Anda di halaman 1dari 44

AKTIVITAS HARIAN DAN WILAYAH JELAJAH KUKANG

JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TAMAN


NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ADITYA NURCAHYANI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Harian dan
Wilayah Jelajah Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Aditya Nurcahyani
NIM E34100109
ABSTRAK
ADITYA NURCAHYANI. Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Dibimbing oleh DONES RINALDI dan RICHARD STEPHEN MOORE.

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan primata endemik Jawa


Barat yang termasuk ke dalam kategori Critically Endangered dalam IUCN.
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi aktivitas harian, wilayah jelajah,
kondisi habitat dari pemilihan lokasi tidur, dan komposisi vegetasi kukang jawa.
Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai September 2014 dengan
menggunakan satu individu kukang jawa liar yang telah dipasang radio collar.
Aktivitas makan merupakan aktivitas harian dominan pada kukang jawa dengan
presentase sebesar 33.23%. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode
Minimum Convex Polygon (MCP) diperoleh rata-rata luas wilayah jelajah kukang
jawa 8.16 ha, sedangkan dengan menggunakan Fixed Kernel (FK) 95% diperoleh
rata-rata luas wilayah jelajah kukang jawa 4.13 ha dan dua daerah inti dengan luas
0.5 ha. Jenis tumbuhan yang ditemukan pada analisis vegetasi sebanyak 22 jenis
tumbuhan. Kukang jawa menggunakan liana cangkore pada pohon reungas dan
pohon kokosan monyet.

Kata kunci: aktivitas harian, kukang jawa, wilayah jelajah

ABSTRACT

ADITYA NURCAHYANI. Daily Activity and Home Range of Javan Slow Loris
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) in Halimun Salak Mountain National Park.
Supervised by DONES RINALDI and RICHARD STEPHEN MOORE.

Javan Slow Loris (Nycticebus javanicus) is West Java endemic primate


which categorized as Critically Endangered in IUCN. This research purposes are
to identify daily behavior, home range, habitat condition from choosing the sleep
location, and vegetation composition from javan slow loris. This research was
conducted from July to September 2014 with one wild individual radio collar-ed
slow loris. Feeding is the most dominant activity with 33,23% percentage.
According to the calculation using Minimum Convex Polygon (MCP) method, the
average home range of javan slow loris is 8,16 ha, and 95% of javan slow loris
home range is 4,13 ha (using Fixed Kernel (FK)) with two core area within 0,5 ha.
Twenty two plants were recorded through vegetation analysis. Javan slow loris
uses Cangkore liana in the renghas tree and kokosan monyet tree as sleeping tree.

Keywords: daily activity, home range, javan slow loris


AKTIVITAS HARIAN DAN WILAYAH JELAJAH KUKANG
JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TAMAN
NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ADITYA NURCAHYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah kukang
jawa, dengan judul Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF dan
Richard Stephen Moore, PhD selaku pembimbing atas arahan, bimbingan, dan
saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada
Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) beserta staff dan dokter
hewannya (Mba Winar, Mba Wendi, Mas Numan, Mas Huda, Merry, Mba
Omah), para keeper di kandang rehabilitasi (Kang Mastur, Kang Acong, Kang
Pudin, Kang Igud, Kang Hendi) dan para tim monitoring kukang (Kang Mursid,
Kang Gepeng, Kang Kempleng, Kang Nedi, Kang Betok, Kang Adul, Uci, Kang
Meni, Kang Kudil, Kang Bobi, Kang Tapol, Pak Otang, Kang Kojek, Namrata)
yang telah banyak membantu selama pengambilan data.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua atas doa
dan dukungannya. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Rizky Amalia Aztianti sebagai teman seperjuangan selama penelitian, sekaligus
teman-teman tercinta (Ela, Ajrin, Tami, Iqoh, Engga, Nova, Heru, Ebi, Okta,
Virin) keluarga besar DKSHE, HIMAKOVA, dan Nephentes Rafflesiana (KSHE
47) yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu, serta kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan moral maupun material dalam proses pembuatan
skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

Aditya Nurcahyani
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Lokasi dan Waktu 2
Alat dan Bahan 3
Metode Pengambilan Data 3
Prosedur Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6
Aktivitas Harian Kukang Jawa 6
Wilayah Jelajah Kukang Jawa 16
Pohon Tidur Kukang Jawa (Sleeping site) 24
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 31
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan nilai aktivitas harian kukang jawa 15
2 Perbandingan jenis pakan kukang jawa 16
3 Pergerakan harian kukang jawa 18
4 Perbandingan wilayah jelajah kukang jawa 20
5 Komposisi vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan 22
6 Potensi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan kukang jawa 24
7 Pohon tidur kukang jawa 24

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi penelitian 2
2 Pola aktivitas harian kukang jawa 7
3 Presentase aktivitas harian kukang jawa 8
4 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa 9
5 Pola aktivitas menelisik kukang jawa 10
6 Pola aktivitas mencari makan kukang jawa 11
7 Pohon bubuay (Plectocomia elongata) 12
8 Pohon kaliandra (Calliandra calothyrsus) 13
9 Pola aktivitas makan kukang jawa 14
10 Pola aktivitas aktif kukang jawa 14
11 Luas wilayah jelajah kukang jawa 17
12 Pergerakan harian kukang jawa 21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan analisis vegetasi tingkat semai 31
2 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pancang 31
3 Perhitungan analisis vegetasi tingkat tiang 32
4 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pohon 32
5 Profil kukang jawa objek penelitian 33
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman


fauna, salah satunya yaitu primata. Satwa primata merupakan salah satu satwa
yang memiliki kelebihan karena lebih banyak memiliki kemiripan dengan
manusia. Salah satu jenis primata yang paling diminati dan dianggap paling
eksotis yang ada di Indonesia yaitu kukang (Nursahid dan Purnama 2007).
Meningkatnya permintaan kukang sebagai hewan peliharaan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi manusia menyebabkan jumlah dan populasi satwa ini
terancam. Kukang (Nycticebus sp.) merupakan satwa yang soliter dan nokturnal
(Supriatna dan Wahyono 2000:23; Bottcher-Law et al. 2001: 14).
Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang
(tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan
Nycticebus menagensis (tersebar di Pulau Kalimantan). Kukang hidup di hutan
tropis, terutama hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan hutan bambu
(Nursahid dan Purnama 2007). Primata ini juga dapat ditemui di luar kawasan
konservasi berupa talun atau hutan kebun di sumedang Jawa Barat (Winarti 2003).
Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan primata endemik Jawa
Barat yang sangat terancam punah namun informasi dan data mengenai
kehidupannya di alam masih sangat sedikit. IUCN (International Union for the
Conservation and Natural Resources) pada tahun 2014 menyatakan bahwa
kukang jawa termasuk dalam kategori kritis (Critically Endangered) dan masuk
dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade of Endangered
Species of Flora and Fauna). Satwa yang masuk dalam daftar Appendix I adalah
seluruh jenis satwa yang terancam bahaya kepunahan. Tingginya angka
perdagangan kukang jawa diduga berkaitan langsung dengan penurunan
jumlahnya di alam (Nekaris et al. 2008). Faktor lain yang mempengaruhi
penurunan jumlah kukang di alam adalah kurangnya data mengenai populasi
kukang di Indonesia, perlindungan hukum yang lemah, dan sedikitnya kepedulian
masyarakat terhadap satwa ini di alam.
Salah satu kawasan yang merupakan habitat kukang jawa adalah Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kawasan ini merupakan hutan hujan
tropis terbesar yang tersisa di Pulau Jawa. Kawasan hutan Gunung Salak
merupakan salah satu lokasi pelepasliaran kukang jawa yang dilakukan oleh
Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). YIARI merupakan
salah satu pusat penyelamatan dan rehabilitasi yang berdomisili di Ciapus, Bogor
yang memfokuskan kegiatannya pada penyelamatan, rehabilitasi dan pelepasliaran
satwa hasil sitaan atau penyerahan sukarela dari masyarakat.
Pola aktivitas dan pergerakan kukang yang lamban membuat kukang rentan
terhadap ancaman dari manusia seperti penebangan pohon, penjebakan dan
perburuan (Rhadakrisna dan Singh 2002). Namun demikian, masih sedikit sekali
informasi mengenai perilaku, pola aktivitas, dan penggunaan habitat kukang di
habitat alaminya terutama kukang jawa (Nekaris dan Nijman 2007; Nekaris dan
Jaffe 2007). Selain itu, data wilayah jelajah juga diperlukan untuk menentukan
2

pergerakan harian dan luasan wilayah jelajah dan untuk memperbaharui data
dalam monitoring keberadaan kukang jawa liar di Gunung Salak.
Kajian mengenai aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa liar yang
telah dipasang radio collar di Indonesia masih terbatas. Beberapa peneliti yang
melakukannya diantaranya yaitu Angeliza (2014) dan Arismayanti (2014) di
TNGHS dan Rode et al. (2014) di Garut. Terbatasnya informasi mengenai
aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa liar menyebabkan perlu adanya
penelitian terkait hal tersebut. Informasi mengenai aktivitas harian dan wilayah
jelajah kukang jawa sangat penting guna membantu dalam program konservasi
kukang secara in-situ dan dapat dijadikan salah satu parameter dalam pengelolaan
kukang jawa agar populasinya tetap lestari.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi aktivitas harian, wilayah


jelajah, kondisi habitat dari pemilihan lokasi tidur dan komposisi vegetasi kukang
jawa liar yang telah dipasang radio collar.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi


terbaru mengenai aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat
membantu upaya konservasi dalam melindungi dan melestarikan kukang jawa di
alam.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di kawasan hutan Gunung Salak, Taman Nasional


Gunung Halimun Salak (TNGHS) Bogor, Jawa Barat pada bulan Juli-September
2014 (Gambar 1).

Gambar 1 Lokasi penelitian


3

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah alat tulis, kamera, pita ukur, jam
tangan, perangkat GIS, tallysheet, termohygrometer, radio collar, GPS (Global
Positioning System), head lamp, antenna dan receiver R1000 [ComSpec], plastik
dan label. Bahan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah “Ekar” kukang
jawa liar betina dewasa yang telah dipasang radio collar.

Metode Pengambilan Data

Penggunaan radio collar


Radio collar adalah alat yang dipasang pada beberapa kukang liar dan
kukang pelepasliaran. Alat tersebut membantu kegiatan monitoring kukang di
alam karena dapat mengetahui keberadaan kukang. Monitoring kukang di alam
bertujuan untuk memperoleh data pola pergerakan, aktivitas, teritori, penggunaan
habitat dan wilayah jelajah.
Pengamatan dimulai dengan mencari keberadaan kukang dengan
menggunakan portable telemetry receiver yang dihubungkan dengan antena.
Collar yang telah dipasangkan pada leher kukang akan mengirimkan sinyal dan
radio collar receiver akan menerima frekuensi sinyal tersebut. Setiap collar
memiliki nomor frekuensi yang berbeda, nomor frekuensi tersebut dimasukkan ke
dalam portable telemetry receiver untuk melacak keberadaan kukang yang akan
diamati. Setelah menyamakan nomor frekuensi antena diputar ke segala arah
untuk menentukan arah keberadaan kukang sampai terdengar bunyi “beep” pada
portable telemetry receiver. Posisi keberadaan kukang dapat dipastikan pada suatu
arah apabila bunyi sinyal semakin kuat terdengar.

