Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS PERBURUAN HIU DI PERAIRAN ACEH TERHADAP

EKOSISTEM LAUT SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN

Oleh :

Hilda (226010201001)
Wulan Dara Sari Arhas (226010201002)

Dosen Pengampu :

Ichsan, S,T. M.PPM., Ph.D

PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Laut merupakan sebuah perairan asin besar yang dikelilingi secara

menyeluruh atau sebagian oleh daratan. Dalam arti yang lebih luas, laut

adalah system perairan Samudra berair asin yang saling terhubung di bumi

yang dianggap sebagai satu Samudra global atau sebagai beberapa

Samudra utama, seluruh badan air asin yang saling berhubungan menutupi

70% dari permukaan bumi.

Samudra merupakan tempat tinggal beranekaragaman kehidupan

yang memanfaatkannya sebagai habitat. Sinar matahari hanya menerangi

lapisan-lapisan atas laut, sehingga sebagian besar Samudra berada dalam

kegelapan yang permanen. Di setiap tingkatan kedalaman dan zona suhu,

terdapat habitat-habitat tersendiri untuk spesies-spesies yang unik. Seperti

yang diketahui lingkungan laut yang luas terdapat bermacam-macam

populasi dan habitat makhluk hidup lainnya yang hidup di lautan yang

luasnya bahkan diperkirakan ¾ luasnya bumi. Beberapa contohnya adalah

terumbu karang, hutan kelp, padang lamun, kolam pasang surut, dasar laut

yang berlumpur, berpasir dan berbatu, serta zona pelagic terbuka.

Organisme yang hidup di laut juga bermacam-macam, dari mulai paus

dengan panjang yang mencapai 30 meter hingga fitoplankton dan

1
zooplankton, fungi dan bakteri, alga, dan tumbuhan unik lainnya, beserta

bermacam-macam spesies ikan yang jarang kita temui bahkan dilihat

dengan mata telanjang pun akan sulit mendapati berbagai macam spesies

ikan yang berada di dalam laut, salah satu spesies ikan tersebut adalah ikah

hiu.

Hiu atau ikan cucut merupakan sekelompok ikan dengan kerangka

tulang rawan yang lengkap dan tubuh yang ramping. Hiu mencakup

spesies yang mempunyai ukuran sebesar telapak tangan, hingga hiu paus

ikan terbesar yang mampu tumbuh hingga sekitar 12 meter, dan hanya

memakan plankton. Hiu umumnya lambat mencapai keadaan dewasa dan

dari segi produksi mereka menghasilkan sedikit sekali keturunan

dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya. Hiu hanya bereproduksi sekitar 8-

10 tahun sekali dan menghasilkan anak yang tidak lebih dari 20 ekor. Itu

juga belum tentu semuanya hidup. Hal ini menimbulkan keprihatinan

karena akhir-akhir ini meningkatnya usaha untuk menangkap atau

memburu hiu yang semakin tinggi, akan menjadikan spesies hiu yang

susah menghasilkan keturunan ini terancam punah.

Di laut wilayah aceh, perburuan hiu ini menjadi salah satu

pencarian terbesar bagi sebagian nelayan, hiu menjadi ikan ‘primadona’ di

aceh, selain perburuan nya yang tidak dilarang, ikan hiu juga merupakan

ikan mahal dengan daging yang lezat untuk disantap. Hiu merupakan salah

satu pengharapan besar nelayan, jenis ikan hiu yang di tangkap ini

memanglah jenis hiu yang diizinkan untuk diburu, karena populasinya

2
yang sedikit dan bisa dikatakan hiu merupakan hewan yang sangat jarang

didapati, maka, harga yang dikenakan tidak bisa terbilang murah, perkilo

daging ikan ini bisa mencapai harga 30.000 sampai dengan 35.000, jika

dibeli per ekor bisa mencapai 3.000.000 sampai 4.000.000. Sehingga tidak

heran jika semakin banyak mendapat ikan hiu, semakin banyak pula laba

yang nelayan dapatkan.

