Anda di halaman 1dari 17

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL

KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM


NOMOR : P. 8/KSDAE/BPE2/KSA.4/9/2016

TENTANG

PEDOMAN PENENTUAN KORIDOR HIDUPAN LIAR


SEBAGAI EKOSISTEM ESENSIAL

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


REPUBLIK INDONESIA
2016
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
NOMOR : P. 8/KSDAE/BPE2/KSA.4/9/2016

TENTANG

PEDOMAN PENENTUAN KORIDOR HIDUPAN LIAR


SEBAGAI EKOSISTEM ESENSIAL

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


REPUBLIK INDONESIA
2016
Buku Peraturan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Nomor : P. 8/KSDAE/BPE2/KSA.4/9/2016
Tentang Pedoman Penentuan Koridor Hidupan Liar Sebagai Ekosistem Esensial
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
NOMOR : P. 8/KSDAE/BPE2/KSA.4/9/2016

TENTANG

PEDOMAN PENENTUAN KORIDOR HIDUPAN LIAR


SEBAGAI EKOSISTEM ESENSIAL

DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN EKOSISTEM,

Menimbang : a. bahwa koridor hidupan liar mempunyai fungsi sebagai habitat atau
penghubung dua atau lebih habitat dari spesies hidupan liar yang dilindungi
yang memungkinkan terjadinya pergerakan atau pertukaran individu antar
populasi hidupan liar, sehingga mencegah isolasi populasi dihabitatnya;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana huruf a, diperlukan
pedoman untuk menentukan koridor hidupan liar sebagai ekosistem esensial;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a dan
huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem tentang Pedoman Penentuan Koridor Hidupan Liar
Sebagai Ekosistem Esensial.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Convention on
Biological Biodiversity;
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
LingkunganHidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5432);

7. Peraturan.....

1
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3803);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3802);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5217), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 tentang Perubahan AtasPeraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 330, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5798);;
11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam Pan Kawasan
Pelestarian Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 987);
12. Peraturan Menteri Kehutanan NomorP.81/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara
pelaksanaan Inventarisasi Potensi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
1442);
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 85/Menhut-II/2014 tentang Tata
Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
1446);
14. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 18/MenLHK-
II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN


EKOSISTEM TENTANG PEDOMAN PENENTUAN KORIDOR HIDUPAN LIAR SEBAGAI
EKOSISTEM ESENSIAL.

Pasal 1

Pedoman penentuan koridor hidupan liar sebagai ekosistem esensial tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.

Pasal 2

Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, merupakan acuan dan standar penentuan koridor
hidupan liar sebagai ekosistem esensial.

Pasal.....

2
Pasal 3

Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka:


a. Pedoman penentuan koridor hidupan liar sebagai ekosistem esensial yang telah disahkan dan tidak
bertentangan tetap berlaku, selanjutnya menyesuaikan dengan peraturan ini.
b. Pedoman penentuan koridor hidupan liar sebagai ekosistem esensial yang telah disahkan, namun
masih ada beberapa pedoman yang belum disusun, maka penyusunnya mengikuti ketentuan
peraturan ini.

Pasal 4

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Ditetapkan di : JAKARTA
pada tanggal : 27 September 2016
DIREKTUR JENDERAL,

Dr. Ir. TACHRIR FATHONI, M.Sc


NIP. 19560929 198202 1 001

3
LAMPIRAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN
EKOSISTEM
NOMOR : P. 8/KSDAE/BPE2/KSA.4/9/2016
TANGGAL : 27 SEPTEMBER 2016
TENTANG : PEDOMAN PENENTUAN KORIDOR HIDUPAN LIAR SEBAGAI EKOSISTEM ESENSIAL.