Aktivitas harian
Data mengenai aktivitas harian kukang jawa liar yang telah dipasang radio
collar diperoleh dengan menggunakan metode instantaneous focal animal
sampling dengan interval waktu lima menit dan pencatataan aktivitas
menggunakan continous recording untuk mengetahui durasi dari suatu aktivitas.
Pengamatan dilakukan pukul 18.00-00.00 WIB dan pukul 00.00-06.00 WIB.
Pengamatan kukang jawa di kawasan hutan Gunung Salak dilakukan dengan
mengikuti tim monitoring YIARI. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
metode penjelajahan yang dikombinasikan dengan penggunaan radio tracking.
Aktivitas yang diamati selama pengamatan mengikuti etogram yang telah dibuat
oleh YIARI yaitu :
a. Aktif, yaitu kukang dalam keadaan diam atau duduk di suatu dahan dan
tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata terbuka.
b. In-aktif, yaitu kukang dalam keadaan diam atau duduk di suatu dahan dan
tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata tertutup.
c. Makan, yaitu kukang mengunyah, menelan, atau memasukkan hewan
mangsa atau bagian tumbuhan jenis pakan atau material lainnya ke dalam
mulut.
d. Mencari makan, yaitu kukang bergerak (biasanya lambat) terbatas pada
suatu pohon, mengamati dan mencoba menangkap serangga di sekitarnya
4

atau mencari, mendekati dan mencium obyek-obyek tertentu (bunga, buah,


dan lain-lain).
e. Berpindah tempat, yaitu kukang bergerak dari suatu tempat ke tempat lain
atau dari satu pohon ke pohon lain tanpa mengamati keberadaan sumber
pakan di sekitarnya.
f. Menelisik, yaitu kukang jawa menelisik atau menjilati rambut-rambut
individu lain atau rambut-rambut tubuhnya sendiri.
g. Sosial, termasuk didalamnya perilaku grooming dan agonistik yang
dilakukan kepada kukang lain, bermain, dan kontak sosial dengan kukang
lain.
h. Abnormal, yaitu perilaku tidak biasa yang dilakukan oleh kukang jawa
seperti mondar mandir, rolling kepala dan mutar-mutar.

Wilayah jelajah
Pengambilan data mengenai wilayah jelajah dilakukan dengan
mengidentifikasi titik posisi keberadaan kukang jawa menggunakan GPS. Metode
yang digunakan adalah radio tracking yaitu mengikuti pergerakan kukang melalui
sinyal yang terpancar dari radio collar. Pengamatan dilakukan pada saat kukang
meninggalkan lokasi tidur pada pukul 18.00 sampai ke lokasi tidur selanjutnya
pada pukul 06.00. Parameter yang diukur meliputi:
1. Jelajah harian (daily range) yaitu panjang jelajah kukang jawa yang
dilakukan dalam waktu aktifnya setiap hari dari mulai meninggalkan
lokasi tidur sampai ke lokasi tidur selanjutnya.
2. Radius maksimum yaitu jarak terjauh dari rute jelajah harian.
3. Jarak posisi bermalam (night position shift) yaitu perbedaan jarak antara
pohon tempat tidur semula dengan tempat tidur pada malam berikutnya.

Komposisi vegetasi
Tujuan pengambilan data komposisi vegetasi adalah untuk mengetahui
kondisi habitat kukang jawa. Pengambilan data vegetasi menggunakan metode
berpetak ganda yang ditentukan secara purposive. Pengambilan petak contoh
dibuat berdasarkan aktivitas kukang jawa di setiap habitat.
Pengambilan data dimulai pada pukul 10.00-14.00 WIB. Data yang
dikumpulkan terdiri dari nama spesies dan jumlah individu untuk tingkat semai
dan pancang, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon data yang diambil adalah
nama spesies, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, dan tinggi total
(Soerianegara dan Indrawan 1998).

Lokasi tidur
Data mengenai lokasi tidur diperoleh dengan cara pengamatan langsung.
Pengambilan data dimulai sebelum kukang aktif yaitu pada pukul 16.00-18.00
WIB dan setelah kukang jawa berhenti aktif yaitu pukul 06.00-07.00 WIB.
Parameter yang dicatat meliputi jenis pohon, tinggi pohon, diameter pohon, dan
posisi kukang pada pohon tidur.
5

Prosedur Analisis Data

Aktivitas harian
Data aktivitas harian dianalisis secara kuantitatif dengan cara menghitung
persentase aktivitas kukang yang telah didapatkan. Perhitungan persentase
aktivitas harian kukang jawa dilakukan dengan menggunakan rumus :

Persentase aktivitas i (%) =

Keterangan: i= jenis aktivitas

Wilayah jelajah
Wilayah jelajah kukang jawa dianalisis dengan memetakan titik-titik jelajah
kemudian melakukan analisis daily range, radius maksimum dan night position
shift. Penghitungan luas wilayah jelajah dilakukan dengan menggunakan analisis
Fixed Kernel (FK) dan Minimum Convex Polygon (MCP).
MCP merupakan metode yang paling populer dan banyak digunakan untuk
menduga luasan wilayah jelajah. MCP akan memudahkan untuk membandingkan
dengan hasil pendugaan lain pada spesies yang sama (Sankar et al. 2010 dalam
Priatna 2012). Pendugaan luas wilayah jelajah dengan FK memberikan hasil yang
lebih baik untuk membandingkan dengan hasil dari MCP (Nielsen et al. 2008).

Komposisi vegetasi
Analisis terhadap vegetasi penyusun habitat untuk menggambarkan kondisi
habitat yang diamati di lapangan. Dominansi dapat dilihat dari nilai Indeks Nilai
Penting (INP) yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan
frekuensi (FR) untuk tingkat semai dan pancang, serta ditambah nilai dominansi
relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Persamaan yang digunakan adalah:

Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis


Luas unit contoh
Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Jumlah seluruh plot dalam unit contoh
Dominasi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis
Luas unit contoh
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis X 100
Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis X 100
Frekuensi seluruh jenis
Dominasi Relatif (DR) = Dominasi suatu jenis X 100
Dominasi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR

Lokasi tidur
Pemilihan lokasi tidur kukang jawa dianalisis secara deskriptif dengan
penjelasan berdasarkan parameter yang diamati.
6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Taman Nasional Gunung Halimun Salak ditetapkan sebagai kawasan taman


nasional oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992 atas perubahan fungsi Cagar
Alam Gunung Halimun. Pada tahun 2003 Taman Nasional Gunung Halimun
diperluas dari hasil perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi
Tetap, dan Hutan Produksi Terbatas pada kelompok Hutan Gunung Halimun dan
Kelompok Hutan Gunung Salak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten,
sehingga saat ini disebut sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak.
Kawasan hutan Gunung Halimun Salak ditetapkan sebagai Taman Nasional
berdasarkan SK Mentan 175/Kpts-II/2003 seluas ± 113.357 ha. Secara
administrasi pemerintahan berada pada 3 Kabupaten dan 2 Propinsi yaitu
Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten
Lebak Propinsi Banten.
Berdasarkan data lima tahun terakhir (1992-1996) yang diperoleh dari
Stasiun Pengamatan Curah Hujan Wanayasa, curah hujan di kawasan dan
sekitarnya tercatat 4000–6000 mm per tahun, yang jika dikonversi pada klasifikasi
iklim menurut Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe iklim A. Bulan basah terjadi
pada bulan Oktober sampai dengan bulan Juni dan bulan Juli sampai September.
Kelembaban berkisar 5%-6% dengan temperatur 20° C-30° C.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan kawasan yang
memiliki ekosistem hutan hujan tropis yang masih baik kondisinya. Kawasan ini
merupakan habitat terbaik bagi satwa langka Elang Jawa (Nisaetus bartelsii).
Beberapa jenis fauna yang ditemui di kawasan taman nasional ini, yaitu:
Mamalia: Owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung budeng
(Trachypithecus auratus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus
muntjak), macan tutul (Panthera pardus). Burung; terdapat kurang lebih 204 jenis
burung dan 90 jenis diantaranya merupakan burung yang menetap serta 35 jenis
merupakan jenis endemik Jawa termasuk burung elang jawa (Spizaetus bartelsi).
Reptil dan Amphibi; Gonydactilus marmoratus, tokek (Gecko gecko), cecak
terbang (Draco volans), kodok (Bufo bipocartus), katak (Rana hosii), Ahaetulla
prasina, Lycodon subcinctus, dan Ptyas korros.
Jenis-jenis pohon yang ada di TNGHS diantaranya rasamala (Altingia
excelsa), jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima wallichii). Sekitar
75 jenis anggrek terdapat di taman nasional ini dan beberapa jenis diantaranya
merupakan jenis langka seperti Bulbophylum binnendykii, B. angustifolium,
Cymbidium ensifolium, dan Dendrobium macrophyllum.

Aktivitas Harian Kukang Jawa

Berdasarkan hasil penelitian, waktu mulai beraktivitas kukang jawa tidak


tetap tetapi ditandai ketika matahari terbenam dan berhenti beraktivitas ketika
matahari terbit. Asnawi (1991) juga menyatakan bahwa kukang mulai tidur pukul
04.00 hingga memulai aktivitasnya pada pukul 16.00 jika tidak ada gangguan,
serta tidak dipengaruhi oleh suhu dan cahaya pada malam hari. Berdasarkan hasil
7

pengamatan, aktivitas kukang jawa yang pertama kali teramati yaitu berpindah
tempat pada pukul 18.00-19.00, namun hal tersebut jarang sekali terlihat karena
berbagai kendala. Kendala tersebut diantaranya adalah kukang berada di jurang,
posisi kukang sulit terlihat karena terhalang oleh vegetasi yang rapat, dan cuaca
yang berkabut. Slender loris memulai aktivitasnya diantara pukul 18.00-19.00 dan
mengakhiri aktivitas pada pukul 05.00-06.00 (Nekaris 2001). Aktivitas kukang
akan mulai tinggi segera setelah aktif dan kemudian menurun mendekati tengah
malam serta akan kembali meningkat pada waktu dini hari menjelang pagi untuk
mencari pohon tidur (Pambudi 2008).
Pengamatan aktivitas kukang jawa dimulai pada pukul 18.00 WIB hingga
pukul 06.00 WIB (Gambar 2). Penelitian aktivitas harian kukang jawa di habitat
aslinya sulit dilakukan. Berbeda dengan primata diurnal, primata nokturnal seperti
kukang umumnya berukuran kecil, hidup soliter atau dalam kelompok kecil, dan
jarang melakukan vokalisasi sehingga keberadaannya sulit dideteksi dan diamati
(Bearder 1987; Bearder 1999; Wiens dan Zitzmann 2003). Pantulan cahaya dari
mata kukang yang berwarna kejinggaan dan mencolok di kegelapan adalah salah
satu cara mendeteksi keberadaan kukang setelah mendapatkan bunyi sinyal
frekuensi yang kuat. Aktivitas kukang jawa mulai meningkat pada pukul 21.00 -
23.00 WIB, hal ini sesuai dengan pernyataan Nekaris (2001) bahwa kukang di
alam akan menjadi sangat aktif dari pukul 20.00 hingga 24.00. Kukang jawa
paling sering dijumpai antara pukul 20.00-22.00 WIB (Wahyudin 2014).

