Anda di halaman 1dari 10

STRATEGI DAN RENCANA KONSERVASI JULANG EMAS DI PULAU JAWA

Taufik Setiawan
E351194031

PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Burung rangkong merupakan kelompok burung yang termasuk pada Famili bucerotidae. Ciri
khasnya berupa paruh yang besar dengan struktur tambahan di bagian atasnya yang di sebut
balung (casque) yang terdiri dari bahan tanduk yang keras dan kuat. Di Sulawesi burung ini
dikenal masyarakat dengan beberapa nama seperti rangkong, julang, alow, dan burung taong.
Ukuran tubuh berkisar antara 40-150 cm, dengan berat tubuh dapat mencapai 3,6 kg. Warna bulu
pada bagian badan dan ekor di dominasi oleh warna hitam dan putih (Nur et al. 2013). Burung
rangkong memiliki ciri ukuran tubuh yang besar dengan panjang tubuh sekitar 381-1600 mm.
Burung rangkong memiliki paruh yang sangat besar dan kokoh tetapi memiliki berat yang ringan
dan disebut dengan hornbill yang memiliki warna merah atau kuning, melengkung dan beberapa
menyerupai cula. Tubuh burung rangkong memiliki bulu berwarna coklat, hitam, putih, dan
perpaduan hitam dengan putih (MacKinnon et al. 2010).
Burung rangkong banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah dan hutan perbukitan
dengan ketinggian lokasi sekitar 0-1000 meter di atas permukaan laut (mdpl) (Nur et al. 2013).
Burung rangkong yang berada di hutan tropis Indonesia terdiri dari 13 jenis yaitu, Annorhinus,
Penelopides, Berenicornis, Rhyticeros, Anthracoceros, Buceros, dan Rhinoplax. Burung
rangkong tersebar di hutan-hutan Sumatera berjumlah 9 jenis, Jawa 3 jenis, Kalimantan 8 jenis,
Sulawesi 2 jenis dan Papua 1 jenis (Sukmantoro et al. 2007). Secara umum ciri yang dimiliki
burung rangkong adalah ukuran tubuhnya yang besar dengan panjang total antara 381 sampai
1600 mm. Memiliki paruh yang sangat besar dan kokoh tetapi ringan yang dinamakan hornbilll,
berwarna merah atau kuning, melengkung dan beberapa menyerupai cula. Bulu berwarna coklat,
hitam, putih, atau hitam dan putih. Kulit dan bulu disekitar tenggorokan berwarna terang, sayap
kuat, ekor panjang, kaki pendek, jari-jari kaki besar dan sindaktil (MacKinnon et al. 2010).
Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi
melalui undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa (Aryanto 2016). Hadiprakarsa dan Winarni (2007) menerangkan bahwa rangkong
berukuran besar seperti rangkong badak, rangkong papan, rangkong gading (Buceros vigil),
julang dompet (Aceros corrugatus) dan julang emas (Aceros undulatus) merupakan jenis
rangkong yang mudah untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi habitat seperti kawasan
hutan dalam bentuk agroforestry.

Tujuan

Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis rangkong, habitat, dan
upaya konservasinya.
METODE

Waktu dan Lokasi


Pembuatan makalah ini dilakukan di kota Bogor pada bulan November 2020.

Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah laptop, sedangkan bahan
yang digunakan yaitu literatur baik dari paper jurnal, tesis, skripsi, maupun sumber lainnya dari
internet.
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan yakni data mengenai rangkong, habitat, dan upaya
konservasinya.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini ialah dengan menggunakan
analisis deskriptif.

