Anda di halaman 1dari 121

PEDOMAN TEKNIS

SURVEI KEANEKARAGAMAN HAYATI


TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING

Oleh :
Budi Suriansyah
Lukmanul Hakim
M. Agus Supriadi
Primatody
Nindra Karma
Agus Dianto
Alfian Soehara
Budiansyah
Ulfah Nurhasanah
Nurmalia

BALAI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING


SEKSI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL WILAYAH II
KUALA PEMBUANG
SERUYAN, 2014
PEDOMAN TEKNIS SURVEI KEANEKARAGAMAN HAYATI
TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING

Laporan Teknis No. 1, Pebruari 2014


Seksi Pengelola Taman Nasional Wilayah II Kuala Pembuang

Tim Penyusun :
Budi Suriansyah, Lukmanul Hakim, M. Agus Supriadi, Primatody, Nindra Karma,
Agus Dianto, Alfian Soehara, Budiansyah, Ulfah Nurhasanah, Nurmalia.
Penyunting :
Ulfah Nurhasanah dan Nurmalia.
Pengolah Image :
Busur Art Work. (Gambar 1, 3-7, 9-16, 18-22, 24-35, Cover & Lembar Pembatas)
Illustrasi dan Foto :
Daily Animal Sketch by Lindsay Cibos. (Gambar 8), birding.in (Gambar 17).
id. wikipedia.org (Gambar 2 dan 23).

Copyright © 2014
Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa memberikan kemudahan
dalam menyelesaikan segala urusan hingga kami mampu menyelesaikan Pedoman
Teknis Survey Keanekaragaman Hayati, yang selama ini hanya tertera dalam buku
catatan lapangan kami.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan pada staff SPTN
Wilayah II serta semua pihak yang telah membantu dengan ikhlas dan memberikan
dukungan moril dalam setiap tahapan proses pembuatan buku pedoman ini. Kami
juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya pada para penulis dan
pengarang yang bukunya kami gunakan sebagai referensi dalam penyusunan
pedoman ini, semoga mendapatkan berkah dan balasan yang setimpal dari Allah
SWT.
Adalah kebahagian bagi kami dapat menyajikan sebuah pedoman berdasarkan hasil
kompilasi beberapa literatur dan pengalaman lapangan yang kami miliki. Pedoman
ini disusun bab per bab dengan halaman pemisah, harapannya adalah agar pembaca
dapat mudah memahami teknik survei yang akan digunakan sesuai dengan obyek
yang akan diamati.
Selain merupakan sebuah acuan dalam mencapai keseragaman teknik melakukan
survei keanekaragaman hayati di TN. Tanjung Puting, pedoman ini juga diharapkan
dapat menjadi salah satu alat pendukung dalam penerapan Pengelolaan Berbasis
Resort serta dalam mencapai tujuan dari Pengelolaan Berbasis Resort yaitu
memperoleh dan mengolah data secara series dan akurat sehingga dapat berguna
dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dan strategi pengelolaan
keanekaragaman hayati TN. Tanjung Puting.
Akhirul kalam, semoga pedoman ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya
staff SPTN Wilayah II Kuala Pembuang dan para pembaca umumnya. Kami juga
berharap dan membuka diri untuk segala kritik dan saran yang konstruktif demi
perbaikan tulisan kami berikutnya.

Seruyan, 2014

Salam Konservasi,
Tim Penyusun

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   ii  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

DAFTAR ISI

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   iii  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

DAFTAR GAMBAR

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   iv  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

DAFTAR TABEL

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   v  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

DAFTAR LAMPIRAN

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   vi  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PENDAHULUAN

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   1  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Biodiversitas atau keragaman jenis mencakup kehidupan dalam segala bentuknya
meliputi tumbuhan, hewan, jamur dan bentuk mikro-organisme lain. Pada
berbagai tingkatan keragaman jenis merujuk pada tingkatan gen, jenis dan
ekosistem. Definisi lain menyederhanakan keragaman jenis sebagai kehidupan
dalam segala bentuknya dan segala tingkatannya. (Bismark, M. 2011).
Kegiatan Survei keragaman jenis (biodiversitas) sangat diperlukan untuk
mendemonstrasikan keberadaan atau ketidak beradaan nilai-nilai kualitas
ekosistem dan konservasi seperti jenis-jenis yang secara regional dan global
terancam populasinya. Selain itu, data dan informasi tentang keragaman jenis
diperlukan sebagai data dasar (baseline) dan dasar kegiatan Pengelolaan Berbasis
Resort (RBM) yang mensyaratkan mengenai Biodiversity Assesmen sehingga
selanjutnya data hasil Survei tersebut merupakan bagian dari rencana pemantauan
biodiversitas untuk mengkaji kondisi dan keberadaan jenis serta dinamika
populasi dan keragaman jenis serta perkembangannya di taman nasional dari
waktu ke waktu.
Sebagai unit pengelolaan terkecil, peranan resort sangat penting dalam
pelaksanaan asessmen biodiversity dan ekosistemnya serta penentuan Key
Features Biodiversity untuk menghasilkan output yang diinginkan oleh Balai
Taman Nasional sebagai penentu kebijakan. Atas dasar tersebut serta kepentingan
keakuratan hasil Survei biodiversitas, diperlukan adanya metode ilmiah sebagai
Pedoman Teknis. Pada Pedoman Teknis ini, keragaman jenis yang dibahas hanya
meliputi elemen hewan dan tumbuhan sedangkan mikro-organisme tidak
dimasukkan. Disini keragaman jenis merujuk kepada jenis, kelimpahan jenis,
komposisi jenis dan komunitas, ekosistem dan bentang alam yang ada.
Dengan adanya Pedoman Teknis ini, diharapkan adanya pemahaman yang sama
terhadap Key Features Biodiversity (KFB) pada setiap level pengelolaan taman
nasional sehingga interpretasi terhadap gambaran penting suatu jenis spesies dan
ekosistemnya sesuai antara output dan outcame. Disamping itu masyarakat juga
dapat dilibatkan dalam Survei biodiversitas sehingga masyarakat dapat merasa
peduli dengan keberadaan taman nasional dan dapat lebih berpartisipasi aktif
dalam kegiatan pengelolaan taman nasional yang pada akhirnya akan memberikan
manfaat, baik itu kepada masyarakat, pada lingkungan maupun pada pelestarian
biodiversitas itu sendiri.

1.2. Dasar Hukum


Peraturan Perundangan yang melandasi Pengelolaan Berbasis Resort adalah
sebagai berikut :

A. Undang-Undang,
1. Undang Undang No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   2  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation


Convention Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Keanekaragaman Hayati).
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena
Protocol On Biosafety to The Convention on Biogical Diversity (Protokol
Cartagena tentang Kemaanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman
Hayati).
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
6. Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
7. Undang Undang No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
8. Undang Undang No. 9 Tahun 1990, tentang Kepariwisataan.
9. Undang Undang No.10 Tahun 1992, tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
10. Undang Undang No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang Untuk
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang Seimbang Melalui Perlindungan
Terhadap Lingkungan Hidup.

B. Keputusan Presiden,
1. Keppres No. 43 Tahun 1978, tentang Ratifikasi CITES (Convention on
International Trades of Endangered Species of Wild Flora and Fauna).
2. Keppres No. 32, tentang Kawasan Fungsi Lindung.
3. Keppres No. 48 Tahun 1991, tentang Pengesahan Convention On Wetland of
International Importance Especially as Waterfowl Habitat.

C. Peraturan Pemerintah,
1. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa
2. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar.
3. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985, tentang Perlindungan Hutan.
4. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986, tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL)
5. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993, tentang Deregulasi AMDAL.
6. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994, tentang Perburuan Satwa Buru.
7. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994, tentang Pengusahaan Pariwisata
Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman
Wisata.
8. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan
9. Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

D. Peraturan Menteri
1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Pedoman Konservasi Keanekargaman Hayati di Daerah.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   3  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

E. Keputusan Menteri
1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 689/Kpts-II/1989, tentang
Peraturan-peraturan untuk Perijinan Usaha di zona Pemanfaatan.
2. Surat Keputusan Menhutbun No. 687/Kpts-II/1999, tentang perubahan status
kawasan menjadi Taman Nasional Tanjung Puting
3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 878/Kpts-II/1992, tentang Tarif
Tanda Masuk ke Taman Nasional, Taman Hutan Wisata dan Taman Laut
4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 446/Kpts-II/1996, tentang Tata Cara
Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusaha Pariwisata Alam.
5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.29/Menhut-II/2006, tentang Perubahan
Pertama atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002
tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional
6. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006, tentang Pedoman
Zonasi Taman Nasional.
7. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan
Tumbuhan dan Satwa Liar.

F. Keputusan Dirjen
1. Keputusan Dirjen PHPA No. 59/Kpts/DJ-VI/1993, tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional.
2. Keputusan Dirjen PHPA No. 129/Kpts/DJ-VI/1996, tentang Pola Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, Dan Hutan
Lindung.

1.3. Tujuan
Survei keragaman jenis dilaksanakan untuk mendapatkan data dasar keragaman
jenis yang diperlukan, yaitu untuk (1); identifikasi jenis prioritas dan indikator
kualitas ekosistem serta upaya konservasi dimasa yang akan datang (2);
persyaratan validasi; dan (3) membuat rencana pemantauan keragaman jenis di
taman nasional dari waktu ke waktu.
Pedoman Teknis ini disusun berdasarkan pengalaman dilapangan, studi pustaka
dan hasil kajian keanekaragaman jenis, pengetahuan, dan pembelajaran. Pedoman
Teknis ini dimaksudkan sebagai petunjuk umum dalam pelaksanaan Survei
biodiversitas, khususnya di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting guna
mendukung kegiatan-kegiatan pengelolaan biodiversitas yang dapat diukur,
dilaporkan dan diverifikasi kebenarannya.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   4  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

CATATAN PENTING
PELAKSANAAN SURVEI

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   5  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

2. CATATAN PENTING
PELAKSANAAN SURVEI BIODIVERSITAS
2.1. Menentukan Wilayah Survei
Penentuan wilayah Survei biodiversitas dilakukan dengan pertimbangan sebagai
berikut:
• Survei biodiversitas dilaksanakan pada wilayah yang mewakili zona Taman
Nasional seperti : Zona Inti, Zona Rimba, Zona Bahari dan Perairan, Zona
Tradisional, Zona Pemanfaatan I dan Zona Rehabilitasi,
• Pada masing-masing zona tersebut, lokasi pengamatan dapat dijadikan Petak
Contoh Permanen atau Permanen Sample Plot (PSP), yaitu dengan melakukan
pertimbangan terhadap kriteria-kriteria, seperti: keterwakilan areal Survei,
kondisi biofisik lanskap, tipe ekosistem, kekompakan kawasan, keberadaan
habitat dan biodiversitas fauna flora indikator, aksesibilitas dan tingkat
kerawanan.
• Kegiatan Survei selanjutnya dilakukan di areal (lokasi PSP) yang mewakili
setiap zonasi Taman Nasional khususnya di SPTN Wilayah II.
• Selain untuk pengamatan biodiversitas, PSP lain juga dapat dikembangkan
menjadi petak percontohan (demonstration plot) pemanfaatan flora atau satwa
pada zona tertentu (Zona Pemanfaatan atau mungkin Zona Tradisional).

2.2. Menentukan Lama dan Waktu Survei


Waktu dan terbatasnya anggaran merupakan faktor pembatas utama yang
mempengaruhi terhadap pola, jenis dan metoda dalam melakukan Survei. Survei
biodiversity yang menyeluruh memerlukan waktu yang relatif lama, khususnya
pada daerah dengan habitat yang beragam. Penting untuk menentukan strategi
yang dapat memaksimalkan hasil Survei dan dapat mengidentifikasi satwa atau
flora yang penting di masing-masing habitat. Pertimbangan dapat berupa kriteria
seperti posisi geografis, tipe hutan atau penutupan lahan. Musim juga penting
untuk dipertimbangkan, biasanya selama musim kemarau di beberapa tempat mata
air mengering sehingga beberapa jenis mamalia dan burung yang tergantung air,
akan berkumpul di lokasi yang masih menyediakan air. Ini adalah saat yang tepat
untuk melakukan Survei karena beberapa jenis hewan mudah dijumpai dan
didokumentasikan.

2.3. Menyiapkan Tally Sheet dan Dokumentasi


Beberapa tally sheet harus disiapkan untuk menjamin bahwa setiap parameter
yang diperlukan dapat dikumpulkan dan tercatat dengan baik. Data dan informasi
perlu didokumentasikan dengan baik termasuk tally sheet/data, dan foto-foto, atau
kalau memungkinkan fotage film/video. Selain itu pemahaman dasar pembuatan
spesimen juga sangat diperlukan. Selain pembuatannya yang memerlukan
keterampilan tersendiri, spesimen harus diberi label informasi, seperti lokasi,
tanggal, jenis kelamin, keterangan habitat, kolektor dan nomor katalog.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   6  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

2.4. Menyiapkan Peta Lapangan dan GPS


Peta-peta juga harus disiapkan karena sangat diperlukan untuk setiap Survei
biodiversitas. Peta dasar, vegetasi, topografi, tutupan lahan dan peta lainnya
digunakan untuk menentukan lokasi dan penempatan petak contoh atau transek.
Penggunaan GPS sangat membantu dalam menentukan lokasi kordinat dan
menghasilkan peta lapangan yang akurat.

2.5. Menyediakan Peralatan Lapangan


Sebelum pelaksanaan Survei, sangat penting untuk menyiapkan peralatan yang
diperlukan. Anggota Survei harus memastikan bahwa peralatan tersebut dapat
berfungsi dengan baik, dicek dan dikalibrasi sebelumya agar siap digunakan.
Peralatan dasar Survei yaitu: Peta-peta, Kompas, Altimeter, Clinometer,
Hagameter, Kaliper, Kamera, Binokular, Monokular, Tape recorder, Buku catatan
pribadi, ATK, Tally sheet, Buku pengenalan jenis, Pita ukur, Tali, Pisau/gunting,
Penanda (tags), Kantong plastik, dan peralatan komunikasi (HT dan HP), serta
peralatan keselamatan yang meliputi Senter, Jas hujan, Obat-obatan dan Survival
Kit, bila memungkinkan Komputer juga disiapkan.

Gambar 1. Peralatan Survei Lapangan

2.6. Mengetahui Sumber Bias


Survei biodiversitas pada dasarnya adalah melakukan pengamatan terhadap
kondisi alam, kondisi alam tersebut dapat menjadi sumber bias bagi hasil
pengamatan. Beberapa sumber bias yang harus diketahui dalam pengamatan
adalah : kondisi habitat, aktivitas satwa, kesalahan atau keterbatasan pengamat,
metode dan peralatan yang digunakan, kecepatan Survei, tipe atau jenis yang
diamati, kepadatan populasi, musim atau cuaca serta waktu dalam sehari.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   7  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Untuk meminimalisir sumber bias tersebut maka seorang pengamat harus


melakukan terlebih dahulu studi literatur atau mengumpulkan informasi awal dari
sumber yang dapat dipercaya serta melakukan desain/rancangan pola pengamatan
yang akan dilakukan sesuai dengan waktu, biaya dan tenaga yang tersedia serta
obyek yang akan diamati seperti yang dijelaskan pada poin 2.2.

2.7. Mempertimbangan Keselamatan


Pekerjaan Survei mengandung resiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan,
terkadang pelaksanaan Survei yang dilakukan di daerah terpencil yang kondisi
alamnya sangat ekstrim (hutan yang lebat, topografi yang terjal, banyak satwa
berbisa/buas atau daerah endemis malaria dll.) dan jauh dari sumber pengobatan.
Oleh sebab itu beberapa tips menyangkut keselamatan adalah sebagai berikut :
• Selalu berkerja berdampingan. Hal ini penting agar bila terjadi kecelakaan ada
kawan yang memberikan pertolongan. Juga kemungkinan tersesat akan
berkurang apabila bekerja tidak sendirian. Beritahukan kapan kira-kira suatu
tim kembali, agar dapat dipastikan tim Survei kembali pada waktunya.
Tinggalkan catatan arah dan koordinat lokasi pengamatan kita di kamp induk.
• Melengkapi dengan peralatan keselamatan. Gunakan kompas (back azimut)
atau GPS (track back) apabila menyimpang dari trek yang ada di peta. Bawa
senter jika terpaksa kembali ke camp sesudah gelap. Bawa peralatan pelindung,
P3K dan GPS. Agar siap dengan kondisi darurat, maka harus juga menyiapkan
alat komunikasi seperti HT, HP atau telepon satelit, Survival Kit dan makanan
cadangan (roti kering, coklat atau energi bar).
• Menghindari organisme yang beracun atau berbahaya, mengenali jenis
tumbuhan yang berbahaya yang menyebabkan gatal, juga hindari hewan-
hewan seperti kalajengking, lebah, atau binatang penyengbat lainnya serta
waspada terhadap binatang buas seperti beruang, macan dahan, buaya dll.
Kebersihan adalah hal penting, luka kecil dapat menjadi berbahaya dan fatal.
Karena itu gunakan antiseptik, dan bersihkan setiap luka sekecil apapun untuk
mencegah infeksi.
• Menyediakan peralatan medis atau P3K serta waspada terhadap beberapa
bahan kimia berbahaya seperti formalin, alkohol, bahan bakar dsb.
Mengetahui teknik bertahan hidup di alam bebas (Teknik Survival), selalu
waspada dan gunakan akal sehat. Banyak kecelakaan karena orang melakukan
hal bodoh, misalnya menyeberang sungai di tempat yang salah, panik ketika
tersesat, memanjat pohon yang sudah rapuh dsb, kecelakaan seperti ini
sesungguhnya dapat dihindari. Sangat penting untuk memahami kemampuan
sendiri, dan selalu menghindari beberapa aktivitas yang berbahaya.

2.8. Menghargai Satwa (Animal Welfare)


• Hindari atau jangan melakukan pengamatan yang terlalu dekat dengan satwa
saat mereka sedang kawin, melahirkan/mengeram atau sedang makan,
• Hindari atau kurangi melakukan siulan serta suara panggilan tiruan yang dapat
mengganggu kehadiran satwa,

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   8  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Jangan mengganggu sarang satwa, karena kemungkinan kita dapat diserang


atau mereka akan meninggalkan sarang, anak/telur mereka,
• Jangan memegang anak atau merubah posisi telur yang berada dalam sarang
(kalau tidak ahli), karena dapat mengakibatkan stress pada anak dan
mengganggu proses penetasan pada telur,
• Jangan memasang perangkap yang dapat mencedrai satwa dan ini dapat
dianggap sebagai tindakan yang illegal,
• Hindari pembuatan spesimen yang berlebihan dan selalu menjaga etika
penanganan satwa apabila melakukan identifikasi jenis dengan penangkapan.
• Beritahukan pada masyarakat yang mendampingi penelitian, bahwa proses
penangkapan atau pembuatan spesimen yang dilakukan hanya diperkenankan
dalam rangka penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
sementara selain dari itu dianggap illegal.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   9  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS
SURVEI VEGETASI

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   10  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

3. SURVEI VEGETASI
3.1. Informasi Umum
Struktur vegetasi pada hutan hujan tropika terbagai ke dalam lima strata yaitu:
Strata A : 35 – 42 m, yang merupakan lapisan teratas pohon terbesar (pohon
dominan), Strata B : 20 – 35 m, lapisan kedua pohon yang lapisan tajuknya
sambung-menyambung, Strata C : 4 – 20 m, terdiri dari pohon muda (sapling –
pole) dengan tajuk yang mengerucut, Strata D : 1 – 4 m, merupakan pohon
belukar atau anakan pohon (seedling – sapling), dan Strata E : 0 – 1 m, merupakan
semak atau anakan pohon (seedling), guna untuk kepentingan analisis vegetasi
dilakukan pembagian vegetasi kedalam tingkat pertumbuhannya, menurut kriteria
sebagai berikut :
• Semai (Seedling): anakan pohon dengan ketinggian tidak lebih dari 1,5 m,
• Pancang/Sapihan (Sapling): semai yang telah tumbuh dengan ketinggian lebih
dari 1,5 m dan diameter batang kurang dari 10 cm,
• Tiang (Pole): tumbuhan berkayu dengan diameter batang yang berkisar antara
10 cm – 20 cm,
• Pohon (Trees): tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm,
Analisis vegetasi hutan bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur
vegetasi hutan. Pada vegetasi hutan alam, umumnya dilakukan dengan metode
petak dalam jalur, yaitu mencatat semua vegetasi yang ada berupa vegetasi
bawah, semai, pancang, tiang dan pohon.

Strata  A      
                 
Strata  B      
                 
Strata  C    
                   
Strata  D    
                   
Strata  E                      

Gambar 2. Struktur Vegetasi Hutan Hujan Tropika

3.2. Metode Survei


Metode yang biasa digunakan dalam Survei vegetasi adalah jalur berpetak, jalur
dibuat dengan memotong garis kontur atau tegag lurus arah sungai. Penentuan
panjang jalur dan jarak antar jalur tergantung pada intensitas sampling yang
ditetapkan untuk luas areal yang akan di Survei dan ketersediaan sumber daya.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   11  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Pada setiap jalur dibuat petak-petak pengamatan, yaitu petak 2 x 2 m yang


digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat semai dan vegetasi tumbuhan
bawah. Petak 5 x 5 m digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat pancang,
petak 10 x 10 m untuk menganalisis vegetasi tingkat tiang dan petak 20 x 20 m
digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat pohon.

Pada masing-masing petak tersebut dilakukan pengukuran tinggi, diameter


setinggi dada dan identifikasi jenis pohon, tiang, pancang, semai dan vegetasi
tumbuhan bawah. Untuk jenis yang tidak dikenal pada hutan alam, dilakukan
identifikasi melalui koleksi contoh herbarium. Identifikasi dapat dilaksanakan di
laboratorium-laboratorum Botani.

3.3. Analisis Data


Parameter-parameter dalam analisis vegetasi
1) Kerapatan Jenis
∑ individu
Kerapatan (K) =
Luas Petak Contoh

Kerapatan Suatu Jenis


Kerapatan Relatif (KR) = x 100%
Kerapatan Total Semua Jenis
2) Frekuensi
∑ Sub Petak Ditemukan Suatu Jenis
Frekuensi (F) =
∑ Seluruh Sub Petak Contoh

Frekuensi Suatu Jenis


Frekuensi Relatif (FR) = x 100%
Frekuensi Total Semua Jenis
3) Dominasi
Luas Bidang Dasar Suatu Jenis
Dominansi (D) =
Luas Petak Contoh

Dominansi Suatu Jenis


Dominansi Relatif (DR) = x 100%
Dominansi Total Semua Jenis
4) Indeks Nilai Penting (INP)
INP = KR + FR + DR à (untuk tingkat Tiang dan Pohon)
INP = KR + FR à (untuk tingkat Semai dan Pancang)

5) Indeks Keragaman
s H = Indeks diversitas Shannon-Wiener
s = jumlah spesies
Shannon Index: H =
∑ pi log pi pi = ni/N
i=1 ni : jumlah individu spesies I dan
N : total individu di seluruh plot.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   12  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS UNTUK SURVEI VEGETASI

A. Informasi Umum
Analisis vegetasi dilakukan dengan membagi vegetasi kedalam tingkat
pertumbuhannya, menurut kriteria sebagai berikut :
• Semai : anakan pohon dengan ketinggian tidak lebih dari 1,5 m
• Pancang : semai yang telah tumbuh dengan ketinggian lebih dari 1,5 m
dan diameter batang kurang dari 10 cm
• Tiang: tumbuhan berkayu dengan diameter batang antara 10 cm – 20 cm
• Pohon : tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm
Analisis vegetasi tujuannya adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur
vegetasi hutan. Analisis vegetasi hutan alam, umumnya dilakukan dengan metode
petak dalam jalur (jalan setapak), analisis dilakukan terhadap tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon.

B. Peralatan
• GPS (untuk menentukan & merekan titik lokasi, penandaan posisi pohon, dll),
• Peta survey atau peta vegetasi skala 1 : 20.000 (untuk panduan lokasi survei),
• Kompas (untuk menentukan arah jalur),
• Meteran (untuk mengukur diameter dan jarak jalur),
• Haga atau hypso meter (untuk mengukur tinggi pohon),
• Tali (untuk pembuatan jalur dan petak serta tali off),
• Patok (untuk membuat tanda jarak, petak, atau batas yang lain),
• Parang (untuk merintis, memotong patok, tali dll),
• Peralatan herbarium (untuk menyiapkan sampel herbarium),
• Kamera (untuk keperluan dokumentasi),
• Tally sheet (untuk daftar isian data),
• Peralatan tulis (untuk keperluan pencatatan, sketsa dll). 

