Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN MONITORING POPULASI JENIS IKAN YANG

DILINDUNGI (HIU) DI BANDAR LAMPUNG

AHMAD JUMAIDI

SATUAN KERJA LOKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT


SERANG

DIREKTORAT JENDRAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

KEMENTRIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

2014
1.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiu yang dikenal juga dengan cucut (shark) merupakan golongan ikan bertulang rawan
(Elasmobranchi). Hiu memiliki karakter biologis yang spesifik seperti berumur panjang,
fekunditas rendah, jumlah anakan sedikit, lambat dalam mencapai matang kelamin dan
pertumbuhannya lambat, sehinga ketika terjadi kegiatan penangkapan yang berlebihan (over
eksploitasi), akan sangat sulit bagi populasi untuk kembali pulih. Kebanyakan hiu termasuk
predator pada lingkungan terumbu karang.

Ikan hiu hidup di lautan tropis maupun subtropis. Ikan hiu hidup di perairan yang sangat
bervariasi salinitasnya, di laut dekat pantai dan laut lepas. Di dunia diperkirakan ada 375-500
jenis yang terdiri atas delapan ordo yang didominasi oleh Carchariniformes (Compagno,
1984).

Ikan hiu termasuk dalam ordo Pleurotremata yang terdiri dari 20 suku dan ratusan jenis.
Dikatakan ada sekitar 250 -300 jenis hiu telah diketahui, dimana 29 jenis diantaranya
diketahui terdapat di Indonesia (Suharsono, 1981), tetapi Halstead (1959) dan Allen (1997)
menegaskan bahwa ikan hiu yang telah diketahui sekarang ini adalah sebanyak 350 jenis
yang tersebar di seluruh perairan, mulai dari Samudera Atlantik, Indo -Pasifik sampai
perairan Indonesia pada berbagai kedalaman. Ikan ini menjadi terkenal tidak hanya karena
kegunaannya yang besar sehingga selalu diburu dan dibunuh, melainkan sebaliknya dapat
membunuh manusia. Dari 350 jenis tersebut ternyata hanya 27 jenis saja yang diketahui telah
menyerang manusia (Anonimous, 1992). Ikan hiu yang sangat berbahaya dari semuanya
adalah ikan hiu putih besar (Charcharodon carcharias). Sera-ngannya terjadi kebanyakan di
laut terbuka, tapi sering juga di perairan pantai.

Ikan hiu hidup di perairan laut, payau dan air tawar dengan ukuran panjang tubuhnya ada
yang kurang 30 cm seperti hiu air.tengah (Squaliolus laticandus) dan ada yang mencapai
lebih dari 13,5 m seperti hiu paus (Rhincodon typus) yang terdapat di perairan beriklim
sedang dan perairan tropis.

Penangkapan hiu secara berlebihan dapat menjadi masalah karena sebagian besar hiu tidak
bereproduksi dengan cepat seperti ikan lainnya, yang berarti sangat rentan terhadap
eksploitasi besar-besaran. Beberapa kasus kepunahan misalnya jeni Lamna nasus di perairan
Atlantik Utara ( Anderson 1990 dan Campana et al. 2001 diacu dalam rahardjo 2007 );
Galeorhinus galius di California dan Australia; cucut botol (Squalus acanthias) di Laut Utara
dan British Colombia (Holden 1968; Ketchen 1986; Hoff dan Musick 1990 diacu dalam
Rahardjo 2007) dan beberapa hiu di pantai timur amerika (muick et al. 1993 dan NFMS 1999
diacu dalam Rahardjo 2007). Pemulihan sumberdaya hiu memerlukan waktu yang panjang.
Sebagai gambaran perikanan hiu di perairan California yang tidak dapat pulih kembali setelah
50 tahun yang lalu mengalami kepunahan akibat penangkapan yang berlebihan (Musick 2003
diacu dalam Rahardjo 2007).

