Taufik Setiawan
E351194031
Latar Belakang
Burung rangkong merupakan kelompok burung yang termasuk pada Famili bucerotidae. Ciri
khasnya berupa paruh yang besar dengan struktur tambahan di bagian atasnya yang di sebut
balung (casque) yang terdiri dari bahan tanduk yang keras dan kuat. Di Sulawesi burung ini
dikenal masyarakat dengan beberapa nama seperti rangkong, julang, alow, dan burung taong.
Ukuran tubuh berkisar antara 40-150 cm, dengan berat tubuh dapat mencapai 3,6 kg. Warna bulu
pada bagian badan dan ekor di dominasi oleh warna hitam dan putih (Nur et al. 2013). Burung
rangkong memiliki ciri ukuran tubuh yang besar dengan panjang tubuh sekitar 381-1600 mm.
Burung rangkong memiliki paruh yang sangat besar dan kokoh tetapi memiliki berat yang ringan
dan disebut dengan hornbill yang memiliki warna merah atau kuning, melengkung dan beberapa
menyerupai cula. Tubuh burung rangkong memiliki bulu berwarna coklat, hitam, putih, dan
perpaduan hitam dengan putih (MacKinnon et al. 2010).
Burung rangkong banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah dan hutan perbukitan
dengan ketinggian lokasi sekitar 0-1000 meter di atas permukaan laut (mdpl) (Nur et al. 2013).
Burung rangkong yang berada di hutan tropis Indonesia terdiri dari 13 jenis yaitu, Annorhinus,
Penelopides, Berenicornis, Rhyticeros, Anthracoceros, Buceros, dan Rhinoplax. Burung
rangkong tersebar di hutan-hutan Sumatera berjumlah 9 jenis, Jawa 3 jenis, Kalimantan 8 jenis,
Sulawesi 2 jenis dan Papua 1 jenis (Sukmantoro et al. 2007). Secara umum ciri yang dimiliki
burung rangkong adalah ukuran tubuhnya yang besar dengan panjang total antara 381 sampai
1600 mm. Memiliki paruh yang sangat besar dan kokoh tetapi ringan yang dinamakan hornbilll,
berwarna merah atau kuning, melengkung dan beberapa menyerupai cula. Bulu berwarna coklat,
hitam, putih, atau hitam dan putih. Kulit dan bulu disekitar tenggorokan berwarna terang, sayap
kuat, ekor panjang, kaki pendek, jari-jari kaki besar dan sindaktil (MacKinnon et al. 2010).
Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi
melalui undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa (Aryanto 2016). Hadiprakarsa dan Winarni (2007) menerangkan bahwa rangkong
berukuran besar seperti rangkong badak, rangkong papan, rangkong gading (Buceros vigil),
julang dompet (Aceros corrugatus) dan julang emas (Aceros undulatus) merupakan jenis
rangkong yang mudah untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi habitat seperti kawasan
hutan dalam bentuk agroforestry.
Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis rangkong, habitat, dan
upaya konservasinya.
METODE
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam pembuatan makalah ini ialah dengan menggunakan
analisis deskriptif.
PEMBAHASAN
Habitat Rangkong
Distribusi spasial burung dipengaruhi oleh proses seleksi habitatnya dan berpengaruh
terhadap kepadatan individu pada satu wilayah tertentu. Ronaldo (2002) menjelaskan bahwa
seleksi habitat menjadi proses ekologi yang penting dalam menentukan persebaran spasial
burung. Seleksi habitat merupakan respon perilaku burung yang berdampak pada pemanfaatan
habitat yang tidak proposional dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Jones 2001). Habitat
burung rangkong adalah hutan primer dan hutan sekunder. Burung rangkong menyukai habitat
hutan yang lebat dengan banyak pohon buah-buahan. Hutan primer yang masih banyak dijumpai
pohonpohon besar untuk bersarang sangat disukai. Burung rangkong juga dapat hidup rukun
dengan primata di sebuah pohon yang berbuah. Selain itu burung rangkong juga terdapat di
hutan hutan sekunder. Hutan sekunder juga terdapat pohon pakan untuk burung rangkong
mencari makan atau bersarang (Ramadhan 2015).
