Anda di halaman 1dari 12

“Bioreeftek” : Tempurung Kelapa Penyelamat Ekosistem

Terumbu Karang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan pusat keanekaragaman


hayati laut (marine biodiversity). Dengan julukan itu, seharusnya kita bangga
sebagai warga negara Indonesia, karena negara Indonesia mempunyai kelimpahan
sumberdaya alam yang sangat tinggi. Khususnya di laut, dimana didalamnya
terdapat beragam biota yang hidup dan ekosistem bawah air yang sangat indah
yaitu terumbu karang. Indonesia termasuk kedalam segitiga karang dunia atau
Coral Triangle yang dimana Indonesia mempunyai ekosistem terumbu karang
yang sangat indah. Terumbu karang sebagai elemen penting dalam
kelangsungan sumberdaya laut yang berfungsi sebagai tempat hidup biota laut
juga sebagai pendukung kelangsungan hidup masyarakat nelayan dan
penangkal terjadinya kerusakan ekologi laut seperti abrasi pantai untuk
masyarakat pesisir (Mompala et al., 2017). Selain itu, terumbu karang memiliki
nilai ekonomis lainnya, yaitu sebagai lokasi penangkapan berbagai jenis biota
laut, sebagai bahan bangunan, dan sebagai bahan baku farmasi.

Terumbu karang dan semua biota yang hidup di dalamnya merupakan


salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang tidak ternilai
harganya. Akan tetapi di Indonesia yang dijuluki sebagai salah satu pusat terumbu
karang dunia terus mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut ada yang
disebabkan oleh alam atau secara alami dan kerusakan yang disebabkan oleh
aktivitas manusia (antropogenik).

Terumbu karang ditemukan di sekitar 100 negara dan merupakan tempat


tinggal bagi 25% habitat laut. Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat
rentan di dunia. Dalam beberapa dekade terakhir sekitar 35 juta hektar terumbu
karang di 93 negara mengalami kerusakan. Ketika terumbu karang mengalami
stres akibat temperatur air laut yang meningkat, sinar ultraviolet dan perubahan
lingkungan lainnya, akan menyebabkan sel alga simbiotiknya hilang. Akibatnya
warnanya akan berubah menjadi putih dan jika tingkat kestresannya sangat tinggi
dapat menyebabkan terumbu karang tersebut mati (Burke et al., 2002). Jika laju
kerusakan terumbu karang tidak menurun, maka diperkirakan pada beberapa
dekade ke depan sekitar 70% terumbu karang dunia akan mengalami kehancuran.
Kenaikan temperatur air laut sebesar 1-2 0C dapat menyebabkan terumbu karang
menjadi stres dan menghilangkan organisme miskroskopis yang bernama
zooxanthellae yang merupakan pewarna jaringan dan penyedia nutrient-nutrien
dasar. Jika zooxanthellae tidak kembali, maka terumbu karang tersebut akan mati
(Ariani, 2006).

Akibat dari kerusakan ini hingga cepat atau lambat upaya penyelamatan
perlu dilakukan (Kambe, 2013). Untuk mencegah semakin luasnya kerusakan
terumbu karang tersebut, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik. Upaya
pelestarian serta pemulihan ekosistem terumbu karang terus dilakukan melalui
program penelitian maupun pengabdian masyarakat.

Upaya konservasi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai


macam cara. Salah satunya adalah kegiatan transplantasi terumbu karang.
Transplantasi terumbu karang merupakan teknik perbanyak koloni karang
dengan memanfaatkan reproduksi aseksual karang secara fragmentasi.
Transplantasi bertujuan untuk memulihkan kembali terumbu karang yang
telah rusak dan mengembalikan fungsi terumbu karang.