Hiu diindonesia pada awalnya merupakan hasil tangkapan sampingan yang tidak secara
sengaja ikut tertangkap dari beberapa alat tangkap seperti rawai tuna dan jarring insang.
Kegiatan penangkapan hiu di Indonesia khususnya di Laut Jawa menurut Widodo (2000)
diacu dalam Rahardjo dilakukan secara intensif, meskipun sebagai hasil tangkapan
sampingan.

Tingkat pemanfaatan hiu diindonesia sampai saat ini belum bisa dipastikan karena minimnya
data yang tersedia di beberapa lokasi pendaratan ikan. Hiu merupakan hasil tangkapan
sampingan di beberapa daerah sering kali tidak dilaporkan sehingga tidak diketahui dengan
pasti jumlah, ukuran panjang, bobot maupun jenisnya yang tertangkap. Perkembangan
kegiatan pengolahan ikan hiu sampai saai ini juga belum terdata dengan baik. Akibatnya
peredaran olahan hiu di Indonesia juga belum diketahui.

Produk perikanan hiu dibandingkan dengan produk perikanan lainnya, pada awalnya,
umumnya memiliki nilai ekonomis yang rendah, khususnya dari pemanfaatan dagingnya.
Ancaman kepunahan sebenarnya tidak hanya terjadi pada hiu, namun juga sumberdaya ikan
lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hanya saja, ancaman kepunahan pada hiu jauh
lebih tinggi karena waktu pemulihannya sangat tinggi dan mahal (Rahardjo 2007).

Hiu tercatat sebagai salah satu spesies yang populasinya terancam punah. Melonjaknya
jumlah permintaan sirip hiu dan produk-produk hiu lainnya telah menyebabkan terjadinya
penangkapan besar-besaran terhadap hiu. Penangkapan hiu di Indonesia selama kurun waktu
tahun 2000-2010 rata-rata sebesar 106.288 ton/tahun (FAO, 2012 diacu dalam Lack and sand,
2012). Jumlah produksi tersebut menyumbang 13,1 % dari jumlah hiu terbesar di dunia.
Sebelum tahun 2005, FAO (2012) mencata ada dua kelompok spesies yang tertangkap di
Indonesia. Sekarang, satu spesies dan 10 kelompok spesies tertangkap dan dilaporkan.

Beberapa jenis hiu di Indonesia juga sudah masuk dalam daftar appendix CITES. CITES
pada bulan maret 2013 telah memasukan empat spesies hiu ke dalam daftar Appendik II
CITES yaitu : Carcharhinus Longimanus (hiu koboy atau Oceanic WHitetip), Sphyrna
Lewini (Hammerhead shark), Sphyrna mokarran (Great hammerhead shark) dan Sphyrna
Zygaena (smooth hammerhead shark). Kemudian pada 24 april 2013 CITES kembali
mengeluarkan daftar 12 jenis hiu yang masuk dalam appendix I, II dan III, yaitu sebagai
appendix I meliputi enam jenis Pristidae spp (Sawfishes). Appendix II meliputi: (1) Pristidae
microdon (Sawfish); (2) Cetorhinus maximum (Basking shark); (3) Cachodon carcharias
(Great white shark) dan (4) Rhincodon typus (whale shark). Appendix III meliputi: Sphyrna
Lewini (Hammerhead shark) di Kosta Rika dan Lamma nasus (Porbeagle) di beberapa
negara Eropa.

Ini berarti bahwa Indonesia sudah harus melangkah langkah-langkah Pengelolaan yang lebih
baik terhadap sumberdaya hiu di Indonesia. Dengan masuknya beberapa spesies hiu ke dalam
appendix II CITES, ini berarti kegiatan penangkapan masih tetap diperbolehkan, namun
dengan pengaturan yang ketat, yaitu mengatur pengelolaan spesies menuju ancaman punah
melalui aturan perdagangan yang ketat. Jauh sebelumnya, jenis hiu paus (Pristis microdon)
juga telah diatur pada konvensi tersebut.

