Anda di halaman 1dari 5

Keanekaragaman Jenis Mamalia, Burung, dan Herpetofauna di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga

AGUNG GUNADI ANDRIAN1 Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Darmaga Bogor 16680. Telp./HP: +6289638536484 E-mail: agunggunadiandrian@gmail.com

ABSTRACT Campus IPB Darmaga is a habitat for various species of mammals, aves, dan herpetofauna. The existence of the wildlife for IPB is a wealth to support a campus atmosphere in harmony with natural environment as well as the object of study. One of the location of wildlife habitat is Arboretum Bambu. To determine the existence of wildlife here, so it needs an observation using line transect method, point transect method, VES method, and CMR method. In these location, there are 3 species of mammals, 8 species of birds, and 6 species of herpetofauna. The density of mammals in this place is 11 Ind/m2. The richness and diversity of mammals is low, while birds and herpetofauna are medium. Additionally, the evenness of the three classes are equally prevalent. Key words: Campus IPB Darmaga, Arboretum Bambu, Wildlife.

PENDAHULUAN Kampus IPB Darmaga merupakan habitat bagi berbagai jenis mamalia, burung, ikan, dan herpetofauna Keberadaan jenis-jenis satwaliar tersebut bagi IPB merupakan kekayaan yang dapat mendukung terciptanya suasana kampus yang selaras dengan lingkungan alami maupun sebagai obyek penelitian (Hernowo 1991). Saat ini pembangunan yang dilakukan di setiap sudut kampus turut serta mengambil lahan yang sebelumnya merupakan habitat bagi satwaliar. Maka dengan adanya pembangunan ini, akan berdampak langsung pada jumlsh populasi satwaliar di kampus IPB Darmaga. Arboretum Bambu salah satunya. Di lokasi ini terdapat pembukaan lahan yang sebelumnya merupakan habitat satwaliar, termasuk bajing kelapa (Callosciurus notatus). Namun, walaupun begitu Arboretum Bambu masih menyimpan keanekaragaman jenis mamalia, burung, dan herpetofauna. Perlunya informasi mengenai satwaliar di lokasi ini yaitu untuk mengetahui kepadatan populasi, indeks kekayaan, kemerataan, dan kenekaragamannya. Ukuran atau kepadatan merupakan parameter populasi satwaliar yang penting yang diperlukan baik dalam studi populasi atau pengelolaan populasi (Tarumingkeng 1994). Ukuran atau kepadatan populasi satwa di alam diperoleh melalui kegiatan inventarisasi dengan berbagai pilihan metode yang telah dikembangkan. Penggunaan metode tersebut dilakuakan oad anventarisasi satwaliar secara langsung maupun tidak langsung. Metode inventarisasi secara langsung yang umum digunakan adalah metode titik, garis, dan jalur. Aplikasi dari keempat metode tersebut didasarkan terhadap jenis dan karakteristik satwa. Adapun tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui kepadatan populasi mamalia, burung, dan herpetofauna di Arboretum Bambu Kampus IPB Dramaga. Selain itu juga untuk mengetahui indeks kekayaan, keanekaragaman, serta kemerataannya.

METODE Lokasi dan Waktu Lokasi pengamatan dilakukan di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. Sedangkan waktu pengamatan dilakukan mulai tanggal 9 hingga 17 Oktober 2012. Pengamatan dilakukan dengan tiga kali pengulangan pengamatan pada pagi dan sore hari untuk jenis mamalia dan burung, serta pada malam hari untuk jenis herpetofauna. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada saat pengamatan diantaranya adalah tally sheet, kompas, meteran, binokuler, fielguide, headlamp dan senter, plastik spesimen, jam tangan, kamera, serta alat tulis. Sementara itu bahan atau obyek yang diamati adalah berbagai jenis mamalia, burung, dan herpetofauna yang ada di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. Teknik Pengumpulan Data A. Metode Transek Garis (Line Transect) Pada metode transek garis (line transect) pengamatan dilakukan pada unit contoh yang tidak ditentukan batas-batasnya. Desain pengamatan berbentuk garis transek lurus. Pada metode ini jarak diukur tegak lurus antara posisi satwa dengan garis transek. Adapun prinsip-prinsip yang harus dipenuhi adalah satwa yang berada pada jalur atau dekat jalur harus bisa terdeteksi, posisi satwa yang diukur adalah posisi satwa pada saat pertama kali terlihat oleh pengamat, jarak dan sudut pandang satwa terhadap jalur diukur, serta perjumpaan dengan satwa mewakili kejadian yang bebas satu dengan lainnya. Adapun panjang transek adalah 75 meter.

