Anda di halaman 1dari 15

PERILAKU ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus) YANG

BERADA DI KALIMANTAN TENGAH

DISUSUN OLEH :

NAMA ANGGOTA KELOMPOK 5 :

DEA AYU PUTRI 4203220010

DEBI RAUSANA NASUTION 4193520002

KHAIRUL REZA ISMAIL SITEPU 4193520006

LIGUSTO TANTIO 4191220001

ROSMIDA VALENTINA SIMANULLANG 4203220014

SHERLY RAHMEIDA 4193220004

VINA ANDIRA SILAEN 4192520015

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang terkaya dengan keanekaragaman


spesies primata. Dari seluruh spesies primata di dunia, 20% diantaranya dapat
ditemukan di Indonesia, salah satu dari spesies primata tersebut adalah orangutan.
Orangutan merupakan satu-satunya spesies kera besar yang dapat ditemukan di Asia
(Supriatna & Wahyono, 2000).
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara
tiga kerabatnya, yaitu; gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika. Kurang dari
20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari
Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan Himalaya dan Cina
bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar itu hanya ditemukan di Sumatera
dan Borneo (Kalimantan), 90% berada di Indonesia. Penyebab utama mengapa
terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan orangutan menyukai
tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai
dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi,
dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi pihak orangutan (Alam, 2007)
Orangutan adalah hewan endemic di pulau Borneo, dan hidup dengan tidak
aman dikarenakan penebangan liar dan pembakaran hutan illegal, membuat populasi
Orangutan terus berkurang. Orangutan merupakan salah satu hewan endemik pulau
Kalimantan yang saat ini hidup dalam kondisi terancam. Orangutan Kalimantan
masuk dalam kategori terancam punah dan tersisa 57.000 individu. Bahkan dalam 20
tahun terakhir populasi Orangutan Kalimantan berkurang hingga 55% hal ini
diakibatkan karena adanya penebangan liar, pembukaan lahan kelapa sawit dan
perburuan liar (Qomari'ah, 2020). Orangutan kalimantan terdaftar dalam red list
book IUCN (International Union for Conservation of Nature), dengan status
terancam punah. Sementara itu CITES (Convention on International Trade of
Endangered Species of Fauna and Flora/Konservasi tentang Perdagangan
International Satwa dan Tumbuhan) telah mengkategorikan orangutan kalimantan
dalam kelompok Appendix I di Indonesia sejak tahun 1990 yaitu daftar tentang
perlindungan seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala
bentuk perdagangan (Chairul, Yuwono, Susanto, Andayani, & Prasetyo D, 2007)
Melihat status Orangutan yang terancam punah ini, banyak pihak baik
pemerintah maupun bukan pemerintah, berlomba-lomba untuk melakukan konservasi
dan rehabilitasi untuk Orangutan dengan harapan spesies dapat bertahan dan tidak
punah. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk hal tersebut. Penelitian kali ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan Orangutan yang telah
dikonservasi maupun direhabilitasi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana habitat Orangutan yang berada di Kalimantan Tengah?
2. Bagaimana ekologi tempat tinggal Orangutan di Kalimantan Tengah?
3. Bagaimana perilaku Orangutan di kawasan konservasi di Kalimantan Tengah?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui habitat Orangutan yang berada di Kalimantan Tengah.
2. Untuk mengetahui ekologi tempat tinggal Orangutan di Kalimantan Tengah.
3. Untuk mengetahui perilaku Orangutan di kawasan konservasi di Kalimantan
Tengah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Habituasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus).


