Anda di halaman 1dari 24

BIOLOGI KONSERVASI

FLORA DAN FAUNA ENDEMIK SULAWESI


BERDASARKAN IUCN REDLIST

Kelompok IX
BALQIS DINARTY (1414142005)
NUR ISTIQAMAH (1414142011)

BIOLOGI SAINS
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2016

FLORA DAN FAUNAENDEMIK SULAWESI BERDASARKAN IUCN


REDLIST
Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang
digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature and
Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies
berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Dari status konservasi ini
kemudian IUCN mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species atau
disingkat IUCN Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu spesies.
Kategori status konservasi dalam IUCN Red List pertama kali dikeluarkan
pada tahun 1984.Sampai kini daftar ini merupakan panduan paling berpengaruh
mengenai status konservasi keanekaragaman hayati.
IUCN Red List menetapkan kriteria untuk mengevaluasi status kelangkaan suatu
spesies.Kriteria ini relevan untuk semua spesies di seluruh dunia.Tujuannya
adalah untuk memperingatkan betapa pentingnya masalah konservasi kepada
publik dan pembuat kebijakan untuk menolong komunitas internasional dalam
memperbaiki status kelangkaan spesies.
IUCN akan memperbaiki dan mengevaluasi status setiap spesies lima tahun sekali
jika memungkinkan, atau setidaknya sepuluh tahun sekali. Dan sejak pertama kali
dikeluarkan status konservasi IUCN telah mengalami beberapa kali revisi, yaitu:

Versi 1.0: Mace and Lande (1991). Dokumen pertama yang mendiskusikan
aturan baru untuk klasifikasi.

Versi 2.0: Mace et al. (1992). Revisi besar terhadap versi 1.0.

Versi 2.1: IUCN (1993).

Versi 2.2: Mace and Stuart (1994)

Versi 2.3: IUCN (1994).

Versi 3.0: IUCN/SSC Criteria Review Working Group (1999)

Versi 3.1: IUCN (2001).


Kategori Status Konservasi dalam IUCN Redlist. Kategori konservasi

berdasarkan IUCN Redlist versi 3.1 meliputi Extinct (EX; Punah); Extinct in the
Wild (EW; Punah Di Alam Liar); Critically Endangered (CR; Kritis), Endangered

(EN; Genting atau Terancam), Vulnerable (VU; Rentan), Near Threatened (NT;
Hampir Terancam), Least Concern (LC; Berisiko Rendah), Data Deficient (DD;
Informasi Kurang), dan Not Evaluated (NE; Belum dievaluasi).
A. FLORA
Critically Endangered (CR; Kritis) adalah status konservasi yang
diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko kepunahan di waktu dekat.
Dalam IUCN Redlist tercatat 1.742 hewan dan 1.577 tumbuhan yang
berstatus Kritis.
1. Anggrek Bulan sulawesi ( Phalaenopsis Celebensis )

Di Sulawesi Selatan (Sulsel) spesies anggrek yang pernah


ditemukan kurang lebih 253 jenis, makin berkurang akibat perburuan
ataupun

penebangan

hutan

untuk

pembukaan

lahan

ataupun

pertambangan.
Rinaldi Sjahrir, peneliti anggrek dari Universitas Hasanuddin,
ditemui di kantor sekaligus laboratorium di Jurusan Agronomi Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin, 16 Juli 2013 memperkirakan, populasi

anggrek alam Sulawesi, khusus Sulsel terus menurun. Bahkan mungkin


suatu saat punah jika tidak ada upaya penyelamatan.
Apalagi, minat pecinta anggrek terhadap anggrek alam makin
besar.Mereka agresif merambah hutan untuk mendapatkan anggrekanggrek langka. Anggrek alam atau kerap disebut sebagai anggrek
spesies ini makin banyak diburu kolektor anggrek.Untuk mendapatkan
sebagian besar orang mengambil langsung di habitat, di hutan-hutan.
Dampaknya, bukan hanya makin populasi anggrek di hutan
berkurang juga kelestarian hutan itu sendiri. Perburuan anggrek alam
makin gencar beberapa tahun terakhir ini.Transaksi jual beli anggrek
alam Sulawesi bebas dilakukan antara lain di Pasar Malino, Kabupaten
Gowa, Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Rappang, Sidrap dan di
Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Menurut Rinaldi, anggrek tanaman unik. Tidak bisa langsung
dipindahkan ke tempat lain seperti tanaman lain, karena hidup sangat
tergantung pada keberadaan mikoriza.
Mikoriza adalah kelompok fungi (jamur) yang bersimbiosis dengan
tumbuhan tingkat tinggi (tumbuhan berpembuluh, tracheophyta), khusus
pada sistem perakaran. Terdapat juga fungi bersimbiosis dengan fungi
lain. Namun sebutan mikoriza biasa untuk mereka yang menginfeksi
akar. Mikoriza memerlukan akar tumbuhan untuk melengkapi daur
hidup.Sebaliknya, beberapa tumbuhan bahkan ada yang tergantung
pertumbuhan dengan mikoriza, termasuk anggrek.
Anggrek agar bisa tumbuh baik di tempat lain harus berada di
lingkungan dengan iklim dan kelembaban sama dengan habitat asli. Ia
juga membutuhkan mikoriza ini. Berarti pengambilan anggrek harus
disertai membawa serta sebagian pohon yang menjadi inang.Maka
penebangan pohon pun menjadi tak terhindarkan.
Konservasi anggrek
Dengan makin berkurang anggrek ini di alam, kata Rinaldi, upaya
konservasi menjadi tak terelakkan. Salah satu melalui pembiakan
anggrek alam di laboratorium dengan teknologi tissue culture atau kultur
jaringan.

