Anda di halaman 1dari 44

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
Daftar Isi
KATA SAMBUTAN
PERDIRJEN KSDAE NOMOR : P.
TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENENTUAN AREAL BERNILAI KONSERVASI TINGGI iii
DI LUAR KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
I. PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. TUJUAN 3
C. RUANG LINGKUP 3
vi II. BATASAN DAN PENGERTIAN 4
III. JENIS DAN FUNGSI ABKT 6
A. JENIS ABKT 6
B. FUNGSI ABKT 9
C. KATEGORI MASING-MASING ABKT 9
IV. PANDUAN IDENTIFIKASI ABKT 16
A. PRINSIP PENILAIAN DALAM IDENTIFIKASI ABKT 16
B. METODE IDENTIFIKASI ABKT 21
V. PELAPORAN 37
A. PELAPORAN 37
B. FORMAT LAPORAN 37
C. FORMAT RINGKASAN KAJIAN PUBLIK LAPORAN 38
Daftar
DaftarTabel
Isi
Tabel 1. Keterlibatan Para Pihak dalam Penilaian ABKT 19
Tabel 2. Kebutuhan Peta untuk Kepentingan Identifikasi ABKT 23
Tabel 3. Data dan Sumber Data yang Diperlukan untuk Mendukung Penilaian
24
Jasa Ekosistem
Tabel 4. Daftar Indikatif Ekosistem yang Langka atau Terancam di Kalimantan dan Indikasi
32
Kelas RePProT Dimana Ekosistem Tersebut Terdapat
Tabel 5. Daftar Indikatif Ekosistem yang Langka atau Terancam di Sumatera dan Indikasi
34
Kelas RePProT Dimana Ekosistem Tersebut Terdapat

vii
© Anthony Greer
Kawasan konservasi merupakan area khusus yang dialokasikan sebagai
perlindungan lingkungan khususnya keanekaragaman hayati dan sistem
penyangga kehidupan. Kawasan konservasi di Indonesia dipandang masih
belum cukup untuk memberikan ruang perlindungan bagi keanekaragaman
hayati di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya jenis satwa
dan/ atau tumbuhan penting yang masih dapat dijumpai di area non kawasan
konservasi. Menilik fakta di atas, maka pemerintah telah memberikan ruang
perlindungan dan pengelolaan area tersebut sesuai dengan UU Nomor 23
Tahun 2014 yang mengamanatkan adanya perlindungan terhadap ekosistem
penting oleh pemerintah daerah. Salah satu area yang dimaksud dalam dua
terminologi tersebut adalah areal yang bernilai konservasi tinggi (ABKT).

Terminologi ABKT pada prinsipnya sama dengan kawasan bernilai konservasi


tinggi (KBKT). Suharto et al. (2015) menyatakan bahwa lebih dari 4,2 juta Ha
area budidaya telah diidentifikasi ABKT-nya melalui berbagai skema
sertifikasi. Adapun sektor terbesar yang telah mengikuti skema identifikasi
NKT di dalam proses sertifikasinya adalah sektor kehutanan seluas 1.990.856
Ha (FSC 2016) dan perkebunan kelapa sawit seluas 1.545.269 Ha (RSPO
2016). Hal tersebut menunjukkan bahwa terminologi nilai konservasi tinggi
sejatinya telah dipahami oleh masyarakat luas di Indonesia. Skema tersebut
mengharuskan unit manajemen untuk mengelola ABKT yang telah
teridentifikasi dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan terbaik guna
mempertahankan atau bahkan meningkatkan nilai konservasi tinggi di
dalamnya. Nilai-nilai yang dimaksud berkaitan dengan keanekaragaman
hayati, jasa lingkungan dan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat lokal.

2 Skema sertifikasi yang didasarkan atas kesukarelaan unit pengelola tentu


hanya dapat dilaksanakan pada tingkat tapak di wilayah yang menjadi
kewenangan masing-masing para pihak. Hal tersebut patut diapresiasi
meskipun tujuan yang diharapkan dalam kontrak sosial tersebut (skema
sertifikasi) belum tercapai. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang
dapat mengikat komitmen dari para pihak sekaligus menindaklanjuti upaya
yang telah dilakukan agar fungsi ABKT di masing-masing wilayah unit kelola
tersebut dapat ditingkatkan. Dengan kebijakan tersebut, maka diharapkan
tujuan keberlanjutan usaha dan kesehatan lingkungan khususnya bagi
konservasi keanekaragaman hayati dapat dicapai.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan Petunjuk Teknis Penentuan Areal Bernilai
Konservasi Tinggi di Luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam dan Taman Buru adalah sebagai petunjuk dan acuan bagi para
pihak untuk dapat menentukan area yang dapat dikategorikan sebagai
areal bernilai konservasi tinggi bagi keanekaragaman hayati, jasa
lingkungan maupun sosial budaya masyarakat lokal.

C. Ruang Lingkup, meliputi:


1. Jenis areal bernilai konservasi tinggi;
2. Fungsi areal bernilai konservasi tinggi;
3. Kategori areal bernilai konservasi tinggi;
4. Metode identifikasi areal bernilai konservasi tinggi; dan
5. Pelaporan.

© Danau Sentarum
7. Lansekap atau Bentang Alam adalah mosaik geografis dari
ekosistem-ekosistem atau sub-komponen daripadanya yang
saling berinteraksi dimana susunan secara spasial serta
modus interaksinya mencerminkan pengaruh dari kondisi
geologi, iklim, topografi, tanah, biota dan aktivitas manusia.
8. Masyarakat Lokal adalah sekelompok orang yang telah
tinggal dalam tenggang waktu yang cukup lama di suatu
tempat atau daerah sehingga dapat dipandang sebagai satu
kesatuan dengan lingkungannya.
9. Simpanan Karbon Tinggi adalah area dengan tutupan lahan
hutan yang memiliki cadangan karbon tinggi yang berperan
penting dalam mengendalikan peningkatan emisi.
10. Subsisten adalah kegiatan non komersil dalam pemanfaatan
sumber daya hutan yang bertujuan untuk pemenuhan
kebutuhan untuk konsumsi pribadi dan / atau satu keluarga.