Orangutan merupakan kera besar yang hidup di Indonesia dan Malaysia. Orangutan
memiliki tiga kerabat lainnya, yaitu gorilla, simpanse, dan bonobo yang hidup di Afrika.
Orangutan di Indonesia hanya ditemukan di pulau Sumatera dan Kalimantan. Orangutan
dibedakan menjadi dua jenis yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan
(Pongo pygmaeus). Orangutan sumatera (Pongo abelii) merupakan hewan arboreal yang seluruh
hidupnya berada di kanopi pohon-pohon yang menjulang tinggi. Keadaan lingkungan yang
terpenting bagi orangutan adalah kehadiran spesies tumbuhan tingkat tinggi yang digunakan
sebagai tempat bergerak sebagai habitat arborealnya.(S, Jantho.et al., 2015)
Menurut (Samad et al., 2019) Pemilihan habitat yang disukai merupakan suatu tindakan
yang dilakukan satwa liar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan
bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya. Habitat yang disukai harus dapat
menyediakan semua kebutuhan hidup bagi orangutan yang terdiri atas makanan, air, tempat
berlindung, dan berkembang biak. Untuk menjamin kelestarian populasi orangutan, maka habitat
yang disukai harus memiliki kualitas yang baik dan luasan yang mencukupi.
2.1.1 Aktivitas Harian dan Habituasi Orangutan
Makan Bergera Istiraha Bersaran
k t g
1. Jantan remaja 50,10% 18,10% 31,19% 0,61%
2. Betina remaja 46,21% 10,40% 42,72% 0,67%
3. Jantan pradewasa 30,92% 20,92% 46,72% 1,44%
4. Betina dewasa 45,46% 10,41% 43,59% 0,54%
Aktivitas harian dan habituasi orangutan terdiri dari makan, bergerak pindah, beristirahat,
dan membuat sarang. Ada beberapa hal yang mempengaruhi aktivitas harian orangutan,
diantaranya adalah keberadaan sumber makanan, ukuran tubuh, masa kehamilan dan menyusui
pada betina yang punya anak masih kecil dan tingkat dominansi.
Aktivitas makan merupakan aktivitas dengan persentase tertinggi yang dilakukan
orangutan liar. Jenis aktivitas ini dilakukan sebanyak 53,18% dari total aktivitas harian .
Aktivitas dengan persentase tinggi lainnya, adalah istirahat (17,27%) dan lokomosi (14,79%).
Aktivitas istirahat paling banyak terjadi pada pukul 10.30 hingga pukul 13.30 WIB (Zuhra et al.,
2009). Orangutan yang hidup di Stasiun Reintroduksi merupakan orangutan yang pernah
dipelihara dan telah banyak berinteraksi dengan manusia, sehingga diduga orangutan tersebut
mengalami perubahan perilaku dan perubahan aktivitas hariannya bila dibandingkan dengan
orangutan liar lainnya. Perilaku yang berbeda tersebut dapat mempengaruhi kemampuan
orangutan untuk bertahan hidup (survive) di habitat alaminya.(Samad et al., 2019)
2.1.2 Sarang Orangutan
Bersarang meliputi kegiatan pematahan, pelekukkan cabang-cabang dan/atau ranting
tumbuhan untuk membuat sarang tidur, istirahat, dan sarang bermain, serta pembuatan struktur
alas berbentuk seperti lingkaran atau mangkuk untuk tempat makan atau menopang tubuh dan
bagian atas untuk melindungi kepala dari air hujan (Galdikas 1978). Kepadatan sarang pada
ketiga tipe ekosistem berbeda antara satu dengan lainnya. Kepadatan sarang di hutan hutan
kerangas 11,5 sarang/km, hutan dipterocarp dataran rendah 21,13 sarang/km, serta hutan rawa
gambut 12,5 sarang/km.
Pada hutan dipterocarp dataran rendah ditemukan pula sarang pada ketinggian 0,53 m,
sarang ini dibuat pada pohon yang telah rebah. Sarang dengan ketinggian yang rendah ini
kemungkinan merupakan sarang individu orangutan berumur tua, selain itu pun rendahnya
ketinggian sarang dimungkinkan karena tidak adanya predator seperti harimau sumatera yang
merupakan salah satu predator pada populasi orangutan di Sumatera. Rata-rata tinggi sarang
pada hutan dipterocarp dataran rendah dan rawa gambut wilayah sarang untuk orangutan
kalimantan umumnya 13- 15 m, namun pada dasarnya hal tersebut tergantung pada struktur
hutan itu sendiri.
Umumnya sarang yang ditemukan sudah tidak baru lagi, ada beberapa sarang baru yang
masih memperlihatkan daun-daun yang masih berwarna hijau, namun ada pula sarang yang
pondasi dan daunnya sudah lama, berwarna cokelat kering dan bercampur dengan daun-daun
yang masih berwarna hijau di atasnya. Orangutan membangun sarang tidur baru setiap hari,
disamping sarang lainnya untuk dipergunakan sebagai sarang istirahat atau bermain khusus pada
orangutan remaja dan anak. Namun kadang ditemukan juga orangutan menggunakan sarang
lamannya dengan cara merekonstruksi bagian dalam sarang dengan mengambil ranting dari
pohon sarang atau bahkan diambil dari jarak 15-30 m dari pohon lain.(Leakey et al., 2020).