Merehabilitasi ekosistem terumbu karang dapat menggunakan terumbu


buatan dari beton untuk menarik planula (bibit karang), dan penyemaian terumbu
karang dewasa (transplantasi). Aplikasi terumbu buatan dari beton membutuhkan
biaya besar, tenaga penyelam banyak dan peralatan pendukung relatif lengkap,
sedangkan transplantasi biasa dilakukan pada ekosistem yang mengalami
kerusakan parah sehingga butuh semaian berupa karang dewasa.

Bentuk media yang dibuat memperhatikan hal-hal seperti bahan-bahan


yang ramah lingkungan dan mudah didapatkan. Bioreeftek adalah teknik baru
pembuatan terumbu buatan secara alami, karena menggunakan bahan-bahan dari
alam seperti batok kelapa untuk menarik planula. Bahan baku utama yang
digunakan untuk transplantasi ini adalah tempurung kelapa. Penggunaan teknologi
ini didasarkan oleh banyaknya pohon kelapa yang tersebar di kawasan pesisir
Indonesia. Sehingga banyak limbah dari tempurung kelapa yang tidak terpakai.
Untuk mengurangi limbah tersebut maka diciptakan teknologi hijau yang
memanfaatkan tempurung kelapa sebagai substrat untuk transplantasi terumbu
karang. Selain mengurangi limbah tempurung kelapa yang tidak terpakai, kita
juga bisa melestarikan ekosistem terumbu karang dengan transplantasi terumbu
karang media bioreeftek yang mudah dilakukan dan tidak memerlukan biaya yang
mahal.

ISI DAN PEMBAHASAN

Awal mulanya, teknologi Bioreeftek ini mulai dikembangkan oleh Tim


Perubahan Iklim (dahulu Tim Konservasi Laut) BPOL sejak tahun 2008.
Penggunaan tempurung kelapa menunjukkan adanya penempelan juvenil di media
tersebut (Mahmud dan Luthfi, 2016). Bioreeftek akan merekrut larva planula
karang secara alami (melalui proses reproduksi seksual), lalu dilakukan upaya
pemindahan ke lokasi ekosistem terumbu karang yang persentase terumbu karang
relatif rendah, seperti bekas daerah pengeboman ikan.

Fungsi utama bioreeftek adalah menyerupai terumbu karang buatan, yaitu


sebuah ekosistem baru yang disusun dari struktur benda-benda keras yang
diletakkan secara sengaja di dasar perairan yang tidak produktif, dengan sifat-sifat
yang berbeda satu sama lain. (Mottet, 1981). Menurut Ampou (2011) fungsi utama
bioreeftek adalah menyediakan substrat sebagai tempat organisme menempel,
meningkatkan kompleksitas habitat dengan menyediakan ruang vertikal tertentu,
dan mengubah pola arus dan gelombang, sehingga memiliki ciri khas
meningkatkan biomassa spesies ikan yang benar-benar menghabiskan sebagian
besar siklus hidupnya dalam zona terumbu buatan.

Tahapan proses pelaksanaan dalam pembuatan media bioreeftek pertama


adalah perancangan media bioreeftek, persiapan alat dan bahan yang digunakan.
Bahan yang diperlukan untuk membuat bioreeftek antara lain, tempurung kelapa,
pipa aluminium, rangka besi, kawat, kayu, tripleks, pasir batu, cable ties, dan
semen. Alat yang diperlukan antara lain, gurinda, sendok semen, serta sebuah
tempat untuk membuat campuran semen dan pasir. Kemudian pembuatan media
bioreeftek, dan tahapan terakhir adalah peletakan media bioreeftek pada suatu
perairan yang dituju.

Sebelum melakukan transplantasi karang kita harus menentukan lokasi


penempatan bioreeftek dengan menggunakan GPS (Global Positioning System).
Setelah menentukan lokasi kita harus mengukur parameter-parameter oseanografi
seperti suhu, salinitas, DO, Nitrat, Fosfat, dan biota-biota yang hidup di lokasi
tersebut. Tentunya hal yang penting adalah kemudahan akses dan jalur pelayaran
untuk menuju ke lokasi tersebut. Apabila telah ditentukan lokasi yang sesuai,
selanjutnya diberi tanda (rambu apung).