BAB I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu dari 12 negara yang merupakan pusat keanekaragaman hayati di
dunia karena memiliki kekayaan keanekaragaman hayati tinggi. Pada tahun 2014, dalam buku
Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), mencatat
kekayaan keanekaragaman hayati mencakup 1500 spesies algae, 80.000 spesies tumbuhan
berspora, 595 spesies lumut kerak, 2.197 spesies paku-pakuan, 30.000-40.000 spesies flora (15.5%
dari total jumlah flora di dunia); 8157 spesies fauna vertebrata (mamalia, burung, herpetofauna,
dan ikan), 1900 spesies kupu-kupu (10 % dari spesies dunia).
Selain itu, Indonesia juga memiliki jenis-jenis endemik, seperti burung, mamalia dan reptilia (270
spesies mamalia, 386 spesies burung, 328 spesies reptilia, 204 spesies amphibia, 280 spesies ikan).
Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut ternyata diiringi dengan beberapa ancaman yang cukup
signifikan sehingga dapat menyebabkan kehilangan kehati, seperti perubahan habitat, masuknya
spesies asing, eksploitasi berlebihan, perubahan iklim, perubahan lingkungan DAS, pencemaran,
perburuan liar, kebakaran hutan dan lahan serta perubahan fungsi lahan. Salah satu tantangan yang
paling serius terhadap keberadaan jenis dan populasi satwa liar adalah hilangan dan/atau
terfragmentasinya habitat, yang terjadi karena diskontinuitas dari lingkungan yang disukai suatu
organisme, dimana akhirnya akan menyebabkan fragmentasi populasi.
Keberadaan jenis-jenis, terutama satwa yang dilindungi seringkali berada di luar kawasan
konservasi sehingga sering menimbulkan konflik antara satwa dan manusia serta akan mengancam
kelangsungan hidup keanekaragaman hayati.
Fragmentasi habitat dapat menyebabkan berkurangnya jumlah atau luasan habitat yang tersedia
bagis emua organisme dalam keseluruhan ekologi yang ada di habitat.Pada kawasan yang sudah
terlanjur terfragmentasi, jika memungkinkan pemulihan habitat penting dilakukan.Namun jika
tidak solusinya adalah dengan menghubungkan fragmen-fragmen tersebut melalui koridor.
Pelestarian atau penanaman vegetasi asli di koridor diharapkan dapat mengurangi beberapa
dampak negative ekologi dan fragmentasi habitat.
Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta beberapa organisasi non
pemerintah pada tahun 2013, melakukan kajian kesenjangan (gap analisys) keterwakilan ekologis
kawasan konservasi di Indonesia, diperkirakan sekitar 80% keanekaragaman hayati (ekosistem,
spesies, genetik) yang bernilai penting berada di luar kawasan konservasi. Oleh karena itu, sangat
penting melakukan identifikasi kawasan-kawasan penting tersebut dan dijadikan sebagai
ekosistem esensial dengan pengelolaan yang tepat guna serta untuk menjaga fungsi ekologis dan
lindung bagi keanekaragaman hayati di dalamnya.

4
Salah satu bentuk ekosistem esensial adalah koridor satwa liar/hidupan liar.Pengelolaan koridor
hidupan liar sangat diperlukan dalam upaya perlindungan dan pengawetan satwa liar di luar
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).Disamping itu, pengelolaan
koridor satwa liar dapat membantu mengurangi efek negatif dari kehilangan habitat dan
fragmentasi habitat keanekaragaman hayati. Berdasarkan PP 28/2011 tentang KSA dan KPA,
tujuan penetapan koridor hidupan liar untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan antara
manusia dan hidupan liar serta memudahkan hidupan liar bergerak sesuai daerah jelajah dari satu
areal ke areal lain.