Pengelolaan dan regulasi mengenai perikanan hiu di Indonesia belum dilakukan sepenuhnya.
Pengaturan terkait hiu yang sudah dilakukan di Indonesia diantaranya: (1) penetapan status
perlindungan penuh ikan hiu pasu (Rhincodon typus) berdasarkan Kepmen Kelautan dan
Perikanan No. 18 tahun 2013; dan (2) Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 26 tahun 2013
tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI, dimana dalam pasal73 disebutkan setiap kapal
penangkap ikan yang memiliki SIPI di WPP NKRI wajib melakukan tindakan konservasi
terhadap jenis spesies tertentu yang terkait secara ekologi dengan tuna, yang ditetapkan oleh
Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Jenis spesies tertentu tersebut berupa
ikan hasil tangkapan sampingan (bycatch) berupa hiu monyet (Threser shark), penyu laut,
dan mamalia laut seperti paus; atau non-ikan yang tertangkap secara tidak sengaja
(accidental catch) berupa burung laut. Tindakan konservasi terhadap ikan hasil tangkapan
sampingan tesebut meliputi: (a) melepaskan ikan tertangkap jika masih dalam kondisi hidup;
(b) melakukan penanganan dan/atau menyiangi ikan ikan yang tertangkap dalam keadaan
mati dan mendaratkannya dalam keadaan utuh; dan (c) melakukan pencatatan jeni ikan yang
tertangkap dalam keadaan mati, dan melaporkan kepada Direktur Jendral melalui kepala
Pelabuhan Pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI. Peraturan tersebut lebih focus pada
bycatch perikanan tuna, terutama jenis hiu monyet. Sedangkan untuk jenis-jenis ikan hiu
yang lainnya belum ada peraturannya, sehingga nelayan masih boleh melakukan usaha
penangkapan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kegiatan Identifikasi dan Monitoring Populasi Jenis Ikan
yang Dilindungi/Tidak Dilindungi di Lima Lokai ini menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Hasil kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kegiatan penangkapan
hiu yang ada di beberapa lokasi pendaratan ikan sehingga dapat dirancang tindakan
pengelolaan dan penetuan peraturan regulasi yang akan dilakukan ke depannya untuk
keberlanjutan sumberdaya ikan hiu di Indonesia

1.2 Tujuan Kegiatan


Kegiatan ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui perkembangan produksi hiu selama kurun waktu lima tahun terakhir.
2. Mengetahui jenis hiu yang dominan tertangkap di beberapa lokasi pendaratan di wilayah
kerja Loka PSPL Serang
3. Mengetahui kisaran ukuran panjang ikan hiu yang tertangkap dan alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan hiu dan lokasi daerah penangkapannya
4. Mengetahui para pelaku usaha perikanan hiu, termasuk harga dan pemasarannya, yang ada
di beberapa lokasi pendaratan ikan di wilayah kerja Loka PSPL Serang.

1.3. Manfaat Kegiatan


Hasil kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
1. Informasi jenis ikan hiu yang banyak tertangkap di beberapa lokasi perairan di wilayah
kerja Loka PSPL Serang.
2. Masukan untuk para pelaku usaha perikamam terkait kegiatan penangkapan hiu yang
bertanggung jawab.
3. Masukan bagi para pembuat atau pengambil kebijakan terkait pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Hiu


Menurut Nelson (1984), kedudukan taksonomi ikan hiu adalah sebagai
berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Super Class : Pisces
Class : Chondrichtyes
Sub class : Elasmobranchii
Sub Ordo : Selachimorpha

