ADITYA NURCAHYANI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Harian dan
Wilayah Jelajah Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Aditya Nurcahyani
NIM E34100109
ABSTRAK
ADITYA NURCAHYANI. Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Dibimbing oleh DONES RINALDI dan RICHARD STEPHEN MOORE.
ABSTRACT
ADITYA NURCAHYANI. Daily Activity and Home Range of Javan Slow Loris
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) in Halimun Salak Mountain National Park.
Supervised by DONES RINALDI and RICHARD STEPHEN MOORE.
ADITYA NURCAHYANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah kukang
jawa, dengan judul Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF dan
Richard Stephen Moore, PhD selaku pembimbing atas arahan, bimbingan, dan
saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada
Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) beserta staff dan dokter
hewannya (Mba Winar, Mba Wendi, Mas Numan, Mas Huda, Merry, Mba
Omah), para keeper di kandang rehabilitasi (Kang Mastur, Kang Acong, Kang
Pudin, Kang Igud, Kang Hendi) dan para tim monitoring kukang (Kang Mursid,
Kang Gepeng, Kang Kempleng, Kang Nedi, Kang Betok, Kang Adul, Uci, Kang
Meni, Kang Kudil, Kang Bobi, Kang Tapol, Pak Otang, Kang Kojek, Namrata)
yang telah banyak membantu selama pengambilan data.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua atas doa
dan dukungannya. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Rizky Amalia Aztianti sebagai teman seperjuangan selama penelitian, sekaligus
teman-teman tercinta (Ela, Ajrin, Tami, Iqoh, Engga, Nova, Heru, Ebi, Okta,
Virin) keluarga besar DKSHE, HIMAKOVA, dan Nephentes Rafflesiana (KSHE
47) yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu, serta kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan moral maupun material dalam proses pembuatan
skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Aditya Nurcahyani
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi penelitian 2
2 Pola aktivitas harian kukang jawa 7
3 Presentase aktivitas harian kukang jawa 8
4 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa 9
5 Pola aktivitas menelisik kukang jawa 10
6 Pola aktivitas mencari makan kukang jawa 11
7 Pohon bubuay (Plectocomia elongata) 12
8 Pohon kaliandra (Calliandra calothyrsus) 13
9 Pola aktivitas makan kukang jawa 14
10 Pola aktivitas aktif kukang jawa 14
11 Luas wilayah jelajah kukang jawa 17
12 Pergerakan harian kukang jawa 21
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan analisis vegetasi tingkat semai 31
2 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pancang 31
3 Perhitungan analisis vegetasi tingkat tiang 32
4 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pohon 32
5 Profil kukang jawa objek penelitian 33
PENDAHULUAN
Latar Belakang
pergerakan harian dan luasan wilayah jelajah dan untuk memperbaharui data
dalam monitoring keberadaan kukang jawa liar di Gunung Salak.
Kajian mengenai aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa liar yang
telah dipasang radio collar di Indonesia masih terbatas. Beberapa peneliti yang
melakukannya diantaranya yaitu Angeliza (2014) dan Arismayanti (2014) di
TNGHS dan Rode et al. (2014) di Garut. Terbatasnya informasi mengenai
aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa liar menyebabkan perlu adanya
penelitian terkait hal tersebut. Informasi mengenai aktivitas harian dan wilayah
jelajah kukang jawa sangat penting guna membantu dalam program konservasi
kukang secara in-situ dan dapat dijadikan salah satu parameter dalam pengelolaan
kukang jawa agar populasinya tetap lestari.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Alat dan bahan yang digunakan adalah alat tulis, kamera, pita ukur, jam
tangan, perangkat GIS, tallysheet, termohygrometer, radio collar, GPS (Global
Positioning System), head lamp, antenna dan receiver R1000 [ComSpec], plastik
dan label. Bahan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah “Ekar” kukang
jawa liar betina dewasa yang telah dipasang radio collar.
Aktivitas harian
Data mengenai aktivitas harian kukang jawa liar yang telah dipasang radio
collar diperoleh dengan menggunakan metode instantaneous focal animal
sampling dengan interval waktu lima menit dan pencatataan aktivitas
menggunakan continous recording untuk mengetahui durasi dari suatu aktivitas.
Pengamatan dilakukan pukul 18.00-00.00 WIB dan pukul 00.00-06.00 WIB.
Pengamatan kukang jawa di kawasan hutan Gunung Salak dilakukan dengan
mengikuti tim monitoring YIARI. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
metode penjelajahan yang dikombinasikan dengan penggunaan radio tracking.
Aktivitas yang diamati selama pengamatan mengikuti etogram yang telah dibuat
oleh YIARI yaitu :
a. Aktif, yaitu kukang dalam keadaan diam atau duduk di suatu dahan dan
tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata terbuka.
b. In-aktif, yaitu kukang dalam keadaan diam atau duduk di suatu dahan dan
tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata tertutup.
c. Makan, yaitu kukang mengunyah, menelan, atau memasukkan hewan
mangsa atau bagian tumbuhan jenis pakan atau material lainnya ke dalam
mulut.
d. Mencari makan, yaitu kukang bergerak (biasanya lambat) terbatas pada
suatu pohon, mengamati dan mencoba menangkap serangga di sekitarnya
4
Wilayah jelajah
Pengambilan data mengenai wilayah jelajah dilakukan dengan
mengidentifikasi titik posisi keberadaan kukang jawa menggunakan GPS. Metode
yang digunakan adalah radio tracking yaitu mengikuti pergerakan kukang melalui
sinyal yang terpancar dari radio collar. Pengamatan dilakukan pada saat kukang
meninggalkan lokasi tidur pada pukul 18.00 sampai ke lokasi tidur selanjutnya
pada pukul 06.00. Parameter yang diukur meliputi:
1. Jelajah harian (daily range) yaitu panjang jelajah kukang jawa yang
dilakukan dalam waktu aktifnya setiap hari dari mulai meninggalkan
lokasi tidur sampai ke lokasi tidur selanjutnya.
