Anda di halaman 1dari 19

PERBENIHAN DAN PENANGKARAN IKAN NAPOLEON DI KABUPATEN NATUNA

(Cheilinus undulatus)

NAMA : YOAN NADELA OKTA


NIM : L011181301
KELAS : PERBENIHAN B

LABORATORIUM PENANGKARAN DAN REHABILITASI EKOSISITEM LAUT


PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan napoleon adalah jenis ikan karang atau hidup disekitar terumbu karang dan tersebar
di seluruh perairan Indonesia, secara alami jumlah populasi ikan Napoleon relatif rendah,
biasanya secara visual terlihat antara 2 – 4 ekor dengan variasiasi ukuran antara 40 – 120 cm.
Ikan Napoleon mencapai dewasa atau matang gonad pada usia 4 – 5 tahun, dapat mencapai
ukuran 1,5 meter dengan berat 180 kg dan berumur panjang dan dapat mencapai umur 50
tahun, hidup secara soliter di perairan tropis dengan kedalaman antara 2 – 60 meter.
Wilayah sebarannya di dunia meliputi Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Ikan napoleon dalam bahasa Inggris dikenal dengan beberapa nama seperti Giant Wrasse,
Humphead, Humphead Wrasse, Maori Wrasse, Napoleon Wrasse, Truck Wrasse, dan Undulate
Wrasse. Sedangkan nama ilmiah hewan ini adalah Cheilinus undulatus. Dalam bahasa pasar
lokal biasa disebut mameng (Kao, 2016).
Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) merupakan spesies yang terdaftar
dengan status perlindungan ‗terancam‘ (threatened) pada Lampiran II CITES (CITES
Appendix
II) (Gillett, 2010; Sadovy et al., 2003) dan ‗terancam punah‘ (endangered) pada Daftar
Merah IUCN (IUCN Red List) (Colin, 2010; Sadovy & Suharti, 2008). Ikan tersebut dikategorikan
terancam punah karena di banyak negara populasi alaminya semakin sulit dijumpai akibat
penangkapan tak terkendali (Sadovy & Suharti, 2008). Meskipun demikian, menurut Gillet
(2010), status terancam menurut Lampiran II CITES masih memberikan ruang bagi
perdagangan ikan Napoleon selama kegiatan tersebut tidak berakibat buruk terhadap sintasan
(survival) species tersebut di alam. Sejak tahun 1990-an, ikan napoleon menjadi komoditas
unggulan dalam ekspor perikanan asal Indonesia karena wilayah perairan karang Indonesia
menjadi habitat potensialnya (Sadovy et al. 2003). Pada awalnya hal ini dianggap sebagai suatu
anugerah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
nelayan. Namun, dampak negatif dari perikanan napoleon kemudian menjadi isu penting dalam
kelestarian terumbu karang karena cara penangkapannya yang tidak ramah lingkungan dan
menimbulkan eksternalitas bagi usaha lain. Untuk menanggulangi kasus-kasus kerusakan
karang yang semakin sporadis, pemerintah melarang penangkapan ikan napoleon atas dasar
kerusakan habitat yang ditimbulkan oleh penangkapan yang tidak ramah lingkungan (Sadovy &
Suharti, 2008).
Selain dikenal sebagai komoditas bernilai tinggi, Ikan Napoleon diketahui merupakan
salah satu species pemangsa kunci yang memainkan peranan penting bagi proses ekologi dan
keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Ikan Napoleon dilaporkan memangsa bintang laut
berduri (Crown of Thorns starfish) yang diketahui merupakan pemangsa organisme pembangun
terumbu karang (Sadovy et al., 2003). Kajian menunjukkan bahwa hilangnya ikan Napoleon dari
ekosistem terumbu karang akan mendorong meledaknya populasi bintang laut berduri yang
pada gilirannya memangsa organisme pembangun terumbu secara besar-besaran (CRC Reef
Research Centre, 2003). Di Indonesia, penangkapan ikan Napoleon sudah sejak sejak lama
dilarang melalui Keputusan Menteri Pertanian 375/1995 tentang Larangan Penangkapan Ikan
Napoleon Wrasse (secara terbatas). Meskipun demikian perdagangan secara terbatas masih
diperbolehkan dengan penerapan sistem kuota yang membatasi jumlah ikan yang boleh
diekspor per tahun dan pintu ekspor ke luar negeri (Sadovy & Suharti, 2008).

Indonesia merupakan salah satu daerah penyebaran dan pengekspor ikan napoleon
(Cheilinus undulatus) di dunia. Pemanfatan jenis ikan ini telah diatur baik ditingkat nasional
yang dilindungi terbatas berdasarkan ukuran dan ditingkat internasional masuk di dalam daftar
Appendiks II CITES. Salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki sumber daya ikan
napoleon melimpah adalah Kabupaten Natuna. Keterbatasan serta bberkurangnya populasi
Ikan Napoleon di alam mengacu pada pentingnya diadakan pembenihan dan budidaya
Napoleon guna memenuhi perekonomian serta restocking di alam.