Sebenarnya, ada cara pembiakan anggrek lain, lebih konvensional,


memperbanyak dengan stek atau pemisahan anakan. Hanya, cara ini
dianggap memerlukan waktu dan biaya besar guna memperoleh bibit
dalam jumlah banyak.
Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman melalui
perbanyakan jaringan mikro tanaman.Ia ditumbuhkan secara invitro
menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah tidak terbatas.
Endangered (EN; Genting atau Terancam) adalah status
konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko
kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Dalam
IUCN Redlist tercatat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang berstatus
Terancam.
1. Enau atau Aren

Enau atau aren (Arenga pinnata, suku Arecaceae) adalah palma yang
terpenting setelah kelapa (nyiur) karena merupakan tanaman serba guna.
Palma yang besar dan tinggi, dapat mencapai 25 m. Berdiameter hingga 65
cm, batang pokoknya kukuh dan pada bagian atas diselimuti oleh serabut
berwarna hitam yang dikenal sebagai ijuk, injuk, juk atau duk. Ijuk
sebenarnya

adalah

bagian

dari

pelepah

daun

yang

menyelubungi

batang.Pohon enau menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer


sebagai tanaman yang serbaguna, terutama sebagai penghasil gula.
Penyebab kelangkaan Enau (aren) adalah karena enau mempunyai banyak
kegunaan, sehingga banyak diambil manusia untuk berbagai kebutuhan.
2. Ebony Makassar (Diospyros celebica),

Ebony Makassar adalah spesies pohon berbunga dalam keluarga


Ebenaceae yang endemik di pulau Sulawesi di Indonesia. Diospyros
Celebica adalah nama kayu hitam yang berasal dari sulawesi selatan dari
spesies eboni (Ebenaceae). Anggotanya di seluruh dunia mencapai sekitar
450-500 spesies pohon dan perdu yang selalu hijau atau sebagian ada pula
yang menggugurkan daun. Kebanyakan tumbuhan ini berasal dari daerah
tropis, dan hanya beberapa spesies yang tumbuh di daerah beriklim
sedang.Tetapi jenis kayu hitam ini berbeda dengan spesies kayu hitam
yang ada di seluruh dunia. Diospyros Celebica memiliki ciri khas yaitu
Pohon yang lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter
batang bagian bawah dapat mencapai 1 m. Kulit batangnya beralur,
mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam. Pepagannya berwarna
coklat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan.

Daun tunggal terletak berseling, berbentuk jorong memanjang,


dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan
berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abuabu.enis ini hanya terdapat di Sulawesi di hutan primer pada tanah liat,
pasir atau tanah berbatu-batu yang mempunyai drainase baik, dengan
ketinggian mencapai 600 m dpl. Secara alami, kayu hitam Sulawesi
ditemukan baik di hutan hujan tropika maupun di hutan musim.
Vulnerable (VU; Rentan) adalah status konservasi yang diberikan
kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada
waktu yang akan datang. Dalam IUCN Redlist tercatat 4.467 hewan dan 4.607
tumbuhan yang berstatus Rentan.
1. Kalapia (Kalapia celebica)

Kalapia celebica (kalapi)Pohon mencapai tinggi 40 meter,


mempunyai banir. Kulit batang beralur agak kasar dan berwarnakecoklatcoklatan. Daun majemuk menyirip, jumlah anak daum 2-5 dan saling
bersilang. Anak daunberbentuk lanset sampai lonjong, perbunggan
berbentuk malai di ketiak atau didekat ujung ranting.Mahkot bunga
berwarna kuning.
Buah berbentuk polong, pipih berwarna cokelat kemerahan
danapabila masak pecah. Berbiji 1-3 dan berbentuk menyerupai cakram.

Kayunya untuk bahan kontruksiringan dan bahan pembuatan perahu.


Tumbuh di hutan hujan tropika dekat pantai sampai denganketinggian 500
mdpl, tetapi pada umumnya tumbuh pada ketinggian 100 mdpl. Daerah
penyebarannya sangat terbatas dan merupakan tumbuhan endemik
sulawesi selatan.
2. Kantong Semar