2. Radius maksimum yaitu jarak terjauh dari rute jelajah harian.
3. Jarak posisi bermalam (night position shift) yaitu perbedaan jarak antara
pohon tempat tidur semula dengan tempat tidur pada malam berikutnya.
Komposisi vegetasi
Tujuan pengambilan data komposisi vegetasi adalah untuk mengetahui
kondisi habitat kukang jawa. Pengambilan data vegetasi menggunakan metode
berpetak ganda yang ditentukan secara purposive. Pengambilan petak contoh
dibuat berdasarkan aktivitas kukang jawa di setiap habitat.
Pengambilan data dimulai pada pukul 10.00-14.00 WIB. Data yang
dikumpulkan terdiri dari nama spesies dan jumlah individu untuk tingkat semai
dan pancang, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon data yang diambil adalah
nama spesies, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, dan tinggi total
(Soerianegara dan Indrawan 1998).
Lokasi tidur
Data mengenai lokasi tidur diperoleh dengan cara pengamatan langsung.
Pengambilan data dimulai sebelum kukang aktif yaitu pada pukul 16.00-18.00
WIB dan setelah kukang jawa berhenti aktif yaitu pukul 06.00-07.00 WIB.
Parameter yang dicatat meliputi jenis pohon, tinggi pohon, diameter pohon, dan
posisi kukang pada pohon tidur.
5
Aktivitas harian
Data aktivitas harian dianalisis secara kuantitatif dengan cara menghitung
persentase aktivitas kukang yang telah didapatkan. Perhitungan persentase
aktivitas harian kukang jawa dilakukan dengan menggunakan rumus :
Wilayah jelajah
Wilayah jelajah kukang jawa dianalisis dengan memetakan titik-titik jelajah
kemudian melakukan analisis daily range, radius maksimum dan night position
shift. Penghitungan luas wilayah jelajah dilakukan dengan menggunakan analisis
Fixed Kernel (FK) dan Minimum Convex Polygon (MCP).
MCP merupakan metode yang paling populer dan banyak digunakan untuk
menduga luasan wilayah jelajah. MCP akan memudahkan untuk membandingkan
dengan hasil pendugaan lain pada spesies yang sama (Sankar et al. 2010 dalam
Priatna 2012). Pendugaan luas wilayah jelajah dengan FK memberikan hasil yang
lebih baik untuk membandingkan dengan hasil dari MCP (Nielsen et al. 2008).
Komposisi vegetasi
Analisis terhadap vegetasi penyusun habitat untuk menggambarkan kondisi
habitat yang diamati di lapangan. Dominansi dapat dilihat dari nilai Indeks Nilai
Penting (INP) yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan
frekuensi (FR) untuk tingkat semai dan pancang, serta ditambah nilai dominansi
relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Persamaan yang digunakan adalah:
Lokasi tidur
Pemilihan lokasi tidur kukang jawa dianalisis secara deskriptif dengan
penjelasan berdasarkan parameter yang diamati.
6
pengamatan, aktivitas kukang jawa yang pertama kali teramati yaitu berpindah
tempat pada pukul 18.00-19.00, namun hal tersebut jarang sekali terlihat karena
berbagai kendala. Kendala tersebut diantaranya adalah kukang berada di jurang,
posisi kukang sulit terlihat karena terhalang oleh vegetasi yang rapat, dan cuaca
yang berkabut. Slender loris memulai aktivitasnya diantara pukul 18.00-19.00 dan
mengakhiri aktivitas pada pukul 05.00-06.00 (Nekaris 2001). Aktivitas kukang
akan mulai tinggi segera setelah aktif dan kemudian menurun mendekati tengah
malam serta akan kembali meningkat pada waktu dini hari menjelang pagi untuk
mencari pohon tidur (Pambudi 2008).
Pengamatan aktivitas kukang jawa dimulai pada pukul 18.00 WIB hingga
pukul 06.00 WIB (Gambar 2). Penelitian aktivitas harian kukang jawa di habitat
aslinya sulit dilakukan. Berbeda dengan primata diurnal, primata nokturnal seperti
kukang umumnya berukuran kecil, hidup soliter atau dalam kelompok kecil, dan
jarang melakukan vokalisasi sehingga keberadaannya sulit dideteksi dan diamati
(Bearder 1987; Bearder 1999; Wiens dan Zitzmann 2003). Pantulan cahaya dari
mata kukang yang berwarna kejinggaan dan mencolok di kegelapan adalah salah
satu cara mendeteksi keberadaan kukang setelah mendapatkan bunyi sinyal
frekuensi yang kuat. Aktivitas kukang jawa mulai meningkat pada pukul 21.00 -
23.00 WIB, hal ini sesuai dengan pernyataan Nekaris (2001) bahwa kukang di
alam akan menjadi sangat aktif dari pukul 20.00 hingga 24.00. Kukang jawa
paling sering dijumpai antara pukul 20.00-22.00 WIB (Wahyudin 2014).
