Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Penulis:

Mustika Fitri Nur (1813024045)

Mata Kuliah : Biologi Kelautan

Dosen : 1. Dr. Arwin Surbakti, M.Si.

2. Median Agus P., S.Pd.,M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi dan karakteristik ekosistem terumbu karang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di
perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22ºC), memiliki kadar CaCO3
(Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan
karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh
organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria
Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3
(Guilcher, 1988).
Menurut Saba (1996), karakteristik ekosistem terumbu karang, yaitu:
1. Suhu laut hanya dapat hidup pada suhu air laut 25 sampai 28ºC.
2. Salinitas hanya 25%-36% dari total salinitas air.
3. Konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan permukaan air laut harus tinggi
yaitu kurang dari 5,5 mg / liter dan rata-rata paling kecil 6,0 mg /
liter.Sedangkan konsentrasi BOD tidak lebih dari 0,25 mg / liter.
4. pH air berkisar 7,5 sampai 8,5.
5. Kecerahan air secara vertikal tidak kurang dari kedalaman 10 m
6. Konsentrasi zat-zat anorganik harus rendah.
7. Kondisi sedimen terlarut harus rendah.

B. Jenis-jenis dan Tipe-Tipe Terumbu Karang


Berdasarkan tahapan proses pembentukan, lokasi, proses geologi dan adanya
perubahan permukaan air laut, terumbu karang dapat dibagi menjadi beberapa
tipe, yaitu :
1. Atoll merupakan terumbu karang yang berkembang di pulau vulkanik dimana
terumbu tumbuh dan berkembang dari tepi pulau dan kemudian membentuk
lingkaran yang mengelilingi pulau yang kemudian secara perlahan terlihat terpisah
dari pulau karena tenggelamnya pulau.
2. Fringing reef adalah terumbu karang yang terbentuk di tepi-tepi pulau atau
benua.
3. Barrier reef adalah terumbu karang yang tumbuh sejajar dengan benua atau
pulau yang terpisah jauh oleh adanya lautan yang dalam.

Penggolongan karang umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu karang keras (hard
coral) dan karang lunak (soft coral) dapat dilihat pada Gambar 1 dan gambar 2.
Karang keras memiliki struktur keras menonjol, tidak bergerak, permukaannya
kasar seperti kertas pasir, koralit regular, jika ada yang memiliki tentakel pada
polip, jumlahnya lebih dari 8 dan biasanya berjumlah 24 tentakel. Karang lunak
memiliki struktur lunak, melambai jika disapu di sekitarnya, koralit regular, polip
menonjol keluar dan memiliki 8 tentakel (Zuba,N.,2019:5-6)
Gambar 1. Terumbu Karang Keras

Gambar 2. Terumbu Karang Lunak


C. Interaksi Biota Ekosistem Terumbu Karang
1. Simbiosis
Organisme yang tinggal atau memiliki aktivitas di terumbu karang, memilliki
interaksi baik antara spesies satu dengan spesies lain, bahkan dalam satu spesies.
Asosiasi organisme berbeda spesies.Simbiosis adalah hubungan antara dua
organisme yang berbeda jenis. Hubungan itu dapat kategorikan dalam dua bentuk,
yaitu mutualisme (saling menguntungkan) dan parasitisme (dengan satu pihak
mendapat untung, sementara pihak lain mendapat kerugian), sebagai contoh:
Hewan pembor karang dengan karang sebagai inang Interaksi dalam satu spesies.
Pemakan karang (Predasi) ada juga yang berasal dari kelompok hewan laut itu
sendiri yaitu jenis ikan yaitu Ikan-ikan famili Chaetodontidae (kepe-kepe),
Balistidae (triggerfish), Tetraodontidae (puffer= ikan buntal). Sedangkan hewan
laut lainnya yang juga memakan terumbu karang adalah jenis bintang laut yang
lebih di kenal dengan nama Acanthaster planci yang jumlah normal adalah 2- 3
individu dalam beberapa ratus meter terumbu(Zuba,N.,2019:45).
2. Jaring Makanan
Jaring makanan di Terumbu Karang Secara garis besar tingkat trofik dalam
jejaring makanan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok produsen yang
bersifat autotrof karena dapat memanfaatkan energi matahari untuk mengubah
bahan-bahan anorganik menjadi karbohidrat dan oksigen yang diperlukan seluruh
makhluk hidup, dan kelompok konsumen yang tidak dapat mengasimilasi bahan
makanan dan oksigen secara mandiri atau heterotrof. Produsen karang batu
(zooxanthellae), alga makro, alga koralin, bakteri fotosintetik. Konsumen karang
batu (polip), Ikan, Echinodermata, Annelida, Polikhaeta, Krustasea,
Holothuroidea, Moluska, dan lain-lain.