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari laporan praktikum ini adalah mahasiswa mengetahui tata cara perbenihan
dan penangkaran biota laut yang dilindungi yaitu Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus).
Manfaat dari laporan praktikum ini adalah mahasiswa memahami proses perbenihan dan
penangkaran biota laut yang dilindungi yaitu Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus).

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari praktikum ini adalah mengenai perbenihan dan penangkaran Ikan
Napoleon dimulai dari fasilitas pembenihan meliputi; Tata letak, bahan dan model/bentuk bak
yang diigunakan, pengadaan induk, pemeliharaan, pematangan gonad, pemijahan,
pemeliharaan larva dan post larva, penyediaan pakan alami, pencegahan dan pengobatan
penyakit, serta pengeloaan kualitas air.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Taksonomi Kima

Secara taksonomi, ikan napoleon berasal dari phylum Chordata, subphylum Vertebrata,
superclass Gnathostomata, superclass Pisces, class Actinopterygii, ordo Perciformes dan famili
Labridae. Ikan napoleon paling sering disebut dengan nama dagang Humphead, Maori Wrasse
atau So Mei karena karakteristik bagian kepala yang menonjol (cembung) mulai di atas mata ke
belakang. Namun ciri ini juga dimiliki oleh satu spesies anggota famili Scariae, ialah ikan
kakatua, Bolbometopon muricatum (Valenciennes, 1840).

B. Morfologi Kima

Panjang ikan ini bisa mencapai 1.5 meter. Dan beberapa ikan bisa mencapai ukuran
sampai 180 kg pada usia 50 tahun. Ketika muda, ikan napoleon terlihat pucat dengan garis -
garis vertikal lebih gelap. Begitu dewasa, warna tubuhnya menjadi hijau kebiru-biruan dengan garis-
garis lebih jelas. Bibirnya menebal macam bibir Mick Jagger. Bagian atas kepalanya pun, di
atas mata, menjadi benjol ke depan. Karena ponoknya itu, orang pun menamainya Wrasse kepala
berponok (Humphead wrasse). Wajahnya memiliki garis-garis tak beraturan. Di belakang
matanya terdapat dua garis pendek berwarna hitam. ―Goresan‖ hitam ini menyerupai
ornamen wajah suku Maori di Selandia Baru. Maka, ikan napoleon pun mendapat julukan lain,
Maori wrasse (Kasim, 2008).

C. Tingkah Laku Ikan Napoleon


Cara makan ikan ini yaitu dengan membongkar karang mati dengan gigi besarnya untuk
mencari siput dan cacing-cacingan yang terkubur. Mereka gemar sekali makan kerang-kerang
yang berukuran besar seperti Triton.Ikan ini sanggup memecahkan cangkang kerang-kerangan
tersebut dengan mudah untuk diambil dagingnya.Bunyi gerusan mulutnya ketika makan, sangat
menarik bagi para penyelam sehingga diibaratkan seperti sekelompok anak-anak yang sedang
memakan kembang gula.Kadang-kadang juga ikan besar ini mengasah giginya pada karang
massif (padat) sehingga meninggalkan bekas goresan yang menakjubkan (Bela, 2020).
Selain itu salah satu makanan utama dari ikan napoleon ialah mahkota bintang berduri.
Mahkota bintang berduri adalah organisme yang tergolong dalam phylum Echinodermata,
subphylum Asterozoa, class Asteroidea, ordo Valvatida dan famili Acanthasteridae. Spesies ini
mempunyai ukuran terbesar kedua setelah jenis bintang laut bunga matahari (sun flower sea
star). Jenis makanan utamanya ialah coral polyp dan aktif mencari makan pada saat malam hari
(nocturnal). Pada siang hari dia akan berlindung dari sinar dengan menempel pada bagian
bawah karang. Beberapa peneliti meyakini bahwa ikan napoleon juga secara aktif
mengkonsumsi telur dari mahkota bintang berduri ini. Keberadaan ikan napoleon, oleh karena
itu, dinyatakan sebagai salah satu key stone species. Jika jumlah populasi ikan napoleon
berkurang, habitat terumbu karang diduga akan mengalami ledakan populasi mahkota bintang
berduri (Bela, 2020).