Nephentes hamata merupakan tanaman tropis endemic dari


Sulawesi. Dimana dapat tumbuh pada daerah ketinggian anatar 1400m
2500m di atas perukaan laut. Kata hamat merupakan bahas latin dari
hamtus yang berarti kait. ni menggambarkan penampilan gigi peristom
sangat berkembang dari spesies ini
Nepenthes hamata adalah pendaki yang kuat.Batang, yang dapat
bercabang, mencapai panjang maksimum sekitar 7 m. Hal ini silinder
untuk obtusely bersegi tiga dan bervariasi dengan diameter dari hingga 3
mm di mawar dan batang pendek, 4-5 mm memanjat batang. Di bekas,
panjang ruas biasanya hingga 6 mm dan di kedua 3,5-6 cm
Status konservasi N. hamata terdaftar sebagai Rentan pada IUCN
Red List, berdasarkan penilaian yang dilakukan pada tahun 2000.Pada

tahun 2009, Stewart McPherson menulis bahwa spesies adalah "luas" di


seluruh jangkauan dan bahwa sebagian besar populasi yang "terpencil dan
umumnya tidak mengancam saat ini".Nepenthes hamata diketahui dari
setidaknya dua daerah yang dilindungi (Lore Lindu Taman Nasional dan
Cagar Alam Morowali), meskipun tingkat penuh jangkauan tidak diketahui
dan

kemungkinan

terjadi

tereksplorasi.McPherson
populasi

varian

pada

sejumlah

menekankan

tertentu,

terutama

puncak

kebutuhan
bentuk

yang

untuk
berbulu

belum

memantau
merah,

karena.keanekaragaman mungkin menjadi perhatian yang sah di masa


depan

Least Concern (LC; Berisiko Rendah) adalah kategori IUCN yang


diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam
kategori manapun.Dalam IUCN Redlist tercatat 17.535 hewan dan 1.488
tumbuhan.
1. Bitti/pohon gufasa (Vitex cofassus)

Pohon gufasa atau bitti berukuran sedang hingga besar dan dapat
mencapai tinggi hingga 40 meter.Batangnya biasanya tanpa banir dan
diameternya dapat mencapai 130 cm, beralur dalam dan jelas, kayunya
padat dan berwarna kepucatan.Kayunya tergolong sedang hingga berat,
kuat, tahan lama dan tidak mengandung silika.Kayu basah beraroma
seperti kulit.

Daun bersilangan dengan atau tanpa bulu halus pada sisi


bawahnya.Susunan bunga terminal, merupakan bunga berkelamin ganda,
dimana helai kelopaknya bersatu pada bagian dasar membentuk mangkuk
kecil, sedang helai mahkotanya bersatu pada bagian dasar yang bercuping
5 tidak teratur.Mahkota putih keunguan, terdapat tangkai dan kepala sari di
dalam rongga mahkota, bakal buah di atas dasar bunga (superior).Buah
berdaging, bulat hingga lonjong, dengan diameter 5-12 mm yang saat
masak berwarna ungu tua.Terdapat 1 4 biji dalam setiap buahnya.
Habitat pohon gupasa ini adalah hutan di dataran rendah sampai
ketinggian 2000 m dpl.Bitti (Vitex cofassus) tumbuh baik pada tanah
berkapur dengan tekstur mulai lempung hingga pasir.Dijumpai di daerah
dengan musim basah dan kering yang nyata.Pada musim kemarau, pohon
gufasa menggugurkan daunnya.
Pemanfaatan
Kayu gufasa biasa dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi rumah,
kapal dan perkakas rumah tangga seperti mangkok dan piring.Ekspor kayu
dalam jumlah cukup besar berasal dari Sulawesi, Papua Nugini dan Pulau
Solomon, terutama ke Jepang.
Di beberapa tempat sepeerti di Bulukumba, Sulawesi Selatan,
pohon gupasa ditanam dalam hutan rakyat.
B. FAUNA
1. Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi)
Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Artiodactyla

Famili

: Bovidae

Genus

: Bubalus

Spesies

: Bubalus quarlesi

(Ouwens, 1910).

Anoa pegunungan merupakan satu dari dua jenis Anoa. Jenis lainnya
adalah Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis). Anoa Pegunungan
dan kerabat dekatnya, Anoa Dataran Rendah, merupakan hewan khas yang
endemik Pulau Sulawesi. Hewan endemik ini pun termasuk salah satu hewan
langka di Indonesia dan hewan yang dilindungi di Indonesia.
Nama latin hewan dari famili bovidae ini adalah Bubalus
quarlesi (Ouwens, 1910). Sedangkan dalam bahasa Inggris binatang langka
asal pulau Sulawesi ini biasa disebut sebagai Mountain Anoa. Penambahan
kata pegunungan pada nama anoa ini didasarkan pada habitatnya yang
terletak di dataran tinggi.
Ciri dan Karakteristik Anoa Pegunungan
Sesuai dengan namanya, Anoa Pegunungan hidup di dataran tinggi.
Ukuran tubuhnya lebih ramping dibanding dengan kerabatnya, Anoa Dataran
Rendah. Panjang tubuh Anoa Pegunungan berkisar antara 122-153 cm,
dengan tinggi tubuh sekitar 75 cm, berat tubuh sekitar 150 kg. Dibanding
dengan kerabatnya, jenis ini memiliki bulu yang lebih lebat, ekor relatif lebih
pendek (27 cm), dan tanduk yang lebih pendek (15-20 cm). Bulu
tubuh Anoa Pegunungan berwarna cokelat gelap hingga hitam. Umumnya,
bulu pada pejantan lebih gelap dibanding betina. Baik pada Anoa jantan
maupun betina memiliki tanduk yang sudutnya mengarah ke belakang.
Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) di alam liar mampu hidup hingga
usia antara 20-25 tahun. Matang secara seksual (dewasa) saat berusia 2-3
tahun. Dalam satu masa kehamilan, anoa ini hanya melahirkan satu bayi.
Masa kehamilannya sendiri berkisar 276-315 hari. Saat lahir, bayi anoa
memiliki bulu berwarna cokelat keemasan atau kekuningan yang sesuai usia
beranjak berubah menjadi lebih gelap. Anak anoa akan mengikuti induknya
hingga berusia dewasa meskipun saat umur 9-10 bulan telah disapih.
Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang
berbeda usia.Anoa pegunungan cenderung lebih aktif pada pagi hari, dan
beristirahat saat tengah hari. Hidup secara soliter atau berpasangan. Makanan
bintang ini adalah rumput, dedaunan, serta buahan-buahan dan beberapa jenis
umbi-umbian.