2.2 Pola Mencari Makan Orang Utan


Orangutan adalah satwa liar diurnal (aktif siang hari) yang hidup dan mencari makan pada
tajuk pohon (arboreal). Orangutan umumnya mencari makan pada pohon yang terdapat di daerah
lintasan atau wilayah jelajahnya. Orangutan mencari makan sendiri dan tidak pernah terlihat
membentuk kelompok kecil atau sub kelompok (Prayogo dkk, 2022).
Aktifitas makan adalah waktu yang digunakan orangutan untuk menggapai, mencicipi,
mengekstraksi, memegang-megang, mengunyah dan menelan makanan dari sumber makanan
(Sihotang dkk, 2019). Orangutan merupakan satwa pencari makanan yang oportunis yaitu
memakan apa saja yang dapat diperolehnya dan pada saat musim buah orangutan dapat memilih
makanan yang paling disukainya (Haddad dkk, 2017).
Aktivitas Orangutan saat mengambil makanan lebih sering menggunakan satu tangan
dibandingkan menggunakan kedua tangannya. Secara umum, terdapat beberapa teknik
mengambil dan makan Orangutan, yaitu bergelantung dengan tangan kanan, sedangkan tangan
kiri mengambil dan memasukkan makanannya, bergelantung dengan bantuan kedua kaki yang
bertumpu pada satu cabang atau ranting yang tegak lurus, dan duduk pada cabang atau ranting
dengan kedua tangan mengambil makanan. Orangutan juga memakan serangga seperti semut,
rayap dan madu pada musim kemarau saat persediaan buah-buahan menipis, orangutan memakan
dedaunan, tunas, kulit kayu dan vegetasi lainya untuk menyeimbangkan makanannya (Prayogo
dkk, 2022).
Aktivitas makan terbanyak terdapat pada anak orangutan, karena anak orangutan aktif
dalam bermain dan mencari makanan di sekitar sarang orangutan (Sihotang dkk, 2019). Salah
satu faktor yang mempengaruhi aktivitas mencari makan orangutan adalah umur. Orangutan
yang masih kecil cendrung lebih aktif dibandingkan dengan orangutan yang sudah dewasa dalam
mencari makan (Prayogo dkk, 2022).