B. Tujuan
Tujuan penyusunan pedoman penentuan koridor hidupan liar ini yaitu sebagai petunjuk dan acuan
bagi stakeholders untuk mengetahui kriteria dalam penentuan lokasi yang akan dijadikan sebagai
koridor hidupan liarn di luar KSA dan KPA.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini, meliputi:
a. jenis dan tipe koridor;
b. identifikasi koridor;
c. metodologi;

5
BAB II.
BATASAN DAN PENGERTIAN

A. Batasan dan Pengertian


1. Ekosistem Esensial adalah ekosistem di luar kawasan konservasi yangs ecara ekologis penting
bagi konservasi keanekaragaman hayati yang mencakup ekosistem alami dan buatan yang
berada di dalam dan di luar kawasan hutan.
2. Koridor adalah suatu lorong atau tempat/ruang penghubung yang merupakan ekosistem
penghubung antar kawasan konservasi, habitat satwa atau ekosistem penting lain bagi hidupan
hayati agar dapat melakukan pergerakan tanpa hambatan, seperti bergerak atau bermigrasi dari
satu tempat ke tempat lain.
3. Koridor keanekaragaman hayati adalah:
a. sebuah lansekap linear yang berfungsi sebagai penghubung antara areal alami dan habitat
yang dahulunya pernah terhubungkan dan bermanfaat untuk memfasilitasi pergerakan
diantara keduanya;
b. garis vegetasi asli atau simpul vegetasi yang menghubungkan sisa-sisa habitat utama, seperti
taman nasional, areal konservasi dan daerah vegetasi asli di tanah pribadi. Koridor
kehidupan liar bisa horizontal maupun vertikal. Fauna perlu bergerak dari air ke tanah yang
merupakan koridor horizontal, dan juga kawasan pinggir sungai (riparian) ke puncak bukit
yang merupakan koridor vertical;
c. jalur habitat (berupa vegetasi asli, namun bisa juga dengan pengayaan tanaman yang
disesuaikan) yang menggabungkan dua atau lebih habitat yang terfragmentasi dengan
habitat satwa liar serupa yang lebih luas. Koridor sangat penting untuk pemeliharaan
proses ekologis termask memungkinkan untuk pergerakan satwa liar dan untuk viabilitasi
populasi (keberlangsungan populasi);
d. penghubung antar lansekap yang berfungsi untuk menghubungkan sekurang-kurangnya dua
wilayah habitat yang signifikan.
4. Koridor hidupan liar adalah areal atau jalur bervegetasi yang cukup lebar baik alami maupun
buatan yang menghubungkan dua atau lebih habitat atau kawasan konservasi atau ruang
terbuka dan sumberdaya lainnya, yang memungkinkan terjadinya pergerakan atau pertukaran
individu antar populasi satwa atau pergerakan faktor-faktor biotik sehingga mencegah
terjadinya dampak buruk pada habitat yang terfragmentasi pada populasi karena in-breeding
dan mencegah penurunan keanekaragaman genetik akibat erosi genetik (genetik drift) yang
sering terjadi pada populasi yang terisolasi.
5. Koridor ekosistem disebut sebagai kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang
dilindungi adalah wilayah yang merupakan bagian dari kawasan lindung dan/atau kawasan
budidaya yang berfungsi sebagai alur migrasi satwa atau biota laut, yang menghubungkan antar
kawasan konservasi.