100%
90%
80%
70% Berpindah tempat
60%
Makan
50%
Menelisik
40%
30% Mencari makan
20% Aktif
10%
In-aktif
0%
Sosial
19.00 - 20.00

20.00 - 21.00

21.00 - 22.00

22.00 - 23.00

23.00 - 00.00

00.00 - 01.00

01.00 - 02.00

02.00 - 03.00

03.00 - 04.00

04.00 - 05.00

05.00 - 06.00

Gambar 2 Pola aktivitas harian kukang jawa


Total data aktivitas harian yang didapat selama pengamatan adalah 379
sampel dari total waktu pengamatan selama 1895 menit atau setara dengan 31 jam
35 menit pengamatan. Kukang jawa menghabiskan (33.25%) waktu aktifnya
untuk makan, (26.65%) untuk berpindah tempat, dan (16.09%) untuk menelisik
(Gambar 3). Aktivitas abnormal tidak pernah terlihat sepanjang pengamatan
berlangsung yaitu pada bulan Juli-September 2014.
Kukang jawa di Garut memiliki aktivitas harian dari yang tertinggi sampai
yang terendah adalah (33%) aktivitas in-aktif dan istirahat, (31%) aktivitas makan
dan mencari makan, (14%) aktivitas berpindah tempat, (12%) aktivitas aktif, (7%)
8

aktivitas menelisik, dan (1%) aktivitas sosial (Rode et al. 2014). Berbeda dengan
kukang jawa di talun Desa Cipaganti yang menggunakan (22.68%) untuk
berpindah tempat, (17.88%) mencari makan, (6.73) makan, dan (4.65%) menelisik
(Putri 2014). Rata-rata penggunaan waktu aktivitas in-aktif kukang jawa adalah 1
menit, berpindah tempat 10.65 menit, sosial 1 menit, menelisik 9.10 menit,
mencari makan 7.43 menit, makan 12.04 menit, dan aktif 5.83 menit.

In-aktif 0.79%
Berpindah tempat 26.65%
Aktivitas harian

Sosial 0.26%
Menelisik 16.09%
Mencari makan 14.51%
Makan 33.25%
Aktif 8.44%

0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00%


Persentase

Gambar 3 Presentase aktivitas harian kukang jawa

Aktivitas in-aktif
Aktivitas in-aktif adalah aktivitas ketika kukang dalam keadaan diam atau
duduk di suatu dahan dan tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata tertutup.
Aktivitas ini dilakukan kukang dengan presentase sebesar 0.79%. Menurut
Angeliza (2014), presentase aktivitas in-aktif kukang jawa sebesar 25 % setelah
menemukan lokasi tidur yang sesuai.
Aktivitas ini jarang terlihat karena pada malam hari merupakan waktu aktif
kukang. Kukang jawa terlihat tidak aktif menjelang pagi hari ketika sudah berada
di tempat yang sesuai untuk tidur. Kukang tidur pada cabang, ranting, atau liana
dimana mereka bersembunyi dibalik dedaunan. Kukang di alam tidak pernah
menggunakan lubang-lubang pohon atau wadah lain untuk beristirahat (Wiens dan
Zitzmann 2003).

Aktivitas berpindah tempat


Aktivitas berpindah tempat merupakan aktivitas tertinggi kedua dengan
presentase sebesar 26.65%. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Nekaris (2001)
bahwa kukang menghabiskan lebih dari setengah waktu aktifnya untuk berpindah
tempat atau mencari makan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
hal, diantaranya perbedaan kondisi habitat, iklim, suhu, dan kelembaban.
Berpindah tempat juga disertai penandaan wilayah, baik dengan urin atau bau
kelenjar kukang untuk memberi tanda pada ruang jelajah ataupun untuk mencari
pasangan (Putri 2014).
Kondisi kukang yang telah terbiasa dengan kehadiran manusia juga
menyebabkan kukang tidak banyak berpindah tempat. Aktivitas berpindah tempat
merupakan aktivitas pertama yang teramati ketika keberadaan kukang terlihat.
Penelitian yang dilakukan oleh Das (2013) juga menyatakan bahwa aktivitas
9

berpindah tempat merupakan aktivitas pertama yang teramati ketika menemukan


kukang bengal. Menurut Angeliza (2014) berpindah tempat dipengaruhi oleh suhu
rendah, kelembapan udara yang tinggi, cuaca cerah dan cahaya bulan yang sedikit
bahkan gelap. Berpindah tempat merupakan salah satu parameter dalam wilayah
jelajah dan fungsi teritori (Nekaris 2001).
Berdasarkan hasil pengamatan, pada pukul 18.00 - 19.00 WIB kukang jawa
hanya melakukan aktivitas berpindah tempat. Hal ini sesuai dengan pernyataan
(Das 2013) bahwa kukang bengal (Nycticebus bengalensis) pada pukul 18.00 –
19.00 akan lebih aktif melakukan aktivitas berpindah tempat dibandingkan
aktivitas lainnya. Aktivitas berpindah tempat meningkat pada pukul 21.00 - 23.00
WIB, karena pada waktu tersebut dimanfaatkan kukang jawa untuk mencari
makan.
Aktivitas berpindah tempat mulai meningkat kembali pada pukul 03.00-
05.00 WIB, karena pada waktu tersebut digunakan untuk mencari lokasi tidur
(Gambar 4). Menurut Das (2013) kukang bengal di India mulai berjalan ke tempat
tidur pukul 03.30 – 04.30. Kukang jawa bergerak cukup lambat ketika akan
menggapai ranting atau liana untuk berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain
apabila jaraknya cukup jauh. Mula-mula kukang jawa akan memindahkan salah
satu tangannya ke cabang pohon, diikuti dengan kaki pada sisi yang sama. Setelah
itu baru diikuti dengan tangan dan kaki pada sisi yang lain, terus berlangsung
secara berulang.

45%
40%
35%
Persentase

30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
02.00 - 03.00
19.00 - 20.00

20.00 - 21.00

21.00 - 22.00

22.00 - 23.00

23.00 - 00.00

00.00 - 01.00

01.00 - 02.00

03.00 - 04.00

04.00 - 05.00

05.00 - 06.00

Waktu (WIB)

Gambar 4 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa

Pergerakan kukang dilakukan secara quadropedal (berjalan dengan empat


alat gerak) dan sangat lambat. Meskipun demikian kukang mampu bergerak cepat
dalam menangkap mangsanya atau saat merasa terancam (Ballenger 2000). Hal
tersebut mengakibatkan pengamat sulit mengikuti pergerakan kukang dan
seringkali hilang dari pandangan pengamat karena keterbatasan penglihatan
apabila kondisi cuaca dalam keadaan hujan serta berkabut dan pergerakannya
mengarah ke jurang. Kondisi medan yang terjal dan vegetasi yang rapat
menambah kesulitan dalam mengikuti pergerakan kukang jawa dan mengamati
aktivitasnya lebih lanjut. Menurut Winarti (2011), kukang jawa hidup pada
10

kondisi yang berbukit-bukit. Pada kondisi cuaca hujan, kukang jawa teramati
duduk pada batang pohon atau berpindah tempat secara perlahan.

Aktivitas sosial
Aktivitas sosial adalah aktivitas terendah dengan presentase sebesar 0.26%.
Menurut Wiens dan Zitzmann (2003), interaksi sosial kukang hanya dilakukan 3%
dari waktu aktifnya. Selama pengamatan, kukang jawa hanya sekali teramati
melakukan aktivitas sosial dan tidak berlangsung lama, yaitu aktivitas
allogrooming (saling menelisik dengan individu lain). Allogrooming lebih efektif
dilakukan untuk mengurangi parasit karena terdapat beberapa bagian tubuh yang
tidak dapat diraih oleh satwa itu sendiri (Wiens 2002). Allogrooming juga
merupakan salah satu cara untuk mempererat tali hubungan antar individu dalam
ordo Primata (Bottcher-Law et al. 2001).

Aktivitas menelisik (Grooming)


Grooming merupakan aktivitas tertinggi ketiga dengan presentase 16.09%.
Grooming biasanya dilakukan dalam posisi duduk di batang pohon, menggantung,
dan berdiri. Kukang jawa yang teramati sedang melakukan aktivitas grooming
cenderung tidak menunjukan tanda-tanda terganggu dengan tidak berpindah
tempat atau bersembunyi dengan kehadiran pengamat.
Grooming dilakukan dengan menggunakan lidahnya seperti menjilati, gigi
seri bagian bawah untuk menggaruk badan dan tangan atau menggunakan cakar
khusus yang terdapat pada kakinya untuk menggaruk bagian punggung dan kepala
(Kartika 2000). Ada dua bentuk grooming yaitu autogrooming (kegiatan
menelisik yang dilakukan sendiri) dan allogrooming (saling menelisik dengan
individu lain). Berdasarkan hasil penelitian, kukang jawa hanya sekali terlihat
melakukan allogrooming dengan kukang jawa lain.
45%
40%
35%
30%
Persentase

25%
20%
15%
10%
5%
0%
19.00 - 20.00

20.00 - 21.00

21.00 - 22.00

22.00 - 23.00

23.00 - 00.00

00.00 - 01.00

01.00 - 02.00

02.00 - 03.00

03.00 - 04.00

04.00 - 05.00

05.00 - 06.00

Waktu (WIB)

Gambar 5 Pola aktivitas menelisik kukang jawa

Aktivitas ini terlihat mulai meningkat pada pukul 20.00 - 23.00 WIB dan
sesaat sebelum tidur 04.00 - 05.00 WIB (Gambar 5). Kukang melakukan aktivitas
menelisik beberapa saat setelah bangun, yaitu sekitar lepas senja saat matahari
sudah tenggelam dan sesaat sebelum tidur, yaitu saat menjelang matahari terbit
11

(Wiens 2002; Pambudi 2008). Kondisi cuaca mempengaruhi aktivitas menelisik


pada kukang. Kukang jawa terlihat sering melakukan aktivitas menelisik setelah
hujan, setelah makan getah bubuay dengan menjilati kedua tangannya, dan
sebelum tidur. Hal ini terbukti bahwa aktivitas grooming pada pukul 04.00 –
05.00 WIB meningkat sebesar 40%.

Aktivitas mencari makan


Presentase aktivitas mencari makan sebesar 14.51%. Ketika kukang jawa
mencari makan, kukang jawa akan berjalan perlahan berbeda dengan ketika
kukang jawa akan berpindah tempat, kukang jawa akan berjalan sangat cepat.
Kukang mengandalkan kemampuan visual, olfaktori, dan auditori dalam mencari
mangsa (Nekaris et al. 2005). Perilaku menghirup bau (sniffing) saat berjalan
biasa dilakukan kukang dalam mencari pakannya (Nekaris 2001). Ukuran tubuh
kukang jawa yang relatif kecil, berat tubuhnya yang relatif ringan dan pola
pergerakannya yang perlahan memungkinkan kukang jawa memanfaatkan cabang
dan ranting berukuran kecil atau ujung-ujung ranting untuk mencari makan
(Nekaris dan Rasmussen 2001).
Kukang jawa terlihat banyak melakukan aktivitas mencari makan di pohon
kaliandra untuk memilih ranting yang terdapat nektar dengan bergerak lambat
pada satu pohon dan kepala memandang ke segala arah mencari sumber pakan.
Pada pohon bubuay kukang jawa mencari makan dan makan pada lokasi yang
sama. Kukang jawa pernah teramati sedang makan lalu berjalan mondar-mandir
secara perlahan pada batang pohon bubuay ke tempat kukang tersebut makan.
Menurut Nekaris (2001) memanjat cepat dan berjalan bolak balik dalam satu
pohon atau serangkaian pohon selama 1-2 jam itu umumnya terkait dengan
mencari makan.