D. Habitat Ikan Napoleon


Ikan Napoleon (Cheilunus undulatus) merupakan salah satu ikan karang besar yang
hidup pada daerah tropis. Kehidupan hewan ini umumnya sama dengan ikan karang lain yang
hidup secara soliter. Para penyelam biasanya menemukan ikan ini berenang sendiri pada
daerah sekitar karang. Dan biasanya sangat jinak dengan para penyelam. Ikan ini biasanya
tidak terusik dengan aktivitas para penyelam. Kebiasaan hidup sendiri pada kedalaman tertentu
membuat hewan ini sangat dinantikan oleh para penyelam untuk melihat atau bahkan memotret
hewan ini. Biasanya ikan berenang sendiri mencari makan didaerah dekat karang, karena
makanannya yang berupa beberapa jenis sea urchin, molusca dan crustacean memang banyak
berada pada daerah sekitar karang. Khusus untuk dibeberapa perairan Indonesia, kita dapat
menemukan ikan ini hidup disekitar daerah sekiatar Irian (raja ampat dan sekitarnya), perairan
Sulawesi tenggara (kabupaten Buton, Perairan Wakatobi dan sekitarnya), Periaran Sulawesi
Utara (Bunaken dan sekitarnya), Perairan Nusa Tenggara (Sikka dan sekitarnya), perairan
Sulawesi selatan (Takabonerate dan sekitarnya), Perairan Maluku (Kasim, 2008).
E. Kawasan Suaka Perikanan
Keberadaan kawasan konservasi perairan di Kabupaten Natuna memberikan peluang
besar dalam rangka melindungi sumber daya ikan napoleon dan sumber daya ikan lainnya.
Kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) di Kabupaten Natuna yang ada saat ini terletak di
Desa Kelarik Kecamatan Bunguran Utara (SK Bupati Nomor: 299 Tahun 2007) (Nikwati et al.,
2018). Namun demikian jumlah tersebut masih kurang jika dibandingkan dengan luas perairan
laut Kabupaten Natuna. Untuk itu perlu dikembangkan pula KKPD di perairan lainnya. Menurut
Li (2000) dengan adanya marine protected area (MPA) ancaman terhadap sumber daya ikan
termasuk napoleon semakin menurun. Ini menunjukkan upaya konservasi memberikan dampak
yang positif terhadap sumber daya ikan napoleon. Lokasi suaka perikanan yang disarankan
merupakan daerah pantai yang ditutupi karang dan makroalga dengan lokasi pesisir pantai di
Pulau Meraguk (Nikwati et al., 2018), Pulau Sedanau dan Pulau Tiga (Kusumaningtyas et al.,
2014).
F. Pengembangan Kelembagaan Pemanfaat

Untuk menjamin pelaksanaan kegiatan ranching secara berkelanjutan, maka perlu


dibentuk kelembagaan pemanfaat berupa kelompok nelayan dan pembudidaya. Dengan
adanya kelompok tersebut pembinaan khusus terkait mekanisme ranching lebih mudah dan
tepat sasaran. Pembinaan khusus terkait mekanisme ranching langsung dibawah management
authority CITES nasional sebagai pihak yang berwenang menangani CITES. Anggota kelompok
nelayan terdiri nelayan penangkap benih napoleon, pengepul benih, dan pembudidaya
napoleon (Prianto, dkk. 2020).

G. Pengendalian Penangkapan
Upaya penangkapan benih ikan napoleon masih menggunakan peralatan yang
sederhana. Walaupun demikian, menangkap benih di alam sangat mudah dilakukan, sehingga
dalam sehari rata-rata nelayan setidaknya mampu menangkap 5-10 ekor/hari. Harga benih ikan
napoleon ukuran 1 inci sekitar Rp. 50.000/ ekor sedangkan 2 inci berkisar Rp. 70.000-120.00/
ekor. Harga tersebut cukup mahal menyebabkan banyak masyarakat yang mencari benih
napoleon di alam. Agar penangkapan benih tidak terjadi secara berlebihan maka perlu adanya
pengendalian penangkapan. Penangkapan benih napoleon sebaiknya tidak dilakukan pada Januari-
Februari karena pada periode tersebut ukuran benih rata-rata 0,5-1 inci. Ukuran tersebut masih
terlalu kecil, jika dipelihara tingkat mortalitasnya sangat tinggi. Jumlah benih yang ditangkap di
alam seharus disesuaikan dengan kuota ekspor yang diberikan setiap tahunnya. Hasil penelitian
Syam et al. (2015), dilaporkan tingkat kelulushidupan ikan napoleon yang diperlihara di karamba di
Kabupaten Anambas mencapai 89 %. Dengan demikian jika kuota di Kabupaten Natuna
sebesar 5.000/tahun, sebaiknya jumlah benih yang bisa dimanfaatkan dari alam tidak melebihi
dari 6.000 ekor/tahun (Prianto, dkk. 2020).
BAB III
TEKNIK PEMBENIHAN DAN PENANGKARAN