6
BAB III.
JENIS DAN TIPE KORIDOR

A. Jenis Koridor
Koridor dapat terbentuk secara alami dan juga buatan (artificial). Koridor alami adalah bentuk
yang tidak terlampau banyak campur tangan manusia dalam pembentukannya dan lebih
menggunakan kondisi alam yang ada. Sementara koridor artificial peran serta manusia sangat
besar dalam pembentukannya. Beberapa koridor artificial yang banyak digunakan adalah:
membangun jembatan, kanopi penghubung, terowongan bawah tanah yang menghubungkan dua
sisi habitat yang dipisahkan oleh jalan raya atau sungai, dan lainnya.
Koridor alami dapat dibedakan, yaitu:
1. Koridor linear (linear corridor) seperti jajaran tumbuhan, pagar tanaman, jalur pepohonan
hutan atau sungai, bentuk koridor linear umumnya dapat dijumpai seperti sepanjang tepi
sungai (sepadan sungai);
2. Koridor serupa batu pijakan (stepping stone corridor) yaitu sebuah susunan dari pecahan kecil
habitat yang digunakan individu selama bergerak, baik untuk tempat tinggal sementara, makan,
minum dan beristirahat sebelum mencapai habitat luas (habitat yang berkesinambungan) atau
habitat yang diinginkan;
3. Koridor bentang alam/lansekap (landscape corridor) berupa berbagai bentuk matriks lansekap
yang saling terkait yang memungkinkan individu untuk bertahan hidup selama bergerak
diantara pecahan habitat. Pada tipe koridor ini memperlihatkan bahwa sebuah koridor
memiliki karakteristik habitat survival, dimana fasilitas kehidupan terdapat di sepanjang
koridor dan mampu memberikan daerah jelajah (home range) sepenuhnya dalam koridor.

Ilustrasi jenis koridor

B. Tipe Koridor
1. menghubungkan antar kawasan konservasi;
2. menghubungkan antar ekosistem penting;
3. menghubungkan ekosistem penting dengan kawasan konservasi;
4. menghubungkan ekosistem penting dengan kawasan lindung (hutan lindung dan hutan
konservasi).

7
BAB IV.
IDENTIFIKASI KORIDOR

A. Kriteria Koridor

Kriteria penentuan koridor satwa, antara lain dilakukan dengan:


1. Penentuan spesies kunci yang akan dibuatkan koridor, diprioritaskan pada satwa yang
dilindungi, spesies endemik dan spesies prioritas berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
KSDAE No.Sk.280/IV-KKH/2015 ;
2. Lokasi dan status lahan yang meliputi sejarah kawasan, luas, kepemilikan, di dalam konsesi, di
luar konsesi, antar konsesi (lansekap) dengan status kawasan hutan (hutan konservasi, hutan
lindung, hutan produksi), areal kosnesi (HPH, HTI, Perkebunan, Pertambangan, IUPHHK-RE),
HP, HPK, APL. lokasi koridor dapat dipengaruhi oleh hubungan antara pergerakan musiman dan
tujuan spesifik dari koridor;
3. Kawasan koridor yang diusulkan secara historis mempunyai fungsi menghubungkan suatu
habitat ke habitat lainnya baik berupa kawasan konservasi maupun bukan kawasan konservasi,
merupakan jalur jelajah dan daerah sebaran satwa target dan tidak berpotensi konflik dengan
masyarakat, baik pemukimam atau aktifitas manusia lainnya.
4. Ekologi yang berfungsi optimal untuk berlangsungnya pergerakan satwa antar habitat yang
terputus dan mampu menyediakan kebutuhan satwa misalnya pakan, termasuk keamanan dari
aktivitas perburuan, pemangsa, kebakaran dan ancaman lainnya. Aspek Ekologi, meliputi:
a. Habitat: Pengamatan habitat perlu diobservasi karena merupakan parameter kritis dalam
perencanaan pembentukan koridor. Penggunaan koridor oleh individu satwa tergantung
pada habitat dalam hubungan lansekap;
b. Pola penyebaran dari spesies mangsa dan pemangsa terkait menunjukkan bahwa koridor
yang efektif harus mengandung cukup ‘habitat yang sesuai’bagi spesies target untuk tinggal
secara permanen dalam koridor atau untuk melintas secara normal;
c. Lebar dan panjang koridor yang optimal ditentukan oleh efek tepi (edge effect) dan
kecenderungan penyebaran satwa liar bergerak. Lebar minimum koridor dapat diperkirakan
dari data mengenai wilayah jangkauan (home range) dan ukuran spesies target serta
pertimbangan lebar yang diperlukan untuk mempertahankan habitat yang diinginkan
terhadap penetrasi jenis vegetasi lain dari pinggir koridor. Jika penggunaan koridor
dimanfaatkan oleh satu spesies secara permanen menempati koridor tersebut, maka lebar
koridor setidaknya selebar rentang wilayah jangkauan dan panjangnya dua kali dari rentang
wilayah jangkauan. Koridor juga dapat lebih pendek dari lebar minimum yang didasari pada
wilayah jangkauan;
d. Kawasan koridor yang akan diusulkan mempunyai luas, ukuran, zonasi yang sesuai untuk
satwa prioritas (desain koridor)
e. Analisis ancaman: efektivitas koridor akan terpengaruh oleh jenis dan tingkat aktivitas
manusia dan praktek penggunaan lahan baik di dalam dan berdekatan dengan koridor. Oleh
karena itu diperlukan pendekatan atau sosialisasi terhadap pemangku kawasan dan
masyarakat, misalnya melalui edukasi konservasi satwa liar.