© ANTHONY KUHN, MANGROVE


Jenis Areal Bernilai Konservasi Tinggi
ABKT 2 Ekosistem dan mosaik pada level lanskap
Elemen bentang alam (patch, matriks, koridor) yang penting
bagi terselenggaranya dinamika proses ekologi alami untuk
mendukung populasi spesies yang penting untuk dilestarikan.

ABKT 1 Keanekaragaman Spesies


Area yang secara signifikan
mengandung keanekaragaman ABKT 3 Ekosistem dan habitat
spesies yang penting untuk Area yang berisi ekosistem unik,
dilestarikan. langka, rentan atau terancam.

ABKT 6 Nilai kultural


Area yang penting bagi identitas ABKT 4 Jasa ekosistem
budaya tradisional dari masyarakat Area yang menyediakan
lokal yang terkait dengan jasa ekosistem.
keanekaragaman hayati.

ABKT 5 Kebutuhan masyarakat


Area yang memiliki sumber daya alam yang menyediakan
kebutuhan pokok bagi masyarakat lokal yang terkait dengan
keanekaragaman hayati.
7
A. Fungsi ABKT
Fungsi dari masing-masing ABKT adalah:

1. ABKT 1 – 3 berfungsi sebagai area perlindungan bagi


keanekaragaman hayati yang penting di dalam sebuah lansekap
(bentang alam) ataupun luasan yang lebih kecil, yakni: patch,
matriks atau koridor. Patch merupakan area homogen penyusun
lansekap yang dapat dibedakan dengan daerah di sekelilingnya.
Adapun matriks didefinisikan sebagai patch yang dominan,
sedangkan koridor merupakan patch yang berbentuk memanjang.

2. ABKT 4 berfungsi sebagai perlindungan kawasan yang penting bagi


berlangsungnya jasa ekosistem (lingkungan). Pengatur tata air yang
dimaksud juga termasuk pada perlindungan daerah yang mampu
mencegah erosi, sedimentasi dan abrasi. Hal tersebut bermakna
bahwa perlindungan ABKT ini bertujuan untuk menjamin
kelangsungan penyediaan berbagai jasa lingkungan alami yang
sangat penting (key environmental services) yang secara logis dapat
dipengaruhi oleh pemanfaatan lahan dalam sebuah lansekap.

3. Jenis ABKT 5 dan ABKT 6 berfungsi sebagai area perlindungan bagi


8
wilayah yang memiliki fungsi sosial (termasuk ekonomi) dan budaya
masyarakat. Perlindungan terhadap ABKT ini bertujuan untuk
mengakui dan memberikan ruang kepada masyarakat lokal dalam
rangka menjalankan pola hidup tradisionalnya yang tergantung
pada hutan atau ekosistem lainnya. Hasil akhir yang diharapkan
adalah adanya pola pemanfaatan yang berkelanjutan yang pada
akhirnya juga mampu memberikan kontribusi dalam konservasi
keanekaragaman hayati di area tersebut. Adapun area yang
dimaksudkan tidak terbatas pada klaim hak milik atas suatu wilayah,
namun bisa lebih luas lagi, pada hak guna masyarakat terhadap
wilayah tertentu.
C. Kategori Masing-Masing ABKT

a. Area yang Secara Signifikan Mengandung Keanekaragaman


Spesies yang Penting untuk Dilestarikan

Kategori area yang termasuk dalam jenis ABKT yang signifikan


mengandung keanekaragaman spesies yang penting untuk
dilestarikan adalah:

1. Apabila terdapat area yang diketahui berfungsi sebagai


pendukung keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung dan/
atau hutan konservasi. Konteks ini menunjukkan bahwa area-
area yang diketahui sebagai daerah penyangga (buffer zone)
atau yang berfungsi sebagai koridor dan di dalamnya terdapat
keanekaragaman hayati yang tinggi dimana di kawasan lindung
dan/ atau hutan konservasi tersebut terdapat populasi induknya,
maka area tersebut dapat dikategorikan sebagai ABKT ini.

2. Apabila terdapat area yang diketahui mengandung spesies


endemik, langka dan / atau dilindungi. Kategori ini mensyaratkan
bahwa seluruh keanekaragaman hayati pada level spesies/ sub
spesies di suatu wilayah diidentifikasi dan dipastikan
keberadaannya dan selanjutnya dianalisis status sebaran
9
geografis, status keterancaman, status perdagangan dan status
perlindungannya. Keberadaan nilai ini di suatu wilayah
ditetapkan jika terdapat salah satu atau lebih spesies yang
memiliki kriteria di bawah ini:
i. Jenis endemik baik bersifat lokal (lokasi studi) maupun
regional (dalam kesatuan pulau).

ii. Jenis yang memiliki status terancam berdasarkan redlist


database IUCN, yakni dengan kategori critically
endangered, endangered atau vulnerable.

iii. Jenis yang termasuk dalam kategori Appendices I dan


Appendices II CITES.

iv. Jenis yang termasuk dalam kategori satwa prioritas


konservasi (lihat: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.57/Menhut-II/2008) dan/ atau dilindungi (lihat: Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999) atau peraturan
perundangan lain di Indonesia sejenis.
3. Area yang merupakan habitat bagi spesies atau
sekumpulan spesies migran. Kaidah utama yang
digunakan dalam penetapan area yang mengandung
kategori ini adalah jika masing-masing habitat yang
dimaksud hilang maka dampak bagi populasi beberapa
satwa tertentu yang tergantung kepadanya akan berkali-
kali lipat besarnya dibandingkan dengan ukuran habitat
itu sendiri. Sebagai contoh area yang dimaksud adalah:
gua bagi jenis-jenis Chiroptera (kelelawar), danau dan
lahan basah bagi burung migran, rawa padang rumput
sepanjang tepi sungai bagi buaya bertelur, salt lick
permanen bagi berbagai jenis ungulata, tempat tertentu
dimana terdapat sumber makanan yang banyak bagi
pemakan buah (pohon ara atau Ficus dalam jumlah yang
banyak), pohon yang berlubang yang berupa pohon
sarang bagi burung enggang (Bucerotidae) dan lain
sebagainya. Area-area yang dinyatakan mengandung
nilai ini adalah apabila terdapat salah satu atau lebih
lokasi yang memenuhi kriteria di bawah ini:

i. Area tersebut berfungsi sebagai habitat berkembang-


biak dan/ atau bersarang.
10 ii. Area tersebut berfungsi sebagai habitat migrasi.

