Anda di halaman 1dari 55

Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

Jl. Pasir Putih No. 1, Ancol Timur, Jakarta 14430


Telp. : 021-64712287, 6452425, 64713850
Fax. : 021-64711948, 64712287
E-mail : humas@oseanografi.lipi.go.id
Url. www.oseanografi.lipi.go.id
www.coremap.or.id
Panduan Pemantauan
Megabentos
Edisi 2

Ucu Yanu Arbi,


Hendra F. Sihaloho

COREMAP-CTI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
2017
Panduan Pemantauan
Megabentos
Edisi 2

Pusat Penelitian Oseanografi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS
© 2017 CRITC COREMAP CTI LIPI

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia


Oleh PT. Media Sains Nasional
Ruko Bangbarung Grande No K-9 Kota Bogor
Anggota IKAPI No. 276/JB/2015
Telp. : 0251-7160668, 7550470
Fax. : 0251-7550470
email : mediasainsnasional@gmail.com

Penulis : Ucu Yanu Arbi, Hendra F. Sihaloho

Editor : Indra Bayu Vimono, Ismiliana Wirawati


Desain Sampul & Tata Letak : Dewirina Zulfianita

Coral Reef Information and Training Center (CRITC)


Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP)
Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Pasir Putih No. 1, Ancol Timur, Jakarta 14430
Telp. : 021-64712287, 6452425, 64713850
Fax. : 021-64711948, 64712287
E-mail : humas@oseanografi.lipi.go.id
Url. www.oseanografi.lipi.go.id
www.coremap.or.id

Panduan Pemantauan Megabentos/Ucu Yanu Arbi, Hendra F. Sihalohoa –-Jakarta : COREMAP


CTI LIPI 2017
vi + 45 hlm.; 5.83” x 8.27”
ISBN 978-602-6504-12-8
Kata Sambutan

Luas terumbu karang Indonesia mencapai 39.583 km2 atau sekitar 45,7% dari total 86.503
km2 luas terumbu di wilayah segitiga karang dengan puncak keanekaragaman hayati tertinggi
antara lain 590 spesies karang batu dan 2.200 spesies ikan karang. Upaya perlindungan dan
pengelolaan berkelanjutan di wilayah segitiga karang, termasuk Indonesia menjadi prioritas
dalam rangka menjaga ekosistem pesisir, ketersedian stok ikan dan ketahanan pangan dari laut.
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional untuk
upaya rehablitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara bekelanjutan.
Program COREMAP tersebut dirancang dalam 3 (tiga) fase, Fase I Inisiasi (1998-2004), Fase II
Akselerasi (2005-2011), dan Fase III Penguatan Kelembagaan (2014-2019). COREMAP Fase
III disejalankan dan diselaraskan dengan program nasional dan regional tentang pengelolaan
terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan Coral Triangle
Initiative (CTI), sehingga COREMAP Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP-CTI.
Tujuan pengembangan Program COREMAP-CTI adalah mendorong penguatan kelembagaan
yang terdesentralisasi dan terintegrasi untuk pengelolaan sumberdaya terumbu karang,
ekosistem terkait dan biodiversitas secara berkelanjutan bagi kesejahteran masyarakat pesisir.
Pelaksanaan monitoring menjadi bagian penting untuk mengukur dan memberikan informasi
capaian keberhasilan Program COREMAP-CTI sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan,
diantaranya adalah peningkatan tutupan karang hidup dan kelimpahan jenis-jenis megabentos
yang memiliki nilai ekonomis penting.

Buku panduan monitoring kondisi megabentos diterbitkan sebagai acuan bersama dalam
pengukuran indikator keberhasilan intervensi Program COREMAP-CTI. Saya sampaikan
apresiasi kepada semua pihak, khususnya tim penulis atas diterbitkannya buku panduan
monitoring ini. Saya berharap buku dengan judul “PANDUAN PEMANTAUAN
MEGABETHOS” dapat dijadikan acuan bersama, sehingga ada keseragaman hasil yang
dapat dibandingkan baik secara temporal maupun spasial di wilayah perairan Indonesia secara
keseluruhan. Semoga dapat digunakan dan bermanfaat.

Jakarta, 2017

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Dr. Dirhamsyah, MA

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS i


Kata Pengantar

Target utama Program COREMAP-CTI adalah peningkatan kesehatan ekosistem pesisir dan
perlindungan keanekaragaman jenis, penguatan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi
perairan melalui pendekatan ekosistem. Keberlanjutan pengembangan mata pencaharian
masyarakat pesisir melalui pendekatan ekonomi kreatif (community enterprise development) dan mata
pencaharian alternatif menjadi outcome kunci lainnya dari Program COREMAP-CTI. Sejumlah
indikator dimunculkan untuk mengukur keberhasilan Program COREMAP-CTI, salah satunya
adalah terpelihara dan meningkatnya tutupan karang hidup, kepadatan dan biomassa ikan
karang serta dukungan ekologis kesehatan ekosistem terkait lainnya seperti mangrove dan
padang lamun di kawasan konservasi perairan, baik nasional (KKPN) maupun daerah (KKPD)
yang berdampak terhadap peningkatan sosial kesejahteraan masyarakat. Pengukuran juga
dilakukan pada daerah yang tidak diintervasi oleh program COREMAP-CTI atau dikenal
juga dengan lokasi kontrol sebagai pembanding. Untuk mendapat data dan informasi yang
terukur, akurat dan valid perlu dilakukan penilaian/pengukuran terhadap indikator keberhasilan
program dalam seri waktu dan rentang spasial yang terwakilkan melalui kegiatan monitoring.

Buku Panduan Pemantauan Kondisi Megabentos di wilayah konservasi perairan baik nasional
maupun daerah, dan lokasi kontrol disusun sebagai panduan keseragaman bagi tenaga
monitoring. Buku panduan monitoring ini bertujuan memberikan panduan teknis untuk
keseragaman metode pengambilan data bio-ekologi megabentos yang ditetapkan sebagai
indikator utama kesehatan terumbu karang dan keberhasilan intervensi Program COREMAP-
CTI. Disamping itu penerbitan buku panduan ini dapat juga digunakan sebagai bahan ajar
dalam kegiatan training dan pendidikan kelautan.

Penerbitan buku panduan monitoring kondisi megabentos melibatkan banyak pihak, untuk
itu kami ucapkan terima kasih atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan. Kami
menyadari penulisan buku ini masih banyak kekurangan, sehingga saran dan masukan dari
berbagai pihak membuat buku ini terus diperbaiki menjadi sempurna.

Jakarta, 2017

Tim Penulis

ii PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Daftar Isi

Kata Sambutan i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Gambar iv
Daftar Tabel v
Daftar Lampiran vi
1. PENDAHULUAN 1
Tujuan 2
Sasaran 2
2. PERSIAPAN 3
Peta Dasar, Penentuan Lokasi Dan Stasiun Monitoring 3
Persiapan Tim Survei 4
Persiapan Administrasi 4
Persiapan Peralatan Dan Perlengkapan 4
3. MONITORING FAUNA MEGABENTOS 7
Pengantar (Gambaran Umum) 7
Alat Dan Bahan 10
Metode Pengambilan Data 10
4.MEGABENTOS TARGET MONITORING 15
Jenis/Kelompok Jenis Megabentos Target Monitoring 15
Justifikasi Pengelompokan Megabentos Target Monitoring 17
i) Megabentos Bernilai Ekonomis 17
ii). Megabentos Ekologis Penting (Non-Ekonomis) 25
- Sebagai Pemakan Polip Karang 25
- Potensial Sebagai Bioindikator 30
5. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA 35
6. PENYUSUNAN LAPORAN 39
Elemen Dalam Laporan 39
Isi Laporan Kegiatan Pemantauan 41
Daftar Pustaka 45

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS iii


Daftar Gambar

Gambar 1. Arah penarikan garis transek untuk pemantauan megabentos 11


Gambar 2. Pengambilan data dan dokumentasi megabentos di sekitar garis
transek 12
Gambar 3. Skema transek megabentos dengan metode Bentos Belt Transect
yang dimodifikasikan dari metode Belt Transect 12
Gambar 4. Pengukuran panjang cangkang dan pencatatan substrat penempelan
kima 13
Gambar 5. Pemasangan tanda-tanda transek permanen 14
Gambar 6. Beberapa jenis teripang yang umum ditemukan 18
Gambar 7. Jenis-jenis kima yang ditemukan di Indonesia 19
Gambar 8. Beberapa jenis kima yang umum ditemukan 21
Gambar 9. Beberapa jenis keong tokha yang umum ditemukan 22
Gambar 10. Beberapa jenis lobster yang umum ditemukan 24
Gambar 11. Beberapa tipe karang yang menjadi mangsa Acanthaster planci 26
Gambar 12. Jenis siput Drupella yang umum ditemukan (kiri: D. cornus,
kanan: D. rugosa) 28
Gambar 13. Beberapa tipe karang yang menjadi mangsa siput Drupella spp. 29
Gambar 14. Beberapa jenis bulu babi yang umum ditemukan 31
Gambar 15. Beberapa variasi warna dan tipe habitat Linckia laevigata 33
Gambar 16. Contoh data yang di input dan analisis jumlah dalam tabulasi
Microsoft Excel (Gambar : IB Vimono) 36
Gambar 17. Penyajian hasil analisis data berupa grafik Jumlah dan persentase
(Gambar : IB Vimono) 37
Gambar 18. Contoh penyajian data kehadiran megabentos tiap stasiun pada
suatu lokasi 37
Gambar 19. Contoh penyajian data fluktuasi kehadiran megabentos selama
tiga tahun  38

iv PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Daftar Tabel

Tabel 1. Spesies atau kelompok spesies megabentos target yang menjadi objek
monitoring 13

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS v


vi PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS
Pendahuluan 1

Ditutupi sekitar 18% terumbu karang dunia, Indonesia berada tepat di pusat “Segi tiga Karang
(Coral Triangle)” suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi
di dunia. Luas terumbu karang Indonesia mencapai 39.583 km2 atau sekitar 45,7% dari total
86.503 km2 luas terumbu di wilayah segi tiga karang dengan puncak keanekaragaman hayati
tertinggi antara lain 590 spesies karang batu dan 2.200 spesies ikan karang.Namun dilaporkan
bahwa dari kombinasi ancaman lokal dan akibat perubahan suhu dan bleaching, hampir 45%
terumbu karang Indonesia berada dalam ancaman tinggi sampai sangat tinggi (Huffard et al,
2012). Upaya perlindungan dan pengelolaan berkelanjutan di wilayah segitiga karang, termasuk
Indonesia menjadi prioritas dalam rangka menjaga ekosistem pesisir,ketersedian stok ikan dan
ketahanan pangan dari laut.

Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional untuk
upaya rehablitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait
secara bekelanjutan. Program COREMAP tersebut dirancang dalam tiga (3) fase
seri waktu terdiri dari COREMAP Fase I Inisiasi 1998-2004, COREMAP Fase II
Akselerasi 2005-2011 dan COREMAP Fase III Penguatan Kelembagaan 2014-2018/2019.
Dalam perkembangannya, COREMAP Fase III disejalankan dan diselaraskan dengan program
nasional dan regional pengelolaan dan konservasi terumbu karang di wilayah segitiga terumbu
karang dunia yang dikenal dengan Coral Triangle Initiative (CTI), sehingga COREMAP
Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP-CTI. Tujuan pengembangan Program
COREMAP-CTI adalah mendorong penguatan kelembagaan yang terdesentralisasi dan
terintegrasi untuk pengelolaan sumberdaya terumbu karang, ekosistem terkait dan biodiversitas
secara berkelanjutan bagi kesejahteran masyarakat pesisir. Pengumpulan data dan informasi
dilakukan dalam seri waktu dan rentang spasial melalui kegiatan monitoring dimana baseline
studi sebagai ukuran awal penilaian kesehatan ekosistem terumbu karang pada setiap lokasi.

Monitoring penilaian kondisi megabentos didefinisikan sebagai kegiatan pengumpulan data


dan informasi bio-ekologi kelompok biota megabentos yang ditetapkan sebagai indikator
kesehatan terumbu karang serta data perubahan sosial ekonomi masyarakat pesisir sebagi
penerima dampak dari pemanfaatan dan pengelolalaan sumberdaya serta upaya konservasi
dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang. Monitoring yang baik didasarkan pada sebuah
keteraturan pengulangan dan dilakukan dalam seri waktu dan penambahan luas area yang
terwakili. Perubahan dalam seri waktu dan rentang spasial yang diukur selama monitoring
akan menyediakan data dan informasi penting terhadap perubahan populasi biota megabentos

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 1


indikator di ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai tolak ukur keberhasilan intervensi
sebuah program pengelolaan dan perlindungan sumberdaya, termasuk terumbu karang dan
ekosistem terkait lainnya.

Indikator kesehatan terumbu karang Program COREMAP-CTI terdiri dari tutupan karang
hidup dan bentik terumbu lainnya, ikan karang yang terdiri ikan corallivor, herbivor dan target,
serta mega bentos dan didukung oleh kesehatan ekosistem lainnya seperti padang lamun dan
mangrove. Setiap langkah teknis monitoring disiapkan dengan baik, didokumentasikan, dapat
ditinjau kembali serta dapat dievaluasi dan disempurnakan. Oleh karena itu penting dilakukan
penyusunan buku panduan (manual) monitoring kondisi megabentos sebagai dokumen acuan
untuk keseragaman pelaksanaan teknis monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem
terkait lainnya.

TUJUAN

Penyusunan buku panduan (manual book) monitoring penilaian kondisi megabentos ini
bertujuan untuk memberikan keseragaman acuan teknis (metodologi) bagi tenaga monitoring
dalam melaksanakan monitoring penilaian kondisi megabentos khususnya di lokasi
COREMAP-CTI, Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN), lokasi control serta
disiapkan sebagai panduan monitoring penilaian kondisi megabentos secara nasional.

SASARAN

Buku panduan monitoring penilaian kondisi megabentos disiapkan bagi tenaga monitoring
baik di lokasi COREMAP-CTI, kawasan konservasi perairan dan lokasi kontrol dan lokasi
lainya. Ketersedian buku panduan ini dapat juga digunakan sebagai referensi, sumber belajar
bagi akademisi, LSM dan lembaga lainnya yang bergerak dalam pemantauan sumberdaya
ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sasaran yang hendak dicapai adalah
tersediannya panduan keseragaman langkah teknis pemantauan meliputi metode yang
digunakan, cara koleksi data di lapangan, input dan pengolahan data dan penyajian laporan
monitoring penilaian kondisi megabentos dan ekosistem terkait lainnya. Hasil yang diperoleh
dapat digunakan untuk mengetahui status dan kecenderungan status kesehatan ekosistem
terumbu karang.

2 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Persiapan 2

Sebelum kegiatan survei untuk monitoring, perlu dilakukan persiapan-persiapan maupun


persiapan penunjang teknis lainnya.

PETA DASAR, PENENTUAN LOKASI DAN STASIUN MONITORING

Penentuan lokasi maupun stasiun transek permanen dilakukan berkerjsama dengan


tim SIG yang akan menyiapkan peta dasar. Stasiun monitoring berada dalam atau berdekatan
dengan desa yang yang telah ditentukan. Kriteria pemilihan stasiun sebagai stasiun transek
permanen dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain:
a. Faktor keterwakilan, penempatan stasiun transek sebaiknya dipilih secara keterwakilan,
paling sedikit 3 transek mewakili satu desa, tergantung dari luas desa tersebut.

b. Faktor keamanan tanda-tanda yang dipasang pada garis transek lokasi yang dipilih,
diharapkan terhindar dari gangguan ombak/arus, sehingga tanda-tanda yang dipasang
pada stasiun transek permanen mudah ditemukan kembali pada posisi yang sama, saat
akan dilakukan pemantauan (monitoring) di tahun berikutnya.

c. Faktor keselamatan dan kenyamanan kerja saat pengambilan data, harus


diperhatikan juga keamanan dan keselamatan pelaksana monitoring saat penentuan
stasiun monitoring.

Stasiun transek permanen ditentukan pada saat dilakukan survei untuk yang pertama kalinya
(T0). Posisi stasiun transek permanen dicatat menggunakan GPS (Global Positioning Systems),
sehingga lokasinya dapat ditemukan kembali dan dipantau kondisi megabentosnya di
waktu mendatang (T1, T2, dan seterusnya). Dengan adanya data posisi pada stasiun transek
permanen yang sama pada waktu yang berbeda (T0, T1, T2 dan seterusnya), sangat mendukung
nantinya dalam mempresentasikan perbandingan hasil penilaian kondisi megabentos antar
lokasi.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 3


PERSIAPAN TIM SURVEI

Tim survei adalah semua personil yang terlibat pada saat kegiatan survei lapangan
monitoring penilaian kondisi megabentos dilaksanakan. Personil tersebut merupakan SDM
yang terampil dan memiliki pengetahuan tentang metode monitoring penilaian kondisi
megabentos serta kemampuan teknis lainnya penunjang kegiatan survei. Tim survei untuk
monitoring paling tidak terdiri dari 1-2 orang operator perahu, tenaga pemetaan (GIS),
minimal 3 orang tenaga penyelam untuk yang bertanggung jawab menggelar dan
membereskan transek, mengambil data lapangan dan yang bertanggung jawab memasang
transek permanen, 2 orang teknisi selam SCUBA serta 1 orang tenaga yang mengelola database.
Khusus untuk personil untuk p en g a m b i l a n d a ta biota megabentos adalah personil yang
selain memiliki keterampilan selam SCUBA juga harus memiliki kemampuan identifikasi biota
megabentos. Untuk criteria pendidikan formal, diharapkan mempunyai latar belakang biologi
laut atau perikanan (S1), karena setelah kegiatan lapangan peneliti bertanggung jawab dalam
penyusunan laporan.

PERSIAPAN ADMINISTRASI

Lokasi survei yang akan dikunjungi merupakan lokasi daerah administratif, mulai dari tingkatan
desa (kelurahan), kecamatan, kabupaten sampai ke provinsi. Sesuai ketentuan yang ada, bekerja
di wilayah administratif tersebut diperlukan surat izin yang ditujukan ke masing-masing
tingkatan daerah administratif tersebut.

Surat izin resmi perlu disiapkan yang ditandatangani oleh pejabat instansi asal pelaksana survei.
Surat izin tersebut berisi pemberitahuan survei, dikirimkan ke pemerintah daerah tingkat
satu (1) provinsi dengan tembusan ke pemerintah daerah di lokasi penelitian. Surat izin juga
ditujukan kepada instansi militer (missal Komando Angkatan Laut) dan kepolisian setempat.
Demikian pula bila lokasi kerja masuk dalam kawasan konservasi laut, perlu dibuatkan surat
izin ke kantor pusat dengan tembusan ke kantor di daerah. Bila tim survei memerlukan
bantuan staf atau tenaga lokal, perlu juga dibuat surat permohonan ke kepala dinas/instansi di
mana staf/tenaga lokal tersebut bekerja.

Pada saat di lapangan, perlu dilakukan pelaporan kembali ke alamat surat yang dituju, terutama
yang berhubungan erat dengan wilayah kerja, dalam hal ini yang berhubungan dengan keamanan
dan keselamatan kerja di laut, yaitu ke terutama Angkatan Laut, Kepolisian (PolAirUd),
Administrasi Pelabuhan (Syahbandar) setempat. Pemberitahuan tersebut bertujuan untuk
menjaga jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama kegiatan survey di lapangan.

PERSIAPAN PERALATAN DAN PERLENGKAPAN

Sebelum ke lapangan perlu dipersiapkan beberapa bahan dan peralatan yang akan dipakai di
lapangan berdasarkan substansi yang akan diamati. Bahan dan peralatan penunjang seperti

4 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


compressor (olie, carbon filter) ataupun cadangan O ring juga perlu dipastikan k e tersediaannya
sebelum kegiatan lapangan. Sebelum menuju lokasi perlu dicek kembali kelengkapan bahan dan
peralatan, terutama apabila lokasi kerja cukup jauh dari base camp.

Kegiatan penelitian di lapangan tidak lepas dari penggunaan sarana dan prasarana baik dalam
perjalanan maupun di lokasi yang akan didatangi. Sarana dan prasarana harus disiapkan dengan
baik. Bila menggunakan perahu sewaan, harus pastikan bahwa mesin dalam kondisi baik dan
bahan bakar mencukupi. Faktor-faktor lain yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan
kegiatan penilaian kondisi megabentos juga harus diperhatikan, terutama yang menyangkut
kesehatan dan keselamatan kerja.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 5


6 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS
Monitoring Fauna 3
Megabentos

PENGANTAR (GAMBARAN UMUM)

Keanekaragaman hayati menjadi salah satu isu global dalam pembahasan masalah lingkungan,
termasuk di dalamnya ekosistem terumbu karang pada lingkungan pesisir. Konferensi Tingkat
Tinggi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 yang ditandatangani oleh 153 negara peserta
menghasilkan konvensi tentang keanekaragaman hayati (Sediadi, 1999). Sastrapradja et al. (1989)
mengatakan bahwa pendekatan keanekaragaman hayati berdasar ekosistem secara teoristis lebih
rumit dibanding pendekatan genetis dan jenis. Hal ini berkaitan dengan adanya interaksi antara
berbagai jenis biota di dalamnya. Salah satu ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi adalah terumbu karang, dimana hidup berbagai biota bernilai ekonomis
tinggi. Hal ini menjadikan terumbu karang sebagai daerah mencari sumber pangan yang penting
bagi masyarakat pesisir (Salm et al., 2000).