A. Tujuan dan Sasaran Restocking


Restoking merupakan bagian dari upaya pengkayaan populasi ikan di suatu perairan
tertentu, di mana jenis ikan yang dimasukkan ke dalam perairan tersebut merupakan ikan asli
tempatan (native species). Tujuan utama melakukan restoking adalah meningkatnya ukuran
populasi ikan lokal yang sebelumnya mengalami penurunan akibat penangkapan atau
penyebab lainnya termasuk gangguan habitat, pencemaran, ataupun penyebab yang bersifat
ekologis misalnya persaingan dan pemangsaan. Restoking juga bertujuan untuk
mempertahankan tingkat keanekaragaman hayati ikan di suatu perairan, sehingga keragaman
genetik dapat dipertahankan. Terjaganya biodiversitas biota perairan termasuk ikan merupakan
upaya untuk mempertahankan struktur dan fungsi ekologis kawasan perairan serta flora dan
fauna yang berasosiasi di dalamnya. Hal ini akan menjamin keseimbangan ekologis (ecological
balance) yang merupakan ciri dari suatu perairan yang sehat.
Sasaran kegiatan restoking adalah lokasi perairan yang sebelumnya diketahui telah
mengalami penurunan sumberdaya ikan-ikan lokalnya. Dasar yang dapat digunakan untuk
mengetahui kondisi tersebut dapat merupakan hasil riset maupun informasi yang diperoleh dari
masyarakat/komunitas lokal. Sasaran berikutnya adalah jenis ikan lokal yang sudah menurun
tersebut untuk dilakukan penambahan/pengkayaan, yaitu melalui penebaran anak-anak ikan
atau stadia tertentu dari jenis yang menurun tersebut yang dihasilkan dari budidaya. Oleh sebab
itu kegiatan restoking tidak akan optimal bilamana tidak didukung oleh sarana dan prasarana
budidaya ikan, dengan intervensi manusia melalui upaya domestikasi dan pembudidayaan,
kemudian anakannya atau stadia yang lebih besar dikembalikan ke habitat aslinya (DKKJI-KKP,
2015).

B. Kaidah Pelaksanaan Restocking


Filosofi dasar dari pelaksanaan restoking adalah memasukkan jenis ikan pada berbagai
stadia (anakan, pra-dewasa, dan dewasa) ke dalam populasi asalnya sebagai upaya untuk
menambah ukuran populasi yang sudah ada di suatu perairan. Jenis ikan yang dimasukkan
tersebut adalah merupakan turunan (F1, F2, dan seterusnya) yang dihasilkan dari kegiatan
budidaya. Dalam hal ini, restoking berawal dari pengambilan induk jantan dan betina dari suatu
jenis ikan yang ada di suatu kawasan perairan tersebut (DKKJI-KKP, 2015).
Agar pelaksanaan restoking berhasil dengan baik, maka restoking harus didukung oleh
infrastruktur budidaya yang memadai. Idealnya adalah UPT (Unit Pelaksana Teknis) yang
berada di bawah pengelolaan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Selain itu juga
dapat bekerjasama dengan Balai Benih Ikan (BBI) setempat atau UPT sejenisnya yang memiliki
tupoksi dalam domestikasi dan budidaya ikan-ikan lokal. Oleh karena itu unit-unit tersebut perlu
dilibatkan sejak saat perencanaan. Faktor lainnya yang dapat menjadi kunci keberhasilan dalam
melaksanakan program restoking adalah adanya kejelasan sejak awal mengenai siapa dan
mengerjakan apa. Demikian juga jika misalnya Direktorat KKJI berinisiatif melakukan upaya
pemulihan populasi ikan melalui restoking maka seluruh tahapan, mekanisme, hingga
monitoringnya harus jelas. Idealnya, restoking adalah dengan melibatkan masyarakat lokal
yang wilayahnya merupakan lokasi kegiatan restoking.
Secara teknis, restoking hanya dapat dilakukan bilamana kondisi perairan yang
memungkinkan untuk dilakukan penebaran ikan. Namun sebelum ikan tersebut benar-benar
ditebarkan, perlu diketahui komposisi jenis dan struktur komunitas ikan yang ada di perairan.
Hal ini merupakan informasi dasar dalam mengetahui jenis dan peranan dari setiap jenis ikan
yang ada di perairan. Setelah restoking dilakukan, maka berikutnya adalah melakukan
monitoring keberhasilannya. Untuk lebih optimal, maka dukungan masyrakat dan struktur
kelembagaan yang jelas sangat menentukan keberhasilan upaya ini (DKKJI-KKP, 2015).
Uraian berikut ini menyajikan beberapa tahapan umum yang perlu dilakukan dalam
melaksanakan restoking (DKKJI-KKP, 2015);
1. Populasi jenis ikan yang akan direstoking -> diketahui telah menurun drastis yang
ditandai dengan rendahnya hasil tangkapan oleh nelayan dan penelitian mengenai
populasi;
2. Identifikasi terlebih dahulu -> penyebab menurunnya populasi jenis ikan yang akan
direstoking dan dicari alternatif pemecahannya;
3. Perairan yang akan ditebar memiliki persyaratan fisik-kimiawi, dan ketersediaan pakan
alami bagi jenis ikan yang direstoking-> diukur sebelum dan pada saat pelaksanaan
restoking, serta dimonitor secara periodik;
4. Pemilihan jenis ikan -> masih memiliki kemurnian genetik, termasuk langka, berpotensi
secara ekonomi dan atau secara ekologis;
5. Restoking ditujukan untuk meningkatkan populasi secara permanen dan sebaiknya
dalam pemanfaatannya tidak secara langsung -> diantaranya melalui wisata alam (Eco-
tourism);
6. Restoking diharapkan bisa berperan pula untuk reklamasi habitat/ekosistem;
7. Gangguan oleh predator dan ancaman lainnya -> telah diidentifikasi dan diantisipasi
seminimal mungkin;
8. Program restoking harus ada koordinasi dan konsistensi antara stakeholders (Karantina
Ikan, Balai Benih, Dinas Perikanan, Lingkungan Hidup, Perencanaan Pembangunan,
dan pelibatan masyarakat di sekitar lokasi restoking);
9. Benih ikan yang akan direstoking bisa diperoleh dengan mudah-> tersedia di Panti
Benih atau Balai Benih Ikan;
10. Ukuran dan kondisi ikan -> ukuran aman dari predator dan kondisinya sehat
(pemberokan, sortir, packing, dan transporting). Pada dasarnya restoking dapat
dilakukan dengan melepaskan ikan pada berbagai stadia. Namun umumnya ikan yang
dilepaskan adalah stadia anakan atau pra-dewasa. Keuntungannya menebar pada
stadia ini, selain bisa menebar dalam jumlah individu ikan yang memadai, juga dapat
menekan biaya terkait durasi pemeliharaan dan pemberian pakan selama periode
domestikasi dan budidaya. Contohnya adalah restoking yang dilakukan PKSPL-IPB
bekerjasama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta yang didukung oleh
Conoco Philips yang menebarkan kembali ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) ke alam liarnya di ekosistem terumbu karang perairan Semak Daun dan
sekitarnya. Ukuran ikan yang ditebar saat itu adalah antara 12-15 cm (stadia anakan),
yang mana pada kondisi tersebut ikan sudah mampu mencari makanan alami dan
sudah memiliki kemampuan menghindari predator alamiahnya.
11. Tahapan penebaran -> waktu yang tepat (pagi atau sore hari), dilakukan aklimatisasi
dan pemberian pakan pada tahap awal;
12. Kepadatan tebar -> dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan ukuran ikan
yang ditebar. Perlu dilakukan kerjasama dan koordinasi yang intensif dengan BBI/Panti
Benih agar jumlah yang diperlukan untuk kegiatan restoking dapat terpenuhi.
13. Hasil restoking -> dilakukan melalui monitoring/pemantauan secara periodik langsung.