iii.Area tersebut berfungsi sebagai tempat pergerakan


satwa antara ekosistem yang berbeda.

iv. Area tersebut berfungsi sebagai habitat berlindung


(refugium).
b. Elemen Bentang Alam (Patch, Matriks, Koridor) yang Penting bagi
Terselenggaranya Dinamika Proses Ekologi Alami untuk
Mendukung Populasi Spesies yang Penting untuk Dilestarikan

Terdapat tiga kategori yang dimaksud dengan ABKT yang penting


bagi terselenggaranya dinamika proses ekologi alami untuk
mendukung populasi spesies yang penting untuk dilestarikan, yaitu:

1. Apabila terdapat daerah inti (core areas) dari lansekap yang


merupakan habitat bagi populasi induk. Area ini penting
dicadangkan agar dapat menjamin berlangsungnya proses
ekologi alami tanpa gangguan akibat fragmentasi dan pengaruh
daerah bukaan (edge effect) di masa sekarang dan yang akan
datang. Adapun contoh daerah inti antara lain adalah: zona inti
dari tamana nasional atau blok perlindungan dari kawasan
konservasi selain taman nasional. Pada beberapa kasus
mungkin dapat dijumpai populasi induk pada area hutan alami di
luar kawasan konservasi. Pada konteks ini, maka area tersebut
juga dapat dikategorikan sebagai ABKT.

2. Terdapat bentang alam yang mengandung dua atau lebih


ekosistem alami dengan garis batas yang tidak terputus (ecotone
zone). Zona ekoton ini dapat dicirikan yakni keberadaan 11
keanekaragaman hayati yang tinggi karena merupakan
percampuran dari jenis-jenis flora dan fauna di dua ekosistem
yang berbeda tersebut atau memiliki keanekaragaman hayati
yang khas dan berbeda dengan dua ekosistem alami tersebut.
Sebagai contoh zona ekoton adalah adanya ekosistem riparian
diantara ekosistem perairan (sungai, danau) dengan ekosistem
hutan dataran rendah.

3. Terdapat satu kesatuan lansekap dari berbagai ekosistem


degan kondisi yang masih baik pada zona ketinggian yang
berbeda. Sebagai contoh adanya satu kesatuan ekosistem
yang tidak terputus mulai dari ekosistem hutan mangrove,
ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan dataran rendah
hingga ekosistem pegunungan tinggi. Umumnya
pembagian ekosistem ini dicirikan dengan adanya
perbedaan substrat penyusun, vegetasi serta ketinggian
tempatnya.
c. Area yang Berisi Ekosistem Unik, Langka, Rentan atau Terancam

Keunikan, kelangkaan atau keterancaman suatu ekosistem dilihat


dari penilaian pada seluruh unit biofisiografis dengan
membandingkan kondisi dan luasnya pada masa lampau (sejarah),
kondisi sekarang dan prakiraan kondisi pada masa depan
berdasarkan trend sejarah masa lampau. Kategori ekosistem unik
dan langka adalah apabila terdapat ekosistem yang jarang di suatu
unit geografis. Pendekatan yang digunakan dalam menentukan
keunikan dan kelangkaan adalah apabila luas ekosistem tersebut
kurang dari 5% dari luas total unit bio-fisiografis baik akibat faktor
alami atau manusia. Adapun kategori ekosistem rentan dan
terancam adalah apabila ekosistem tersebut berdasarkan
sejarahnya pembentukannya memiliki keunikan proses seperti
jangka waktu pembentukannya yang lama dan tidak mudah kembali
(irreversible) atau memiliki tingkat ekspolitasi yang tinggi akibat
berbagai aktivitas manusia. Pendekatan yang digunakan adalah:

1. apabila dalam suatu unit bio-fisiogeografis suatu ekosistem


sudah mengalami kehilangan 50% atau lebih dari luas
semulanya dan / atau
2. apabila di dalam suatu unit bio-fisiogeografis terdapat ekosistem
yang akan mengalami kehilangan 75% atau lebih dari luas
semulanya berdasarkan asumsi semua kawasan konversi
12 dalam tata ruang yang berlaku dapat dikonversikan.

Dalam konteks penilaian ABKT ini, analisis kajian harus di dalam


suatu unit lansekap (umumnya batas yang digunakan adalah satuan
DAS di area kajian). Selain itu harus dilakukan ground check untuk
memastikan bahwa tegakan yang terdapat di ekosistem tersebut
masih cukup baik.
d. Area yang Dapat Menyediakan Jasa Ekosistem

Terdapat 8 kategori yang digunakan sebagai pendekatan untuk


menentukan suatu kawasan memiliki ABKT yang dapat
menyediakan jasa ekosistem, yaitu:
1. Area yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumber-
sumber air dan atau area mempengaruhi ketersediaan air bagi
kehidupan (a) mahluk hidup di sekitarnya, (b) menjamin
keberlangsungan suatu ekosistem, dan (c) budidaya pertanian
dan perairan. Yang dimaksud dengan ketersediaan air bagi
kehidupan adalah sumber air berupa: mata air, sungai,
danau/waduk, embung, rawa, rawa gambut dan air tanah.
2. Area yang penting sebagai pengatur dan pengendalian limpasan
air permukaan. Area-area yang dapat dinilai sebagai pengatur
dan pengendali limpasan permukaan dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu (a) area yang mempunyai potensi tinggi untuk
peresapan air sehingga dapat menurunkan jumlah limpasan
permukaan dimana fungsinya melekat pada area tersebut dan
(b) area yang berfungsi sebagai drainase alami tempat
mengalirnya air permukaan, yaitu badan sungai di mana pada
konteks ini perlindungannya dilakukan pada area penyangga
yang mampu melindungi keberlanjutan fungsi sungai sebagai
drainase alami.
3. Area yang penting sebagai pengatur dan pengendalian erosi dan
sedimentasi.
4. Area atau tempat penting yang berfungsi sebagai sekat untuk
mencegah meluasnya kebakaran hutan dan lahan. 13
5. Area yang dapat mengendalikan, melokalisir dampak dan
menurunkan resiko bencana alam. Konteks bencana alam yang
dimaksud dalam kategori ini adalah: banjir, kekeringan, angin
kencang (puting beliung, dan lain sebagainya), tanah longsor,
gelombang pasang, abrasi dan akresi pantai.
6. Area yang mampu melindungi dan menyediakan keberlanjutan
fungsi infrastruktur yang penting bagi kehidupan seperti irigasi,
pembangkit listrik dan jalan. Dalam konteks ini, perlindungan
yang dimaksud adalah pada daerah hulu yang berfungsi sebagai
penyedia air bagi irigasi dan pembangkit listrik tenaga air dan
tebing-tebing yang berada di kanan atau kiri jalan.
7. Area yang dapat memberikan pengaruh terhadap proses
penyerbukan (polinasi). Konteks ini mengharuskan perlindungan
terhadap jenis binatang penyerbuk dan habitat utamanya.
8. Area yang dapat memberikan perlindungan pada keseimbangan
iklim mikro yang sesuai untuk mahluk hidup yang tinggal di
dalamnya. Termasuk dalam area ini adalah area dengan
cadangan karbon tinggi yang berkontribusi dalam mitigasi emisi
gas rumah kaca (GHG). Konteks ini mengharuskan bahwa areal
yang memiliki cadangan karbon tinggi harus dilindungi.
e. Area yang Memiliki Sumber Daya Alam yang Menyediakan
Kebutuhan Pokok bagi Masyarakat Lokal yang Terkait dengan
Keanekaragaman Hayati

