Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH REHABILITASI TERUMBU KARANG (LANJUTAN)

OLEH

NAMA : YOAN NADELA OKTA

NIM : L011181301

KELAS : TEKNIK REHABILITASI-A

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala Berkat dan Rahmat-Nya, sehingga penulisan makalah yang berjudul “Rehabilitasi
Terumbu Karang (Lanjutan)” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Keberhasilan dalam penulisan laporan ini tidak lepas dari peran berbagi pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
yang selalu setia berbagi ilmu kepada kami para mahasiswa. Juga kepada kakakkakak asisten
yang dengan sabar selalu mendampingi dan membimbing para praktikan hingga laporan ini
dapat selesai dengan baik. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan yang selalu mendukung dalam segala hal, serta selalu terbuka untuk memberikan
bantuan yang penulis butuhkan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis senantiasa menantikan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk
lebih menyempurnakan penulisan-penulisan berikutnya di kemudian hari. Akhir kata, semoga
laporan ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya untuk
menambah wawasan dari para pembaca serta dapat menjadi salah satu rujukan dari para
pembaca. Terima kasih.

Makassar, November 2020

Penulis
I. Artificial Reef

Terumbu karang buatan (Artificial reefs) adalah habitat buatan yang di bangun di laut dan
diletakkan didasar perairan yang tidak produktif dengan meniru beberapa karakteristik terumbu
alami dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak, sehingga dapat memikat jenis-jenis
organisme laut untuk hidup dan menetap serta meningkatkan produksi perikanan, biasanya
terbuat dari timbunan bahan-bahan yang sifatnya berbeda satu sama lain seperti ban bekas,
cetakan semen atau beton, bangkai kerangka kapal, ban mobil bekas, bambu dan sebagainya
(Dirjen KP3K et al, 2005).
Metode perencanaan terumbu karang buatan (Artificial reef) sebagai restorasi terumbu
karang dan pengaman pantai adalah dengan melakukan survei lapangan topografi
menggunakan alat ukur GPS, data kualitas air laut dan menggunakan data sekunder yaitu data
statistik, pasang surut, tinggi gelombang, peta bathimetri, arah arus dan arah angin. Analisa
kualitas air dilakukan secara in-situ, parameter yang di uji adalah kecerahan perairan, arus,
salinitas, suhu, pH. Analisis terumbu buatan yang berfungsi semagai restorasi terumbu karang
dan sebagai pengaman pantai yaitu menggunakan tipe kubah berongga atau reef balls.
Artificial reef sebagai restorasi terumbu karang untuk mengganti dan memperbaiki keadaan
terumbu karang di Pulau Lemukutan yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut,
ekosistem dan sangat berpotensi sebagai tempat pariwisata. Terumbu karang buatan atau
Artificial reef juga dapat memiliki peranan sebagai pelindung pantai dari pengikisan gelombang
air laut atau abrasi.
Bentuk Terumbu Karang Buatan Pemilihan terumbu buatan sebagai struktur dalam
perlindungan garis pantai adalah untuk mempertahan kan estetika keindahan panorama pantai
yang alamiah, sehingga tidak terganggu dengan adanya struktur pelindung pantai. Terumbu
buatan (Artificial reef) jenis ini berfungsi untuk menjadi tempat tinggal atau sarang baru bagi
ikan dan dapat melestarikan ekologis terumbu karang sebagai habitat biota laut seperti ikan dan
lain sebagainya serta dapat mereduksi gelombang sehingga dapat menjadi sebagai pengaman
pantai. Pada Gambar 1 dapat dilihat bentuk dan jenis terumbu karang buatan.
Bahan dan Konstruksi Terumbu Karang Buatan Berbagai jenis bahan yang digunakan
untuk pembuatan konstruksi terumbu buatan Terumbu buatan bisa dibuat dari beton biasanya
menggunakan Semen Portland tipe V yang dalam penggunaannya memerlukan ketahanan
tinggi terhadap sulfat. Semen jenis ini cocok digunakan untuk pembuatan beton pada daerah
yang tanah dan airnya mempunyai kandungan garam sulfat tinggi seperti : air laut, daerah
tambang, air payau dsb. (Murdock, L. J. dan Brook, K. M., 1999).
Perhitungan Terumbu Buatan Bentuk Kubah Beton Berongga (Reef balls) Jaringan
peneliti terumbu karang buatan di Eropa (European Artifcial Reef Research Network – EARNN)
mendefinisikan terumbu karang buatan (Artificial reef) sebagai suatu bangunan yang sengaja
dibenamkan untuk menirukan karakteristik terumbu karang (coral reef). Istilah terumbu karang
buatan untuk berbagai benda buatan juga didefinisikan sebagai suatu struktur buatan manusia
yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan habitat, sumber makanan dan tempat pemijahan
bagi hewan-hewan laut (Harris, 2001).
Penentuan Lokasi Terumbu buatan ditempatkan pada habitat yang mengalami penurunan
dan area yang memiliki produktifitas yang rendah (Yahmantoro dan Budiyanto 1991). Beberapa
kriteria dalam meletakkan terumbu buatan:

1. Lokasi dekat dengan pemukiman nelayan.


2. Terpisah dari terumbu alami.
3. Perairan cukup jernih.
4. Kedalaman berdasarkan jarak dari pesisir perairan dan kemampuan penyelam
melakukan pengamatan pada kedalam yang bersangkutan.
5. Kondisi perairan memenuhi syarat hidup terumbu karang (Sirkulasi, salinitas,
kecerahan, sedimentasi dan kedalaman).
6. Lokasi jauh dari area penangkapan ikan terutama Trawl.
7. Keadaan substrat sukup keras dan berbentuk flat (rata) untuk mencegah terumbu
buatan tertanam ke dasar.
8. Orientasi (letak) dalam hubungan dengan pola migrasi ikan dan.
9. Tidak membahayakan navigasi.
II. Fish Aggregate Device

Fish Aggregating Device atau dalam bahasa Indonesia merupakan alat pengumpul ikan
atau dikenal sebagai rumpon adalah salah satu teknologi yang berfungsi mengumpulkan atau
mengkonsentrasikan ikan pada suatu perairan untuk memudahkan penangkapan ikan dengan
alat tangkap yang sesuai, karena posisi daerah penangkapan telah diketahui sejak dini (Nurul,
et al, 2016).

Menurut SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97, rumpon didefinisikan sebagai alat bantu,


penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan tempat
pemasangan dan pemanfaatan rumpon. Menurut SK tersebut, dikategorikan ada 3 jenis
rumpon. yaitu :
1) Rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan
ditempatkan pada dasar perairan laut.
2) Rumpon perairan dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan
ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai dengan 200 meter.
3) Rumpon perairan dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan
ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman lebih dari 200 meter.

Menurut Badan Litbang Perikanan (1992), rumpon yang dikembangkan saat ini
dikelompokkan berdasarkan:
1) Posisi dari pemikat atau pengumpul (agregator), rumpon dibagi menjadi rumpon
perairan permukaan dan lapisan tengah dan dasar. Rumpon perairan permukaan dan
lapisan tengah terdiri dari jenis rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam.
2) Kriteria portabilitas, rumpon dikelompokkan menjadi rumpon yang dijangkar secara tetap
(statis) dan rumpon yang dijangkar tetapi dapat dipindah-pindah (dinamis).
3) Tingkat teknologi yang digunakan, rumpon dikelompokkan menjadi tradisional dan
modern.
Rumpon tradisional umumnya digunakan oleh nelayan tradisional yang terdiri dari
pelampung, tali jangkar atau pemberat serta pemikat yang dipasang pada kedalaman 300-2000
m. Rumpon moderen umumnya digunakan oleh perusahaan perikanan (swasta dan BUMN).
Komponen rumpon moderen biasanya terdiri dari pelampung yang terbuat dari plat besi atau
drum, tali jangkar terbuat dari kabel baja (steel wire), tali sintesis dan dilengkapi dengan swivel,
pemberat biasanya terbuat dari semen cor. Pemikat yang digunakan umumnya terbuat dari
bahan alami dan bahan sintesis seperti ban, pita plastik dan lain-lain (Nahumury, 2001).
III. Metode Reef Restoration

Restorasi terumbu karang adalah tindakan untuk membawa ekosistem terumbu karang
yang telah terdegradasi kembali, semirip mungkin, dengan kondisi aslinya. Tujuan utama
restorasi adalah untuk peningkatan kualitas terumbu yang terdegradasi dalam hal struktur dan
fungsi ekosistem. Paramater yang menjadi pertimbangan adalah keanekaragaman hayati dan
kompleksitas di satu sisi serta biomassa dan produktivitas di sisi lainnya.

Gambar. Kemungkinan cara untuk pemulihan atau perubahan keadaan untuk ekosistem yang
terdegradasi dengan atau tanpa intervensi restorasi aktif. Lihat teks di bawah untuk penjelasan lebih
lanjut (Diagram berdasarkan Gambar 5.2 di Bradshaw, A. D. (1987). The reclamation of derelict land and
the ecology of ecosystems. In: Jordan III, W.R., Gilpin, M.E. and Aber, J.D. (eds). Restoration Ecology: A
synthetic Approach to Ecological Research. Cambridge University Press).