2.3 Pola Mencari Pasangan OrangUtan


Orang utan merupakan satwa semi soliter yang lebih banyak hidup sendiri, tetapi saat
bereproduksi orang utan jantan dan betina akan melakukan cuttership atau menjelajah bersama
selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Dalam bereproduksi orang utan memiliki tiga
karakter:
1. Adanya seksual dimorfisme ukuran tubuh yang ekstrem
2. Pemaksaan kawin oleh jantan
3. Bimaturisme pada jantan. Bimaturisme adalah ciri yang menunjukkan perbedaan jenis
kelamin, dapat berupa ukuran, warna dan bentuk.
Orang utan jantan berukuran lebih besar daripada orang utan betina. Perilaku unik yang
dilakukan orang utan jantan yaitu pemaksaan kawin. Saat kawin walaupun orang utan betina
menolak, orang utan jantan yang memiliki tenaga lebih kuat akan tetap memaksa. Orang utan
jantan akan mencengkaram tangan dan kaki si betina. Orang utan jantan juga akan melakukan
perilaku memukul, mendorong, menggigit dan mengeluarkan suatu kiss-squeak. Bimaturisme
pada orang utan jantan terlihat dari dua variasi tubuh, yaitu jantan dengan bantalan pipi (flanged
male) dan jantan tanpa bantalan pipi (unflanged male).

Gambar 1. Orang utan jantan dengan bantalan pipi (flanged male)


Gambar 2. Orang utan jantan tanpa bantalan pipi (unflanged male)
Sistem kawin orang utan adalah promisekuitas, baik jantan dan betina akan berganti
pasangan setiap bereproduksi. Promisekuitas adalah kawin dengan banyak atau lebih dari satu
pasangan yang telah dikenal ataupun baru dikenal.
Strategi reproduksi individu orang utan jantan yang memiliki bantalan pipi dan orang utan
yang tidak memiliki bantalan pipi berbeda. Strategi orang utan yang memiliki bantalan pipi
(flanged male) dilakukan dengan menjelajah sambil melakukan local (mengeluarkan suara khas
saat musim kawin) untuk menarik perhatian betina. Setelah orang utan jantan melakukan lokal,
bagi betina yang tertarik akan bergerak mendatangi orang utan jantan tersebut. Sedangkan pada
orang utan yang tidak memiliki bantalan pipi (unflanged male) akan menjelajah sejauh-jauhnya
untuk menemukan orang utan betina. Orang utan yang tidak memiliki bantalan pipi tidak bias
melakukan lokal karena mereka tidak memiliki kantung suara, maka dari itu orang utan yang
tidak memiliki bantalan pipi membutuhkan upaya yang lebih besar dan waktu yang lebih lama
untuk bisa menemukan pasangan. Selain untuk menarik perhatian si betina, orang utan jantan
melakukan lokal (seruan panjang) agar diketahui keberadaannya oleh orang utan yang lain yang
berada di kawasan tersebut (Ulfi,2021).