Kaidah utama yang digunakan dalam penetapan area yang


mengandung ABKT ini adalah jika pemanfaatan sumber daya di
dalamnya dilakukan secara lestari atau berkelanjutan. Prasyarat di
dalam menetapkan keberadaan nilai ini adalah adanya masyarakat
lokal yang memanfaatkan area berhutan atau sumber daya air yang
terkait dengan keanekaragaman hayati, yakni sebagai:

1. Lahan berburu dan penjeratan (untuk daging hewan buruan, kulit


dan bulu)

2. PHBK (produk hutan bukan kayu) seperti kacang-kacangan, beri,


jamur, tanaman obat, rotan

3. Bahan bakar untuk aktivitas rumah tangga seperti memasak,


penerangan, dan pemanasan

4. Ikan (sebagai sumber protein utama) dan spesies air tawar lainnya
yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal

14 5. Bahan bangunan (tiang, jerami, kayu)

6. Pakan ternak dan penggembalaan musiman

7. Sumber air yang penting untuk air minum dan sanitasi; dan

8. Barang-barang yang dipertukarkan dengan barang esensial


lainnya, atau dijual tunai yang kemudian digunakan untuk
membeli barang esensial seperti obat-obatan atau pakaian, atau
untuk membayar uang sekolah.

Adapun syarat area tersebut merupakan areal bernilai konservasi


tinggi jika sumber daya hutan atau ekosistem yang dimaksud (air
dan lain sebagainya) merupakan satu-satunya sumber daya
yang mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal dan
tidak dapat tersubstitusi oleh sumber daya lain baik karena
kemampuan secara finansial maupun karena status budayanya.
Misalnya masyarakat lokal hanya mengandalkan kayu bakar dari
hutan karena tidak memiliki kemampuan/ atau kemauan untuk
membeli kompor karena berbagai alasan kebiasaan
(ketidaksesuaian dengan budayanya)
f. Area yang Penting bagi Identitas Budaya Tradisional dari
Masyarakat Lokal yang Terkait dengan Keanekaragaman Hayati

Faktor terpenting dalam analisis jenis ABKT ini adalah


mengidentifikasi adanya masyarakat lokal di dalam dan sekitar area
kajian yang masih memegang teguh budaya lokal setempat
khususnya apabila identitas budaya tradisional tersebut terkait
dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Pemanfaatan dalam
konteks ini tidak hanya mencakup penggunaan seluruh atau
sebagian sumber daya dalam budaya atau identitas budayanya
(misalnya penggunaan sumber daya tumbuhan/ satwa tertentu
untuk ritual atau budaya lainnya oleh komunitas lokal), namun juga
terkait ide-ide yang bersumber pada keanekaragaman hayati
(misalnya: situs arkeolog di mana bentuknya terpengaruh oleh
bentuk jenis flora atau fauna tertentu). Apabila terdapat masyarakat
lokal yang memiliki budaya yang menunjukkan identitasnya
khususnya yang terkait dengan keanekaragaman hayati, maka area
yang memiliki situs tersebut termasuk dalam kategori ABKT.

15
c. Prinsip Kehati-hatian

Prinsip ini mengharuskan penilai untuk melihat ketersediaan data di


dalam setiap pengambilan keputusan keberadaan ABKT di dalam
area studi. Jika telah dibuktikan kebenaran data dan diperoleh
konklusi yang menunjukkan kehadiran ABKT di suatu tempat, maka
area tersebut harus ditetapkan sebagai ABKT. Namun demikian, jika
hanya sedikit referensi yang tersedia atau terbatasnya informasi
yang dikumpulkan, maka dalam membuat keputusan, maka
diperlukan adanya proses konsultasi dengan pemangku
kepentingan utama seperti para pakar, peneliti atau masyarakat
yang sehari-hari beraktivitas di dalam lokasi tersebut. Prinsip ini juga
mengharuskan bahwa ketika terdapat keraguan dalam penilaian
keberadaan atribut konservasi bernilai tinggi di suatu wilayah, maka
kesimpulan yang harus diambil adalah menganggap bahwa nilai
tersebut ada. Dengan kata lain, apabila yang menjadikan keraguan
tersebut tidak dapat dibuktikan, maka diperbolehkan dilakukan
pembenaran untuk tindakan perlindungan area tersebut sebagai
ABKT.