Ketersediaan pakan dalam suatu tipe habitat menjadi salah satu faktor utama bagi
kehadiran populasi burung (Wiens 1992). Buah Ficus merupakan pakan utama bagi rangkong
badak karena buah Ficus memiliki kandungan kalori, energi, kalsium, dan lemak yang tinggi
(Kinnaird dan O‟Brien 2007). Selain itu, pohon Ficus merupakan spesies yang umum, dapat
hidup pada berbagai tipe hutan, memiliki jumlah spesies yang banyak, dan sering berbuah
(Kemp 1995). Shanahan (2001) menyatakan bahwa buah ara (Ficus sp) merupakan pakan utama
burung rangkong. Sebanyak 40 jenis dari 54 jenis burung rangkong terutama jenis rangkong di
Asia memakan buah ara sebagai pakan utama. Pola sebaran sumber pakan yang mengelompok
dapat menyebabkan adanya sumber buah yang melimpah sehingga rangkong badak hanya akan
mendatangi areal tersebut. Kepadatan burung lebih dipengaruhi oleh penyebaran dan ketersedian
pohon pakan (Partasasmita 1998).
Ada beberapa komponen penting habitat untuk menjalankan fungsinya tersebut dan
komponen habitat yang terpenting adalah makanan, air, dan cover. Hutan sebagai kawasan
tempat burung rangkong hidup atau sebagai habitatnya yang merupakan suatu ekosistem berupa
hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan beserta
alam lingkungan, sebagian besar menghadapi ancaman kritis. Adanya penebangan liar,
perubahan peruntukan, dan fragmentasi sangat berpengaruh dalam mempercepat rusaknya hutan.
Pohon-pohon besar seperti Ficus sp merupakan sasaran utama oleh penebang liar. Padahal
pohon-pohon besar tersebut merupakan tempat rusting tree di hutan-hutan yang menjadi habitat
rangkong. Oleh karena itu perlu adanya tindakan konservasi yang terpadu antara pemerintah
dengan masyarakat seperti upaya reboisasi (Rahayuningsih et al. 2013). Kelestarian burung
sangat ditentukan oleh ketersediaan habitat yang sesuai sebagai tempat hidupnya. Keberadaan
vegetasi pohon sebagai habitat bersarang dan sumber pakan merupakan dua hal yang sangat
penting bagi kelestarian burung rangkong (Izzun 2010).
Ketersediaan pakan dalam suatu tipe habitat merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberadaan burung rangkong (Mangangantung et al. 2015). Afandi dan Winarni
(2007) menyatakan bahwa rangkong badak memiliki alternatif jenis buah pakan dari buah non
Ficus dan serangga. Rangkong badak sama sekali tidak memperlihatkan preferensi tertentu
terhadap karakter buah baik berat, panjang, lebar, dan ukuran buah. Rangkong badak
menghabiskan waktunya di bagian atas tajuk hutan dengan makanan utama buah-buahan,
serangga, reptil kecil, hewan pengerat, dan burung-burung kecil (Widjojo 2011).
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari paper ini adalah Burung rangkong yang berada di hutan
tropis Indonesia terdiri dari 13 jenis yaitu, Annorhinus, Penelopides, Berenicornis, Rhyticeros,
Anthracoceros, Buceros, dan Rhinoplax. Burung rangkong tersebar di hutan-hutan Sumatera
berjumlah 9 jenis, Jawa 3 jenis, Kalimantan 8 jenis, Sulawesi 2 jenis dan Papua 1 jenis. Habitat
burung rangkong adalah hutan primer dan hutan sekunder. Burung rangkong menyukai habitat
hutan yang lebat dengan banyak pohon buah-buahan. Hutan primer yang masih banyak dijumpai
pohonpohon besar untuk bersarang sangat disukai. Hutan sekunder juga terdapat pohon pakan
untuk burung rangkong mencari makan atau bersarang. Saat ini bentuk upaya konservasi dari
rangkong adalah adanya SRAK Rangkong Gading yang telah dilaksanakan di Medan, Sumatera.
SRAK Rangkong Gading ini diharapkan dapat menjadi nilai penting untuk mendapatkan
komitmen dari berbagai dan dapat menjadi pedoman bagi para stakeholder terkait dalam upaya
konservasi rangkong khusunya rangkong gadi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, F. R. dan N. L. Winarni. 2007. Prefrensi dan interaksi burung rangkong terhadap
ketersediaan buah ara (Ficus spp) di Way Cungguk, Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan, Lampung. Jurnal Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU). 5 (1):85―92.