2.4 Pola Mempertahankan Wilayah oleh OrangUtan


Oranguatan dominan umumnya mampu mempertahankan wilayah karena wilayah yang
di temapti oleh orang utan biasanya merupakan tempat mencari makan. Orangutan diketahui
memiliki jelajah harian paling pendek dan daerah jelajah paling kecil jika dibandingkan
dengan 2 sub spesies orangutan Kalimantan lainnya. Kemarau panjang yang menyebabkan
terjadinya dua kali kebakaran hebat pada tahun 1982-1983 dan 1997-1998 yang
mengakibatkan gangguan pada orangutan dan kerusakan hutan di Kalimantan, termasuk di
beberapa areal penelitian di TN Kutai saat itu. Ruang habitat orangutan di kalimantan pun
semakin terbatas akibat aktivitas manusia. Sehingga untuk mengetahui seberapa luas
kebutuhan orangutan terhadap habitatnya dibutuhkan penelitian tentang pola jelajah untuk
meningkatkan pemahaman yang lebih baik dalam mendukung konservasi dan perlindungan
orangutan yang efektif.
Area jelajah satwa (home range) orang utan dikalimantan merupakan daerah yang
digunakan satwa untuk wilayah pergerakan satwa secara normal. Area jelajah tersebut paling
sedikit dikunjungi setahun sekali. Area jelajah dimanfaatkan oleh satwa sebagai tempat
penyebaran dan persediaan pakannya. Salah satu satwa yang memiliki area jelajah yang luas
adalah orangutan selain area jelajah yang luas orangutan juga memiliki daerah teritori yang
berbeda antara individu jantan dengan individu betina. Area jelajah orangutan jantan dewasa
lebih besar dibandingkan dengan area jelajah betina dewasa (Sofyan dkk, 2013). Menurut
Van Schaik (2002) penyebaran area jelajah betina dewasa orangutan Sumatera berkisar 150-
200 ha, sedangkan jantan dewasa memiliki area jelajah yang lebih besar dari betina dewasa.
Menurut Arismayanti (2014) di dalam area jelajah satwa juga terdapat area inti yang
merupakan daerah dimana satwa banyak menghabiskan waktu pada area ini, hal ini
dikarenakan area yg menjadi daerah inti sangat banyak terdapat sumber makanan.
Daerah jelajah orangutan umunya terdiri dari beberapa tipe habitat, yaitu habitat
berkualitas tinggi yang merupakan habitat penghasil buahnya sebagai makanan pokok bagi
orangutan yang tersedia sepanjang tahun dan habitat berkualitas rendah yang merupakan
habitat peghasil buahnya tersedia untuk waktu sementara dan hanya dapat digunakan oleh
satu komonitas kecil orangutan (Susanto, 2012). Menurut rijksen dan meijaard (1999) pola
jelajah orangutan secara umum terbagi menjadi tiga tipe antara lain:
1. Penetap: yaitu orangutan yang mendiami suatu daerah selama beberapa tahun.
Biasanya dilakukan oleh orangutan betina dewasa yang telah memiliki anak.
2. Penglaju: yaitu orangutan yang hidupnya berpindah-pindah dalam beberapa
minggu atau beberapa bulan yang keberadaan tidak tetap pada satu daerah
tertentu. Biasanya dilakukan oleh orangutan jantan dan betina remaja yang masih
dalam tahap pertumbuhan.
3. Pengembara: yaitu orangutan yang tidak pernah dan jarang sekali kembali
ketempat semula, biasanya mereka akan kembali dalam kurun waktu tiga tahun
sekali. Biasanya dilakukan oleh orangutan jantan berpipi yang menetap di satu
wilayah tertentu pada saat produksi buah dan kehadiran betina reproduktif,
kemudian orangutan jantan berpipi akan mengembara kembali mencari wilayah
lain.

2.5. Pola Ekologi : Perilaku Ekologis Orangutan


Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga
kerabatnya, yaitu; gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika. Kurang dari 20.000 tahun yang
lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai
ujung utara Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar
itu hanya ditemukan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan), 90% berada di Indonesia (Gambar
1). Penyebab utama mengapa terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan
orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran
sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi, dan
budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi pihak orangutan.
Gambar 1. Distribusi Orangutan di Dunia
Para ahli primata saat ini sepakat untuk menggolongkan orangutan yang hidup di
Sumatera sebagai Pongo abelii (Gambar 2) yang berbeda dari Pongo pygmaeus (Gambar 3) yang
menempati hutan-hutan dataran rendah di Borneo. Dibandingkan dengan kerabatnya di Borneo,
orangutan sumatera menempati daerah sebaran yang lebih sempit. Orangutan di Sumatera hanya
menempati bagian utara pulau itu, mulai dari Timang Gajah, Aceh Tengah sampai Sitinjak di
Tapanuli Selatan. Sementara itu, di Borneo orangutan dapat ditemukan di Sabah, Sarawak, dan
hampir seluruh hutan dataran rendah Kalimantan, kecuali Kalimantan Selatan dan Brunei
Darussalam. Orangutan di Borneo dikelompokkan ke dalam tiga anak jenis, yaitu Pongo
pygmaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Sungai Kapuas sampai ke timur laut Sarawak;
Pongo pygmaeus wurmbii yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga bagian barat
Sungai Barito; dan Pongo pygmaeus morio, yang tersebar mulai dari Sabah sampai ke selatan
mencapai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur.
Orangutan dapat dijadikan ‘umbrella species’ (spesies payung) untuk meningkatkan
kesadaran konservasi masyarakat. Kelestarian orangutan menjamin kelestarian hutan yang
menjadi habitatnya, sehingga diharapkan kelestarian makhluk hidup lain ikut terjaga pula.
Sebagai pemakan buah, orangutan merupakan agen penyebar biji yang efektif untuk menjamin
regenerasi hutan. Orangutan juga sangat menarik dari sisi ilmu pengetahuan karena kemiripan
karakter biologi satwa itu dengan manusia. Sebagai satu-satunya kera besar yang hidup di Asia,
orangutan memiliki potensi menjadi ikon pariwisata untuk Indonesia. Orangutan menyukai hutan
hujan tropis dataran rendah sebagai tempat hidupnya, sehingga perlindungan ekosistem tersebut
sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup satwa itu. Meskipun Pemerintah telah
membangun sistem kawasan konservasi seluas 6,5 juta hektar di Sumatera bagian utara dan
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, upaya pengelolaan kawasan hutan
yang menjadi habitat orangutan di luar taman nasional dan cagar alam tidak kalah pentingnya.
Pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk industri kayu maupun pertanian, yang tidak
memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan terbukti berdampak sangat buruk bagi keberadaan
orangutan. Konflik yang terjadi antara orangutan dan manusia di luar kawasan konservasi
bahkan tidak jarang merugikan pihak pengusaha dan masyarakat.
Gambar 2. Orangutan Sumatera