Pembuatan media bioreeftek. Pembuatan 1 media substrat dibutuhkan 36


tempurung kelapa, penyusunan di setiap tiang aluminium 4 tempurung kelapa
sedangkan media papan bioreeftek tertancap 9 tiang aluminium. Tiang aluminium
yang digunakan berbentuk persegi, berdiameter 0,5 inci dan panjang 30 cm. Pipa
aluminium di beri skoring 5 cm bagian bawah, sesuai dengan ketebalan substrat
papan. Skoring dirancang sedemikian rupa sehingga tiang aluminium dapat berdiri
tegak dan tidak mudah roboh.

Pembuatan media substrat bioreeftek. Pembuatan media substrat bioreeftek


diawali dengan membuat cetakan substrat. Pembuatan cetakan menggunakan
papan kayu, panjang 47 cm, lebar 35 cm dan tebal 5 cm. Media substrat diperkuat
dengan rangka besi, lalu tiang aluminium tersekoring di susun di cetakan media
substrat bioreeftek dengan rangka besi sebelum dicor.

Pengecoran substrat tempurung kelapa, menggunakan komposisi yang sama


dengan pembuatan media substrat bioreeftek. Tempurung kelapa yang sudah
halus, dipotong dan dilubangi disusun pada tiang bioreeftek secara terbalik. Hasil
cor yang setengah kering selanjutnya diangkat dan dijemur. Media yang sudah
dicetak dikeringkan hingga benar-benar kering sehingga substrat kokoh dan tidak
mudah hancur saat diletakkan di dasar perairan.

Proses pengecoran, agar tiang aluminium tidak mudah bengkok saat terkena
arus dan gelombang di dasar laut, maka tiang aluminium harus dicor. Campuran
cor yang digunakan dalam pengecoran tiang aluminium sedikit diencerkan, agar
saat penuangan mudah masuk ke dalam tiang aluminium. Kemudian media
bioreeftek dijemur hingga kering sebelum dilakukan proses finishing.

Setelah proses pembuatan media selesai, media bioreeftek dijemur hingga


kering dan dilakukan proses finishing yaitu pemolesan pada media sebstrat
bioreeftek menggunakan larutan semen. Media substrat bioreeftek terlihat halus,
sehingga hewan karang bisa hidup di media sebstrat tersebut bukan hanya pada
media tempurung kelapa. Langkah selanjutnya adalah penyusunan media
tempurung kelapa pada tiang aluminium. Proses penempatan bioreeftek di dasar
laut, dilakukan dengan menenggelamkan unit-unit bioreeftek di lokasi rehabilitasi
yang telah ditentukan. Kedalaman laut untuk penempatan unit bioreeftek adalah 3-
10 meter, pada perairan yang relatif tenang dengan distribusi nutrient yang relatif
baik (kecepatan arus sekitar 20 cm/detik).

Tingkat penempelan juvenil karang berbeda-beda setiap kedalaman perairan.


Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan tingkat penempelan juvenil pada
kedalaman 3-5 m lebih tinggi dibandingkan dengan pada kedalaman 8-10 m.
Menurut Loya (1972), jumlah karang berkurang berbanding lurus dengan tingkat
kedalaman air, rata-rata ukuran spesies, ukuran koloni di daerah dataran terumbu
lebih kecil dibandingkan dengan daerah puncak terumbu. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Harriot dan Fisk (1987) Menyatakan bahwa
penempelan baik bagi juvenil karang banyak terdapat di kedalaman 3 meter.
Faktor yang mempengaruhi proses penempelan larva karang adalah
persaingan berbagai mikroorganisme yang hidup di sekitar dan di sedimentasi
yang tinggi. Menurut Harrigan (1972) beberapa organisme yang dapat
memberikan pengaruh terhadap juvenis karang algae dan biofilm yang
mendominasi pada substrat. Tumbuhnya crustose corraline alga dapat
memberikan pengaruh terhadap penempelan planula karang. (Harii et.al, 2002).