Ekosistem merupakan sebuah sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang
tidak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Salah satu ekosistem yang
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi adalah ekosistem perairan. Ekosistem
perairan terdiri dari dua komponen penyusun, yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen
biotik berdasarkan sifat hidupnya dibedakan menjadi tiga yaitu plankton, bentos dan nekton.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang menjadi habitat dari berbagai kelompok biota
laut, baik yang bersifat permanen maupun sementara. Salah satu penyusun ekosistem terumbu
karang adalah kelompok fauna bentik, yaitu kelompok fauna yang hidup di dasar perairan.
Ekhinodermata, Moluska dan Krustasea merupakan kelompok fauna bentik yang sering
ditemukan hidup di terumbu karang. Kelompok fauna bentik berukuran yang relatif besar
dan yang memiliki populasi tinggi memiliki peranan penting bagi kondisi dan kestabilan
ekosistem. Hal ini menjadikan kelompok-kelompok biota tersebut potensial sebagai objek
untuk pemantauan kesehatan terumbu karang.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 7


Bentos merupakan kumpulan organisme yang hidup di dasar / di substrat perairan (di zona
benthik). Kata bentos berasal dari kata ‘vanthos’ (Yunani) yang berarti dalam, dan mengacu
pada komunitas biota di zona benthik pada ekosistem perairan. Kelompok organisme bentos
mencakup semua biota yang tergabung dalam filum Mollusca, Echinodermata, Crustacea,
Polychaeta. Bentos sendiri dapat terbagi dalam kelompok organisme yang termasuk dalam
dunia hewan (zoobentos) dan kelompok organisme yang termasuk dalam dunia tumbuhan
(fitobentos). Dalam hal ini, bahasan mengenai kelompok organisme bentos hanya difokuskan
pada zoobentos. Bagi ekosistem, kelompok organisme bentos memiliki peran yang penting
dalam rantai makanan. Berbagai macam organisme bentos merupakan makanan bagi berbagai
jenis ikan maupun organisme bentos lainnya. Selain sebagai mangsa, kelompok organisme
bentos juga bertindak sebagai pemangsa, terutama bakteri dan algae. Sehingga dapat dikatakan
bahwa kelompok organisme bentos merupakan mata rantai dari aliran energi dan nutrisi
dalam sebuah ekosistem. Beberapa spesies dari kelompok organisme bentos telah diketahui
sebagai kelompok organisme yang potensial sebagai indikator kesehatan lingkungan (Oey et al.,
1980). Alasannya adalah karena kelompok organisme bentos relatif menetap pada dasar suatu
perairan, mempunyai siklus hidup yang relatif panjang dan dengan segera merespon berbagai
macam perubahan lingkungan perairan termasuk perubahan yang diakibatkan oleh polutan.

Secara umum, kelompok organisme bentos memiliki respon yang cepat terhadap perubahan
lingkungan. Setiap organisme bentos memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap perubahan
lingkungan tersebut. Sehingga berdasarkan kepekaannya terhadap perubahan kondisi
lingkungan yang diakibatkan oleh polutan dibedakan menjadi tiga yaitu kelompok intoleran,
kelompok fluktuatif, dan kelompok toleran. Kelompok intoleran memiliki kisaran tingkat
kepekaan yang paling sempit, sedangkan kelompok toleran memiliki kisaran tingkat kepekaan
yang paling lebar (Ravera, 1979). Berdasarkan keberadaannya pada substrat, organisme bentos
dibedakan menjadi dua yaitu kelompok infauna dan kelompok epifauna (Nybakken, 1992;
Odum, 1993).

Kelompok organisme bentos infauna hidup menguburkan diri di dalam substrat, baik terbenam
secara keseluruhan maupun hanya sebagian dari tubuhnya. Sedangkan kelompok organisme
bentos epifauna berada di atas permukaan substrat, baik yang berupa substrat hidup maupun
substrat mati. Kelompok organisme bentos yang memiliki sifat hidup sebagai epifauna
berdasarkan mobilitasnya juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelompok yang hidup secara
sesil (menempel) dan kelompok yang hidup secara motil (bergerak bebas).

8 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Berdasarkan cara makannya, kelompok organisme bentos dapat dibedakan menjadi empat yaitu
bentos pemakan deposit yang selektif (selective deposit feeder), bentos pemakan deposit yang tidak
selektif (non-selective deposit feeder), bentos pemakan algae (herbivorous feeder), dan bentos
yang bersifat omnivora / predator. Berdasarkan ukuran tubuhnya, kelompok organisme bentos
dapat dibedakan menjadi empat yaitu mikrobentos (ukuran tubuh < 0,1 mm), meiobentos
(ukuran tubuh antara 0,1 – 1 mm), makrobentos (ukuran tubuh 1 – 10 mm)), dan megabentos
(ukuran tubuh > 10 mm) (Laili & Parsons, 1993). Jadi, megabentos adalah kelompok fauna
yang hidup di zona benthik, yaitu di dasar / substrat perairan (baik yang bersifat infauna atau
epifauna), yang memiliki ukuran tubuh lebih dari 10 mm (1 cm).

Monitoring dilakukan secara kontinyu diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan
data mengenai fluktuasi dari keanekaragaman hayati. Biasanya, kegiatan monitoring dilakukan
setiap tahun, atau jika memungkinkan dilakukan dua kali tiap tahun yaitu berdasarkan perbedaan
musim. Data yang tersedia tersebut pada akhirnya dapat dijadikan acuan untuk menilai
kondisi kesehatan ekosistem sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan bagi
pemerintah daerah. Salah satu ekosistem yang menjadi habitat dari berbagai kelompok biota
laut adalah terumbu karang. Kelompok fauna yang hidup di dasar substrat atau fauna benthik
yaitu Krustasea, Moluska dan Ekhinodermata merupakan penyusun ekosistem terumbu karang
yang cukup dominan di ekosistem tersebut. Kelompok tersebut sebagian memiliki ukuran yang
relatif besar (megabentos) sehingga dapat dengan mudah dijumpai dan memiliki jumlah jenis
serta jumlah individu yang cukup banyak. Kelompok fauna benthik juga memiliki peranan
penting terhadap kondisi dan kestabilan ekosistem. Pentingnya peranan kelompok fauna
benthik menjadikannya potensial sebagai objek untuk monitoring kesehatan terumbu karang.

Ketersediaan data hasil pemantauan dari tahun ke tahun dibutuhkan agar dapat menjadi
bahan evaluasi mengenai kesehatan ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut. Sehingga,
tujuan dari suatu pengamatan yang dilakukan adalah untuk mengetahui kondisi megabentos
di ekosistem terumbu karang di suatu perairan sebagai data dasar untuk kegiatan monitoring.
Data yang diperoleh tersebut diharapkan menjadi bahan untuk mendukung penilaian kesehatan
terumbu karang di wilayah monitoring. Lebih jauh lagi, data yang diperorel dapat digunakan
sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan oleh pihak berwenang, misalnya untuk penentuan
zonasi dan evaluasi wilayah konservasi. Sehingga tujuan akhir yang diharapkan adalah
pelestarian ekosistem dan biota-biota yang berasosiasi di dalamnya melalui kegiatan konservasi.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 9


AHAN
ALAT DAN B dalam
ha n yang diperlukan
Tujuan dari penilaian kondisi megabentos Alat dan ba to s m el ip ut i
aben
adalah untuk mengetahui kondisi megabentos pengamatan meg
lam SCUBA
- Peralatan se
di ekosistem terumbu karang suatu perairan
- GPS
tal bawah air
sebagai bagian dari pemantauan status kesehatan - Kamera digi
nsek permanen
terumbu karang. Sedangkan sasaran dari buku - Peralatan tra
a, patok besi,
(pelampung tand
manual ini adalah agar pengguna mampu untuk: ngsi / senar
kabel ties, tali na
1. Melakukan pengambilan data megabentos; 2. pancing)
Menganalisa data hasil pemantauan megabentos; - Roll meter
n air (water proof)
3. Menyusun laporan pemantauan megabentos. - Alat tulis taha ia
mputer dan med
- Perangkat ko
penyimpan data

METODE PENGAMBILAN DATA

Pengambilan data untuk monitoring fauna megabentos target dilakukan dengan menggunakan
metode Bentos Belt Transect (BBT). Metode ini merupakan modifikasi dari metode Belt Transect
(Loya, 1978; Munro, 2003; Wilkinson, 2004; Wilson & Green, 2009) yang dikombinasikan
dengan metode Reef Check Bentos (Brower et al., 1998; Hodgson & Liebeler, 2002; Hill &
Loder, 2013). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan bantuan peralatan selam
SCUBA (self-contained underwater breathing apparatus). Penggunaan metode Bentos Belt Transect ini,
disinkronkan dengan transek karang dan ikan karang pada stasiun transek permanen untuk
efektivitas pekerjaan tim di lapangan.

Metode ini dilakukan dengan cara menarik garis dengan pita berskala (roll meter) sejajar garis
pantai pada kedalaman 7 – 12 m dengan panjang transek 70 m. Untuk alasan teknis, garis
pantai selalu diposisikan berada di sebelah kiri penyelam sewaktu menarik pita transek.
Setelah pita transek terpasang, selanjutnya dilakukan pengamatan dan pencatatan jenis atau
kelompok jenis megabentos target serta jumlah individunya dari titik 0 m sampai 70 m dengan
lebar pengamatan 1 meter ke kiri dan kanan garis transek. Sehingga luasan area pemantauan
menjadi 140 m2 (2 x 70 m). Megabentos lain di luar ke delapan jenis atau kelompok jenis target
monitoring sedapat mungkin dicatat untuk kepentingan ilmiah. Saat melakukan pengamatan,
penyelam hendaknya tidak hanya mengamati megabentos yang berada di atas permukaan
substrat, namun juga menengok ke bawah bongkahan karang. Hal ini perlu dilakukan karena
sebagian besar megabentos merupakan biota yang aktif di malam hari, sedangkan pada siang
hari menyembunyikan diri dari pemangsa. Selain pengamatan megabentos, penyelam juga

10 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


mencatat kerusakan karang akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak, bubu maupun
jaring.

Metode ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:


1. Jika merupakan lokasi baru, beri nama stasiunnya, tentukan titik 0, catat posisi
koordinatnya, plot posisi koordinat dengan GPS. Jika merupakan lokasi lama (lokasi
ulangan untuk monitoring), pastikan posisi transek di lokasi penelitian sesuai dengan
koordinat posisi transek pengamatan yang tercatat tahun sebelumnya (posisi lintang dan
bujur yang diperoleh berdasarkan pencatatan GPS).

2. Setelah yakin posisinya merupakan lokasi stasiun transek permanen yang akan diambil
datanya, sebelum turun ke bawah air (menyelam), maka tulis di papan (slate) deskripsi
lokasi sekitar stasiun tersebut.

3. Tarik garis dengan pita berskala (roll meter) sejajar garis pantai pada kedalaman 7 – 12 m
dengan panjang transek 70 m, garis pantai selalu berada di sebelah kiri penyelam sewaktu
menarik pita transek. Untuk lokasi baru, penentuan titik 0 diupayakan pada posisi yang
terdapat tanda-tanda yang mudah dikenali, misalnya terdapat batu besar. Untuk lokasi
lama, titik 0 ditandai dengan adanya tanda-tanda transek permanen (2 pelampung tanda,
2 patok besi, 2 kabel ties). Pada titik 0 inilah, pelampung sosis di kembungkan sehingga
timbul ke permukaan, dan personil yang masih ada di atas perahu bertugas mengeplot titik
tersebut (terutama untuk T0).