2.2. Morfologi/Anatomi Hiu


Ikan hiu memiliki bentuk tubuh yang bervariasi, tergantung dari spesiesnya. Hiu tidak
memiliki tutup insang yang berfungsi untuk memompa air ke rongga insang. Kulit hiu
memiliki sisik halus yang disebut dermal denctile. Jaringan daging dan gigi ikan hiu
menempel langsung pada lapisan kulit. Ikan hiu memiliki sirip dorsal, sirip kaudal, sirip anal,
sirip pelvik dan sirip pektoral. Ikan jantan dan betina mudah dibedakan. Hewan jantan
mempunyai sepasang klasper (Clasper) atau pendekap yang melebar dari area sirip pelvik
atau sirip panggul dekat kloaka. Pendekap ini berbentuk seperti dua jari dan sperma dituntun
oleh pendekap ini dari jantan ke kloaka betina (Reseck, 1988). Ikan hiu tidak mempunyai
gelembung renang dan cara untuk mengatasi ikan ini tidak tenggelam yaitu dengan berenang
secara terus-menerus (Anonymus, 1988)

Hiu (Gambar 1), mempunyai bentuk tubuh seperti torpedo, moncong berbentuk baji, terdapat
5 celah ingsang terbuka pada sisi kepalanya, mata dengan selaput (kelopak), gigi taring
bergerigi lurus dan sempit pada kedua rahang. Sirip dorsal berjumlah dua buah tanpa duri dan
sirip ekor mempunyai tipe epicercal (asimetris). Bagian ventral putih dan bagian dorsal
berwarna abu-abu (Nelson,1984).
Gambar 1. Bentuk Ikan hiu

2.3. Biologi Reproduksi


Hiu secara seksual dimorfik dimana ada perbedaan visual antara jantan dan betina. Pada
jantan memiliki panggul yang dimodifikasi menjadi claspers sirip pelvis yang digunakan
untuk pengiriman sperma. Gulungan Claspers terbentuk dari tulang rawan. Hiu jantan juga
telah memiliki testis. Testis internal terletak di ujung anterior tubuh di dalam rongga organ
epigonal. Kantung kemih dan saluran reproduksi bergabung bersama untuk membentuk sinus
urogenital. Dari sinus urogenitak ini akhirnya sperma dilepaskan ke dalam alur dari claspers
dan kemudian disampaikan ke betina selama kopulasi.

Pada betina memiliki ovarium internal yang ditemukan di anterior dalam rongga tubuh dan
berpasangan. Ovarium kiri sering lisis atau tidak ada telur. Sekali telur dilepaskan dan
dibuahi, sebuah horny shell atau membran dikeluarkan disekitar membran ketika telur
melewati kelenjar. Beberapa hiu menghasilkan sebuah shell yang tangguh dan dapat
melindungi anaknya. Dalam spesies lain telur berkenbang dan menetas didalam rahim betina.
Telur yang dihasilkan oleh tiap spesies sangat bervariasi. Ukuran diameter telur hiu sekitar 60
atau 70 mm dan terbungkus dalam kulit hingga diameter keseluruhannya dapat mencapai 300
mm.

Ada tiga model reproduksi dalam hiu. Secara umum kebanyakan hiu bersifat ovovivipar,
namun ada beberapa hiu yang bertelur. Bentuk yang paling maju disebut viviparity. Hal ini
terjadi ketika hiu betina menyediakan makanan bagi embrio yang ada dalam tubuhnya.
Makanan ini disebut sebagai sekresi susu uterus atau melalui koneksi plasenta. Reproduksi
yang kedua disebut ovoviviparity. Hal ini mirip dengan viviparity karena telur dibuahi,
menetas dan berkembang di dalam tubuh hiu betina kemudian anak di lahirkan. Dalam hal ini
embrio tidak menerima makanan langsung dari ibunya melainkan dari cadangan makana
daris sel telur. Cara reproduksi terakhir adalah oviparity. Telur hiu diletakkan di ganggang
atau koral. Setelah telur aman telur tidak menerima perlindungan atau makanan dari
induknya. (Djarubito, 1989: h. 189).