d. Prinsip Partisipatif dan Terbuka

Prinsip partisipatif dan terbuka yang dimaksud adalah bahwa dalam


setiap identifikasi keberadaan ABKT harus melibatkan berbagai
pemangku kepentingan bahkan sejak dimulai dari proses persiapan
penilaian dan dalam identifikasi ABKT tersebut. Hal tersebut
bertujuan agar terjadi pertukaran pengetahuan / informasi dan 17
pengalaman yang dibawa oleh penilai sehingga dapat membantu
mengembangkan basis pengetahuannya. Para pihak dapat
memberikan maskan dan mengangkat isu-isu terkait ABKT di area
studi. Disisi lain, masing-masing stakeholder dapat memastikan
bahwa kepentingan subyektif telah dipertimbangkan secara obyektif
oleh tim penilai. Dalam konteks ini, maka terdapat pendekatan
holistik di dalam proses identifikasi ABKT-nya. Konteks tersebut
lebih jauh merupakan bagian dari upaya kesepahaman dan
kesepakatan untuk berbagi tanggung jawab di dalam pengelolaan
ABKT tersebut. Adapun para pihak yang dimaksud di dalam proses
identifikasi ABKT disajikan dalam Tabel 1.
e. Prinsip Pendekatan Lansekap

Konteks ini mewajibkan kepada para penilai bahwa ruang lingkup


wilayah kajian di dalam proses analisis identifikasi ABKT harus
pertimbangan lansekap luas di sekitar area studi. Pertimbangan-
pertimbangan tersebut menjadi penting karena keanekaragaman
hayati seperti satwaliar memiliki pergerakan yang luas tidak hanya
terdapat di area studi. Selain itu, seluruh jasa ekosistem yang
berada di area studi tersebut juga berlangsung dalam skala
lansekap. Oleh karena itu, penting bagi penilai untuk
memperhatikan segala interaksi yang terjadi dalam skala lansekap.

18

© Lanskap PT. KAL


19
20
B. Metode Identifikasi ABKT
Proses penilaian ABKT suatu kawasan terdiri dari serangkaian tahapan yang
dapat dikelompokkan kedalam lima tahapan, yaitu: (1) persiapan studi
(penilaian awal), (2) pengumpulan data primer, (3) analisis dan pemetaan, (4)
konsultasi hasil penilaian dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan (5)
penyusunan laporan.

a. Persiapan Studi
Persiapan studi merupakan kegiatan awal yang terdiri atas pengumpulan
data dan informasi sekunder, analisis terhadap data dan informasi tersebut,
penentuan pendekatan serta metoda yang dipakai dalam melakukan
penilaian terhadap suatu kawasan. Data dan informasi ini meliputi aspek-
aspek fisik kawasan, keanekaragaman hayati, nilai jasa lingkungan, sosial
ekonomi dan budaya masyarakat. Data dan informasi tersebut dapat
diperoleh dari berbagai dokumen, baik dokumen dari pihak perusahaan,
instansi pemerintah, lembaga penelitian, universitas atau lembaga
swadaya masyarakat maupun literatur lainnya yang terkait hasil analisis
peta. Jenis data dan informasi penting yang harus diperoleh adalah sebagai
berikut:
i. Pengumpulan informasi fisik kawasan; Data dan informasi yang
berhubungan dengan fisik kawasan dapat diperoleh dari berbagai
sumber, diantaranya peta-peta, laporan hasil penelitian, dokumen
tentang profil perusahaan, serta laporan lain yang mendukung seperti 21
laporan AMDAL. Adapun peta yang diperlukan antara lain peta biofisik,
peta penyebaran ekosistem dan flora dan fauna, peta administrasi, peta
sosial ekonomi, peta budaya dan bahasa, peta desa/demografi
penduduk, peta administrasi (desa, kecamatan, kabupaten), peta
jaringan jalan, peta daerah aliran sungai (DAS), peta rencana tata
ruang wilayah (RTRWK/P), peta topografi, tutupan lahan serta peta
RePPProT dan tanah (Tabel 2). Data lain yang dibutuhkan adalah data
kampung, iklim dan tanah.

ii. Pengumpulan informasi keanekaragaman spesies; Data dan informasi


yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati dapat
dikumpulkan dari berbagai sumber seperti dari Redlist Data Book
IUCN, CITES dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, serta
berbagai peraturan serta undang-undang lain yang relavan.
Pengumpulan data juga termasuk peta-peta indikatif sebaran
tumbuhan dan satwaliar seperti sebaran harimau sumatera, gajah,
badak dan habitat utama satwa (IBA, EBA) Selain itu, diperlukan juga
pencarian dan mengkoleksi berbagai data dari berbagai penelitian
tentang keanekaragaman hayati setempat yang telah dilakukan oleh
pihak lain sebelum penilaian ABKT dilaksanakan.
iii. Pengumpulan informasi jasa ekosistem dan sosial budaya;
Data dan informasi yang berhubungan dengan jasa ekosistem
dan sosial budaya juga dapat dikumpulkan dari berbagai
sumber seperti hasil kajian ilmiah dan penelitian maupun dari
peta-peta dasar yang digunakan untuk membangun peta
indikasi keberadaan jasa ekosistem tersebut. Adapun data
dan informasi dasar yang dimaksud disajikan dalam Tabel 3.

iv. Pengumpulan informasi sosial dan budaya. Data dan informasi


yang terkait dengan sosial dan budaya dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti kajian ilmiah dan berbagai peta.
Kajian yang dimaksud terkait dengan pola hidup oleh
masyarakat lokal yang berada di lokasi kajian, etnobiologi
(jenis tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan oleh
masyarakat lokal), adat dan budaya dan lain sebagainya.
Adapun peta yang dimaksud antara lain: peta sebaran situs
arkelogi, peta sebaran pemukiman adat, dan lain sebagainya.