100%
90%
80%
70% Berpindah tempat
60%
Makan
50%
Menelisik
40%
30% Mencari makan
20% Aktif
10%
In-aktif
0%
Sosial
19.00 - 20.00
20.00 - 21.00
21.00 - 22.00
22.00 - 23.00
23.00 - 00.00
00.00 - 01.00
01.00 - 02.00
02.00 - 03.00
03.00 - 04.00
04.00 - 05.00
05.00 - 06.00
aktivitas menelisik, dan (1%) aktivitas sosial (Rode et al. 2014). Berbeda dengan
kukang jawa di talun Desa Cipaganti yang menggunakan (22.68%) untuk
berpindah tempat, (17.88%) mencari makan, (6.73) makan, dan (4.65%) menelisik
(Putri 2014). Rata-rata penggunaan waktu aktivitas in-aktif kukang jawa adalah 1
menit, berpindah tempat 10.65 menit, sosial 1 menit, menelisik 9.10 menit,
mencari makan 7.43 menit, makan 12.04 menit, dan aktif 5.83 menit.
In-aktif 0.79%
Berpindah tempat 26.65%
Aktivitas harian
Sosial 0.26%
Menelisik 16.09%
Mencari makan 14.51%
Makan 33.25%
Aktif 8.44%
Aktivitas in-aktif
Aktivitas in-aktif adalah aktivitas ketika kukang dalam keadaan diam atau
duduk di suatu dahan dan tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata tertutup.
Aktivitas ini dilakukan kukang dengan presentase sebesar 0.79%. Menurut
Angeliza (2014), presentase aktivitas in-aktif kukang jawa sebesar 25 % setelah
menemukan lokasi tidur yang sesuai.
Aktivitas ini jarang terlihat karena pada malam hari merupakan waktu aktif
kukang. Kukang jawa terlihat tidak aktif menjelang pagi hari ketika sudah berada
di tempat yang sesuai untuk tidur. Kukang tidur pada cabang, ranting, atau liana
dimana mereka bersembunyi dibalik dedaunan. Kukang di alam tidak pernah
menggunakan lubang-lubang pohon atau wadah lain untuk beristirahat (Wiens dan
Zitzmann 2003).
45%
40%
35%
Persentase
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
02.00 - 03.00
19.00 - 20.00
20.00 - 21.00
21.00 - 22.00
22.00 - 23.00
23.00 - 00.00
00.00 - 01.00
01.00 - 02.00
03.00 - 04.00
04.00 - 05.00
05.00 - 06.00
Waktu (WIB)
kondisi yang berbukit-bukit. Pada kondisi cuaca hujan, kukang jawa teramati
duduk pada batang pohon atau berpindah tempat secara perlahan.
Aktivitas sosial
Aktivitas sosial adalah aktivitas terendah dengan presentase sebesar 0.26%.
Menurut Wiens dan Zitzmann (2003), interaksi sosial kukang hanya dilakukan 3%
dari waktu aktifnya. Selama pengamatan, kukang jawa hanya sekali teramati
melakukan aktivitas sosial dan tidak berlangsung lama, yaitu aktivitas
allogrooming (saling menelisik dengan individu lain). Allogrooming lebih efektif
dilakukan untuk mengurangi parasit karena terdapat beberapa bagian tubuh yang
tidak dapat diraih oleh satwa itu sendiri (Wiens 2002). Allogrooming juga
merupakan salah satu cara untuk mempererat tali hubungan antar individu dalam
ordo Primata (Bottcher-Law et al. 2001).
25%
20%
15%
10%
5%
0%
19.00 - 20.00
20.00 - 21.00
21.00 - 22.00
22.00 - 23.00
23.00 - 00.00
00.00 - 01.00
01.00 - 02.00
02.00 - 03.00
03.00 - 04.00
04.00 - 05.00
05.00 - 06.00
Waktu (WIB)
Aktivitas ini terlihat mulai meningkat pada pukul 20.00 - 23.00 WIB dan
sesaat sebelum tidur 04.00 - 05.00 WIB (Gambar 5). Kukang melakukan aktivitas
menelisik beberapa saat setelah bangun, yaitu sekitar lepas senja saat matahari
sudah tenggelam dan sesaat sebelum tidur, yaitu saat menjelang matahari terbit
11
35%
30%
25%
Persentase
20%
15%
10%
5%
0%
19.00 - 20.00
20.00 - 21.00
21.00 - 22.00
22.00 - 23.00
23.00 - 00.00
00.00 - 01.00
01.00 - 02.00
02.00 - 03.00
03.00 - 04.00
04.00 - 05.00
05.00 - 06.00
Waktu (WIB)
Pada (Gambar 6), aktivitas mencari makan kukang jawa mulai terlihat pada
pukul 19.00 WIB dan selanjutnya terus menurun hingga menjelang tidur Kukang
jawa menghabiskan waktu hampir satu jam duduk atau dalam posisi menggantung
pada batang pohon bubuay yang terdapat lubang atau pada batang yang terluka.