Dickson JG, Conner, RN, Fleet RR, Croll JC, Jackson JA. 1979. The Role of Insectivorous Birds
in Forest Ecosystems. New York (US): Academic Press.
Johns A. 1987. The use of primary and selectively logged rainforest by malaysian hornbills
(Bucerotidae) and implications for their conservation. Biological Conservation 40: 179-
190.
Jones J. 2001. Habitat Selection Studies in Avian Ecology: A Critical Review. The Auk. 118 (2):
557-562.
Kemp A. 1995. Bird Families of the World I: The Hornbills, Bucerotiformes. Oxford (EN):
Oxford University Press.
Kinnaird, M.F.; T.G. O’Brien. 1993. Preliminary observation on the breeding biology of the
endemic Sulawesi Red-knobbed Hornbill (Rhyticeros cassisix). Tropical Biodiversity. 1(2):
107-112.
Kinnaird M F, O‟Brien TG. 2007. The Ecology and Conservation of Asian Hornbill: Farmers of
The Forest. Chicago (US): University of Chicago Press.
Leighton M. 1982. Fruit resources and patterns of feeding, spacing and grouping among
sympatric bornean hornbills (Bucerotidae) [tesis]. Davis (US): University of California
MacKinnon J, Philipps K, Balen VB. 2010. Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan
(termasuk Sabah, Serawak, dan Brunei Darussalam). Jakata (ID): Puslitbang-Biologi.
Mangangantung, B., D. Y. Katili., Saroyo dan Pience V. Maabuat. 2015. Densitas dan jenis
pakan burung rangkong (Rhyticeros cassidix) di Cagar Alam Tangkoko Batuangus.
Jurnal MIPA UNSRAT Online. 4 (1):88―92.
Nur RF, Novarino W, Nurdin J. 2013. Kelimpahan dan pola distribusi burung rangkong
(Bucerotidae) di kawasan PT Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan, Sumatera
Barat. Jurnal Biologika. 2(1): 27-33.
Partasasmita R. 1998. Ekologi makan burung betet (Psittacula alexandri (L.)) di kawasan
kampus IPB Darmaga [tesis]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Poonswad, P; A. Tsuji, N. Jirawatkavi, V. Chimchome. 1998. Some aspects of food and feeding
ecology of sympatric hornbill species in Khao Yai National Park, Thailand. Pp. 137-157 in
P. Poonswad (Ed.). The Asian hornbills: Ecology and conservation. BIOTEC-NSTDA,
Bangkok, Thailand.
Rahayuningsih M, Edi NK. 2013. Profil habitat julang emas (Aceros Undulatus) sebagai strategi
konservasi di Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Indonesian Journal of Conservation. 2(1):
14-22.
Rasinta, U.D. 2010. Spesies Endemik Indonesia Dan Statusnya Menurut Cities. Pontianak (ID):
Universitas Tanjungpura Fakultas Pertanian Ilmu Tanah.
Ronaldo A. 2002. On the ecology of home range in birds. Revue D'Écologie (Terre Vie). Vol 57:
53-73.
Suryadi. 1994. Tingkah laku makan Rangkong Sulawesi Rhyticeros cassidix Temminck (Aves:
Bucerotidae) pada masa tidak berbiak di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi
[skripsi]. Depok (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia.
Tarigan SBR. 2016. Studi Habitat Dan Perilaku Burung Rangkong (Bucerotidae) Di Resort
Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi, Jawa Timur. [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Tsuji, A. 1996. Hornbills: Masters of tropical forests. Sarakadee Press Honbill Research
Foundation. Bangkok.
Ulfa Rosyida. 2009. “Mengenal Burung Enggang dan Penyebarannya”. Samarinda (ID): Media
Informasi BKSDA Kalimantan Timur.
Wiens, JA. 1992. The Ecology of Bird Communities I. Cambridge (GB): Cambridge University
Press.
Widjojo, N. Rangkong badak. 2011. Factsheet Yayasan WWF Indonesia.
(http://awsassets.wwf.or.id). Diakses tanggal 28 Oktober 2020.
WWF Indonesia. 2019. Nasib pilu burung eksotis yang setia. https://wwf.id/publikasi/nasib-pilu-
burung-eksotis-yang-setia. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2020