Selain itu, sedimentasi merupakan salah satu faktor yang menjadikan


tantangan bagi juvenil karang untuk hidup di substrat. Abrar (2011) menyatakan
bahwa salah tingkat kelulusan hidupan juvenil karang di suatu perairan adalah
ketersediaan substrat stabil, sedimentasi dan biota predator. Sedimentasi yang
tinggi dapat menurunkan laju fertilisasi pada karang dewasa dan menghambat
perkembangan embrio karang (Humphrey et al., 2008). Selanjutnya, Bobcock dan
Smith (200) menyatakan bahwa sedimentasi dan material suspensi terlarut dalam
kolom air dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Pertumbuhan terumbu
karang ini tentunya tergantung dari faktor-faktor lingkungan seperti up
welling, cahaya matahari, kejernihan, kedalaman, suhu perairan, salinitas,
pengendapan, arus dan substrat (Santoso dan Kardono, 2008).

Pemeliharaan media transplantasi terumbu karang dengan menggunakan


metode bioreeftek adalah dilakukan secara berkala setiap 1 bulan, hal ini bertujuan
untuk menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan bibit karang. Kegiatan
pemeliharaan yang utama adalah pembersihan dan pertumbuhan teritip dan epifit.
Sedimen yang menempel pada substrat bioreeftek perlu secara rutin dibersihkan,
agar proses pembentukan koloni karang pada substrat dapat berlangsung dengan
baik. Kegiatan pemeliharaan lainnya adalah menata posisi unit bioreeftek apabila
bergeser dari kedudukannya akibat pengaruh gelombang.

Pemantauan terhadap bibit karang yang telah tumbuh meliputi pengukuran


pertumbuhan dan perhitungan karang yang mati. Pengukuran pertumbuhan
dilakukan setiap 1 bulan sekali. Perhitungan kematian karang dilakukan dengan
cara mengumpulkan karang yang telah dilakukan dengan cara mengumpulkan
karang yang telah dilakukan dengan cara mengumpulkan karang yang telah
mengalami kematian. Tanda-tanda karang yang telah mengalami kematian antara
lain seluruh koloni diselimuti alga, koloni berwarna pucat memutih atau berubah
warna menjadi gelap jika sudah mengalami kematian yang cukup lama
(COREMAP,2006).

Kecepatan pertumbuhan larva planula pada metode bioreeftek tergolong


cepat. Larva planula yang tumbuh di media batok kelapa (bioreeftek) sudah dapat
dilihat dan diukur dengan jangka waktu 6-7 bulan, seperti yang sudah dilakukan
di Pemuteran Bali tahun 2007 dan Nusa Penida pada tahun 2008. Sedangkan dari
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh BPOL bahwa larva planula yang
menempel akan terlihat jelas pertumbuhan terumbu karangnya setelah masa 8
bulan penanaman dan layak untuk direlokasi.

Teknologi terumbu buatan bioreeftek saat ini telah diaplikasikan dan


diadopsi oleh berbagai pihak untuk kegiatan rehabilitasi dan konservasi terumbu
karang di Indonesia, di antaranya:

 Di perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali (2008- sekarang);