C. Prosedur
1. Menentukan lokasi analisa vegetasi pada peta berdasarkan zona yang ada
pada Taman Nasional Tanjung Puting.
2. Menentukan lokasi analisa vegetasi di lapangan dengan menggunakan alat
bantu GPS.
3. Membuat jalur pengamatan dengan memotong garis kontur atau tegak lurus
arah sungai.
4. Menentukan titik awal jalur, panjang jalur dan jarak antar jalur yang
tergantung pada intensitas sampling yang ditetapkan untuk luas areal yang
akan diSurvei dan ketersediaan sumber daya.
5. Membuat petak-petak pada jalur pengamatan sebagai berikut (Gambar 3) :

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   13  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Petak 2 x 2 m digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat semai dan


tumbuhan bawah (A)
• Petak 5 x 5 m digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat pancang (B)
• Petak 10 x 10 m digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat tiang (C)
• Petak 20 x 20 m digunakan untuk menganalisis vegetasi tingkat pohon (D)

A  
B  
A
C  
aD  

D  

Gambar 3. Desain jalur petak pengamatan vegetasi

6. Melakukan pengukuran tinggi, diameter setinggi dada (30 cm di atas banir)


dan identifikasi jenis pohon pada petak berukuran 20 x 20 m.
7. Melakukan pengukuran tinggi, diameter setinggi dada (30 cm di atas banir)
dan identifikasi jenis tingkat tiang pada petak berukuran 10 x 10 m.
8. Melakukan pencatatan dan identifikasi jenis pohon tingkat sapling/sapihan
pada petak berukuran 5 x 5 m.
9. Melakukan pencatatan dan identifikasi jenis anakan/seadling pohon dan
tumbuhan bawah pada petak berukuran 2 x 2 m
10. Mengukur diameter pada ketinggian 1,3 meter atau 30 cm di atas banir
dengan menggunakan alat pita diameter dan alat bantu tongkat diameter.
11. Mengukur tinggi pohon dengan menggunakan clinometer atau hagameter.
12. Mencatat data dalam tally sheet seperti contoh Tabel 1 dan 2 berikut :

Tabel 1. Tally Sheet untuk Analisa Vegetasi tingkat semai dan pancang

Tanggal :
Lokasi :
Regu :
Kordinat :
Ukuran Petak :
Jumlah
No. Nama Jenis Nama Lokal Keterangan
Individu

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   14  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Tabel 2. Tally Sheet untuk Analisa Vegetasi tingkat tiang dan pohon

Tanggal :
Lokasi :
Regu :
Kordinat :
Ukuran Petak :
No. Nama Jenis / Nama Lokal Tinggi (m) Diameter (cm) Keterangan

13. Mengidentifikasi jenis yang tidak dikenal pada hutan alam dengan membuat
herbarium. Data yang penting untuk dicatat pada herbarium adalah: lokasi
pengambilan (adminsitrasi dan geografi), keterangan habitat, ketinggian dpl,
tanggal koleksi, sifat sifat pohon seperti kulit, getah, dan nama pencatat.
Pohon yang sudah tercatat diberi nomor/tag dari alumunium untuk keperluan
monitoring diwaktu yang akan datang. Contoh label pencatatan koleksi
herbarium seperti gambar berikut.

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING


SEKSI PENGELOLA TAMAN NASIONAL WILAYAH II KUALA PEMBUANG
RESORT BAUNG / TANJUNG RENGAS / SUNGAI PERLU

Shorea belangeran (kalau belum tahu kosongkan saja)


NAMA LOKAL : Belangeran
HABITAT : Dominan di hutan rawa gambut, dekat daerah
yang agak terendam dst…….
UTM : 25U 657033 9819600 NAD
LAT_LONG : 3º17’39” - 3º32’30”LS
111º54’03” - 112º10’16”BT ELEV. 5 m.dpl
KOLEKTOR/ TIM Agus D, Lukman, Budiyansyah, Mindra,
KOLEKSI : Primatodi, Alfian, Agus.. (nama yang terlibat)
NO. KOLEKSI : 0020 TGL. KOLEKSI : 27 Januar 2014
NO. PLOT : A28B7 ZONA : Rimba
CATATAN : Diameter batang 50 cm, Getah kuning kehitaman,
kulit batang pecah beralur, sedang berbunga dst….
(semua yang menarik dicatat)

Gambar 4. Label Pencatatan Koleksi Herbarium

14. Contoh herbarium diidentifikasi di laboratorium seperti Herbarium


Bogoriense-LIPI atau Bagian Botani Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi,
Bogor.
15. Melakukan analisis data dengan menggunakan rumus perhitungan sesuai
kebutuhan data yang akan diperoleh.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   15  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS
SURVEI MAMALIA

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   16  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

4. SURVEI MAMALIA
4.1. Informasi Umum
Keberadaan satwa liar, populasi dan keragaman jenis merupakan indikator dari
kualitas vegetasi atau habitat hutan. Satwa yang menjadi indikator umumnya
adalah mamalia, primata, burung dan herpetofauna. Mamalia merupakan salah
satu dari kelas vertebrata yang memiliki sifat homoitherm (berdarah panas). Ciri
khas mamalia adalah menyusui, melahirkan dan memiliki bulu.
Data yang harus dikumpulkan dalam Survei mamalia meliputi jenis satwa yang
teramati atau berdasarkan jejak dan suara, jumlah individu, jenis kelamin (jantan
atau betina), kelompok usia (bayi, muda, atau tua), aktivitas satwa, pemanfaatan
ruang (lokasi satwa liar strata hutan), waktu teramatinya satwa, serta kondisi
habitat tempat ditemukannya satwa.

4.2. Metode Survei Mamalia


4.2.1. Metode Transek
Metode transek adalah metode pengamatan satwa mamalia besar seperti;
herbivora (banteng, rusa, kijang dll), primata (orangutan, owa, bekantan dll),
carnivora (macan dahan, beruang madu, musang dll) dengan membuat garis atau
jalur transek pada lokasi terpilih (areal PSP). Jumlah dan panjang transek
tergantung dari besar dan luas areal yang akan dijadikan petak contoh
pengamatan. Survei dilaksanakan dengan mengikuti transek atau jalur dan
mencatat lokasi, jumlah dan aktivitas satwaliar yang ditemui di sepanjang jalur.
Penempatan transek ini dapat dengan cara acak atau ditempatkan pada daerah-
daerah habitat yang merupakan tempat dijumpainya satwa yang akan
diinventarisasi (berdasarkan hasil Survei pendahuluan atau hasil studi pustaka).
Penempatan transek dapat dilakukan secara sistematis, random, zig-zag, dengan
stratifikasi, mengikuti jalan setapak (recce wolk) atau jalan setapak
dikombinasikan dengan jalur transek seperti gambar berikut :

Sistematis Random

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   17  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Zig-zag Stratifikasi

Jalan Setapak Jalan Setapak + Transek


Gambar 5. Pola penempatan transek

• Metode Transek Jalur (Strip Transect).


Metode ini merupakan salah satu cara yang sering digunakan dalam pengumpulan
data jenis dan jumlah individu satwaliar. Panjang dan lebar jalur yang digunakan
disesuaikan dengan kondisi topografi dan kerapatan tegakan di lokasi pengamatan
(berkisar antara 25 – 50 m). Data dicatat dari perjumpaan langsung dengan satwa
mamalia yang berada dalam lebar jalur pengamatan sementara untuk satwa yang
berada diluar jalur pengamatan (A) tidak dilakukan pencatatan.

Catatan :
L : garis transek
Z : posisi pengamat
X : satwa yang diamati
ri : jarak pengamatan
W = lebar transek
θi = sudut pengamatan
yi = jarak tegak lurus ( y = r sin θ)
A = Areal diluar pengamatan

Gambar 6. Pengamatan dengan transek jalur

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   18  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Metode Transek Garis (Line transect):


Pada dasarnya metode transek garis hampir sama dengan transek jalur. Cara dan
prosedur yang dilakukan juga sama dengan metode transek jalur. Perbedaan yang
mendasar adalah metode transek garis tidak menentukan jarak ke kanan dan ke
kiri, harus menentukan jarak antara satwa dan pengamat (jarak lurus) atau jarak
pengamatan., serta harus menentukan sudut kontak antara posisi satwa yang
terdeteksi dengan jalur pengamatan atau sudut pengamatan.
Metode transek garis dilaksanakan oleh pengamat yang berjalan di sepanjang
garis transek dan mencatat setiap data yang diperlukan. Dengan menggunakan
metode ini, lebar atau luas dari lokasi pengamatan tidak langsung ditetapkan.
Seorang pengamat, dapat mencatat setiap jenis mamalia yang teramati sesuai
dengan kemampuan jarak pandang masing-masing pengamat.

Keterangan:
* Posisi pencatat
• Satwa yang terlihat
α Sudut pandang, yaitu
sudut yang terbentuk
antara arah transek
dengan posisi satwa

Gambar 7. Pengamatan dengan transek garis

4.2.2. Metode Pengamatan terkonsentrasi (Concentration count)


Dasar pemikiran metode ini adalah perkiraan bahwa hewan pasti berkumpul pada
suatu tempat untuk makan dan minum atau melakukan perkawinan. Oleh karena
itu dalam metode ini pengamatan dilaksanakan terkonsentrasi pada suatu titik
yang diduga sebagai tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya
tempat tersediaanya pakan, air untuk minum dan lokasi tidurnya.
Pengamatan dengan metode ini dapat dilakukan pada tempat yang tersembunyi
sehingga tidak mengganggu aktivitas satwa. Metode ini juga dapat digunakan
untuk Survei populasi herbivora, primata dan karnivora, namun apabila disuatu
lokasi ditemukan sumber pohon pakan (pohon Ficus/Ara) atau mata air yang
mengandung garam pengamatan burung-burung tertentu juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode pengamatan terkonsentrasi ini.

4.2.3. Metode Pengamatan Satwa Target (Scan Sample)


Metode ini digunakan untuk mengetahui bentuk tingkah-laku individu satwa
target dalam melakukan aktivitas harian dalam kelompok, sebagai pelengkap
digunakan strata dalam suatu habitat.
Data yang diambil atau pencatatan dilakukan terhadap aktivitas harian utama atau
countable, seperti makan (feeding), istirahat (resting), bermain (playing), dan
bersarang (nesting), dan aktivitas harian sosial atau uncountable, seperti
menyelisik (grooming), kawin (kopulasi), berteriak (argonistik), dll.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   19  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

4.2.4. Metode Focal Animal


Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh J. Altmann pada tahun 1974, yang
digunakan untuk pengamatan prilaku (behavior) berdasarkan satu individu target,
komposisi jenis kelamin (sex ratio), komposisi umur dan besar tubuh serta
interaksi individu dengan individu dan jenis lain.
Metode ini dapat digunakan untuk primata yang berkelompok maupun soliter.
Beberapa hal yang perlu dicatat dalam metode ini antara lain adalah:
• Jam satwa mulai aktif,
• Jenis aktivitas selama pengamatan,
• Lama masing-masing aktivitas,
• Tempat beraktivitas (di atas pohon / tanah dan dimana posisinya),
• Bagaimana interaksinya antar individu dan jenis lain,
• Catatan lain yang menarik selama pengamatan.

4.2.5. Metode Ad Libitum


Metode ini merupakan metode pelengkap dari metode Focal Animal, yang
tujuannya mencatat secara kronologis tentang sifat dan karakter penemuan.
Mekanisme dari metode ini, adalah melakukan pencatatan terhadap satwa secara
kronologis bentuk kejadian yang dianggap penting semejak penemuan sampai kita
terpisah dari satwa yang ditemukan tersebut. Catatlah kejadian atau mengenai hal-
hal yang menarik disetiap menit dan kalau perlu buatlah sebuah sketsa.

Gambar 8. Sketsa Sebagai Catatan Kejadian dalam Metode Ad Libitum

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   20  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

4.2.6. Metode Marsh


Metode ini merupakan metode pelengkap dari metode Scan Sample, Focal
Animal, dan Ad Libitum, yaitu yang mengetengahkan keberadaan habitat yang
berkaitan dengan hewan yang diamati tadi di suatu kawasan.
Mekanisme dalam metode ini merupakan bentuk modifikasi jalur dengan jalur
berpetak penelaahan vegetasi. Ini dilakukan untuk dapat menggambarkan secara
kuantitatif dukungan habitat terhadap kawasan tersebut.
Mekanisme kerja dari metode jalur pengamatan satwa dilakukan ihtisar vegetasi
dengan membuat jalur berpetak sepanjang kanan dan kiri jalur, dengan batas
terluar 10 m. Penelaahan vegetasi ini dilakukan setiap 50 meter secara bergantian
atau selang seling sampai pada akhir jalur.
Pencatatan vegetasi meliputi antara lain:
• Inventarisasi pohon yang berdiameter lebih dari 30 cm,
• Interval tinggi pohon,
• Jenis pohon,
• Pencarian sampel buah,
• Bentuk dan lebar tajuk
• Ketinggian habitat (m.dpl).

50  m  
10  m   Jalur    
Transek  

10  m  

50  m  
Gambar 9. Jalur Berpatak pada Metode Marsh

4.2.7. Metode Lingkaran (Point Center Count)


Metode ini untuk pengamatan terhadap primata berkelompok yang sulit di ketahui
jumlah anggota kelompoknya dalam waktu cepat. Dengan metode ini pengamat
melakukan pencatatan berdasarkan suara seperti jenis gibbon, monyet pemakan
daun dan primata lainnya. Tahapan pengamatan adalah menentukan jarak suara
yang dapat terdengar dengan baik, seperti gibbon antara 750-1100 m, dan monyet
pemakan daun 500 m.
Pencatatan dilakukan melalui suara individu primata dalam kelompok yang
berada dalam lingkaran dengan radius suara primata tersebut dan pengamat berada
di titik pusat lingkaran. Arah suara diketahui dan dicatat dengan menggunakan
kompas. Sampel ini dilakukan di beberapa titik yang jaraknya lebih dari garis
tengah lingkaran contoh dengan luas contoh masing-masing πR2 .

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   21  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Cara Pengambilan Sampel pada Metode Lingkaran


Jarak radial 11 obyek yang terdeteksi ditandai sebagai r1, r2...r11 (lihat
Buckland et al., 2001). Lingkaran mewakili jarak maksimal dari tengah dimana
objek terdeteksi.

Gambar 10. Pengamatan dengan Metode Lingkaran

4.2.8. Metode Repleksi Peta (Intersection)


Metode ini tidak lazim digunakan, namun untuk menginventarisasi primata yang
mengeluarkan suara keras seperti Kelawat, Ungko dan Owa serta bangsa Lutung,
metode ini dianggap efektif untuk mengetahui jumlah kelompok, pergerakan
hariannya serta habitat yang digunakan.
Pencatatan dilakukan oleh dua orang pengamat pada saat yang bersamaan, jarak
antara pengamat berkisar 50 – 100 m dan posisinya direkam (marking) dalam
GPS. Apabila terdengar suara kedua orang pencatat melakukan pencatatan
koordinat kompas dari masing-masing kedudukan pengamat kearah datangnya
suara (metode pencatatan hampir sama dengan metode lingkaran). Data koordinat
peta dari kedua pencatat diproyeksikan dan disatukan di dalam peta, sehingga
terlihat titik perpotongan koordinat arah suara yang dicatat oleh kedua pengamat.

Keterangan:
P1 & P2 = Posisi pencatat
s1 … s6 = Suara satwa yang
diproyeksikan
α Garis proyeksi merupakan
perpanjangan garis koordinat
arah suara yang diperoleh P1
dan P2

Gambar 11. Pengamatan dengan Metode Intersection

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   22  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

4.2.9. Metode perangkap (Trapping)


Metode ini digunakan untuk menginventarisasi jenis mamalia kecil yang aktif di
lantai hutan sampai di tajuk pertengahan seperti tupai tanah, tikus, bajing
kelelawar dll. Perangkap dipasang secara sengaja (purposive) pada habitat tertentu
yang diduga merupakan habitat utama bagi berbagai mamalia kecil, misalnya
cerukan gua, lubang di pohon, bekas lubang di tanah, bekas lapukan pohon dan
sejenisnya. Hal ini dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin besar.
Perangkap yang digunakan adalah life trap sehingga satwa yang tertangkap tidak
akan mati. Setelah satwa tertangkap catat beberapa hal seperti warna tubuh,
bentuk tubuh, panjang total, jenis kelamin, berat tubuh serta ciri lain yang
menarik. Apabila satwa yang terperangkap sulit untuk diidentifikasi, satwa
tersebut dapat diawetkan untuk keperluan identifikasi misalnya oleh LIPI.
Penggunaan perangkap hidup juga dilakukan pada penelitian dengan metode
tangkap lepas. Satwa ditangkap, ditandai, dilepaskan dan ditangkap kembali.
Jangan lupa pula mencatat nama lokasi temuan dan tipe habitatnya.

Gambar 12. Perangkap Kurung untuk Bangsa Rodensia dan


Perangkap Harpa untuk Bangsa Kelelawar

4.2.10. Metode Jejak Satwa (Track Count’s Method)


Jejak (tracks) adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh satwaliar yang
menjadi penanda kehadiran satwaliar tersebut pada habitat tertentu. Jejak dapat
berupa jejak kaki (foot-­‐   print), bekas-­‐bekas makan (feeding signs), bekas cakaran
(claw sign), tempat berkubang, rambut dan bulu, sarang, bau yang ditinggalkan,
dan sebagainya. Jejak-­‐jejak yang ditinggalkan oleh satwa mamalia dapat
membantu untuk mengetahui keberadaan dan kehadiran jenis mamalia disuatu
tempat walaupun mamalia tersebut tidak ditemukan secara langsung.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   23  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Meskipun metode jejak satwa merupakan metode klasik (sudah digunakan sejak
peradaban berburu dan meramu), namun metode ini masih relefan digunakan
dalam Survei contohnya digunakan dalam pendugaan populasi harimau, badak
dan banteng. Metode ini dapat digabungkan dengan metode jalur (line transek)
sebagai metode utama. Dengan menggunakan metode ini pengamat dapat
melakukan dugaan terhadap populasi satwa disuatu daerah, mengetahui
pergerakannya, sebaran, aktivitas serta habitat yang disukai.
Persyaratan dalam pencatata jejak yang telah ditentukan adalah sebagai berikut:
• Jejak yang boleh diukur adalah yang masih jelas (kurang dari 2 atau 3 hari).
• Lebar tapak rata-rata dihitung paling sedikit 10 tapak sepanjang jalur.
• Standar deviasi dari setiap tapak terhadap ukuran rata-rata supaya dihitung.
• Hanya jejak pada tanah yang berstruktur teguh/kuat yang dapat diukur.

Jejak Anjing (Canis familiaris) Jejak Macan Dahan (Nefelis nebulosa)


Gambar 13. Foto Jejak dengan Pembanding Caliper yang Tercetak Pada Tanah
Berstruktur Kuat

Berdasarkan jejak yang ditemukan juga dapat diperkirakan panjang tubuh satwa
yang bersangkutan yaitu dengan mengukur Panjang Langkah atau jarak antara
kaki depan/belakang yang sama (kiri sama kiri atau kanan sama kanan). Serta
lebar tubuhnya yaitu dengan mengukur jarak antara sisi luar kaki kiri
depan/belakang dengan sisi luar kaki kanan depan/belakang (Lebar Langkah),
bahkan oleh orang yang sudah ahli dapat diperkirakan berat tubuhnya berdasarkan
panjang dan lebar langkah tersebut.

Gambar 14. Parameter pengukuran jejak, A : Parameter pengukuran pada


masing-masing jejak, B : Parameter pengukuran pada jalur jejak

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   24  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Pencetakan jejak dan identifikasi kehadiran satwaliar 


Jejak yang ditemukan harus dicatat untuk membantu memperkuat identifikasi.
Cara membuat record jejak satwa mamalia, yaitu:
• Bekas-­‐bekas makan Bekas makan yang ditinggalkan satwa berupa buah, bekas
renggutan, potongan sisa pakan dapat dibawa dan dipreservasi untuk keperluan
identifikasi lebih lanjut. Bekas gigitan dan sisa makan yang ditinggalkan dapat
dibuat awetan basahnya dengan merendam bekas-­‐bekas makanan tersebut
dalam alkohol (70%). Sebelum diawetkan dapat difoto terlebih dahulu (bentuk
buah, bekas gigitan, corak warna, dan sebagainya) dengan menggunakan
ukuran pembanding (meteran atau mistar).
• Bekas cakaran dan bekas kubangan Bekas cakaran diambil fotonya secara
mendetail juga dengan menggunakan ukuran pembanding. Untuk pengambilan
foto bekas kubangan apabila kubangan cukup besar, pembanding dapat
menggunakan orang dewasa dengan memperhatikan detil foto seperti jenis,
kondisi tanah, bekas-­‐bekas jejak, sisa makanan, bulu dan sebagainya.
• Cara mencetak jejak dengan bahan gipsum adalah; (1) Jejak sebelumnya
dibersihkan dari kotoran seperti dedaunan, kerikil, tanah dan sebagainya, (2)
Mempersiapkan Gipsum, Air dan Kaleng pengaduk, (3) Mengaduk gipsum
dengan air dengan perbandingan 5 bagian air dan 2 bagian gipsum sampai
membentuk adonan yang merata dan tidak terlalu encer atau bertekstur seperti
pasta gigi, (4) Menyiapkan pita karton untuk frame cetakan (5) Meletakan
frame cetakan pada jejak yang akan dicetak, (6) Tuangkan adonan pada
permukaan jejak sampai rata dengan tinggi sekitar 2,5 cm dari permukaan
tanah di atas jejak, (7) Cetakan gipsum sebelum mengeras (10-­‐15 menit) diberi
label identitas dengan mencantumkan waktu (tanggal, bulan, tahun),
lokasi/blok hutan; spesies satwa (jika diketahui); bagian kaki mana yang
jejaknya dicetak seperti RF (kaki belakang kanan), LF (kaki belakang kiri), RH
(kaki depan kanan), LH (kaki depan kiri), nama jenis, tanggal pencetakan, no.
koleksi dll, (8) Cetakan gipsum yang telah mengeras (30-60 menit) diangkat.

Gambar 15. Cara Pencetakan Jejak Satwa

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   25  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Bekas rambut, bulu, sarang, dan bau. Bekas rambut, bulu, dan sarang yang
sudah terpakai juga diambil dan ditaruh pada kantong plastik atau wadah kedap
udara, dan sebelumnya difoto menggunakan ukuran pembanding. Apabila
mungkin bau yang ditinggalkan dapat ditanyakan kepada pemandu lapang.

4.2.11. Metode Kamera Trap (Camera-trapping)


Metode ini merupakan metode yang paling canggih dan baru karena
menggunakan perangkat fotografi yang khusus dan terbilang masih cukup mahal.
Penggunaan kamera trap dalam inventarisasi satwa dilaksanakan guna
mendapatkan data tanpa kehadiran pengamat (misalnya banteng, badak, macan
dahan, beruang madu dll). Kamera harus memiliki sensor yang baik (termasuk
autofocus). Juga perlu dipertimbangkan jenis baterai yang baik untuk dipasang
dalam kamera trap untuk pengamatan jangka panjang (bisa sebulan penuh).
Kamera diletakkan pada lokasi-lokasi yang diduga menjadi daerah jelajah, alur
jalan pergerakan satwa yang akan di inventarisasi. Guna mempermudah dalam
mencari kembali lokasi penempatannya maka jangan lupa merekam titik lokasi
penempatan setiap kamera trap kedalam GPS. Bacalah buku manual sebelum
pengesetan alat dilapangan, karena setiap tipe/merek kamera trap memiliki cara
kerja dan perlakuan yang berbeda.
Metode kamera trap dapat digunakan untuk tujuan antara lain; (1) mengungkap
keberadaan populasi satwa disuatu daerah, (2) mengungkap sebaran satwa, (3)
mengungkap komposisi umur dan jenis kelamin. Hal tersebut akan didapat dengan
membandingkan dan menganalisa hasil-hasil foto yang sudah didapat.

Gambar 16. Cara Pemasangan Kamera Trap

4.2.12. Metode Pengamatan Cepat (Rapid Assesment)


Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis-­‐jenis mamalia yang terdapat di
lokasi pengamatan. Pengamatan tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus
atau lokasi khusus. Pengamat cukup mencatat jenis-­‐jenis mamalia yang
ditemukan, misalnya pada saat melakukan survei lokasi, berjalan diluar waktu

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   26  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

pengamatan, dan sebagainya. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui


jenis-jenis mamalia yang berada di lokasi pengamatan, tetapi tidak dapat
digunakan untuk menghitung pendugaan populasi.
Pengamatan keragaman mammalia dimulai dengan cara berjalan lamban di hutan
dan mencatat semua satwa yang dilihat. Survei ini dilaksanakan di samping survei
satwa lainnya (burung, reptil, ampibi, ikan dan serangga).
Keberadaan satwa diperkirakan berdasarkan suaranya yang diperdengarkan di
pagi hari. Owa dan lutung disurvei melalui jalur silang menyilang dan dipetakan
dari sudut tempat yang menguntungkan. Semua metode yang dipakai
dimaksudkan agar gangguan sedikit mungkin.
Tidak ada satwa yang dikhususkan dan tidak ada usaha penangkapan (meskipun
mamalia kecil). Bila satwa berkelompok, ini dicatat pada pengamatan bebas
(Altmann, 1974), dan data secara berkelompok (Martin & Bateson, 1992) dicatat
mengenai tipe hutan, urutan gangguan dan ketinggian.
Pengambilan contoh pengamatan Adlibitum sebanyak-banyaknya tidak
dianjurkan untuk penelitian jangka panjang secara komprehensif (Martin &
Bateson, 1992), tetapi adanya system jalan rintis, penelitian diadakan dalam
waktu relatif singkat, satwa yang diteliti terlalu liar dan sulit mengamatinya.
Data mengenai ancaman pada mammalia dan satwa lainnya dimulai dengan
mencatat spesies yang ditangkap dan dijual di kota-kota setempat ditambah
dengan hasil wawancara dengan penduduk setempat mengenai pemanfaatan hasil
hutan dan satwa liar.