35%
30%
25%
Persentase

20%
15%
10%
5%
0%
19.00 - 20.00

20.00 - 21.00

21.00 - 22.00

22.00 - 23.00

23.00 - 00.00

00.00 - 01.00

01.00 - 02.00

02.00 - 03.00

03.00 - 04.00

04.00 - 05.00

05.00 - 06.00

Waktu (WIB)

Gambar 6 Pola aktivitas mencari makan kukang jawa

Pada (Gambar 6), aktivitas mencari makan kukang jawa mulai terlihat pada
pukul 19.00 WIB dan selanjutnya terus menurun hingga menjelang tidur Kukang
jawa menghabiskan waktu hampir satu jam duduk atau dalam posisi menggantung
pada batang pohon bubuay yang terdapat lubang atau pada batang yang terluka.
12

Hal ini diduga kukang jawa sedang mencari serangga dan juga memakan getah
bubuay yang terdapat di lubang tersebut, namun karena posisi kukang jawa yang
membelakangi pengamat sehingga tidak terlihat proses penangkapan serangga
tersebut. Batang yang terluka akan meningkatkan produksi getah sehingga
ketersediaan pakan cukup melimpah. Apabila menemukan sumber pakan yang
disukai, maka pakan tersebut akan diambil dengan menggunakan tangannya..

Aktivitas makan
Aktivitas makan merupakan aktivitas tertinggi kukang jawa dengan
presentase sebesar 33.23%. Ada dua jenis pohon yang dimanfaatkan kukang jawa
sebagai pohon pakan yaitu bubuay (Plectocomia elongata) dengan presentase
sebesar 58.18% dan kaliandra (Calliandra calothyrsus) 41.82%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pohon bubuay dan kaliandra memiliki peranan penting bagi
kukang jawa sebagai pohon pakan. Menurut Salampessy (2002), secara alami
satwa biasanya mengkonsumsi lebih dari satu jenis pakan, hal ini merupakan salah
satu strategi satwa untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Bagian yang dimanfaatkan oleh kukang jawa pada pohon bubuay adalah
getah dan pada pohon kaliandra adalah nektar. Menurut penelitian (Weins et al.
2006; Das 2013; Swapna 2008; Starr dan Nekaris 2013) bahwa jenis pakan
tertinggi pada kukang pygmy (Nycticebus pygmaeus), kukang bengal, dan kukang
sumatera adalah getah. Selain jenis tersebut, kukang juga memakan buah-buahan,
serangga, telur burung, burung kecil, dan sadapan nira pohon aren (Wiens 2002;
Nekaris dan Bearder 2007; Winarti 2003; Wirdateti et al. 2005). Kukang jawa di
Garut ditemukan memakan getah Acacia decurrens (Rode et al. 2014), sedangkan
kukang sumatera di Lampung ditemukan memakan getah mahoni, randu, jengkol,
pete dan sengon (Octavianata 2014).

Gambar 7 Pohon Bubuay (Plectocomia elongata)

Kukang jawa terlihat sering menghabiskan waktu cukup lama di pohon


bubuay (Gambar 7). Kukang jawa memakan getah yang terdapat dalam lubang-
lubang pada batang. Berdiri naik adalah posisi kukang jawa ketika sedang
melakukan aktivitas makan. Pada posisi berdiri naik, kedua kaki kukang jawa
berdiri seperti manusia kemudian satu tangan mengambil getah dan didekatkan ke
mulut, lalu kukang jawa akan menjilati getah tersebut.
Kukang mendapatkan getah dengan cara mengguratkan gigi ke batang
hingga batang terluka atau hanya tergores dan mengeluarkan getah berupa lendir,
13

selanjutnya kukang akan menjilatinya (Wiens 2002; Pambudi 2008). Smuts et al.
(1987) menyatakan bahwa kemampuan menggunakan getah memungkinkan
Lorisidae bertahan pada kondisi serangga dan buah-buahan yang sedikit.
Bagaimanapun getah mempunyai kandungan kalsium yang dapat menjadi
tambahan untuk buah dan serangga yang mempunyai kandungan kalsium rendah.
Kukang bengal di India mampu bertahan hidup hanya dengan konsumsi getah
pohon saja di musim dingin (Swapna et al. 2010). Oleh karena itu, keberadaan
pohon bergetah memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup kukang.
Kukang jawa juga memanfaatkan pohon kaliandra sebagai pohon pakan
(Gambar 8). Kukang jawa teramati memakan nektar kaliandra yang ada pada
pangkal bunga dengan berbagai posisi, yaitu berdiri tegak menggapai cabang
tersebut dengan satu atau kedua tangan, atau gantung turun dengan dua kaki pada
ranting dan dua tangannya menggapai bunga kaliandra kemudian menjilati
nektarnya. Kukang jawa menggapai nektar kaliandra dengan memanjat di antara
cabang-cabang pohon atau semak, menyeimbangkan diri pada posisi
menggantung dan meraih serta menekuk bunga kaliandra dengan menggunakan
satu atau kedua tangan. Kemudian menjilat nektar yang ada di antara benang sari
tanpa merusak bunga (Moore 2012). Kukang juga bisa makan dengan kedua
tangannya dengan cara menggantungkan kedua kakinya pada dahan (Bransilver
1999). Nektar kaliandra merah merupakan sumber gula yang dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi kukang jawa (Bearder 1987).

Gambar 8 Pohon Kaliandra (Calliandra calothyrsus)

Berdasarkan hasil pengamatan selama pengambilan data, kukang jawa tidak


terlihat memakan serangga dan buah-buahan karena keterbatasan penglihatan
pengamat ketika kukang jawa berada terlalu jauh, kondisi jalur yang tidak bisa
dilewati atau pada pohon yang tinggi, dan posisi kukang yang membelakangi
pengamat. Aktivitas makan meningkat pada pukul 19.00-00.00 WIB, mulai
menurun pada pukul 00.00-02.00 WIB dan meningkat kembali pada pukul 01.00-
04.00 WIB (Gambar 9). Menurut Surjaya (1985), pada suhu lingkungan yang
rendah seperti saat menjelang pagi hari hewan membutuhkan tambahan pakan
untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap normal. Pakan yang dikonsumsi
tersebut juga digunakan sebagai cadangan energi ketika tidur pada siang hari
(Angeliza 2014). Berbeda dengan kukang jawa, menurut Octavianata (2014)
aktivitas makan kukang sumatera terbanyak adalah pada pukul 22.05-23.05 WIB
dan 03.05-04.05 WIB. Hal ini diduga karena kondisi habitat kukang yang berbeda.
14

100%
90%
80%
70%
Persentase

60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
19.00 - 20.00

20.00 - 21.00

21.00 - 22.00

22.00 - 23.00

23.00 - 00.00

00.00 - 01.00

01.00 - 02.00

02.00 - 03.00

03.00 - 04.00

04.00 - 05.00

05.00 - 06.00
Waktu (WIB)

Gambar 9 Pola Aktivitas makan kukang jawa

Aktivitas aktif
Aktivitas aktif dilakukan kukang dengan presentase 8.44%. Aktivitas aktif
yaitu ketika kukang dalam keadaan diam atau duduk disuatu dahan dan tidak
melakukan aktivitas apapun dengan mata terbuka. Aktivitas aktif pada pukul
18.00-19.00 WIB merupakan awal mulanya masa aktif kukang yang ditandai
dengan duduk diam, memandang ke segala arah tanpa melakukan aktivitas
apapun. Aktivitas ini meningkat pada pukul 21.00-22.00 WIB (Gambar 10).

35%
30%
25%
Persentase

20%
15%
10%
5%
0%
00.00 - 01.00
19.00 - 20.00

20.00 - 21.00

21.00 - 22.00

22.00 - 23.00

23.00 - 00.00

01.00 - 02.00

02.00 - 03.00

03.00 - 04.00

04.00 - 05.00

05.00 - 06.00

Waktu (WIB)

Gambar 10 Pola Aktivitas aktif kukang jawa

Kukang jawa sering terlihat melakukan aktivitas ini ketika sedang bergerak
dan melihat kehadiran pengamat. Kukang kemudian diam tidak bergerak (freeze)
cukup lama memastikan bahwa kehadiran pengamat tidak menganggu. Kukang
15

jawa juga akan diam tidak bergerak dan melihat ke arah pengamat apabila
mendengar suara gaduh.
Posisi membeku (freeze) merupakan posisi gerakan yang terhenti atau tidak
bergerak sama sekali minimal tiga detik (BottcherLaw et al. 2001). Hal ini
menunjukkan tingkat perilaku kewaspadaan (self-awareness). Rendahnya tingkat
kewaspadaan akan mempengaruhi respon satwa terhadap keberadaan manusia
sehingga satwa tidak lagi menganggap manusia sebagai ancaman. Satwa yang
tidak lagi menganggap manusia sebagai ancaman cenderung lebih rentan terhadap
perburuan (Thorn et al. 2008).

Perbandingan aktivitas harian kukang jawa


Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh Angeliza (2014),
didapatkan tiga aktivitas harian dominan kukang jawa pada bulan Januari-April
2014 yaitu aktivitas berpindah tempat (42.00%), aktif (14.30%) dan makan
(14.10%), sedangkan pada bulan Juli-September 2014 tiga aktivitas dominan
kukang jawa yaitu makan (33.23%), berpindah tempat (26.65%) dan grooming
(16.17) seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan nilai aktivitas harian kukang jawa


Aktivitas Harian
Berpindah tempat (%)

Mencari makan (%)


Grooming (%)

Waktu Penelitian
In-aktif (%)
Makan (%)

Sosial (%)
Aktif (%)

Januari-April 1 14.07 42.00 9.63 9.63 14.32 1.73 8.4


Juli-September 33.25 26.65 16.09 14.51 8.44 0.79 0.26
Keterangan : 1=Angeliza 2014

Aktivitas berpindah tempat adalah aktivitas tertinggi yang teramati pada


bulan Januari-April 2014. Hal ini diduga karena kukang jawa masih dalam kondisi
penyesuaian diri dengan keberadaan pengamat. Keadaan kukang yang sedang
bunting pada bulan Februari diduga berpengaruh pada pergerakannya. Pergerakan
Swapna et al. (2010) kombinasi musim, suhu dan cahaya bulan mungkin juga
mempengaruhi tingkat aktivitas dan kewaspadaan. Pada bulan Juli-September
2014 kukang lebih banyak melakukan aktivitas makan. Hal ini terjadi karena
selama pengamatan kukang jawa lebih banyak ditemukan ketika melakukan
aktivitas makan pada pohon bubuay. Waktu yang dihabiskan kukang jawa cukup
lama ketika berada di pohon bubuay, karena kukang mendapatkan getah dengan
cara mengguratkan gigi ke batang pohon hingga kulit pohon terkelupas atau
tergores dan mengeluarkan getah. Kukang jawa juga terlihat lebih lama mencerna
pakan getah dibandingkan dengan nektar. Kukang dapat bertahan lama pada
pohon yang sama jika ketersediaan pakan cukup banyak, dan frekuensi sinyal
16

collar yang terpancarkan ke dalam receiver terus bertambah dan fokus pada satu
arah sehingga kukang jawa mudah ditemukan.