Anoa Pegunungan merupakan hewan endemik Sulawesi dan Pulau


Buton. Mendiami daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000-2.300 meter
dpl. Daerah sebarannya meliputi daerah perabatasan antara Gorontalo dan
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah bagian selatan, serta di Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara bagian utara. Di
samping itu ditemukan juga di Pulau Buton bagian utara.
Populasi Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) tidak diketahui secara
pasti. IUCN Redlist memperkirakan populasinya berkisar pada 2.500 ekor
anoa dewasa. Jumlah ini telah dan terus mengalami penurunan lebih dari 20%
dalam dua generasi terakhir. Ancaman terbesar terhadap hewan khas Sulawesi
ini adalah perburuan dan rusaknya habitat. Anoa Pegunungan diburu untuk
diambil kulit, daging, dan tanduknya. Kerusakan habitat yang terjadi sebagai
akibat deforestasi untuk pembukaan lahan pertanian dan pertambangan emas.
Berdasarkan populasi yang mengalami penurunan dan ancaman yang terus
berlangsung, IUCN Red List memasukkan Anoa Pegunungan dalan status
konservasi Endangered (Terancam) sejak tahun 1986. Sedangkan oleh
CITES, dimasukkan dalam daftar Appendix I. Di Indonesia, Anoa
Pegunungan termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan PP. Nomor 7
Tahun 1999.
2. Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra)
Klasifikasi

Kerajaan : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Primata

Famili

: Cercopithecidae

Genus

: Macaca

Spesies

: Macaca nigra

Kera Hitam Sulawesi merupakan jenis


primata yang mulai langka dan terancam
kepunahan. Kera Hitam Sulawesi yang dalam
bahasa latin disebut Macaca nigra merupakan
satwa endemik Sulawesi Utara.
Kera Hitam Sulawesi selain mempunyai bulu yang berwarna hitam juga
mempunyai ciri yang unik dengan jambul di atas kepalanya.Kera yang oleh
masyarakat setempat disebut Yaki ini semakin hari semakin langka dan
terancam punah.Bahkan oleh IUCN Redlist digolongkan dalam status
konservasi Critically Endangered (Krisis).
Kera Hitam Sulawesi sering juga disebut monyet berjambul.Dan oleh
masyarakat setempat biasa dipanggil dengan Yaki, Bolai, Dihe. Dalam bahasa
Inggris

primata

langka

ini

disebut

dengan

beberapa

nama

diantaranya Celebes Crested Macaque, Celebes Black ape, Celebes Black


Macaque, Celebes Crested Macaque, Celebes Macaque, Crested Black
Macaque, Gorontalo Macaque, Sulawesi Macaque. Dalam bahasa latin
(ilmiah) Kera Hitam Sulawesi dinamai Macaca nigra yang bersinonim
dengan Macaca lembicus(Miller, 1931) Macaca malayanus (Desmoulins,
1824).
Ciri-ciri Kera Hitam Sulawesi
Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra) mempunyai ciri-ciri sekujur tubuh
yang ditumbuhi bulu berwarna hitam kecuali pada daerah punggung dan
selangkangan yang berwarna agak terang.Serta daerah seputar pantat yang
berwarna kemerahan.Pada kepala Kera Hitam Sulawesi (Yaki) memiliki

jambul.Mukanya tidak berambut dan memiliki moncong yang agak menonjol.


Panjang tubuh Kera Hitam Sulawesi dewasa berkisar antara 45 hingga 57 cm,
beratnya sekitar 11-15 kg.
Habitat dan Tingkah Laku. Kera Hitam Sulawesi hidup secara
berkelompok Besar kelompoknya terdiri antara 5-10 ekor.Kelompok yang
besar biasanya terdiri atas beberapa pejantan dengan banyak betina dewasa
dengan perbandingan satu pejantan berbanding 3 ekor betina.
Primata yang menyukai jenisjenis pohon yang tinggi dan bercabang
banyak.Sepertti Beringin (Ficus sp) dan Dao (Dracontomelon dao) ini
merupakan hewan omnivora, mulai dari buah-buahan hingga serangga.
Musuh

utama

Kera

Hitam

Sulawesi

(Macaca

nigra)