Ho

Hi

Untuk menentukan keanekaragaman jenis mamalia, maka digunakan klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners seperti Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Kalsifikasi Nilai Indeks Keanekaragaman ShanonWieners

Ket. : Ho = Titik awal pengamatan Hi = Titik akhir pengamatan = Satwa = Jarak antar pengamat dengan satwa = Sudut = Jarak tegak lurus antara satwa dengan jalur pengamatan Gambar 1. Desain Line Transect B. Metode Titik (Point Transect) Pada metode titik (point transect) pengamatan dilakukan dengan pengamat yang berada pada titik atau tempat. Desain wilayah sampling berbentuk lingkaran, dimana jarak diukur pada zona-zona lingkaran sampai dengan satwa tidak dapat terlihat atau teramati lagi. Asumsi dalam penggunaan metode inni adalah tidak terdapat satwa yang masuk pada saat pengamatan. Dalam pengamatan ini, metode titik digunakan untuk melakukan pendugaan populasi burung. Hal ini karena metode tersebut efektif untuk diterapkan. Adapun jumlah plot lingkaran pengamatan berjumlah 5 plot dengan diameter masing-masing 15 meter. Sehingga total panjang pengamatan adalah 75 meter. C. Metode VES (Visual Encounter Survey) Metode Visual Encounter Survey (VES) yaitu metode berupa pengambilan jenis satwa berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur baik di daerah terestrial maupun akuatik (Heyer et al, 1994). D. Metode CMR (Capture-Mark-Recapture) Metode Capture Mark Recapture (CMR) merupakan salah satu metode inventarisasi satwaliar yang digunakan untuk memperkirakan berbagai parameter populasi antara lain kepadatan populasi, laju kematian, kelahiran, emigrasi dan imigrasi (Poole 1974 ; Krebs 1978). Analisis Data A. Indeks Keanekaragaman Jenis (H) Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman ShannonWiener dengan rumus :
n

Nilai indeks ShanonWiener >3 13 <1

Kategori Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi dan kestabilan komunitas tinggi Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah dan kestabilan komunitas rendah

B. Indeks Kekayaan Jenis (Dmg) Indeks Kekayaan Jenis pada suatu habitat dapat diketahui dengan menggunakan Indeks Kekayaan Margalef (1958), sebagai berikut: Dmg = S1 Ln (NO)

Keterangan: Dmg = indeks kekayaan jenis (indices of species richness) S = jumlah total jenis dalam suatu habitat (species per habitat) NO = jumlah individu pada suatu habitat (individu per habitat) Klasifikasi disamakan dengan Indeks Keanekaragaman Jenis Shanon-Wieners. C. Indeks Kemerataan Jenis (E) Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian digunakan indeks sebagai berikut. E = H' Ln S Keterangan : E : Indeks kemerataan jenis H : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S : Jumlah jenis yang ditemukan Menurut Santosa (1995) apabila E mendekati 1 (satu) maka dikatakan merata, sedangakan jika E mendekati 0 (nol) maka dikatakan tidak merata. D. Kepadatan Populasi Pendugaan kepadatan populasi mamalia berdasarkan metode transek garis dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan Poole sebagai berikut (Krebs, 1978) : D = xi (2xi + 1) 2Lj.dj

H= -pi ln pi; dimana pi =


i=1

Keterangan : H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis

Dengan, dj = ri. Sin i nj Keterangan: D = Kepadatan Populasi xi = Jumlah Individu yang dijumpai pada kontak ke-i Lj = Panjang transek jalur pengamatan dj = Rarta-rata lebar kiri atau kanan jalur pengamatan ke-j nj = Jumlah kontak pada jalur ke-j

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan 3 jenis mamalia, 8 jenis burung, dan 6 jenis herpetofauna. Adapun daftar spesies yang ditemukan di Arboretum Bambu disajikan pada Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4.

Tabel 2. Jenis Mamalia yang Ditemukan di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. No 1 2 3 Nama Lokal Bajing Kelapa Tupai Kekes Monyet Ekor Panjang Nama Ilmiah Callosciurus notatus Tupaia javanica Macaca fascicularis Jumlah (ekor) 7 1 3

Tabel 3. Jenis Burung yang Ditemukan di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. No 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama Lokal Bondol Jawa Walet Linchi Wiwik Uncuing Wiwik Kelabu Burung X Betet Biasa Cekakak Sungai Burung Hitam kecil Nama Ilmiah Lonchura leucogastroides Collocalia linchii Cacomantis sepulcralis Cacomantis merulinus Psittacula Alexandri Todirhamphus chloris Jumlah (ekor) 8 9 4 2 5 5 3 5