4.3. Trik Pengamatan Mamalia dan Pengambilan Data Tambahan


4.3.1. Trik Pengamatan
• Pengamatan dianjurkan dilakukan maksimal oleh 3 orang pengamat (minimal
satu orang laki-laki) secara terpisah untuk menghindari terganggunya satwa,
serta konsentrasi pengamat.
• Mencari tempat-­‐tempat yang relatif terbuka, tajuk tajuk pohon yang tidak
terlalu rapat, jalur jalan, tepi hutan, tepi sungai, tebing, dekat bebatuan, untuk
memudahkan pengamatan dan penemuan satwa. Jenis pohon seperti Ficus sp,
Syzigium sp, Garcinia sp, merupakan pohon berbuah pakan satwa yang sering
didatangi satwa.
• Memakai pakaian berwarna gelap, tidak mencolok, atau berpola serta
tidak menggunakan wangian.
• Berjalan perlahan-­‐lahan dan berhenti 10 menit untuk pengamatan.
Jangan banyak bergerak, bersuara keras, dan selalu hati-­‐hati.
• Jika satwa terlihat, menjaga jarak, sedapatnya bisa mengenali jenis tersebut dan
jika terlalu jauh gunakan binokuler.
• Mencatat segala informasi, baik itu buah, daun yang dimakan, aktivitas yang
dilakukan satwa, kondisinya dll. Bertanya pada guide jika tidak mengetahui
jenis pohon tempat satwa.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   27  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Mencocokkan dengan field guide sedang waktu istirahat, untuk membuka buku
identifikasi karena, bila terlalu lama bisa lupa.
• Bekas tapak (foot-prints) kemungkinan mudah dijumpai ditempat-­‐tempat yang
becek yang bertanah lunak atau yang berpasir halus. Tempat-­‐tempat tersebut
diantaranya di sekitar sungai/sungai kecil/aliran air, dan genangan air.
• Bekas tapak yang hendak dibuat cetakan jejaknya (gipsum), boleh dibersihkan
seperlunya, asalkan tidak merusak bentuk asal foot-prints. Gipsum yang telah
mengeras diberi kode disisi punggungnya, yang merujuk pada catatan dibuku
(jenis, lokasi penemuan, keterangan lain-­‐lain).
• Pemasangan trap sedapatnya dilakukan didekat jalur lintasan satwa, dekat
sumber air, jalan setapak, dekat pohon yang besar dan berlubang. Umpan dapat
dioleskan pada sisi luar perangkat terutama dekat pintu perangkap.
• Data sekunder dapat dilengkapi dengan mewawancarai orang desa, guide, atau
porter. Untuk melengkapi data, wawancara langsung dengan warga dan
menunjukkan gambar-gambar pada field guide jenis yang ada di lokasi
• Tidak semua orang desa merupakan pengamat yang baik. Sehingga akurasi
ingatan bisa saja bervariasi. Pemburu satwa biasanya mengamati dengan baik,
sehingga dapat diandalkan.
• Menghindari terjadinya pendugaan yang tidak masuk akal, sehingga tidak
terjadi over atau underestimate.
• Data sangat penting tetapi keselamatan pengamat lebih penting jadi berhati-­‐hati
saat melakukan pengamatan.

4.3.2. Mengambil Data Tambahan, 


Wawancara 
Pengambilan data dengan cara mewawancarai masyarakat sekitar mengenai
keberadaan jenis-­‐jenis mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan. Keterangan
dari masyarakat dapat diverifikasi dengan misalnya mencocokan dengan buku
panduan pengenalan jenis mamalia. Beberapa contoh pertanyaan yang
disampaikan kepada responden yaitu :
• Pengetahuan mengenai keberadaan mamalia dan jenis-­‐jenis mamalia jenis apa
saja yang pernah ditemui oleh responden.
• Pengetahuan responden mengenai jenis mamalia yang pernah ditemui, ciri- ciri
fisik, perilaku, dan pola aktivitas (diurnal, nokturnal, terestrial, arboreal, dan
sebagainya).
• Lokasi tempat perjumpaan dengan mamalia: Lokasi mamalia sering dijumpai
keberadaan sarang, keberadaan bekas jejak (cakaran, kotoran), dan pola
pergerakan mamalia (relatif menetap atau berpindah tempat, relatif dapat
ditemui di berbagai lokasi atau hanya pada satu lokasi saja).
• Pengetahuan mengenai kelimpahan jenis mamalia: misalnya mamalia tersebut
sering dijumpai atau tidak, apakah dijumpai dalam jumlah besar atau sedikit.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   28  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Kapan terakhir kali mamalia tersebut dijumpai.


• Beberapa contoh pertanyaan untuk mengetahui kearifan tradisional masyarakat
terkait dengan pelestarian mamalia di lokasi penelitian, antara lain yaitu; (1)
Apakah sering terjadi perburuan mamalia, atau ada waktu tertentu menurut
adat, (2) Apakah mamalia yang ada di kawasan sering dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk upacara adat, (3) Apakah ada mitos yang berhubungan
dengan salah satu atau mungkin beberapa jenis mamalia, (4) Apakah mamalia
sebagai sumber pakan, obat-obatan, atau hewan peliharaan. 

Studi literatur 


Studi literatur digunakan sebagai bahan acuan untuk mendapatkan data awal
mengenai keberadaan berbagai spesies mamalia pada lokasi pengamatan
berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Sebagai data sekunder bahan
pembanding dengan hasil penelitian yang akan dilakukan, sehingga dapat
diketahui apakah terjadi penurunan atau penambahan jumlah jenis, maupun
peningkatan dan penurunan populasinya. 

4.4. Analisis Data


4.4.1. Menaksir kepadatan populasi dan jumlah populasi

Transek Jalur dan Garis


Kepadatan atau kelimpahan populasi

Dimana :
D = Kepadatan populasi (Jumlah individu/ha)
n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek
Pendugaan/penaksiran jumlah populasi
• Menggunakan rata-rata jarak dengan pencatat (D),
Axn Dimana :
PD = PD = Jumlah populasi
2 L WD n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek
A = luas kawasan
• Menggunakan rata-rata jarak
  dengan terdekat (Y),
Axn Dimana :
PY = PY = Jumlah populasi
2 L WY
n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek
A = luas kawasan

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   29  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Penghitungan Konsentrasi (Concentration Count) :


} untuk menentukan kerapatan atau kelimpahan populasi:
Dimana :
Σ y dilokasi pengamatan D = kepadatan (ekor/ha)
D=
L wilayah pengamatan y = satwa yang teramati
L = luas
} untuk menentukan jumlah populasi:
P = ∑n Xi Dimana :
P = Populasi
Xi = jumlah individu yang dijumpai pada pengamatan ke-­‐i (individu)
n = jumlah ulangan pengamatan

4.4.2. Keanekaragaman Jenis Satwa


Keanekaragaman jenis satwa diketahui dengan menggunakan indeks
keanekaragaman Shannon, yaitu:
ni ni Dimana :
H’ = ∑ In H’ = indeks keanekaragaman jenis (Shannon & Weaver)
N0 N0
ni = jumlah individu dalam satu jenis
N0 = jumlah individu dalam satu komunitas

Frekuensi satwa
Frekuensi keberadaan jenis satwa pada suatu lokasi diketahui dengan menghitung
frekuensi relatif (%):

Frekuensi Suatu Jenis


Frekuensi Relatif (FR) = x 100%
Frekuensi Total Semua Jenis

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   30  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI SATWA LIAR


(MAMALIA)

A. Informasi Umum
Mamalia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Mammae” yang berarti susu, karena
ciri khas mamalia, mempunyai kelenjar susu, melahirkan anak, memiliki rambut
serta memiliki kelenjar keringat. Berdasarkan ukurannya, mamalia dibagi menjadi
dua, yakni mamalia besar yang memiliki ukuran berat badan dewasa > 5 Kg dan
mamalia kecil dengan ukuran berat badan dewasa < 5 Kg. Contoh jenis-jenis
mamalia besar, diantaranya rusa, harimau, dan kerbau, sedangkan mamalia kecil,
antara lain tikus, bajing, dan kelelawar.
Mamalia merupakan satwa yang memiliki kemampuan berpindah sangat tinggi,
oleh karena itu pengamatan mamalia dilapangan dibagi menjadi pengamatan
langsung dan tidak langsung atau kombinasi keduanya.

B. Peralatan
• Field guide atau buku panduan lapangan,
• Tally sheet dan peralatan tulis (untuk mencatat data temuan),
• Kompas (untuk mengukur arah dan sudut tempat satwa teramati),
• Binokuler (untuk mengamati satwa dari jarak jauh),
• Peralatan perangkap atau jaring (apabila ingin menangkap satwa),
• Gipsum (apabila jejak kaki satwa ingin dicetak),
• Pita (sebagai penanda titik-titik pengamatan lokasi satwa yang teramati),
• GPS (untuk menentukan titik dalam bentuk digital),
• Higrometer (untuk mengukur suhu dan kelembaban udara),
• Kamera (untuk mengambil gambar, satwa di habitatnya),

C. Prosedur
Menentukan metode yang akan digunakan, seperti metode transek jalur dan
transek garis untuk mamalia besar seperti banteng, badak, rusa, kijang, dan
primata, metode titik konsentrasi pada satwa yang cenderung berkumpul misal
pada sumber air, disamping juga pengamatan satwa target, focal animal,
adlibitum, marsh jika untuk mengetahui prilaku dan strata habitat yang digunakan.
Sedang metode perangkap (trap) untuk mamalia kecil, dan metode kamera trap
untuk satwa yang sukar diamati seperti macan dahan, kucing hutan, beruang madu
atau mamalia yang nokturnal (aktif pada malam hari).

1. Metode transek jalur dan garis


a. Menempatkan transek dengan cara acak atau ditempatkan pada habitat yang
merupakan tempat dijumpainya satwa yang akan diinventarisasi (hasil Survei
pendahuluan atau hasil studi pustaka). Penempatan transek dapat dilakukan
secara random, sistematis, stratifikasi, mengikuti jalan setapak, kombinasi
antara jalan setapak dengan jalur transek atau jalur transek secara zig-zag.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   31  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

b. Menentukan panjang dan lebar jalur pengamatan. Lebar jalur dipengaruhi


tutupan vegetasi atau jarak pandang seseorang di lapangan dan jenis satwaliar
yang diamati misalnya lebar jalur pengamatan primata arboreal 50 m kiri jalur
dan 50 m kanan jalur dengan panjang jalan 3-5 km.
c. Menentukan sejumlah transek jalur pararel secara sistematis atau acak dan
memotong garis kontur menggambarkan lokasi setiap jalur pada peta. Sebagai
titik pasti awal pengamatan dapat berupa jalan atau tanda batas yang telah ada
dan membuat tanda pada setiap titik awal jalur pengamatan (pita warna
mencolok, seng, patok dsb)
d. Menentukan waktu dimulai dan diakhiri pengamatan secara bersamaan.
e. Menentukan arah lintasan pengamatan dengan menggunakan kompas (agar
setiap tim tidak berbenturan atau berpotongan). Sebaiknya arah lintasan
memotong garis kontur dan pengamatan dengan berjalan secara tenang dan
perlahan di sepanjang transek yang telah dibuat.
f. Mencatat data dan informasi dalam tally sheet tentang ;
• Jenis satwa
• Jumlah individu satwa,
• Jenis kelamin (jika diketahui)
• Jumlah individu berdasarkan kelas umur (dewasa, remaja, anak-­‐anak)
• Plot posisi satwa pada peta sederhana (gunakan milimeter block).
• Keterangan : waktu dijumpai (jam, menit), ciri sosial soliter/kelompok,
perjumpaan langsung atau tidak langsung (bunyi atau suara),
mendeskripsikan secara sederhana mengenai kondisi habitat tempat
ditemukannya satwa.

Catatan :
o Data dicatat dari perjumpaan langsung dengan satwa mamalia yang
berada dalam lebar jalur pengamatan.
o Pengamatan pada satu jalur dilakukan tiga kali pengulangan, yaitu
pada periode pagi hari (pukul 05.30-08.00), sore hari (pukul 16.00-18.00)
dan malam hari (pukul 21.00-23.00).
o Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan
yaitu kurang lebih 25 meter/menit.
o Untuk transek garis, pada dasarnya hampir sama dengan transek jalur. Cara dan
prosedur yang dilakukan juga sama dengan metode transek jalur.

Perbedaan yang mendasar adalah:


∗ Metode transek garis tidak menentukan jarak ke kanan dan ke kiri
∗ Metode transek garis harus menentukan jarak antara satwa dan pengamat (jarak
lurus) atau jarak pengamatan.
∗ Metode transek garis harus menentukan sudut kontak antara posisi satwa yang
terdeteksi dengan jalur pengamatan atau sudut pengamatan.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   32  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

2. Metode Pengamatan terkonsentrasi (Concentration count)


a. Melakukan observasi lapangan atau menanyakan kepada masyarakat setempat
tentang jenis - jenis satwa liar yang seringkali dijumpai, berkumpul di suatu
tempat dan lokasi berkumpulnya (padang rumput dan sumber air atau feeding
ground).
b. Menentukan titik – titik pengamatan dan waktu dimulai dan berakhirnya
pengamatan. Penentuan waktu pengamatan harus mempertimbangkan perilaku
dan aktivitas setiap jenis satwa liar yang berkumpul serta menentukan luas
cakupan areal konsentrasi untuk menduga rata – rata daya tampung areal.
c. Mencatat satwa liar yang dijumpai berdasarkan jenis kelamin dan tingkat umur
hubungan sosial dalam sub kelompok, kondisi umum areal konsentrasi, seperti
vegetasi, sumber air, sumber pakan dan sebagainya tally sheet.
d. Pengamatan dilaksanakan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga sebagai
tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat tersediaanya
pakan, air untuk minum dan lokasi tidurnya. Pengamatan dapat dilakukan pada
tempat yang tersembunyi sehingga tidak mengganggu aktivitas satwa. 

Catatan :
o Metode ini juga dapat digunakan untuk Survei populasi herbivora, primata dan
karnivora.
o Data dan informasi yang dicatat yaitu Nama jenis satwa, Jumlah individu, dan
jumlah individu dalam kelompok, Struktur sosial (jika ada), Jenis kelamin (jika
diketahui), dan Luasan lokasi pengamatan untuk menduga kepadatan populasi. 

3. Metode Pengamatan Satwa Target (Scan Sample)


a. Mencatat semua individu yang terlihat selama satu menit dengan interval
selama lima menit,
b. Mencatat aktivitas dan ketinggian individu tersebut berada misal pada
permukaan tanah, tajuk bawah, tajuk tengah atau tajuk atas disertakan
perkiraan meternya,
c. Perhatikan dan catat berapa pohon makan yang dikunjungi selama pengamatan
serta catat pula jenis pohon makan yang dikunjungi tersebut,
d. Sambil mengikuti satwa target hitung juga berapa jumlah individu yang lain
yang terdapat dalam kelompok dan bagaimana komposisinya, tapi lebih dari itu
harus memperhatikan benar ciri-ciri setiap individu agar tidak tertukar dengan
individu lain pada saat mencatat.
e. Pencatatan harus dilakukan berdasarkan apa yang terlihat pada saat interval
waktu yang telah dilakukan.
Catatan :
o Metode ini dapat digunakan sebagai pelengkap dari metode pengamatan
terkonsentrasi (Concentration count).
o Metode ini dapat digunakan untuk Survei prilaku (behavior) semua mamalia
besar, namun biasanya digunakan untuk primata yang berkelompok (unimale
atau multimale).

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   33  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

o Pencatatan tentang aktifitas tersebut adalah:


R Aktivitas makan, meliputi jenis-jenis makanan, dan waktu yang
dimanfaatkan untuk makan dari jenis individu yang melakukannya,
R Aktivitas bergerak, meliputi bentuk pergerakan yang digunakan, dan waktu
yang digunakan dan jenis individu yang melakukannya,
R Aktivitas istirahat, meliputi postur yang digunakan dan berapa lama waktu
yang digunakan dan jenis individu yang melakukannya,
R Aktivitas sosial, meliputi bentuk aktivitas sosial yang dilakukan dan jenis
individu yang melakukan serta waktu yang dimanfaatkan,
R Aktivitas penjelajahan, meliputi penelusuran individu atau kelompok target
bergerak dan ditandai di dalam peta.

Perbedaan yang mendasar antara metode Concentration count dengan metode


Scan Sample adalah:
∗ Metode Concentration count lebih menitik beratkan pada populasi hewan
target disemua tempat mereka berkumpul dan bagaimana dukungan habitat
terhadap hewan target tersebut, sedangkan Scan Sample adalah untuk
mengetahui prilaku hewan target baik prilaku individu maupun sosialnya.

4. Metode Focal Animal


a. Menandai atau mengikuti satwa yang menjadi objek pengamatan dari semenjak
bagun tidur pagi hari sampai kembali tidur disore hari,
b. Mencatat aktivitas satwa objek berdasarkan perubahan aktivitas selama
pengamatan meliputi tingkah laku makan, bergerak, istirahat, prilaku sosial
serta aspek-aspek pendukung lainnya seperti ketinggian individu di pohon
(stratifikasi), habitat, cuaca dan musim.
c. Bentuk pencatatan aktivitas sama dengan yang dilakukan pada metode Scan
Sample, namun di metode ini lebih difokuskan pada satu individu, biasanya
untuk primata soliter seperti orangutan.

Catatan :
o Metode ini biasanya digunakan untuk Survei prilaku (behavior) satu individu
hewan target biasanya pada orangutan, namun dapat juga untuk primata yang
hidupnya berkelompok. Tapi terkadang untuk primata yang berkelompok
sangat sulit untuk membedakan individu target dengan yang bukan target.
o Data dan informasi yang dicatat yaitu; Jam satwa memulai aktivitasnya,
aktivitas selama pengamatan (feeding, resting, playing, grooming, dll), lama
masing-masing aktifitas serta mencatat semua hal-hal yang menarik selama
pengamatan.
o Secara umum analisis data dilakukan untuk menentukan besarnya pemanfaatan
waktu yang digunakan dalam aktivitas harian, berdasarkan bentuk aktivitas
dapat dilakukan dengan pengujian uji statistik Non-Parametrik sebagai
hipotesa yang telah dirancang.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   34  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

5. Metode Ad Libitum
a. Mencatat sejak pertama kali bertemu dengan individu atau kelompok satwa
dan menjadikannya objek pengamatan, kemudian dicatat secara kronologis
berdasarkan beberapa bentuk kejadian yang dianggap penting sampai individu
atau kelompok tersebut tidak terlihat lagi.
b. Pencatatan lebih baik dilakukan setiap interval waktu tertentu untuk
mendapatkan hasil catatan yang lebih terperinci kejadian demi kejadian.
c. Apabila perlu dapat dibuat gambar sketsa pada hal-hal tertentu yang dianggap
penting.

Catatan :
o Metode ini merupakan pelengkap dari metode Concentration count dan metode
Scan Sample.
o Metode ini juga dapat dipakai untuk pengamatan prilaku penyu yang sedang
naik kepantai untuk bertelur.

6. Metode Marsh
a. Melakukan ikhtisar vegetasi dengan membuat jalur berpetak dimana petak (10
x 50 m) ditempatkan secara berselang seling, kanan dan kiri sepanjang jalur.
b. Menelaah dan mencatat jenis vegetasi yang terdapat dalam setiap petak secara
bergantian sampai pada jarak terjauh.
c. Menelaah dan mencatat secara kwalitatif atau membuat deskripsi dukungan
habitat terhadap satwa target.

Catatan :
o Metode ini merupakan pelengkap dalam mengetengahkan secara deskriptif
keberadaan habitat terutama yang berkaitan dengan satwa target yang diamati.
o Pencatatan vegetasi meliputi: Inventarisasi pohon yang berdiameter di atas 30
cm, Interval ketinggian pohon, bentuk dan lebar tajuk, jenis pohon, mencari
dan mendata buah pada saat itu, serta ketinggian habitat (m.dpl) dan lain-lain
yang dipandang perlu dan menarik perhatian.

7. Metode Lingkaran (Point Center Count)


a. Metode ini untuk pengamatan terhadap primata berkelompok yang sulit
diketahui jumlah anggota kelompoknya dalam waktu cepat.
b. Dengan metode ini pengamat melakukan pencatatan berdasarkan suara seperti
jenis gibbon, monyet pemakan daun dan primata lainnya.
c. Tahapan pengamatan adalah menentukan jarak suara yang dapat terdengar
dengan baik, seperti owa antara 750 – 1100 meter, dan monyet pemakan daun
500 meter.
d. Pencatatan suara yang berada dalam lingkaran dengan radius suara primata
tersebut dan pengamat berada di titik pusat lingkaran.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   35  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

e. Arah suara diketahui dan dicatat dengan menggunakan kompas. Sampel ini
dilakukan di beberapa titik yang jaraknya lebih dari garis tengah lingkaran
contoh dengan luas contoh masing-masing πR2.

8. Metode Repleksi Peta (Intersection)


a. Menentukan bersama waktu mulai pengamatan kemudian menentukan jarak
antara pengamat 1 dan pengamat 2 (50 – 100 m).
b. Masing-masing pengamat merekam posisinya didalam GPS.
c. Mencatat waktu terdengarnya suara yang pertama, kedua dan seterusnya, serta
sudut back azimut (derajat balik) kompas dari arah datangnya suara dan
mencatat berapa lama masing-masing suara itu terdengar.
d. Setelah pencatatan selesai, melakukan rekapitulasi hasil catatan pengamat
pertama dan kedua, penyatuan data berdasarkan waktu dan lamanya suara
didengar.
e. Memproyeksikan posisi masing-masing kedua pengamat serta sudut kompas
yang telah direkapitulasi tadi kedalam peta.

Catatan :
o Sedapat mungkin peta kerja yang digunakan adalah peta yang bersekala besar
(atau kisaran antara 1 : 10.000 – 1 : 25.000).
o Penguasaan GPS dan Kompas pada metode ini sangat diperlukan.

9. Metode perangkap (Trapping)


a. Metode ini digunakan untuk menginventarisasi mamalia kecil di lantai hutan,
seperti bangsa tikus-tikusan dan di atas permukaan tanah sampai tajuk
pertengahan seperti bangsa tupai-tupaian atau mamalia kecil yang hidup di
dalam gua seperti bangsa kelelawar.
b. Perangkap dipasang secara sengaja (purposive) pada habitat tertentu yang
diduga merupakan habitat utama bagi berbagai mamalia kecil, misalnya
cerukan gua, lubang di pohon, bekas lubang di tanah, bekas lapukan pohon dan
sejenisnya. Hal ini dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin besar.
c. Perangkap yang digunakan adalah life trap sehingga satwa yang tertangkap
tidak akan mati, dan apabila menggunakan jala kabut (mist net) pengecekan
harus dilakukan setiap 5 atau 10 menit sekali supaya satwa yang terjaring tidak
sakit dan mati.
d. Apabila satwa yang terperangkap sulit untuk diidentifikasi, satwa tersebut
dapat diawetkan untuk keperluan identifikasi misalnya oleh LIPI (bagi yang
tidak ahli mengawetkan sebaiknya jangan, cukup hanya dengan membuat
dokumentasinya saja atau dibuat sketsanya.
e. Penggunaan perangkap hidup juga dilakukan pada penelitian dengan metode
tangkap lepas. Satwa ditangkap, ditandai, dilepaskan dan ditangkap kembali.
Menurut Caughley (1977), metode ini selain untuk menduga populasi juga
dapat digunakan untuk mengetahui perpindahan dan pertumbuhan satwa.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   36  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

10. Metode Jejak Satwa (Track Count’s Method)


a. Menentukan lokasi pengamatan dan plot-plot contoh berdasarkan informasi
masyarakat atau hasil survei sebelumnya, plot-plot contoh dapat berupa jalur
(belt) atau acak (random) yang kemudian ditandai dalam GPS atau di sket pada
peta kerja.
b. Mempelajari dan mencatat arah jejak, ukuran tapak, bentuk tapak, dan umur
tapak, kemudian di tandai atau dibuat trackingnya pada GPS atau dibuat
sketnya pada peta kerja.
c. Membuat cetakan tapak dengan menggunakan gipsum atau menggunakan
plastik transparan untuk menjiplak bentuk tapak yang ditemukan, dari gambar
tersebut dapat diidentifikasi jenis, bahkan umur dan jenis kelaminnya.

Catatan :
o Metode jejak satwa ini dapat pula dengan menggunakan tanda-tanda sisa
makanan dan kotoran (faeces), dari sisa makanan dan kotoran dapat diketahui
daerah jelajahnya (home range/daily range) satwa yang diamati.
o Dari kotoran juga dapat dinilai komposisi atau jumlah (C = Compsumtion)
dibagi dengan kebutuhan makannya (AU = Animal Unit) maka akan diketahui
atau dapat diduga populasi satwa yang bersangkutan.
o Dengan kotoran juga dapat diketahui hal-hal lain, misalnya untuk rusa ketika
kotorannya melembek dan tidak berbiji-biji menandakan bahwa rusa tersebut
baru mengalami pergantian tanduk.

11. Metode Kamera Trap (Camera-trapping)


a. Penggunaan kamera dalam inventarisasi satwa dilaksanakan guna mendapatkan
data tanpa kehadiran pengamat (misalnya macan dahan, beruang madu dll).
b. Kamera harus memiliki sensor yang baik (termasuk autofocus). Juga perlu
dipertimbangkan jenis baterai yang baik untuk dipasang dalam kamera trap
untuk pengamatan jangka panjang (bisa sebulan penuh).
c. Kegiatan di lapangan: Meletakkan kamera pada lokasi-lokasi yang diduga
menjadi daerah jelajah homerange alur jalan pergerakan dari satwa yang akan
di inventarisasi (perlu diperhatikan pengamanan kamera otomatis dari
pencurian).
d. Mengatur tanggal dan jam pengambilan gambar, sehingga setiap gambar akan
memiliki informasi tentang waktu saat satwa melalui jalur dan tertangkap
kamera yang berbeda. Selain itu penggunaan kamera trap bisa memberikan
informasi jelajah satwa berdasarkan posisi dimana saja individu yang sama
tertangkap oleh kamera trap.
e. Melaksanakan eksperimen dengan memasang kamera trap pada beberapa level
ketinggian dari permukaan tanah. Hal ini untuk menentukan ketinggian yang
optimal letak kamera agar bisa mendapatkan gambar yang cukup baik (kepala
dan badan bisa terekam). Juga diukur jarak antara jalur satwa dengan kamera
trap.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   37  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

12. Metode Pengamatan Cepat (Rapid Assesment)


a. Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis-­‐jenis mamalia yang terdapat di
lokasi pengamatan.
b. Pengamatan tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi khusus.
c. Pengamat cukup mencatat jenis-­‐jenis mamalia yang ditemukan, misalnya pada
saat melakukan survei lokasi, berjalan diluar waktu pengamatan, dan
sebagainya.
d. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis-­‐jenis mamalia yang berada
di lokasi pengamatan, tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung
pendugaan populasi.
e. Metode pengamatan cepat ini juga dapat dilaksanakan dengan menggabungkan
antara pengamatan lapangan dengan wawancara bersama masyarakat setempat
atau berdasarkan studi pustaka yaitu dengan cara melakukan review sesuai
dengan hasil pengamatan dilapangan. Namun ingat jangan sampai terlalu yakin
(over counvidence) terhadap hasil wawancara dan review tersebut.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   38  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS
SURVEI BURUNG

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   39  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

5. SURVEI BURUNG
5.1 Informasi Umum
Burung dibagi menjadi dua kelompok menurut waktu beraktivitas, yaitu diurnal
(aktif pada siang hari dan sebagian besar burung aktif pada siang hari, biasanya
pada jam-jam tertentu burung melakukan istirahat), serta nokturnal (aktif pada
malam hari), biasanya pada kelompok Strigiformes (burung hantu). Ciri-ciri
burung, adalah ; sebagian besar tubuhnya ditutupi bulu, terdapat dua pasang
anggota badan, sepasang anterior menjadi sayap, dan sepasang posterior menjadi
kaki untuk berjalan/mengais (Galliformes & Ciconiiformes), mencakar
(Falconiformes & Strigiformes) atau berenang dengan selaput pada jari kaki
(Pelecaniformes & Anseriiformes). Masing-masing kaki memiliki empat jari kaki,
rangkanya halus, kuat, dibentuk dari tulang sejati. Mulutnya merupakan suatu
tonjolan berupa paruh (dari zat tanduk), tidak ada gigi, dan leher yang fleksibel.