22

© Mongabay Indonesia
23
Tabel 3. Data dan sumber data yang diperlukan untuk mendukung penilaian jasa ekosistem

No Jenis Data *) Sumber1


1 Topografi/ Rupa-bumi Bakosurtanal Badan Informasi Geospasial
2 Tanah Kementerian Pertanian RI
3 Kawasan hutan dan Perairan Badan Planologi, Kementerian Kehutanan
4 Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Bappenas dan Bapeda provinsi dan kabupaten setempat
5 DEM Aster DEM 30m atau SRTM90 neter
6 Citra Satelit Landat/Alos/Ikonos/Quickbird/Google Eye/ Digital Globe
/Spot etc.
7 RePPProt Bakosurtanal
8 Peta Sebaran Gambut dan/ atau Kesatuan Kementerian Pertanian RI, Kementerian Kehutanan dan
Hidrologi Gambut Lingkungan Hidup RI
9 Data Iklim Setempat (Isohyet) Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
10 Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/ atau Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan atau
Peta Satuan Wilayah Sungai Kementerian PU dan Perumahan Rakyat
11 Peta Sistem Lahan Badan Informasi Geospasial
12 Data Demografi dan Peta Sebaran Penduduk BPS Setempat
13 Data dan Peta Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Daerah Penanggulangan Bencana (BDPB)
14 Peta Geohidrologi dan Geologi Kementerian ESDM
15 Data dan Peta Kebakaran Lahan, Termasuk BNPB, BMKG, LAPAN, NASA
Data Hotspot
16 Undang-undang dan Peraturan yang terkait, seperti UU tentang Tata Ruang, Kehutanan, Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan-peraturan Sungai, Rawa, Gambut, Pantai, Konservasi dll.
17 Refrensi-Refrensi yang
Berkaitan **)

24
Dari data di atas kemudian dilakukan verifikasi dan analisis data. Verifikasi
dilakukan untuk menguji kebenaran dan keabsahan data dan informasi yang
diperoleh, sedangkan analisis data dilakukan untuk mendapatkan gambaran
umum mengenai area studi dan potensi kawasan bernilai konservasi tinggi
secara tentatif yang kemudian digunakan sebagai dasar dalam penentuan
metoda pengambilan data di lapangan. Tahapan terakhir dari persiapan studi
adalah pemetaan potensi BKT sementara dan peta lokasi pengambilan data
dengan bantuan SIG (Sistem Informasi Geografi) serta metoda pengambilan
data lapangan seperti pengambilan data untuk flora dan fauna, jasa
lingkungan dan sosial budaya masyarakat.

a. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dengan penilaian langsung di lapangan bertujuan


untuk memverifikasi kebenaran dan kedalaman data hasil analisis data
sekunder. Kegiatan verifikasi dan pengambilan data lapangan terdiri dari
kegiatan verifikasi atau pengambilan data keanekaragaman hayati; jasa
lingkungan dan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Adapun kegiatan
pengumpulan data lapangan selanjutnya digunakan untuk menentukan
lokasi-lokasi indikatif yang merupakan areal bernilai konservasi tinggi. Proses
pengumpulan data lapangan berupa: (1) pengumpulan data (termasuk
review dokumen), (2) wawancara (terstruktur dan / atau informal dengan
masyarakat lokal), (3) pengamatan lapangan. dan (4) diskusi dengan para
pakar.
Kegiatan pengumpulan data lapangan adalah sebagai berikut:
a. Verifikasi batas lokasi kajian; dilaksanakan dengan cara wawancara
dengan pihak yang berkompeten dalam menjelaskan batas pengelolaan
yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengecekan batas area kajian.
b. Verifikasi bentang lanskap; dilaksanakan dengan pemataan untuk
mengetahui batas lanskap area studi (dapat menggunakan batas DAS
maupun batas lain yang dapat diterima secara ilmiah).
c. Verifikasi lapang tutupan lahan (land cover); yang dilaksanakan di dalam
area studi. Aspek yang diverifikasi adalah tipe tutupan lahan.
d. Verifikasi kondisi keanekaragaman hayati; yang dilaksanakan di dalam
area kajian. Aspek yang diverifikasi adalah keberadaan jenis baik flora
maupun fauna di dalam area kajian.
e. Verifikasi fisik lapangan; dilaksanakan di dalam area studi. Parameter
yang diamati adalah kemiringan lereng, jenis tanah, kedalaman solum,
kondisi badan dan/ atau sumber air serta sempadanya, potensi bencana
dan potensi simpanan karbon.

Secara detail penjabaran masing-masing kegiatan pengumpulan lapangan


adalah sebagai berikut:

(a) Survey Flora dan Pengelompokan Ekosistem


Survei flora dititikberatkan di area yang masih memiliki tutupan lahan
yang relatif masih baik dan/atau yang diduga memiliki tingkat
konsentrasi keanekaragaman hayati dan/atau di area dengan tingkat
aktivitas operasionalnya masih rendah. Pengumpulan data flora dapat
dilakukan dengan berbagai metode ilmiah (dapat diverifikasi ulang
kebenarannya). Adapun data flora yang dikumpulkan adalah hingga
pada tingkat jenis untuk diketahui status perlindungan dan sebaran
geografisnya. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan secara langsung.
Selain itu dikumpulkan pula data ancaman baik ancaman potensial 25
maupun ancaman faktual. Adapun pengelompokan ekosistem
didasarkan pada data vegetasi yang telah dikumpulkan. Ekosistem
yang perlu diidentifikasi adalah ekosistem-ekosistem yang khas atau
rentan seperti: rawa/gambut, karst, kerangas, dan mangrove.

(b) Survey Fauna


Fauna yang diinventarisasi adalah fauna vertebrata (kelas mamalia,
aves, reptilia, amfibi, dan pisces) atau jika memungkinkan dapat
dilakukan juga untuk spesies insekta dan spesies perairan tawar
lainnya. Pengumpulan data satwaliar tersebut dilakukan dengan
metode : (1) wawancara dengan masyarakat lokal serta (2)
pengamatan lapangan dengan metode ilmiah (dapat diverifikasi) di
daerah konsentrasi satwaliar yang diketahui berdasarkan informasi dari
masyarakat lokal serta pengamatan lapang di area yang masih memiliki
tutupan lahan yang relatif masih baik dan/atau yang diduga memiliki
tingkat konsentrasi keanekaragaman hayati dan/atau di area dengan
tingkat aktivitas operasionalnya masih rendah. Data satwaliar yang
diambil adalah: (1) data kehadiran jenis baik di area kajian maupun area
di sekitar kajian dimana satwa dapat dipastikan menggunakan area
kajian sebagai bagian dari habitatnya, (2) data perilaku satwa, dan (3)
fungsi spesifik habitat. Selain itu dikumpulkan pula data ancaman baik
ancaman potensial maupun ancaman faktual.
(c) Survey Jasa Ekosistem
Pelaksanaan survey dilaksanakan dengan beberapa kategori
yaitu:

(1) Verifikasi data di area-area yang diduga mempunyai


fungsi sebagai penyedia jasa ekosistem.