D. Adaptasi Biota Ekosistem Terumbu Karang


Biota pada ekosistem terumbu karang telah beradaptasi contohnya adalah
simbiosis yang dilakukan oleh biota sekitar terumbu karang. Terumbu karang juga
dijadikan sebagai tempat untuk mencari makan dari berbagai jenis ikan dan biota
lainnya. Terumbu karang juga dijadikan tempat berlindung bagi ikan - ikan kecil
dari ikan - ikan pemangsa yang lebih besar. Selain itu pula ada hewan yang tidak
mengalami adaptasi di sebut maladaptasi. Seperti contoh pada terumbu karang
akan mengalami proses bleaching.
E. Teknik Transplantasi Terumbu Karang
Transplantasi karang merupakan salah satu metode budidaya karang dengan
memotong sebagian dari koloni karang tertentu untuk ditanam di tempat yang
baru (Rr.Tiwi, dkk., 2012 : 159). Transplantasi karang pada prinsipnya adalah
memotong cabang karang dari karang hidup, lalu ditanam pada suatu daerah
tertentu. Usaha pemulihan terumbu karang, dengan memanfaatkan metode
transplantasi karang menggunakan teknik fragmentasi.Posisi penanaman secara
horizontal adalah posisi yang optimal karena hasilnya karang dapat tumbuh ke
segala arah (Soedharma dan Arafat, 2008). Penerapan posisi penanaman secara
horizontal pada metode tali dalam penelitian ini diambil sebagai salah satu upaya
untuk memaksimalkan pertumbuhan fragmen (Burhan, 2013 : 23).
Teknik transplantasi menurut Suharsono,dkk(2013) adalah:
a. Pembuatan substrat
Substrat untuk pelekatan anakan karang dibuat dari berbagai bahan-bahan dan
dengan berbagai macam bentuk dan warna. Pada umumnya pembuatan substrat
untuk indukan bahannya dibedakan dengan bahan yang diperuntukan untuk
anakan atau untuk diperdagangkan. Bahan untuk anakan pada prinsipnya
dibuat sekecil mungkin dan seringan-ringannya. Sedangkan untuk indukan
biasanya dibuat dengan ukuran yang lebih berat dan lebih besar. Hal ini
dimaksudkan bila karang yang dipakai untuk indukan tumbuh besar tidak mudah
jatuh. Bahan yang dipakai umumnya terdiri dari campuran antara semen,
pasir, batu apung atau batu gamping. Bentuk substrat (Gambar 4) dan cara
pemasangannya sangat bervariasi, disesuaikan dengan rancangan dari raknya.

b. Cara pembuatan bibit


Setiap pembudidaya diwajibkan untuk membuat indukan karang
yang bibitnya diambil dengan cara memotong koloni karang
yang ada di alam. Karang yang dipakai sebagai indukan
sebaiknya dipilih dari karang sehat, tidak ada cacat, bersih dari
biota pengebor dan mempunyai warna yang bagus. Kualitas
indukan baik warna karang dan bentuk pertumbuhan akan
menentukan kualitas anakan yang pada akhirnya akan
menentukan harga. Pembuatan anakan karang dimulai dengan
memotong indukan karang. Untuk karang bercabang pemotongan
dapat dilakukan dengan menggunting tanaman.

c.Penempelan anakan pada substrat.


Penempelan anakan karang pada substrat pada prinsipnya harus
dilakukan secepat mungkin untuk menekan tingkat kematian.
Bahan pelekat yang digunakan harus tidak toksik terhadap
karang, biota lain atau lingkungan sekitar. Di samping itu bahan
perekat sebaiknya cepat kering, mudah untuk membuat
campurannya, mudah didapat dipasaran dan murah harganya.
Para pembudidaya menggunakan bahan pelekat bervariasi mulai
dari bahan yang sederhana sampai yang berharga mahal. Variasi
bahan ini tergantung tujuannya. Sebagai contoh ada yang
menggunakan bahan penempel dari semen dan pasir tanpa atau
dengan bahan pengeras (Gambar 4). Pembudidaya yang lain
menggunakan bahan dari dempul kayu dan sebagian lagi
menggunakan resin untuk melekatkan anakan karang.