Gambar 1. Arah penarikan garis transek untuk pemantauan megabentos

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 11


Gambar 2. Pengambilan data dan dokumentasi megabentos di sekitar garis transek

Gambar 3. Skema transek megabentos dengan metode Bentos Belt Transect yang dimodifikasikan
dari metode Belt Transect

4. Pemasangan pita transek dilakukan dengan acuan arah pulau berada di sebelah kiri untuk
tujuan teknis agar memudahkan pencarian transek permanen di tahun berikutnya. Perlu
diperhatikan juga bahwa pemasangan pita transek diusahakan sebisa mungkin agar
dilakukan pada kedalaman yang relatif sama dari titik 0 sampai dengan titik 70. Setelah
pita transek terpasang, lakukan pengamatan dan pencatatan jenis dan jumlah megabentos
target monitoring dari titik 0 m sampai 70 m dengan lebar observasi 1 meter ke kiri dan
kanan garis transek, sehingga luas pemantauan menjadi 140 m2 (2 x 70 m).

12 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Tabel 1. Spesies atau kelompok spesies megabentos target yang menjadi objek monitoring
Megabentos Target Nama Spesies / Kelompok Spesies Kelompok

Bintang Laut Berduri Acanthaster planci Echinodermata


Bulu Babi Echinoidea Echinodermata
Teripang Holothuroidea Echinodermata
Bintang Laut Biru Linckia laevigata Echinodermata
Kima Tridacninae (Tridacna spp., Hippopus spp.) Mollusca
Siput Drupella Drupella spp. Mollusca
Keong Trochidae Trochus spp., Tectus spp. Mollusca
Lobster Paniluridae Crustacea

Gambar 4. Pengukuran panjang cangkang dan pencatatan substrat penempelan kima

5. Semua jenis megabentos dalam transek dicatat nama spesies atau kelompok spesiesnya,
terutama spesies dan kelompok spesies megabentos yang menjadi target monitoring, serta
jumlah individunya. Megabentos target merupakan biota yang memiliki nilai ekonomis
penting dan memiliki nilai ekologis penting yang keberadaannya sangat berkaitan erat
dengan kondisi kesehatan karang. Megabentos target monitoring terdiri dari tujuh
kelompok biota seperti yang disajikan pada Tabel 1. Identifikasi terhadap spesies dan
kelompok spesies merujuk pada Abbott & Dance (1990), Matsuura et al. (2000), Clark &
Rowe (1971), Neira & Cantera (2005) dan Colin & Arneson (1995).

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 13


6. Khusus untuk kima, perlu dilakukan pengukuran panjang cangkang kima dan jenis substrat
tempat penempelan kima tersebut.

7. Selain pengamatan megabentos, penyelam juga mencatat deskripsi lokasi pemantauan,


termasuk di dalamnya pencatatan kerusakan karang akibat penangkapan ikan dengan
bahan peledak, bubu maupun jaring.

Gambar 5. Pemasangan tanda-tanda transek permanen

8. Sebelum kegiatan penyelaman selesai, untuk lokasi baru dilakukan pemasangan tanda-
tanda transek permanen, yaitu pada titik 0 dipasang pelampung tanda, kabel ties dan
patok besi (masing-masing 2 buah), sedangkan pada titik 10, titik 20, sampai titik 70 pada
interval 10 meter dipasang masing-masing 1 buah. Selanjutnya dipasang tali nangsi / senar
pancing sepanjang garis transek, mulai dari titik 0 sampai 70, dan posisinya melekat pada
substrat. Dengan catatan diusahakan agar tali nangsi tersebut diputus setiap 10 meter
dengan maksud apabisa di salah satu bagian talinya terlepas maka bagian lain masih ada.
Sedangkan untuk lokasi lama, hanya dilakukan penggantian tanda-tanda transek permanen
yang hilang atau rusak.

9. Setelah penyelaman, selanjutnya pindahkan data hasil pengamatan ke dalam bentuk


spreadsheet misalnya dengan menggunakan program microsoft excel. Pengolahan data
menggunakan program microsoft excel meliputi jumlah jenis, jumlah individu tiap jenis dan
kelimpahan. Data yang diperoleh juga dapat dimanfaatkan untuk analisa lanjutan sesuai
dengan kebutuhan.

14 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Megabentos 4
Target Monitoring

JENIS/KELOMPOK JENIS MEGABENTOS TARGET MONITORING

Megabentos target adalah jenis atau kelompok jenis fauna megabentos yang memiliki
keterkaitan erat dengan kesehatan terumbu karang. Fauna megabentos tersebut berdasarkan
nilai atau manfaatnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Jenis atau kelompok jenis yang
secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat dikategorikan ke dalam kelompok megabentos
yang bernilai ekonomis, sedangkan jenis atau kelompok jenis yang tidak dimanfaatkan secara
langsung oleh masyarakat dikategorikan ke dalam kemompok megabentos non-ekonomis.
Kelompok megabentos non-ekonomis dibedakan menjadi dua yaitu kelompok yang berperan
sebagai pemangsa polip karang dan kelompok megabentos yang potensial sebagai bioindikator.

Kelompok fauna yang masuk dalam kategori megabentos bernilai ekonomis tersebut secara
kontinu menjadi sasaran target tangkapan oleh masyarakat nelayan. Bernilai ekonomis dalam hal
ini bukan berarti hanya sebatas sebagai bahan baku pangan untuk dikonsumsi. Nilai ekonomis
juga dapat berupa sebagai komoditas untuk keperluan perdagangan biota hias, bahan pembuat
kerajinan, barang koleksi dan lainnya yang berkaitan dengan materiil. Kondisi demikian
menyebabkan populasi dan keberadaan kelompok megabentos ini di ekosistem terumbu karang
semakin terancam. Penangkapan biota-biota ekonomis secara berlebihan akan mengganggu
keseimbangan ekosistem. Selanjutnya, ketiadaan kelompok biota tersebut akan mengganggu
jaring-jaring dan rantai pakan serta transport energi. Kehadiran kelompok megabentos bernilai
ekonomis mengindikasikan bahwa karang di lokasi tersebut masih sehat, atau kalaupun karang
telah mengalami kerusakan, kondisi lingkungan cukup mendukung kehidupannya. Sebaliknya,
ketidakhadiran kelompok tersebut tidak selalu disebabkan oleh kondisi kesehatan karang atau
kondisi lingkungan karena ada faktor lain yang juga berperan, yaitu perburuan oleh nelayan
untuk dikonsumsi atau sebagai biota hias. Harganya yang terbilang mahal dan permintaan pasar
yang tinggi menjadikannya over eksploitasi di beberapa daerah.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 15


Kelompok fauna yang tidak bernilai ekonomis secara ekologis memiliki peran penting bagi
ekosistem. Kelompok megabentos non-ekonomis dibedakan menjadi dua yaitu kelompok yang
berperan sebagai pemangsa polip karang dan kelompok megabentos yang potensial sebagai
bioindikator.

Salah satu jenis megabentos yang bernilai ekologis tinggi sebagai pemangsa polip karang yang
terkenal adalah bintang laut bermahkota duri. Walaupun hanya ditemukan dalam jumlah yang
sangat kecil, namun hal ini patut diwaspadai mengingat begitu cepatnya pertumbuhan populasi
dari spesies ini. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun hanya ditemukan
dalam jumlah sedikit, dalam kurun waktu yang tidak begitu lama setelah itu bintang laut ini
sudah memberikan ancaman serius bagi kondisi karang. Kelompok lainnya yang juga sebagai
pemangsa polip karang adalah kelompok siput pemakan polip karang. Kelompok siput ini
memiliki kebiasaan memakan polip karang, terutama pada karang bercabang (terutama dari
kelompok Acropora dan Pocillopora) maupun karang masif (kelompok Porites) (Arbi, 2009).
Dalam jumlah sedikit kelompok siput ini memang tidak membawa dampak yang signifikan
terhadap kondisi karang, namun jika pada kondisi terjadi ledakan populasi (outbreaks) siput ini
besa berakibat fatal bagi kerusakan karang.

Penentuan jenis atau kelompok jenis megabentos yang menjadi target monitoring pada dasarnya
merupakan sesuatu yang dinamis. Pada awalnya terdapat 12 kategori megabentos yang menjadi
target monitoring, yaitu: Lobster, Banded Coral Shrimp, Acanthaster planci, Diadema setosum, Pencil
Sea Urchin, Large Holothurian (panjang > 20 cm), Small Holothurian (panjang <20 cm), Large
Giant Clams (panjang > 20 cm), Small Giant Clams (panjang < 20cm), Trochus niloticus, Drupella
spp. dan Mushroom Coral. Setelah dilakukan evaluasi dengan berpedoman pada berbagai
alasan, maka akhirnya jumlah jenis atau kelompok jenis megabentos yang menjadi target
monitoring dirampingkan menjadi delapan kategori. Beberapa kategori dihilangkan, beberapa
kategori diperluas cakupannya, dan terdapat beberapa kategori yang ditambahkan.

Beberapa kategori megabentos yang dihilangkan antara lain Banded Coral Shrimp dan
Mushroom Coral. Alasan utama penghapusan Banded Coral Shrimp adalah karena sangat jarang
ditemukan pada saat pengamatan di lapangan, sedangkan Mushroom Coral merupakan kategori
tersendiri dalam monitoring bidang karang. Beberapa kategori megabentos yang diperluas
cakupannya (direvisi) antara lain Diadema setosum, Pencil Sea Urchin, Large Holothurian, Small
Holothurian, Large Giant Clams, Small Giant Clams dan Trochus niloticus. Diadema setosum dan
Pencil Sea Urchin digabungkan dalam kategori baru menjadi Bulu Babi (Echinoidea) bersama
seluruh jenis bulu babi lain yang sebelumnya tidak dicatat dalam monitoring. Alasannya adalah
karena sulitnya mengidentifikasi bulu babi sampai ke tingkat jenis ketika masih di lapangan.

16 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Hal ini sangat riskan karena banyak jenis yang mirip secara morfologi, sedangkan identifikasi
sampai ke tingkat jenis hendaknya dilakukan di laboratorium. Large Holothurian dan Small
Holothurian disatukan dalam satu kategori menjadi teripang (Holothuroidea). Alasannya karena
pengukuran teripang pada dasarnya sulit dilakukan karena sifat dari tubuh teripang yang elastis
sehingga bisa memanjang dan memendek dalam waktu relatif singkat. Large Giant Clams dan
Small Giant Clams juga digabung menjadi satu kategori yaitu Giant Clams / Kerang Kima
(Tridacninae). Alasannya adalah bahwa ukuran kerang kima seringkali menjadi penciri dari
jenis kerang kima tertentu. Trochus niloticus (lola) digabungkan menjadi satu dengan jenis lain
dari kelompok keong trokha (Trochidae). Alasannya, seringkali terjadi salah identifikasi ketika
pengamatan di lapangan, yang seharusnya bukan lola dianggap sebagai lola. Padahal lola adalah
sebutan yang spesifik untuk keong yang merujuk pada single species Trochus niloticus. Sedangkan
bintang laut biru Linckia laevigata merupakan kategori baru dalam monitoring megabentos.
Bukan tidak mungkin di waktu yang akan datang akan ada perubahan kategori megabentos
yang menjadi target monitoring, dengan berbagai alasan. Namun sampai dengan saat ini yang
dijadikan sebagai target monitoring megabentos adalah delapan kategori. Kedelapan jenis atau
kelompok jenis megabentos target tersebut antara lain Teripang (Holothuroidea), Kerang
Kima (Tridacnincae), Keong Trokha (Trochidae), Udang Lobster (Paniluridae), Bintang Laut
Bermahkota Duri (Acanthaster planci), Siput Pemakan Polip Karang (Drupella spp.), Bulu Babi
(Echinoidea) dan Bintang Laut Biru (Linckia laevigata).

