekstil
Pakaian kg
Kapas %
Penyedian Bahan
%
Baku Kapas
Kebutuhan Lahan untuk Pakaian/Tekstil
3. Infrastruktur
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Infrastruktur
Tempat Tinggal Pilih Kelas [1/2/3] 2
Taman Pilih Kelas [A1/A2] A1
Lapangan Olahraga Pilih Kelas [A3/A4] A3
Sarana Budaya dan
Pilih Kelas [B1/B2/B3/B4] B1
Rekreasi
Pusat Perbelanjaan
Pilih Kelas [C1/C2/C3/C4] C2
dan Niaga
Sarana Peribadatan Pilih Kelas [D1/D2/D3/D4] D2
Sarana Kesehatan Pilih Kelas [E1/E2/…/E6] E2
113
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per Luas yang dibutuhkan
Hari
Tahun (dalam m2)
Sarana Pendidikan Pilih Kelas [F1/F2/…/F5] F4
m3
Kebutuhan Kayu
kayu/m2
Penyediaan Kayu
%
untuk Bangunan
Kebutuhan Lahan untuk Infrastruktur
4. Energi
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah per
Sektor Kebutuhan Satuan per
Hari Luas yang dibutuhkan
Tahun
(dalam m2)
Energi
Energi Listrik kWh
Kebutuhan Lahan untuk Listrik
Pemrograman kuadratik merupakan kasus spesial dari optimasi linear berbatas yang terjadi
ketika fungsi objektif dari permasalahan berbentuk fungsi kuadrat
114
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
Adapun hasil perhitungan dalam pemrogaman kuadratik akan berbentuk sebagai berikut.
115
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
116
Buku Materi Teknis D3TLH Provinsi Jawa Timur
117