B. Fungsi Koridor
1. Memberikan ruang untuk satwa liar secara luas dalam melakukan perjalanan, migrasi dan
bertemu pasangan;
2. Memberikan ruang bagi tumbuhan untuk berkembang;
3. Memungkinkan terjadinya pertukaran genetik (genetic interchange);
4. Memberikan ruang bagi populasi untuk dapat bergerak sebagi respon terhadap perubahan
lingkungan dan bencana alam;
5. Memberikan ruang bagi individu untuk dapat melakukan rekolonisasi pada habitat yang
populasi lokalnya telah punah.

8
BAB V.
METODOLOGI

Metodolgi yang mendukung pembangunan koridor yang sesuai karakteristik kawasannya, maka
dibutuhkan berbagai informasi awal, baik dari aspek ekologi maupun sosial ekonomi masyarakat pada
kawasan yang dinilai berpotensi sebagai koridor.

A. Pengumpulan Data
a. Metode Pengumpulan Data
1. Pemilihan Area Awal Potensi Koridor
Pemilihan area potensi koridor dilakukan melalui interpretasi terhadap peta penggunaan
lahan terbaru, peta status hutan, metode review dan study of the art terhadap hasil-hasil
penelitian terkait dan diskusi dengan berbagai pihak terkait.

2. Survei Potensi Koridor


Beragam metodeyang dikembangkan untuk penilaian potensi koridor, diantaranya yaitu:
a) Pengamatan satwa liar
Pengamatan satwaliar dilakukan melalui pengamatan langsung secara sampling dan
tidak langsung maupun wawancara.Satwaliar yang diamati dapat difokuskan pada jenis
satwaliar target yang dapat mengindikasikan keaslian habitat, mudah ditemukan dan
diidentifikasi, seperti klas mamalia darat dan primata.
Penentuan metode pengamatan satwa berdasarkan karakteristik wilayah yang akan
dibangun koridor,misalnya dengan metode pengamatan menggunakan kombinasi
variable circular-plot method dan transek berpetak untuk meningkatkan peluang
perjumpaan dengan satwa secara langsung. Apabila sudah ada satwa target, maka
pengamatan dapat difokuskan pada populasi satwa target di sekitar calon lokasi koridor,
misalnya orangutan.
b) Pengamatan habitat
Pengamatan habitat dilakukan untuk mengetaui komposisi vegetasi (indeks nilai penting
vegetasi), sebaran pohon pakan dan pohon pelindung/pohon sarang satwa
target.Pengumpulan data potensi habitat akan dilakukan melalui pembuatan plot analisis
vegetasi menurut menggunakan metode garis berpetak (strip transect method).Plot
analisis vegetasi akan dibuat di sepanjang area potensi koridor yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan tipe tutupan lahan, seperti hutan primer, hutan sekunder
maupun area terdegradasi.
Tumbuhan yang diamati yaitu tingkat pohon, tiang, pancang dan semai dan tumbuhan
bawah. Data yang dikumpulkan antara lain nama jenis dan jumlah individu setiap jenis
untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah dan tingkat pancang, sedangkan untuk tiang
dan pohon antara lain nama jenis, jumlah individu setiap jenis dan diameter setinggi
dada.
c) Pengamatan Karakteristik dan Pemanfaatan Lahan
Pengumpulan data untuk mengetahui karakteristik lahan dilakukan melalui interpretasi
peta tutupan lahan dan status kawasan hutan. Selanjutnya untuk mengetahui
karakteristik lahan sekitar lokasi calon koridor, maka dilakukan pengamatan secara
deskriptif dan pembuatan petak contoh penelitian.