C. Penangkapan Anakan Ikan Napoleon


Penangkapan anakan dilakukan oleh nelayan dengan cara sederhana. Pengetahuan lokal
mereka sangat membantu untuk mendapatkan anakan. Mereka sangat mengenali habitat,
perilaku, dan morfologi anakan ikan napoleon. Teknik penangkapan yang mereka lakukan
berkembang berdasarkan pengetahuan tersebut. Alat tangkap yang digunakan sangat
sederhana. Alat transportasi yang digunakan untuk ke lokasi penangkapan menggunakan
perahu bermotor dan perahu tanpa motor (ukuran < 5 GT). Penangkapan anakan dilakukan
dengan cara penyelaman (Prianto, dkk. 2020).
Bagi nelayan merupakan hal yang mudah untuk mengenali anakan ikan napoleon yang
bersembunyi di bawah naungan makroalga, bahkan nelayan juga mempunyai pengetahuan
untuk membedakannya dengan anakan ikan jenis lain. Cara berenang anakan ikan napoleon
sangat unik dan cara ini merupakan salah satu cara nelayan untuk membedakannya dengan
anakan jenis ikan lainnya. Pergerakannya cukup lambat dan tidak seimbang dengan ekor
cenderung naik ke arah atas. Suharti (2009) menyatakan bahwa anakan ikan napoleon
(postlarvae) memiliki warna hitam dan putih serta memiliki sepasang garis hitam yang jelas di
setiap matanya, memanjang ke arah belakang. Anakan yang berukuran kurang dari 3 inchi tidak
terlalu aktif berenang, sehingga mudah untuk ditangkap. Ketika makroalga yang menaungi
disibakkan, anakan ikan ini akan berdiam diri sejenak lalu berenang perlahan menuju ke
rimbunan makroalga terdekat lainnya.
Penangkapan anakan ikan napoleon dilakukan di dekat pantai (inshore) dengan
kedalaman 1-2 m. Lokasi anakan paling banyak ditemui pada perairan yang ditumbuhi oleh
makroalga yang diidentifikasi sebagai Sargasum spp. Anakan ikan napoleon berklamufase
dengan makroalga, sehingga keberadaannya diperairan sangat sulit ditemukan bagi yang tidak
terbiasa.
Ukuran anakan yang ditangkap terdiri dari tiga kelompok ukuran yaitu 1 cm, 2-7 cm, dan 7-
10 cm. Nelayan mengistilahkan kelompok ukuran pertama sebagai ukuran biji beras. Kelompok
ukuran kedua merupakan kelompok ukuran yang paling banyak ditangkap (gambar 6). Hal ini
dikarenakan kelompok ukuran kedua mudah ditangkap dibandingkan dengan kelompok ketiga.
Keadaan ini disebabkan anakan kelompok ukuran kedua lebih banyak bernaung di makroalga
dan berenangnya belum gesit seperti kelompok ukuran ketiga. Selain itu, tingkat kelolosan
hidup anakan kelompok ukuran kedua lebih tinggi dari pada kelompok ukuran satu. Syam et al.
(2015) menyatakan bahwa anakan yang dipelihara selama enam bulan dengan ukuran kelompok
kedua mempunyai tingkat kelolosan hidup (survival rate/sr) sekitar 89%. Nelayan melakukan
penangkapan mulai agustus hingga maret. Puncak musim penangkapan berlangsung pada bulan
november dan desember yang sebagian besar anakan pada kelompok ukuran kedua. Ukuran
anakan yang ditangkap nelayan dipastikan tidak melanggar regulasi yang berlaku. Adapun
ketentuan yang tercantum di dalam kepmen KP Nomor 37 tahun 2013 menyatakan bahwa
ukuran ikan napoleon yang boleh ditangkap dari alam adalah kurang dari 100 gram. Syam et
al. (2015) menyatakan bahwa anakan berukuran 3,4 – 9,2 cm mempunyai berat 0,9 – 14,0 g
(Prianto, dkk. 2020).