PEMBAHASAN

Jenis – Jenis Rangkong di Indonesia


Indonesia memiliki 13 spesies burung rangkong. Spesies tersebut tersebar di lima pulau
besar, yaitu di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya (Sukmantoro et al. 2007).
Seluruh jenis burung rangkong yang ada di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi.
Sehubungan dengan diterbikannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyebutkan bahwa semua jenis Family Bucerotidae dilindungi
Undang-Undang. Sehubungan dengan itu, IUCN (International Union for Conservation of
Nature) dalam Buku Merah yang dikeluarkan pada tahun 2008, menjelaskan burung rangkong
Indonesia sebagian besar berstatus hampir punah dan rentan, sementara beberapa jenis burung
rangkong lainnya berstatus kurang informasi.
Burung-burung rangkong adalah burung-burung arboreal yang berukuran besar dan
memiliki paruh besar, yang pada umumnya memiliki semacam tonjolan seperti tanduk atau cula
di atas paruhnya yang disebut casque atau balung (Kemp 1995). Burung-burung rangkong
menghuni habitat hutan yang luas dengan pepohonan yang tinggi dan berdiameter besar (Tarigan
2016). Ada 13 jenis rangkong (famili Bucerotidae) yang ada di Indonesia, salah satunya adalah
rangkong gading (Rhinoplax vigil) yang di Indonesia sebarannya hanya ada di Kalimantan dan
Sumatera (Sukmantoro et al. 2007). Tujuh dari delapan spesies tersebut ditemukan di Kalimantan
Timur, yakni Anorrhinus galeritus, Aceros comatus, A. corrugatus, A. undulatus, Anthracoceros
malayanus, Buceros rhinoceros, dan B. vigil (Leighton 1982).
Rangkong (Famili Bucerotidae) merupakan jenis burung pemakan buah, khususnya buah
Ficus (Tsuju 1996, Kinnaird et al. 1998, Poonswad et al. 1998). Jenis-jenis buah yang dimakan
oleh rangkong dapat dikategorikan sebagai (i) buah kecil dalam jumah banyak, termasuk jenis-
jenis Ficus, dan (ii) buah yang memiliki batu (stone seeds), yaitu jenis-jenis non-Ficus
(Poonswad et al. 1998). Rangkong Sulawesi (Aceros (Rhyticeros) cassidix) di Cagar Alam
Tangkoko- Batuangus (Sulawesi Utara) tercatat mengkonsumsi lebih dari 50 spesies buahbuahan
dari 11 Famili (Kinnaird & O’Brien 1993, Suryadi et al. 1994). Burung ini merupakan jenis
pemakan buah masak (ripe fruit specialist). Pada musim berbiak sebanyak 69% dari pakannya
merupakan buah Ficus (Kinnaird & O’Brien 1993), sementara pada musim tidak berbiak
presentase ini meningkat menjadi 83% (Suryadi et al. 1994). Penelitian terdahulu (Poonswad et
al. 1998) membuktikan bahwa kecepatan makan buah Ficus bervariasi menurut ukuran
rangkong. Rangkong yang berbadan besar secara significan mengkonsumsi buah dengan laju
lebih tinggi dibandingkan dengan rangkong berbadan kecil
Menurut MacKinnon et al. (2010) dan menurut Hadiprakarsa dan Winarni (2007), beberapa
jenis rangkong yang berukuran tubuh kecil dan bersifat teritorial seperti enggang klihingan
(Anorrhinus galeritus) dan enggang jambul (Aceros comatus) memiliki tingkat kepekaan yang
tinggi terhadap gangguan habitat seperti adanya perluasan tanaman perkebunan yang
menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat

Habitat Rangkong
Distribusi spasial burung dipengaruhi oleh proses seleksi habitatnya dan berpengaruh
terhadap kepadatan individu pada satu wilayah tertentu. Ronaldo (2002) menjelaskan bahwa
seleksi habitat menjadi proses ekologi yang penting dalam menentukan persebaran spasial
burung. Seleksi habitat merupakan respon perilaku burung yang berdampak pada pemanfaatan
habitat yang tidak proposional dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Jones 2001). Habitat
burung rangkong adalah hutan primer dan hutan sekunder. Burung rangkong menyukai habitat
hutan yang lebat dengan banyak pohon buah-buahan. Hutan primer yang masih banyak dijumpai
pohonpohon besar untuk bersarang sangat disukai. Burung rangkong juga dapat hidup rukun
dengan primata di sebuah pohon yang berbuah. Selain itu burung rangkong juga terdapat di
hutan hutan sekunder. Hutan sekunder juga terdapat pohon pakan untuk burung rangkong
mencari makan atau bersarang (Ramadhan 2015).
Ketersediaan pakan dalam suatu tipe habitat menjadi salah satu faktor utama bagi
kehadiran populasi burung (Wiens 1992). Buah Ficus merupakan pakan utama bagi rangkong
badak karena buah Ficus memiliki kandungan kalori, energi, kalsium, dan lemak yang tinggi
(Kinnaird dan O‟Brien 2007). Selain itu, pohon Ficus merupakan spesies yang umum, dapat
hidup pada berbagai tipe hutan, memiliki jumlah spesies yang banyak, dan sering berbuah
(Kemp 1995). Shanahan (2001) menyatakan bahwa buah ara (Ficus sp) merupakan pakan utama
burung rangkong. Sebanyak 40 jenis dari 54 jenis burung rangkong terutama jenis rangkong di
Asia memakan buah ara sebagai pakan utama. Pola sebaran sumber pakan yang mengelompok
dapat menyebabkan adanya sumber buah yang melimpah sehingga rangkong badak hanya akan
mendatangi areal tersebut. Kepadatan burung lebih dipengaruhi oleh penyebaran dan ketersedian
pohon pakan (Partasasmita 1998).
Ada beberapa komponen penting habitat untuk menjalankan fungsinya tersebut dan
komponen habitat yang terpenting adalah makanan, air, dan cover. Hutan sebagai kawasan
tempat burung rangkong hidup atau sebagai habitatnya yang merupakan suatu ekosistem berupa
hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan beserta
alam lingkungan, sebagian besar menghadapi ancaman kritis. Adanya penebangan liar,
perubahan peruntukan, dan fragmentasi sangat berpengaruh dalam mempercepat rusaknya hutan.
Pohon-pohon besar seperti Ficus sp merupakan sasaran utama oleh penebang liar. Padahal
pohon-pohon besar tersebut merupakan tempat rusting tree di hutan-hutan yang menjadi habitat
rangkong. Oleh karena itu perlu adanya tindakan konservasi yang terpadu antara pemerintah
dengan masyarakat seperti upaya reboisasi (Rahayuningsih et al. 2013). Kelestarian burung
sangat ditentukan oleh ketersediaan habitat yang sesuai sebagai tempat hidupnya. Keberadaan
vegetasi pohon sebagai habitat bersarang dan sumber pakan merupakan dua hal yang sangat
penting bagi kelestarian burung rangkong (Izzun 2010).
Ketersediaan pakan dalam suatu tipe habitat merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberadaan burung rangkong (Mangangantung et al. 2015). Afandi dan Winarni
(2007) menyatakan bahwa rangkong badak memiliki alternatif jenis buah pakan dari buah non
Ficus dan serangga. Rangkong badak sama sekali tidak memperlihatkan preferensi tertentu
terhadap karakter buah baik berat, panjang, lebar, dan ukuran buah. Rangkong badak
menghabiskan waktunya di bagian atas tajuk hutan dengan makanan utama buah-buahan,
serangga, reptil kecil, hewan pengerat, dan burung-burung kecil (Widjojo 2011).