2.4. Umur Dan Pertumbuhan Ikan Hiu


Hiu umumnya lambat mencapai kedewasaan seksualnya dan menghasilkan sedikit sekali
keturunan dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya yang dipanen. Ini telah menimbulkan
keprihatinan di antara para biologiwan karena meningkatnya usaha yang dilakukan untuk
menangkapi ikan hiu selama ini, dan banyak spesies yang kini dianggap terancam punah.
Beberapa organisasi, seperti misalnya Shark Trust, melakukan kampanye untuk membatasi
penangkapan hiu.

Hiu mencakup spesies yang berukuran sebesar telapak tangan yaitu Hiu pigmi,
(Euprotomicrus bispinatus), sebuah spesies dari laut dalam yang panjangnya hanya 22 cm,
hingga hiu paus (Rhincodon typus), ikan terbesar yang mampu tumbuh hingga sekitar 12
meter dan yang, seperti ikan paus, hanya memakan plankton melalui alat penyaring di
mulutnya. Hiu banteng (Carcharhinus leucas), adalah yang paling terkenal dari beberapa
spesies yang berenang di air laut maupun air tawar (jenis ini ditemukan di Danau Nikaragua,
di Amerika Tengah).

2.5. Habitat Dan Penyebaran (Distribusi Hiu)


Habitat ikan hiu adalah di laut. Hiu umumnya ditemukan di perairan berkarang dengan dasar
yang tidak terlalu terjal. Hiu sering ditemukan di dekat pantai yang disekitarnya terdapat
muara sungai, teluk, rawa mangrove, dan disekitar estuari, namun mereka tidak bisa masuk
lebih jauh ke perairan air tawar. Hiu bisa ditemukan dipermukaan pantai dan dikedalaman
yang tidak dapat ditumbuhi terumbu karang. Umumnya mereka dapat bertahan sampai
kedalaman 100 feet (30 m) (Anonim, 2003).

Hiu tersebar mulai dari kepulauan dan laut tropika sampai daerah kepulauan dan laut sub
tropika. Di Samudera Atlantik, selama musim migrasi mereka bermigrasi mulai dari nova
scotia sampai Brazil, tetapi pusat kemelimpahan mereka berada di Teluk Meksiko dan di laut
Karibia, kemudian berakhir di laut Mediterania dan mencapai laut barat Afrika. Di Samudera
Pasifik, kisarannya mulai dari Kalifornia selatan sampai Peru, memasuki laut Kortez,
kemudian berada di kepulauan Galapagos, Hawai, Tahiti, dan kepulauan Pasifik selatan,
sampai ke laut utara Australia. Di Samudera Hindia, kisarannya mulai dari selatan Afrika dan
Madagaskar sampai laut Merah, Teluk Persia, berakhir di laut India dan laut China (Anonim
2003). Di Indonesia hiu mempunyai sebaran dan kemelimpahan yang cukup luas. Pada
gambar 2, terlihat bahwa hiu tersebar di wilayah perairan Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan Irian Jaya. Pada tahun 2004 di perairan Indonesia, jumlah ikan hiu tertangkap mencapai
29.759 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004).

2.6 Makanan Dan Kebiasaan Makan


Ikan hiu termasuk omnivore yang sangat rakus (Rahayuningsih, 1993). Makanan pokoknya
adalah ikan, tetapi ada juga yang memakan hewan laut seperti penyu, anjing laut bahkan ada
yang bersifat kanibal dengan memakan jenisnya sendiri. Ommaney (1979) menjelaskan
bahwa ikan hiu caring penghuni perairan beriklim sedang dan ikan hiu geger lintang
penghuni perairan tropis hanya memakan plankton, ikan-ikan kecil, cumi-cumi, dan udang.

Indera penciuman sangat mendukung hiu dalam menentukan jenis makanan apa yang di
makan. Melalui indera penciuman juga, hiu mempunyai kemampuan untuk menentukan
lokasi makanan pada jarak tertentu. Poznanin (1970) vide Narsongko (1993) menyatakan
bahwa ikan hiu mempunyai kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan alat indera
pencium yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ
olfaktori. Bisa dikatakan bahwa indera penciuman hiu lebih berperan dari ada indera
penglohatannya.