JUSTIFIKASI PENGELOMPOKAN MEGABENTOS TARGET MONITORING

i) Megabentos Bernilai Ekonomis

Teripang (Holothuroidea)

Ciri umum: Teripang biasanya berasal dari ordo Aspidochirotidae. Ordo ini memiliki
bentuk tubuh silindris atau seperti sosis dan tidak memiliki lengan. Mulut dan anus berada
ujung yang berlawanan, yaitu ujung anterior mulut dan ujung posterior anus. Pada genus
Actinopyga terdapat lima gigi di lubang anus. Podia terdapat di bagian dorsal (dorsal
papila) dan ventral (kaki tabung) (Samyn, 2003). Tentakel berada pada ujung mulut dan
berbentuk perisai. Teripang yang paling sering dipanen dari Indonesia berjumlah 54 jenis,
seperti: Actinopyga bannwarthi, A. caerulea, A. echinites, A. lecanora, A. mauritiana, A. miliaris, B.
argus, B. marmorta, B. similis, B. subrubra, B. tenuissima, B. vitiensis, Holothuria atra, H. coluber, H.
edulis, H. excellens, fuscopunctata, H. fuscogilva, H. hilla, H. impatiens, H. leucospilota, H. nobilis, H.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 17


Gambar 6. Beberapa jenis teripang yang umum ditemukan

ocelata, H. pervicax, H. scabra, H. similis, Pearsonothuria graeffei, Stichopus chloronotus, S. horrens, S.


herrmanni, S. monotuberculatus, S. noctivagus, S. pseudohorrens, S. vastus, Thelenota ananas, T. anax,
T. rubralienata, dan sebagainya (Setyastuti & Purwati, 2015).

18 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Habitat: Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan (food chain) di
daerah terumbu karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik (trophic
levels), berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi
(suspensifeeder) (Darsono, 2002). Teripang bisa ditemukan dari zona intertidal sampai laut
dalam. Habitat terumbu karang dapat berupa pasir, padang lamun, dan terumbu karang.
Teripang (holothurians) hidup pada substrat pasir, lumpur maupun dalam lingkungan
terumbu.

Nilai penting: Indonesia merupakan negara penghasil teripang yang terbesar di dunia
(Tuwo, 2004). Segala macam teripang biasanya menjadi petunjuk tentang kondisi perairan
dan tekanan antropogenik. Teripang adalah komoditi perikanan yang diperdagangkan
secara internasional, dan eksploitasinya telah berlangsung sejak ratusan tahun. Beberapa
catatan sejarah menunjukkan bahwa perdagangan teripang di Indonesia sudah dilakukan
sejak 300 tahun yang lalu (Purwati, 2005). Sampai saat ini negara tujuan ekspor utama
adalah Hongkong (China). Tujuan ekspor ke negara lainnya adalah Jepang, Korea, Taiwan,
Malaysia dan Australia (Tuwo, 2004). Teripang diketahui sebagai bahan makanan tradisional
yang diminati di beberapa negara di Asia karena kandungan zat-zat obat (medicinal properties),

Gambar 7. Jenis-jenis kima yang ditemukan di Indonesia

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 19


berkhasiat dalam proses penyembuhan (curative), dan diyakini mengandung zat untuk
meningkatkan vitalitas (aphrodisiac). Ancaman utama keberadaan teripang di alam justru
berasal dari tangkapan yang berlebih (over exploitation).

Kerang Kima (Tridacninae)

Ciri umum: Kerang kima termasuk dalam kelas Bivalvia (Pelechypoda), yaitu sebuah
kelompok hewan bertubuh lunak yang dilindungi oleh sepasang cangkang. Kerang kima
bernafas dengan insang yang berbentuk lembaran berlapis-lapis. Alat gerak berupa kaki
perut termodifikasi untuk menggali dasar perairan. Ukuran kerang kima bervariasi dari yang
kurang dari 10 cm (usia dewasa) hingga lebih dari 1 m, tergantung dari jenisnya. Bagian luar
cangkang ada yang berwarna putih dengan corak oreanye, ada pula yang berwarna krem
atau cokelat, dan seringkali ditutupi oleh algae. Bagian luar cangkang umumnya memiliki
ornamen seperti sisik, sedangkan bagian dalam permukaannya halus. Bagian mantel, yaitu
bagian lunak yang dapat dijulurkan dan dimasukkan ke dalam cangkang memperlihatkan
corak warna-warni yang indah. Pola warna tersebut terbentuk karena adanya simbiosis antara
kerang kima dengan zooxanthella, identik seperti yang terjadi pada karang. Zooxanthella
berperan dalam menyumbang sebagian nutrisi nutrisi yang dibutuhkan oleh kerang kima.
Kerang kima terdiri dari delapan spesies dalam dua genus dimana tujuh diantaranya dapat
ditemukan di Indonesia, yaitu Tridacna crocea, Tridacna maxima, Tridacna squamosa, Tridacna
derasa, Tridacna gigas, Hippopus hippopus dan Hippopus porcellanus (Arbi, 2009).

Habitat: Kerang kima biasanya jarang ditemukan berada di habitat dengan perairan yang
keruh, dan sebaliknya relatif mudah ditemukan di perairan yang jernih. Beberapa spesies
kerang kima hidup di substrat yang berupa batu dengan cara mengebor dan melekat pada
substrat keras tersebut (misalnya Tridacna crocea atau Tridacna maxima). Beberapa spesies
kerang kima lainnya ditemukan melekat kurang kuat di sela-sela karang bercabang dengan
semacam rambut yang disebut byssus (misalnya Tridacna squamosa atau Tridacna gigas).
Sedangkan beberapa spesies kerang kima lainnya hidup di atas substrat berpasir dan tidak
melekat pada substrat (misalnya Hippopus hippopus atau Hippopus porcellanus).

Nilai penting: Keberadaan kima memiliki tingkat keterancaman yang cukup tinggi karena
selain keberadaanya terutama di perairan dangkal yang mudah dijangkau, juga karena
tingginya pengambilan oleh nelayan. Kima memiliki nilai ekonomis tinggi, karena daging
dan cangkangnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dagingnya sangat laku dalam
perdagangan perikanan non ikan karena kelezatannya, sedangkan cangkangnya seringkali

20 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


dijadikan sebagai bahan baku kerajinan untuk souvenir. Masyarakat Amerika dan Eropa
menggemari berbagai jenis kima sebagai salah satu biota hias karena mantelnya yang
berwama-wami.

Gambar 8. Beberapa jenis kima yang umum ditemukan

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 21


Keong Trokha (Trochidae)

Ciri umum: Keong trokha secara umum berbentuk kerucut terbalik di mana bagian
punggung yang terletak di atas merupakan bagian yang runcing. Ukuran tubuh kelompok
keong trokha bervariasi dari yang berukuran kecil (kurang dari 1 cm) hingga yang
berukuran sedang (lebih dari 20 cm). Cangkang memiliki warna dasar putih krem dengan
beberapa variasi corak warna yang tersebar secara konsisten di bagian luar permukaan
cangkang. Umumnya bagian luar permukaan luar cangkang tertutup oleh makroalgae dan
mikroalgae sehingga menutupi hampir seluruh permukaan luar cangkang. Beberapa jenis
memiliki ornamen cangkang berupa duri atau tonjolan yang tersebar secara teratur pada
permukaan luar cangkang. Keong trokha terdisi dari berbagai macam genus, yaitu: Alcyna,
Agagus, Calliotrochus, Calthalotia, Cantharidella, Cantharidoscops, Cantharidus, Clelandella, Gibbula,
Jujubinus, Kanekotrochus, Komaitrochus, Nanula, Odontotrochus, Oxystele, Phasianotrochus, Phorcus,
Colummbonella, Enida, Labio, Omphalomargarites, Umbotrochus, Pictodiloma, Priotrochus, Prothalotia,
Pseudotalopia, Thalotia, Tosatrochus, Aphanotrochus, Caragolus, Elenchus, Gibbulastra, Korenia,
Mawhero, Micrelenchus, Neptheusa, Osilinus, Plumbelenchus, Scrobiculinus, Steromphala, Stigosella,
Trochinella, Trochocochlea, Chlorodiloma, Chrysostoma, Latona, Broderipia, Clydonochilus, Fossarina,
Minopa, dan masih banyak lagi. Sedangkan duan genus yang paling umum dan memiliki
ukuran tubuh paling besar adalah Trochus dan Tectus.

Habitat: Keong trokha sulit ditemukan karena biasanya hidup menyembunyikan diri di balik
karang pada siang hari. Hal ini sesuai dengan sifat hidupnya yang lebih aktif pada malam
hari atau nokturnal. Jenis keong ini biasanya hidup di antara patahan karang, karang mati dan
celah karang pada terumbu karang daerah intertidal sampai subtidal dangkal (Arbi, 2009).
Kondisi perairan yang keruh dan karang yang tumbuh umumnya bukan merupakan jenis
karang yang ideal sebagai tempat persembunyian keong tersebut diduga berperan terhadap
minimnya jumlah keong trokha yang dapat ditemukan di dalam transek. Faktor lain yang
menyebabkan sulitnya menemukan biota ini adalah aktivitas penangkapan oleh nelayan.

Nilai penting: Keong trokha merupakan kelompok herbivora dan detritivora yang bersifat
nokturnal atau lebih aktif di malam hari. Nelayan biasanya menjadikan biota ini sebagai
salah satu target tangkapan sampingan nelayan karena memiliki harga daging maupun
cangkang yang cukup mahal. Keong trokha dikenal sejak dahulu oleh masyarakat nelayan
karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Di samping dagingnya dapat dimakan, cangkangnya
selain sebagai bahan baku pembuatan kancing baju dan perhiasan, juga sebagai media
perangsang pembentukan mutiara pada budidaya kerang mutiara.

22 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Gambar 9. Beberapa jenis keong tokha yang umum ditemukan

Lobster

Ciri umum: Lobster mempunyai bentuk yang lebih besar dibanding dengan udang niaga
lainnya. Udang ini mempunyai bentuk badan memanjang, silindris, kepala besar ditutupi

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 23


Gambar 10. Beberapa jenis lobster yang umum ditemukan

karapas berbentuk silindris, keras, tebal dan bergerigi serta memiliki capit (chelae) besar yang
pinggirnya bergerigi tajam, berfungsi untuk meyobek dan menghancurkan makanan. Warna
karapas udang lobster bervariasi tergantung dari jenisnya, yaitu dari hijau gelap, cokelat
kemerahan, cokelat gelap, cokelat kebiruan, abu-abu kehijauan, hijau kekuningan, hitam

24 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


kebiruan, bahkan agak keputih-putihan. Bagian kepala udang lobster memiliki duri-duri
yang tersebar secara teratur dengan warna kontras dengan warna karapas. Ukuran tubuh
udang lobster juga bervariasi tergantung dari jenisnya. Ciri yang paling menonjol dari udang
lobster adalah adanya sepasang antenna yang berukuran panjang, seringkali panjangnya
mencapai tiga atau empat kali panjang tubuh, bahkan lebih. Di Indonesia dikenal ada 6 jenis
udang karang dari marga Panulirus yaitu: Panulirus homarus, Panulirus longipes, Panulirus ornatus,
Panulirus penicillatus, Panulirus polyphagus dan Panulirus versicolor. Udang karang mempunyai
sebaran yang berbeda dan mendiami habitat yang berbeda.