12
Hal ini diduga kukang jawa sedang mencari serangga dan juga memakan getah
bubuay yang terdapat di lubang tersebut, namun karena posisi kukang jawa yang
membelakangi pengamat sehingga tidak terlihat proses penangkapan serangga
tersebut. Batang yang terluka akan meningkatkan produksi getah sehingga
ketersediaan pakan cukup melimpah. Apabila menemukan sumber pakan yang
disukai, maka pakan tersebut akan diambil dengan menggunakan tangannya..
Aktivitas makan
Aktivitas makan merupakan aktivitas tertinggi kukang jawa dengan
presentase sebesar 33.23%. Ada dua jenis pohon yang dimanfaatkan kukang jawa
sebagai pohon pakan yaitu bubuay (Plectocomia elongata) dengan presentase
sebesar 58.18% dan kaliandra (Calliandra calothyrsus) 41.82%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pohon bubuay dan kaliandra memiliki peranan penting bagi
kukang jawa sebagai pohon pakan. Menurut Salampessy (2002), secara alami
satwa biasanya mengkonsumsi lebih dari satu jenis pakan, hal ini merupakan salah
satu strategi satwa untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Bagian yang dimanfaatkan oleh kukang jawa pada pohon bubuay adalah
getah dan pada pohon kaliandra adalah nektar. Menurut penelitian (Weins et al.
2006; Das 2013; Swapna 2008; Starr dan Nekaris 2013) bahwa jenis pakan
tertinggi pada kukang pygmy (Nycticebus pygmaeus), kukang bengal, dan kukang
sumatera adalah getah. Selain jenis tersebut, kukang juga memakan buah-buahan,
serangga, telur burung, burung kecil, dan sadapan nira pohon aren (Wiens 2002;
Nekaris dan Bearder 2007; Winarti 2003; Wirdateti et al. 2005). Kukang jawa di
Garut ditemukan memakan getah Acacia decurrens (Rode et al. 2014), sedangkan
kukang sumatera di Lampung ditemukan memakan getah mahoni, randu, jengkol,
pete dan sengon (Octavianata 2014).
selanjutnya kukang akan menjilatinya (Wiens 2002; Pambudi 2008). Smuts et al.
(1987) menyatakan bahwa kemampuan menggunakan getah memungkinkan
Lorisidae bertahan pada kondisi serangga dan buah-buahan yang sedikit.
Bagaimanapun getah mempunyai kandungan kalsium yang dapat menjadi
tambahan untuk buah dan serangga yang mempunyai kandungan kalsium rendah.
Kukang bengal di India mampu bertahan hidup hanya dengan konsumsi getah
pohon saja di musim dingin (Swapna et al. 2010). Oleh karena itu, keberadaan
pohon bergetah memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup kukang.
Kukang jawa juga memanfaatkan pohon kaliandra sebagai pohon pakan
(Gambar 8). Kukang jawa teramati memakan nektar kaliandra yang ada pada
pangkal bunga dengan berbagai posisi, yaitu berdiri tegak menggapai cabang
tersebut dengan satu atau kedua tangan, atau gantung turun dengan dua kaki pada
ranting dan dua tangannya menggapai bunga kaliandra kemudian menjilati
nektarnya. Kukang jawa menggapai nektar kaliandra dengan memanjat di antara
cabang-cabang pohon atau semak, menyeimbangkan diri pada posisi
menggantung dan meraih serta menekuk bunga kaliandra dengan menggunakan
satu atau kedua tangan. Kemudian menjilat nektar yang ada di antara benang sari
tanpa merusak bunga (Moore 2012). Kukang juga bisa makan dengan kedua
tangannya dengan cara menggantungkan kedua kakinya pada dahan (Bransilver
1999). Nektar kaliandra merah merupakan sumber gula yang dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi kukang jawa (Bearder 1987).
100%
90%
80%
70%
Persentase
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
19.00 - 20.00
20.00 - 21.00
21.00 - 22.00
22.00 - 23.00
23.00 - 00.00
00.00 - 01.00
01.00 - 02.00
02.00 - 03.00
03.00 - 04.00
04.00 - 05.00
05.00 - 06.00
Waktu (WIB)
Aktivitas aktif
Aktivitas aktif dilakukan kukang dengan presentase 8.44%. Aktivitas aktif
yaitu ketika kukang dalam keadaan diam atau duduk disuatu dahan dan tidak
melakukan aktivitas apapun dengan mata terbuka. Aktivitas aktif pada pukul
18.00-19.00 WIB merupakan awal mulanya masa aktif kukang yang ditandai
dengan duduk diam, memandang ke segala arah tanpa melakukan aktivitas
apapun. Aktivitas ini meningkat pada pukul 21.00-22.00 WIB (Gambar 10).
35%
30%
25%
Persentase
20%
15%
10%
5%
0%
00.00 - 01.00
19.00 - 20.00
20.00 - 21.00
21.00 - 22.00
22.00 - 23.00
23.00 - 00.00
01.00 - 02.00
02.00 - 03.00
03.00 - 04.00
04.00 - 05.00
05.00 - 06.00
Waktu (WIB)
Kukang jawa sering terlihat melakukan aktivitas ini ketika sedang bergerak
dan melihat kehadiran pengamat. Kukang kemudian diam tidak bergerak (freeze)
cukup lama memastikan bahwa kehadiran pengamat tidak menganggu. Kukang
15
jawa juga akan diam tidak bergerak dan melihat ke arah pengamat apabila
mendengar suara gaduh.