ini

sama

seperti tarsius yaitu ular Phyon.Primata ini banyak menghabiskan waktu di


pohon.
Penyebaran Kera Hitam Sulawesi biasanya terfokus di hutan primer pada
lokasi yang masih banyak jenis pohon berbuah yang biasa dimakan oleh
satwa ini. Daya jelajahnya (home range) selalu menuju ke satu arah dan akan
kembali kearah semula dengan daya jelajah antara 0,81 km.
Binatang langka ini dapat ditemui di Sulawesi Utara di Taman Wisata
Alam Batuputih, Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus, Cagar
Alam Gunung Duasudara, Cagar Alam Gunung Ambang, Gunung
Lokon dan Tangale. Juga dibeberapa pulau seperti di pulau Pulau
Manadotua and Pulau Talise, Pulau Lembeh (kemungkinan telah
punah), termasuk di Pulau Bacan (Maluku).
Konservasi. Kera Hitam Sulawesi merupakan satwa yang dilindungi di
Indonesia berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI
No.7 Tahun 1999.Populasi Kera Hitam Sulawesi berdasarkan data tahun 1998
diperkirakan kurang dari 100.000 ekor.Jumlah ini diyakini semakin
mengalami penurunan.Penurunan popolasi ini sebagian besar diakibatkan
oleh perburuan liar.
Karena jumlah populasinya yang semakin menurun, IUCN Redlist
memasukkan

Kera

Hitam

Sulawesi

dalam

daftar

status

konservasi Critically Endangered (kritis) sejak tahun 2008.Dan CITES


juga memasukkan satwa endemik ini sebagai Apendix II.
3. Babirusa (Babyrousa babirussa)
Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Artiodactyla

Famili

: Suidae

Genus

: Babyrousa

Spesies

: B. babyrussa

(Linnaeus, 1758)
Babirusa merupakan hewan endemik Sulawesi, Indonesia. Babirusa yang
dalam bahasa latin disebut sebagai Babyrousa babirussa hanya bisa dijumpai
di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya seperti pulau Togian, Sula, Buru,
Malenge, dan Maluku. Sebagai hewan endemik, Babirusa tidak ditemukan di
tempat lainnya.Sayangnya satwa endemik ini mulai langka.
Sang binatang endemik Babirusa, mempunyai tubuh yang meyerupai babi
namun berukuran lebih kecil.Yang membedakan dari babi dan merupakan ciri
khas babirusa mempunyai taring panjang yang mencuat menembus
moncongnya.Lantaran bentuk tubuh dan taring yang dipunyainya hewan
endemik Sulawesi ini dinamakan babirusa.
Satwa endemik ini dalam bahasa inggris sering disebut sebagai Hairy
Babirusa, Babiroussa, Babirusa, Buru Babirusa, ataupun Deer Hog.
Sedangkan nama latin hewan yang endemik Sulawesi, Indonesia ini disebut
sebagai Babyrousa

babirussa dengan

beberapa

nama

sinonim

sepertiBabyrousa alfurus (Lesson, 1827), Babyrousa babirousa (Jardine,


1836), Babyrousa babirusa(Guillemard, 1889), Babyrousa babirussa (Quoy
&

Gaimard,

1830), Babyrousa

frosti (Thomas,

1920),Babyrousa

indicus (Kerr, 1792), Babyrousa orientalis (Brisson, 1762), dan Babyrousa


quadricornua (Perry, 1811).

Satwa yang terancam punah ini terdiri atas tiga subspesies yang masih
bertahan hidup sampai sekarang yaitu; Babyrousa babyrussa babyrussa,
Babyrousa babyrussatogeanensis, dan Babyrousa babyrussa celebensis serta
satu

subspesies

yang

diyakini

telah

punah

yakni

Babyrousa

babyrussa bolabatuensis.
Ciri-ciri dan Perilaku Babirusa
Babirusa mempunyai ciri khas bentuk tubuhnya yang menyerupai babi
namun mempunyai taring panjang pada moncongnya.Hewan endemik
Indonesia ini mempunyai tubuh sepanjang 85-105 cm. Tinggi babirusa sekitar
65-80 cm dengan berat tubuh sekitar 90-100 kg.Binatang endemik yang
langka ini juga mempunyai ekor yang panjangnya sekitar 20-35 cm.
Babirusa (Babyrousa babirussa) memiliki kulit yang kasar berwarna
keabu-abuan dan hampir tak berbulu. Ciri yang paling menonjol dari
binatang ini adalah taringnya. Taring atas Babirusa tumbuh menembus
moncongnya dan melengkung ke belakang ke arah mata.Taring ini berguna
untuk melindungi mata hewan endemik Indonesia ini dari duri rotan.
Babirusa termasuk binatang yang bersifat menyendiri namun sering
terlihat dalam kelompok-kelompok kecil dengan satu babirusa jantan yang
paling kuat sebagai pemimpinnya.Babirusa mencari makan tidak menyuruk
tanah seperti babi hutan, tapi memakan buah dan membelah kayu-kayu mati
untuk mencari larva lebah. Babirusa menyukai buah-buahan seperti mangga,
jamur, dan dedaunan.Satwa langka endemik Indonesia ini suka berkubang
dalam lumpur sehingga menyukai tempat-tempat yang dekat dengan sungai.
Babirusa betina hanya melahirkan sekali dalam setahun dengan jumlah
bayi satu sampai dua ekor sekali melahirkan.Masa kehamilannya berkisar
antara 125 hingga 150 hari. Selah melahirkan bayi babirusa akan disusui
induknya selama satu bulan. Setelah itu akan mencari makanan sendiri di
hutan bebas. Hewan endemik ini dapat bertahan hingga berumur 24 tahun.
Babirusa termasuk binatang yang pemalu dan selalu berusaha menghindar
jika bertemu dengan manusia. Namun jika merasa terganggu, hewan endemik
Sulawesi ini akan menjadi sangat buas.