Untuk “ soft coral “ karang lunak seperti Sarcophyton sp.,


Lobophytum sp., Sinularia sp., Xenia sp. dan Dendronephtya sp.
tidak memerlukan bahan perekat. Oleh karena calon anakan
karang lunak berupa jaringan segar dan basah maka cara
penempelannya dilakukan dengan menjepit anakan memakai
karet gelang atau dengan kawat tipis untuk mengikatkan pada
substrat.

d. Pembuatan rak.
Pembuatan rak pada prinsipnya harus memudahkan untuk
penempatkan anakan karang dan dapat memuat transplant karang
sebanyak mungkin atau efisien dalam pemakaian ruang serta
harganya murah.

e. Pemilihan lokasi.
Penempatan lokasi rak sangat menentukan kecepatan tumbuh
anakan karang. Pemilihan lokasi yang salah akan berakibat
pertumbuhan anakan tidak optimal, rak mudah kotor dan
pertumbuhan biota lainnya jauh lebih cepat dan banyak, sehingga
harus lebih sering dibersihkan. Dengan demikian biaya
pemeliharaan menjadi lebih mahal.
Metode lain yang merupakan pengembangan dari metode sabuk (belt transect) dan
juga digunakan peneliti saat ini adalah video belt transect, metode ini
menggunakan video untuk merekam sepanjang transek dan luasan yang dilalui.
Kemudian hasil rekaman diputar ulang untuk pencatatan dan identifikasi jenis
karang untuk mendapatkan persentase karang hidup dan kriteria lain seperti pada
metoda yang lainnya. Keuntungan metode ini, waktu kerja di laut bisa lebih
efisien, tidak membutuhkan tenaga dan biaya banyak. Hanya saja peralatan
underwater video yang masih tergolong mahal bagi peneliti di Indonesia.
E. Mengevaluasi Metode Pemetaan Terumbu Karang
Beberapa metode pemetaan terumbu karang adalah:
1. Metode Transek Garis
Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang
dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir,
lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Spesifikasi karang yang diharapkan
dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang (life form) dan dibolehkan bagi
peneliti yang telah memiliki keahlian untuk mencatat karang hingga tingkat genus
atau spesies. Pemilihan lokasi survei harus memenuhi persyaratan keterwakilan
komunitas karang di suatu pulau. Biasanya penentuan ini dilakukan setelah
dilakukan pemantauan dengan metode Manta Tow. Peralatan yang dibutuhkan
dalam survei ini adalah rol meter, peralatan scuba, alat tulis bawah air, tas nilon,
palu dan pahat untuk mengambil sampel karang yang belum bisa diidentifikasi,
dan kapal. Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih ditemukan
terumbu karang batu (± 25 m) sampai di daerah pantai mengikuti pola kedalaman
garis kontur. Umumnya dilakukan pada tiga kedalaman yaitu 3 m, 5 m dan 10 m,
tergantung keberadaan karang pada lokasi di masing-masing kedalaman. Panjang
transek digunakan 30 m atau 50 m yang penempatannya sejajar dengan garis
pantai pulau.