Habitat: Lobster hidup pada perairan terumbu karang mulai dari daerah yang dangkal
sampai yang dalam. Lobster biasanya sulit ditemukan karena beberapa hal yang berkaitan
dengan sifat ekologinya. Pertama, lobster bersifat nokturnal atau aktif di malam hari,
sedangkan pengamatan dilakukan di siang hari. Kedua, lobster umumnya hidup di perairan
yang relatif jernih dengan masa air yang dinamis. Ketiga, lobster lebih menyukai hidup
di tebing atau karang berbentuk boulder sebagai tempat persembunyiannya. Umumnya
bersifat sebagai hewan nocturnal dan hidup berkelompok. Udang dewasa jenis ini lebih
menyukai perairan yang jernih, sedangkan yang lebih muda lebih dapat mentolerir air yang
lebih keruh.

Nilai penting: Lobster semakin jarang ditemukan karena permintaan komoditas tersebut
cukup tinggi. Permintaan lobster terus meningkat sehingga nelayan terus berupaya
menangkap lobster dari alam (Setyono, 2006).

ii). Megabentos Ekologis Penting (Non-Ekonomis)

- Sebagai Pemakan Polip Karang

Bintang Laut Bermahkota Duri (Acanthaster planci)

Ciri umum: Acanthaster planci merupakan bintang laut yang memiliki banyak lengan dan
pada setiap lengan maupun pada lempeng tubuhnya diselubungi oleh duri beracun. Bintang
laut bermahkota duri memiliki warna umum kelabu kemerahan (tipe Samudera Pasifik), di
beberapa tempat berwarna biru keunguan (tipe Samudera Hindia). Di beberapa lokasi di
Australia dilaporkan bahwa di satu lokasi terdapat Acanthaster planci dari kedua tipe tersebut.

Habitat: Acanthaster planci hidup di daerah terumbu karang, mengikuti pola distribusi karang
sebagai makanannya, dan kehidupannya sangat tergantung pada pertumbuhan karang atau
di bawah bongkahan karang mati dengan preferensi makanan berupa mikroalgae. Juvenil

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 25


Gambar 11. Beberapa tipe karang yang menjadi mangsa Acanthaster planci

bintang laut ini bersembunyi di celah-celah karang. Ikan buntal dan triggerfish serta triton
terompet dikenal sebagai pemangsa bintang laut ini, dan juga udang kecil jenis Hymenocera
picta yang memangsa juvenile bintang laut ini.

26 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Nilai penting: Bintang laut jenis ini memangsa polip pada terumbu karang, terutama karang
yang bercabang atau berbentuk seperti meja, seperti jenis-jenis Acropora. Jika populasi
jenis ini sangat padat, mereka akan memakan karang siang dan malam. Hal tersebut
mengakibatkan ancaman bagi karang hidup. Pada kondisi yang tertekan, Acanthaster planci
akan mempercepat proses pematangan gonad dan segera melakukan pemijahan dengan
mengeluarkan telur dalam jumlah besar (Setyastuti, 2010). Di samping itu, bintang laut
bermahkota duri dapat meregenerasi diri menjadi individu baru yang utuh dari potongan
tubuh karena tercabik. Spesies ini juga diketahui memiliki umur larva planktonik yang relatif
lama yang memungkinkan untuk menyebar luas ke seluruh dunia mengikuti pola arus.
Dengan kata lain, walaupun pada suatu lokasi tidak ditemukan bintang laut bermahkota duri
ini, bukan berarti bebas dari ancaman pemangsaan. Bisa jadi, pada lain waktu arus membawa
larva Acanthaster planci ke tempat tersebut karena perairan laut di seluruh dunia terkoneksi
satu sama lain. Dan akhirnya pemakan polip karang ini akan tumbuh dan berkembang biak
setelah menemukan habitat yang cocok. Disisi lain, tidak adanya predator alaminya juga
menjadi faktor yang layak dikhawatirkan. Siput Charonia tritonis atau triton dan Casis cornuta
atau siput kepala kambing merupakan predator alami dari Acanthaster planci.

Siput Pemakan Polip Karang (Drupella spp.)

Ciri umum: Siput pemakan karang Drupella spp. secara umum memiliki bentuk dasar oval.
Ukuran tubuh kelompok siput Drupella spp. tidak banyak bervariasi, yaitu dengan ukuran
antara 1 – 3 cm, kebanyakan berukuran kurang dari 2 cm. Cangkang memiliki warna
dasar cokelat kehitaman dengan beberapa variasi corak garis warna yang tersebar secara
konsisten di bagian luar permukaan cangkang. Umumnya bagian luar permukaan luar
cangkang tertutup oleh makroalgae dan mikroalgae sehingga menutupi hampir seluruh
permukaan luar cangkang. Beberapa jenis memiliki ornamen cangkang berupa duri atau
tonjolan yang tersebar secara teratur pada permukaan luar cangkang. Siput pemakan polip
karang Drupella terdiri dari enam jenis, yaitu Drupella cornus, Drupella eburnea, Drupella fragum,
Drupella margariticola, Drupella minuta dan Drupella rugosa. Semua jenis siput pemakan polip
karang tersebut dapat ditemukan di Indonesia, namun yang paling umum diketahui sebagai
pemakan polip karang adalah Drupella cornus dan Drupella rugosa.

Habitat: Drupella spp. merupakan kelompok siput yang memiliki kebiasaan memakan polip
karang, terutama pada karang bercabang (terutama dari kelompok Acropora dan Pocillopora)
maupun karang masif (kelompok Porites) (Arbi, 2009). Namun demikian, terlihat siput ini
juga memakan polip karang pada jenis karang dengan tipe pertumbuhan karang submasif

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 27


Gambar 12. Jenis siput Drupella yang umum ditemukan (kiri: D. cornus, kanan: D. rugosa)

maupun karang daun. Kadang, siput ini juga memakan mikroalgae yang tumbuh di atas
substrat keras. Dalam jumlah sedikit kelompok siput ini memang tidak membawa dampak
yang signifikan terhadap kondisi karang, namun jika pada kondisi terjadi ledakan populasi
(outbreaks) siput ini besa berakibat fatal bagi kerusakan karang. Tingginya populasi siput
Drupella di suatu lokasi kemungkinan juga terkait dengan over fishing di lokasi tersebut.
Beberapa kelompok ikan (triggerfish, porcupinefish, wrasses, snappers dan emperor breams)
merupakan predator alami bagi siput parasit Drupella spp, namun jumlahnya di alam semakin
menurun karena penangkapan berlebih.

Nilai penting: Pada dasarnya, secara ekologis keong pemakang polip karang ini memiliki
peran sebagai pengendali alami bagi keseimbangan ekosistem terumbu karang. Akan tetapi
pengaruh yang ditimbulkan akan cukup signifikan dalam mematikan karang apabila hadir
dalam agregasi yang relatif besar. Ledakan populasi Drupella spp. pernah menyebabkan
kematian massal karang di Great Barier Reef, Australia (Turner,1994). Beberapa teori
mengatakan bahwa ledakan populasinya berkaitan dengan fenomena global, misalnya
ENSO (El Nino Southern Oscillation), perubahan salinitas dan perubahan suhu.

28 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Gambar 13. Beberapa tipe karang yang menjadi mangsa siput Drupella spp.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 29


- Potensial Sebagai Bioindikator

Bulu babi (Echinoidea)

Ciri umum: Bulu babi atau landak laut adalah sebutan umum untuk anggota kelas Echinoidea
(filum Ekhinodermata) yang umum jumpai di wilayah laut Indonesia dengan penyebaran
yang luas, mulai perairan laut tropis hingga laut di daerah kutub dan ditemukan mulai daerah
pasang-surut hingga kedalaman 5000 meter (Vimono, 2007; Follo dan Fautin, 2001). Bulu
babi merupakan anggota kelas Echinoidea (filum Ekhinodermata) yang memiliki duri
diseluruh permukaan tubuhnya. Hewan ini memiliki endoskeleton yang terbuat dari kapur
serta memiliki system gigi yang disebut lantera Aristoteles. Duri duri di tubuh bulu babi
adalah magnesium dan calsium karbonat dengan komposisi 2-25 mol persen ion magnesium
dan 75-98 mol persen ion kalsium (Howey, 2005; Holmes dan Farley, 2006).

Habitat: Bulu babi menempati berbagai habitat di laut kecuali pada estuaria. Bulu babi dapat
ditemukan di padang lamun, di bebatuan, di terumbu karang dan substrat pasir, baik di pasir
di laut dangkal maupun di laut dalam. Bulu babi merupakan bagian dari ekosistem terumbu
karang dan memiliki peran sebagai grazer. Bulu babi sering dijumpai secara berkelompok
maupun soliter, terantung pada jenis dan habitatnya (Aziz, 1994). Disiang hari, anggota
marga Diadema sering berkelompok membuat agregasi yang kecil hingga besar tergantung
kepadatannya, namun dalam jumlah sedikit akan cenderung bersembunyi di balik karang
maupun bebatuan. Anggota marga Echinostrephus dan Echinometra mathaei ditemui hidup
didalam lubang di bebatuan dan keluar dari lubangnya pada waktu malam hari. Contoh lain
dari habitat bulu babi Colobocentrotus atratus yang hidup pada tebing-tebing daerah pantai
berbatu (Miskelly, 2002). Bulu babi terutama jenis Diadema setosum yang ditemukan dalam
jumlah banyak pada suatu ekosistem terumbu karang menunjukkan bahwa karang di wilayah
tersebut dalam kondisi tidak sehat. Kehadiran bulu babi dalam jumlah besar mengindikasikan
karang yang tidak sehat (Vimono, 2007). Diadema setosum memakan algae yang tumbuh pada
karang yang telah mati. Bulu babi secara umum merupakan grazer (algae feeder).

Nilai penting: Kehadiran bulu babi pada dasarnya berperan dalam membersihkan algae di
ekosistem terumbu karang, sehingga memungkinkan karang untuk tumbuh setelah substrat
dibersihkan. Pada lokasi yang terumbu karang yang telah mengalami kerusakan tetapi tidak
terdapat bulu babi umumnya banyak ditumbuhi oleh algae. Berbeda kondisinya jika di lokasi
tersebut banyat terdapat bulu babi, pertumbuhan algae akan dikontrol sehingga kesempatan
karang untuk melakukan pemulihan (recruitment) lebih tinggi. Bulu babi merupakan biota

30 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Gambar 14. Beberapa jenis bulu babi yang umum ditemukan

dengan potensi nilai ekonomi yang tinggi terutama di luar negeri seperti Jepang. Di
kepulauan nusantara landak laut juga dikenal oleh masyarakat sebagai bahan makanan
dengan pengolahan tradisional. Harga satu kilogram uni di Jepang berkisar antara 50 sampai
$ 500 US, tergantung warna dan teksturnya (Kurnia, 2006). Telur landak laut memiliki nilai

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 31


gizi yang tinggi dengan nilai protein dalam berat basah antara 7,04-8,20% dan nilai protein
dalam berat kering antara 51,80-57,80%, nilai lemak dalam berat basah antara 1,14-1,35%
dan nilai lemak dalam berat kering antara8,53-9,36% (Chasanah & Andamari, 1998 dalam
Radjab, 2001).