Gambar 17. Bentuk Morfologi Burung

Pengamatan terhadap burung yang dilakukan di alam terbuka dikenal sebagai bird
watching. Aspek yang diamati mulai dari identifikasi jenis berdasarkan morfologi,
identifikasi lewat suara, behaviour, populasi, distribusi, dan lain-lain. Hal-hal
yang harus diperhatikan ketika melakukan bird watching:
• Perlengkapan: Peta kawasan, tally sheet, buku catatan, alat tulis, buku panduan
pengenalan jenis burung (Field Guide), teropong (binokuler/monokuler), range
finder, meteran roll, kompas, GPS, kamera dan tape recorder. Dari peralatan
yang digunakan tersebut yang paling diprioritaskan jika tidak tersedia
seluruhnya adalah tally sheet, alat tulis, dan kompas.
• Metode pengamatan burung dengan cara : jalan mengendap-endap, mencari
tempat yang baik untuk bersembunyi, menggunakan atribut/pakaian yang tidak
mencolok, tidak melakukan kegiatan yang dapat mengganggu burung, tidak

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   40  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

melepaskan binokuler sampai deskripsi jenis burung dapat tergambarkan ketika


melakukan identifikasi dan membuat sketsa burung yang terlihat dan
mendeskripsikan ciri-cirinya
• Catatan yang biasa dicantumkan : (nama pengamat, waktu dan tanggal
pengamatan, lokasi pengamatan, jenis habitat dan tipe vegetasi yang
digunakan, cuaca, jumlah burung yang ditemukan, aktivitas, jarak burung
dengan pengamat, dan sebagainya, tergantung dari penelitian yang dilakukan).

5.2. Metode Survei Populasi Burung


Metode Survei burung pada prinsipnya sama dengan metode Survei mamalia
termasuk transek jalur, transek garis dan metode perhitungan terkonsentrasi
(concentration count). Pengamatan dilakukan pada pagi hingga sore hari yaitu
pukul 05.30 sampai dengan pukul 17.00, jika memungkinkan pengamatan juga
dapat dilakukan pada malam hari yaitu pukul 17.00 sampai dengan 24.00 untuk
mengetahui jenis dari kelompok Strigiformes (burung hantu). Pengamatan
dilakukan dengan berjalan cepat tapi tidak bersuara (untuk identifikasi burung
terrestrial yang sensitive dengan keberadaan manusia), berjalan perlahan-lahan
(untuk identifikasi burung yang beraktivitas di tajuk), menunggu dengan tenang
(di tempat yang paling sering dikunjungi burung, misal pohon Ficus, atau sungai
kecil di musim kemarau).
Meskipun pada prinsipnya sama dengan metode Survei mamalia, namun ada
beberapa metode yang spsifik untuk Survei burung yaitu; Metode Pemetaan
(Mapping), Metode Transek Titik (Point transect), Metode Perhitungan Blok, dan
Metode Daftar 20 MacKinnon.

5.2.1. Metode Pemetaan (Mapping)


Metode pemetaan merupakan cara efektif untuk menghitung populasi burung dan
ukuran daerah jelajah. Pemetaan dapat dilaksanakan untuk jenis burung yang
memiliki teritori dan musim berkembang biak yang jelas. Pengamatan
dilaksanakan secara berulang setiap pagi pada lokasi teritori burung. Biasanya
dilakukan pada musim berkembang biak ketika individu burung berada pada
lokasi yang terbatas, aktif mempertahankan teritorinya dan menghabiskan waktu
di sekitar sarang. Jika lokasi pasti dapat diplotkan pada peta, maka dimungkinkan
untuk menghitung jumlah pasangan burung dari setiap jenis yang ada.
Aplikasi metode ini merupakan pekerjaan yang intensif di lapangan maupun
analisis data. Hasil pengamatan dapat menghasilkan peta detail sebaran dan
ukuran teritori serta dapat digunakan untuk memahami kondisi habitat. Juga
menghasilkan penghitungan yang lebih konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh
waktu pengamatan.
Beberapa kelemahan metode ini yaitu, memerlukan peta yang berkualitas untuk
studi area, memerlukan waktu sampai dengan 10 kali pengamatan, mencakup
areal yang relatif kecil (1 – 4 km2), memerlukan keterampilan tinggi dari
pengamat untuk mengidentifikasi dan merekam burung, kesulitan dalam
interpretasi hasil dan biasanya efektif untuk daerah temperate dan jarang
diterapkan di daerah tropik.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   41  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

5.2.2. Metode Transek Titik (Point transect):


Metode Titik hitung: dilakukan dengan berjalan suatu transek, memberi tanda dan
mencatat semua jenis burung yang ditemukan selama jangka waktu yang telah
ditentukan sebelumnya (10 menit), sebelum bergerak ke titik selanjutnya. Transek
titik berbeda dengan transek garis, dimana pengamat berjalan disepanjang garis
transek dan berhenti pada titik-titik yang sudah ditentukan, memberikan waktu
bagi burung untuk diamati dan mencatat semua burung yang terlihat dan terdengar
pada waktu yang telah ditentukan yang berkisar antara 2 – 20 menit.
Berikut adalah cara mempersiapkan transek titik pada pengamatan burung,
sebagai contoh disini yaitu pembuatan transek sepanjang 500 m dengan tahapan
sebagai berikut:
Jalur transek titik sepanjang 500 m ini dibagi 5 titik pengamatan, yang masing-
masing point berjarak 100 m dan ditandai dengan pita tagging setiap jarak 100 m
dan agar tidak membingungkan masing-masing pita tagging diberi nomor/jarak.
Titik pengamatan pertama berjarak 50 m dari titik awal transek, kemudian untuk
titik pengamatan berikutnya ditambahkan jarak 100 m (titik pengamatan I = 50 m,
II = 150 m, III = 250 m, IV = 350 m dan V = 450 m).
Dari masing-masing titik pengamatan dibuat garis imajener berupa lingkaran yang
diberi tanda dengan pita tagging dimana yang terdekat dengan pengamat 15 m,
sedang 30 m dan jauh 50 m. Pemberian tanda ini akan mempermudah pencatatan
perkiraan jarak burung yang terlihat (0-15 m, 15-30 m dan 30-50 m). Usahakan
pada masing-masing titik pengamatan menggunakan lembar daftar isian (tally
sheet) yang berbeda.

Gambar Atas: Pembagan Transek dan Gambar Bawah: Transek Dilihat Dari Atas

Gambar 18. Cara Pembuatan Transek Pengamatan Burung

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   42  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

5.2.3. Metode Menghitung Secara Blok (Block Method):


Cara penghitungan dengan perkiraan yang paling banyak dipakai adalah dengan
menggunakan Metoda blok (Block method). Penghitungan dengan cara ini dapat
dilakukan pada kelompokan burung yang sedang terbang atau sedang hinggap di
daerah terbuka dalam jumlah cukup besar.
Pada metoda ini, pengamat menghitung burung dengan cara melakukan perkiraan
terhadap jumlah individu yang diamati berdasarkan jumlah blok yang ada dalam
suatu kelompok. Bergantung kepada jumlah seluruh individu dalam kelompok,
satu blok bisa saja terdiri dari 50, 100 atau lebih jumlah individu. Si pengamat
kemudian tinggal menghitung ada berapa blok dalam kelompok tersebut. Total
perkiraan jumlah individunya adalah jumlah blok dalam suatu kelompok dikalikan
dengan jumlah individu dalam suatu blok ditambah beberapa individu yang
tersisa, yang dianggap tidak termasuk dalam blok yang ada.
Contoh perhitungan seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 19. Diagram Cara Memperkirakan Jumlah Burung dengan Metoda Blok

Pada lingkaran berwarna merah : satu blok dengan jumlah individu yang dihitung
secara tepat. Dalam hal ini jumlah individu dianggap sama dengan 30 ekor.
Pada lingkaran berwarna kuning : merupakan blok berikutnya yang akan dihitung
secara perkiraan. Hitung berapa blok perkiraan yang ada dalam kelompok burung
tersebut.
Dengan perhitungan seperti diatas, jumlah individu yang ada dalam kelompok
diatas adalah sekitar 210 - 220 burung (yaitu 7 blok berisi 30 individu, ditambah
beberapa yang tersisa).

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   43  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Tingkat ketepatan dari perkiraan tersebut akan sangat bergantung kepada


pengalaman dan kemampuan pengamat, jumlah burung yang dihitung serta
kecepatan pergerakan burung. Pengamat yang berpengalaman biasanya bisa
dengan cepat menentukan jumlah tepat dalam satu blok serta blok-blok yang
lainnya. Oleh karena itu sangat disarankan untuk tetap berlatih dengan tekun dan
sabar dan yang paling utama adanya apresiasi terhadap burung.

5.2.4. Metode Daftar 20 MacKinnon:


Metode Daftar 20 Mackinnon pertama kali diperkenalkan oleh MacKinnon, J dan
Phillips, K pada tahun 1993. Metode ini digunakan untuk mengetahui dan
membandingkan kekayaan jenis burung pada berbagai tipe habitat serta untuk
dapat memperkirakan berapa banyak lagi jenis burung yang belum ditemukan.
Dengan metode ini juga dapat diketahui adanya bias (ketidak-rataan) dalam pola
Survei.
Cara kerja dengan menggunakan metode ini yaitu:
• Mencatat semua jenis burung yang terlihat kedalam daftar meskipun ada jenis
yang belum dikenal. Berikan saja nama sementara atau kode angka/huruf yang
mudah diingat dan dikenali, karea nantinya dapat dipergunakan untuk
mencocokan dengan jenis yang sama ketika jenis tersebut terlihat lagi. Jangan
lupa juga mencatat ciri-ciri burungnya kalau perlu dibuat sketsanya (sederhana
atau agak sedikit detil) dengan nama sesuai dengan kode yang diberikan, guna
identifikasi jenis nantinya.
• Agar gambaran jenis burung seluruh kawasan diperoleh secara tepat maka
Survei dan pencatatan harus dilakukan pada seluruh tipe dalam proporsi yang
sama sesuai dengan kelimpahannya.

Gambar 20. Cara Membuat Sketsa Burung (sederhana atau sedikit detil)

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   44  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Dalam melakukan pencatatan jenis burung yang diamati, pencatatan dalam


1 daftar berisi maksimum 20 species. Setelah 20 spesies ditemukan terdaftar,
maka perlu dibuat daftar baru yang dapat berisi spesies yang sudah ada dalam
daftar sebelumnya. Jika suatu spesies ditemukan kembali dalam 1 daftar yang
belum mencapai 20 spesies, maka spesies tersebut hanya dihitung sebagai
tambahan populasi pada spesies yang sama (bukan spesies baru).
Apabila telah terkumpul 10 atau lebih daftar jenis burung pada suatu kawasan atau
habitat, maka kita akan mempunyai suatu gambaran yang baik tentang kekayaan
jenis burung pada kawasan atau habitat tersebut. Kemudian jumlah total dari jenis
tersebut diplotkan secara grafis (menggunakan Excel) sehingga akan terlihat suatu
kurva penemuan (banyaknya jenis burung yang ditemukan pada masing-masing
lokasi Survei).

5.3. Analisis Data


Analisis data pada Survei burung dapat dilakukan seperti pada Survei mamalia.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   45  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI BURUNG

A. Informasi Umum
Burung dibagi menjadi dua kelompok menurut waktu beraktivitas, yaitu diurnal
(aktif pada siang hari) yang meliputi sebagian besar burung, serta nokturnal (aktif
pada malam hari), yaitu kelompok Strigiformes (burung hantu). Aspek
pengamatan burung cukup luas, mulai dari identifikasi jenis berdasarkan
morfologi, identifikasi lewat suara, perilaku, populasi, distribusi, habitat, dsb.
Metode Survei burung pada prinsipnya sama dengan metode Survei mamalia
termasuk transek jalur, transek garis dan metode perhitungan terkonsentrasi
(concentration count), serta metode perhitungan populasi lainnya. Metode yang
spesifik dilakukan untuk Survei burung yaitu Metode pemetaan dan transek titik
serta Metode Daftar 20 Mackinnon.

B. Perlengkapan:
Peta kawasan, tally sheet, buku catatan, alat tulis, buku panduan pengenalan jenis
burung (Field Guide), teropong (binokuler/monokuler), range finder, meteran roll,
kompas, GPS, kamera dan tape recorder. Dari peralatan yang digunakan tersebut
yang paling diprioritaskan jika tidak tersedia seluruhnya adalah tally sheet, alat
tulis, dan kompas.

C. Prosedur
Prosedur Survei burung sama dengan pengamatan mamalia.

Catatan:
Metode pemetaan dan transek titik merupakan metode lain yang dapat dilakukan
untuk Survei burung.

1. Metode pemetaan
a. Merupakan cara efektif untuk menghitung populasi burung dan ukuran daerah
jelajah. Pemetaan dapat dilaksanakan untuk jenis burung yang memiliki teritori
dan musim berkembang biak yang jelas.
b. Pengamatan dilaksanakan secara berulang setiap pagi pada lokasi teritori
burung. Biasanya dilakukan pada musim berkembang biak ketika individu
burung berada pada lokasi yang terbatas, aktif mempertahankan teritorinya dan
menghabiskan waktu di sekitar sarang.
c. Jika lokasi pasti dapat diplotkan pada peta, maka dimungkinkan untuk
mengitung jumlah pasangan burung dari setiap jenis yang ada.
d. Aplikasi metode ini merupakan pekerjaan yang intensif di lapangan maupun
analisis data. Hasil pengamatan dapat menghasilkan peta detail sebaran dan
ukuran teritori serta dapat digunakan untuk memahami kondisi habitat. Juga
menghasilkan penghitungan yang lebih konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh
waktu pengamatan.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   46  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

e. Beberapa kelemahan metode ini :


• Memerlukan peta yang berkualitas untuk studi area.
• Memerlukan waktu sampai dengan 10 kali pengamatan.
• Mencakup areal yang relatif kecil (1-4 km2)
• Memerlukan keterampilan tinggi dari pengamat untuk mengidentifikasi dan
merekam burung.
• Kesulitan dalam interpretasi hasil
• Biasanya efektif di daerah temperate dan jarang diterapkan di daerah tropik.

2. Metode Transek Titik (Point transect):


a. Metode Titik hitung: dilakukan dengan berjalan suatu transek, memberi tanda
dan mencatat semua jenis burung yang ditemukan selama jangka waktu yang
telah ditentukan sebelumnya (10 menit), sebelum bergerak ke titik selanjutnya.
b. Transek titik berbeda dengan transek garis, dimana pengamat berjalan
disepanjang garis transek dan berhenti pada titik-titik yang sudah ditentukan,
memberikan waktu bagi burung untuk diamati dan mencatat semua burung
yang terlihat dan terdengar pada waktu yang telah ditentukan yang berkisar
antara 2-20 menit.
c. Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam metode titik adalah :
• Kecepatan berjalan sesuai rekomendasi
• Penggunaaan estimasi jarak penuh (dari pencatat dan burung yang terlihat
atau terdengar) atau jarak interval jalur (lebar jalur band misal 0-25 m dan
> 25 m)
• Memerlukan keterampilan dan keahlian pengamat karena sebagian besar
kontak dan identifikasi didasarkan kepada kicau atau suara burung.
• Data yang dicantumkan : (nama pengamat, waktu dan tanggal pengamatan,
lokasi pengamatan, jenis habitat dan tipe vegetasi yang digunakan, cuaca,
jumlah burung yang ditemukan, aktivitas, jarak burung dengan pengamat,
dan sebagainya, tergantung dari penelitian yang dilakukan)

3. Metode Menghitung Secara Blok (Block Method)


a. Metode menghitung secara blok biasanya dilakukan pada survei populasi
burung pantai yang jumlah koloninya dapat mencapai ratusan ekor, dan
perhitungan menggunakan pendekatan pendugaan. Untuk itu sebelum
melakukan pencatatan perhitungan sebenarnya harus dilakukan uji awal
pendugaan beberapa kali guna membiasakan dalam pendugaan dan
meningkatkan kemahiran.
b. Perhitungan harus dilakukan secara cepat, misal ketika bertemu dengan
sekumpulan popolasi harus dengan cepat mengelompokkannya dalam beberapa
blok kemudia hitung secara persis berapa jumlah individu disalah satu blok dan
hasilnya dikalkan dengan jumlah pengelompokan blok tadi.
c. Dalam mengalikan untuk sementara cukup hanya ditulis misalnya 7 x 12 atau
lain sebagainya. Hasil perkalian itu (perkiraan jumlah individu) dilakukan saat
melaksanakan rekapitulasi data.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   47  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

4. Metode Daftar 20 MacKinnon


a. Metode Daftar 20 MacKinnon: dapat dilakukan dengan berjalan di suatu
transek, recce, atau menggabungkannya dengan metode Marsh.
b. Mencatat semua jenis burung yang terlihat kedalam daftar, untuk burung yang
belum dikenal, pencatatan dengan nama sementara atau kode angka/huruf yang
mudah diingat dan dikenali oleh pengamat.
c. Untuk burung yang belum dikenal dicatat ciri-cirinya kalau bisa dibuat
sketsanya dengan nama sesuai dengan kode yang diberikan.
d. Setelah pencatatan mencapai 20 jenis, maka pencatatan selanjutnya
mengunakan daftar baru yang dapat berisi spesies yang sudah ada dalam daftar
sebelumnya.
e. Jika selama 30 menit tidak menemukan jenis baru, untuk melengkapi jumlah
catatan menjadi 20 jenis, dapat dilakukan dengan mencatat kembali jenis yang
sudah ada dalam daftar (ada pengulangan jenis yang sama sebagai pelengkap).
f. Survei dan pencatatan harus dilakukan pada seluruh tipe hutan dalam proporsi
yang sama sesuai dengan kelimpahannya, maksudnya waktu dapat ditambah
ketika kecenderungan jenis baru terus bertambah.
g. Apabila melakukan pencatatan dengan membuat sketsa usahakan sesimpel
mungkin namun jelas, bentuk, perkiraan besar, warna bagian tubuh harus muat
dalam sketsa.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   48  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS
SURVEI HERPETOFAUNA

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   49  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

6. SURVEI HERPERTOFAUNA
(REPTIL DAN KATAK/AMFIBI)
6.1. Informasi Umum
Fauna yang termasuk kedalam herpertofauna adalah amfibian (termasuk kodok,
katak dan salamander), dan reptilia (termasuk ular, kadal, labi-labi, kura-kura, dan
buaya). Secara umum ada ada dua metode yang digunakan yaitu metode langsung
(direct) dan metode tidak langsung (indirect). Sampling langsung herpetofauna
meliputi pengamatan hewan yang ada di lokasi sampel. Sedangkan sampling tidak
langsung dilakukan dengan cara memperoleh informasi spesies tanpa melihat
hewan itu secara langsung, misalnya melalui jejak atau suara.

6.2. Metode Survei


6.2.1. Survei Perjumpaan Visual (Visual Encounter Survei/VES)
Survei dilakukan pada suatu area atau habitat tertentu untuk periode waktu yang
ditentukan sebelumnya untuk mencari satwa. Visual Encounter Survei (VES)
digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis suatu daerah, mengumpulkan daftar
jenis dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies. Teknik ini bukan metode
yang tepat untuk menentukan kepadatan (density) karena tidak semua individu
dalam area tersebut dapat terlihat dalam Survei. VES dapat dilakukan di
sepanjang transek, sepanjang sungai, sekitar kolam dan lainnya.

6.2.2. Sampling Kuadrat (Quadrat sampling)


Metode ini dilakukan dengan menaruh berbagai seri kuadrat secara acak pada
lokasi yang ditentukan dalam sebuah habitat dan mencari secara seksama
herpetofauna dalam kuadrat tersebut. Biasanya digunakan untuk mempelajari
herpetofauna yang terdapat dilantai hutan atau jenis-jenis yang menghuni daerah
di sekitar sungai. Cara ini kurang efektif dilakukan pada habitat yang memiliki
penutupan tanah yang rapat serta lokasi-lokasi yang terjal karena sulitnya
menaruh kuadrat secara acak.

Gambar 21. Frame yang Digunakan Untuk Menempatkan Kuadrat Secara Acak

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   50  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

6.2.3. Transek Garis (Line Transeck)


Transek garis dapat digunakan untuk pengamatan herpetofauna pada berbagai
habitat. Beberapa herpetofauna sering memiliki respon yang berbeda terhadap
gradient lingkungan sehingga transek garis dapat mengidentifikasi perubahan
populasi herpetofauna. Transek garis diletakkan secara acak (misalkan panjang
200 m) pada sebuah habitat. Beberapa transek (multiple transek) umumnya lebih
baik daripada transek tunggal. Panjang setiap transek dan jumlah titik sampling di
setiap lokasi akan tergantung dari tujuan Survei dan kondisi lokasi.

6.2.4. Metode straight line drift fence dan pitfall traps


Jebakan penjatuh (Pitfall trapping) atau adalah salah satu metode yang paling
banyak digunakan untuk mengambil data herpetofauna. Umumnya metode ini
menggunakan wadah kotak atau bulat yang disimpan di bawah air atau dalam
tanah dengan bagian atas wadah terletak di permukaan. Ukuran dan bentuk wadah
umumnya bervariasi tergantung spesies yang akan dijebak. Pitfall trapping
umumnya dikombinasikan dengan pagar pembatas (drift fence). Drift fence adalah
pagar pendek berukuran 0,5 – 1 meter yang terbuat dari jaring atau plastik dan
berguna untuk menuntun herpetofauna agar masuk ke dalam pitfall trap,
panjangnya biasanya antara 5 – 15 meter setiap beberapa meter akan dipasang
pitfall trap.

Gambar 22. Tempat dan Cara Pemasangan Pitfall Trap

6.3. Analisis Data


Data yang diambil dalam penelitian atau Survei lapangan dapat berupa data
kuantitatif atau kualitatif. Kegunaan data ini tergantung oleh berbagai faktor
antara lain: desain eksperimen atau prosedur sampling yang digunakan, pemilihan
alat dan kemampuan menggunakan alat, dan kondisi lingkungan. Analisis
statistika digunakan untuk membantu memahami data-data yang diperoleh.
Analisis statistika yang paling sederhana adalah analisis deskripsi.
Indeks yang umum digunakan adalah indeks keanekaragaman jenis (species
diversity), yaitu indeks shannon-Weaver. Indeks ini digunakan untuk mengukur
karakteristik dari komunitas pada suatu lokasi pada waktu tertentu.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   51  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

ni ni
H’ = ∑ In Dimana :
N0 N0 H’ = indeks keanekaragaman jenis (Shannon
dan Weaver, 1949)
ni = jumlah individu dalam satu jenis
N0 = jumlah individu dalam satu komunitas
Nilai kemerataan (evenness) digunakan dengan rumus sebagai berikut :

E = H’/ ln S Dimana
E = indeks kemerataan jenis
H’ = indeks Shanon-Wienner
S = jumlah jenis

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   52  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI HERPERTOFAUNA


(REPTIL DAN KATAK/AMFIBI)

A. Informasi Umum
Fauna yang termasuk kedalam herpertofauna adalah amfibian (termasuk kodok,
salamander, dsb), dan reptilia (termasuk ular, kadal, kura-kura, dan buaya). Secara
umum ada ada dua metode yang digunakan yaitu metode langsung (direct) dan
metode tidak langsung (indirect). Sampling langsung herpetofauna meliputi
pengamatan hewan yang ada di lokasi sampel. Sedangkan sampling tidak
langsung dilakukan dengan cara memperoleh informasi spesies tanpa melihat
hewan itu secara langsung, misalnya melalui jejak atau suara

B. Peralatan
Alat yang digunakan untuk Survei herperto fauna adalah : GPS, Kompas, Senter/
Head-lamp, Kantong plastik atau karung, Spidol permanen, Binokuler, Jam
tangan, Kaliper, Pita meter, Timbangan digital/pegas, Kamera dan Buku
identifikasi herpetofauna.