2. Metode Transek Kuadrat


Metoda transek kuadrat digunakan untuk memantau komunitas makrobentos di
suatu perairan. Pada survei karang, pengamatan biasanya meliputi kondisi biologi,
pertumbuhan, tingkat kematian dan rekruitmen karang di suatu lokasi yang
ditandai secara permanen. Survei biasanya dimonitoring secara rutin. Pengamatan
didukung dengan pengambilan underwater photo sesuai dengan ukuran kuadrat
yang ditetapkan sebelumnya. Pengamatan laju sedimentasi juga sangat diperlukan
untuk mendukung data tentang laju pertumbuhan dan tingkat kematian karang
yang diamati. Peralatan yang dibutuhkan adalah kapal kecil, peralatan scuba,
tanda kuadrat 1 m x 1 m dan sudah dibagi setiap 10 cm, kaliper, GPS dan
underwater camera. Data yang diperoleh dengan metoda ini adalah persentase
tutupan relatif, jumlah koloni, frekuensi relatif dan keanekaragaman jenis.
3. Metode Manta Tow
Penelitian menggunakan metoda manta tow bertujuan untuk mengamati
perubahan secara menyeluruh pada komunitas bentik yang ada pada terumbu
karang, termasuk kondisi terumbu karang tersebut. Metode ini sangat cocok untuk
memantau daerah terumbu karang yang luas dalam waktu yang pendek, biasanya
untuk melihat kerusakan akibat adanya badai topan, bleaching, daerah bekas bom
dan hewan Acanthaster plancii (Bulu seribu). Teknik ini juga sering digunakan
untuk mendapatkan daerah yang mewakili untuk di survei lebih lanjut dan lebih
teliti dengan metoda transek garis. Pelaksanaan di lapangan, metode manta tow ini
dengan cara menarik peneliti dengan menggunakan perahu selama dua menit
dengan kecepatan tetap 3-5 km/jam atau seperti orang yang berjalan lambat.
Apabila ada faktor lain yang menghambat seperti arus yang kencang, maka
kecepatan perahu dapat ditambah sesuai dengan tanda dari si pengamat yang
berada di belakang perahu. Peneliti akan mengamati beberapa objek sepanjang
daerah yang dilewati dan persentase penutupan karang hidup (karang keras dan
karang lunak) dan karang mati. Data yang diamati dicatat pada tabel data dengan
menggunakan nilai kategori atau dengan nilai persentase bilangan bulat. Untuk
tambahan informasi yang menunjang pengamatan, dapat pula memasukkan
penutupan pasir, patahan karang, objek lain (Tridacna, Diadema dan Acanthaster)
sebagai objek yang diamati, semua tergantung tujuan penelitian yang telah
ditetapkan.
4. Metode Transek Sabuk (Belt transect)
Transek sabuk digunakan untuk mengambarkan kondisi populasi suatu jenis
karang yang mempunyai ukuran relatif beragam atau mempunyai ukuran
maksimum tertentu misalnya karang dari genus Fungia. Metoda ini bisa juga
untuk mengetahui keberadaan karang hias (jumlah koloni, diameter terbesar,
jumlah jenis) di suatu daerah terumbu karang. Panjang transek yang digunakan
ada 10 m dan lebar satu m, pengamatan keberadaan karang hias yang pernah
dilakukan oleh lembaga ICRWG (Indonesia Coral Reef Working Group)
menggunakan panjang transek 30 m dan lebar dua meter (satu m sisi kiri dan
kanan meteran transek). Pencatatan dilakukan pada semua individu yang menjadi
tujuan penelitian, yang berada pada luasan transek.
Metode lain yang merupakan pengembangan dari metode sabuk (belt transect) dan
juga digunakan peneliti saat ini adalah video belt transect, metode ini
menggunakan video untuk merekam sepanjang transek dan luasan yang dilalui.
Kemudian hasil rekaman diputar ulang untuk pencatatan dan identifikasi jenis
karang untuk mendapatkan persentase karang hidup dan kriteria lain seperti pada
metoda yang lainnya. Keuntungan metode ini, waktu kerja di laut bisa lebih
efisien, tidak membutuhkan tenaga dan biaya banyak. Hanya saja peralatan
underwater video yang masih tergolong mahal bagi peneliti di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Burhan dkk,. 2013. Transplantasi Karang Acropora Aspera dengan Metode Tali di
Perairan Teluk Awur, Jepara. Buletin Oseanografi Marina. 2 (1) : 22-28.
Guilcher Andre. 1988. Coral reef Geomorphology. John Willey &
Sons.Chhichester
Rr. Tiwi dkk., 2012. Pengaruh Perbedaan Ukuran Fragmen dan Metode
Transplantasi Terhadap Pertumbuhan Karang Pocillopora damicornis di
Teluk Awur, Jepara. Journal Of Marine Research. 1 (1) : 160-168.
Saba.1996.Peningkatan Pengetahuan Aplikasi Penyelaman dan Aspeknya dalam
Pemanfaatan Potensi Dunia Bawah Air.Unit Kegiatan Olahraga Air ITS
Divisi Selam. Surabaya.
Suharsono,dkk.2013.Perkembangan Teknik Transplantasi Karang di
Indonesia.Jakarta.LIPI.
Zuba,N. 2019. Pengenalan Terumbu Karang Sebagai Pondasi Utama Laut
Kita.UNIMAL Press.Lhokseumawe.

Anda mungkin juga menyukai