Tabel 4. Jenis Herpetofauna yang Ditemukan di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. No 1 2 3 4 5 6 Nama Lokal Ular Tambang Katak Pohon Bergaris Kodok Buduk Kodok Buduk Sungai Kadal Kebun Kodok Puru Pohon Nama Ilmiah Dendrelapis pictus Polypedates leucomistex Bufo melanoctictus Bufo asper Mabouya multifasciata Limnonectes macrodon Jumlah (ekor) 1 1 1 1 1 2

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel, di Arboretum Bambu ini memiliki 3 jenis mamalia yaitu bajing kelapa (Callosciurus notatus), tupai kekes (Tupaia javanica), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Bajing kelapa keberadaannya paling melimpah di lokasi ini, hal ini bisa diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor seperti sinar matahari, refleksi cahaya, radiasi panas, temperatur dan pergerakan udara, dan tekanan uap air di udara dapat mempengaruhi aktivitas mamalia (Feldhamer, et al. 1999). Selain itu, kerapatan tajuk di Arboretum Bambu juga tinggi. Hal ini disukai oleh bajung kelapa (Callosciurus notatus) untuk melakukan aktivitas. Adapun jenis burung yang terdapat di lokasi ini berjumlah 8 jenis burung. Burung yang paling melimpah di lokasi ini adalah walet linchii (Collocalia linchii) dan betet biasa (Lonchura leucogastroides). Dibandingkan dengan mamalia dan herpetofauna, keragaman jenis burung lebih besar. Menurut Alikodra (1990) ketersediaan pakan akan mempengaruhi keberadaan satwaliar. Hal ini dimungkinkan bahwa ketersediaan

pakan bagi walet linchii (Collocalia linchii) dan betet biasa (Lonchura leucogastroides) cukup berlimpah. Sementara itu untuk herpetofauna, ditemukan 6 jenis yang salah satunya adalah kodok paru pohon (Limnonectes macrodon). Dari keenam jenis herpetofauna 5 diantaranaya adalah amfibi. Keberadaan amfibi di lokasi ini dikarenakan karena adanya aliran air. Amfibi memerlukan kelembaban yang cukup untuk melindungi kulitnya dari kekeringan (Iskandar 1998). Dengan adanya aliran air, kelembaban pun jadi tinggi sehingga kelimpahan amfibi disini cukup banyak. Selanjutnya setelah mengetahui jumlah populasi, maka dapat diketahui kepadatan populasinya. Selain kepadatan populasi indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan pun dihitung dengan menggunakan persamaan yang telah disajikan sebelumnya. Adapun kepadatan populasi, indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemeretaan mamalia, burung, dan herpetofauna di Arboretum Bambu secara berurutan disajikan pada Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7.

Tabel 5. Kepadatan Populasi, Indeks Kekayaan, Keanekaragaman, dan Kemeretaan Mamalia di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. No Nama Lokal Nama Ilmiah D (Ind/m2) Dmg H E 1 Bajing Kelapa Callosciurus notatus 2 Tupai Kekes Tupaia javanica 11 0,83 0,86 0,78 3 Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Tabel 6. Indeks Kekayaan, Keanekaragaman, dan Kemeretaan Burung di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. No 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama Lokal Bondol Jawa Walet Linchi Wiwik Uncuing Wiwik Kelabu Burung X Betet Biasa Cekakak Sungai Burung Hitam kecil Nama Ilmiah Lonchura leucogastroides Collocalia linchii Cacomantis sepulcralis Cacomantis merulinus Psittacula Alexandri Todirhamphus chloris Dmg H E

1,88

1,98

0,95

Tabel 7. Kepadatan Populasi, Indeks Kekayaan, Keanekaragaman, dan Kemeretaan Herpetofauna di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga. No 1 2 3 4 5 6 Nama Lokal Ular Tambang Katak Pohon Bergaris Kodok Buduk Kodok Buduk Sungai Kadal Kebun Kodok Puru Pohon Nama Ilmiah Dendrelapis pictus Polypedates leucomistex Bufo melanoctictus Bufo asper Mabouya multifasciata Limnonectes macrodon Dmg H E