C. Prosedur
Tergantung dari tujuan Survei dan sumberdaya yang ada, prosedur Survei
herpertofauna dapat dilaksanakan dengan beberapa metode sebagai berikut

1. Survei Perjumpaan Visual (Visual Encounter Survei/VES)


a. Menentukan lokasi pengamatan
b. Mengamati semua habitat mikro yang dijumpai dengan menjelajah dalam
hutan
c. Mencari herpetofauna yang di atas vegetasi dan juga yang bersembunyi di
balik kayu rebah, batu atau serasah.
d. Menentukan waktu pencarian, misalkan total 2 jam per orang per pengamatan.
e. Membuat catatan untuk setiap individu yang ditemui: jenis, substrat, habitat,
aktivitas, posisi, waktu, morfometri, berat dan jenis kelamin.

Catatan:
o Survei dilakukan pada suatu area atau habitat tertentu untuk periode waktu
yang ditentukan sebelumnya untuk mencari satwa.
o VES digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis suatu daerah,
mengumpulkan daftar jenis dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies.
o Teknik ini bukan metode yang tepat untuk menentukan kepadatan (density)
karena tidak semua individu dalam area tersebut dapat terlihat dalam Survei.
VES dapat dilakukan di sepanjang transek, sepanjang sungai, sekitar kolam
dan lainnya

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   53  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

2. Sampling Kuadrat (Quadrat sampling)


a. Menentukan lokasi tempat kuadrat sebelum Survei. Umumnya dilakukan
secara sistematis misalnya berdasarkan jarak terdekat dari sisi sungai sampai
ke arah dalam hutan menjauhi sungai, namun pengambilan sampel hendaknya
secara acak
b. Menetapkan jumlah kuadrat, misalnya 80 kuadrat yang akan dicek selama 4
hari, siang dan malam (setiap hari terdiri dari 20 kuadrat).
c. Memberi tanda pada lokasi kuadrat dengan bendera bertuliskan kode kuadrat.
d. Mengambil sampel dengan cara stratified sampling.
e. Bila kuadrat dibuat untuk pengamatan herpetofauna serasah, disarankan untuk
menggunakan alat (serokan, batang kayu, sarung tangan) ketika memindahkan
serasah untuk mencegah tergigit hewan yang ada dalam serasah.
f. Membuat variasi kuadrat pada habitat mikro yang berbeda, misalnya kuadrat 2
x 2 m untuk daratan dan kuadrat volume pada tepian kolam. Ukuran kuadrat
3
volume yang dipakai adalah 1 x 1 x 1 m . Sebelum mulai melakukan metode
ini, cek kedalaman kolam, cek lokasi-lokasi yang mungkin berbahaya (misal
berlumpur lunak)
g. Data yang disarankan diambil untuk setiap kuadrat meliputi :
• Jenis dan jumlah satwa yang dijumpai
• Tanggal dan waktu saat sampling dimulai dan diakhiri,
• Kondisi umum cuaca (suhu, kelembaban)
• Kondisi habitat (tipe vegetasi, kelerengan, penutupan tajuk, penutupan
serasah, penutupan oleh herba dan penutupan batu atau kayu rebah)

Catatan:
o Metode ini dilakukan dengan menaruh berbagai seri kuadrat secara acak pada
lokasi yang ditentukan dalam sebuah habitat dan mencari secara seksama
herpetofauna dalam kuadrat tersebut. Biasanya digunakan untuk mempelajari
herpetofauna yang terdapat dilantai hutan atau jenis-jenis yang menghuni
daerah di sekitar sungai. Cara ini kurang efektif dilakukan pada habitat yang
memiliki penutupan tanah yang rapat serta lokasi-lokasi yang terjal karena
sulitnya menaruh kuadrat secara acak

3. Transek Garis
a. Menentukan lokasi penelitian/Survei
b. Menentukan jumlah transek garis, panjang transek (misal: 200 m) dan jumlah
titik sampling di setiap lokasi yang akan tergantung dari tujuan Survei dan
kondisi lokasi.
c. Meletakkan transek garis di lapangan secara acak atau sistematis

Catatan:
o Transek garis dapat digunakan untuk pengamatan herpetofauna pada berbagai

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   54  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

habitat. Beberapa herpetofauna sering memiliki respon yang berbeda terhadap


gradient lingkungan sehingga transek garis dapat mengidentifikasi perubahan
populasi herpetofauna.

4. Metode straight line drift fence dan pitfall traps


a. Menentukan lokasi penempatan contoh
b. Menempatkan Pitfall trap berderet dengan desain yang disesuaikan pada
kondisi habitat.
c. Menutup atau memberi potongan kayu/ranting yang mencuat keluar agar
hewan dapat keluar dari jebakan pada saat tidak digunakan.
d. Membuka jebakan pada malam hari dan mengecek pada pagi hari.
e. Melindungi jebakan dari matahari langsung agar apabila tidak sempat
mengecek pada pagi hari, hewan yang terjebak di dalamnya tidak mati karena
kepanasan.
f. Mencegah kematian hewan akibat penjebakan seperti tenggelam, dehidrasi,
predasi.

Catatan:

o Jebakan penjatuh (Pitfall trapping) atau adalah salah satu metode yang paling
banyak digunakan untuk mengambil data herpetofauna. Umumnya metode ini
menggunakan wadah kotak atau bulat yang disimpan di bawah air atau dalam
tanah dengan bagian atas wadah terletak di permukaan. Ukuran dan bentuk
wadah umumnya bervariasi tergantung spesies yang akan dijebak. Pitfall
trapping umumnya dikombinasikan dengan pagar pembatas (drift fence).
o Drift fence adalah pagar pendek berukuran 0,5-1 meter yang terbuat dari jaring
atau plastik dan berguna untuk menuntun herpetofauna agar masuk ke dalam
pitfall trap, panjangnya biasanya antara 5-15 m. setiap beberapa meter akan
dipasang pitfall trap. Jebakan dan pagar pengarah hanya mampu menangkap
beberapa jenis herpetofauna saja. Katak- katak pemanjat atau yang kuat
melompat lebih sulit ditangkap menggunakan metode ini dibandingkan jenis-
jenis terrestrial. Yang harus diingat bahwa untuk membuat jebakan ini
diperlukan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar.
o Bila Survei dilakukan dalam jangka pendek, pembuatan jebakan mungkin tidak
efektif. Metode ini cocok untuk monitoring jangka panjang karena lubang bisa
digunakan kembali bila diperlukan.
o Data yang diambil dalam penelitian atau Survei lapangan dapat berupa data
kuantitatif atau kualitatif. Kegunaan data ini tergantung oleh berbagai faktor
antara lain: desain eksperimen atau prosedur sampling yang digunakan,
pemilihan alat dan kemampuan menggunakan alat, dan kondisi lingkungan.
Analisis statistika digunakan untuk membantu memahami data-data yang
diperoleh. Analisis statistika yang paling sederhana adalah analisis deskripsi.
o Indeks yang umum digunakan adalah indeks keanekaragaman jenis (species
diversity), yaitu indeks shannon-Weaver dan indeks kemerataan (evenness). 

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   55  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS
SURVEI SERANGGA

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   56  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

7. SURVEI SERANGGA
7.1. Informasi Umum
Serangga merupakan kelompok organisme yang paling banyak jenisnya
dibandingkan dengan kelompok organisme lainnya dalam Phylum Arthropoda.
Hingga saat ini telah diketahui sebanyak lebih kurang 950.000 spesies serangga
didunia, atau sekitar 59,5% dari total organisme yang telah dideskripsi. Tingkat
keragaman serangga yang sangat tinggi dapat beradaptasi pada berbagai kondisi
habitat, baik yang alamiah seperti hutan-hutan primer maupun habitat buatan
manusia seperti lahan pertanian dan perkebunan (Siswanto & Wiratno, 2001).
Serangga amat berperan bagi ekosistem dan bagi keberadaan manusia di bumi.
May Berenbaum (1995), entomologist dari University of Illinois menyatakan
peran serangga sebagai berikut: “like it or not, insects are a part of where we have
come from, what we are now, and what we will be”. Beberapa contoh dapat
disampaikan di sini, seperti penyuburan tanah, siklus nutrisi, propagasi tanaman,
polinasi dan penyebaran tanaman, termasuk menjaga struktur komunitas hewan
melalui rantai dan jaring makanan. Sebagai kelompok organisme yang amat
penting bagi ekosistem, para ahli menyatakan bahwa keberadaan beberapa
serangga dinyatakan sebagai ‚keystone species‛, misalnya peran rayap sebagai
dekomposer, atau pun serangga yang hidup dalam ekosistem akuatik, berperan
dalam siklus nutrisi kehidupan organisme di dalam air (Gullan & Cranston, 2005).
Banyaknya jumlah jenis serta bentuknya yang sangat beragam membuat
identifikasi jenis serangga sulit dilakukan. Entomologits biasanya pertama kali
mengkalisifikasikan serangga kedalam ordo. Ordo utama serangga yang
umumnya dikenal adalah diptera (lalat), coleoptera (kumbang), hemiptera (kepik),
Odonata (capung), orthoptera (belalang), hymenoptera (semut), lepidoptera (kupu-
kupu), dan isoptera (rayap).
Untuk mengetahui ciri dan bentuk dari masing-masing ordo tersebut dapat dilihat
pada gambar 12 pada berikut ini.

Ordo Blattaria Ordo Coleoptera Ordo Collembola


Roaches Beetles & Weevils Springtails
(Kecoak) (Kumbang Kelapa) (Ekor Pegas)

Ordo Dermaptera Ordo Diptera Ordo Hemiptera


Earwigs Flies & Mosquito True bugs
(Undur-undur) (Lalat & Nyamuk) (Wareng/Empangau)

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   57  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Ordo Homoptera Ordo Hymenoptera Ordo Isoptera


Cicadas & Aphid Bees & Wasps Termites
(Keriang & Kutu Daun) (Lebah, Penyengat & Semut) (Rayap)

Ordo Lepidoptera Ordo Mantodea Ordo Mecoptera


Butterflies & Moths Mantids Scorpionfly
(Kupu-kupu & Ngengat) (Belalang Sembah) (Lalat Kalajengking)

Ordo Neuroptera Ordo Orthoptera Ordo Phasmida


Lacewing Grasshoppers Walkingstick
(Belalang) (Belalang Ranting)

Ordo Siphonaptera Ordo Thysanura Ordo Ephemeroptera


Fleas Silverfish Mayflies
(Kutu Kucing) (Kutu Buku) (Lalat Sehari/Peladuk)

Ordo Odonata
Ordo Trichoptera Ordo Plecoptera
Dragonflies & Damselflies
Caddisfly Stoneflies
(Capung & Sibar)

Gambar 23. Jenis-jenis Serangga Dari 21 Ordo yang Umumnya Dikenal

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   58  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Menurut Lilies (1991) kelas insekta dibedakan menjadi 2 subkelas yaitu subkelas
Apterygota (serangga tak bersayap) clan subkelas pterygota (serangga bersayap).
Kelas serangga herbivora terbagi dalam beberapa ordo diantaranya yaitu :
1. Ordo Protura
Termasuk serangga primitif dengan tubuh hanya beberapa milimeter. Tidak
mempunyai sayap, antena, dan mata, tetapi memiliki bintik hitam di kiri
kanan kepala. Fungsi antena digantikan oleh kaki depan yang selalu diangkat
ke atas, sehingga berjalan hanya dengan kaki depan dan belakang. Habitatnya
di tempat sejuk dan lembap, seperti di bawah batu-batuan, serasah, tanah
berhumus, batang pohon roboh, dan di kulit pohon. Terdiri atas lebih dari 100
jenis teridentifikasi.
2. Ordo Diplura
Langsing dan kecil, berukuran 5-10 mm. Tidak bersayap dan tidak bermata,
antena panjang. Ekornya berupa sepasang rambut atau pencapit. Hidup
tersembunyi di tempat-tempat lembap, di bawah serasah, sampah, humus,
batu-batuan, dan sebagainya. Gerakannya cepat dan takut cahaya. Makan
tanaman segar atau busuk, jamur, dan binatang kecil. Jenis teridentifikasi
sekitar 100 jenis.
3. Ordo Collembola (agas-agas)
Termasuk serangga bertubuh kecil dengan panjang beberapa milimeter dan
tidak bersayap. Antena cukup panjang, umumnya bermata. Di ujung bawah
abdomen terdapat semacam ekor untuk meloncat. Menyukai lingkungan yang
basah atau lembap, biasa ditemukan di antara lumut, humus, sampah, sarang
semut dan rayap, gua, serta di sekitar perairan tawar maupun laut. Agas-agas
yang hidup di sarang semut atau rayap tidak bermata dan berekor pegas.
Makanan utamanya spora dan semaian tanaman. Agas-agas yang hidup di
permukaan air makan ganggang renik. Jenis teridentifikasi mencapai 1500.
4. Ordo Thysanura (perak-perak/renget)
Menyukai lingkungan yang sejuk dan lembap seperti di hutan, kebun, dan
juga lingkungan kering dalam rumah seperti pada laci meja, lemari pakaian,
lemari buku, tumpukan kertas/karton, serta gudang. Beberapa hidup di sarang
semut atau rayap. Tubuhnya gepeng mengecil ke belakang atau agak silindris,
panjang 10-20 mm, bersisik putih keperak-perakan, kelabu, atau coklat
kehitaman, dan mengkilat. Kepalanya agak besar, berantena panjang, bermata
besar atau kecil, dan tidak bersayap. Jenis yang hidup di sarang semut atau
rayap tidak bermata. Berekor berupa 2-3 rambut kaku panjang yang
dinamakan sersi. Gerakannya cepat, umumnya menghindari tempat-tempat
terang. Makanannya tumbuhan mati dan busuk, jamur, lumut, jili dan buku,
kertas, dan juga pakaian. Jenis teridentifikasi sekitar 40 jenis, contoh yang
biasa ditemukan dalam rumah adalah Lepisma saccharina.
5. Ordo Orthoptera (belalang, jangkrik)
Serangga ini memiliki antena yang hampir selalu lebih pendek dari tubuhnya
dan juga memiliki ovipositor pendek. Suara yang ditimbulkan beberapa
spesies belalang biasanya dihasilkan dengan menggosokkan femur
belakangnya terhadap sayap depan atau abdomen (disebut stridulasi), atau
karena kepakan sayapnya sewaktu terbang. Femur belakangnya umumnya

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   59  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

panjang dan kuat yang cocok untuk melompat. Serangga ini umumnya
bersayap, walaupun sayapnya kadang tidak dapat dipergunakan untuk
terbang.
6. Ordo Blattaria (lipas)
Sudah hidup sejak zaman karbon (350-270 juta tahun yang lalu). Pada kedua
sisi kepala terdapat mata majemuk berwarna hitam. Tepat di bawah mata
terdapat cekungan tempat keluar antena filliform (bentuk benang). Di antara
kedua pangkal antena terdapat mata tunggal yang disebut osellus.
Lipas mempunyai mulut tipe penggigit dan pengunyah. Memiliki dua pasang
sayap. Sayap depan disebut tegmina, liat seperti kulit atau perkamen, tidak
tembus cahaya, untuk melindungi sayap belakang yang lebih besar, halus,
tipis, transparan, serta digunakan untuk terbang. Habitatnya adalah hutan,
pemukiman manusia, serta tempat gelap, kotor, dan lembap. Makanannya
berupa daun yang mulai membusuk, ranting lapuk, bahan dan sisa makanan
manusia, bahkan kotoran manusia.
7. Ordo Mantodea (belalang)
Belalang adalah serangga herbivora dari subordo Caelifera dalam ordo
Orthoptera. Serangga ini memiliki antena yang hampir selalu lebih pendek
dari tubuhnya dan juga memiliki ovipositor pendek. Suara yang ditimbulkan
beberapa spesies belalang biasanya dihasilkan dengan menggosokkan femur
belakangnya terhadap sayap depan atau abdomen (disebut stridulasi), atau
karena kepakan sayapnya sewaktu terbang. Femur belakangnya umumnya
panjang dan kuat yang cocok untuk melompat. Serangga ini umumnya
bersayap, walaupun sayapnya kadang tidak dapat dipergunakan untuk
terbang. Belalang betina umumnya berukuran lebih besar dari belalang
jantan.
8. Ordo Lepidoptera (kupu-kupu)
Kupu-kupu dan ngengat (rama-rama) merupakan serangga yang tergolong ke
dalam ordo Lepidoptera, atau 'serangga bersayap sisik' (lepis, sisik dan
pteron, sayap). Secara sederhana, kupu-kupu dibedakan dari ngengat alias
kupu-kupu malam berdasarkan waktu aktifnya dan ciri-ciri fisiknya. Kupu-
kupu umumnya aktif di waktu siang (diurnal), sedangkan gengat kebanyakan
aktif di waktu malam (nocturnal). Kupu-kupu beristirahat atau hinggap
dengan menegakkan sayapnya, ngengat hinggap dengan membentangkan
sayapnya. Kupu-kupu biasanya memiliki warna yang indah cemerlang,
ngengat cenderung gelap, kusam atau kelabu. Meski demikian, perbedaan-
perbedaan ini selalu ada perkecualiannya, sehingga secara ilmiah tidak dapat
dijadikan pegangan yang pasti. (van Mastrigt dan Rosariyanto, 2005). Kupu-
kupu dan ngengat amat banyak jenisnya. Di Jawa dan Bali saja tercatat lebih
dari 600 spesies kupu-kupu. Jenis ngengatnya sejauh ini belum pernah
dibuatkan daftar lengkapnya, akan tetapi diduga ada ratusan jenis (Whitten
dkk., 1999).
9. Ordo Hymenoptera (tawon, lebah)
Lebah madu adalah salah satu jenis serangga dari sekitar 20.000 spesies
lebah. Saat ini ada sekitar tujuh spesies lebah madu yang dikenal dengan
sekitar 44 subspesies. Semua spesies ini termasuk dalam genus Apis. Mereka

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   60  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

memproduksi dan menyimpan madu yang dihasilkan dari nektar bunga.


Selain itu mereka juga membuat sarang dari lilin, yang dihasilkan oleh para
lebah pekerja di koloni lebah madu.
10. Ordo Coleoptera (kumbang)
Kumbang adalah salah satu binatang yang memiliki penampilan seperti
kebanyakan spesies serangga. Ordo Coleoptera, yang berarti "sayap berlapis",
dan berisi spesies yang sering dilukiskan di dalamnya dibanding dalam
beberapa ordo lain dalam kerajaan binatang. Empat puluh persen dari seluruh
spesies serangga adalah kumbang (sekitar 350,000 spesies), dan spesies baru
masih sering ditemukan. Perkiraan memperkirkan total jumlah spesies, yang
diuraikan dan tidak diuraikan, antara 5 dan 8 juta. Kumbang dapat ditemukan
hampir di semua habitat, namun tidak diketahui terjadi di lautan atau di
daerah kutub. Interaksi mereka dengan ekosistem mereka dilakukan dengan
berbagai cara. Mereka sering makan pada tumbuhan dan jamur, merusak
pertahanan binatang dan tumbuhan, dan memangsan invertebrata lain.
Beberapa spesies dimangsa berbagai binatang seperti burung dan mamalia.
Jenis tertentu merupakan hama agrikultur, seperti Kumbang kentang
Colorado Leptinotarsa decemlineata.

7.2. Metode Survei Serangga


7.2.1. Perangkap Cahaya (Light Traps)
Metode ini banyak digunakan untuk menginventarisasi serangga yang tertarik
dengan cahaya misalnya jenis-jenis ngengat, keriang, kumbang tanduk dll. Hasil
inventarisasi serangga ini dapat dijadikan indikator umum keragaman jenis.
Lokasi dengan jumlah serangga yang lebih banyak akan memiliki keragaman
jenis yang lebih baik.

Gambar 24. Jenis Perangkap Cahaya yang Dipasang Vertikal dan Horizontal

Inventarisasi jenis dilakukan pada tempat pengumpulan di lokasi Survei, untuk itu
pilihlah lokasi yang tepat, biasanya berlokasi pada bukit atau sisi sungai. Pada

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   61  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

lokasi yang telah dipilih dipasang beberapa layar putih yang digantung vertikal
atau horizontal untuk mempermudah dalam mendeteksi serangga yang
menghampiri. Pada malam hari, lampu neon atau lampu ultraviolet dipasang agar
serangga tertarik oleh cahaya tersebut dan menghampiri lembaran putih yang telah
dipasang vertikal tadi. Untuk mempermudah dalam menyiapkan lembaran putih
ini bisa digukana ponco biasa yang sisi luarnya berwarna biru dan sisi dalammnya
berwarna putih.
Pengkoleksian serangga yang datang menghampiri perangkap cahaya ini bisa
dilakukan dengan menagkap secara manual dengan tangan atau memasang
penangkap air yang diletakan di bawah lembaran putih tadi.

7.2.2. Perangkap Lengket (Sticky Traps)


Sticky trapes adalah lebaran kertas dengan ukuran tertentu yang dilumuri oleh
bahan yang lengket. Untuk perangkap lengket pada serangga jangan gunakan
kertas lem tikus karena selain serangga yang tertangkap akan mudah rusak dan
sulit untuk diidentivikasi juga akan membahayakan satwa lainnya karena
mempunyai daya rekat yang tinggi. Gunakan kertas lem penangkap serangga saja
atau kertas pembukus nasi kemudian diolesi dengan lem kertas atau minyak
makan ini akan lebih baik dan mudah dalam membawa dan menyiapkannya.
Perangkap lengket ini juga bisa dimodifikasi dengan menggunakan bola lampu
serta ditambahi lagi dengan wadah penagkap serangga yang dipasang pada bagian
bawahnya. Ketika serangga menyentuh kertas ini, mereka akan terjebak sehingga
sipengamat secara reguler bisa mengamati serangga yang terperangkap.

Gambar 25. Jenis Perangkap Lengket dengan Lampu dan Biasa

7.2.3. Jebakan Penjatuh (Pitfall Traps)


Pitfall trapping atau jebakan penjatuh adalah salah satu metode yang banyak
digunakan untuk mengambil data serangga yang ada dipermukaan tanah atau
serasah. Metode ini juga biasanya digunakan untuk hepertofauna. Pemasangan

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   62  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

jebakan pejatuh ini dapat dilakukan di areal terbuka atau padang kalap, daerah
kerangas dan pada hutan yang tinggi, yang pemasangannya dilakukan di bawah
tajuk atau di bawah semak atau perdu. Pemeriksaan tangkapan serangga pada
jebakan penjatuh ini harus hati-hati karena ada beberapa jenis serangga yang
hidup di serasah memiliki bisa/racun seperti lipan/kelabang, kalajengking, labah-
labah, kumbang api, dll.

Gambar 26. Jenis Jebakan Pejatuh Untuk Serangga

7.2.4. Perangkap serangga terbang (Flight Interceptors)


Ada beberapa jenis perangkap serangga terbang. Yang biasa digunakan adalah
kasa nyamuk sepanjang 1,5 meter tinggi 35 cm yang di letakkan di atas tanah. Di
bawah kasa ini, diletakkan wadah berisi air deterjen untuk menangkap serangga.
Beberapa serangga terbang akan menabrak kasa dan terjatuh ke dalam wadah
berisi air deterjen dan tenggelam. Metode ini tentunya tidak dapat mewakili
seluruh serangga di areal tersebut, akan tetapi dapat memberikan standar yang
dapat diulang.

Gambar 27. Alat Perangkap Serangga Terbang dan Penagkapan Secara Manual

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   63  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Untuk mendapatkan tangkapan serangga yang terlihat, Flight Interceptors dapat


dilakukan dengan menggunakan jaring sauk yang terbuat dari kasa nyamuk
dengan panjang 1 meter dan lingkaran diameter bagian muka 25 cm. Dengan alat
ini serangga dapat diburu dan ditangkap, tentupula perlu keahlian dalam
menangkapnya. Hal ini diperkenankan untuk mendapatkan serangga yang lebih
banyak di daerah pengamatan. Metode ini hampir sama dengan metode Mark and
Recapture.

7.3. Analisis Data


Indeks ini digunakan untuk mengukur karakteristik dari komunitas serangga pada
suatu lokasi pada waktu tertentu adalah indeks yang umum digunakan untuk
keanekaragaman jenis (species diversity), yaitu indeks shannon-Weaver (sama
dengan yang digunakan pada survey herpetofauna)

Untuk keanekaragaman jenis serangga dihitung dengan menggunakan rumus


jumlah famili dibagi dengan akar jumlah total individu yang ada di lapangan
(Michael, 1994). Sedangkan perhitungan kelimpahan masing- masing famili yang
paling dominan di lapangan adalah dengan menghitung jumlah individu satu
famili terkoleksi dibagi dengan jumlah total individu seluruh famili selama
pengamatan atau dapat ditulis dengan rumus (Michael, 1995).

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   64  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI SERANGGA

A. Informasi Umum 


Serangga memiliki nama ilmiah Insecta, dan merupakan salah satu dari kelas
binatang beruas atau Arthropoda. Serangga disebut juga heksapoda yang berasal
dari kata heksa yang artinya 6 (enam) dan kata podos yang berarti kaki. Kelas
insekta termasuk dalam sub filum Atelocerata. Insekta merupakan kelas terbesar
dalam filum arthropoda, beranggota 675.000 spesies yang tersebar disemua
penjuru dunia. Insekta merupakan invertebrata yang hidup di darat, di tempat
kering dan dapat terbang. Menurut Lilies (1991) kelas insekta dibedakan menjadi
2 subkelas yaitu subkelas Apterygota (serangga tak bersayap) clan subkelas
pterygota (serangga bersayap).
Informasi mengenai jenis serangga di suatu tempat penting untuk diketahui karena
serangga yang dapat hidup di berbagai habitat atau lingkungan dapat dijadikan
indikator kondisi lingkungan yang berbeda. Misalnya keberadaan serangga dapat
digunakan sebagai indikator hutan primer, hutan sekunder, bekas terbakar, rawa,
savana dan sebagainya. Serangga juga dapat menjadi bio-indikator yang sensitif
yang dapat mengungkapkan aspek lingkungan yang tidak terlihat oleh mata.
Untuk membandingkan kondisi di daerah yang berbeda sangat penting untuk
menggunakan metode yang sama di kedua lokasi.