Biasanya hiu mendeteksi bau makanan dengan berenang melawan arus, kemudian bergerak
ke kiri dank e kanan artinya bila bau menjadi kurang tajam di sebelah kiri maka dia akan
bergerak ke sebelah kanan dan sebaliknya sampai ia menemukan suber bau tersebut.
Pengalaman menunjukkan bahwa jika satu lubang hidung hiu disumbat maka ikan itu akan
berenang berputariputar mengikuti jejak bau yang diterimanya dai satu arah saja (Went, 1979
vide Narsongko, 1993).
3. METODOLOGI

3.1. Waktu Dan Tempat


Kegiatan identifikasi dan monitoring populasi jenis ikan yang dilindungoi/tidak dilindungi di
lima lokasi dilakukan selama tiga bulan di Lima Provinsi dengan masing-masing Provinsi
sebanyak 3 lokasi pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) yang ada di wilayah kerja Loka
PSPL Serang meliputi wilayah pantai utara Jawa, perairan Selat Sunda dan wilayah pantai
selatan Jawa. Provinsi yang dijadikan titik pendataan hiu, yaitu: (1) Bangka Belitung, (2)
Bengkulu; (3) Lampung; (4) Jawa Tengah; (5) Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kegiatan
ini difokuskan untuk wilayah Provinsi Lampung terutama daerah kota Bandar Lampung yaitu
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gudang lelang.

3.2 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara dengan bantuan kuisioner

3.3 Metode Monitoring Populasi Ikan Hiu


Metode monitoring dilakukan dengan terjun langsung ke lokasi dimana proses pelelangan
ikan dilakukan dan mendokumentasikannya.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lokasi
Lokasi tempat identifikasi ikan hiu adalah Tempat Pelelangan Ikan Gudang Lelang yang
beralamatkan di jalan Ikan Bawal Teluk Betung Bandar Lampung yang bekerjasama dengan
Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Jaya dibawah binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Bandar Lampung

Gambar 4. Lokasi pengambilan data TPI Gudang Lelang

4.2 Perkembangan Produksi Hiu


Jenis ikan hiu yang tertangkap di daerah Provinsi Lampung dan didaratkan di pendaratan ikan
TPI Gudang Lelang Bandar Lampung pada bulan juli yaitu tercatat ada 6 spesies yang
didominasi oleh Carcharhinus sorrah dan Sphyrna lewini seperti yang disajikan pada Tabel l.
Namun untuk pendataan jenis ikan hiu untuk kurun waktu 5 tahun terakhir tidak diketahui
datanya.

Tabel 1. Jenis ikan hiu yang ada di TPI Gudang Lelang

Spesies Persentase
Carcharhinus sorrah 26 %
Sphyrna lewini 78,4 %
Atelomycterus marmoratus 0,1 %
Carcharhinus melanopterus 0,1 %
Chiloscyllium punctatum 0,3 %
Carcharhinus leucas 0,1
Bentuk dan ciri-ciri beberapa jenis ikan hiu yang dominan tertangkap nelayan di laut
Sumatera selama pengidentifikasian di TPI Gudang Lelang adalah sebagai berikut:

1. Sphyrna zygaena. Jenis ikan ini mempunyai kepala melebar ke samping dan melengkung
pada bagian depan dengan lekukan dangkal tapijelas pada bagian tengahnya. Sirip perut
dengan batas belakang hampir lurus. Pangkal sirip perut lebih panjang daripada pangkal
sirip punggungnya.

Gambar 2. Hiu jenis Sphyrna zygaena

2. Carcharhinus sorrah. lkan ini mempunyai bentuk moncong cukup lancip. Sirip punggung
pendek dan ujung lebih rendah memanjang.Ada wama hitam pada sirip dada, sirip
punggung kedua dan coping di bawah sirip ekor.