Posisi membeku (freeze) merupakan posisi gerakan yang terhenti atau tidak
bergerak sama sekali minimal tiga detik (BottcherLaw et al. 2001). Hal ini
menunjukkan tingkat perilaku kewaspadaan (self-awareness). Rendahnya tingkat
kewaspadaan akan mempengaruhi respon satwa terhadap keberadaan manusia
sehingga satwa tidak lagi menganggap manusia sebagai ancaman. Satwa yang
tidak lagi menganggap manusia sebagai ancaman cenderung lebih rentan terhadap
perburuan (Thorn et al. 2008).
Waktu Penelitian
In-aktif (%)
Makan (%)
Sosial (%)
Aktif (%)
collar yang terpancarkan ke dalam receiver terus bertambah dan fokus pada satu
arah sehingga kukang jawa mudah ditemukan.
Jenis pakan yang paling diminati kukang jawa pada bulan Januari-April
2014 adalah nektar kaliandra, sedangkan pada bulan Juli-September 2014 adalah
getah bubuay (Tabel 2). Hal ini terjadi disebabkan oleh musim berbunga
kaliandra. Kaliandra berbunga sepanjang tahun secara alami, tetapi masa
puncaknya terjadi antara bulan Januari, Februari, Maret dan Juli (Chamberlain
2000; Herdiawan et al. 2005). Tipe pakan yang bervariasi menjadikan kukang
jawa memiliki banyak pilihan sumber pakan yang mendukung populasinya,
namun demikian kelimpahan dan distribusi pakannya dapat bervariasi (Pambudi
2008). Distribusi kukang kemungkinan mengikuti pola distribusi pohon buah pada
saat musim buah, namun di musim lain dapat mengikuti pola distribusi pohon
berbunga atau pohon yang terdapat getah.
Kondisi cuaca hujan pada pengamatan bulan Juli-September 2014 membuat
kukang jawa cenderung memakan getah pohon. Proporsi pakan getah kukang
bengal akan meningkat pada musim dingin, sementara pada musim panas atau
kemarau lebih banyak memakan nektar dan serangga (Swapna et al. 2010).
Kukang pygmy tidak memakan nektar atau buah-buahan pada musim dingin, dan
lebih memperbanyak memakan serangga (Starr dan Nekaris 2013). Kelimpahan
pakan yang tersedia bagi suatu spesies tergantung pada berbagai faktor, termasuk
adaptasi kemampuan trofik (penggunaan nutrisi atau energi dalam ekosistem)
spesies tersebut, kelimpahan dan produktivitas vegetasi dan kompetesi dengan
hewan lain (Dittus 1980 diacu dalam National Research Council 1980). Faktor
lain yang juga diduga mempengaruhi perbedaan pakan kukang adalah tekanan
predator, dan penyakit (Jolly 1985).
Kukang jawa pada bulan Januari-April teramati memakan serangga dan
buah. Kukang jawa memperoleh serangga pada percabangan atau tajuk pohon
pinus (Pinus merkusii) dan palem serdang (Livistona rotundifolia). Buah yang
dikonsumsi oleh kukang jawa adalah buah beunying (Ficus fistulosa) (Angeliza
2014). Sedangkan pada bulan Juli-September, kukang jawa tidak teramati
memakan serangga dan buah. Hal ini dikarenakan karena jarak pandang yang
terbatas, dan posisi kukang yang sering membelakangi pengamat.
Menurut Wiens (2002) wilayah jelajah kukang jantan dewasa lebih luas
dibandingkan daripada individu betina. Betina pada umumnya bersifat sebagai
penyimpan energi sehingga umumnya memiliki perilaku yang lebih pasif. Primata
betina memiliki investasi yang cukup besar dalam aktivitas-aktivitas reproduksi
antara lain mengasuh anak. Berbeda halnya dengan betina, primata jantan bersifat
sebagai penghemat waktu sehingga jantan pada umumnya memiliki perilaku yang
lebih agresif (Jones 2005). Luas wilayah jelajah yang bervariasi diantaranya
tergantung pada kondisi sumberdaya lingkungan dan kondisi topografi kondisi
habitat. Hal ini membuat hasil wilayah jelajah lebih besar karena keberadaan
kukang yang sering ada di jurang.
Luas wilayah jelajah dengan metode MCP lebih besar dibandingkan dengan
metode FK. Hal ini dikarenakan analisis dengan metode MCP hanya
menghubungkan titik-titik terluar dari seluruh titik-titik koordinat kukang jawa
dan tidak mengkalkulasikan seluruh titik terutama pada titik-titik yang
mengelompok pada lokasi tertentu. Umumnya, metode MCP juga mencakup
sebagian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa (Bajjali
2006).
Analisis dengan metode FK mengkalkulasikan seluruh titik termasuk titik-
titik yang yang mengelompok pada lokasi tertentu. Jumlah titik atau ukuran
sampel yang digunakan dalam metode Kernel dapat mempengaruhi luas daerah
jelajah yang dihasilkan. Apabila terdapat satu titik yang tersebar sendiri dan
jaraknya sedikit berjauhan dengan titik-titik lainnya, maka Kernel tidak akan
menghitungnya karena titik tersebut dianggap sebagai lokasi yang hanya sekedar
dilintasi oleh satwa tersebut (Wartman et al. 2010). Metode MCP hanya
menggambarkan luas keseluruhan daerah jelajah satwa namun tidak menunjukkan
adanya wilayah yang sering dikunjungi satwa (Harris et al. 1990), dan memiliki
kemungkinan kecil untuk mengetahui seluruh lokasi keberadaan satwa. Oleh
karena itu, pendugaan wilayah jelajah kukang jawa dengan menggunakan dua
metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan variasi angka wilayah jelajah.