B. Peralatan
Tergantung dari metode yang digunakan dan serangga yang akan disurvei, pada
prinsipnya peralatan survei serangga adalah : Pitfall trap, Jaring (Sweepnet),
Kamera, Cangkul. Gelas aqua, Plastik, Alat pembuat spesimen serangga, serta
Alkohol 70%

C. Prosedur
1. Menggunakan Perangkap Cahaya (Light Traps)
a. Menentukan lokasi penempatan perangkap cahaya biasanya pada kaki bukit
atau tepi sungai
b. Memasang perangkap cahaya yang terdiri dari layar putih yang digantung
vertikal dan lampu atau lampu ultra violet
c. Menghitung dan mencatat jenis serangga yang terperangkap

Catatan:
o Metode ini banyak digunakan untuk menginventarisasi serangga yang tertarik
dengan cahaya misalnya ngengat.
o Hasil inventarisasi ngengat dapat dijadikan indikator umum keragaman jenis.
Lokasi dengan jumlah ngengat yang lebih banyak akan memiliki keragaman
jenis yang lebih baik. 

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   65  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

2. Menggunakan Perangkap Lengket (Sticky Traps)


a. Menentukan lokasi penempatan perangkap lengket pada tempat-tempat yang
banyak dijumpai serangga terbang
b. Memasang perangkap lengket
c. Menghitung dan mencatat jenis serangga yang terperangkap

Catatan:
o Sticky trapes adalah lebaran kertas dengan ukuran tertentu yang dilumuri oleh
bahan yang lengket. Ketika serangga menyentuh kertas ini, mereka akan
terjebak sehingga pengamatan secara reguler bisa mengamati serangga yang
terperangkap.
o Sticky traps dapat berupa warna yang cerah untuk menarik serangga yang
terbang di siang hari. Juga dapat diberi aroma yang dapat menarik serangga
atau diletakkan di dekat umpan atau bunga.
o Ukuran kertas lengket dapat distandarkan sehingga mewakili unit smapling
standar. Juga diperlukan pelarut (solvent) agar serangga yang tertangkap dapat
dilepaskan untuk pembuatan spesimen.

3. Metode pitfall traps


a. Menentukan lokasi penempatan pitfall traps.
b. Menempatkan Pitfall trap berderet dengan desain yang disesuaikan pada
kondisi habitat.
c. Membuka jebakan pada malam hari dan mengecek pada pagi hari.

Catatan:
o Jebakan penjatuh (Pitfall trapping) adalah salah satu metode yang banyak
digunakan untuk mengambil data serangga yang ada dipermukaan tanah atau
serasah.

4. Metode Perangkap serangga terbang (Flight Interceptors)


a. Menentukan lokasi penempatan perangkap serangga terbang
b. Menentukan jenis perangkap (yang biasa digunakan adalah kasa nyamuk
sepanjang 1,5 meter tinggi 35 cm yang di letakkan di atas tanah)
c. Meletakkan wadah berisi air deterjen untuk menangkap serangga dan
tenggelam
d. Beberapa serangga terbang akan menabrak kasa dan terjatuh ke dalam wadah
berisi air deterjen dan tenggelam
e. Membuka jebakan pada malam hari dan mengecek pada pagi hari.

Catatan:
o Metode ini tentunya tidak dapat mewakili seluruh serangga di areal tersebut,
akan tetapi dapat memberikan standar yang dapat diulang.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   66  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS
SURVEI FLAG-SHIP SPECIES
(Orangutan, Bekantan, Buaya Senyulong & Penyu)

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   67  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

8. SURVEI ORANGUTAN

8.1. Informasi Umum


Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia dan
penyebarannya juga terbatas hanya di Sumatra dan Kalimantan. Secara morfologis
orangutan yang hidup di Sumatra dan Kalimantan ini dapat dibedakan dari warna
rambutnya dimana orangutan dari Sumatra (Mawas/Pongo abelli) memiliki warna
rambut lebih terang dibanding Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang
cenderung coklat tua sampai kehitaman.
Perkembangan ilmu genetika telah memberikan masukan yang besar terhadap
identifikasi jenis, adanya uji genetika berhasil mengungkap bahwa Orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus), terbagi menjadi 3 sub-jenis (sub-spesies) yaitu:
Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbii, dan Pongo pygmaeus
morio. Masing-masing sub-spesies berdiferensiasi sesuai dengan daerah sebaran
geografisnya dan meliputi ukuran tubuh.

Foto : Jef Oonk Foto : Wahyu Susanto

Orangutan Sumatra Orangutan Kalimantan Tengah


Gambar 28. Perbedaan Orangutan Sumatra dan Kalimantan

Orangutan Kalimantan Tengah (P.p. wurmbii) mendiami daerah Kalimantan Barat


dan Kalimantan Tengah. Mereka merupakan sub-spesies Borneo yang terbesar.
Orangutan Kalimantan daerah Timur Laut (P.p. morio) mendiami daerah Sabah
dan daerah Kalimantan Timur. Mereka merupakan sub-spesies yang terkecil. Dan
untuk orangutan (P.p. pygmaeus) saat ini diketahui yang mempunyai sebaran
yang paling sempit yaitu di bagian utara Kalimantan Barat sampai ke Kucing
(Malaysia).
Konvensi Perdagangan International Tumbuhan dan Satwa Liar Species Terancam
Punah (CITES) memasukkan orangutan dalam kategori Appendix I dan The
International Union for The Conservation of Nature (IUCN) memasukkan
orangutan Kalimantan dalam kategori endangered (terancam punah), sedangkan
orangutan Sumatera dimasukkan ke dalam kategori critical endangered (sangat
terancam). Dalam situs www.iucnredlist.org, justifikasi mengenai kategori
endangered bagi orangutan Kalimantan karena mengalami penurunan populasi
sebesar 50% selama rentang waktu 60 tahun. Penurunan populasi species ini
diprediksi akan berlanjut pada level ini, utamanya karena deforestasi (konversi
hutan untuk perkebunan dan kebakaran hutan). Di samping itu, perdagangan
illegal orangutan juga menjadi bahaya utama bagi populasi orangutan.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   68  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Guna dapat mengetahui populasi serta aspek kehidupan orangutan yang ada di
TN. Tanjung Puting khususnya yang berada pada daerah pengelolaan SPTN
Wilayah II maka perlu dilakukan survei terhadap jenis ini secara intensif dan
terarah, untuk itu maka Pedoman Teknis ini disiapkan.

8.2. Metode Survei Orangutan


Metode pendugaan populasi menggunakan sarang merupakan salah satu metode
yang digunakan untuk menduga populasi satwa di alam terutama jenis-jenis yang
memilki perilaku membuat sarang dalam aktivitas hariannya seperti orangutan
(Harrisson 1962; Schaller 1961). Orangutan membangun paling tidak satu sarang
per hari untuk beristirahat dan tidur di malam hari (Maple 1980). Bahkan jumlah
sarang yang dibangun oleh orangutan muda jauh lebih banyak karena juga
digunakan sebagai sarana bermain. Orangutan dalam membangun sarangnya
tampaknya memilih tempat yang menguntungkan dengan mempertimbangkan
letak pohon berbuah terdekat dan topografi daerah sehingga tempat bersarang
terdistribusi secara acak. Sarang orangutan tetap terlihat 2,5 bulan dengan variasi
antara 2 minggu sampai 1 tahun (Rijksen 1978).
Dua metode yang umum digunakan dalam pendugaan kepadatan ukuran populasi
orangutan adalah strip-transect methodology (metodologi strip-transek) dan recce-
walks (White dan Edwards 2000). Adapun prosedur kedua metode tersebut
dirincikan sebagai berikut :

8.2.1. Strip-transect methodology


Teori ini menekankan empat asumsi dasar (Burnham et al. 1980), yaitu :
• Semua hewan atau obyek di atas garis transek dicatat
• Obyek teramati sebelum bergerak menjauh
• Pengamatan adalah kejadian independen
• Jarak diukur secara tepat
Hanya dua asumsi pertama yang merupakan asumsi khusus untuk penghitungan
obyek tidak bergerak seperti sarang. Pada pelaksanaan survei, penekanan khusus
diberikan untuk memotong lurus secara acak transek-transek yang dilokasikan.
Transek-transek ini dijalankan hampir tegak lurus dengan sungai-sungai utama
untuk mereduksi variasi transek antara dan untuk mendapatkan estimasi densitas
yang lebih dapat dipercaya di setiap kawasan survei (Cassey & MCardle 1999).

8.2.2. Metode Recce walks (Jejak intai)


Prinsip dasar recce walks (RWs) adalah mendapatkan jalur dengan resistensi
terkecil untuk menyeberangi hutan. Kumpulan data Recce Walks sama dengan
Line Transect (LT) kecuali bahwa jarak tegak lurus dari sarang ketransek tidak
dicatat. Oleh karena itu, menetapkan secara langsung densitas atau kerapatan
sarang dengan metode RWs adalah sangat tidak mungkin meskipun pengerjaan
indeks linier dari data recce-walks adalah mudah (misalnya jumlah sarang per km
perjalanan). Keunggulan metode utama metode RWs adalah cocok untuk survei
cepat dan dapat menginvestigasi kawasan yang lebih luas.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   69  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

8.3. Analisis Data


8.3.1. Menaksir kepadatan populasi dan jumlah populasi
Di antara perilaku harian Orangutan adalah membuat sarang untuk tidur atau
istirahat di siang hari. Sarang ini merupakan indikator keberadaan Orangutan di
suatu kawasan yang menjadi habitatnya. Untuk itu, estimasi populasi Orangutan
dapat diketahui melalui analisis jumlah sarang yang ditemukan.

Pengamatan Kelas Umur Sarang


Kelas umur sarang ditentukan berdasarkan tingkat kelapukan dan kerusakan
sarang. Sarang baru dikategorikan ke dalam tipe A dan sarang lama ke dalam B,
C, D, dan bahkan kalau bekas sarang hanya tinggal ranting digolongkan ke dalam
tipe E. Melakukan monitoring populasi orangutan dengan inventarisasi sarang,
umur sarang dari tipe A – E berperan penting dalam menaksir populasi
Orangutan.
Uraian kelas umur sarang sebagai berikut :
A = Sarang baru, warna daun masih sepenuhnya berwarna hijau
B = Sarang relative baru, warna daun campuran antara hijau dan coklat kering
C = Sarang berwarna coklat, betuk sarang masih utuh
D = Sarang berwarna coklat, bentuk sarangnya masih utuh bagian-bagian sarang
sudah hilang.
E = Sarang sudah tua / lama, daun – daun sudah hilang dan hanya ranting-
ranting yang masih tersisa.

Gambar 29. Tipe Kelas Sarang Orangutan

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   70  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Pencatatan Parameter Lainnya


Ada delapan data tambahan juga diperlukan untuk melengkapi informasi
terutama sebagai penanda perilaku bersarang di daerah tertentu, yaitu:
• Nama jenis pohon ditemukan sarang (nama lokal/latin);
• Tinggi pohon tempat ditemukannya sarang, diukur dari pangkal pohon hingga
ujung tajuk;
• Diameter pohon ditemukannya sarang, diambil pada ketinggian setinggi dada ±
130 cm dari permukaan tanah;
• Ketinggian sarang (dari permukaan tanah sampai keberadaan sarang pada
pohon);
• Jarak sarang dengan kanopi pohon teratas;
• Posisi sarang di pohon;
• Ukuran sarang;
• Sudut antara jalur dengan posisi sarang;

Gambar 30. Letak Posisi Sarang Orangutan

• Posisi 1, terletak pada bagian tengah percabangan utama.


• Posisi 2, terletak di pinggir dari cabang.
• Posisi 3, terletak dipercabangan utama paling ujung (di puncak pohon)
• Posisi 4, terletak di diantara 2 buah pohon yang saling bertautan.
• Posisi 5, terletak di permukaan tanah.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   71  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Parameter lainnya ini dicatat dalam tally sheet seperti pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Tally Sheet Monitoring Populasi Orangutan


Jarak Jarak Pohon Nama Tinggi Tinggi Diameter Kelas Ukuran Banyaknya
No Ket
transek dari Transek Pohon Pohon sarang Pohon Sarang Sarang pohon

Analisis Vegetasi
Faktor ekologis pendukung perilaku bersarang orangutan, yang diamati hanya
kerapatan pohon dan basal area yang diteliti dalam plot berukuran 20 x 20 m. Plot
dibuat pada setiap jalur pengamatan sarang orangutan. Jumlah plot disesuaikan
dengan panjang jalur. Teknis melakukan Analisa Vegetasi sama dengan pada
Survei Vegetasi pada tingkat pohon.

10.3.2. Analisis Data


Estimasi populasi orangutan melalui metode survei jumlah sarang dihitung
dengan menggunakan rumus :
D = N/(L x 2w x p.r.t)
Dimana:
D = kepadatan populasi Orangutan (per km²)
L = panjang jalur (km)
w = lebar jalur efektif untuk melihat sarang (km)
p = proporsi Orangutan membuat sarang
r = jumlah sarang yang dibuat oleh satu Orangutan rata-rata/hari
t = lamanya waktu sarang dari awal dibuat sampai lapuk (hari)
N = jumlah sarang yang tercatat di sepanjang jalur

Nilai Parameter Kerapatan Pendugaan Populasi


• Panjang jalur (L).
Panjang jalur pada kegiatan Monitoring Populasi Orangutan adalah 4 km.
• Lebar jalur efektif (w)
Jarak efektif pengamatan jarak pohon sarang ke jalur yang masih dapat dilihat
pada kanopi yang jarang adalah 32 m (Bismark, 2003). Berdasarkan
pengamatan di lapangan dengan kerapatan pohon di atas 20 cm mencapai lebih
dari 200 pohon/ha, maka nilai yang digunakan adalah adalah 22,6 m seperti
yang digunakan oleh Van Schaik et al. (1995).

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   72  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Proporsi individu Orangutan membuat sarang (p).


Berdasarkan studi dengan panjang diketahui proporsi orangutan yang membuat
sarang adalah 90% (Lubis et al. 2000 dalam Bismark 2003).
• Jumlah sarang yang dapat dibuat Orangutan rata-rata setiap hari (r).
Dari berbagai penelitian didapat angka 1,7 dan 1,8 sarang/hari (Bismark 2003).
Dari pengamatan lapangan, jumlah sarang yang terlihat sesuai dengan kondisi
tegakan, nilai yang digunakan adalah 1,7.
• Umur sarang dari tipe A (baru) sampai tipe E (t).
Kelas sarang bergantung pada jenis pohon, temperatur, dan kelembaban udara,
termasuk sarang yang dibuat untuk istirahat di siang hari atau untuk bermalam.
Pembuatan sarang untuk siang hari tidak intensif, sehingga kualitas sarang
tidak sebaik sarang untuk malam hari. Dalam hal ini komposisi vegetasi tidak
banyak berpengaruh pada pembusukan sarang. Pada kegiatan kali ini,
digunakan nilai umur sarang yang digunakan adalah 276 (Casdika dkk., 2006).
Untuk menghindari estimasi yang tinggi, digunakan faktor koreksi 0,76 (Van
Schaik et al. 1995; Lubis et al. 2000 dalam Bismark 2003).

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   73  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI ORANGUTAN

A. Informasi Umum
Orangutan merupakan satwa yang aktif pada siang hari (diurnal) dan beraktifitas
sejak meninggalkan sarang tidurnya pada pagi hari hingga tidur kembali di dalam
sarang tidurnya pada malam hari. Orangutan memiliki sistem sosial tersendiri
yang berbeda dengan bangsa kera lainnya. Orangutan hidup soliter, tidak
membentuk kelompok seperti jenis kera dan monyet lainnya.
Orangutan akan membuat sarang apabila ingin istirahat pada siang hari maupun
tidur pada malam hari. Hal ini terjadi apabila pada suatu tempat sumber
makanannya berlimpah, maka orangutan tidak akan berpindah dari tempat
tersebut untuk beberapa lama (Wardiningsih, 1992). Aktivitas ini meliputi
pematahan dan perlakuan cabang-cabang dan atau tanaman untuk tempat
makanan, atau pelindung tubuh di atas kepala untuk menahan hujan.

B. Peralatan
• Field guide atau buku panduan lapangan,
• Tally sheet dan peralatan tulis (untuk mencatat data temuan),
• Kompas (untuk mengukur arah dan sudut tempat satwa teramati),
• Binokuler (untuk mengamati satwa dari jarak jauh),
• Gipsum (apabila jejak kaki satwa ingin dicetak),
• Pita (sebagai penanda titik-titik pengamatan lokasi satwa yang teramati),
• GPS (untuk menentukan titik dalam bentuk digital),
• Higrometer (untuk mengukur suhu dan kelembaban udara),
• Kamera (untuk mengambil gambar, satwa di habitatnya),

C. Prosedur
Menentukan tujuan survey dan metode yang akan digunakan, seperti untuk
menghitung populasi Orangutan menggunakan metode transek atau Recce Walks.
Penggunaan metode titik konsentrasi satwa, pengamatan satwa target, focal
animal, adlibitum, marsh jika untuk mengetahui perilaku dan strata habitat yang
digunakan.
1. Metode transek jalur dan garis
a. Menempatkan transek dengan cara acak atau ditempatkan pada daerah- daerah
habitat yang merupakan tempat dijumpainya satwa yang akan diinventarisasi
(hasil Survei pendahuluan atau hasil studi pustaka). Penempatan transek dapat
dilakukan secara random, sistematis, dengan stratifikasi, mengikuti jalan
setapak, kombinasi antara jalan setapak dengan jalur-jalur transek atau dengan
membuat jalur transek secara zig-zag.
b. Menentukan panjang dan lebar jalur pengamatan. Lebar jalur dipengaruhi
tutupan vegetasi atau jarak pandang seseorang di lapangan dan jenis satwaliar
yang diamati misalnya lebar jalur pengamatan primata arboreal 50 m kiri jalur
dan 50 m kanan jalur dengan panjang jalan 3-5 km.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   74  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

c. Menentukan sejumlah transek jalur pararel secara sistematis atau acak dan
memotong garis kontur menggambarkan lokasi setiap jalur pada peta. Sebagai
titik pasti awal pengamatan dapat berupa jalan atau tanda batas yang telah ada
dan membuat tanda pada setiap titik awal jalur pengamatan (pita warna
mencolok, seng, patok dsb)
d. Ambil titik GPS pada setiap awal jalur pengamatan dan pada setiap pohon
yang ditemukan sarang. Ambil juga track GPS pada setiap jalur pengamatan.
e. Menentukan waktu dimulai dan diakhiri pengamatan secara bersamaan.
f. Menentukan arah lintasan pengamatan dengan menggunakan kompas (agar
setiap tim tidak berbenturan atau berpotongan). Sebaiknya arah lintasan
memotong garis kontur dan pengamatan dengan berjalan secara tenang dan
perlahan di sepanjang transek yang telah dibuat.
g. Mencatat data dan informasi dalam tally sheet tentang ;
• Jumlah sarang yang ditemukan.
• Tinggi sarang yang ditemukan
• Jenis pohon yang ditemukan sarang,
• Diameter dan tinggi pohon yang ditemukan sarang.

• Kelas sarang,
• Ukuran sarang (diameter sarang)
• Posisi sarang (kanan/kiri jalur transek)
• Banyaknya pohon. Terkadang dalam 1 pohon terdapat lebih dari satu
sarang. Begitu juga sebaliknya, satu sarang dapat
• Plot posisi pada peta sederhana (gunakan milimeter block) atau
menggunakan GPS.
• Keterangan : waktu dijumpai (jam, menit), ciri sosial soliter/kelompok,
perjumpaan langsung atau tidak langsung (bunyi atau suara),
mendeskripsikan secara sederhana mengenai kondisi habitat tempat
ditemukannya satwa.

Catatan :
o Data dicatat dari perjumpaan langsung dengan sarang maupun Orangutan yang
berada dalam lebar jalur pengamatan.
o Pengamatan dilakukan pada pagi – sore hari sampai seluruh jalur transek yang
ditentukan teramati.
o Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan yaitu
kurang lebih 25 meter/menit.
o Untuk transek garis, pada dasarnya hampir sama dengan transek jalur. Cara dan
prosedur yang dilakukan juga sama dengan metode transek jalur.

Perbedaan yang mendasar adalah :


∗ Metode transek garis tidak menentukan jarak ke kanan dan ke kiri
∗ Metode transek garis harus menentukan jarak antara satwa dan pengamat (jarak
lurus) atau jarak pengamatan.
∗ Metode transek garis harus menentukan sudut kontak antara posisi satwa yang
terdeteksi dengan jalur pengamatan atau sudut pengamatan.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   75  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

9. SURVEI BEKANTAN

9.1. Informasi Umum


Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) adalah jenis satwa yang termasuk ke dalam
Ordo (bangsa) Primata, Famili (suku) Cercophitecidae, dan Subfamili (anak suku)
Colobinae (Jolly, 1972) dengan status konservasi endangered (IUCN, 2008),
termasuk dalam Appendix I CITES dan mendapat perhatian sangat tinggi dalam
upaya konservasinya. Jenis ini tergolong sangat langka dan endemik, dengan
habitat terbatas pada hutan bakau, di sekitar sungai, dan habitat rawa gambut di
mana sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Bekantan juga
merupakan salah flegship species yang perlu dilindungi dan ditingkatkan
populasinya, ini juga tertera dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) PHKA.
Menurut Wilson dan Wilson (1975), Bekantan sensitif terhadap kerusakan habitat
sehingga populasi bekantan dapat dijadikan spesies indikator terhadap tingkat
kerusakan hutan tepi sungai di mangrove dan rawa gambut. Kondisi saat ini
kecenderungan habitat bekantan adalah dalam kategori rusak agak berat, dimana
penurunan populasi dari habitat rusak sedang ke rusak agak berat adalah 25%
(Yeager dan Blondal, 1992) sehingga pertumbuhan populasi belum mencapai
2,2% setahun.
Pengamatan Yeager (1992) di Taman Nasional Tanjung Puting pada tahun 1985
menunjukkan kepadatan populasi bekantan sebesar 62,9 individu per km persegi,
dan 41 individu per km persegi dalam tahun 1991. Dalam waktu enam tahun telah
terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% per tahun. Hal ini
disebabkan oleh polusi air sungai akibat penambangan emas di hulu sungai,
degradasi habitat sungai, dan meningkatnya lalu lintas perahu motor. Mengingat
bekantan sangat sensitif terhadap kerusakan habitat (Bennett dan Gombek, 1991),
maka populasi bekantan dapat dijadikan sebagai indikator bagi kerusakan hutan
rawa. Populasibekantan dalam kondisi habitat yang mengalami kerusakan berat
mencapai rata-rata sembilan individu per km persegi (Yeager dan Blondan, 1992).
Untuk mengetahui populasi bekantan yang terdapat di Taman Nasional Tanjung
Puting terutama di kawasan SPTN II saat ini serta bagaimana kondisi habitatnya
perlu dilakukan survei yang lebih intensif sehingga terpenuhi atau tidaknya IKU
PHKA (meningkatnya populasi satwa yang dilindungi dan terancam punah) dapat
terukur dan dapat menentukan strategi yang tepat dalam pengelolaannya.
Selanjutnya untuk melakukan survei yang lebih terarah dalam mendapatkan data
yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan pengelolaan maka
pedoman teknis ini disusun.

9.2. Metode Survei Bekantan


Garis transek merupakan suatu petak dimana seorang pencatat berjalan atau
menyelusuri sepanjang garis transek dan mencatat setiap jenis satwa liar yang
dilihat baik jumlah maupun jaraknya dengan pencatat. Pengambilan data
penyebaran populasi bekantan dengan menggunakan metode garis transek sama
seperti yang biasa digunakan untuk sensus primate namun karena survey harus
dengan menggunakan sampan maka sungai dianggap sebagai garis transek.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   76  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Cara kerja dalam pembuatan transek adalah sebagai berikut:


• Jalur transek dibuat memanjang sesuai dengan dengan arah dan lebar sesuai
dengan kondisi sungai yang dijadikan transek.
• Panjang setiap jalur 100 meter. Panjang keseluruhan jalur disesuaikan dengan
kondisi lapangan (sungai yang bersangkutan).
• Masing-masing jalur diberi tanda dan diberi nomor (O1, …On) untuk
menandakan tiap-tiap 100 meternya dan jalur diberi nama sesuai dengan nama
sungai yang dijadikan jalur transek tersebut.
• Penghitungan jarak pengamat dengan objek didasarkan pada jarak datarnya dan
perhitungan jarak obyek tegak lurus dengan line transek.
• Apabila pengamatan dilakukan dengan berjalan kaki pembuatan jalur transek
sama dengan jalur transek untuk pengamatan mamalia.

Gambar 31. Jalur Transek Pengamatan Bekantan

9.2.1. Analisis Populasi dan Prilaku Bekantan


Penentuan jumlah populasi bekantan dilakukan dengan cara sensus, yaitu
menghitung semua kelompok serta jumlah individu setiap kelompok. Pengamatan
dilakukan dengan cara berjalan kaki atau dengan menggunakan perahu (tanpa
mesin) menelusuri aliran sungai atau dengan menggunakan metode terkonsentrasi
(concentration count) pada pohon pakan atau pohon tidur. Parameter-parameter
yang diamati adalah jumlah kelompok, komposisi dan struktur umur, serta arah
dan wilayah pergerakan kelompok/sub kelompok.
Pengamatan prilaku bekantan dapat dilakukan dengan cara Scan technique atau
dengan menggunakan metode Ad Libitum, yaitu mencatat dan atau membuat
sketsa mengenai semua kegiatan yang dilakukan oleh bekantan, mulai dari pukul
05.00 sampai dengan pukul 19.00. Jenis prilaku yang diamati, adalah makan,
berpindah, istirahat, dan tidur, kemudian pada pohon tempat tidur, dicatat jenis
dan tingginya, jumlah anggota kelompok bekantan pada setiap pohon, dan jarak
pohon tempat tidur dari sungai.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   77  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

9.2.2. Analisis Vegetasi


Metode yang digunakan untuk analisis vegetasi adalah cara kwadran, dalam
penggunaan metode ini, pertama menentukan 20 titik kwadran pada jalur-jalur
transek, dimana pada setiap jalur dibuat 2 – 3 titik pusat kwadran. Jarak antar titik
pusat kwadran 250 m. Jalur transek tegak lurus aliran sungai dan diletakkan di kiri
kanan aliran sungai. Pada setiap kwadran, diamati 4 pohon berdiameter > 10 cm
yang terdekat ke titik pusat kwadran. Parameter yang diukur, yaitu jenis dan
diameter pohon setinggi dada, jarak pohon ke titik pusat kwadran, tinggi dan
fungsi pohon bagi bekantan. Analisa vegetasi juga bisa dilakukan dengan
menggunakan metode Marsh (lihat pedoman survey mamalia), dengan metode ini
akan diperoleh data kwalitatif atau deskriptif mengenai dukungan habitat terhadap
bekantan.