Gambar 3. Hiu jenis Carcharhinus sorrah

3. Carcharhinus melanopterus. Jenis ikan ini mempunyai moncong yang sangat pendek
bundar melebar, panjangnya kurang daripada lebar mulutnya.Gigi-gigi atas agak miring
dengan taring tipis dan taring-taring kecil yang pangkalnya rendah; antara sirip punggung
tidak ada dermal ridges. Bagian belakang kuning coklat dan semua ujung siripnya hitam.
Pada ujung sirip punggung pertama terdapat wama putih di bawah warna hitam.
Gambar 4. Hiu jenis Carcharhinus melanopterus
4. Carcharhinus leucas tinggi sirip punggung pertama mencapai 3 kali tinggi sirip punggung
kedua lekukan di sisi belakang sirip anal membentuk sudut tumpul gurat di antara sirip
punggung tidak ada moncong sangat pendek dan bulat melebar (tampak dari arah bawah),
jarak dari ujung moncong ke mulut lebih pendek dari jarak antara lubang hidung gigi atas
segi tiga, dengan bagian tepi lebar, kuat dan bergerigi gigi bawah berbentuk segi tiga,
ramping dan tegak.

Gambar 5. Hiu jenis Carcharhinus leucas

5. Atelomycterus marmoratus kedua sirip punggung sama besar, menyudut ke belakang;


ujungnya berwarna putih kepala, tubuh dan sirip dipenuhi oleh bintik berwarna abu-abu
muda dan putih.

Gambar 6. Hiu jenis Atelomycterus marmoratus

6. Chiloscyllium punctatum tubuh dan ekor ramping dasar sirip anal jauh lebih pendek
daripada dasar cuping sirip ekor bagian bawah tanpa guratan-guratan kulit di sepanjang
tubuh tidak ada gurat punggung yang menonjol di bagian predorsal dan interdorsal warna
tubuh polos atau garis-garis coklat yang samar (pada juvenil biasanya terdapat bintik-
bintik gelap) kedua sirip punggung besar dan terpisah satu sama lain.
Gambar 7. Hiu jenis Chiloscyllium punctatum
4.3 Ukuran lkan
Hasil identifikasi terhadap ikan hiu dominan yang didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) Gudang Lelang, Bandar Lampung ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis dan ukuran ikan hiu yang dominan tertangkap selama 1 bulan
Jenis ikan Panjang Jumlah tangkapan (ekor) Keterangan Berat
Total (cm) (kg)
Carcharhinus sorrah 25 35 1 25 35= 0,2- 0,5
36- 45 49 36- 45= 0,5-1
45-60 407 45-60= 1-2
>60 62 >60= >2
Total 519
Sphyrna lewini 25 35 116
36- 45 601
45-60 134
>60 2
Total 853
Atelomycterus marmoratus 25 35 2
36- 45 -
45-60 -
>60 -
Total 2
Carcharhinus melanopterus 25 35 -
36- 45 -
45-60 -
>60 2
Total 2
Chiloscyllium punctatum 25 35 -
36- 45 -
45-60 6
>60 -
Total 6
Carcharhinus leucas 25 35 -
36- 45 -
45-60 -
>60 2
Total 2
Berdasarkan tabel 2 dalam identifikasi jenis ikan hiu yang tertangkap oleh nelayan di TPI
Gudang Lelang terdapat 6 jenis ikan hiu yang tertangkap dibandingkan bulan kemarin yaitu
hanya 2 jenis yang terdapat di lokasi pendaratan dan paling dominan yaitu jenis Sphyrna
lewini paling tertinggi sebanyak 853 ekor didominasi pada ukuran 46-45 cm sebanyak 601
ekor sedangkan pada jenis Carcharhinus sorrah sebanyak 519 yang didominasi pada ukuran
45-60 cm sebanyak 407 ekor.

