Anda di halaman 1dari 11

PERILAKU DAN PENANGKARAN SATWA

“Perilaku Orangutan Kalimantan (Pongo pymaeus)”

Disusun Oleh :

Meisye Wulandari
41205425117063

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman


spesies primata, dimana 20% spesies primata dunia dapat ditemukan di negara
kepulauan ini. Salah satu dari spesies primata tersebut adalah orangutan, satu-
satunya kera besar yang ada di Benua Asia, di Indonesia hanya terdapat di
sebagian kecil kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Maple 1980; Morales
et al. 1999; Napier and Napier 1985). Di Indonesia orangutan dilindungi oleh
Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 233 tahun 1931, Undang-undang No.5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
serta Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa.

Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) merupakan primata yang masuk


dalam Appendik I Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Flora and Fauna (CITES) dan tergolong dalam status endangered species
(IUCN 2013). Penentuan status tersebut didasarkan pada populasi orangutan
kalimantan di alam yang semakin menurun. Penurunan populasi orangutan
disebabkan oleh kebakaran hutan, perburuan illegal, pembalakan, fragmentasi
habitat, dan pembukaan lahan misalnya untuk pemukiman dan perkebunan
(Soehartono et al. 2007). Kondisi ini menyebabkan orangutan berada diambang
kepunahan, serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi.

Keterancaman populasi orangutan kalimantan di alam memerlukan upaya


konservasi insitu maupun eksitu agar keberadaan orangutan kalimantan tetap
lestari. Konservasi yang dilakukan dapat berupa konservasi in-situ maupun ex-
situ. Konservasi in-situ adalah perlindungan populasi di habitat alami, sedangkan,
ex-situ berlangsung di luar habitat alamnya. Oleh karena itu, perlu adanya kajian
khusus mengenai perilaku orangutan demi berlangsungnya pelestarian orangutan
secara maksimal.
B. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk
pola perilaku Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus).
BAB II

BIOLOGI SATWA

A. Taksonomi

Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Homonidae
(Groves, 2001), dengan klasifikasi sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Orangutan Kalimantan
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrae
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Family : Pongidae
Subfamily : Pongoninae
Genus : Pongo
Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/
Species :
Borneo)

Meijard et al. (2001) menjelaskan bahwa orangutan adalah salah satu anggota
famili Pongidae yang mencakup tiga kera besar lainnya, yaitu ; bonobo Afrika
(Pan paniscus), simpanse (Pan troglodytes) dan gorila (Pan gorila). Berdasarkan
persamaan genetis dan biokimia, Pongidae tersebut berkembang dari leluhur yang
sama selama periode waktu kurang dari sepuluh juta tahun. Ada dua jenis
orangutan yang masih hidup, yaitu anak jenis dari Sumatera dan dari Kalimantan.

Orangutan Kalimantan terbagi lagi menjadi tiga sub spesies yaitu Pongo
pygmaeus pygmaeus (bagian Utara dan Barat Pulau Kalimantan), Pongo
pygmaeus wurmbii (bagian Tengah Pulau Kalimantan), dan Pongo pygmaeus
morio (bagian Utara dan Timur Pulau Kalimantan).

B. Morfologi

Secara morfologi, orangutan Sumatra dan orangutan Kalimantan sangat


serupa, kecuali sedikit terdapat perbedaan yang dapat dilihat dari warna bulunya.
Orangutan Kalimantan setelah dewasa berwarna cokelat kemerah-merahan atau
lebih gelap, sedangkan orangutan Sumatra berwarna lebih merah dan cerah, serta
kadang-kadang terdapat warna putih pada bagian muka. Perbedaan morfologis
orangutan dapat lebih dikenali dari perawakannya, khususnya struktur rambut.
Pongo pygmaeus memiliki rambut pipih dengan kolom pigmen hitam yang tebal
di tengah. Orangutan Kalimantan jantan dewasa memiliki cheek pad yang lebar,
kantung suara yang besar, dan wajah berbentuk segi empat (Sudirman & Shapiro,
2007).

Orangutan Kalimantan jantan lebih besar, yakni bobot bisa mencapai 50


hingga 90 kg dan tinggi badan 1,25 hingga 1,5 m. Sementara betina dewasa
orangutan lebih kecil memiliki berat 30 – 50 kg dan tinggi 1 m. Bagian tubuh
seperti lengan yang panjang tidak hanya berfungsi untuk meraih makanan seperti
buah-buahan, tetapi juga untuk berayun dari satu pohon ke pohon lainnya,
menggunakan jangkauan dan kaki untuk pegangan yang kuat. Pelipis seperti
bantal yang dimiliki oleh orangutan Borneo jantan dewasa membuat wajah satwa
ini terlihat lebih besar. Akan tetapi, tidak semua orangutan Borneo jantan dewasa
memiliki pelipis seperti bantal. Jakun yang dimiliki dapat digelembungkan untuk
menghasilkan suara keras, yang digunakan untuk memanggil dan memberitahu
keberadaan mereka.