Bintang Laut Biru (Linckia laevigata)

Ciri umum: Bintang laut jenis ini memiliki variasi warna gelap atau biru terang, meskipun di
air tampak ungu atau jingga. Hewan ini dapat tumbuh sampai berdiameter 30 cm, dengan
ujung membulat pada tiap lengan. Pada umumnya memiliki tekstur keras, memiliki sedikit
tubular, lengan yang memanjang, dan biasanya memiliki kaki tabung yang pendek dan
berwarna kuning.

Habitat: Bintang laut ini ditemukan berasosiasi dengan berbagai tipe pertumbuhan karang
maupun di atas substrat pasir maupun batu. Jenis ini hidup di area pasang surut (intertidal)
dan area yang selalu tergenang (subtidal). Hewan ini juga merupakan penghuni umum
terumbu karang yang banyak tersebar di kawasan indo-pasifik. Beberapa penghuni terumbu
karang memangsa bintang laut. Berbagai jenis siput triton, udang harlequin dan bahkan
beberapa anemon laut diamati memangsa semua bagian bintang laut. Hewan jenis ini juga
sering terkena parasit dari gastropoda, Thyca crystallina. Bintang laut termasuk populer oleh
para penggemar aquarium laut, meskipun membutuhkan aklimatisasi yang lama sebelum
dimasukkan ke dalam aquarium. Hewan ini merupakan hewan detritus yang memakan
bahan organik yang ada di dasar aquarium. Berdasarkan hal tersebut, jenis ini tetap populer.
Selain dipelihara di aquarium, jenis ini juga sering dijual sebagai hiasan bintang laut kering
di pasaran.

Nilai penting: Kekehadiran maupun ketidakhadiran serta peran dari bintang laut biru
Linckia laevigata bagi terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun
biota ini berpotensi sebagai bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain
tidak dimanfaatkan oleh nelayan sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini
sebarannya merata di seluruh perairan tropis.

32 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Gambar 15. Beberapa variasi warna dan tipe habitat Linckia laevigata

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 33


34 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS
Pengolahan Dan 5
Analisa Data

Datum (jamak: data) dalam bahasa latin berarti “sesuatu yang diberikan”, sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesa, data adalah keterangan yang benar dan nyata. Arti lain dari
data adalah catatan berulang atau keterangan atas fakta yang berupa angka, huruf atau lambang
(Saefuddin et al., 2009; Zulfikar & Budiantara, 2015). Untuk memiliki makna dalam memberikan
suatu interpretasi, maka data harus diolah dan dianalisis.

Pengolahan data adalah pemroses/manipulasi data kedalam bentuk yang teratur atau terencana
sehingga dapat memberi informasi dan berguna sesuai hasil yang diinginkan. Data yang diperoleh
dalam penelitian dapat berupa angka yang perlu diolah dengan aplikasi tertentu. Aplikasi untuk
mempermudah pengolahan data tersebut lebih dikenal dengan sebutan Spreadsheet. Diantara
Spreadsheet yang sering dipakai adalah Microsoft Excel. Di dalam Microsoft Excel, data dapat diinput
dan disusun dalam tabulasi untuk keperluan lebih lanjut. Pada Spreadsheet seperti Microsoft Excel,
terdapat dua jenis data, yaitu data label dan data value. Data label berupa text yang terdiri atas
huruf, angka maupun symbol yang tidak akan digunakan dalam operasi matematika. Data value
merupakan data yang dapat digunakan untuk operasi matematika, baik berupa angka (data
numeric) maupun rumus (formula). Data label dapat dimasukkan sebagai keterangan atau label
dari seperangkat data numeric ataupun formula yang sejenis.

Input data menggunakan Spreadsheet merupakan langkah awal dimana data dimasukkan secara
manual dengan format tabulasi tertentu. Format tabulasi tersebut disusun untuk memudahkan
pengelompokan data dan memudahkan interpretasinya. Data label atau data string merujuk
pada keterangan stasiun dan nama kelompok megabentos, sedangkan data jumlah individu
megabentos merupakan data value. Data yang sudah diolah dalam bentuk tabulasi khusus
memberikan peluang untuk analisis data secara lanjut, seperti jumlah/total individu/sampel
menggunakan formula/rumus penjumlahan.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 35


Gambar 16. Contoh data yang di input dan analisis jumlah dalam tabulasi Microsoft Excel (Gambar : IB
Vimono)

Kelimpahan (abundance) (Harvey, 2008) megabentos dapat dihitung dengan menggunakan


rumus sebagai berikut

Contoh:

Jumlah teripang pada stasiun TTEC01 sebanyak 5 individu, sehingga

Kepadatan teripang di stasiun TTEC01 sebanyak 0,04 ind/m2.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, analisi data berarti penelaahan dan penguraian data
hingga menghasilkan simpulan. Analisis data adalah kegiatan analisis mengategorikan data
untuk mendapatkan informasi berupa pola hubungan, tema, menafsirkan apa yang bermakna,
serta menjawab permasalahan penelitian. Tujuan Analisis Data yaitu untuk mengungkapkan
data apa yang masih perlu dicari, hipotesis apa yang perlu diuji, pertanyaan apa yang perlu
dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru dan kesalahan
apa yang harus segera diperbaiki.

36 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Gambar 17. Penyajian hasil analisis data berupa grafik Jumlah dan persentase (Gambar: IB Vimono)

Gambar 18. Contoh penyajian data kehadiran megabentos tiap stasiun pada suatu lokasi

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 37


Gambar 19. Contoh penyajian data fluktuasi kehadiran megabentos selama tiga tahun

Teknik analisis data dalam penelitian ada dua, yaitu teknik analisis data deskriptif dan teknik
analisis data inferensial. Teknik analisis data secara deskriptif dilakukan melalui statistika
deskriptif dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat generalisasi hasil penelitian. Contoh analisis
data statistik deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase,
frekuensi, perhitungan mean, median atau modus. Sementara itu teknik analisis data inferensial
dilakukan dengan statistik inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data
dengan membuat kesimpulan yang berlaku umum

38 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Penyusunan 6
Laporan

Laporan (report) dalam kamus oxford berarti sebuah benda yang diberikan untuk hal
tertentu, terutama dalam bentuk dokumen resmi, setelah penyelidikan menyeluruh atau
dipertimbangkan oleh orang atau badan yang ditunjuk. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Laporan artinya adalah segala sesuatu yang dilaporkan, atau berita. Maka
dapat dikatakan bahwa laporan merupakan berita hasil penyelidikan dari yang berkepentingan
dan dapat berupa dokumen resmi. Laporan merupakan tahap akhir dalam sebuah proses
kegiatan yang menyajikan data yang disusun secara sistematik dan logik. Demikian halnya
laporan untuk kegiatan pemantauan kondisi megabentos, merupakan sebuah laporan lengkap
dari kegiatan pemantauan setelah kegiatan berakhir sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah
yang bersifat administratif. Karena berupa laporan ilmiah, maka laporan kegiatan pemantauan
kondisi megabentos berisi perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, pelaporan, pemanfaatan
dan publikasi, serta evaluasi kegiatan. Laporan yang disusun sudah seharusnya memegang
prinsip kejujuran, etika dan kaidah ilmiah, mengacu pada data dan hasil pengamatan, serta
disajikan dalam bahasa yang baik dan benar. Setiap laporan juga dituntut harus memperhatikan
pemahaman teori dan konsep, bahan pustaka dan acuan yang sahih, kelengkapan data, serta
analisis data yang sesuai dengan tujuan kegiatan.

ELEMEN DALAM LAPORAN


Secara garis besar, elemen laporan akhir penelitian disusun menurut urutan sebagai berikut: 1)
Judul Penelitian, 2) Kata Pengantar, 3) Ringkasan Eksekutif, dibuat apabila hasil penelitian
bisa memberikan masukan untuk kebijakan dan program, 4) Abstrak, 5) Daftar Isi, 6) Daftar
Tabel/Gambar/Grafik/Peta, 7) Daftar Lampiran. 8) Isi laporan. Laporan kegiatan yang
standar umumnya diketik 1,5 spasi di kertas putih ukuran A4 (212 x 297 mm) dengan
bagian tepi (margin) kiri dan bawah minimal 3,0 cm, tepi kanan dan atas 2,5 cm, dengan
jenis huruf Times New Roman (font 12), dan dibuat hanya pada satu halaman, tidak bolak
balik. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan, dimulai dari kata pengantar

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 39


dengan menggunakan angka Romawi kecil (contoh i, ii, iii dan seterusnya), sedangkan mulai
pendahuluan menggunakan angka Arabik (contohnya 1, 2, 3 dan seterusnya). Penulisan nomor
halaman pada bagian tengah bawah sampai pada Daftar Pustaka.

Judul Laporan
Halaman judul berisi: Bagian atas: laporan akhir penelitian dan judul penelitian; Bagian tengah:
nama penyusun laporan (hanya peneliti yang terlibat dalam penulisan laporan); Bagian bawah:
nama dan alamat instansi, serta tahun penulisan laporan. Judul laporan penelitian harus sesuai
dengan judul di dalam dokumen protokol. Walaupun demikian, judul laporan penelitian
bisa berubah karena suatu hal yang tidak dapat dielakkan, dan harus dijelaskan dalam kata
pengantar dan pendahuluan. Tuliskan nama penyusun yang ber tanggung jawab dalam
penulisan laporan penelitian.

Ringkasan Eksekutif / Kata Sambutan


Ringkasan eksekutif atau kata sambutan merupakan bagian dari laporan penelitian yang
ditujukan untuk para pengambil keputusan serta diletakkan di halaman paling depan sesudah
halaman muka. Ringkasan eksekutif adalah laporan singkat hasil penelitian teknis/ilmiah yang
disajikan dalam “bahasa eksekutif”. Di dalam ringkasan eksekutif tidak ada tabel, grafik, dan
kepustakaan. Jumlah halaman sekitar 2-3 halaman, yang memuat: Judul dan nama penyusun,
Latar belakang dan tujuan, Hasil utama dan relevansi, Kesimpulan dan saran yang mempunyai
implikasi bagi pengelola program. Ringkasan eksekutif hanya ditulis untuk penelitian yang
hasilnya dapat dimanfaatkan oleh pengelola program.

Kata Pengantar
Kata pengantar berfungsi untuk menjelaskan secara singkat maksud laporan penelitian, topik
penelitian, manfaat hasil penelitian dan ucapan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung
penelitian dan sumber pembiayaan. Jika ada perubahan judul, maka harus dijelaskan di dalam
kata pengantar.