D. Pembesaran dan Pemeliharaan Ikan Napoleon


Pemeliharaan anakan (2–7 cm) hingga mencapai ukuran layak jual (1000 g)
membutuhkan waktu 4 sampai 5 tahun. Padat tebar masing-masing keramba berkisar antara 35
hingga 200 ekor. Selama masa pemeliharaan pakan yang diberikan berupa kepiting dan ikan.
Kepiting diberikan untuk anakan hingga berukuran 15 cm dengan waktu pemeliharaan 1 tahun.
Ikan rucah segar diberikan untuk ikan berukuran di atas 15 cm. Ikan rucah segar didapatkan
dari hasil tangkapan nelayan di perairan Natuna. Umumnya, alat yang digunakan adalah bagan.
Ikan yang dipelihara dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan lama. Pemeliharaan ditaruh di
dalam keramba yang berbeda. Hal ini akan mempermudah ketika akan memilih ikan yang
sudah siap untuk dijual. Saat itu, ikan napoleon yang boleh diperjualbelikan berukuran 1000 –
3000 g. Ukuran itu berdasarkan ketentuan yang tercantum di dalam kepmen nomor 37 tahun
2013. Jumlah ikan napoleon yang dipelihara dengan ukuran yang siap dijual dalam jangka
waktu 3 tahun sekitar 54.000 ekor (Prianto, dkk. 2020).

E. Reproduksi dan Pemijahan Induk Ikan Napoleon


Ikan napoleon tergolong ikan yang lambat untuk matang seksual (umur 5-7 tahun). Ikan
ini akan berganti kelamin dari jantan menjadi betina saat dewasa (hemafrodit protogini).
Usianya yang panjang membuat kemampuan recovery untuk menggantikan ikan yang mati
sangat lambat. Kebanyakan ikan yang ditangkap adalah ukuran anakan atau setara ukuran
kurang dari 50cm. Ukuran ini paling disukai konsumen karena sesuai dengan ukuran piring
yang disajikan (Kao, 2016).
Sistem reproduksi pada ikan napoleon yaitu ikan ini mempunyai pola reproduksi
yang Hermafrodit protogini. Biasanya ikan ini lahir sebagai hewan jantan dan akan berubah
menjadi betina saat menjelang dewasa. Sehingga kadang ditemukan dominasi jantan pada satu
populasi ikan kecil sampai ukuran sedang dan akan berubah menjadi dominasi populasi betina
saat mendekati matang gonad. Ini memang fenomena unik dialam yang merupakan salah satu
strategi sebagian besar hewan laut utntuk mempertahankan kehidupan populasi mereka
(Kasim, 2008).
Di sini ikan napoleon jantan ada dua tipe, yakni mereka yang terlahir sebagai jantan dan
tetap sebagai jantan sejati sampai akhir hayat, dan mereka yang memulai hidup sebagai betina
dan dalam masa kehidupan berikutnya berubah fungsi sebagai jantan. Perubahan menjadi
betina biasanya terjadi setelah berumur 5 – 10 tahun atau berbobot badan kurang dari 10 – 15
kg. Namun, pergantian kelamin dan bagaimana perubahan kelamin terjadi masih menyimpan
misteri. Ada sejumlah faktor yang diperkirakan bisa mendorong perubahan jenis kelamin tadi.
Yakni hubungan antarikan napoleon jantan dan dominasi sosial, atau dalam hal lebih spesifik,
ukuran tubuhnya. Ikan napoleon betina bertelur sepanjang tahun di pinggir atau bagian luar
lereng terumbu karang (Kasim, 2008).
Bak bervolume 100 m3, dilengkapi dengan sistem aerasi dan bak ditutup dengan waring.
Selanjutnya, bak dialirkan air laut dengan sistem air mengalir sebanyak 300%—400% per hari.
Induk ikan napoleon berjumlah 8 ekor yang terdiri atas 4 ekor induk jantan dan 4 ekor betina
dipelihara dalam tangki pemeliharaan. Pakan terdiri atas: ikan layang, cumi, udang, dan
kekerangan diberikan sebanyak 2%—5%/hari, secara ad libitum. Pada masa pemijahan
dipasang jaring kolektor telur. Telur di kolektor dipanen dengan serok telur berukuran mata
jaring 200 mikron, kemudian dipindahkan kedalam bak serat glass transparant volume 30 L.
Telur dibersihkan dengan cara diputar dan didiamkan beberapa menit. Telur yang mengapung
didiamkan sedangkan telur yang ada di dasar dibuang dengan cara disipon dengan selang
aerasi dan ditampung di baskom, kemudian pada masing-masing tangki diberi aerasi. Untuk
mengetahui jumlah telur pada masing-masing tangki dapat diketahui dengan metode sampling
yaitu suatu cara mengambil sejumlah sampel telur dalam tangki penampungan menggunakan
beaker glass volume 20 mL, kemudian telur dituang kedalam cawan gelas dan dihitung satu per
satu. Pengambilan sejumlah sampel diulang sebanyak 3—5 pada posisi yang berbeda dalam
kondisi beraerasi. Hasil yang diperoleh adalah pemijahan induk ikan napoleon terjadi pada
triwulan III, jumlah telur yang dihasilkan meningkat dari 1.500.000 butir menjadi 5.125.000 butir.
Walaupun jumlah telur meningkat (1.500.000—5.125.000 butir), namun rasio pembuahan dari
66% menjadi 33% dan rasio penetasan cenderung menurun dari 45% menjadi 44%
(Sudarmayasa, 2008).

