Anda di halaman 1dari 11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Perikanan

Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua

kelompok, yaitu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) yang

terhabiskan (ekhaustable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Sumberdaya

yang termasuk dalam kelompok sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti

sumberdaya mineral, logam, minyak dan gas bumi. Sedangkan jenis sumberdaya

yang termasuk ke dalam kelompok yang dapat diperbaharui adalah ikan (Fauzi,

2006).

Sumberdaya perikanan sering dikemukakan sebagai wadah bersama

(common pool resources) yaitu sumberdaya yang berada pada suatu wadah atau

ekosistem dimana penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama. Sebagai

suatu wadah bersama, sumberdaya perikanan memiliki sifat-sifat interkoneksitas,

indivisibilitas dan substraktibilitas. Sifat interkoneksitas artinya bahwa

sumberdaya perikanan memiliki saling keterkaitan antara suatu komponen, seperti

antara jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungannya. Sifat indivisibilitas

artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah dibagi-dibagi menjadi bagian

atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat ini muncul karena ikan melakukan

migrasi antar wilayah dan tidak bisa dibatasi pergerakannya dalam suatu

ekosistem alam. Sifat substraktibilitas artinya bahwa sumberdaya ikan bila

diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan mempengaruhi keberadaan

dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu yang lain. (Nikijuluw, 2005).

11
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari

peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun

peraturan pemerintah dan keputusan menteri, dan juga peraturan-peraturan yang

bersifat internasional. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1

menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses

yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,

pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta

penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan

oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan

produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada

Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas

manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan

kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada

Pasal 3, yaitu (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan

kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan

dan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber

protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6)

meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, (7) meningkatkan

ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, (8) mencapai

pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan

sumber daya ikan secara optimal, serta (9) menjamin kelestarian sumber daya

ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.

12
Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok

besar yaitu (1) res communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan

(2) res nullius atau tanpa pemilik. Rezim sumberdaya yang dimiliki bersama (res

communes) dapat dibagi menjadi : (1) dimiliki oleh semua orang sehingga

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang, (2)

dimiliki oleh atau property masyarakat tertentu yang jelas batas-batasnya dan

karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi masyarakat itu dan tertutup bagi

masyarakat lain, (3) properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya tersebut ada di tangan pemerintah yang dapat saja

dialihkan kepada masyarakat, dan (4) properti swasta dimana swasta selaku

perusahaan atau individu memiliki hak pemanfaatan dan pengelolaan. Rezim

sumberdaya perikanan tanpa pemilik (res nullius) artinya bahwa sumberdaya tidak

dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa pemilik.

De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang dimiliki

namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya

sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik. De-jure artinya

kondisi dimana ada sistem yang mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut

memng tidak dimiliki oleh siapapun (Nikijuluw, 2005).

Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan rencana yang baik yang

harus disetujui dan didukung oleh segenap dari mereka yang terlibat dan yang

berkepentingan, yakni para stakeholders (pemangku kepentingan). Dengan

melibatkan seluruh stakeholders maka kewajiban dan tanggung jawab mereka

terhadap pemanfaatan dan pengelolaan jangka panjang atas sumberdaya ikan dan

ekosistemnya dapat ditingkatkan (Widodo, 2006).

13
Dalam kasus perikanan, Ruddle (1999) diacu dalam Satria (2009)

mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan sebagai berikut:

a) Batas wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah

mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.

b) Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia

perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana,

dan siapa yang boleh menangkap.

c) Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan.

d) Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk

masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan

mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan

disesuaikan dengan kondisi.

e) Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya

sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa

tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan

masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi moral

(melalui mekanisme pengadilan formal) dan sanksi fisik (pemukulan)

f) Pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir

yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.

2.3 Ko-manajemen Perikanan

Salah satu permasalahan yang cukup penting dalam pengelolaan

sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut termasuk sumberdaya perikanan

adalah keterbatasan hak atas sumberdaya (property right). Hal ini tidak terlepas

dari karakter sumberdaya ikan yang bersifat common properties dan open access.

14
Karakter sumberdaya yang seperti ini juga diperburuk oleh adanya ketidakpastian

(uncertenties) yang tinggi baik sumberdaya ikan, lingkungan, pasar, maupun

kebijakan pemerintah, yang kemudian mendorong sumberdaya laut ke dalam

berbagai bentuk kompetisi yang tidak sehat dan konflik. Sehingga untuk konflik

dalam pemanfaatan sumberdaya diperlukan kerjasama semua pihak, baik

pemerintah maupun kelompok pengguna sumberdaya. Dimana setiap pengguna

diberi tugas dan tanggung jawab yang sama. Salah satu pendekatan pengelolaan

yang memberikan ruang bagi adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara

pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya disebut ko-manajemen.

Pengelolaan ini juga dapat didefinisikan sebagai pendesentralisasian pembuat

keputusan yang melibatkan kelompok pengguna (pemangku kepentingan) dan

pemerintah. Kelompok pengguna dalam hal ini meliputi nelayan, pengolah,

pedagang ikan, perantara (middleman), industri alat tangkap, pemasok alat

tangkap, konsumen, peneliti, pegawai pemerintah, penegak hukum, pemerhati

lingkungan dan konservasi, LSM, dll (Widodo, 2006). Pola Pengelolaan

sumberdaya perikanan dengan pendekatan ko-manajemen dapat dilihat pada

Gambar 1 berikut ini.