Daftar Isi
Daftar isi berfungsi sebagai panduan untuk memudahkan pembaca menemukan berbagai Bab,
bila diperlukan gunakan Sub-bab yang dikehendaki.

Daftar Tabel/Gambar/Grafik/Peta
Seperti halnya daftar isi, bagian ini berfungsi sebagai panduan untuk memudahkan pembaca
menemukan berbagai tabel atau gambar atau grafik atau peta yang dikehendaki.

40 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Daftar Lampiran
Bagian ini juga berfungsi sebagai panduan untuk memudahkan pembaca menemukan berbagai
lampiran yang dikehendaki.

Isi Laporan Kegiatan


Isi utama dari laporan kegiatan terdiri dari: 1) Judul, 2) Abstrak, 3) Pendahuluan, 4) Metode,
5) Hasil dan Pembahasan, 6) Kesimpulan dan Saran, 7) Ucapan Terima Kasih, dan 8), Daftar
Pustaka 9) dan 10) Lampiran.

ISI LAPORAN KEGIATAN PEMANTAUAN

Pendahuluan
Pendahuluan merupakan bagian pertama yang ditulis dalam suatu laporan yang berisi tentang
dasar pemikiran mengapa suatu kegiatan diperlukan serta memuat tujuan dari kegiatan tersebut.
Bagian ini berisi uraian yang memberikan gambaran ringkas mengenai laporan yang meliputi
latar belakang dan tujuan kegiatan. Penulisan bagian pendahuluan sebagian sudah dilakukan
pada waktu menulis rencana penelitian, sehingga pada waktu penulisan laporan, tim peneliti/
penulis hanya menambah data dan informasi yang masih kurang atau memodifikasi tulisan
sesuai dengan perkembangan hasil penelitian di lapangan. Latar belakang berisi uraian yang
menerangkan: apa permasalahan yang menjadi topik penelitian, alasan mengapa penelitian
ini penting untuk dilakukan, siapa yang menjadi subjek penelitian, dimana dan kapan
penelitian ini dilakukan. Latar belakang didasarkan pada data dan informasi yang diperoleh
dari tinjauan kepustakaan dan sumber primer. Umumnya latar belakang diletakkan pada bagian
pertama laporan kegiatan. Tujuan kegiatan biasanya ditulis secara umum yang menerangkan
garis besar tujuan penelitian. Agar pembaca dapat memahami maksud penelitian, tujuan ditulis
secara lebih rinci atau spesifik sesuai dengan keperluan.

Metode
Bagian Metode merupakan penjabaran tentang cara, langkah-langkah atau bagaimana data
didapatkan. Bagian ini menguraikan apa dan bagaimana cara mengumpulkan data dan informasi.
Pada bagian ini di kemukakan metode pengumpulan data, termasuk metode kuantitatif (survey),
metode kualitatif (wawancara dan diskusi kelompok). Selain itu juga dijelaskan parameter dan
variabel data yang dikumpulkan. Posisi koordinat dan peta disertakan sebagai dokumentasi
atau arsip yang sewaktu-waktu dapat dilihat kembali jika akan dilakukan pengamatan ulang
(monitoring). Penulisan bagian ini sudah dilakukan pada waktu membuat rencana kegiatan.
Penulis menambahkan keterangan yang masih kurang atau memodifikasinya sesuai dengan

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 41


kondisi yang dialami di lapangan. Metoda diuraikan secara jelas dan sistematis sesuai dengan
protokol. Apabila ada perubahan yang dilakukan atau penyimpangan dari protokol atau desain
kegiatan semula, perlu dijelaskan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
maupun administrasi.

Hasil dan Pembahasan


Hasil dan pembahasan merupakan bagian laporan yang menyebutkan tentang informasi dari
suatu hasil monitoring megabentos dan menjawab tujuan dari kegiatan monitoring tersebut.
Hasil penelitian harus disajikan secara sistematis untuk mencapai tujuan dan diberi keterangan
jelas mengapa hipotesis penelitian (bila ada) ditolak atau diterima. Penyajian hasil penelitian
dapat dilengkapi dengan tabel, grafik dan gambar, atau narasi verbatim (penuturan dari
responden) untuk mendukung dan saling melengkapi, diuraikan secara naratif. Narasi untuk tabel
hanya memberi penekanan hasil pengamatan yang penting, tidak merupakan pengulangan
tabel. Tabel dibuat dengan spasi ganda. Penomoran tabel sesuai dengan urutan penampilan
dalam laporan. Judul tabel singkat dan informatif. Penjelasan lebih lanjut ditempatkan pada
catatan kaki di bawah tabel, bukan pada judul. Singkatan dalam tabel dijelaskan pada catatan
kaki dengan menggunakan simbol secara berurutan sebagai berikut: *, ¶, §, **, †, ††, Judul tabel
diletakkan di atas tabel dan judul atau keterangan gambar diletakkan dibawah gambar. Hasil
penelitian yang bersifat rahasia (untuk pengajuan hak paten, masalah yang menimbulkan
keresahan sosial, masalah yang menyangkut rahasia negara, dan sebagainya) diperlakukan secara
khusus untuk kalangan terbatas.
Pembahasan hasil dimaksudkan untuk mengemukakan analisis terhadap hasil/ temuan yang
diarahkan untuk mendapatkan kesimpulan guna memenuhi tujuan penelitian. Dalam bagian
ini perlu dilakukan interpretasi terhadap hasil/temuan yang diperoleh. Pembahasan dapat
menyajikan: deskripsikan mengenai lokasi pengamatan per stasiun agar mengetahui kondisi
yang sebenarnya dilapangan; analisis mendalam terhadap hasil penelitian yang diperoleh untuk
menjawab pertanyaan penelitian atau hipotesis yang dirumuskan untuk setiap bidang penelitian,
dapat berupa grapik, photo atau yang lainnya; pembandingan antara hasil yang diperoleh
dengan masalah yang akan dipecahkan; pembandingan dengan hasil penelitian sebelumnya dan
referensi yang dibaca; keterbatasan hasil penelitian dalam menjawab pertanyaan penelitian.

Kesimpulan dan saran / rekomendasi


Kesimpulan merupakan bagian puncak dari penulisan laporan. Pada bagian ini penulis
merangkum semua hasil penelitian dan menuangkannya dalam bentuk poin-poin atau hasil-
hasil pokok, sehingga pembaca dapat dengan cepat mengetahui hasil penelitian. Kesimpulan
idealnya mencerminkan tujuan penelitian dan hasil analisis dari data empirik yang ditemukan

42 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


di lapangan. Saran atau rekomendasi hasil penelitian hendaknya terkait dengan kesimpulan
dan implikasinya. Perlu dijelaskan apakah saran tersebut ditujukan kepada masyarakat umum,
pengelola program dan ilmiah. Juga harus dituliskan implikasinya, apakah pada implikasi
kebijakan, implikasi peningkatan kualitas permodelan/program, formula, paten dan sebagainya.
Kesimpulan dan saran sebaiknya ditulis sesuai urutan tujuan khusus dan umum.

Ucapan terima kasih


Ucapan terimakasih merupakan suatu tambahan yang penting untuk menyebutkan stake holder
pendukung dari kegiatan serta menjadi pengakuan atas kontribusi stake holder. Ucapan terima
kasih adalah penghargaan yang diberikan kepada penyandang dana, perorangan dan institusi
yang telah membantu penelitian dan mereka yang memungkinkan terlaksananya penelitian
anggota tim peneliti. Ucapan terima kasih sedapat mungkin dituliskan dengan jelas (nama
dan institusi). Tidak perlu menyebutkan semua nama yang telah memberi kontribusi atas
terlaksananya penelitian tersebut, cukup yang penting saja.

Daftar Pustaka
Adapun semua referensi yang digunakan di satukan dalam suatu daftar pustaka yang disusun
ringkas sesuai kaidah yang berlaku atau mengikuti kaidah umum dalam penulisan ilmiah.
Daftar pustaka memuat semua bahan dan materi yang disitir/digunakan penulis melalui sumber
sekunder atau kepustakaan, seperti: buku, dokumen, monografi, prosiding dan artikel. Sedangkan
lampiran mencantumkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tetapi tidak dapat atau
kurang tepat untuk dimasukkan dalam isi laporan, seperti: instrumen penelitian (kuesioner dan
panduan wawancara).

Lampiran
Laporan akhir penelitian, dapat dilengkapi dengan data atau berbagai tabel dan gambar
penting yang dapat dimanfaatkan untuk menelusuri kembali hasil penelitian tersebut, apabila
diperlukan. Kelengkapan berbagai data dan/atau tabel penting tersebut dapat disertakan sebagai
lampiran dalam dokumen laporan akhir. Selain itu, apabila perlu untuk melengkapi laporan
penelitian dapat juga dilampirkan berbagai teknik, perhitungan, atau rumus yang digunakan,
dan berbagai keterangan lain yang dianggap perlu sebagai informasi. Lampiran diberi nomor
urut lampiran dan apabila ada lampiran yang terdiri lebih dari satu halaman harus diberi nomor
halaman sendiri.

Penyusunan laporan sebaiknya dilakukan secara kelompok dengan membentuk tim terlebih
dahulu, dimana setiap anggota tim mendapatkan tugas sesuai dengan porsi yang telah ditentukan.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 43


Pembagian tugas anggota tim dalam penulisan laporan bertujuan untuk menghindari tumpang
tindih dalam penulisan, mengurangi penumpukan tugas pada anggota tertentu saja dan
memudahkan koordinasi antar anggota tim penulis. Penyusunan laporan akan semakin baik
apabila diagendakan untuk mendiskusikan dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai
dalam rentang waktu yang disepakati. Jika memungkinkan dan jika diperlukan, kehadiran
nara sumber yang kompeten akan sangat bermanfaat demi kesempurnaan substansi laporan.
Selain itu, sebelum finalisasi laporan, peran seorang editor dan layouter sangat menentukan
penampilan dari laporan yang dihasilkan.

44 PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS


Daftar Pustaka

Harvey, J.T. (2008) Abundance. Encyclopedia of Ecology (ed. by S.E.J. Fath and D. Brian), pp. 4-10.
Academic Press, Oxford.

Loya, Y. (1978) Plotless and transect methods. Coral reefs: research methods (ed. by D.R. Stoddart
and R.E. Johannes), pp. 197-217. UNESCO, Paris.

Munro, C. (2013) Diving. Methods for the Study of Marine Benthos (ed. by A. Eleftheriou), pp. 125-
173. John Wiley & Sons, Ltd.

Salm, R.V., Clark, J.R. & Siirila, E. (2000) Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners
and Managers, Third Edition edn. IUCN, Gland, Switzerland.

Sastrapradja, D., Adisoemarto, S., Kartawinata, K., Sastrapradja, S. & Rifai, M.A. (1989)
Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Puslitbang Bioteknologi LIPI,
Jakarta.

Sediadi, A. (1999) Pemantauan keanekaragaman hayati di terumbu karang. Prosiding


Seminar tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut dalam Rangka Penghargaan kepada Prof. Dr.
Aprilani Soegiarto, M.Sc., APU (ed by, pp. 205-210.

PANDUAN PEMANTAUAN MEGABENTOS 45

Anda mungkin juga menyukai