Gambar 3. Orangutan Kalimantan


Penyusutan dan kerusakan kawasan hutan dataran rendah yang terjadi di Sumatera dan
Kalimantan selama sepuluh tahun terakhir telah mencapai titik kritis yang dapat membawa
bencana ekologis skala besar bagi masyarakat. Bagi orangutan, kerusakan kawasan hutan telah
menurunkan jumlah habitat orangutan sebesar 1- 1,5% per tahunnya di Sumatera. Jumlah
kehilangan habitat di Kalimantan yaitu 1,5-2% per tahunnya, lebih tinggi jika dibandingkan
dengan Sumatera. Kerusakan hutan dan habitat orangutan di Kalimantan menyebabkan distribusi
orangutan menjadi terfragmentasi di kantong kantong habitat (Revisi PHVA 2004). Nasib
orangutan juga diperburuk dengan ancaman perburuan untuk dijadikan satwa peliharaan, bahkan
sebagai sumber makanan bagi sebagian masyarakat. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan
tersebut telah menempatkan orangutan sumatera ke dalam kategori kritis/sangat terancam punah
(critically endangered) di dalam daftar merah IUCN (2007), sebuah badan dunia yang memantau
tingkat keterancaman jenis secara global. Meskipun orangutan di Kalimantan ditempatkan pada
posisi terancam punah/endangered, tidak berarti masa depan primata itu lebih cerah
dibandingkan kerabatnya di Sumatera. Hanya tindakan segera dan nyata dari semua pemangku
kepentingan untuk melindungi orangutan di kedua pulau tersebut yang dapat menyelamatkan
satu-satunya kera besar Asia dari ancaman kepunahan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Habitat Orang Utan terletak di Hutan Hujan Tropis yang terletak di Kalimantan dan
Sumatra. Lebih tepatnya terletak di kanopi kanopi pohon hutan hujan yang menjulang
tinggi.
2. Pola ekologi (persebaran orang utan) dulunya tersebar di seluruh asia tenggara dan
sekarang hanya tersebar di seluruh daratan Sumatra dan Daratan Borneo (Kalimantan).
3. Perilaku Orang Utan terbagi Atas 3 yaitu Perilaku mencari makan, Mencari pasangan dan
mempertahankan Wilayah. Orang utan mencari makan dengan bergelantung dari satu
pohon ke pohon lainnya. Ia menggunakan lengannya tangan kanan untuk bergelantung
dan lengan kiri untuk menggapai makanan dan memasukkannya kedalam mulutnya.
Orang utan mempertahankan wilayah berdasarkan ketersediaan sumber makanan. Orang
utan terbagi menjadi orang utan penetap, penglaju dan pengembara. Pada perilaku
mencari pasangan pada betina orang utan jantan yang memiliki bantalan pipi akan
menjelajah dan akan melakukan lokal untuk menarik perhatian sibetina. Sedangkan pada
orang utan jantan yang tidak memiliki bantalan pipi akan menjelajah sejauh-jauhnya
untuk mencari pasangan, dikarenakan orang utan jantan yang tidak memiliki bantalan
pipi tidak bisa melakukan lokal diakibatkan tidak memiliki kantong suara.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, D. J. (2007). Strategi dan Rencana aksi Konservasi Orangutan Ondonesia 2007-2017.