Habitat, Populasi, Persebaran, dan Konservasi


Babirusa (Babyrousa babyrussa) tersebar di seluruh Sulawesi bagian
utara, tengah, dan tenggara, serta pulau sekitar seperti Togian, Sula,
Malenge, Buru, dan Maluku.Satwa langka endemik ini menyukai daerahdaerah pinggiran sungai atau kubangan lumpur di hutan dataran rendah.
Beberapa wilayah yang diduga masih menjadi habitat babirusa antara
lain Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Cagar Alam Panua.
Sedangkan di Cagar Alam Tangkoko, dan Suaka Margasatwa Manembonembo satwa unik endemik Sulawesi ini mulai langka dan jarang ditemui.
Populasinya hingga sekarang tidak diketahui dengan pasti.Namun
berdasarkan persebarannya yang terbatas oleh IUCN Redlist satwa endemik
ini didaftarkan dalam kategori konservasi Vulnerable (Rentan) sejak
tahun 1986. Dan oleh CITES binatang langka dan dilindungi inipun didaftar
dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diburu dan diperdagangkan.
Berkurangnya populasi babirusa diakibatkan oleh perburuan untuk
mengambil dagingnya yang dilakukan oleh masyrakat sekitar.Selain
itu deforestasi hutan sebagai habitat utama hewan endemik ini dan jarangnya
frekuensi kelahiran membuat satwa endemik ini semakin langka.
4. Kuskus Beruang Sulawesi(Ailurops ursinus)
Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Diprotodontia

Famili

: Phalangeridae

Genus

: Ailurops

Spesies

: Ailurops ursinus

Kuskus Beruang Sulawesi


spesies anggota genus Kuskus Beruang (genus Ailurops) yang hidup endemik

di Sulawesi.Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) hanya dapat


ditemukan di daratan pulau Sulawesi, Peleng, Muna, Buton, dan Togian.
Kuskus Beruang (Ailurops spp.) merupakan anggota famili Phalangeridae
(kuskus) dan merupakan salah satu mamalia berkantung (marsupialia) yang
terdapat di Indonesia selain kanguru.Seperti halnya kanguru, setelah
melahirkan anaknya, kuskus merawat dan membawa anaknya di dalam
kantung yang terdapat di perutnya.Kuskus Beruang yang terdiri atas dua jenis
ini merupakan spesies kuskus terbesar.Mungkin lantaran tubuhnya yang besar
hingga berukuran satu meter itu, genus kuskus ini dinamai Kuskus
Beruang.Selain itu Kuskus Beruang disebut juga sebagai Kuse.
Seperti halnya jenis Kuskus lainnya, Kuskus Beruang merupakan hewan
pendiam dan pemalu. Binatang ini nyaris tidak bersuara kecuali kalau sedang
merasa terganggu yang akan mengeluarkan suara menyerupai decak diselaiselain suara engahan. Dan mungkin lantaran sifatnya yang pendiam ini
kemudian banyak orang yang menyamakan Kuskus dengan Kukang.
Kuskus Beruang atau Kuse dewasa hidup secara soliter (sendiri-sendiri)
dan merupakan hewan arboreal (lebih banyak aktif di atas pohon).Untuk
membantu aktifitasnya di atas pohon, Kuskus Beruang dilengkapi dengan
ekor prehensil.Seperti pada Binturong, ekor prehensil itu berfungsi layaknya
sebagai kaki kelima yang mampu mencengkram benda dan melilit dahan
pohon saat berpindah tempat.
Berbeda

dengan

berbagai

jenis

Kuskus

lainnya

yang

umumnya nokturnal (aktif di malam hari), Kuskus Beruang merupakan


hewan diurnal alias beraktifitas di siang hari meskipun aktifitasnya lebih
banyak digunakan untuk tidur.Hewan ini baru terjaga jika merasa lapar.
Kuskus Beruang terdiri dua spesies yang kemudian dinamai berdasarkan
lokasi atau daerah sebarannya yakni Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops
ursinus) dan Kuskus Beruang Talaud (Ailurops melanotis).
Kuskus

Beruang

Sulawesi

yang

mempunyai nama

latin Ailurops

ursinus ini dalam bahasa Inggris di kenal sebagai Bear Cuscus, Bear

Phalanger,

Sulawesi

Bear

Cuscus.