Jelajah harian (DR) kukang jawa di TNGHS rata-rata 558.33 m (Tabel 3).
Hal ini berbeda dengan slender loris abu-abu dan slender loris merah yang
memiliki jelajah harian ratusan meter hingga 1 km tiap malam (Nekaris dan
Bearder 2007). Menurut Octavianata (2014), kukang sumatera memiliki jelajah
harian ± 441 m tiap malam. Jelajah harian kukang jawa bisa lebih luas lagi karena
pengamat tidak memungkinkan untuk selalu mengikuti pergerakan kukang
tersebut. Beberapa kendala yang menyebabkan pengamat tidak dapat mengikuti
pergerakan kukang jawa adalah kukang jawa mengarah ke jurang, kondisi cuaca
hujan besar disertai petir dan pergerakan kukang terhalang oleh vegetasi yang
rapat.
satu jenis satwa yang berpotensi sebagai kompetitor kukang jawa adalah musang
(Paradoxurus hermaphroditus). Menurut Schulze (2001), sama seperti halnya
kukang, musang merupakan salah satu jenis satwa nokturnal dan jenis pakan
musang secara umum juga sama dengan kukang, yakni buah. Selama pengamatan,
musang bulan sering ditemui berada tidak jauh dengan lokasi ditemukannya
kukang jawa. Apabila berada pada satu pohon, kukang jawa lebih banyak
menghindar dengan berjalan mundur secara perlahan ke pohon lain. Selain satwa
kompetitor, keberadaan satwa predator seperti elang juga mengancam dan
mengganggu kehidupan kukang jawa. Elang jawa (Nisaetus bartelsii) pernah
ditemukan sedang soaring pada siang hari pada lokasi penyebaran kukang jawa.
Luas wilayah jelajah kukang jawa pada bulan Juli-September 2014 lebih
kecil dibandingkan pada bulan Januari-April 2014. Hal ini dikarenakan oleh
perbedaan jangka waktu lama penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Singleton dan Schaik (2000) bahwa variasi yang terjadi dalam pendugaan wilayah
jelajah bergantung pada lamanya penelitian, serta waktu penelitian yang paling
lama menghasilkan pendugaan wilayah jelajah yang paling besar. Luasan wilayah
jelajah dapat bervariasi dari tahun ke tahun karena perubahan cuaca, ketersediaan
sumber pakan, kompetisi, atau aktivitas manusia seperti perburuan, penebangan
pohon, ataupun pembukaan lahan pertanian (Rowe 1996). Wilayah jelajah kukang
jawa dalam penelitian ini masih mungkin akan bertambah mengingat waktu
penelitian hanya selama tiga bulan (Gambar 12).
Hasil penelitian pada bulan Januari-April 2014 didapatkan tiga daerah inti
kukang jawa dengan luas sebesar 1.59 ha, sedangkan pada bulan Juli-September
2014 hanya didapatkan dua daerah inti kukang jawa dengan luas sebesar 1 ha. Hal
ini diduga karena pemanfaatan pohon pakan kukang jawa pada penelitian
sebelumnya lebih banyak dengan dibandingkan penelitian selanjutnya, sehingga
lokasi dan ukuran daerah inti di dalam wilayah jelajah kemungkinan tidaklah
tetap.
21
Komposisi Vegetasi
tidak ada gangguan pada habitat kukang jawa. Selain melalui pengamatan
langsung, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi dimanfaatkan kukang
jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur (Tabel 6).
Pohon untuk tidur kukang tidak terbatas hanya pada jenis-jenis tertentu,
sehingga pohon untuk tidur kukang akan selalu berpindah tempat. Lokasi tidur
kukang tidak akan terlalu jauh dari lokasi terakhir aktivitasnya pada saat
menjelang fajar (Wahyudin 2014). Ada beberapa lokasi yang berpotensi menjadi
pohon tidur kukang jawa karena sinyal yang terdekteksi pada receiver mencapai
99%, namun posisi kukang jawa pada pohon tersebut sulit ditemukan karena
berbagai kendala. Kendala tersebut cuaca berkabut sehingga mengurangi jarak
pandangan, jalur pengamatan yang curam pohon yang rimbun karena dikelilingi
tumbuhan merambat.
Cara tidur kukang yaitu bergulung seperti bola dengan kepala berada
diantara kaki (Supriatna dan Wahyono 2000). Kukang jawa sering teramati tidur
di pohon yang memiliki tumbuhan merambat seperti liana cangkore. Menurut
Garcia dan Braza (1993: 474), pemilihan lokasi tidur yang tersusun dari tumbuhan
merambat bertujuan untuk melindungi hewan nokturnal dari predator saat siang
hari. Selain itu, liana pada pohon tidur juga berfungsi membantu pergerakan
kukang pada percabangan pohon untuk bergerak dan mencari pakan. Kemudahan
akses terhadap sumber pakan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
pemilihan lokasi tidur (Anderson 1998 dan 2000 diacu dalam Schreier dan
Swedell 2008:107).