Ancaman terhadap Rangkong di Indonesia


Hadiprakarsa dan Winarni (2007) menyatakan bahwa semua petak hutan di luar kawasan
taman nasional mengalami ancaman yang cukup mengkhawatirkan, khususnya petak hutan
berukuran kecil mengalami tekanan hebat berupa pembalakan hutan dan perubahan penggunaan
lahan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, khususnya kopi. Menurut Hadiprakarsa dan
Winarni (2007), selain kawasan hutan primer, kawasan penyangga berupa daerah agroforestry
dimanfaatkan oleh burung rangkong dalam mencari pakan alternatif. Masyarakat menyadari
bahwa burung rangkong merupakan burung yang langka dan dilindungi oleh pemerintah. Oleh
karena itu, mereka enggan melakukan perburuaan terhadap burung tersebut mengingat resiko
hukuman yang akan di tanggung jika mereka tertangkap melakukan perburuan terhadap burung
tersebut. Burung rangkong badak merupakan satwa yang dilindungi oleh UU No. 7 tahun 1999
tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. IUCN memasukkan satwa yang termasuk spesies
yang hampir mengalami kelangkaan.
Ancaman yang utama bagi keberadaan burung rangkong adalah karena kehilangan habitat
akibat dari penebangan pohon secara liar, pembukaan lahan pertanian, pembuatan jalan untuk
keperluan pariwisata sehingga terjadinya frakmentasi hutan. Ancaman lainnya seperti perburuan
untuk aksesoris, serta adat istiadat dalam masyarakat tertentu yang menggunakan burung
rangkong dalam acara-acara kesenian atau lambang suatu suku. Saat ini status burung rangkong
Sulawesi menurut CITES masuk Appendix II (Rasinta 2010). Hilangnya habitat merupakan
ancaman yang serius bagi keberadaan rangkong, termasuk Aceros undulatus. Habitat mempunyai
fungsi dalam penyediaan makanan, air, dan perlindungan (Yudhistira 2002). Pembukaan hutan
menjadi perkebunan dan pertanian mengakibatkan adanya habitat terbuka atau terfragmentasi
(Johns 1987). Penelitian di Sumatera Barat menunjukkan bahwa rangkong badak masih dijumpai
di hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value) yang berbatasan dengan kebun
sawit sebesar 24 individu/km (Nur et al. 2013). Beberapa faktor vegetasi yang mendukung
kehidupan burung yakni keanekaragaman spesies, struktur, kerapatan populasi, dan kerapatan
tajuk-tajuknya (Dickson et al. 1979).

Konservasi Rangkong di Indonesia


Keberadaan burung rangkong di Indonesia ini merupakan sebuah kebanggaan karena
burung ini menjadi maskot fauna dari Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan yaitu
enggang gading (Rhinoplax vigil) dan julang Sulawesi (Aceros cassidix) (Dharmastuti 2011).
Peraturan perundangan yang menjaga keberadaan burung Rangkong juga terdapat dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya mengenai sanksi perburuan liar, yaitu barangsiapa yang melakukan perburuan
hingga menyebabkan perubahan terhadap ekosistem hutan akan mendapatkan hukum pidana
yang sesuai. Pada undang-undang tersebut juga disertakan jumlah denda hingga ancaman
kurungan penjara yang bervariasi
Salah satu jenis rangkong yang saat ini mengalami kerentanan akan kepuhana dalah
rangong gading. Rangkong gading merupakan spesies dilindungi dalam UU Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun faktanya,
spesies ini banyak diburu bagian balungnya untuk dijadikan ukiran dan aksesoris dan dijual ke
pasar gelap internasional. Kepercayaan bahwa gading merah, sebutan balung Rangkong Gading
di pasar gelap, mampu membawa keberuntungan dan menjadi barang dan aksesoris
mewah (prestigious goods) mendorong permintaan atas produk tersebut terus ada dan
mendorong terus terjadinya aktivitas perburuan dan perdagangan spesies ini (WWF 2019). Untuk
menjaga populasi dan kelestarian rangkong, upaya konservasi seperti Strategi dan Rencana
Konservasi (SRAK) untuk Rangkong Gading telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan yang iki telah dilaksanakan di Medan Sumatera Utara. Hal ini merupakan
salah satu wujud implementasi dari konservasi burung rangkong di alam.
SRAK Rangkong Gading mengusung lima strategi utama konservasi, yaitu 1)
pengelolaan populasi dan habitat; 2) aturan dan kebijakan; 3) kemitraan dan kerjasama
dalam mendukung konservasi Rangkong Gading; 4) komunikasi dan penyadartahuan
masyarakat untuk konservasi Rangkong Gading; dan 5) pendanaan untuk mendukung
konservasi Rangkong Gading. Komitmen dan kerja para pihak akan menentukan
pemulihan populasi, serta konservasi Rangkong Gading di masa mendatang (SRAK
Rankong Gading Indonesia 2018-2028). SRAK Rangkong Gading ini dinilai penting
untuk mendapatkan komitmen dari berbagai dan dapat menjadi pedoman bagi dalam
mengintegrasikan peran masing-masing.
Saat ini hanya rangkong gading saja yang baru dibuatkan upaya strategi konservasi oleh
kementerian kehutanan, diharapkan nantinya semua jenis rangkong yang yang di Indonesia
sudah dibuatkan sebuah SRAK agar upaya konservasi terhadap rangkong semakin jelas.
Mengingat saat ini jumlah burung rangkong di habitatnya semakin mengalami penurunan dan
sangat dekat dengan kepunahan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menjaga kelestarian
burung rangkok, agar anak cucu kita kelak dapat menikmati keindahan dari satwa yang satu ini.
Kesadaran masyarakat sangat penting untuk penyelamatan burung besar ini. Aturan dan
pelarangan yang sudah ada harus dilaksanakan oleh aparat keamanan. Upaya sekecil apapun
dalam upaya penyelamatan burung rangkong akan sangat berguna dan penting baik yang berada
secara insitu maupun eksitu. Dalam pelaksanaan upaya konservasi terrsebut perlu melibatkan
banyak pihak strategis untuk menuju satu visi, yaitu memastikan Rangkong tetap hidup demi
lestarinya hutan di Indonesia. Tidak hanya dalam ranah penelitian dan investigasi, Rangkong
Indonesia juga melakukan edukasi dan sosialisasi demi meningkatkan kesadartahuan masyarakat
akan pentingnya peran Rangkong dalam rantai ekosistem

PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari paper ini adalah Burung rangkong yang berada di hutan
tropis Indonesia terdiri dari 13 jenis yaitu, Annorhinus, Penelopides, Berenicornis, Rhyticeros,
Anthracoceros, Buceros, dan Rhinoplax. Burung rangkong tersebar di hutan-hutan Sumatera
berjumlah 9 jenis, Jawa 3 jenis, Kalimantan 8 jenis, Sulawesi 2 jenis dan Papua 1 jenis. Habitat
burung rangkong adalah hutan primer dan hutan sekunder. Burung rangkong menyukai habitat
hutan yang lebat dengan banyak pohon buah-buahan. Hutan primer yang masih banyak dijumpai
pohonpohon besar untuk bersarang sangat disukai. Hutan sekunder juga terdapat pohon pakan
untuk burung rangkong mencari makan atau bersarang. Saat ini bentuk upaya konservasi dari
rangkong adalah adanya SRAK Rangkong Gading yang telah dilaksanakan di Medan, Sumatera.
SRAK Rangkong Gading ini diharapkan dapat menjadi nilai penting untuk mendapatkan
komitmen dari berbagai dan dapat menjadi pedoman bagi para stakeholder terkait dalam upaya
konservasi rangkong khusunya rangkong gadi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, F. R. dan N. L. Winarni. 2007. Prefrensi dan interaksi burung rangkong terhadap
ketersediaan buah ara (Ficus spp) di Way Cungguk, Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan, Lampung. Jurnal Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU). 5 (1):85―92.

Aryanto AS, Setiawan A, Master J. 2016. Keberadaan Burung Rangkong (Bucerotidae) di


Gunung Betung Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Jurnal Sylva Lestari. 4(2): 9-
16.

Dickson JG, Conner, RN, Fleet RR, Croll JC, Jackson JA. 1979. The Role of Insectivorous Birds
in Forest Ecosystems. New York (US): Academic Press.

Hadiprakarsa Y, N. L. Winarni NL. 2007. Fragmentasi hutan di Lampung, Sumatera vs burung


rangkong: Mampukah burung rangkong bertahan hidup?. Jurnal Indonesian
Ornithologists’ Union (IdOU). 5 (1):94―102.

Johns A. 1987. The use of primary and selectively logged rainforest by malaysian hornbills
(Bucerotidae) and implications for their conservation. Biological Conservation 40: 179-
190.

Jones J. 2001. Habitat Selection Studies in Avian Ecology: A Critical Review. The Auk. 118 (2):
557-562.

Kemp A. 1995. Bird Families of the World I: The Hornbills, Bucerotiformes. Oxford (EN):
Oxford University Press.

Kinnaird, M.F.; T.G. O’Brien. 1993. Preliminary observation on the breeding biology of the
endemic Sulawesi Red-knobbed Hornbill (Rhyticeros cassisix). Tropical Biodiversity. 1(2):
107-112.