Tabel 2 Perbandingan jenis pakan kukang jawa


Waktu Penelitian Jenis pakan
Bubuay (%) Kaliandra (%) Serangga (%) Buah (%)
Januari-April 1 16.60 79.90 3 0.5
Juli-September 58.18 41.82 - -
Keterangan: 1=Angeliza 2014

Jenis pakan yang paling diminati kukang jawa pada bulan Januari-April
2014 adalah nektar kaliandra, sedangkan pada bulan Juli-September 2014 adalah
getah bubuay (Tabel 2). Hal ini terjadi disebabkan oleh musim berbunga
kaliandra. Kaliandra berbunga sepanjang tahun secara alami, tetapi masa
puncaknya terjadi antara bulan Januari, Februari, Maret dan Juli (Chamberlain
2000; Herdiawan et al. 2005). Tipe pakan yang bervariasi menjadikan kukang
jawa memiliki banyak pilihan sumber pakan yang mendukung populasinya,
namun demikian kelimpahan dan distribusi pakannya dapat bervariasi (Pambudi
2008). Distribusi kukang kemungkinan mengikuti pola distribusi pohon buah pada
saat musim buah, namun di musim lain dapat mengikuti pola distribusi pohon
berbunga atau pohon yang terdapat getah.
Kondisi cuaca hujan pada pengamatan bulan Juli-September 2014 membuat
kukang jawa cenderung memakan getah pohon. Proporsi pakan getah kukang
bengal akan meningkat pada musim dingin, sementara pada musim panas atau
kemarau lebih banyak memakan nektar dan serangga (Swapna et al. 2010).
Kukang pygmy tidak memakan nektar atau buah-buahan pada musim dingin, dan
lebih memperbanyak memakan serangga (Starr dan Nekaris 2013). Kelimpahan
pakan yang tersedia bagi suatu spesies tergantung pada berbagai faktor, termasuk
adaptasi kemampuan trofik (penggunaan nutrisi atau energi dalam ekosistem)
spesies tersebut, kelimpahan dan produktivitas vegetasi dan kompetesi dengan
hewan lain (Dittus 1980 diacu dalam National Research Council 1980). Faktor
lain yang juga diduga mempengaruhi perbedaan pakan kukang adalah tekanan
predator, dan penyakit (Jolly 1985).
Kukang jawa pada bulan Januari-April teramati memakan serangga dan
buah. Kukang jawa memperoleh serangga pada percabangan atau tajuk pohon
pinus (Pinus merkusii) dan palem serdang (Livistona rotundifolia). Buah yang
dikonsumsi oleh kukang jawa adalah buah beunying (Ficus fistulosa) (Angeliza
2014). Sedangkan pada bulan Juli-September, kukang jawa tidak teramati
memakan serangga dan buah. Hal ini dikarenakan karena jarak pandang yang
terbatas, dan posisi kukang yang sering membelakangi pengamat.

Wilayah Jelajah Kukang Jawa

Wilayah jelajah (home range) merupakan wilayah yang dikunjungi satwa


secara tetap karena dapat menyediakan makanan, minum serta mempunyai fungsi
sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin. Luas
wilayah jelajah satwa sangat bervariasi, diantaranya tergantung pada kondisi
sumberdaya lingkungan, aktivitas hubungan dengan pasangan dan ukuran tubuh
17

satwa (Alikodra 2002). Wilayah jelajah dapat diketahui melalui tanda-tanda


satwaliar seperti feses, jejak tapak kaki dan sebagainya.
Berdasarkan hasil perhitungan luas wilayah jelajah dengan menggunakan
Fixed Kernel (FK) 95%, rata-rata luas wilayah jelajah kukang jawa sebesar 4.13
ha. Perhitungan dengan menggunakan Minimum Convex Polygon (MCP)
memberikan rata-rata luas wilayah jelajah kukang jawa sebesar 8.16 ha (Gambar
11). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nekaris dan Bearder (2011) bahwa wilayah
jelajah kukang jawa mencapai 3 – 8 ha, sedangkan wilayah jelajah pada kukang
sumatera mencapai 0.4 – 3.8 ha, slender loris merah (Loris tardigradus) 1.2 – 5.4
ha, slender loris abu-abu (Loris lydekkerianus) 1.5 – 2.0 ha, kukang pygmy 12.09
ha (Wiens 2002; Nekaris 2014; Starr 2011). Kukang jawa memiliki dua daerah
inti dengan luas masing-masing sebesar 0.5 ha. Kukang sumatera memiliki daerah
inti 1.37 ha (Octavianata 2014).

Gambar 11 Luas wilayah jelajah kukang jawa


18

Menurut Wiens (2002) wilayah jelajah kukang jantan dewasa lebih luas
dibandingkan daripada individu betina. Betina pada umumnya bersifat sebagai
penyimpan energi sehingga umumnya memiliki perilaku yang lebih pasif. Primata
betina memiliki investasi yang cukup besar dalam aktivitas-aktivitas reproduksi
antara lain mengasuh anak. Berbeda halnya dengan betina, primata jantan bersifat
sebagai penghemat waktu sehingga jantan pada umumnya memiliki perilaku yang
lebih agresif (Jones 2005). Luas wilayah jelajah yang bervariasi diantaranya
tergantung pada kondisi sumberdaya lingkungan dan kondisi topografi kondisi
habitat. Hal ini membuat hasil wilayah jelajah lebih besar karena keberadaan
kukang yang sering ada di jurang.
Luas wilayah jelajah dengan metode MCP lebih besar dibandingkan dengan
metode FK. Hal ini dikarenakan analisis dengan metode MCP hanya
menghubungkan titik-titik terluar dari seluruh titik-titik koordinat kukang jawa
dan tidak mengkalkulasikan seluruh titik terutama pada titik-titik yang
mengelompok pada lokasi tertentu. Umumnya, metode MCP juga mencakup
sebagian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa (Bajjali
2006).
Analisis dengan metode FK mengkalkulasikan seluruh titik termasuk titik-
titik yang yang mengelompok pada lokasi tertentu. Jumlah titik atau ukuran
sampel yang digunakan dalam metode Kernel dapat mempengaruhi luas daerah
jelajah yang dihasilkan. Apabila terdapat satu titik yang tersebar sendiri dan
jaraknya sedikit berjauhan dengan titik-titik lainnya, maka Kernel tidak akan
menghitungnya karena titik tersebut dianggap sebagai lokasi yang hanya sekedar
dilintasi oleh satwa tersebut (Wartman et al. 2010). Metode MCP hanya
menggambarkan luas keseluruhan daerah jelajah satwa namun tidak menunjukkan
adanya wilayah yang sering dikunjungi satwa (Harris et al. 1990), dan memiliki
kemungkinan kecil untuk mengetahui seluruh lokasi keberadaan satwa. Oleh
karena itu, pendugaan wilayah jelajah kukang jawa dengan menggunakan dua
metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan variasi angka wilayah jelajah.
Jelajah harian (DR) kukang jawa di TNGHS rata-rata 558.33 m (Tabel 3).
Hal ini berbeda dengan slender loris abu-abu dan slender loris merah yang
memiliki jelajah harian ratusan meter hingga 1 km tiap malam (Nekaris dan
Bearder 2007). Menurut Octavianata (2014), kukang sumatera memiliki jelajah
harian ± 441 m tiap malam. Jelajah harian kukang jawa bisa lebih luas lagi karena
pengamat tidak memungkinkan untuk selalu mengikuti pergerakan kukang
tersebut. Beberapa kendala yang menyebabkan pengamat tidak dapat mengikuti
pergerakan kukang jawa adalah kukang jawa mengarah ke jurang, kondisi cuaca
hujan besar disertai petir dan pergerakan kukang terhalang oleh vegetasi yang
rapat.

Tabel 3 Pergerakan harian kukang jawa


No Ulangan Kukang jawa
DR (m) RM (m) NPS (m)
1 Ulangan ke-1 472.49 194.04 294.70
2 Ulangan ke-2 662.88 126.61 177.55
3 Ulangan ke-3 539.63 181.24 45.58
Rata-rata 558.33 167.30 172.61
19

Pergerakan atau aktivitas jelajah kukang dipengaruhi oleh intensitas cahaya.


Kukang cenderung mengurangi aktivitas atau menghindari kondisi gelap total dan
sangat sedikit cahaya (Kavanau 1979). Jelajah harian yang lebih besar pada
ulangan ke-2 diduga dipengaruhi oleh tingginya gangguan aktivitas manusia
disekitar wilayah jelajah kukang jawa dan ketersediaan pohon pakan yang
jaraknya berjauhan. Selama pengamatan, kukang jawa menjadi lebih waspada
ketika pengamat berusaha mendekat, baik dengan posisi membeku maupun
bergerak cepat menjauhi pengamat.
Radius maksimum kukang jawa mencapai rata-rata 167.30 m. Selama
pengamatan berlangsung yaitu pada musim hujan, pakan kukang jawa cukup
melimpah sehingga kukang tidak melakukan pergerakan yang jauh. Setelah hujan,
kukang jawa paling tinggi teramati melakukan aktivitas grooming. Faktor yang
dapat mempengaruhi pergerakan satwa liar adalah ketersediaan makanan,
predator, dan waktu berkembang biak (Alikodra 1990).
Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata jarak lokasi tempat tidur kukang
jawa adalah 172.61 m. Selama pengamatan berlangsung, pengamat kesulitan
untuk mengetahui lokasi pohon tidur sebelumnya karena pada pengulangan
pertama kukang jawa berada di jurang sehingga pengamat tidak mendapatkan
lokasi tempat tidur kukang jawa tersebut. Pohon tidur kukang jawa diasumsikan
berada di dekat pohon pakan saat kukang jawa pertama kali ditemukan pada
malam hari.
Laju pergerakan kukang jawa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya ketersediaan pakan, musim, cuaca, suhu, gangguan satwa lain dan
predator. Ketersediaan pakan yang sedikit menyebabkan kukang jawa terus
bergerak hingga menemukan sumber pakan. Apabila ketersediaan pakan
melimpah, maka kukang akan menghabiskan waktu yang lama di tempat yang
terdapat sumber pakan. Das (2013) menjelaskan bahwa ketersediaan pakan yang
rendah menyebabkan kukang harus banyak berpindah tempat untuk dapat
menemukan pakan yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini terlihat ketika
kukang jawa lebih banyak menghabiskan waktunya di pohon bubuay karena
terdapat sumber pakan yaitu getah bubuay.
Kondisi musim juga akan berpengaruh terhadap laju pergerakan dan
distribusi kukang. Menurut Pambudi (2008), distribusi kukang dimungkinkan
mengikuti pola distribusi pohon pakan, baik pada musim buah maupun musim
bunga. Saat tidak tersedia bunga dan buah, maka kukang akan melebarkan jelajah
hariannya dalam mencari sumber pakan lain seperti getah dan serangga.
Suhu berpengaruh terhadap aktifitas mamalia nokturnal dan berpengaruh
terhadap persediaan makanan. Aktivitas kukang akan meningkat pada suhu yang
lebih tinggi dan akan semakin meningkat ketika tidak ada cahaya bulan.
Sebaliknya, kukang akan mengurangi aktivitas pada kondisi suhu rendah dan pada
saat cahaya bulan terang atau terang bulan (Starr et al. 2012). Pada lokasi
penelitian, kukang jawa ditemukan pada rentang suhu 18 - 20 0C. Aktivitas rata-
rata kukang pygmy konstan pada rentang suhu 15 – 28 0C. Satwa nokturnal ini
merupakan satwa yang mampu beradaptasi pada suhu rendah sampai pada suhu
tinggi (Starr et al. 2012).
Persaingan dengan satwa lain dan predator juga berpengaruh terhadap laju
pergerakan kukang jawa. Keberlangsungan hidup kukang jawa juga akan
terancam karena keberadaan kompetitornya dalam mencari makan di alam. Salah
20