Pengelolaan oleh Masyarakat

Pengelolaan oleh Pemerintah

Dikelola Pengelolaan
sendiri oleh
Informatif Advisori Kooperatif Konsultatif Instruktif
secara
masyarakat sentralistik oleh
Ko-manajemen pemerintah

Gambar 1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dengan Pendekatan Ko-


manajemen (Widodo, 2006)

15
Pembagian distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan pelaku

perikanan sangat bervariasi mulai dari tipe informatif hingga tipe instruktif. Tipe-

tipe dalam ko-manajemen yaitu: informatif, pemerintah mendelegasikan

pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan kemudian diinformasikan kepda

pemerintah), (2) advisori, dalam kerangka ini pelaku perikanan memberikan input

bagi pengambilan keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan

keputusan tersebut, (3) kooperatif, dalam level ini pemerintah dan pelaku

perikanan bekerja sama dalam pengambilan keputusan sebagai partner yang

memiliki posisi tawar yang sama (equal partner), (4) konsultatif, terdapat

mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan

keputusan masih dilakukan pemerintah, dan (5) instruktif, tipe ini terjadi ketika

terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan

pelaku perikanan.

Menurut Pomeroy dan Berkes (1997) terdapat sepuluh tingkatan bentuk

co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit partisipasi

masayarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu

tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co-

management maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila

tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan

wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah:

(1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi

tersebut digunakan sebagai bahan rumusan kebijakan; (2) Masyarakat

dikonsultasikan oleh pemerintah; (3) Masyarakat dan pemerintah saling

bekerjasama; (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi; (5)

16
Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi; (6) Masyarakat dan

pemerintah saling memberi nasehat dan saran; (7) Masyarakat dan pemerintah

melakukan kegiatan atau aksi bersama; (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra;

(9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh

pemerintah; (10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi

atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.

2.4 Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum,

kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal

(norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang

memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok

(Kherallah dan Kirsten, 2001 diacu dalam Fauzi, 2005).

Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main.

Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti

Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Kelompok nelayan, Koperasi

Unit Desa dan sejenisnya. Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan

sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang, dimana

ditentukan hak-hak mereka, perlindungan atas hak-haknya, hak-hak istimewa dan

tanggung jawabnya (Schmid, 1987 diacu dalam Sukmadinata, 1995).

Dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, kelembagaan

merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan.

Kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) yang terlibat dalam

pengelolaan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai

hak-haknya, kewajiban dan tanggungjawabnya. Kelembagaan memberikan suatu

17
kondisi, setiap anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman

dan hidup sewajarnya (Nurani, 2008).

Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan

memiliki tiga komponen, yakni:

1. Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan

seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem

politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak

kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem

keamanan (peradilan, polisi)

2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai

tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi

subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan

3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan

tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme

penegakan.

Dari sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan

kelembagaan yaitu sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai

aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov, 2006)

diacu dalam (Suhana, 2008).

1. Kelembagaan sebagai Norma-norma dan Konvensi

Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan

sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang

disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan

oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya. Hampir semua aktivitas manusia

18
memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses

sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat

norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang

diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses- proses sosial bisa berjalan baik.

Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam

masyarakat.

2. Kelembagaan sebagai Aturan Main

Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan beberapa ciri umum

kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi

diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya

tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati. Lebih lanjut,

Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi

kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung

mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of

conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi-aksi pada

masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut

kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendefinisikan prinsip-prinsip bagi

pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip

demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal .

3. Kelembagaan sebagai Pengaturan Hubungan Kepemilikan

Sebagai pengaturan hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap

sebagai aransemen sosial yang mengatur: (1) individu atau kelompok pemilik, (2)

objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat

dalam suatu kepemilikan .

19
2.5 Biaya transaksi

Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam ko-

manajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) biaya informasi, (2) biaya

pengambilan keputusan bersama, dan (3) biaya operasional. Kategori pertama dan

kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante transaction

cost), sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan (ex

post transaction cost).

Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa masing-masing kategori

memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya

transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya

untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b)

memperoleh dan menggunakan informasi, dan (c) biaya penyusunan strategi dan

free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup beberapa

aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b)

keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d)

menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang

berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama dalam

ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana

masing-masing kelompok mencakup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya

tersebut adalah : (1) Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari

pemantauan aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan,

pemantauan lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan,

manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap

pelanggaran. (2) Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari

20
perlindungan terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan

evaluasi terhadap kondisi sumberdaya. (3) Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari

distribusi hak penangkapan, dan biaya kelembagaan atau keikutsertaan.

Menurut North dan Thomas (1973) diacu dalam Anggraini (2005), biaya

transaksi meliputi :

1. Biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapatkan informasi

tentang keuntungan atau kerugian suatu transaksi (cost of allocating

information about opportunity of the exchange).

2. Biaya negosiasi (negotiation cost) yaitu biaya merundingkan syarat-syarat

suatu transaksi (cost of negotiating the terms of the exchange).

3. Biaya pelaksanaan (enforcement cost) yaitu biaya untuk melaksanakan suatu

kontrak (cost of enforcing the contract).

21

Anda mungkin juga menyukai