Daerah

sebarannya

mulai

dari

pulauSulawesi, pulau Muna, pulau Peleng, pulau Togian, dan pulau Buton.
Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) mempunyai ukuran tubuh
mencapai 60 cm dengan ekor yang panjangnya hampir sama dengan panjang
tubuhnya. Berat tubuh Kuskus Beruang Sulawesi dewasa mencapai 8
kg.Warna bulunya hitam, kecoklatan, dan abu-abu.
Meskipun masih bisa ditemui di beberapa tempat seperti Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara) dan TN. Lore Lindu
(Sulawesi Tengah), populasi Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus)
diyakini mengalami penurunan drastis. Oleh karenanya IUCN Red
List memasukkan Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dalam
kategori Vulnerable.
Menurunnya populasi Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus)
disebabkan oleh deforestasi hutan akibat pembukaan lahan untuk konversi
hutan dan pembalakan liar.Selain itu juga diakibatkan oleh aksi perburuan liar
baik

untuk

diambil

dagingnya

sebagai

bahan

makanan

maupun

diperdagangkan sebagai binatang peliharaan.


Anehnya lagi, dalam Lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, ternyata
kuskus yang dilindungi hanya yang dari genus Phalanger saja. Sedangkan
Kuskus Beruang Sulawesi mapun Kuskus Beruang Talaud yang merupakan
anggota genus Ailurops, ternyata belum tercantum di dalamnya.
5. Kura-kura hutan Sulawesi/Kura-Kura Paruh Betet (Sulawesi Forest
Turtle)

Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Reptilia

Ordo

: Testudines

Famili

: Geoemydidae

Genus

: Leucocephalon

Spesies

: L. yuwonoi

Kura-kura hutan Sulawesi


atau kura-kura paruh betet
(Sulawesi Forest Turtle) yang dalam bahasa latin disebut Leucocephalon
yuwonoi memang kura-kura langka. Kura-kura hutan sulawesi (kura-kura
paruh betet) termasuk salah satu dari 7 jenisreptil paling langka di Indonesia.
Bahkan termasuk dalam daftar The Worlds 25 Most Endangered Tortoises
and Freshwater Turtles2011 yang dikeluarkan oleh Turtle Conservation
Coalition.
Kura-kura hutan sulawesi yang dipertelakan pada tahun 1995 ini sering
disebut juga sebagai kura-kura paruh betet. Ini lantaran bentuk mulutnya yang
meruncing menyerupai paruh burung betet.
Dalam bahasa Inggris kura-kura hutan sulawesi yang endemik pulau
Sulawesi ini disebut sebagai Sulawesi Forest Turtle. Sedangkan resminya,
kura-kura ini mempunyai nama latin Leucocephalon yuwonoi (McCord,
Iverson

&

Boeadi,

yuwonoi (McCord,

1995)

Iverson

yang
&

bersinonim

Boeadi,

denganGeoemyda

1995)

dan Heosemys

yuwonoi (McCord, Iverson and Boeadi, 1995). Dahulunya kura-kura hutan


sulawesi digolongkan dalam genusHeosemys, namun sejak tahun 2000
dimasukkan dalam genus tunggal Leucocephalon. Kata yuwonoi dalam
nama ilmiahnya merujuk pada Frank Yuwono yang kali pertama memperoleh
spesimen

pertama

kura-kura

GorontaloSulawesi.
Ciri-ciri dan karakteristik

hutan

sulawesi

ini

di

pasar

di

Kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) berukuran sedang


dengan karapas sepanjang 28 31 cm (jantan) dan 20 25 cm (betina).
Daerah sebarannya hanya terdapat di pulau Sulawesi bagian utara.
Karenanya hewan langka ini merupakan hewan endemik pulau Sulawesi,
Indonesia dan tidak ditemukan di daerah lain.
Tidak banyak yang diketahui tentang perilaku alami kura-kura hutan
sulawesi ini. Kura-kura hutan sulawesi yang merupakan hewan diurnal
banyak menghabiskan waktu dihutan dan hanya berpindah ke air ketika
malam untuk beristirahat dan melakukan perkawinan.
Populasi dan Konservasi. Pada tahun 1990-an diperkirakan populasi kurakura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) masih sangat melimpah namun
saat ini diperkirakan populasinya di alam liar tidak mencapai 250
ekor.Ancaman utama populasi kura-kura langka ini adalah perburuan dan
perdangan bebas sebagai bahan makanan dan hewan peliharaan.Pada awal
tahun 1990-an, sekitar 2.000 3.000 ekor diperkirakan diperdagangkan ke
China sebagai bahan makanan. Selain itu kura-kura hutan sulawesi
(Leucocephalon yuwonoi) juga banyak diekspor ke Eropa dan Amerika
sebagai hewan peliharaan.
Selain perburuan, rusaknya habitat akibat kerusakan hutan (penebangan
kayu komersial, pertanian skala kecil, dan pembukaan hutan untuk
perkebunan kelapa sawit) juga menjadi ancaman bagi kelangsungan populasi
kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi). Hal ini diperparah oleh
rendahnya tingkat reproduksi kura-kura hutan sulawesi (Sulawesi Forest
Turtle).
Lantaran jumlah populasi yang sedikit dan sifatnya yang endemik, sang
kura-kura paruh betet ini oleh IUCN Red List dikategorikan sebagai
spesies Critically Endangered (sangat terancam punah). Bahkan The Turtle
Conservation Coalition, sebuah koalisi konservasi kura-kura yang terdiri atas
berbagai lembaga konservasi seperti IUCN/SSC Tortoise and Freshwater
Turtle
Survival