Gambar 32. Jalur Transek Pengamatan Bekantan

9.3. Analisis Data


9.3.1. Menaksir kepadatan populasi dan jumlah populasi
Analisis kepadatan populasi bekantan meliputi: petugas mencatat jumlah individu,
jarak jarak dari nol, jaraknya dengan petugas, umur dan jenis kelamin ke dalam
lembar isian data pengamatan penyebaran populasi kemudain ditabulasikan dan
dihitung.
Pendugaan populasi dilakukan dengan perhitungan langsung saat ada perjumpaan
dengan Bekantan. Jumlah individu terbesar yang ditemui dari seluruh rangkaian
pengamatan diasumsikan sebagai jumlah individu yang mewakili satu kelompok,
sedangkan apabila jumlah individu terkecil yang ditemui diasumsikan bahwa
individu yang lain tidak terlihat pada saat pengamatan.
Perkiraan Populasi menggunakan metode sebagai berikut :
• Kepadatan atau kelimpahan populasi
Dimana :
^ n D = Kepadatan populasi (Jumlah individu/ha)
D =
2Lw n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   78  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Pendugaan/penaksiran jumlah populasi


• Menggunakan rata-rata jarak dengan pencatat (D) Metode King’s,
Axn Dimana :
PD = PD = Jumlah populasi
2 L WD n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek
A = luas kawasan

• Menggunakan rata-rata jarak


  dengan terdekat (Y) Met. Perpendicular Distance,
Axn Dimana :
PY = PY = Jumlah populasi
2 L WY
n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek
A = luas kawasan

• Faktor Konversi
Pada kenyataanya nilai PY akan lebih besar dibandingkan dengan PD sehingga
diperlukan faktor konversi. Faktor konversi tersebut didapatkan dari persamaaan :
2Y
2D^ =
Sin a
Gates (1969) dan Hayne (1949) dalam Lavieren (1982) mendapatkan bahwa rata-
rata sudut yang terbentuk = 32,70. Berarti D = 1,85 Y (sin 32,70 = 0,54) sehingga :
PY
PD^ =
1.85
• Metode Webb’s
Menggunakan sudut antara pengamat dan satwa yang terlihat (a) dan jarak antara
pengamat dan satwa (D). Penghitungan rata-rata jarak terpendek (Y) yaitu :

Y = D sin a
AZ
P =
2 x D sin a

S D sin (S a)
D sin a =
Z Z

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   79  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Penghitungan Konsentrasi (Concentration Count) :


} untuk menentukan kerapatan atau kelimpahan populasi:
Dimana :
Σ y dilokasi pengamatan D = kepadatan (ekor/ha)
D=
L wilayah pengamatan y = satwa yang teramati
L = luas
} untuk menentukan jumlah populasi:
P = ∑n Xi Dimana :
P = Populasi
Xi = jumlah individu yang dijumpai pada pengamatan ke-­‐i (individu)
n = jumlah ulangan pengamatan
11.3.2. Keanekaragaman Jenis Satwa
Keanekaragaman jenis satwa diketahui dengan menggunakan indeks
keanekaragaman Shannon, yaitu:
ni ni Dimana :
H’ = ∑ In H’ = indeks keanekaragaman jenis
N0 N0
ni = jumlah individu dalam satu jenis
N0 = jumlah individu dalam satu komunitas

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   80  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI BEKANTAN

A. Informasi Umum
Pada umumnya bekantan endemik Borneo menyukai habitat hutan lahan basah,
baik di dalam dan di luar kawasan konservasi. Kekhawatiran akan cepatnya
pengurangan luas habitat yang berdampak negatif pada penurunan populasi
bekantan adalah terjadinya degradasi habitat hutan dataran rendah, seperti kasus
di Taman Nasional Gunung Palung. Dari tahun 1998 – 2002, penurunan luas
tutupan di kawasan ini sangat meningkat dari sekitar 500 sampai 8.000 haper
tahun dan di daerah penyangga sekitar 600 ha per tahun (Curran et al., 2004).
Berkembangnya pemukiman dan areal pertanian di sepanjang hutan tepi sungai
menyebabkan penurunan dan berpencarnya populasi bekantan antara 15 – 40 km
(Bismark, 2002; Ma’ruf, 2004). Pada akhirnya, bekantan yang tersisa, yang
seharusnya merupakan penghuni asli, dianggapsebagai hama pertanian oleh
sebagian masyarakat (Sunjoto et al., 2005). Pada tahun 1990 habitat bekantan
telah dilaporkan hilang seluas 49% dan pada tahun 1995 dilaporkan tinggal 39%
dan hanya 15% dari habitat aslinya yang ada di kawasan konservasi (Meijaard et
al., 2000). Diperkirakan telah terjadi penurunan habitat sekitar 2% setahun.
Jumlah individu kelompok bekantan dipengaruhi oleh kualitas dan tipe habitat. Di
hulu sungai, satu kelompok bekantan terdiri dari 6 – 15 individu sedangkan 10 km
dari muara, kelompok bekantan pada umumnya berkisar antara 10 – 25 individu.
Kelompok bekantan di hutan mangrove yang terganggu berkisar antara 6 – 10
individu, di hutan mangrove dengan tutupan vegetasi baik, besar kelompok antara
17 – 25 individu.
Pengamatan Yeager (1992) di TN Tanjung Puting pada tahun 1985 menunjukkan
kepadatan populasi bekantan sebesar 62,9 individu per km persegi, dan 41
individu per km persegi dalam tahun 1991. Dalam waktu enam tahun telah terjadi
penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% per tahun. Bagaimanakah
kondisi tersebut setelah kurun waktu 29 tahun (hingga saat ini).

B. Standard Peralatan Pengamatan Bekantan


Standard alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
• Tally sheet dan peralatan tulis (untuk mencatat data temuan),
• Kompas (untuk mengukur arah dan sudut tempat satwa teramati),
• Binokuler (untuk mengamati satwa dari jarak jauh),
• Pita (sebagai penanda titik-titik pengamatan lokasi satwa yang teramati),
• GPS (untuk menentukan titik dalam bentuk digital),
• Pita ukur (mengukur diameter pohon),
• Clinometer (untuk mengukur tinggi pihon),
• Higrometer (untuk mengukur suhu dan kelembaban udara),
• Kamera (untuk mengambil gambar, satwa di habitatnya),
• Jam tangan (untuk mencatat waktu pergerakan dan kegiatan bekantan),
• Sampan dan peralatan lapangan.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   81  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

C. Prosedur Pemantauan
1. Waktu Pengamatan:
Dalam sehari pengamatan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada pagi hari
penyelusuran (pencatatan) pukul 05.45 WITA hingga pukul 07.45 WITA dan
pada sore hari penyelusuran pukul 16.00 WITA hingga pukul 18.00 WITA.
2. Perhitungan dan Perkiraan Jumlah Individu yang ditemukan:
Terkadang dalam penjumpaan kelompok bekantan pengamat tidak dapat
melihat keseluruhan anggota kelompok (individu), untuk mendekati
perhitungan jumlah individu ini maka dilakukan perkiraan jumlahnya dengan
pendekatan berdasarkan suara-suara pergerakan, teriakan dan tanda-tanda
lainnya.
3. Menentukan Jenis Kelamin, Umurdan Komposisi Kelompok:
Struktur komposisi jenis kelamin dan umur merupakan informasi yang penting
didapat untuk mengetahui apakah kelompok tersebut merupakan kelompok
yang populasinya berkembang dengan baik atau tidak. Dalam menentukan
jenis kelamin, umur dan komposisi kelompok ini, ketika dapat melihat seluruh
individunya dengan jelas maka dengan mudah dapat mencatat dan
menentukannya. Namun ketika tidak kelihatan seluruhnya atau hanya dengan
samar dapat melihat maka penentuan jenis kelamin dan umur dapat dilakukan
dengan melihat ciri-ciri fisiknya seperti besar tubuh, warna tubuh, bentuk muka
(jantan dan betina dapat dibedakan dengan jelas) serta berdasarkan tanda-tanda
lainnya.
4. Lokasi Ditemukannya Kelompok:
Data penting lainnya adalah lokasi ditemukannya kelompok, dengan data ini
akan diketahui mana habitat penting bagi Bekantan yang ada di TNTP serta
juga dapat mengetahui alur pergerakannya (home range). Lokasi data
ditemukannya kelompok ini akan direkam dengan menggunakan GPS, jika
informasi posisi susah didapat dengan GPS maka penandaan lokasi akan
dilakukan dengan menandanya pada peta kerja berdasarkan tanda-tanda alam
yang ada (inter-section).
5. Penggunaan Habitat:
Data penggunaan habitat adalah data mengenai perkiraaan rata-rata tinggi
pohon dari permukaan air tempat kelompok yang ditemukan beraktifitas. Hal
ini akan dapat menunjukan kondisi habitat yang disenangi oleh kelompok
Bekantan.

D. Kegiatan Pengamatan Bekantan


1. Jarak aman apabila menjumpai bekantan sedang beraktivitas adalah 20 – 30 m;
untuk bekantan tempat dimana bekantan sering diburu pengamatan aman bagi
bekantan adalah berkisar antara 50 – 75 m.
2. Dalam melakukan pengamatan terhadap jumlah populasi, prilaku, ukuran, dan
kelas umur, selain dilakukan secara perlahan dan hati-hati, si pengamat juga
tidak diperkenankan untuk membuat suara yang mengganggu aktifitas dan
prilaku bekantan.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   82  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

3. Lokasi tempat ditemukannya bekantan di marking dalam GPS. Koordinat ini


diperlukan untuk menyelusuri kembali lokasi tersebut untuk analisa habitat dan
vegetasi serta pengamatan lainnya.
4. Parameter aktivitas pergerakan harian bekantan meliputi panjang jalur yang
dilaIui bekantan dalam satu hari (DR, daily range), radius maksimum yang
ditempuh bekantan yaitu diukur dari lokasi tempattidur (MR, maximum radius)
dan jarak antara perpindahan lokasi tidur semula dengan malam berikutnya
(NPS, night posisition shift) dalam kurun waktu pergerakan bekantan. Jarak
terjauh dari tepi sungai (TS) juga diukur sebagai parameter pergerakan.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   83  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

10. SURVEI BUAYA SENYULONG

10.1. Informasi Umum


Buaya Senyulong (Tomistoma schlegelii) secara internasional dinyatakan sebagai
species yang terancam kepunahannya dengan klasifikasi Genting atau Endangered
species, hanya terdapat di Indonesia dan Malaysia dimana populasi terbesar
terdapat di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan. Spesies buaya ini hidup
dan berkembang di hutan rawa, dimana buaya ini membuat sarangnya di bantaran
sungai.
Di Kalimantan Tengah, keberadaan buaya senyulong yang tercatat di Sungai
Simpang Kanan dan Sungai Kuma yang terletak berada di dalam/disekitar Taman
Nasional Tanjung Puting (Simpson, 2004). Catatan tersebut diperkuat dengan
adanya specimen yang berasal dari Danau Lamoeda.

10.2. Metode Survei Buaya Senyulong


10.2.1. Metode Garis Transek
Dikarenakan dalam survey buaya senyulong ini menggunakan sampan atau
longboat 15 Hp, maka cara kerja dalam pembuatan transek adalah sebagai berikut:
• Jalur transek dibuat memanjang sesuai dengan dengan arah dan lebar sesuai
dengan kondisi sungai yang dijadikan transek.
• Panjang setiap jalur 100 meter. Panjang keseluruhan jalur yang akan dibuat
sepanjang 1 km atau disesuaikan dengan kondisi lapangan (sungai yang
bersangkutan).
• Masing-masing jalur diberi tanda (Penandaan dengan GPS) dan diberi nomor
(01, 02,…0n) untuk menandakan tiap-tiap 100 meternya dan jalur diberi nama
sesuai dengan nama sungai yang dijadikan jalur transek tersebut.
• Penghitungan jarak pengamat dengan objek didasarkan pada jarak datarnya.

Gambar 33. Jalur Transek dan Pengamatan dengan Metode Spotting

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   84  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Metode transek ini dapat sekaligus untuk mencatat data dan beberapa jenis satwa.
Garis transek pada wilayah survey dipetakan dalam peta topografi berskala 1 :
50.000. Pada saat berjalan dan melakukan spotting (menggunakan spotligh
12V/100W), petugas mencatat jumlah buaya yang terlihat, jaraknya dengan
petugas, jarak antar matanya (IO) dan perilakunya. Hasil yang diperoleh dibuat
peta persebarannya.
Asumsi-asumsi yang harus dipegang dalam penggunaan metode ini adalah :
• Buaya dan garis transek terletak secara random
• Buaya tidak bergerak/pindah sebelum terdeteksi
• Tidak ada buaya yang terhitung dua kali
• Setiap individu buaya berbeda satu sama lainnya. Seekor buaya yang
berenang/mengapung tidak mempengaruhi kegiatan buaya yang lainnya.
• Respon tingkah laku buaya terhadap kedatangan pengamat tidak berubah
selama dilakukan pengamatan.
• Habitat homogen, bila tidak homogen dapat menggunakan stratifikasi.

10.2.2. Analisa Habitat


Tipe habitat merupakan komponen-komponen di suatu habitat yang mendukung
buaya senyulong untuk beraktivitas, misalnya untuk mencari makan bertelur. Oleh
karena itu tipe habitat perlu di identifikasi fungsi-fungsinya, sehingga dapat
diketahui habitat yang seperti apa yang sesuai dan dapat mempertahankan
kelangsungan Buaya senyulong (habitat yang tersedia sesuai untuk kelangsungan
hidupnya).
Menurut Mueller, Dombois dan Ellenberg, 1974, struktur vegetasi berfungsi
sebagai pengaturan ruang hidup suatu individu dengan unsur utama adalah:
bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk (dikutip dari buku petunjuk
Praktikum Satwa Liar, 2007).

Gambar 34. Contoh diagram profil vegetasi

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   85  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

10.2.3. Analisis vegetasi dengan metode kuadrat


Pada survey ini bentuk sample yang digunakan adalah lingkaran, dimana bentuk
lingkaran sering lebih efisies untuk digunankan dibandingkan dengan bentuk
persegi atau persegi panjang. Sample lingkaran juga efektif untuk mengkarak-
teristikan kondisi sekitar, seperti sarang, tempat makan, atau tempat istirahat.
Ukuran kuadarat lingkaran yang digunakan adalah 0.01-0.1 ha, dengan jari-jari
5.6-17,8 m.

10.2.4. Pembuatan diagram profil


Komposisi dari suatu profil habitat sangat bermanfaat untuk membuat suatu
kesimpulan tentang hubungan antara populasi buaya senyulong dengan tipe
habitatnya. Untuk kepentingan analisis habitat tersebut, vegetasi diklasifikasikan
menjadi tiga kelas utama, misalnya (g) rumput, (Se) semak, dan (T) pohon.
Gabungan antara ketiga kelas utama dapat mengguanakan simbol (g, Se), (Se, T),
(g, T) dan seterusnya. Ukuran petak contoh dalam pemetaan diagram profil suatu
habitat disesuaikan dengan kondisi lingkungan tempat dilakukan pengamatan.

10.3. Analisis Data


10.3.1. Menaksir kepadatan populasi dan jumlah populasi Buaya Senyulong

Jalur Transek
Kepadatan atau kelimpahan populasi

Dimana :
D = Kepadatan populasi (Jumlah individu/ha)
n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek

Pendugaan/penaksiran jumlah populasi


• Menggunakan rata-rata jarak dengan pencatat (D),
Axn Dimana :
PD = PD = Jumlah populasi
2 L WD n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek
A = luas kawasan
• Menggunakan rata-rata jarak
  dengan terdekat (Y),
Axn Dimana :
PY = PY = Jumlah populasi
2 L WY
n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang total transek
w = lebar transek
A = luas kawasan

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   86  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

10.3.2. Parameter-parameter analisis vegetasi habitat Buaya Senyulong

Analisis Vegetasi Metode Kuadrat = Metode Jalur


1. Kerapatan Jenis
∑ individu
Kerapatan (K) =
Luas Petak Contoh

Kerapatan Suatu Jenis


Kerapatan Relatif (KR) = x 100%
Kerapatan Total Semua Jenis
2. Frekuensi
∑ Sub Petak Ditemukan Suatu Jenis
Frekuensi (F) =
∑ Seluruh Sub Petak Contoh

Frekuensi Suatu Jenis


Frekuensi Relatif (FR) = x 100%
Frekuensi Total Semua Jenis
3. Dominasi
Luas Bidang Dasar Suatu Jenis
Dominansi (D) =
Luas Petak Contoh

Dominansi Suatu Jenis


Dominansi Relatif (DR) = x 100%
Dominansi Total Semua Jenis
4. Indeks Nilai Penting (INP)
INP = KR + FR + DR à (untuk tingkat Tiang dan Pohon)
INP = KR + FR à (untuk tingkat Semai dan Pancang)

5. Indeks Keragaman
s H = Indeks diversitas Shannon-Wiener
s = jumlah spesies
Shannon Index: H =
∑ pi log pi pi = ni/N
i=1 ni : jumlah individu spesies I dan
N : total individu di seluruh plot.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   87  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI BUAYA SENYULONG

A. Informasi Umum
Buaya Senyulong merupakan spesies buaya yang kondisinya saat ini sudah sangat
rentan dan hanya terdapat di Indonesia dan Malaysia. Populasi terbesar di
Sumatera dan Kalimantan. Spesies buaya ini hidup dan berkembang di hutan
rawa, dimana buaya ini membuat sarangnya di bantaran sungai.
Sebagai salah satu predator utama di kawasan rawa gambut, buaya senyulong
jelas mempunyai peran & posisi yang penting untuk menjaga keseimbangan
ekosistem di kawasan TN. Tanjung Puting. Sampai saat ini untuk wilayah SPTN
Wilayah II belum pernah dilakukan survey sehingga keberadaannya belum
diketahui sama sekali. Berdasarkan hal tersebut, demi untuk menunjang
pelaksanaan survei salah satu satwa yang juga dianggap sebagai fleg-ship species
serta guna terarahnya survei-survei yang akan dilakukan maka Pedoman Teknis
ini dibuat.

B. Standard Peralatan Pengamatan Buaya Senyulong


• Tas peralatan,
• Meteran dan Ranging meter,
• Kaliper,
• Peta, Kompas dan GPS,
• Klinometer,
• Penjerat lasso yang disambung stik besi atau kayu sepanjang 200 cm,
• Camera digital,
• Pisau dan parang,
• Alat tulis (tally sheet, ball point),
• Alat komunikasi HT,
• Termometer, hygrometer, soil pH,
• Lampu sorot (12V / 100W) dan Lampu kepala (6V),
• Peralatan personal use (tenda, jas hujan, mantel dll),
• Sampan atau longboat.

C. Prosedur Pemantauan
1. Spotting Buaya Senyulong
a. Spotting dilakukan dengan menyelusuri sungai menggunakan sampan atau
long-boat. Jumlah personil terdiri dari 3 – 5 orang (pengamat 1-2 orang,
pencatat 1-2 orang dan driver 1 orang). Jarak pengamatan tergantung dari
panjang sungai.
b. Spotting dilakukan mulai dari awal malam (pukul 6.00 – 10.00), tengah malam
(12.00 – 02.00), dan akhir malam (04.00 – 06.00). Bila dijumpai buaya (IO)
dilakukan pengamatan terhadap prilaku dll, setelah itu rekam lokasinya dalam
GPS guna nantinya melakukan pengamatan terhadap kondisi habitat atau
vegetasi dimana buaya itu berada.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   88  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

2. Identifikasi Lokasi Sarang Buaya


a. Bila dijumpai sarang buaya, pengamatan dilakukan dengan mengorientasi
terlebih dahulu lingkungan sekitar sarang dari jarak tertentu, ketika semuanya
sudah dapat dipastikan (aman dan pergerakan induk dapat terpantau), barulah
melakukan identifikasi dan pengamatan terhadap lokasi dan sarang.
b. Petugas yang lain tetap melakukan pengamatan di sekitar lokasi sarang dan
melakukan tindakan apabila ada aktivitas yang dapat membahayakan
sipengamat sarang, ini terus dilakukan selama pengamatan dan identifikasi
tersebut masih berlangsung.
c. Selalu melakukan komunikasi intensif diantara keduanya.

3. Identifikasi dan Analisa Vegetasi serta Habitat Buaya Senyulong


a. Pengukuran vegetasi dan analisa habitat yang dilakukan sama seperti yang
dilakukan pada survei vegetasi,
b. Petugas melakukan pengukuran terhadap tinggi, diameter, pencatatan jenis
seperti yang telah dijelaskan pada Metode Marsh,
c. Mendokumentasi atau membuat sketsa diagram profil vegetasi.

D. Kegiatan Pengelolaan Populasi


1. Pengamatan Buaya Senyulong
a. Jarak aman apabila menjumpai buaya sedang beraktivitas; anak (hachling)
dapat didekati hingga 1.5 m, remaja dan dewasa berkisar 6 – 15 m.
b. Melakukan pengamatan terhadap prilaku, ukuran, dan kalau memungkinkan
melakukan penangkapan terhadap anakan untuk diukur secara persis dan dapat
melihat kondisi kesehatannya. Lakukan pendekatan secara perlahan dan hati-
hati selain pengamat orang lain tidak diperkenankan menyalakan cahaya, dan
tidak membuat suara berisik.
c. Lokasi tempat ditemukannya buaya di marking dalam GPS. Koordinat ini
diperlukan untuk menyelusuri kembali lokasi tersebut pada siang hari guna
analisa habitat dan vegetasi serta pengamatan lainnya.

2. Teknik Pengamatan Sarang Buaya


a. Ketika menemukan sarang buaya senyulong saat melakukan analisa habitat dan
vegetasi maka pengamatan harus difokuskan pada daerah sekeliling sarang
(pembuatan petak ukur kuadrat),
b. Untuk pengukuran dan menghitung telur, serta pengukuran suhu sarang harus
dilakukan dengan hati-hati agar telur tidak berguncang dan sarang tidak rusak,
c. Menghitung panjang dan berat serta jumlah telur (mencatat pada tally sheet),
d. Mencatat data kedalaman dan ketebalan serasah yang dibuat sarang, suhu,
kelembaban dan pH. Untuk mengukur suhu dan kelembaban sarang dilakukan
secara periodik setiap tiga jam sekali.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   89  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

3. Identifikasi Kondisi Individu Buaya Senyulong


a. Pengukuran buaya senyulong meliputi, panjang total badan, panjang ekor,
kepala serta jumlah sisik punggung, ekor, perut, dagu dan samping badan
(mencatat pada tally sheet), jenis kelaminya juga perlu diketahui dan dicatat.
b. Identifikasi kerusakan yang terjadi pada sisik, gigi dan bagian tubuh lain, ini
terkait dengan kesehatan serta mengetahui kondisi yang lainnya (perkelahian,
perburuan, terkena alat tangkap, dan sebagai tanda pengenal ketika tertangkap
ulang).
c. Dokumentasikan setiap tanda dan kerusakan tersebut.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   90  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

11. SURVEI PENYU

11.1. Informasi Umum


Penyu memiliki perkembangan matang seksual yang lambat, hasil penelitian
menyebutkan bahwa penyu siap kawin dan bertelur pada umur diatas 30 tahun
(Mather dan Bennet, 1992). Pada masa bertelur, penyu betina meletakan telurnya
sekitar 120 butir telur setiap 2 minggu. Kebanyakan penyu betina bertelur antara 2
– 8 tahun sekali.
Meskipun penyu dalam sekali bertelur bisa mengeluarkan telur yang begitu
banyak, namun tingkat keberhasilan penetasan bervariasi. Bisa mencapai 80%
keberhasilannya tetapi karena tingginya tingkat ancaman di alam, dari 1000 anak
penyu yang menetas hanya 2 – 4 ekor saja yang diperkirakan bisa hidup terus
sampai dewasa.
Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) memiliki pantai yang menjadi tempat
pendaratan dan bertelurnya penyu. Saat ini di Resort Sungai Perlu telah memiliki
Unit Pengelolaan Konservasi Penyu (UPKP) yang dalam kegiatannnya melakukan
penetasan dan pembesaran tukik serta pengamatan penyu yang naik untuk bertelur
disepanjang pantai Sungai Perlu.
Pengamatan penyu adalah serangkaian kegiatan pengamatan terhadap aktivitas
satwa penyu yang mendarat meliputi pemantauan jejak pendaratan, pengamanan
aktivitas penyu bertelur, identifikasi jenis penyu dan habitat pendaratan serta
relokasi telur penyu. Pengamatan penyu dilakukan pada malam hari mulai pukul
18 sd 05.00 WIB oleh petugas Resort Sungai Perlu. Untuk itu pulalah maka TNTP
perlu mengembangkan Pedoman Teknis untuk pengamatan penyu.