satu jenis satwa yang berpotensi sebagai kompetitor kukang jawa adalah musang
(Paradoxurus hermaphroditus). Menurut Schulze (2001), sama seperti halnya
kukang, musang merupakan salah satu jenis satwa nokturnal dan jenis pakan
musang secara umum juga sama dengan kukang, yakni buah. Selama pengamatan,
musang bulan sering ditemui berada tidak jauh dengan lokasi ditemukannya
kukang jawa. Apabila berada pada satu pohon, kukang jawa lebih banyak
menghindar dengan berjalan mundur secara perlahan ke pohon lain. Selain satwa
kompetitor, keberadaan satwa predator seperti elang juga mengancam dan
mengganggu kehidupan kukang jawa. Elang jawa (Nisaetus bartelsii) pernah
ditemukan sedang soaring pada siang hari pada lokasi penyebaran kukang jawa.

Perbandingan wilayah jelajah kukang jawa


Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh Arismayanti (2014)
pada bulan Januari-April 2014, luas wilayah jelajah kukang jawa dengan metode
FK adalah 5.43 ha dengan tiga daerah inti sebesar 1.59 ha. Pada bulan Juli-
September 2014, luas wilayah jelajah kukang jawa sebesar 4.13 ha dengan dua
daerah inti masing-masing sebesar 0.5 ha (Tabel 4).

Tabel 4 Perbandingan wilayah jelajah kukang jawa


Waktu penelitian Wilayah jelajah Daerah inti
(ha) (ha)
1
Januari-April 5.43 1.59
Juli-September 4.13 1
Keterangan : 1= Arismayanti 2014

Luas wilayah jelajah kukang jawa pada bulan Juli-September 2014 lebih
kecil dibandingkan pada bulan Januari-April 2014. Hal ini dikarenakan oleh
perbedaan jangka waktu lama penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Singleton dan Schaik (2000) bahwa variasi yang terjadi dalam pendugaan wilayah
jelajah bergantung pada lamanya penelitian, serta waktu penelitian yang paling
lama menghasilkan pendugaan wilayah jelajah yang paling besar. Luasan wilayah
jelajah dapat bervariasi dari tahun ke tahun karena perubahan cuaca, ketersediaan
sumber pakan, kompetisi, atau aktivitas manusia seperti perburuan, penebangan
pohon, ataupun pembukaan lahan pertanian (Rowe 1996). Wilayah jelajah kukang
jawa dalam penelitian ini masih mungkin akan bertambah mengingat waktu
penelitian hanya selama tiga bulan (Gambar 12).
Hasil penelitian pada bulan Januari-April 2014 didapatkan tiga daerah inti
kukang jawa dengan luas sebesar 1.59 ha, sedangkan pada bulan Juli-September
2014 hanya didapatkan dua daerah inti kukang jawa dengan luas sebesar 1 ha. Hal
ini diduga karena pemanfaatan pohon pakan kukang jawa pada penelitian
sebelumnya lebih banyak dengan dibandingkan penelitian selanjutnya, sehingga
lokasi dan ukuran daerah inti di dalam wilayah jelajah kemungkinan tidaklah
tetap.
21

Gambar 12 Pergerakan harian kukang jawa

Komposisi Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis dan dominasi


suatu jenis vegetasi untuk mendukung kebutuhan kukang jawa di kawasan hutan
Gunung Salak. Analisis vegetasi juga merupakan suatu cara analisis terhadap
komunitas tumbuhan untuk memperoleh gambaran tentang susunan atau
komposisi spesies dan struktur komunitas tumbuhan secara lengkap (Kusmana
1997). Vegetasi sebagai komponen habitat, selain berfungsi sebagai sumber
makanan juga berfungsi sebagai pelindung (Muntasib dan Pakpahan 1992).
Berdasarkan hasil analisis terhadap komponen vegetasi penyusun habitat kukang
jawa, ditemukan beberapa tumbuhan yang tersedia pada tingkat semai, pancang,
tiang, dan pohon (Tabel 5).
22

Tabel 5 Komposisi vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan


Tingkat Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP
(%)
Ki Cabe Polyosma ilicifolia Saxifragaceae 10.80
Derandan 10.80
Cariang Schismatologlottis Araceae 10.80
rupestris
Talas-talasan 10.80
Semai Bubuay Plectocomia elongata Arecaceae 17.05
Cangkore Dinochloa scandens Poaceae 20.17
Harendong Melastoma Melastomatace 48.26
malabathricum ae
Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 10.08
Canar Smilax macrocarpa Smilacaceae 13.92
Pakis-pakisan 32.67
Pacing Costus speciosus Zingiberaceae 13.92
Ki cengkeh Urophyllum arboreum Rubiaceae 66.95
Pakis-pakisan 20.79
Ki sireum Syzygium lineatum Myrtaceae 20.79
Pancang Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 29.12
Pasang Quercus sundaica Fagaceae 20.79
Mara Macaranga Euphorbiaceae 20.79
rhizinoides
Kaliandra Calliandra Fabaceae 20.79
calothyrsus
Ki bancet Turpinia Staphyleaceae 34.48
sphaerocarpa
Kokosan Xerospermum Sapindaceae 36.19
Tiang monyet noronhianum
Ki sampang Euodia latifolia Rutaceae 40.47
Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 46.88
Mara Macaranga Euphorbiaceae 49.87
rhizinoides
Bubuay Plectocomia elongata Arecaceae 34.05
Kaliandra Calliandra Fabaceae 58.09
calothyrsus
Kurai Trema orientalis Ulmaceae 21.27
Ki pare Glochidion obscurum Euphorbiaceae 23.38
Ki sireum Syzygium lineatum Myrtaceae 49.05
Mara Macaranga Euphorbiaceae 23.95
Pohon rhizinoides
Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 58.03
Puspa Schima wallichii Theaceae 24.93
Pasang Quercus sundaica Fagaceae 78.78
Kaliandra Calliandra Fabaceae 20.79
calothyrsus
23

Farida dan Harun (2000) menjelaskan untuk mempertahankan keberadaan


primata di habitat alaminya, perlu dilakukan identifikasi terhadap
keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada karena tumbuhan-tumbuhan adalah
sumber pakan bagi primata yang hidup di habitat tersebut. Berdasarkan masing-
masing tingkat pertumbuhan didapatkan jenis-jenis dominan dari hasil analisis
vegetasi.
Total tumbuhan yang ditemukan pada habitat kukang jawa adalah 22
spesies. Tumbuhan tersebut terdiri atas sebelas jenis tumbuhan tingkat semai dan
tumbuhan bawah, tumbuhan tingkat pancang dan tiang masing-masing tujuh
spesies, dan delapan spesies tumbuhan tingkat pohon. Pohon di seluruh plot
memiliki kisaran tinggi sebesar 6-18 m. Menurut Pliosungnoen et al. (2010),
kukang menyukai pohon yang memiliki kanopi yang luas dan tinggi dan DBH
yang besar. Tiga parameter inilah yang dapat menjadi indikasi struktur vegetasi
yang disukai kukang.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi yang digunakan kukang
jawa, terdapat satu jenis pohon, dua jenis tiang, satu jenis pancang dan satu jenis
semai yang merupakan jenis tumbuhan pakan kukang jawa yaitu bubuay dan
kaliandra. Keberadaan vegetasi tersebut mendukung ketersedian pakan bagi
kukang jawa. Terdapat satu jenis tiang dan satu jenis tumbuhan yaitu kokosan
monyet dan liana cangkore yang dimanfaatkan kukang jawa sebagai tempat tidur.
Harendong (Melastoma malabathricum) merupakan jenis dominan pada
tingkat semai, namun jenis ini tidak dimanfaatkan oleh kukang jawa. Ki cengkeh
(Urophyllum arboreum) merupakan jenis dominan pada tingkat pancang. Menurut
Wirdateti (2003), kukang jawa memakan cairan dari kulit cengkeh. Kaliandra
merupakan jenis dominan pada tingkat tiang, nektar kaliandra paling banyak
dimanfaatkan kukang sebagai salah satu sumber pakan. Pasang (Quercus
sundaica) merupakan jenis dominan pada tingkat pohon. Menurut Pambudi
(2008), kukang jawa di hutan Bodogol TNGGP memakan buah dan getah pasang.
Namun, kukang jawa pada penelitian ini tidak teramati memakan jenis tersebut.
Kukang jawa hanya memanfaatkan ranting dan pohon untuk melakukan aktivitas
hariannya, sepeti berpindah tempat. Jenis tumbuhan yang mempunyai nilai INP
tertinggi merupakan jenis tumbuhan yang dominan di dalam suatu komunitas
tumbuhan (Indriyanto 2005).
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, diperoleh empat jenis tumbuhan yang
berpotensi menjadi pohon pakan dan enam jenis tumbuhan yang berpotensi
menjadi pohon tidur. Selain berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tidur,
jenis-jenis tersebut juga mendukung aktivitas harian kukang jawa, seperti aktivitas
berpindah tempat. Potensi tumbuhan pakan kukang di Bandung Barat terdapat 16
jenis (Wahyudin 2014), di Lampung terdapat 8 jenis (Handoko 2014), di talun
Tasikmalaya dan Ciamis terdapat 25 jenis (Winarti 2011). Potensi tumbuhan
pakan kukang pada habitat talun lebih banyak dibandingkan pada habitat hutan.
Keragaman jenis pakan pada habitat talun merupakan hal yang penting karena
struktur komunitas dan komposisi vegetasi talun seringkali berubah dengan cepat
akibat siklus rotasi (Winarti 2011; Putri 2014; Wahyudin 2014).
Semua jenis tumbuhan pakan yang terdapat dalam plot hampir seluruhnya
memiliki INP lebih dari 10% yang berarti jenis tersebut dominan dan jumlahnya
melimpah. Melimpahnya ketersediaan jenis tumbuhan pakan tersebut maka
kebutuhan pakan kukang jawa akan terpenuhi dalam jangka waktu tertentu selama
24

tidak ada gangguan pada habitat kukang jawa. Selain melalui pengamatan
langsung, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi dimanfaatkan kukang
jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur (Tabel 6).