Tabel 3. Total penangkapan 1 bulan

no Waktu Jumlah (kg)

1 Minggu 1 489,7

2 Minggu 2 53,2

3 Minggu 3 379,5

4 Minggu 4 1106

Total 2028,4

Dari informasi yang didapat menurut para nelayan ikan hiu yang tertangkap ialah bukan
target ikan yang ingin mereka jual tetapi ketidaksengajaan para nelayan menagkapnya atau
ikan hiu itu sendiri terbawa ikut masuk ke dalam jaring nelayan yang disebarkan dilaut untuk
menangkap ikan. Ikan hiu yang tertangkap itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu salah
satunya dari kebiasaan makan ikan hiu yang lebih suka mencari makanan hingga ke
permukaan air laut sehingga nelayan tidak sengaja menangkap ikan hiu itu sendiri dan
dibawa sampai ke pelabuhan pendaratan ikan atau tempat pelelangan ikan adalah ikan hiu
yang sudah mati akibat kepadatan ikan yang ada dalam jaring nelayan tersebut. Para nelayan
pun sudah memahami peraturan pemerintah yang melarang untuk tidak menangkap ikan hiu
namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa apabila ikan hiu yang tertangkap itu mati
melainkan membawanya ke tempat pelelangan ikan untuk diperjualkan.

4.4. Alat Tangkap Yang Digunkan Dan Wilayah Penagkapan Hiu.


Para nelayan khususnya daerah Bandar Lampung alat tangkap yang biasanya digunakan
untuk menangkap ikan yaitu jaring payang dan gill net dengan berbagai macam ukuran yang
sesuai mereka inginan. Adapun wilayah penangkapan ikan yang sering dilakukan oleh
nelayan di daerah Bandar Lampung yaitu daerah sekitaran Teluk Lampung dan perairan
Lampung Barat hingga ke perairan Bengkulu.

Gambar 8. Lokasi penangkapan ikan oleh nelayan

Waktu yang dilakukan nelayan untuk menangkap ikan bervariatif sebagian ada yang
dilakukan hingga satu hari bahkan sampai satu minggu sekali baru mereka pulang. Hasil
tangkapan yang biasa mereka tangkap yaitu ikan simba, kurisi, layur, cakalang, tongkol dan
ikan laut lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Terkadang para nelayan sering
mendapatkan ikan yang dilindungi seperti ikan hiu tetapi proses penangkapannya itu tidak
ada unsur kesengajaan atau salah satu target utama dalam menangkap ikan hiu tersebut
karena terbawa ikut masuk kedalam jaring nelayan sehingga sering ditempat pelelangan ikan
terdapat ikan yang dilindungi (hiu)
.
5. PENUTUP

Demikianlah laporan identifikasi dan monitoring populasi jenis ikan yang dilindungi/tidak
dilindungi di lima lokasi khusunya daerah Bandar Lampung semoga dapat bermanfaat dan
dijadikan suatu pelajaran kedepannya bahwa kita harus sadar dalam menjaga kelestarian
lingkungan terutama kelestarian di lautan dengan menjaganya dan mengawasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2003. Statistika Perikanan Tahun 2003 Pelabuhan Perikanan Nusantara


Pelabuhanratu. Pelabuhanratu. 78 hal

Compagno, L.J.V., 1984. FAO species catalog. Vol.4. Shark of the world. An annotated and
illustrated catalogue of shark species known to date. Part - Hexanchiformes to
Lamniformes : viii, 1 - 250 : Part 2 - Carchariniformes : x, 251 - 65 5.

NELSON,J.S. 1976. Fishes of the world. John Wiley & Sons, Inc.Canada :416 pp
Ommaney, F.D. 1979. Ikan. Tira Pustaka. Jakarta. 208 hal
Rahayuningsih, W. 1993. Pengaruh Kedalaman Mata Pancing Rawai Cucut terhadap Hasil
Tangkapan Ikan Cucut pada Rawai Cucut di Cilacap. Skripsi Program Srudi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institusi Pertanian Bogor.
75 hal

Anda mungkin juga menyukai