Pada sistem terumbu sehat yang tidak mengalami kerusakan fisik, daerah yang
terpengaruh diharapkan dapat pulih secara alami ke kondisi awal seperti sebelum mendapat
tekanan melalui jalan suksesi (panah tebal berwarna hijau). Dalam kasus seperti itu, terumbu
“dibiarkan” (membiarkan alam yang bekerja) dan bersabar dapat menyukseskan restorasi.
Bagaimanapun, jika degradasi cukup parah atau luas, atau sistem terumbu mendapat tekanan
tambahan kronis yang disebabkan oleh manusia (contohnya penangkapan berlebih,
pembuangan nutrisi, sedimentasi), lalu terumbu “dibiarkan” maka dapat mengakibatkan
penurunan yang lebih parah, bahkan kemungkinan dapat berganti ke kondisi stabil alternatif
(yang mungkin kurang disukai oleh pengguna sumber daya lokal) seperti contohnya terumbu
yang didominasi oleh alga.
Bila hal tersebut terjadi, restorasi aktif, jika perlu, ditambah kombinasi dengan aksi
pengelolaan untuk menurunkan tekanan antropogenik, akan dibutuhkan agar terumbu memiliki
kesempatan pulih ke kondisi yang diinginkan. Meskipun ada kegiatan restorasi aktif, pemulihan
dapat berkembang ke kondisi yang berbeda dengan ekosistem aslinya. Secara umum, kondisi
ini (seperti didominasi karang dengan jenis dominan yang berbedabeda) akan menyerupai
dengan kasus “rehabilitasi” (perbaikan fungsi dan struktur ekosistem) yang telah berhasil, tetapi
tidak dapat dikategorikan sebagai restorasi penuh. Alternatifnya, restorasi aktif dapat
mengecewakan dan dapat menjadi laju awal perbaikan ke kondisi ekosistem yang berbeda
(sistem “pengganti”), sehingga sangat tergantung dengan sasaran dari intervensi restorasi.

Gambar 7. Propagasi karang secara langsung dan tidak langsung. Jalur yang paling murah adalah
mengumpulkan karang langsung dari terumbu dan ditransplantasi ke kawasan yang rusak. Akan tetapi,
untuk mendapatkan jumlah sintasan yang baik, setiap tranpslan harus berukuran cukup besar (sekitar >5-
10 cm). Fragmen yang kecil (sekitar 2-3 cm) dapat secara sukses dibudidayakan di tengah laut atau di
dasaran hingga cukup besar untuk bertahan hidup. Walaupun lebih mahal, tetapi karang yang tersedia
lebih berguna. Fragmen yang kecil tidak akan bertahan dengan baik di lokasi budi daya in situ, tapi akan
tumbuh di lokasi ex situ. Tingginya biaya untuk budidaya dua tahap diimbangi dengan potensi membuat
puluhan ribu koloni dari fragmen kecil (sekitar 10 mm). Semakin lama waktu budidaya, semakin mahal
biaya produksi transplan. Budidaya ex situ membutuhkan biaya awal lebih besar dibanding in situ. Larva
karang yang planktonik juga dapat dibudidaya, ditempelkan ke substrat, dan ditumbuhkan di sangkar di
tengah laut selama 6-12 bulan hingga cukup besar untuk sintas di terumbu.

Untuk restorasi terumbu karang terdapat 2 metode yaitu restorasi fisik dan restorasi
biologis. Terkadang untuk membedakan antara “restorasi fisik”, yang mengutamakan perbaikan
terumbu dengan fokus pendekatan teknik, dan “restorasi biologis” yang terfokus untuk
mengembalikan biota dengan proses ekologis ke keadaan semula. Kegiatan restorasi fisik
sendiri lebih mahal dibanding yang restorasi biologis sesuai skalanya. Karang, kima, dan spons
berukuran besar dapat menyediakan komponen biotik dan struktural, sehingga perbedaan
menjadi kabur. Untuk menangani kerusakan, terkadang hanya dibutuhkan restorasi biologis,
baik secara aktif maupun pasif; pada kasus lain, kombinasi restorasi fisik dan biologis secara
aktif ternyata diperlukan. Kondisi tersebut dapat kita sebut “restorasi ganda”. Untuk
merencanakan restorasi ekologis, kita haruslah tetap mempertimbangkan kedua komponen
tersebut (Edwards dan Gomez, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Edwards, A.J. & Gomez, E.D. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu: membuat pilihan
bijak di antara ketidakpastian. Terj. dari Reef Restoration Concepts and Guidelines: making
sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S., Estradivari, N. S.
Wijoyo, & Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm.
Dhiecho Mahar Dhiecha, Kiki Prio Utomo, Dian Rahayu Jati. 2013. Perencanaan Artificial Reef
Sebagai Restorasi Terumbu Karang Dan Pengaman Pantai Di Pulau Lemukutan
Kabupaten Bengkayang. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas
Tanjungpura, Pontianak.
Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2005. “Pedoman Pengelolaan
Terumbu Buatan dan Transplantasi Karang”. Departemen Kelautan dan Perikaan. 93 hlm.
Harris L E, 2001. “Stability Analisis for The Submerged Reef Ball Breakwater Proposed or The
(Undiclosed Hotel) Resort”.
Murdock, L. J. dan Brook, K. M., 1999, “Bahan dan Praktek Beton”; diterjemahkan oleh Ir.
Stephanus Hendarko, Jakarta: Erlangga.
Nahumury, J.R. 2001. Analisis Pengaruh Waktu Pemancingan dan periode Bulan
Terhadap Jenis dan Komposisi Hasil tangkapan Handline di sekitar Rumpon Teluk Tornini.
Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72
hal.
Nurul Hikma) , Muhammad Kurnia, dan Faisal Amir. 2016. Pemanfaatan Teknologi Alat Bantu
Rumpon Untuk Penangkapan Ikan Di Perairan Kabupaten Jeneponto. Jurnal IPTEKS PSP,
Vol.3 (6) Oktober 2016 : 455 – 468.

Anda mungkin juga menyukai