F. Fase Pertumbuhan
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2013), terdapat beberapa fase
perkembangan ikan napoleon.
Fase 1. Fase Larva
Jenis Ikan Napoleon pada fase larva banyak dijumpai di daerah padang lamun
(seagrass) dari jenis Enhalus acoroides, di karang keras dari
genus Acropora dan Porites, di soft coral dari jenis Sarcophyton sp.

Fase 2. Juvenil
Juvenil napoleon berwarna hijau pucat dengan garis-garis berwarna gelap pada
sisiknya. Juvenil yang berukuran 3 (tiga) sampai dengan 20 (dua puluh) sentimeter TL
(Total Length) atau lebih dijumpai di daerah terumbu di dalam laguna –dengan karang
yang subur (inner reef).
Terutama dari karang bertanduk dan Acropora spp, daerah padang lamun
(seagrass), perairan yang keruh di terumbu karang, perairan dangkal berpasir
dekat laguna dan daerah mangrove yang berdekatan dengan terumbu karang.
Fase 3. Dewasa
Ikan dewasa memiliki tonjolan dibagian dahinya dan memiliki bibir yang padat
dengan sepasang gigi yang keras. Begitu dewasa, warna tubuhnya menjadi hijau kebiru-
biruan dengan garis-garis lebih jelas.
Ikan dewasa lebih umum dijumpai di daerah yang lebih dalam, menyukai daerah
lereng terumbu, daerah terumbu yang curam, rataan terumbu, daerah kanal yang curam
di dalam terumbu, daerah laguna sampai kedalaman 100 (seratus) meter.
G. Restocking Hasil Budidaya Ke Alam
Untuk menjamin kelangsungan stok induk di alam perlu dilakukan restocking calon induk
secara berkesinambungan. Setiap nelayan yang memanfaatkan benih ikan napoleon dari alam
dan membesarkannya hingga mencapai ukuran dewasa wajib melakukan restocking induk
minimal sebanyak 10% dari total benih yang dipelihara dengan ukuran > 100 mm. Restocking
calon induk dilakukan dengan harapan induk yang ditebar dapat memijah dan menjamin proses
rekrutmen di alam secara alami (Prianto, dkk. 2020).
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ikan napoleon adalah jenis ikan karang atau hidup disekitar terumbu karang dan tersebar
di seluruh perairan Indonesia. Ikan Napoleon termasuk ikan yang berumur panjang dan memiliki
daya tarik tinggi terutama bagi bidang ekonomi dan konsumsi. Pemanfaatan ikan napoleon
melalui sistem budidaya di Kabupaten Natuna dapat membantu keberadaan populasi ikan
napoleon di alam.
Sumber daya ikan napoleon di Kabupaten Natuna telah memberikan manfaat yang besar
dan telah berlangsung lama baik bagi masyarakat sekitar maupun bagi perekonomian
Indonesia, sehingga upaya pengelolaan secara lestari perlu dilakukan. Opsi pengelolaan dapat
dilakukan melalui:
i) Pembatasan ukuran ikan yang ditangkap,
ii) Membentuk kawasan suaka perikanan,
iii) Restoking hasil budidaya ke alam,
iv) Pengendalian penangkapan, dan
v) Pengembangan kelembagaan pemanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Bela, J.N.M. 2020. Ikan Napoleon: Klasifikasi, Morfologi, Habitat Dll. FPIK Universitas
Brawijaya.

Colin PL. 2010. Aggregation and spawning behaviour of the humphead wrasse Cheilinus
undulates (Pisces: Labridae): general aspects of spawning behaviour. Journal of Fish
Biology. 76: 987-1007.