C. Sebaran Geografis dan Habitat

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, kera besar
lainnya yaitu gorilla, simpanse dan bonodo ditemukan di wilayah Afrika (Suhud
dan Saleh, 2007). Total populasinya 90% berada di wilayah Indonesia, yaitu
hanya dapat ditemukan di Borneo (Kalimantan) dan di bagian utara Sumatera.
Padahal menurut catatan fosil para ahli, Orangutan hingga akhir Pleistone dapat
ditemukan di sebagian besar hutan dataran rendah di Asia Tenggara, dari kaki
perbukitan Wuliang Shan di Yunan, Cina Selatan, sampai ke selatan Pulau Jawa,
dengan luas sebaran total yakni 1,5 juta km² (Rijksen dan Meijard, 1999).

Menurut Atmoko (2007), Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan


Orangutan Sumatera (Pongo abelii) terpisah secara geografis paling sedikit sejak
10.000 tahun yang lalu, saat tejadi kenaikan permukaan air laut antar kedua pulau
itu. Orangutan Borneo lebih banyak ditemukan di hutan dataran rendah (di bawah
500 m diatas permukaan laut) dibandingkan di dataran tinggi. Hutan dan lahan
gambut merupakan pusat dari daerah jelajah orangutan, karena lebih banyak
menghasilkan tanaman berbuah besar dibandingkan dengan hutan
Dipterocarpaceae yang kering dan banyak mempunyai pohon-pohon tinggi
berkayu besar, seperti keruing. Orangutan borneo sangat rentan dengan gangguan-
gangguan di habitatnya, meskipun P.p. morio menunjukkan toleransi yang relatif
tak terduga mengenai degradasi habitat di bagian utara Pulau Borneo.

Habitat orangutan cukup menyebar, mulai dari hutan dataran rendah sampai
pada hutan pegunungan. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit
mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang
berdekatan. Tepi sungai dapat berupa dataran banjir, rawa, atau lembah aluvial;
sedangkan dataran tinggi kering biasanya adalah kaki bukit. Habitat orangutan
secara umum banyak ditemukan di daerah dataran rendah pada ketinggian 200–
400 m dpl (Meijaard et al., 2001).
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Orangutan adalah hewan arboreal terbesar, yaitu makhluk yang


menghabiskan sebagian besar waktunya di pepohonan dan menghabiskan seluruh
kehidupan mereka di pepohonan. Namun orangutan, terutama jantan,
menghabiskan waktu mencari makan atau bepergian di lapangan. Orangutan
membuat sarang, tinggi di pohon setiap malam dengan melekukkan dahan pohon,
kemudian menambahkan ranting-ranting. Terkadang mereka juga menambahkan
bantal dari ranting dan atau atap dari ranting, sebagai payung jika hujan untuk
melindungi dirinya dari air hujan. Umumnya orangutan liar betina dan
mempunyai anak, sarangnya lebih besar dan pada kanopi yang tinggi. Sedangkan
orangutan jantan dewasa yang mempunyai badan besar, sarangnya jarang pada
puncak kanopi.

Menurut Kuncoro, dkk yang meneliti perilaku Orangutan di Hutan Lindung


Pegunungan Meratus, Orangutan rata-rata aktif mulai pukul 06.25 dan mulai tidur
pada pukul 18.21. Orangutan menggunakan 84%-92% perilaku hariannya untuk
melakukan perilaku pergerakan, perilaku istirahat dan perilaku makan. Perilaku
makan yang tinggi sepanjang hari, dan agak menurun pada siang hari karena
meningkatnya perilaku istirahat. Orangutan jantan melakukan lebih banyak
perilaku pergerakan, perilaku istirahat dan perilaku makan daripada Orangutan
betina. Sedangkan Orangutan betina lebih banyak melakukan perilaku sosial
daripada Orangutan jantan. Kemungkinan hal ini terjadi karena Orangutan jantan
perilaku makannya lebih banyak, sehingga perlu perilaku pergerakan banyak dan
akibatnya perilaku sosialnya kurang.

Menurut Rijksen (1978) bahwa perilaku pergerakan pada Orangutan yang


berhubungan dengan perilaku makannya kemungkinan besar memang dipengaruhi

jenis kelamin. Sedangkan Rodman dan Mitani (1987) mengatakan bahwa ada
hubungan antara ukuran tubuh antara Orangutan jantan dengan Orangutan betina

terhadap perilaku pergerakan dan perilaku makannya.


Orangutan di pusat rehabilitasi lebih sering menggunakan permukaan tanah
sebagai tempat aktivitasnya. Menurut Rijksen (1978) Orangutan rehabilitan
menggunakan kanopi pohon apabila merasa takut. Fungsi lain
kehidupan arboreal pada Orangutan berhubungan dengan ketersediaan pakan
yang sesuai, saat musim buah. Orangutan banyak beraktivitas pada kanopi tengah
dan atas.