Kukang jawa menggunakan pohon yang tinggi dan besar, dikelilingi liana
atau tumbuhan merambat lainnya, tajuk yang luas dan jarak antar pohon yang
dekat untuk memudahkan kukang jawa tersebut berpindah tempat. Vegetasi yang
rapat dan warna tubuh kukang jawa yang samar membuat kukang jawa sulit
ditemukan. Hal ini merupakan salah satu bentuk perlindungan diri dari predator.
Vegetasi yang rapat dapat memberikan perlindungan kepada kukang dalam
melakukan aktivitas hariannya. Hal tersebut diperlukan terutama pada saat kondisi
paling rentan, yaitu saat kukang tidur (Pambudi 2008). Menurut Choudhurry
(1992), kukang menyukai strata puncak serta kerimbunan rumpun bambu untuk
tidur. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kukang jawa menggunakan
pohon dengan ketinggian rata-rata 12.67 m untuk tidur. Menurut Arismayanti
(2014), terdapat beberapa karakteristik pohon yang digunakan kukang jawa
sebagai pohon tidur, yaitu pohon memiliki penutupan tajuk sebesar 68%, tinggi
pohon 10-22 m, rata-rata diameter batang pohon 0.44 m, dan rata-rata jarak pohon
terdekat sebesar 5.4 m.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Nekaris KAI. 2005. Foraging behaviour of the slender loris (Loris lydekkerianus
lydekkerianus): implications for theories of primate origins. Journal of
Human Evolution. 49:289-300.
Nekaris KAI. 2014. Extreme primates: ecology and evolution of asian lorises.
Evolutionary Anthropology. 23:177-187.
Nekaris KAI, Bearder SK. 2007. The lorisiform primates of Asia and mainland
Africa: Diversity shrouded in darkness. The Primates. 2:24-45.
Nielsen EB, Pedersen S, Linnel JDC. 2008. Can minimum convex polygon home
ranges be used to draw biologically meaningful conclusions? Ecological
Research. 23(3):635-639.
Nursahid R, Purnama AR. 2007. Perdagangan kukang (Nycticebus coucang) di
Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Jan 20]. Tersedia pada:
http://www.profauna.or.id/indo.pressrelease/perdagangan-kukang.html.
Octavianata E. 2014. Perilaku dan daerah jelajah harian kukang sumatera
(Nycticebus coucang Boddaert, 1785) pelepasliaran YIARI di Kawasan
Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih Kabupaten Tanggamus, Lampung
[skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Pambudi JAA. 2008. Studi populasi, perilaku, dan ekologi kukang jawa
(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [tesis]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Pliosungnoen M, Gale G, Savini T. 2010. Density and microhabitat use of bengal
slow loris in primary forest and non-native plantation forest. Am J Primatol
71(12):1-10.
Priatna D. 2012. Pola penggunaan ruang dan model kesesuaian habitat harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) pasca translokasi
berdasarkan pemantauan kalung GPS [disertasi]. Bogor (ID): Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Putri PR. 2014. Aktivitas harian dan penggunaan habitat kukang jawa (Nycticebus
javanicus) di Talun Desa Cipaganti Garut, Jawa Barat [skripsi]. Depok (ID):
Universitas Indonesia.
Radhakrishna S, Singh M. 2002. Social behaviour of the slender loris (Loris
tardigradus lydekkerianus). Folia Primatologica. 73:181-196.
Rode MEJ, Nijman V, Wirdateti, Nekaris KAI. 2014. Ethology of the critically
endangered javan slow loris Nycticebus javanicus E. Geoffroy Saint-Hilaire
in west java. Asian Primates Journal. 4(2):27-41.
Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York (US):
Pogonias Press.
Seaman DE, Powell RA. 1996. An evaluation of the accuracy of Kernel density
estimators for home range analysis. Ecology. 77(7): 2075-2085.
Shulze H, Groves G. 2004. Asian lorises: taxonomic problems caused by illegal
trade. Di dalam: Nadler T, Streicher U, Ha TL, editor. International
Symposium Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National
Park Vietnam, 18-20 Nov 2003. Hanoi: Haki Press.
Singleton I, van Schaik CP. 2000. Orangutan home range and its determinants in
Sumatran Swamp Forest. International Journal of Primatology. Russel H
Tuttle (eds.) 2001 (22).
29
Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW, Struhsaker TT. 1987.
Primate Societies. Chicago (US): The University of Chicago.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Starr CR. 2011. The conservation and ecology of the pygmy slow loris
(Nycticebus pygmaeus) in Eastern Cambodia [tesis]. University of
Queensland.
Starr CR, Nekaris KAI. 2013. Obligate exudativory characterizes the diet of the
pygmy slow loris Nycticebus Pygmaeus. Research Article.
Starr CR, Nekaris KAI, Leung L. 2012. Hiding from the moonlight: luminosity
and temperature affect activity of asian nocturnal primates in a highly
seasonal forest. PLoS ONE. 7(4):e36396.