Tabel 6 Potensi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan kukang jawa


Jenis Nama Ilmiah Famili Jenis pemanfaatan
Kaliandra Calliandra Fabaceae Pakan*ace,pohon tidurb
calothyrsus
Bubuay Plectocomia Arecaceae Pakan*a
elongata
Cangkore Dinochloa scandens Poaceae Pohon tidur*
Ki sampang Eudioa latifolia Rutaceae Pohon tidurb
Pasang Quercus sundaica Fagaceae Pakanc, pohon tidurb
Kokosan Xerospermum Sapindaceae Pohon tidur*
Monyet noronhianum
Puspa Schima wallichii Theaceae Pakand, pohon tidurb
Keterangan: *berdasarkan pengamatan, Angeliza 2014, Arismayanti 2014, cPambudi
a b

2008, dYIARI 2012, eWahyudin 2014.

Pohon Tidur Kukang Jawa (Sleeping site)

Berdasarkan hasil pengamatan, kukang jawa terlihat menggunakan pohon


kokosan monyet, dan pohon reungas yang terdapat liana cangkore sebagai pohon
tidur (Tabel 7). Kukang jawa menggunakan pohon tidur yang berbeda setiap hari.
Pemilihan pohon tidur kukang jawa mempertimbangkan faktor keamanan dari
predator dan kemudahan akses ke pohon pakan. Kukang jawa teramati tidur pada
lokasi yang berdekatan dengan tempat tidur sebelumnya dalam jarak waktu yang
berdekatan. Menurut Smith (2007), pemilihan lokasi tidur yang berdekatan
dipengaruhi oleh keinginan hewan untuk meminimalisir waktu tempuh untuk
mencapai lokasi sumber pakan pada hari berikutnya. Menurut Iqbal (2011),
kukang jawa hasil pelepasliaran di kawasan hutan Gunung Salak menggunakan
pohon ki beusi (Rhodamnia cinerea), bingbin (Pinanga coronata), ki sampang
(Euodia latifolia), dan tepus rambutan (Amomum lappaceum) sebagai pohon tidur.

Tabel 7 Pohon tidur kukang jawa


No Nama Nama Ilmiah Tinggi Diameter Tinggi Tinggi Jarak
Lokal (m) (m) bebas posisi (m)
cabang tidur
(m) (m)
1 Kokosan Xerospermum 16 0.19 9 10 1.55
monyet noronhianum
2 Cangkore Dinochloa 15 0.37 9 13 2
scandens
3 Cangkore Dinochloa 16 0.37 11 15 1.5
scandens
25

Pohon untuk tidur kukang tidak terbatas hanya pada jenis-jenis tertentu,
sehingga pohon untuk tidur kukang akan selalu berpindah tempat. Lokasi tidur
kukang tidak akan terlalu jauh dari lokasi terakhir aktivitasnya pada saat
menjelang fajar (Wahyudin 2014). Ada beberapa lokasi yang berpotensi menjadi
pohon tidur kukang jawa karena sinyal yang terdekteksi pada receiver mencapai
99%, namun posisi kukang jawa pada pohon tersebut sulit ditemukan karena
berbagai kendala. Kendala tersebut cuaca berkabut sehingga mengurangi jarak
pandangan, jalur pengamatan yang curam pohon yang rimbun karena dikelilingi
tumbuhan merambat.
Cara tidur kukang yaitu bergulung seperti bola dengan kepala berada
diantara kaki (Supriatna dan Wahyono 2000). Kukang jawa sering teramati tidur
di pohon yang memiliki tumbuhan merambat seperti liana cangkore. Menurut
Garcia dan Braza (1993: 474), pemilihan lokasi tidur yang tersusun dari tumbuhan
merambat bertujuan untuk melindungi hewan nokturnal dari predator saat siang
hari. Selain itu, liana pada pohon tidur juga berfungsi membantu pergerakan
kukang pada percabangan pohon untuk bergerak dan mencari pakan. Kemudahan
akses terhadap sumber pakan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
pemilihan lokasi tidur (Anderson 1998 dan 2000 diacu dalam Schreier dan
Swedell 2008:107).
Kukang jawa menggunakan pohon yang tinggi dan besar, dikelilingi liana
atau tumbuhan merambat lainnya, tajuk yang luas dan jarak antar pohon yang
dekat untuk memudahkan kukang jawa tersebut berpindah tempat. Vegetasi yang
rapat dan warna tubuh kukang jawa yang samar membuat kukang jawa sulit
ditemukan. Hal ini merupakan salah satu bentuk perlindungan diri dari predator.
Vegetasi yang rapat dapat memberikan perlindungan kepada kukang dalam
melakukan aktivitas hariannya. Hal tersebut diperlukan terutama pada saat kondisi
paling rentan, yaitu saat kukang tidur (Pambudi 2008). Menurut Choudhurry
(1992), kukang menyukai strata puncak serta kerimbunan rumpun bambu untuk
tidur. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kukang jawa menggunakan
pohon dengan ketinggian rata-rata 12.67 m untuk tidur. Menurut Arismayanti
(2014), terdapat beberapa karakteristik pohon yang digunakan kukang jawa
sebagai pohon tidur, yaitu pohon memiliki penutupan tajuk sebesar 68%, tinggi
pohon 10-22 m, rata-rata diameter batang pohon 0.44 m, dan rata-rata jarak pohon
terdekat sebesar 5.4 m.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Aktivitas harian kukang jawa tertinggi berturut-turut adalah aktivitas makan,


berpindah tempat, menelisik, mencari makan, aktif, in-aktif, dan sosial.
Selama penelitian kukang jawa tidak teramati melakukan aktivitas abnormal.
2. Perhitungan dengan metode FK memberikan rata-rata luas wilayah jelajah
4.13 ha dengan dua daerah inti seluas 1 ha, sedangkan dengan metode MCP
memberikan rata-rata luas wilayah jelah 8.16 ha. Kukang jawa memiliki
26

jelajah harian rata-rata sebesar 558.33 m, radius maksimum rata-rata sebesar


167.30 m, dan perbedaan lokasi tempat tidur rata-rata sebesar 172.61 m.
3. Komposisi vegetasi pada habitat kukang jawa terdiri atas 22 jenis tumbuhan.
Pohon tidur kukang jawa yang teramati adalah kokosan monyet dan liana
cangkore pada pohon reungas.

Saran

1. Perlu adanya monitoring berkala mengenai aktivitas harian, wilayah jelajah,


dan potensi pohon tidur kukang jawa agar menghasilkan data yang
berkelanjutan (time series).
2. Diperlukan penelitian dengan obyek kukang jawa liar jantan, agar dapat
mengetahui keberlanjutan dari populasi kukang jawa di TNGHS.
3. Bubuay dapat dijadikan pengayaan pakan alami kukang selama masa
rehabilitasi.
4. Diperlukan pemeliharaan kondisi vegetasi karena di TNGHS berpotensi
sebagai habitat kukang jawa dengan sumber pakan yang cukup beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Fakultas


Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Angeliza R. 2014. Aktivitas harian kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Arismayanti E. 2014. Wilayah jelajah dan penggunaan ruang harian kukang jawa
(Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa
Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Asnawi E. 1991. Studi sifat-sifat biologis kukang (Nycticebus coucang [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bajjali W. 2006. Advance Training Course in GIS Using Spatial Analyst,
Geostatistical, and 3-D Analyst of ArcGIS. Departement of Biology and
Earth Sciences University of Wisconsin System [Internet]. [diunduh 4 Nov
2014]. Tersedia pada: http://frontpage.uwsuper.edu/bajjali/train/usa/AC.pdf
Ballenger L. 2000. Nycticebus coucang [Internet]. [diunduh 2014 Okt 18].
Tersedia pada: www.species.net.
Bearder SK. 1987. Lorises, bushbabies, and tarsies: diverse societies in solitary
foragers. Dalam: Smuts BB, Cheney DL, Wrangham RM, Struhsakers T.
Primates societes. Chicago (US): The University of Chicago Press.
Bearder SK. 1999. Physical and social diversity among nocturnal primates: a new
view based on long term research. Primates. 40:267-282.
Bottcher-Law L, Fitch-Snyder H, Hawes J, Larsson L, Lester B, Ogden J, Schulze
H, Slifka K, Stalis I, Sutherland-Smith M. 2001. Management of Lorises in
Captivity: A Husbandry Manual for Asian Lorisines (Nycticebus & Loris
spp.). San Diego (US): CRES, Zool Soc San Diego.
27

Bransilver C. 1999. Slow loris (Nycticebus coucang) [Internet]. [diunduh 2014


Okt 20]. Tersedia pada: http://www.duke.edu/web/primate/slowlor.html.
Chamberlain JR. 2000. Meningkatkan Produksi Benih Calliandra calothyrsus.
Mulawarman, penerjemah. Bogor (ID): International Centre for Research in
Agroforestry. Terjemahan dari: Improving Seed Production in Calliandra
calothyrsus.
Choudhurry AU. 1992. The slow loris (Nycticebus coucang) in North-east India.
Primate Report. 34:77-83.
Das N. 2013. Ecology and behaviour of bengal slow loris Nycticebus bengalensis,
(Lecepede, 1800) in Assam, India [tesis]. India (IN): Gauhati University.
Farida WR, Harun. 2000. Keragaman jenis tumbuhan sebagai sumber pakan bagi
owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), dan lutung
(Trachypithecus auratus) di Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal
Primatologi Indonesia. 3(2):55-61.
Garcia JE, Braza F. 1993. Sleeping sites and lodge trees of the night monkey
(Aotus azarae) in Bolivia. International Journal of Primatology. 14(3):467-
477.
Handoko DD. 2014. Analisis habitat kukang sumatera (Nycticebus coucang
Boddaert, 1785) pelepasliaran YIARI di Kawasan Hutan Lindung Batutegi
Blok Kali Jernih Kabupaten Tanggamus, Lampung [skripsi]. Lampung (ID):
Universitas Lampung.
Herdiawan I, Fanindi A, Semali A. 2005. Karakteristik dan pemanfaatan kaliandra
(Calliandra calothyrsus). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
Ternak Puslitbang Peternakan.
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Iqbal M. 2011. Pemilihan lokasi tidur (Sleeping sites) kukang jawa (Nycticebus
javanicus E. Geoffroy, 1812) yang dilepasliarkan di kawasan hutan Gunung
Salak Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Jolly A. 1985. The evolution of primate behavior 2nd ed. New York (UK):
Macmillan Publishing Company.
Jones CB. 2005. Behavioral flexibilities in primates: causes and consequences.
Springer Science + Business Media, Inc., New York
Kartika RB. 2000. Studi banding perilaku kukang (Nycticebus coucang) di dua
lokasi penangkaran [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kavanau JL. 1979. Illuminance preferences of nocturnal primates. Primate.
2(20):245-258.
Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor (ID): IPB Press.
Moore RS. 2012. Ethis, ecology, and evolution of Indonesian slow lorises
(Nycticebus spp.) rescued from the pet trade [tesis]. Oxford (UK): Oxford
Brookes University.
Muntasib EKSH, Pakpahan AM. 1992. Habitat Satwa Liar. Bogor (ID): Pusat
Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.
National Research Council. 1981. Techniques for the study of primate population
ecology. Washington DC (US): National Academic Press.
Nekaris KAI. 2001. Activity budget and positional behavior of the Mysore slender
loris (Loris tardigradus lydekkarianus): implications for “slow climbing”
locomotion. Folia Primatol. 72:228-241.
28