Pengamatan deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai kondisi


lahan seperti, bentuk dan kemiringan lahan, kesuburan tanah, pH tanah dan/atau tingkat
erosi. Petak contoh dibuat pada berbagai tipe lahan untuk mewakili kondisi lahan yang
9
terdapat pada lokasi penelitian. Penempatan petak contoh dilakukan secara sistematik
sampling dengan pemilihan petak contoh pertama secara acak.
Pada tipe hutan rakyat atau hutan campuran dibuat petak contoh berukuran sekitar 0,2
ha dan pemanfaatan jenis tersebut (penghasil kayu atau bukan kayu). Sedangkan pada
tipe lahan lainnya, seperti perkebunan atau ladang dicatat jenis tanaman, jarak tanam,
dan kerapatan tanaman perhetar .

Untuk mengetahui status, luas kepemilikan, penggunaan lahan dilakukan melalui


penyebaran kuisioner dan wawancara. Penentuan responden menggunakan pendekatan
metode purposive random sampling yang yang diwakili oleh kepala keluarga sebagai
responden. Pada kuisioner akan dibuat juga pertanyaan tentang sosial, ekonomi dan
budaya / kearifan lokal masyarakat, terutama terkait dalam pemanfaatan sumberdaya
hutan dan lahan.
d) Persepsi dan Potensi Konflik
Pengumpulan data persepsi mengenai pemahaman masyarakat akan pentingnya koridor
dan konservasi satwa juga akan dilakukan melalui kuesioner dan FGD. Responden
direncanakan akan meliputi masyarakat, perangkat desa, pemangku adat, dan lembaga
lain yang ada kaitannnya dengan pengelolaan.
Pada penelitian ini juga akan dikumpulkan data tentang potensi konflik yang dialami
masyarakat terkait dengan gangguan satwa, potensi kerugian akibat gangguan, model
interaksi masyarakat dengan satwa sampai identifikasi konflik dalam pemanfaatan lahan
antar masyarakat dengan perusahaan swasta ataupun pengelola kawasan konservasi.

Catatan: penentuan luasan plot contoh pengamatan, jumlah desa contoh penelitian, jumlah
responden dan jumlah lembaga yang akan disurvai pada setiap calon koridor akan
ditentukan berdasarkan hasil diskusi tim yang disesuaikan dengan ketersediaan waktu,
sumber daya manusia dan biaya kegiatan.

b. Jenis data yang dikumpulkan


1. Data biogeofisik yang diperlukan meliputi data sebagai berikut:
 letak geografis/letak adminsitrasi;
 ketinggian;
 topografi
 geologi dan tanah;
 iklim;
 hidrologi;
 kelembaban;
 pH tanah;
 satwa;
 vegetasi; dan
 data lainnya yang berkaitan dengan data biogeofisik.

2. Data sosial, ekonomi dan budaya yang dikumpulkan meliputi data sebagai berikut:
 jumlah penduduk;
 agama;
 pendidikan;
 mata pencaharian;
 kelembagaan masyarakat;

10
 pola penggunaan lahan;
 persepsi masyarakat terhadap satwa; dan
 data lainnya yang berkaitan dengan sosial, ekonomi dan budaya.

3. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder untuk melengkapi data primer dilakukan melalui studi
literatur terhadap hasil penelitian terdahulu, laporan pemerintah daerah (kantor
kecamatan dan atau desa), buku teks dan sebagainya. Beberapa data sekunder yang
dikumpulkan adalah jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan, program
kerja, dan cara pengelolaan sumberdaya lahan.

B. Pemetaan
Pemetaan dilakukan dengan menggunakan titik koordinat lokasi calon koridor dengan
menggunakan GPS kemudian dioverlay ke peta dasar dengan tujuannya untuk memberikan
informasi melalui peta mengenai lokasi calon koridor hidupan liar yang ada di satu Kabupaten atau
Provinsi.
Peta koridor dibuat dengan skala:
1. Provinsi minimal skala 1 : 250.000
2. Kabupaten minimal skala 1 : 50.000
3. Kota minimal skala 1 : 25.000

C. Analisis data
Analisis data digunakan untuk merancang desain koridor menurut tahapan pembuatan
koridor.Tahapan penentuan koridor:
1. Mempelajari atau menganalisis potensi jalur koridor yang akan dibuat dengan menggunakan
citra. Dipilih jalur yang paling baik dari sisi konektivitas;
2. Stakeholders mapping, pemetaan pemangku kawasan untuk beraktivitas di potensi jalur
koridor;
3. Melakukan ground checking untukk melihat komposisi vegetasi (keberadaan tumbuhan pakan,
keterhubungan tajuk pohon, keberadaan predator dan kompetitior);
4. Memperhitungkan panjang, lebar dan bentuk koridor sebagai ukuran kelayakan yang akan
memerlukan data jarak jelajah harian dan luasan daerah jelajah satwa tersebut. Diperlukan
analisis daya dukung kawasan (carrying capacity) potensi jalur koridor serta tujuan dan
analisis ancaman termasuk tumpang tindih status lahan;
5. Usulan koridor merupakan jarak yang terpendek dan diutamakan yang masih berhutan
(karena biaya lebih murah dan tidak memerlukan restorasi vegetasinya);
6. Jalur koridor sempadan sungai lebih disukai karena berstatus kawasan lindung seperti yang
tertuang dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 1990;
7. Dibuatkan penyangga koridor apabila jalur koridor tersebut rawan konflik seperti pada areal
perkebunan dan perlunya membangun konektifitas antar kebun untuk memudahkan jalur
pergerakan satwa;
8. Menguatkan status koridor dalam bentuk badan hukum melalui Keputusan atau Peraturan
Daerah;
9. Restorasi vegetasi jika diperlukan. Dalam prosesnya membutuhkan pemeliharaan atau
restorasi vegetasi asli (menanam pohon, liana, semak, dan tanaman lain untk menyediakan
makan dan perlindungan terutama pohon-pohon jenis cepat tumbuh). Pengelolaan jangka

11
panjang harus menyediakan pendanaan berkelanjutan yang memadai untuk restorasi dan
pengelolaan koridor.
10. Pengelola koridor ditentukan oleh status lahan atau kawasan yang dipergunakan sebagai
koridor, namun mengingat banyaknya para pihak yang terkait maka pengelolaan koridor dapat
dilakukan secara kolaboratif.
Koridor yang berada di lahan konsesi perkebunan maka penanggung jawab pengelolaan
koridor adalah perusahaan pemegang izin konsesi perkebunan.
Pengelolaan koridor yang berada di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dalam
satu wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Gubernur kepada Institusi yang paling
berwenang atau paling berkompeten.

12
BAB VI.
PENUTUP

Pedoman penentuan koridor hidupan liar sebagai ekosistem esensial ini diharapkan dapat
melaksanakan kegiatannya secara bertahap sesuai arah dan tujuan yang telah digariskan serta pedoman
ini akan memudahkan pengelola dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi
penentuan koridor.

DIREKTUR JENDERAL,

Dr. Ir. TACHRIR FATHONI, M.Sc


NIP. 19560929 198202 1 001

13
Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Anda mungkin juga menyukai