Specialist

Group, Wildlife

Conservation

Alliance (TSA), Conservation

Society (WCS), Turtle

International (CI)

dan

lainnya

memasukkan kura-kura hutan sulawesi sebagai salah satu dari 25 Kura-Kura


Paling Langka dan Terancam Punah Di Dunia (The Worlds 25 Most
Endangered Tortoises and Freshwater Turtles) Tahun 2011.
.Organisasi perdangan satwa dunia, CITES, juga telah memasukkan kurakura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) dalam daftar CITES Apendix
II. Dengan demikian perdagangan internasional kura-kura langka dan
endemik Sulawesi ini tidak diperbolehkan
6. Celepuk siau (Otus siaoensis)
Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Aves

Ordo

: Strigiformes

Famili

: Strigidae

Genus

: Otus

Spesies

: Otus siaoensis

Celepuk siau (Otus siaoensis) merupakan salah


satu burung langka dan terancam punah di dunia.Burung celepuk siau adalah
burung endemik yang hanya terdapat di sebuah pulau kecil bernama Siau
di Kabupaten Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara.Burung yang masuk
dalam kategori keterancaman tertinggi, Kritis (Critically Endangered) ini
tidak lagi pernah terlihat kembali sejak pertama kali ditemukan pada tahun
1866.
Celepuk siau merupakan anggota burung hantu (ordo Strigiformes) yang
dalam bahasa Inggris biasa disebut sebagai Siau Scops-owl. Sedangkan dalam
nama ilmiah (latin) celepuk ini diberi nama Otus siaoensis.
Ciri, Habitat, dan Persebaran
Belum banyak data yang bisa menggambarkan ciri, habitat dan persebaran
burung ini. Burung celepuk siau mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil,
panjangnya sekitar 17 cm. Seperti burung hantu lainnya, terutama celepuk,

burung endemik pulau Siau ini mempunyai ukuran kepala dan sayap yang
relatif besar.
Burung langka ini termasuk binatang nokturnal yang lebih banyak aktif di
malam hari terutama untuk berburu mangsa.Di siang hari, celepuk siau (Otus
siaoensis) banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat.
Burung celepuk siau diyakini hanya terdapat di satu tempat yakni pulau
Siau (Koordinat: 24322N 1252336E) di Kabupaten Sangihe, Propinsi
Sulawesi Utara, Indonesia. Di duga binatang endemik ini mendiami daerah di
sekitar Danau Kepetta yang terletak di bagian Selatan Pulau Siau.Selain itu
juga di sekitar Gunung Tamata yang berada di bagian tengah Pulau
Siau.Meskipun populasi di habitat tersebut hanya berdasarkan pengakuan
masyarakat sekitar.

Lokasi pulau Siau, Sulawesi Utara (ditunjukkan anak panah)


Populasi dan Konservasi. Populasi burung endemik ini tidak diketahui
dengan pasti, namun berdasarkan persebarannya yang hanya terbatas di
pulau dan penampakan langsung yang jarang sekali, celepuk siau
dikategorikan oleh IUCN Redlist dalam status konservasi Kritis
(Critically Endangered) sejak tahun 2000. CITES juga memasukkan
celepuk ini dalam Apendix II sejak 1998.
Bahkan penampakan visual burung ini secara langsung tidak pernah
terjadi lagi sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1866.Langkanya
celepuk siau (Otus siaoensis) dimungkinkan karena berkurangnya habitat
akibat deforestasi hutan untuk pemukiman maupun lahan pertanian.Anehnya,
meskipun telah terdaftar sebagai salah satu burung yang paling langka dan

terancam kepunahan tapi ternyata burung ini tidak termasuk dalam salah satu
satwa yang dilindungi di Indonesia.Entah karena kealpaan, sehingga burung
ini lolos dari daftar satwa yang dilindungi Undang-undang Indonesia.
Incaran Penggemar Burung. Jumlah populasi, endemikitas, dan jarangnya
penampakan membuat celepuk siau (Otus siaoensis) menjadi incaran para
pengamat dan peneliti burung dari seluruh penjuru dunia.Namun hingga kini
tidak satupun para peneliti tersebut yang dapat mengungkap keberadaan
celepuk siau, apalagi bertemu langsung dengan spesies ini.
Organisasi IUCN Redlist bekerja sama dengan Birdlife Internasional
pernah mengadakan penelitian keberadaan burung celepuk siau ini pada
1998. Namun survey selama 32 hari itu tidak berhasil menemukan data
keberadaan burung endemik langka ini, kecuali berdasarkan hasil wawancara
dengan masyarakat setempat.
Hingga saat ini beberapa LSM lingkungan hidup lokal masih terus
memburu eksistensi dan mengumpulkan data tentang burung celepuk siau ini
dengan sokongan dana dariWildlife Conservation Society.

Anda mungkin juga menyukai