Agnes F, dkk. 2014. Pola Jelajah Orangutan (Pongo pygmaeus morio) Di Stasiun Penelitian
Mentoko Dan Prefab Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Media
Konservasi.Vol.19 (1):41-46

Chairul, S., Yuwono, E. H., Susanto, P., Andayani, N., & Prasetyo D, U. S. (2007). Petunjuk
Teknis Penangan Konfil Manusia-Orangutan di dalan dan Sekitar Perkebunan Kelapa
Sawit. WWF Indonesia .

Haddad, Abdullah A. Hari Prayogo, M. S. A. (2017). Perilaku Makan Dan Jenis Pakan
Orangutan (Pongo Pygmaeus) Di Yayasan International Animal Rescue Indonesia (Yiari)
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari, 5(2), 300–306.

IUCN (World Conservation Union) 2007 IUCN Red List of Threatened Species (IUCN, Gland,
Switzerland, 2007).
Leakey, C. et.al. (2020). Karakteristik Habitat dan Preferensi Pohon Sarang Orangutan ( Pongo
pygmaeus wurmbii ) di Taman Nasional Tanjung Puting ( Studi Kasus Camp Leakey ).
Jurnal Primatologi Indonesia : 7(2), 37–50.

Nissa M. 2020. Pola jelajah orang utan symatera (Pongo abelli) di stasiun penelitian soraya
kawasan ekosistem leuser kecamatan sultan daulat kota subussalam. Skripsi

Prayogo, H., Wulandari, R. S., & Andrianto, P. (2022). Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Pakan Orangutan Pada Kawasan Pelepasliaran Taman Nasional Betung Kerihun. Jurnal
Hutan Lestari, 10 (1), 186–194.

Qomari'ah, A. N. (2020). The Effort of, NGO, BOS in (Borneo Orangutan Survival) Foundation
in Saving Orangutans in Central Kalimntan (2016-2019). Islamic World and Politics.
Vol.4 (1) , 99-116.
Samad, A., & Fithria, A.(2019). ANALISIS VEGETASI PADA HABITAT ORANGUTAN DI
HUTAN KALIMANTAN SELATAN Analysis of Vegetation Habitat of Orangutans
InHaur Gading Forest Hulu Sungai Utara DistrictSouth Kalimantan. Jurnal Sylva Scienteae.
02(6), 968–976.

Sihotang, R. A., & Putri, K. A. (2019). Aktivitas Harian Dan Pola Distribusi Sarang Orangutan
(Pongo abelii) Di Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera (SPOS) Bukit Lawang. Jurnal
Biologica Samudra, 01(2), 34–42.

S., Jantho, O., et.al. (2015). AKTIVITAS HARIAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)
REINTRODUKSI DI STASIUN REINTRODUKSI ORANGUTAN JANTHO,
KABUPATEN ACEH BESAR. Jurnal Nasional Biotik : 90–95. 78-602-18962-5-9
Supriatna, J., & Wahyono, E. H. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Ulfi, Diwana.8 Juni 2021. Perilaku Kawin Orangutan. Diakses pada 28 Oktober 2022, dari
https://www.youtube.com/watch?v=TZ5BvgbgddQ

Anda mungkin juga menyukai