Orangutan pada dasarnya soliter, dan satu-satunya ikatan permanen yang


dimiliki adalah ikatan antara ibu dan bayinya. Para induk orangutan betina ini
biasanya hidup berkelompok, terkadang bertemu dua kali atau lebih selama
periode ketersediaan pakan yang tinggi sehingga memungkinkan mereka
mempertahankan ikatan tersebut; saat berkelompok, para bayi orangutan bermain
dan belajar bersama serta berbagi pelajaran tentang perilaku yang baru mereka
dapatkan. Orangutan jantan akan meninggalkan induknya untuk mencegah
perkawinan sedarah dan menjadi dewasa secara seksual di usia sekitar 15 tahun.
Orangutan tumbuh semakin besar antara usia 18 dan 20 tahun serta
mengembangkan karakteristik seksual sekunder mereka yang berupa bantalan pipi
dan kantung suara, yang digunakan untuk membuat long call ketika mereka ingin
menarik perhatian para betina dan memberi peringatan kepada orangutan jantan
lainnya. Orangutan jantan berkompetisi untuk menjadi dominan, meskipun
sebagian besar populasi bayi orangutan berasal dari jantan yang tidak dominan
berusia 15-20 tahun yang belum mencapai ukuran tubuh maksimal dan mampu
memaksa betina untuk berkopulasi.

Orangutan betina melahirkan satu bayi sekali setelah mengandung selama 8,5
bulan, dan tidak akan memiliki bayi lagi hingga bayi pertamanya mencapai usia 7
tahun. Ini adalah jarak antar kelahiran terpanjang dalam dunia hewan dan
memungkinkan induknya untuk memberikan perhatian penuh pada sang bayi
dengan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan
mandiri, termasuk membuat sarang, mengenali jenis pakan alami, dan
menghindari predator. Bayi orangutan ini juga tetap tinggal dengan induknya
untuk mendapatkan perlindungan dan mempelajari kehidupan di hutan, terutama
untuk mengetahui di mana semua sumber pakan penting ada, sampai saatnya ia
meninggalkan induknya.
Orangutan adalah makhluk yang sangat cerdas. Mereka dapat memanfaatkan
hal-hal di lingkungan sekitarnya untuk peralatan dan obat-obatan. Populasi
orangutan yang berbeda bisa menunjukkan perilaku unik dalam mengatasi
masalah yang sama dengan cara yang berbeda. Orangutan belajar dari orangutan
lain dan biasanya mereka akan membagi keterampilannya sendiri saat mereka
bertemu, terutama saat ketersediaan pakan tinggi. Di pusat rehabilitasi atau di
pulau-pulau pra-pelepasliaran BOS Foundation, di mana ketersediaan pakan tidak
terbatas, mereka dapat dengan cepat mengembangkan dan berbagi keterampilan,
seperti memancing, berenang dengan menggunakan pelampung atau penggunaan
alat untuk akses makanan secara efisien.
BAB IV

KESIMPULAN

Orangutan adalah hewan arboreal terbesar, yaitu makhluk yang


menghabiskan sebagian besar waktunya di pepohonan dan menghabiskan seluruh
kehidupan mereka di pepohonan. Orangutan rata-rata aktif mulai pukul 06.25 dan
mulai tidur pada pukul 18.21. Orangutan menggunakan 84%-92% perilaku
hariannya untuk melakukan perilaku pergerakan, perilaku istirahat dan perilaku
makan. Orangutan pada dasarnya soliter, dan satu-satunya ikatan permanen yang
dimiliki adalah ikatan antara ibu dan bayinya. Para induk orangutan betina ini
biasanya hidup berkelompok, terkadang bertemu dua kali atau lebih selama
periode ketersediaan pakan yang tinggi sehingga memungkinkan mereka
mempertahankan ikatan tersebut.

Orangutan betina melahirkan satu bayi sekali setelah mengandung selama 8,5
bulan, dan tidak akan memiliki bayi lagi hingga bayi pertamanya mencapai usia 7
tahun. Orangutan adalah makhluk yang sangat cerdas. Mereka dapat
memanfaatkan hal-hal di lingkungan sekitarnya untuk peralatan dan obat-obatan.
Populasi orangutan yang berbeda bisa menunjukkan perilaku unik dalam
mengatasi masalah yang sama dengan cara yang berbeda
DAFTAR PUSTAKA

Atmoko, S. S. U. 2000. Ekologi dan Konservasi Orangutan Sumatera. Fakultas


Biologi Universitas Nasional: Jakarta.

Dephut. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-
2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan.

Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press: Washington.

Kuncoro. 2004. Aktivitas Harian Pongo pygmaeus rehabilitant di Hutan Lindung


Pegunungan Meratus Kaltim. Skripsi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bali.

Maple, T. L. 1980. Orangutan Behaviour. Van Nostrand, Reinhold Company:


New York.

Meijaard, E., Rijksen, H. D., Kartikasari, S. N. 2001. Di Ambang Kepunahan!


Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Penyunting Kartikasari, S. N.
The Gibbon.

Rijksen, H.D., and Meijaard, E. 1999. Our vanishing relative. The Status of
wildnorangutans at the close of the twentieth century. Kluwer Academic.

Anda mungkin juga menyukai