(2) Penggalian data dan informasi baru untuk menentukan


area-area yang berpotensi sebagai pengatur jasa
ekosistem yang belum teridentifikasi pada saat desktop
study.

(3) Penggalian data dan informasi lebih detail kondisi area-


area yang teridentifikasi sebagai pengatur jasa
ekosistem.

Data yang diverifikasi:

(1) Keberadaan dan kondisi sungai (kualitas dan


kuantitasnya).

(2) Gambut: kedalaman dan tingkat kematangan.

(3) Keberadaan dan kondisi rawa/danau (kualitas).


26
(4) Keberadaan mata air.

(5) Kondisi tutupan lahan.

(6) Keberadaan area berhutan / ekosistem alami di dekat


area rawan kebakaran (disesuaikan dengan kondisi
lapangan).

(7) Potensi bencana

(8) Keberadaan area dengan kelerengan ≥ 40% /area yang


mempunyai Tingkat Bahaya Erosi (TBE) potensial berat
sampai sangat berat melalui analisis kelerengan faktual,
solum tanah dan pengelolaan yang sudah dilakukan.

(9) Keberadaan binatang penyerbuk dan kondisi habitatnya.

(10) Potensi simpanan karbon tinggi.


(d) Survey Sosial dan Budaya
Data sosial, ekonomi dan budaya yang dikumpulkan bersifat
kualitatif. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dan
k u n j u n g a n l a p a n g . Wa w a n c a r a d i l a k u k a n d e n g a n
menggunakan pedoman wawancara terstruktur dan terfokus
pada informasi yang ingin diperoleh. Informasi yang
dikumpulkan dari proses wawancara berupa data sosial,
ekonomi, identitas budaya tradisional komunitas lokal, aktivitas
warga terkait ketergantungan masyarakat pada sumberdaya di
dalam area studi. Desa yang dijadikan sebagai lokasi
pengambilan data adalah desa pada kecamatan yang memiliki
hubungan dan kedekatan dengan masing-masing lokasi kajian.
Hubungan dan kedekatan tersebut meliputi desa yang memiliki
sejarah kepemilikan lahan, desa yang masyarakatnya
melakukan interaksi secara langsung berupa pemanfaatan
sumberdaya yang berada di dalam UM dan desa yang terkena
dampak dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan.

c. Analisis Data

Pada tahap analisis dilakukan kajian dan telaah secara komprehensif


dan mendalam terhadap data dan informasi primer yang diperoleh
dari lapangan, yang meliputi aspek fisik, flora, fauna, sosial dan
budaya. Dalam proses analisis data diharuskan penilai mampu
membuat konklusi terhadap keberadaan ABKT di suatu wilayah
berdasarkan kategori masing-masing ABKT dan prinsip ABKT.
Secara rinci tahapan analisis untuk identifikasi masing-masing ABKT 27
dijelaskan sebagai berikut:

(a) Area yang Secara Signifikan Mengandung Keanekaragaman


Spesies yang Penting untuk Dilestarikan
1. Petakanlah daerah tutupan hutan dan ekosistem di bentang
alam yang mencakupi area studi.
2. Nilailah cakupan dan keanekaragaman ekosistem di bentang
alam tersebut dalam artian potensinya untuk mendukung
populasi spesies berdasarkan ukuran dan kondisi hutan atau
ekosistem lain, tipe ekosistem yang ada dan kesinambungan
diantaranya, serta tingkat perburuan atau ancaman lain di
wilayah tersebut.
3. Lengkapi daftar spesies-spesies yang diketahui berada atau
sangat mungkin berada di dalam bentang alam dengan
memberi catatan khusus untuk predator utama atau spesies
kunci ataupun spesies indikator lainnya, yang mensyaratkan
bahwa elemen-elemen kunci dari kehati spesies yang hampir
punah, terancam, penyebaran terbatas (endemik), dan /
atau dilindungi dengan baik.
1. Pertimbangkanlah nilai pelestarian elemen-elemen
bentang alam yang bukan alami, seperti lahan pertanian,
perkebunan, serta hutan yang terdegradasi berat terkait
dengan kontribusi positifnya pada jumlah populasi kehati
pada tingkat bentang alam yang memungkinkan satwa
bergerak diantara sisa ekosistem alami (habitat
connectivity) dan menjadikannya sebagai sumber makanan
atau tempat berlindung bagi satwa tertentu dan lain-lain.

2. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT


tersebut.

(b) Elemen Bentang Alam (Patch, Matriks, Koridor) yang


Penting bagi Terselenggaranya Dinamika Proses Ekologi
Alami untuk Mendukung Populasi Spesies yang Penting
untuk Dilestarikan

1. Petakanlah cakupan vegetasi penutup pada bentang alam


yang mencakupi area studi.

2. Petakanlah cakupan vegetasi penutup dewasa (mature


forest cover) dalam area studi serta di seluruh bentang alam
dimana area studi tersebut menjadi bagain darinya, dengan
memberi perhatian khusus pada penetapan tepi-tepinya,
28 sebagai contoh pemastian batas-batas antara hutan (atau
vegetasi alami lainnya) dengan area-area yang
terdegradasi akibat ulah manusia.

3. Tentukan potensi keberadaan zona inti dan zona


penyangga yang ada pada bentang alam di dalam area studi
atau di luar area tersebut yang berpotensi terpengaruh
kegiatan pemanfaatan di dalam area studi.

4. Pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan skenario-


skenario perubahan yang terjadi pada zona inti dan zona-
zona pembatasnya berdasarkan rencana tata guna lahan
yang sah.

5. Lakukan revisi terhadap peta ekosistem alami (jika terdapat


perubahan kondisi berdasarkan cek lapangan) di seluruh
bentang alam yang mencakupi area studi.
1. Tentukan zona ekoton (zona transisi) diantara ekosistem yang
berbeda dan menilai kondisi alaminya, terutama antara
ekosistem perairan dan darat di bagian rendah dan beraneka
tipe hutan yang menyusun sepanjang lereng gunung jika ada.

2. Pastikan ekosistem tersebut memiliki kemungkinan untuk


mengalami dampak dari kegiatan pemanfaatan di dalam area
studi, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, terutama
pada bagian transisi diantara ekosistem tersebut.