11.2. Metode Survei Penyu


Kegiatan survei penyu dapat dilakukan secara rutin; secara periodik misalkan
setiap minggu atau setiap bulan; dan insidental dilakukan jika terjadi kasus-kasus
tertentu diluar kebiasaan, misalkan adanya pencemaran, bencana alam atau
kematian massal, tergantung pada kondisi populasi penyu dan intensitas kehadiran
penyu. Kegiatan survei juga dapat dilakukan secara langsung, seperti untuk
memantau intensitas peneluran dan pertumbuhan dengan bantuan metal tag,
maupun dengan bantuan alat seperti memantau pola migrasi penyu dengan
bantuan tagging satelit. Aspek-aspek yang akan dimonitor dalam pengelolaan
konservasi penyu meliputi :
• Monitoring telur dan sarang telur (pantai peneluran, dimensi sarang penyu
bertelur dan lubang telur, dimensi telur, jumlah telur, tingkat penetasan)
• Monitoring terhadap tukik
• Monitoring terhadap penyu yang bertelur

11.2.1. Persiapan melakukan survei


Sebelum melakukan kegiatan survei, terlebih dahulu perlu mempersiapkan alat
dan bahan yang menunjang proses survei. Alat dan bahan yang diperlukan

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   91  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

tergantung dari target atau tujuan pemantauan atau survei, cakupan wilayah
pantai, situasi keadaan medan pantai serta jumlah anggota tim survei. Alat dan
bahan yang diperlukan digunakan untuk melakukan pengambilan data pada
sampel. Secara umum alat dan bahan yang digunakan adalah kertas data, alat
menulis, gulungan dan pita meteran, jangka sorong, alat penimbang, tali untuk
mengikat, sarung tangan, penanda logam dan pemasangnya, dan temperatur
logger untuk mengukur suhu sarang telur penyu. Selain alat dan bahan yang
diperlukan untuk kegiatan survei, penentuan waktu dan personil pemantau juga
harus dipersiapkan agar kegiatan dapat berlangsung lancar. Survei dapat
dilakukan kapan saja, namun ancaman terbesar bagi penyu dan sarangnya sering
terjadi pada malam hari.
Jumlah personil yang ideal untuk melakukan survei umumnya atau standarnya
berjumlah 3 – 6 orang untuk pantai dengan panjang 1 – 2 km. Pemantauan secara
intensif idealnya dilakukan setiap hari sepanjang tahun, misalnya selama musim
peneluran puncak 3 – 4 bulan. Dalam pelaksanaannya, 1 tim terdiri dari 3 orang
pengamat bergerak secara bersama-sama menyelusuri pantai dengan formasi
pengamat ke 1 berada dipinggir sisi pegetasi pantai, pengamat ke 2 di garis tengah
pantai dan pengamat ke 3 berada di pinggir pantai (dekat gigi air). Apabila ada 2
tim (6 orang) maka pergerakan tim harus bergerak berlawanan arah.

Gambar 35. Survey Penyu di Pantai Peneluran

11.2.2. Survei pantai Peneluran


Survei pantai peneluran dilakukan untuk menduga ukuran dan jumlah populasi
yang bertelur di pantai. Survei dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara
Ekstensif dan secara Intensif.
• Secara Ekstensif, Survei ini biasanya menekankan pada lokasi pantai yang
berpotensi dan pernah ditemukan penyu bertelur untuk dilakukan monitoring
dengan cara survei langsung pada saat musim bertelur atau jika terjadi
halangan dan tidak bisa dilakukan secara langsung, maka dilakukan dengan
cara melakukan wawancara dengan warga lokal.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   92  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

• Secara Intensif, Survey jenis ini dilakukan zonasi pada wilayah mencakup
minimal 20% dari keseluruhan wilayah pantai yang tercakup dalam index yang
kemudian akan dilakukan survei secara intensif. Hal-hal yang diamati
umumnya:
1. Jumlah track dan jumlah penyu yang naik ke pantai
2. Track baru dan lama
3. Penghitungan track baru
4. Estimasi proporsi memeti (false crawls)
Secara ringkas metode survei ini mencakup:
1. Survei ekstensif dahulu di seluruh area
2. Penentuan beberapa pantai index yang mewakili kerapatan telur, jenis penyu
dan mencerminkan keseluruhan area
3. Pelaksanaan survei bisa dilakukan secra periodik secara intensif.

11.2.3. Menduga Ukuran (Jumlah) Populasi Per Satu Satuan Waktu


Data jumlah track penyu dengan jumlah sarang yang ditemukan merupakan data
penting untuk mengetahui ukuran populasi penyu di suatulokasi. Untuk mengenali
induk yang pernah bertelur di lokasi yang sama sebelumnya bisa dilihat dari
penanda yang ada pada penyu tersebut. Jika belum ada maka, perlu dilakukan
tagging dengan benar pada penyu tersebut untuk memudahkan proses monitoring.
Tag yang sering digunakan yaitu metal tag yang terbuat dari titanium. Tagging ini
juga berguna untuk mengetahui frekuensi bertelur, interval jarak bertelur, area
migrasi dan perpindahan, pertumbuhan penyu.

11.2.4. Teknik-teknik Esensial Monitoring Penyu di Pantai Peneluran


• Pengukuran Morfometri Penyu, Pengukuran biasanya dilakukan pada panjang
lengkung karapas (PLK), berat badan penyu dan jika memungkinkan Lebar
lengkung karapas (LLK). Pengukuran ini untuk mengetahui perkembangan
penyu dari data yang dikumpulkan selama bertahun-tahun.
• Identifikasi Jenis Penyu, misalkan penyu belimbing (Dermochelys coriacea),
penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu
pipih (Natator depressus), penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu abu-
abu (Lepidochelys olivacea).

11.2.5. Pengelolaan Sarang Telur


Pengelolaan sarang telur dilakukan untuk mengamankan Sarang Telur Penyu
dengan cara memindahkannya ke tempat yang sesuai dan aman dengan benar
sehingga tidak merusak kondisi telur.

11.3. Analisis Data


Data yang telah diperoleh dari hasil survei di lapangan berupa jumlah tempat
bertelur aktif di lokasi pantai Sungai Perlu dianalisis dengan menggunakan
formula sebagai berikut:

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   93  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

11.3.1. Pendugaan populasi berbasis tempat bertelur aktif (Y)


X1
Jumlah Populasi Induk Betina (Y1.1) =
4
Dimana : Y1.1 = Jumlah populasi Betina
X1 = Total sarang aktif selama periode persarangan
4 = Frekuensi induk betina bertelur selama periode peneluran

Sedangkan untuk populasi jantan (Y1.2) adalah:


Y1.1
Jumlah Populasi Induk Betina (Y1.2) =
3
Dimana : Y1.1 = Jumlah populasi Betina
3 = Seks rasio di alam 1 : 3
Sehingga untuk menduga populasi melalui pendekatan tempat bertelur adalah
dengan menggunakan formula :

Populasi dewasa (Y1) = Y1.1 + Y1.2

Dimana : Y1.1 = Jumlah populasi induk betina


Y1.2 = Jumlah populasi induk jantan

11.3.2. Pendugaan populasi berdasarkan jumlah jejak (Y1)


X2 x X3 x X4
(Y1.1) =
4
Dimana : Y1.1 = Populasi betina berdasarkan jumlah jejak
X2 = Rata-rata jejak per malam
X3 = Jumlah lokasi peneluran
X4 = Jumlah hari periode peneluran (90 hari)
4 = Rata-rata frekuensi induk bertelur per musim.

Selanjutnya untuk populasi jantan (Y1.2) dan pendugaan populasi penyu


dewasa (Y1) sama dengan perhitungan di atas (berbasis tempat bertelur).

11.3.3. Pendugaan jumlah populasi bertelur dalam satu periode


total sarang penyu pertahun
Jumlah populasi bertelur =
Rata-rata frekuensi induk bertelur permusim (4)

11.3.4. Pendugaan kepadatan populasi


Pendugaan kepadatan populasi dapat dilakukan dengan menghitung jumlah
individu yang ditemukan dibagi dengan jarak pantai yang di survey atau
dengan formulasi sebagai berikut :

Jumlah Individu yang Dijumpai (N)


Kepadatan Populasi (P) =
Jarak Panjang Pantai yang di survei (s)

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   94  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN TEKNIS SURVEI PENYU

A. Informasi Umum
Taman Nasional Tanjung Puting memiliki pantai yang menjadi tempat pendaratan
dan bertelurnya penyu. Pengamatan penyu adalah serangkaian kegiatan
pengamatan terhadap aktivitas penyu yang mendarat meliputi pemantauan jejak
pendaratan, pengamanan aktivitas penyu bertelur, identifikasi jenis penyu dan
habitat pendaratan serta relokasi telur penyu. Pengamatan penyu dilakukan pada
malam hari mulai pukul 18.00 sd 05.00 WIB oleh petugas Resort Sungai Perlu.

B. Standard Peralatan Pengamatan Penyu


• Tas peralatan,
• Aplikator tag dan Penanda / Tag,
• Meteran,
• Tempat telur (ember atau tas),
• Stik besi atau kayu sepanjang 120 cm,
• Camera digital,
• Pisau,
• Alat tulis (tally sheet, ball point),
• Alat komunikasi HT,
• Peralatan personal use (tenda, jas hujan, mantel dll),
• Termometer, hygrometer, soil pH. 

C. Prosedur Pemantauan
1. Jejak Penyu
a. Tiga petugas melaksanakan patroli pemantauan jejak dengan berjalan kaki
sepanjang pantai pendaratan + 3 – 4 km, kalau ada 6 orang dibagi menjadi dua
kelompok.
b. Bila dijumpai jejak penyu, dilakukan pengamatan lokasi penyu tempat berada
dengan mengikuti jejak penyu untuk memastikan keberadaannya.
c. Melakukan komunikasi intensif dengan kelompok lain.

2. Identifikasi Lokasi Penyu Bertelur


a. Bila dijumpai penyu sedang melakukan aktivitas bertelur, seorang petugas
melakukan pengamatan dengan jarak tertentu,
b. Petugas yang lain melakukan pengamatan di sekitar lokasi penyu berada dan
melakukan tindakan apabila dijumpai adanya aktivitas yang dapat mengganggu
penyu bertelur,
c. Apabila dipastikan tidak ada gangguan, petugas yang lain dapat melanjutkan
aktivitas pengamatan jejak penyu yang lain,
d. Melakukan komunikasi intensif dengan kelompok lain.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   95  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

3. Kegiatan Identifikasi Penyu


a. Identifikasi dilakukan setelah aktivitas penyu bertelur selesai,
b. Petugas melakukan pengukuran karapas, pemasangan tag dan pencatatan
(jenis, lokasi/sektor, data penunjang lainnya),
c. Mendokumentasi kegiatan identifikasi.

4. Relokasi Telur Penyu


a. Kegiatan relokasi telur penyu dilakukan untuk menunjang keberhasilan
perkembangbiakkan penyu dengan memindahkan telur penyu ke tempat yang
lebih aman.
b. Petugas memastikan keberadaan telur penyu menggunakan alat pendeteksi
telur (egg detector).
c. Petugas melakukan penggalian dan pengambilan telur penyu dengan hati- hati.
d. Petugas melakukan penghitungan, pencatatan, dan relokasi telur penyu
menggunakan tas relokasi.
e. Kegiatan relokasi telur penyu sampai tempat penetasan dilakukan kurang dari 4
jam

D. Kegiatan Pengelolaan Populasi


1. Pengamatan penyu
a. Jarak aman apabila menjumpai penyu sedang beraktivitas; Penyu Hijau 20 m,
Penyu lekang 15 m, penyu sisik 15 m, dan penyu belimbing 25 m.
b. Melakukan pengamatan secara periodik setiap 15 menit dengan posisi di
belakang penyu dengan jarak 1-3 m secara hati-hati dengan tidak menyalakan
cahaya, dan tidak membuat suara berisik.
c. Bila menemukan penyu bertelur, petugas memberikan tanda (ajir) dipasang di
lubang telur (untuk memudahkan pengambilan telur).
d. Tindakan yang diambil bila menjumpai sarang telur penyu (penyu sudah ke
laut), mencatat lokasi sektor, habitat, vegetasi.

2. Teknik Pengambilan Telur penyu


a. Menggali lubang telur,
b. Pengambilan harus hati-hati (jangan terpelanting),
c. Untuk pengambilan telur penyu khusus jenis lekang, belimbing dan sisik,
relokasinya harus memakai ember agar tidak berguncang,
d. Menghitung jumlah telur (mencatat pada tally sheet),
e. Setelah dimasukan ke tas, relokasi dilakukan ke penetasan semi alami,
f. Mencatat data kedalaman sarang, suhu, kelembaban dan pH.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   96  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

3. Identifikasi Penyu
a. Pemeriksaan tag (bila tidak ditemukan tag, petugas melakukan penandaan di
flipper sebelah kiri 2 sisik dari ketiak dengan menggunakan applikator dan
pemasangan tag sesuai dengan urutannya,
b. Penandaan/tagging dilakukan setelah penyu bertelur,
c. Pengukuran karapas penyu,
d. Identifikasi kerusakan karapas (teritip, teritip pengebor, lumut, cacat tubuh,
sirip tiga dan penyakit,
e. Dokumentasi penandaan (tagging), kerusakan karapas (teritip, teritip
pengebor, lumut, cacat tubuh, sirip tiga dan penyakit.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   97  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PEDOMAN PELAPORAN

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   98  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

12. PELAPORAN

Dokumen hasil inventarisasi lapangan disajikan dalam bentuk buku dengan


kerangka (format laporan) sebagai berikut :

KATA PENGANTAR
SUSUNAN TEAM PELAKSANA
PETA SITUASI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
(Uraian secara ringkas alasan dilakukan inventarisasi)
1.2. Tujuan Inventarisasi
(Uraian secara ringkas out put dan out come hasil inventarisasi)
2. METODA
(Uraian secara ringkas alasan dilakukan inventarisasi)
8.3. Bahan Alat
(Uraian secara ringkas bahan dan alat yang digunakan penjelasan berdasarkan
fungsi masing-masing)
8.4. Pengumpulan Data Primer
(Uraian secara ringkas metode pengambilan data, penentuan jalur/plot
pengamatan, waktu pengumpulan data, jenis data, dan cara pengumpulan data)
8.5. Pengumpulan Data Penunjang
(Uraian secara ringkas metode pengambilan data, jenis data penunjang, dan cara
pengumpulan datanya)
8.6. Pengolahan Data dan Analisis Data
(Uraian secara ringkas metode analisis data )

3. KEADAAN UMUM LOKASI


3.1. Letak dan Luas
(Uraian secara ringkas mengenai letak menurut letak astronomis, pembagian
wilayah administratif pemerintahan dan kehutanan, daerah aliran sungai serta
luas kelompok hutan yang akan diinvetarisasi)
3.2. Kondisi Fisik Lapangan
3.2.1. Hirodrologi
( Data hidrologi berisi mengenai nama dan keadaan sungai yang terdapat
didalam areal/kawasan hutan yang diinventarisasi).

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   99  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

3.2.2. Geologi dan tanah


(Berisi uraian tentang formasi geologi yang membentuk kawasan hutan, jenis dan
bahan induk pembentuk tanah serta gejala gejala fisik dilapangan).
3.2.3. Bentang Alam Spesifik
(Berisi Uraian tentang keadaan alam yang mempunyai ciri ciri khas dan
mempunyai arti penting bagi perlindungan mata air dan lain lain, atau ekosistem
yang khas).

3.3. Iklim
Diuraikan mengenai tipe iklim menurut Schimdt dan Ferguson, curah hujan
bulanan, hari hujan dll)

3.4. Keadaan Flora dan Fauna


(Uraian secara ringkas mengenai kondisi umum kawasan terutama flora dan
fauna sebelum dilakukan inventarisasi berdasarkan literature atau kegiatan
serupa).

3.5. Keadaan penduduk


(Uraian secara ringkas mengenai kondisi penduduk baik dalam jumlah,
penyebaran, pendidikan, mata pencaharian, dan kebiasaan lain baik dalam
bentuk adat atau yang lain).

3.6. Sarana Perhubungan dan Komunikasi


(Uraian secara ringkas aksebilitas menuju kawasan dari ibu kota propinsi dan
aksebilitas dari kampung.desa terdekat ke kawasan).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Populasi Satwa
4.1.1. Kepadatan populasi
(Uaraian mengenai kepadatan populasi hasil perhitungan untuk setiap plot
pengamatan dan rata-rata per jalur pengamatan dengan menggunakan
simpangan baku, disesuaikan dengan tujuan inventarisasi)

4.1.2. Keragaman jenis


(Berisi tentang diskripsi keanekaragaman jenis baik semau jenis maupun satu
jenis berdasarkan kedalaman studi, serta diskripsi faktor sebab akibatnya)

4.2. Habitat
4.2.1. Vegetasi Dominan
(Berisi tentang diskripsi kepadatan jenis vegetasi pada setiap plot dibandingkan
dengan jumlah jenis ditemukan Berisi tentang diskripsi keanekaragaman jenis
baik semau jenis maupun satu jenis berdasarkan kedalaman studi, serta diskripsi
factor sebab akibatnya)

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   100  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

4.2.2. Penggunaan Vegetasi Oleh jenis Satwa (ex. Mamalia, Burung, Reptil dll)
(Berisi tentang diskripsi penggunaan vegetasi oleh burung yang teramati dalam
bentuk persentase suatu jenis menempati jenis vegetasi. Diskripsi persentase
perilaku jenis pada vegetasi, serta diskripsi faktor sebab akibatnya)

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
(Berisi tentang uraian singkat hasil inventarisasi dalam bentuk kepadatan per
jalur, total jalur,penggunaan vegetasi dan vegetasi dominan )

5.2. Saran
(Berisi tentang saran bagi pengelola dalam pengelolaan kawasan berdasarkan
hasil dari inventarisasi)

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
(Berisi table pertemuan satwa beserta perhitungannya, dan gambar-gambar
pendukung)

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   101  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

PENUTUP

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   102  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

13. PENUTUP
Metode ilmiah yang dapat digunakan sebagai Pedoman Teknis sangat diperlukan
untuk kepentingan Pengelolaan Berbasis Resort di Taman Nasional Tanjung
Puting, terutama untuk menunjang keakuratan hasil Survei biodiversitas.
Assesmen Biodiversitas adalah tujuan utama dalam Pengelolaan Berbasis Resort
karena dengan diketahuinya kondisi bidiversitas ini maka akan mempermudah
perencanaan, pengelolaan serta pengambilan keputusan dalam pengelolaannya
(tidak lagi bersifat eksidentil). Selain itu, dengan adanya Pedoman Teknis ini
petugas resort akan mempunyai panduan dan pedoman yang jelas dalam
melaksanakan tugas minimum resortnya, serta dapat melibatkan dan memberikan
arahan yang jelas pada tenaga kontrak (biasanya berasal dari masyarakat
setempat) dan masyarakat setempat yang dilibatkan dalam survei biodiversitas.
Keterlibatan tenaga kontrak dan masyarakat lokal untuk mengakses keragaman
jenis sangat diharapkan dan diperlukan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat lokal dan untuk lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan konservasi di
taman nasional yang pada akhirnya akan memberikan manfaat baik kepada
masyarakat lokal terhadap lingkungan dan pelestarian biodiversitas. Pedoman
Teknis ini akan terus disempurnakan seiring dengan pengalaman dalam
pelaksanaan Survei di Taman Nasional Tanjung Puting.

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   103  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

LAMPIRAN

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   104  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

LAMPIRAN
Tallysheet
Estimasi Kepadatan Populasi Satwa Metode Transek Garis
(Line Transect)
Lokasi pengamatan :
Species :

Jumlah individu Jarak


Jarak Jarak dari
No Titik ke.. dari garis
dari nol Jantan Betina Anakan pengamat
transek

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   105  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Tallysheet
Penentuan Tipe Habitat

Tipe Habitat : _______________________________


Nomor plot : _______________________________

Faktor-faktor lingkungan :
Faktor Ulangan pada titik
Waktu Rerata
lingkungan 1 2 3
Kelerengan
Suhu Pagi
Siang Sore
Kelembaban Pagi
Siang Sore
Arah angin Pagi
Siang Sore
Kecepatan angin Pagi
Siang Sore

Hal-hal lain :
1. Sumber air :

2. Kerusakan habitat :

3. Aktivitas manusia :

4. Predator/kompetitor :

5. Hal-hal interest :

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   106  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Tallysheet
Analisis Vegetasi dan Pembuatan Profil Pohon
Tipe Habitat : _______________________________
Nomor plot : _______________________________

Posisi
Diamtr TT TBBC LT
No. Jenis Pohon Pohon Ket
(cm) (m) (m) (m)
X Y

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   107  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Tallysheet
Scan Sampling

Tanggal Pengamatan :
Species :

Durasi Individu A Individu B Individu C


waktu perilaku lokasi perilaku lokasi perilaku lokasi

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   108  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Tallysheet
SURVEI BUAYA

NEGARA: HARI/TANGGAL:
PROPINSI: WAKTU MULAI:
KABUPATEN: WAKTU AKHIR:
KECAMATAN: JUMLAH KM:
SUNGAI: LOKASI MULAI
PENGAMAT: 1. GPS:
PENGEMUDI: 2. Km dari muara:
PEMEGANG PETA: 3. Tempat:
PERLENGKAPAN Prahu/Longboat LOKASI AKHIR
SURVEI: PKnya : 2 / 15 / 40 1. GPS:
PERALATAN yang
Senter / Lampu sorot 2. Km dari muara:
DIPAKAI:
3. Tempat:

KEADAAN CUACA (Circle)


1/8 (=cerah/tidak ada berawan) 2/8 3/8 4/8 5/8 6/8 7/8 8/8 (=tertutup
Kondisi awan
awan)
Kondisi hujan Tidak ada Hujan gerimis Hujan sedang Hujan lebat
Kondisi bulan Tidak ada Bulan 1⁄4 (sedikit) Bulan sedang Bulan purnama
Kondisi air Air pasang Air surut Tidak ada dibawah pengaruh
Jika tidak ada dibawah
Air tinggi Air sedang Air sedang
pengaruh

Catatan
Km Jenis Ukuran Lokasi di
Koordinat Waktu pengamatan
dari (HM=hanya (ft) jumpai*
(peta/GPS) (misalyna,
muara mata)
habitat)

*Lokasi di jumpai: APS – Atas Pinggir Sungai; PS – Pinggir Sungai; TS – Tengah Sungai;

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   109  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

DAFTAR PUSTAKA
(References)

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   110  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

DAFTAR PUSTAKA (References)


Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standart (SOP) Untuk Survei Keragaman
Jenis Pada Kawasan Konservasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan dan ITTO.
Carlton, C. 2004. Bird Survey methods. National Parks Association. Of NSW Inc.
Chemonics International Inc.2001. Biodiversity Assessment for Kazakhstan Task
Order under the Biodiversity & Sustainable Forestry IQC (BIOFOR).
USAID. Contract Number: Lag-I-00-99-00014-00. Submitted To: Usaid
Central Asian Republics Mission, Washington DC.
Elliott, V, Lambert, F, Phalla, T, and Sothea, H. 2011. Biodiversity Assessment of
the REDD Community Forest Project in Oddar Meanchey Cambodia. Bird
life International
Gregory, R.D. Gibbons, D.W and Donald, P.F. 2002. Bird census and Survei
techniques. Suther-02.qxd 5/12/04 1:04 PM Page 17 www.ebcc.info/
Kuncoro SA, van Noordwijk M, Martini E, Saipothong P, Areskoug V, Eka
Dinata A and O'Connor T. 2006. Rapid Agrobiodiversity Appraisal
(RABA) in the Context of Environmental Service Rewards. Bogor,
Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office.
106 p.
Mack, A.L and Wright, D.D. 2011. Training Manual for Field Biologists in Papua
New Guinea. Green Capacity Publication One, USA. www.pngibr.org
Mackinnon, J and Phillips. K. 1993. Field Guide to the Birds of Sumatera,
Borneo, Java and Bali (The greater Sunda Islands). Oxford University
Press. Oxford.
Muhammad Ali Imron. 2010. Teknik Inventarisasi Burung. Laboratorium. Satwa
Liar. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Materi In-House Training di
Taman Nasional Merubetiri
O’Connell, A.F, Nichols, J.D, Karanth, K.U. Editors. 2011. Camera Traps in
Animal Ecology, Methods and Analyses. Springer Tokyo Dordrecht
Heidelberg London New York
Richards, S. J. (ed.). 2007. A rapid biodiversity assessment of the Kaijende
Highlands, Enga Province, Papua New Guinea. RAP Bulletin of
Biological Assessment 45. Conservation International, Arlington, VA,
USA.
Roy, P.S and Behera, M.D. 2002. Biodiversity assessment at landscape level.
Tropical Ecology 43(1): 151-171, 2002 ISSN 0564-3295. © International
Society for Tropical Ecology. Indian Institute of Remote Sensing (NRSA),
Dehradun 248001, India
Sandy Nurvianto. 2010. Desain Sampling dan Desain Penelitian.. Laboratorium.
Satwa Liar. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Materi In-House
Training di Taman Nasional Merubetiri

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   111  


Pedoman  Teknis  Survei  Keanekaragaman  Hayati  TN.  Tanjung  Puting  

Siswanto & Wiratno. 2000. Biodervisitas serangga pada tanaman


panili (Vlanillaplanipolia) dengan tanaman penutup tanah Arachis pintoi
K. (Proseding Seminar Nasional III). Perhimpunan Entomologi
Indonesia. Bogor.
Subeno. 2010. Teknik Inventarisasi Herpetofauna. Laboratorium. Satwa Liar.
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Materi In-House Training di
Taman Nasional Merubetiri
Taman Nasional Meru Betiri. 2010. Standar Operasional Prosedur Pengamatan
Penyu. Unit Pengelolaan Konservasi Penyu. Taman Nasional Meru Betiri.
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Seksi  Pengelola  Taman  Nasional  Wilayah  II  Kuala  Pembuang   112  


 

Anda mungkin juga menyukai