Kinnaird M F, O‟Brien TG. 2007. The Ecology and Conservation of Asian Hornbill: Farmers of
The Forest. Chicago (US): University of Chicago Press.

Leighton M. 1982. Fruit resources and patterns of feeding, spacing and grouping among
sympatric bornean hornbills (Bucerotidae) [tesis]. Davis (US): University of California
MacKinnon J, Philipps K, Balen VB. 2010. Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan
(termasuk Sabah, Serawak, dan Brunei Darussalam). Jakata (ID): Puslitbang-Biologi.

Mangangantung, B., D. Y. Katili., Saroyo dan Pience V. Maabuat. 2015. Densitas dan jenis
pakan burung rangkong (Rhyticeros cassidix) di Cagar Alam Tangkoko Batuangus.
Jurnal MIPA UNSRAT Online. 4 (1):88―92.

Nur RF, Novarino W, Nurdin J. 2013. Kelimpahan dan pola distribusi burung rangkong
(Bucerotidae) di kawasan PT Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan, Sumatera
Barat. Jurnal Biologika. 2(1): 27-33.
Partasasmita R. 1998. Ekologi makan burung betet (Psittacula alexandri (L.)) di kawasan
kampus IPB Darmaga [tesis]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Poonswad, P; A. Tsuji, N. Jirawatkavi, V. Chimchome. 1998. Some aspects of food and feeding
ecology of sympatric hornbill species in Khao Yai National Park, Thailand. Pp. 137-157 in
P. Poonswad (Ed.). The Asian hornbills: Ecology and conservation. BIOTEC-NSTDA,
Bangkok, Thailand.

Rahayuningsih M, Edi NK. 2013. Profil habitat julang emas (Aceros Undulatus) sebagai strategi
konservasi di Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Indonesian Journal of Conservation. 2(1):
14-22.

Rasinta, U.D. 2010. Spesies Endemik Indonesia Dan Statusnya Menurut Cities. Pontianak (ID):
Universitas Tanjungpura Fakultas Pertanian Ilmu Tanah.

Ramadhan S. 2015. Keanekaragaman Burung Rangkong (Bucerotidae) yang Terdapat di


Pegunungan Gugop Sebagai Referensi dalam Pembelajaran Mata Kuliah Ornitologi
[skripsi]. Banda Aceh (ID): Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Ar-
Raniry.

Ronaldo A. 2002. On the ecology of home range in birds. Revue D'Écologie (Terre Vie). Vol 57:
53-73.

Shanahan, M. Samson So, Compton S.G.and Corlett R. 2001. Fig-eating by vertebrate


frugivores: a globalreview. Biol. Conservation. 76: 529-572

Sukmantoro W , Irham M, Novarino F,Hasudungan, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung


Indonesia no. 2. Bogor (ID): Indonesian Ornothologists Union.

Suryadi. 1994. Tingkah laku makan Rangkong Sulawesi Rhyticeros cassidix Temminck (Aves:
Bucerotidae) pada masa tidak berbiak di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi
[skripsi]. Depok (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia.

Tarigan SBR. 2016. Studi Habitat Dan Perilaku Burung Rangkong (Bucerotidae) Di Resort
Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi, Jawa Timur. [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

Tsuji, A. 1996. Hornbills: Masters of tropical forests. Sarakadee Press Honbill Research
Foundation. Bangkok.

Ulfa Rosyida. 2009. “Mengenal Burung Enggang dan Penyebarannya”. Samarinda (ID): Media
Informasi BKSDA Kalimantan Timur.

Wiens, JA. 1992. The Ecology of Bird Communities I. Cambridge (GB): Cambridge University
Press.
Widjojo, N. Rangkong badak. 2011. Factsheet Yayasan WWF Indonesia.
(http://awsassets.wwf.or.id). Diakses tanggal 28 Oktober 2020.

WWF Indonesia. 2019. Nasib pilu burung eksotis yang setia. https://wwf.id/publikasi/nasib-pilu-
burung-eksotis-yang-setia. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2020

Anda mungkin juga menyukai