 Di perairan Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali (2008 – sekarang);
 Di perairan Gili Lawang dan Gili Sulat, Kabupaten Lombok Timur (2008);
 Di perairan Kabupaten Alas, Sumbawa (diadopsi oleh SMK Negeri 1
ALAS)(2011);
 Di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, kerjasama DKP-Tanah
Bumbu dan BPSPL serta BPOL (2010);
 Di Tablolong Nusa Tenggara Timur dan Waingapu, Sumba Timur – Pantai
Londa Lima pada kegiatan IPTEKMAS (2009);
 Telah dibuat secara swakelola oleh Balai Taman Nasional Bunaken dan
Dinas Provinsi Sulawesi Utara (2010);
 Diaplikasikan pada saat bimbingan teknis di Pulau Mandangin, Madura
(Marine Care), diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan
(HIMIKA) Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo & Direktorat
Jenderal Teknis KP3K, KKP pada bulan Desember 2012;
 IPTEKMAS Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan
Perikanan di Taman Nasional Bali Barat dan di Perairan Lovina,
Kabupaten Buleleng (2014);
 Di perairan Pulau Tikus, Bengkulu oleh Kelompok Pencinta Alam
(KAMPALA) Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu (2014 dan 2018);
 Di perairan Desa Dikesare, Kabupaten Lembata, atas kerjasama antara
PLAN Internasional, CIS Timor, serta PPB Kab. Lembata (2018).

Kesimpulan

Saat ini, kondisi terumbu karang Indonesia sudah mengalami ancaman


kerusakan yang cukup serius. Sehingga perlu penanganan yang tepat dan efektif
untuk mengatasi ancaman tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
pengelolaan terumbu karang antara lain dengan cara pemberdayaan masyarakat
pesisir, dengan mengurangi laju degradasi dan pengelolaan terumbu karang
berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, pemanfaatan dan status hukumnya.

Teknologi konservasi dan rehabilitasi merupakan cara terbaik untuk


menanggulangi terumbu karang agar tidak mengalami degradasi atau penurunan
jumlah spesies akibat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia yang tidak
bertanggung jawab. Dalam menjaga ekosistem yang ada di laut khususnya
terumbu karang kita harus menanamkan sikap peduli terhadap lingkungan sekitar.

Transplantasi karang dengan metode bioreeftek ini bisa menjadi terobosan


yang bagus untuk mengatasi kerusakan ekosistem terumbu karang yang rusak.
Diharapkan seluruh masyarakat Indonesia dapat ikut menjaga kelestarian
ekosistem terumbu karang dengan ikut melakukan transplantasi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ampou, E. E., Setiabudi, G. I., Widagti, N., & Prasetia, I. N. D. (2020). Coral

diversity on artificial reef from coconut shells in northern Bali, Indonesia.

Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 21(9).

https://doi.org/10.13057/biodiv/d210952

Arisandi, A., Tamam, B., & Badami, K. (2017). Pemulihan Ekosistem Terumbu

Karang Yang Rusak Di Pulau Kangean.

Bioreeftek Untuk Konservasi Terumbu Karang Di Kecamatan Sungai Raya

Kepulauan Kabupaten Bengkayang. (2017). Agromix, 8(1).

https://doi.org/10.35891/agx.v8i1.561

Harriott, V., & Fisk, D. (1987). A comparison of settlement plate types for

experiments on the recruitment of scleractinian corals. Marine Ecology

Progress Series, 37, 201–208. https://doi.org/10.3354/meps037201

Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik. (2021). 5(2).

Maulana, E. (2016). Stretegi Penghidupan Masyarakat Pada Periode Krisis

Bencana Banjir Pada Lahan Pertanian Di Pesisir Kabupaten Bantul (Studi

Kasus Masyarakat Dusun Depok, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek,

Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta).

https://doi.org/10.13140/RG.2.2.29379.81449

Mompala, K., Rondonuwu, A. B., & Rembet, U. N. W. J. (2017). The Growth

Rate Of Acropora sp. Transplanted On Artificial Reefs In Kareko Waters

Of North Lembeh Sub-District Of Bitung City. Jurnal Ilmiah Platax, 5(2),

234. https://doi.org/10.35800/jip.5.2.2017.16999
Nasution, M. A., & Munandar, M. (2018). Efisiensi Bioreeftek Sebagai Media

Pertumbuhan Karang Di Pulau Rubiah Sabang. Jurnal Perikanan Tropis,

5(2), 207. https://doi.org/10.35308/jpt.v5i2.1040

Prosiding Seminar Nasional Pertanian dan Perikanan. (2018). 1.

Anda mungkin juga menyukai