Nekaris KAI. 2005. Foraging behaviour of the slender loris (Loris lydekkerianus
lydekkerianus): implications for theories of primate origins. Journal of
Human Evolution. 49:289-300.
Nekaris KAI. 2014. Extreme primates: ecology and evolution of asian lorises.
Evolutionary Anthropology. 23:177-187.
Nekaris KAI, Bearder SK. 2007. The lorisiform primates of Asia and mainland
Africa: Diversity shrouded in darkness. The Primates. 2:24-45.
Nielsen EB, Pedersen S, Linnel JDC. 2008. Can minimum convex polygon home
ranges be used to draw biologically meaningful conclusions? Ecological
Research. 23(3):635-639.
Nursahid R, Purnama AR. 2007. Perdagangan kukang (Nycticebus coucang) di
Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Jan 20]. Tersedia pada:
http://www.profauna.or.id/indo.pressrelease/perdagangan-kukang.html.
Octavianata E. 2014. Perilaku dan daerah jelajah harian kukang sumatera
(Nycticebus coucang Boddaert, 1785) pelepasliaran YIARI di Kawasan
Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih Kabupaten Tanggamus, Lampung
[skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Pambudi JAA. 2008. Studi populasi, perilaku, dan ekologi kukang jawa
(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [tesis]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Pliosungnoen M, Gale G, Savini T. 2010. Density and microhabitat use of bengal
slow loris in primary forest and non-native plantation forest. Am J Primatol
71(12):1-10.
Priatna D. 2012. Pola penggunaan ruang dan model kesesuaian habitat harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) pasca translokasi
berdasarkan pemantauan kalung GPS [disertasi]. Bogor (ID): Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Putri PR. 2014. Aktivitas harian dan penggunaan habitat kukang jawa (Nycticebus
javanicus) di Talun Desa Cipaganti Garut, Jawa Barat [skripsi]. Depok (ID):
Universitas Indonesia.
Radhakrishna S, Singh M. 2002. Social behaviour of the slender loris (Loris
tardigradus lydekkerianus). Folia Primatologica. 73:181-196.
Rode MEJ, Nijman V, Wirdateti, Nekaris KAI. 2014. Ethology of the critically
endangered javan slow loris Nycticebus javanicus E. Geoffroy Saint-Hilaire
in west java. Asian Primates Journal. 4(2):27-41.
Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York (US):
Pogonias Press.
Seaman DE, Powell RA. 1996. An evaluation of the accuracy of Kernel density
estimators for home range analysis. Ecology. 77(7): 2075-2085.
Shulze H, Groves G. 2004. Asian lorises: taxonomic problems caused by illegal
trade. Di dalam: Nadler T, Streicher U, Ha TL, editor. International
Symposium Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National
Park Vietnam, 18-20 Nov 2003. Hanoi: Haki Press.
Singleton I, van Schaik CP. 2000. Orangutan home range and its determinants in
Sumatran Swamp Forest. International Journal of Primatology. Russel H
Tuttle (eds.) 2001 (22).
29

Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW, Struhsaker TT. 1987.
Primate Societies. Chicago (US): The University of Chicago.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Starr CR. 2011. The conservation and ecology of the pygmy slow loris
(Nycticebus pygmaeus) in Eastern Cambodia [tesis]. University of
Queensland.
Starr CR, Nekaris KAI. 2013. Obligate exudativory characterizes the diet of the
pygmy slow loris Nycticebus Pygmaeus. Research Article.
Starr CR, Nekaris KAI, Leung L. 2012. Hiding from the moonlight: luminosity
and temperature affect activity of asian nocturnal primates in a highly
seasonal forest. PLoS ONE. 7(4):e36396.
Sallampessy A. 2002. Studi habitat badak (Rhinoceros sondaicus) di Taman
Nasional Way Kambas [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Suarjaya LM. 1985. Pengaruh suhu kandang terhadap penampilan ternak kelinci
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta
(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Susanto TW. 2012. Pola jelajah dan pemanfaatan habitat orang utan (Pongo
pygmaeus wurmbii) di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional
Gunung Palung, Kalimantan Barat [tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
Swapna N. 2008. Assesing the feeding ecology of the bengal slow loris
(Nycticebus bengalensis) in Trishna Wildlife Sanctuary, Tripura [tesis].
India (IN): Campus Bangalore.
Thorn JS, Nijman V, Smith D, Nekaris KAI. 2008. Ecological niche modelling as
a technique for assesing threats and setting conservation priorities for Asian
slow lorises (Primates: Nycticebus). Diversity and Distribution. 15:289-298.
Wahyudin. 2014. Populasi dan distribusi kukang jawa (Nycticebus javanicus
Geoffroy, 1812) di Desa Kidang Pananjung Kabupaten Bandung Barat
[skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Wahyuni H. 2011. Pengaruh pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang
jawa (Nycticebus javanicus) di Yayasan International Animal Rescue (IAR)
Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wiens F. 2002. Behavior and ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang):
social organization, infant care system, and diet [disertasi]. Bayreuth (DE):
Bayreuth University.
Wiens F, Zitzmann A. 2003. Social structure of the solitary slow loris Nycticebus
coucang (Lorisidae). Journal of Zoology. 261:35-46.
Wiens F, Zitzmann A, Hussein NA. 2006. Fast food slow lorises: is low
metabolism related to secondary compounds in high-energy plant diet?
Journal of Mammalogy. 87(4):790-789.
Winarti I. 2003. Distribusi dan struktur vegetasi habitat kukang (Nycticebus
coucang Boddaert, 1785) di Desa Marga Mekar, Kecamatan Sumedang
Selatan, Sumedang, Jawa Barat [skripsi]. Bandung (ID): Universitas
Padjadjaran.
30

Winarti I. 2011. Habitat, populasi, dan sebaran kukang jawa (Nycticebus


javanicus E. Geoffroy, 1812) di talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wirdateti LE, Setyorini, Suparno, Handayani TH. 2005. Pakan dan habitat kukang
(Nycticebus coucang) di hutan lindung perkampungan Baduy,
Rangkasbitung-Banten Selatan. Biodiversitas. 6(1):45-49.
[YIARI] Yayasan International Animal Rescue Indonesia. 2012. Laporan Survey
Potensial Habitat Kukang Jawa (N. javanicus) di Resort Gunung Salak II
SKW PTN II TNGHS. Bogor (ID): YIARI.
31

Lampiran 1 Perhitungan analisis vegetasi tingkat semai


KR FR INP
Jenis Nama ilmiah Famili
(%) (%) (%)
Ki Cabe Polyosma Saxifragaceae 3 .12 7 .67 10 .80
ilicifolia
Derandan 3 .12 7 .67 10 .80
Pakis- 25 .00 7 .67 32 .67
pakisan
Cariang Schismatologlottis Araceae 3 .12 7 .67 10 .80
rupestris
Talas- 3 .12 7 .67 10 .80
talasan
Bubuay Plectocomia Arecaceae 9 .37 7 .67 17 .05
elongata
Cangkore Dinochloa Poaceae 12 .50 7 .67 20 .17
scandens
Harendong Melastoma Melatomataceae 25 .00 23 .26 48 .26
malabathricum
Jirak Symplocos Symplocaceae 3 .12 7 .67 10 .08
fasciculata
Pacing Costus speciosus Zingiberaceae 6 .25 7 .67 13 .92
Canar Smilax Smilacaceae 6 .25 7 .67 13 .92
macrocarpa
Jumlah 100.00 100.00 200.00

Lampiran 2 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pancang

KR FR INP
Jenis Nama ilmiah Famili
(%) (%) (%)
Ki Cengkeh Urophyllum Rubiaceae 41 .67 25 .28 66 .95
arboreum
Pakis- 8 .33 12 .45 20 .79
pakisan
Ki Sireum Syzygium Myrtaceae 8 .33 12 .45 20 .79
lineatum
Jirak Symplocos Symplocaceae 16 .67 12 .45 29 .12
fasciculata
Pasang Quercus Fagaceae 8 .33 12 .45 20 .79
sundaica
Mara Macaranga Euphorbiaceae 8 .33 12 .45 20 .79
rhizinoides
Kaliandra Calliandra Leguminosae 8 .33 12 .45 20 .79
calothyrsus
Jumlah 100 .00 100 .00 200 .00
32

Lampiran 3 Perhitungan analisis vegetasi tingkat tiang

KR FR DR INP
Jenis Nama ilmiah Famili
(%) (%) (%) (%)
Ki Turpinia Staphyleaceae 12.50 14.29 7.69 34.48
Bancet sphaerocarpa
Kokosan Xerospermum Sapindaceae 12.50 14.29 9.40 36.19
Monyet noronhianum
Ki Melicope Rutaceae 12.50 14.29 13.68 40.47
Sampang latifolia
Jirak Symplocos Symplocaceae 12.50 14.29 20.09 46.88
fasciculata
Mara Macaranga Euphorbiaceae 12.50 14.29 23.08 49.87
rhizinoides
Bubuay Plectocomia Arecaceae 12.50 14.29 7.26 34.05
elongata
Kaliandra Calliandra Leguminosae 25.00 14.29 18.80 58.09
calothyrsus
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00

Lampiran 4 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pohon

KR FR DR INP
Jenis Nama ilmiah Famili
(%) (%) (%) (%)
Kurai Trema Ulmaceae 7.14 8.29 5.84 21.27
orientalis
Puspa Schima Theaceae 7.14 8.29 9.50 24.93
wallichii
Ki Pare Glochidion Euphorbiaceae 7.14 8.29 7.95 23.38
obscurum
Kaliandra Calliandra Leguminosae 7.14 8.29 5.36 20.79
calothyrsus
Mara Macaranga Euphorbiaceae 7.14 8.29 8.52 23.95
rhizinoides
Jirak Symplocos Symplocaceae 21.43 16.79 19.81 58.03
fasciculata
Pasang Quercus Fagaceae 21.43 25.13 32.22 78.78
sundaica
Ki Syzygium Myrtaceae 21.43 16.83 10.79 49.05
Sireum lineatum
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
33

Lampiran 5 Profil kukang jawa objek penelitian

Nama : Ekar
Nomor ID : 00075CC6EB
Jenis Kelamin : Betina
Tanggal ditemukan : 14 Februari 2014
Asal lokasi : TNGHS
34

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Juni 1992 dari ayah M. Zen
dan Ibu Ety Widiarti. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Pada tahun
2010 penulis lulus dari SMA Bina Insani Bogor dan pada tahun yang sama
penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Tulis Mandiri (UTM) dan
diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif pada kegiatan
HIMAKOVA di Fotografi Konservasi (FOKA). Penulis pernah melaksanakan
praktek dan kegiatan lapang antara lain: Eksplorasi Flora dan Fauna dan
Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Tangkuban Perahu (2012)
dan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (2013), Studi Konservasi Lingkungan
(SURILI) di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh tahun (2012), Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH) di Taman Nasional Gunung Ciremai tahun (2012),
Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun
(2013), dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung
Merbabu tahun (2014).
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi yang berjudul Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
di bawah bimbingan Ir Dones Rinaldi, MScF dan Richard Moore, PhD.

Anda mungkin juga menyukai