CRC Reef Research Centre (2003). Crown-of-Thorns starfish in the Great Barrier Reef –
Current state of knowledge. Townsville: CRC Reef Research Centre, 6 hal.

DKKJI-KKP. 2015. Pedoman Umum Restoking Jenis Ikan Terancam Punah. Jakarta.

Kao, E. 2016. Exposed: the illegal Hong Kong trade in endangered coral reef fish. Hongkong:
South China Morning Post. http://m.scmp.com/news/hong-kong/health-
environment/article/1926859/exposed-illegal-hong-kong-trade-endangered- coral?
utm_source=&utm_medium=&utm_campaign=SCMPSocialNewsfeed

Kasim, Ma‘ruf. 2008. Mengenal Ikan Napoleon. Jurnal Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Kusumaningtyas, M. A., Bramawanto, R., Daulat, A., & Pranowo, W. S. (2014). Kualitas
Perairan Natuna Pada Musim Transisi. Depik, 3(1):10-20.

Prianto E.2, Reny Puspasari1, Dian Oktaviani1, Priyo Suharsono Sulaiman1 dan Regi Fiji
Anggawangsa1. 2020. Pemanfaatan Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus, Rüppell 1835)
Melalui Sistem Perikanan Budidaya Di Kabupaten Natuna. 1Pusat Riset Perikanan, Gedung
BRSDM KP II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430, Indonesia. 2Dosen Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Riau, Kampus Bina
Widya KM. 12,5, Simpang Baru, Kec. Tampan, Kota Pekanbaru, Riau 28293, Indonesia.

Sadovy Y. 1996. Reproduction in reef fishery species. In: Reef fisheries. NVC Polunin, CM
Roberts (Eds). London: Chapman & Hall. p. 15– 59.

Sadovy Y. 1997. Live reef fishery species features prominently in first marine fish IUCN Red
List. Live Reef Fish Information Bulletin. No. 2, Secretariat of the Pacific Community,
Noumea, pp. 13–14.
Sadovy Y. 2006. Napoleon Fish (Humphead Wrasse), Cheilinus undulatus, Trade in Southern
China and Underwater Visual Census Survey in Southern Indonesia. Final Report: IUCN
Groupers & Wrasses Specialist Group. 25 pp.

Sadovy Y. 2006b. Development of fisheries management tools for trade in humphead wrasse,
Cheilinus undulatus, in compliance with Article IV of CITES. IUCN Groupers & Wrasses
Specialist Group. Final Report April 2006, 103 pp.

Sadovy Y. 2010. Wawancara pribadi. Mrs. Yvonne Sadovy adalah ketua tim dari IUCN
Groupers & Wrasses Specialist Group yang telah melakukan kegiatan monitoring Napoleon
di berbagai wilayah perairan Indonesia, termasuk Karas tahun 2005.

Sadovy Y, ACJ Vincent. 2003. Ecological issues and the trades in live reef fishes. In: Coral reef
fishes. Dynamics and diversity in a complex ecosystem. PF Sale (Ed). Academic Press, San
Diego, CA, p. 391– 420 .

Sadovy Y, M Kulbicki, P Labrosse, Y Letourneur, P Lokani, TJ Donaldson. 2003. The


humphead wrasse, Cheilinus undulatus: Synopsis of a threatened and poorly known giant
coral reef fish. Reviews in Fish Biology and Fisheries. 13(3):327–364.

Sadovy Y, H Purnomo, S Suharti, IN Edrus. 2011. Monitoring Ikan Napoleon di Kabupaten


Karas, Fak Fak, Papua. 19 hal (Unpublished).

Sadovy Y, Punt AE, Cheung W, Vasconcellos M, Suharti S, Mapstone BD. 2007. Stock
assessment approach for the Napoleon fish, Cheilinus undulatus, in Indonesia. A tool for quota-
setting for datapoor fisheries under CITES Appendix II non-detriment finding requirements. FAO
Fisheries Circular. No. 1023. Rome, FAO. 71 pp.

Sadovy Y, M Liu, S Suharti. 2010. Gonadal development in a giant threatened reef fish, the
humphead wrasse Cheilinus undulatus, and its relationship to international trade. Journal of
Fish Biology. 77: 706– 718.

Sadovy Y, S Suharti, IN Edrus, R Bowo. 2012. Monitoring Ikan Napoleon di Taman Nasional
Bunaken Sulawesi Utara. Laporan Proyek, 11 hal (Unpublished).

Sudarmayasa K. A., Arif A.G. 2008. Pemijahan Induk Ikan Napoleon (Cheilinus Undulatus) Di
Bak Terkontrol. Jurnal Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, Vol.7, No.1.
Link Video:
https://youtu.be/g0VBXFAE0es diakses pada tanggal 3 November 2020.

https://youtu.be/1B1Psna2gWk diakses pada tanggal 3 November 2020.


LAMPIRAN

A. Fasilitas perbenihan (Camp Keramba)

B. Penangkapan Dan Pemisahan Bibit Npoleon Dari Bibit Ikan Lebam

C. Pemberian Pakan
D. Pemisahan Bak Induk Dan Anakan

Anda mungkin juga menyukai