2,57

1,75

0,97

Berdasarkan hasil perhitungan, kepadatan populasi mamalia di Arboretum Bambu sebesar 11 Ind/m2, sementara burung dan herpetofauna tidak dihitung kepadatan populasinya. Nilai kekayaan jenis merupakan suatu nilai yang menunjukan banyaknya keberadaan jenis mamalia dalam area pengamatan. Berdasarkan klasifikasi Margalef, kekayaan jenis mamalia di Arboretum Bambu rendah. Hal ini karena nilainya kurang dari 1 (satu). Sementara itu untuk burung dan herpetofauna, kekayaannya samasama sedang karena nilainya berda diantara 1-3. Kenaekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas (Soegianto 1994). Berdasarkan klasifikasi Shanon-Wiener, keanekaragaman jenis mamalia di lokasi tersebut rendah karena nilainya kurang dari 1. Sedangkan untuk burung dan herpetofauna, sedang karena nilaninya berada pada selang 1-3. Helvoort (1981) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keanekaragaman dengan keseimbangan jenis dalam satu komunitas. Apabila nilai keanekaragaman tinggi maka keseimbangan antar jenis juga tinggi, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Jadi, rendahya nilai keanekaragaman mamalia di Arboretum Bambu bukan berarti keseimbangan antar jenisnya rendah, bisa saja tinggi. Selain itu menurut Ludwig dan Reynold (1988) apabila ekosistem memiliki keanekaragaman yang tinggi berarti ekosistem tersebut akan berada pada kondisi stabil. Dalam hal ini, ekosistem Arboretum Bambu dapapat dikatakanbelum stabil. Terakhir yaitu niai indeks kemerataan jenis. Nilai indeks kemerataan merupakan ukuran

keseimbangan ke arah suatu komunitas satu dengan yang lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh jumlah jenis yang terdapat dalam suatu komunitas (Ludwig and Reynolds 1988). Nilai kemerataan dari ketiga kelas mamalia, burung, dan herpetofauna di Arboretum Bambu semuanya mendekati 1 (satu) sehingga dapat dikatakan merata. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada jenis yang terlalu mendominasi dalam komunitas karena sebaran individu masing-masing spesies cenderung merata yang berarti (Krebs 1978). Berdasarkan keempat metode yang digunakan, metode CMR lah yang kurang efektif. Hal ini dikarenakan tidak adanya satwa yang masuk kedalam trap. Ini merupakan kelemahan dari metode CMR. Penempatan trap yang salah dapat menjadi pemicunya. Selain itu, trap yang ditempatkan rawan dicuri oleh manusia, karena Arboretum Bambu sering dilalui oleh manusia untuk beraktivitas. Kelemahan metode line transect diantaranya perlunya ketelitian dalam menembak keberadaan satwa dengan menggunkan kompas. Sedangkan kelebihannya, kemungkinan double counting-nya sangat kecil, karena fokus pengamat hanya ke depan dan samping saja. Selain metode tersebut adapula metode point transect yang memiliki kekurangan yaitu kemungkinan double counting besar, dan kemungkinan pengamat stress lebih tinggi karena pengamat harus berdaiam di plot pengamatan selama 15 menit. Terakhir, yaitu metode VES. Kekurangannya yaitu satwa sulit ditemukan karena pengamatan dilakukan pada malam hari sehingga butuh kejelian pandangan pengamat. Selain itu, kemungkinan double counting pun besar karena dalam keadaan gelap satwa akan berpindah dan kemungkinan pengamat tidak dapat mengidentifikasi satwa yang telah terhitung sebelumnya.

KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan inventarisasi satwaliar di Arboretum Bambu Kampus IPB Darmaga didapatkan 3 jenis mamalia, 8 jenis burung, serta 6 jenis herpetofauna. Adapun kepadatan mamalia yaitu sebesar 11 Ind/m2, sedangkan burung dan herpetofauna tidak dihitung besarannya. Sementara itu untuk nilai kekayaan serta keanekaragaman jenis mamalia di Arboretum Bambu tergolong rendah, sedangkan untuk burung dan herpetofauna tergolong sedang. Sedangkan untuk kemerataan semuanya dikategorikan merata. Sehingga mengindikasikan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi jenis lainnya di Arboretum Bambu. Selanjutnya, untuk keemapt metode yang digunakan mempunya kelebihan dan kekurangan masing-masing seoerti yang telah disebutkan sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA

Margalef R. 1958. Information Theory in Ecology. General System 3: 56-71. Poole RW. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. Mc. Graw Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.

Santosa, Y. 1995. Pelatihan Teknik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soegianto. 1994. Ekologi Kuantitatif (Metode Analisis Populasi dan Komunitas). Usaha Nasional. Surabaya.
Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Bogor.

Alikodra, S. H. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Feldhamer GA, Drickamer LC, Vessey SH, Merritt JF. 1999. Adaptation, Diversity, and Ecology Mammalogy. The McGraw Hill. Boston. Helvoort VB. 1981. A study on bird population in the rural ecosystem of West Java, Indonesia a semi quantitative approach. Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningen. The Nederland. Hernowo Jarwadi Budi, Rinekso Soekmadi, dan Ekarelawan. 1991. Kajian Pelestarian Satwaliar di Kampus IPB Darmaga. Media Konservasi. III (2): 43-65.
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, and Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smitsonian Institution Press. Washington. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali Seri Panduan Lapangan. Puslitbang LIPI. Bogor. Krebs CJ. 1978. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper & Row Publisher. New York. Hogerstow. San Fransisco. London. Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Wilwy and Sons. New York.

Anda mungkin juga menyukai