3. Lakukan evaluasi terhadap ancaman kepada berbagai


ekosistem alami yang ada dan mengidentifikasi dimana
deforestasi berlanjut, dilihat pada sejarah perubahan tutupan
lahan di seluruh wilayah tersebut.

4. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT


tersebut.

(c) Area yang Berisi Ekosistem Unik, Langka, Rentan atau Terancam
Terdapat 2 prinsip yang dilakukan dalam analisis ABKT ini, yakni
analisis proxies (penilaian didasarkan atas berbagai ukuran
pendekatan) dan precautionary caution (prinsip pencegahan).
Terdapat beberapa tahapan di dalam analisis ABKT ini, yakni:
29
1. Tentukan tipe ekosistem di dalam wilayah studi.

2. Nilai apakah ekosistem tersebut dikategorikan sebagai


ekosistem langka, terancam, atau langka? Penilaian ini selain
dilakukan di dalam area studi juga dilakukan di luar area studi
yang terpengaruh oleh pemanfaatan yang direncanakan di
dalam area studi (lihat Tabel 4 dan Tabel 5).

3. Nilai apakah tutupan lahan dan kondisi vegetasi di dalam area


studi masih termasuk dalam kategori baik atau tidak.

4. Jika vegetasi tidak cukup baik, maka nilai apakah ekosistem


tersebut dapat direstorasi dengan mempertimbangkan: (i) atribut
atau ciri khas ekologi ekosistem terkait, (ii) kondisi dan status
lahan di sekitarnya, (iii) tataruang yang berlaku, dan (iv)
perencanaan pembangunan daerah?
1. Nilai apakah ekosistem tersebut sudah mengalami
perubahan tutupan lahan drastis sehingga secara fisik
bukan lagi sebagai hutan alam atau areal bekas tebangan
sehingga memenuhi kriteria “lahan tidak produktif”
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 21/Kpts-
II/2001.

2. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT


tersebut.

(d) Area yang Dapat Menyediakan Jasa Ekosistem

1. Delineasi kawasan lindung berdasarkan pada peta tata


ruang dan peta kawasan hutan dan perairan.

2. Analisis sifat hidrologi permukaan.

3. Interpretasi daerah tangkapan air, sumber air, jaringan


sungai dan cekungan air tanah.

4. Interpretasi citra satelit untuk penutupan lahan.

5. Interpretasi sistem lahan, fisiografis dan ekosistem


30 berdasarkan peta sistem lahan.

6. Interpretasi area gambut berdasarkan peta Land


System, Citra Satelit dan Peta Gambut.

7. Interpretasi daerah rawan erosi.

8. Analisis dan pemetaan kebakaran lahan.

9. Analisis dan pemetaan daerah rawan bencana.

10. Analisis dan pemetaan infrastruktur penting.

11. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori


ABKT tersebut.
(e) Area yang Memiliki Sumber Daya Alam yang Menyediakan
Kebutuhan Pokok bagi Masyarakat Lokal yang Terkait dengan
Keanekaragaman Hayati

1. Identifikasi keberadaan masyarakat lokal di dalam dan sekitar


area studi.

2. Nilai apakah masyarakat lokal tersebut memanfaatkan sumber


daya (air termasuk sungai dan hutan) untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan / atau keluarganya.

3. Identifikasi jenis-jenis sumber daya yang dimanfaatkan oleh


masyarakat lokal dan tingkat ketergantungannya.

4. Tentukan lokasi sumberdaya yang dimaksud oleh masyarakat


lokal tersebut.

5. Nilai apakah yang terjadi apabila sebagian atau seluruh area


dalam lansekap tersebut dikonversi dalam konteks
ketersediaan sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat
lokal tersebut.

6. Nilai apakah pemanfaatan dilakukan secara lestari dan tidak


bertentangan dengan ABKT lainnya. 31

7. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT


tersebut.

(f) Area yang Penting bagi Identitas Budaya Tradisional dari


Masyarakat Lokal yang Terkait dengan Keanekaragaman Hayati

1. Identifikasi keberadaan masyarakat lokal di dalam dan sekitar


area studi.

2. Identifikasi apakah terdapat area berhutan di dalam area studi


yang dianggap oleh masyarakat sebagai kawasan adat
mereka.

3. Identifikasi lokasi (daerah) hutan yang dimaksud oleh


masyarakat lokal tersebut.

4. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT


tersebut.
32
33
34
35
d. Pemetaan

Tahapan ini merupakan tahapan paling krusial dalam identifikasi


areal bernilai konservasi tinggi. Area-area yang telah diidentifikasi
berpotensi memiliki nilai konservasi tinggi hasil analisis desktop,
pengamatan lapangan dan analisis data kemudian dipetakan
dalam suatu peta kajian dengan skala proporsional yang
disesuaikan dengan luas area kajian. Adapun hasil pemetaan
harus dapat menjelaskan lokasi spesifik, batas dan atribut dari
masing-masing areal yang bernilai konservasi tinggi.

e. Konsultasi Publik

Tujuan dari kegiatan konsultasi publik adalah untuk koreksi silang


hasil kajian yang telah dilakukan oleh tim penilai. Proses ini
dianggap selesai apabila telah disepakati secara bersama tentang
area-area yang diyakini memiliki nilai konservasi tinggi.

Inisiasi dari konsultasi publik dalam kerangka identifikasi nilai


konservasi tinggi di luar area yang dibebankan hak atas tanah
adalah pemerintah daerah (Provinsi dan / atau Kabupaten) sesuai
dengan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 atau pihak lain yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundangan. Berbeda
dengan proses identifikasi nilai konservasi tinggi yang berada di
dalam area yang dibebankan hak atas tanah yang merupakan
inisiasi dari pengelola setempat. Para pihak yang diundang adalah
36 lembaga dan tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari unsur: (1)
Perguruan Tinggi; (2) Instansi/Dinas terkait, baik ditingkat
Kabupaten maupun Provinsi; (3) Lembaga Swadaya Masyarakat
serta (4) Tokoh dan/atau perwakilan masyarakat yang tinggal di
sekitar lokasi masing-masing area kajian.

© Konsultasi Publik
38

C. Format Ringkasan Kajian Publik Laporan

Anda mungkin juga menyukai