Sallampessy A. 2002. Studi habitat badak (Rhinoceros sondaicus) di Taman
Nasional Way Kambas [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Suarjaya LM. 1985. Pengaruh suhu kandang terhadap penampilan ternak kelinci
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta
(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Susanto TW. 2012. Pola jelajah dan pemanfaatan habitat orang utan (Pongo
pygmaeus wurmbii) di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional
Gunung Palung, Kalimantan Barat [tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
Swapna N. 2008. Assesing the feeding ecology of the bengal slow loris
(Nycticebus bengalensis) in Trishna Wildlife Sanctuary, Tripura [tesis].
India (IN): Campus Bangalore.
Thorn JS, Nijman V, Smith D, Nekaris KAI. 2008. Ecological niche modelling as
a technique for assesing threats and setting conservation priorities for Asian
slow lorises (Primates: Nycticebus). Diversity and Distribution. 15:289-298.
Wahyudin. 2014. Populasi dan distribusi kukang jawa (Nycticebus javanicus
Geoffroy, 1812) di Desa Kidang Pananjung Kabupaten Bandung Barat
[skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Wahyuni H. 2011. Pengaruh pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang
jawa (Nycticebus javanicus) di Yayasan International Animal Rescue (IAR)
Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wiens F. 2002. Behavior and ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang):
social organization, infant care system, and diet [disertasi]. Bayreuth (DE):
Bayreuth University.
Wiens F, Zitzmann A. 2003. Social structure of the solitary slow loris Nycticebus
coucang (Lorisidae). Journal of Zoology. 261:35-46.
Wiens F, Zitzmann A, Hussein NA. 2006. Fast food slow lorises: is low
metabolism related to secondary compounds in high-energy plant diet?
Journal of Mammalogy. 87(4):790-789.
Winarti I. 2003. Distribusi dan struktur vegetasi habitat kukang (Nycticebus
coucang Boddaert, 1785) di Desa Marga Mekar, Kecamatan Sumedang
Selatan, Sumedang, Jawa Barat [skripsi]. Bandung (ID): Universitas
Padjadjaran.
30
KR FR INP
Jenis Nama ilmiah Famili
(%) (%) (%)
Ki Cengkeh Urophyllum Rubiaceae 41 .67 25 .28 66 .95
arboreum
Pakis- 8 .33 12 .45 20 .79
pakisan
Ki Sireum Syzygium Myrtaceae 8 .33 12 .45 20 .79
lineatum
Jirak Symplocos Symplocaceae 16 .67 12 .45 29 .12
fasciculata
Pasang Quercus Fagaceae 8 .33 12 .45 20 .79
sundaica
Mara Macaranga Euphorbiaceae 8 .33 12 .45 20 .79
rhizinoides
Kaliandra Calliandra Leguminosae 8 .33 12 .45 20 .79
calothyrsus
Jumlah 100 .00 100 .00 200 .00
32
KR FR DR INP
Jenis Nama ilmiah Famili
(%) (%) (%) (%)
Ki Turpinia Staphyleaceae 12.50 14.29 7.69 34.48
Bancet sphaerocarpa
Kokosan Xerospermum Sapindaceae 12.50 14.29 9.40 36.19
Monyet noronhianum
Ki Melicope Rutaceae 12.50 14.29 13.68 40.47
Sampang latifolia
Jirak Symplocos Symplocaceae 12.50 14.29 20.09 46.88
fasciculata
Mara Macaranga Euphorbiaceae 12.50 14.29 23.08 49.87
rhizinoides
Bubuay Plectocomia Arecaceae 12.50 14.29 7.26 34.05
elongata
Kaliandra Calliandra Leguminosae 25.00 14.29 18.80 58.09
calothyrsus
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
KR FR DR INP
Jenis Nama ilmiah Famili
(%) (%) (%) (%)
Kurai Trema Ulmaceae 7.14 8.29 5.84 21.27
orientalis
Puspa Schima Theaceae 7.14 8.29 9.50 24.93
wallichii
Ki Pare Glochidion Euphorbiaceae 7.14 8.29 7.95 23.38
obscurum
Kaliandra Calliandra Leguminosae 7.14 8.29 5.36 20.79
calothyrsus
Mara Macaranga Euphorbiaceae 7.14 8.29 8.52 23.95
rhizinoides
Jirak Symplocos Symplocaceae 21.43 16.79 19.81 58.03
fasciculata
Pasang Quercus Fagaceae 21.43 25.13 32.22 78.78
sundaica
Ki Syzygium Myrtaceae 21.43 16.83 10.79 49.05
Sireum lineatum
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
33
Nama : Ekar
Nomor ID : 00075CC6EB
Jenis Kelamin : Betina
Tanggal ditemukan : 14 Februari 2014
Asal lokasi : TNGHS
34
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Juni 1992 dari ayah M. Zen
dan Ibu Ety Widiarti. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Pada tahun
2010 penulis lulus dari SMA Bina Insani Bogor dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Tulis Mandiri (UTM) dan
diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif pada kegiatan
HIMAKOVA di Fotografi Konservasi (FOKA). Penulis pernah melaksanakan
praktek dan kegiatan lapang antara lain: Eksplorasi Flora dan Fauna dan
Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Tangkuban Perahu (2012)
dan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (2013), Studi Konservasi Lingkungan
(SURILI) di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh tahun (2012), Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH) di Taman Nasional Gunung Ciremai tahun (2012),
Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun
(2013), dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung
Merbabu tahun (2014).
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi yang berjudul Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
di bawah bimbingan Ir Dones Rinaldi, MScF dan Richard Moore, PhD.