Berdasarkan isi yang telah diuraikan penulis tertarik mengangkat

kasus tentang perburuan hiu di laut Aceh dikarenakan populasi hiu yang

kini kian menipis namun penangkapan hiu terus menerus dilakukan

dengan gamblang dan diperjual belikan dengan bebas.

B. Rumusan Masalah

Banyaknya penangkapan terhadap hiu yang dilakukan oleh para

nelayan di Aceh tanpa memperhitungkan jumlah yang ditangkap demi

hasil yang banyak, menyebabkan pengurangan populasi hiu dan

berkurangnya ikan hiu di lautan. Permasalahan ini menyebabkan masalah

yang cukup serius mengingat produksi hiu yang lumayan susah dan lama,

sehingga mempengaruhi ekosistem laut.

3
BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Teori

1. Hiu

Ikan Hiu atau Cucut (superordo Selachimorpha) adalah

sekelompok ikan dengan kerangka tulang rawan yang lengkap 1 dan tubuh

yang ramping. Mereka bernapas dengan menggunakan lima liang insang

(kadang-kadang enam atau tujuh, tergantung pada spesiesnya) di samping,

atau dimulai sedikit di belakang, kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang

dilapisi kulit dermal denticles untuk melindungi kulit mereka dari

kerusakan, dari parasit, dan untuk menambah dinamika air. Mereka

mempunyai beberapa deret gigi yang dapat digantikan.

Hiu mencakup spesies yang berukuran sebesar telapak tangan. Hiu

pigmi (Euprotomicrus bispinatus) sebuah spesies dari laut dalam yang

panjangnya hanya 22 cm, hingga hiu paus (Rhincodon typus) yang

merupakn ikan terbesar yang mampu tumbuh hingga sekitar 12 meter dan

hanya memakan plankton melalui alat penyaring di mulutnya. Hiu banteng

(Carcharhinus leucas) adalah yang paling terkenal dari beberapa spesies

yang berenang di air laut maupun air tawar (jenis ini ditemukan di Danau

Nikaragua, di Amerika Tengah) dan di delta-delta.2

1 Budker, Paul (1971). The Life of Sharks. London: Weidenfeld and Nicolson. SBN
297003070.
2 Allen, Thomas B. (1999). The Shark Almanac. New York: The Lyons Press. ISBN 1-
55821-582-4.

4
Hiu telah berada di lautan selama 450 juta tahun dan merupakan

salah satu makhluk yang penting dan menghuni lautan dunia. Mereka

merupakan fosil hidup, menguasai lautan bahkan sebelum dinosaurus

menguasai daratan. Sebagai predator puncak, hiu memegang peranan

penting dalam ekosistem dengan mengendalikan dan memelihara spesies

yang lebih rendah pada rantai makanan. Dengan memakan ikan yang sakit

dan lemah, mereka memelihara keseimbangan antara kompetitor laut

lainnya dan menjaga keragaman spesies yang ada di dalam lautan. Untuk

itu, keberadaan mereka sangat penting untuk kesehatan laut.3

Hiu terdiri dari kelompok spesies yang sangat banyak dan setiap

spesies dapat beradaptasi dengan sangat baik sesuai dengan

lingkungannya. Mereka dapat menghuni setiap bagian lautan dunia, mulai

dari laut dalam, terumbu karang, zona pelagis hingga lautan Arktik. Saat

ini ada sekitar 500 spesies hiu. Hiu yang paling besar adalah hiu Paus. Hiu

Paus dapat tumbuh hingga lebih dari 18 meter, sementara itu untuk spesies

hiu terkecil berukuran sekepalan tangan manusia.4

Ada 53 spesies hiu yaitu:

1. Zebra Bullhead Shark

2. Whitetip Reef Shark

3. Bahamas Sawshark

4. Basking Shark

3 https://threshershark.id/id/update/fakta-hiu-dan-habitatnya/
4 https://threshershark.id/id/update/fakta-hiu-dan-habitatnya/

5
5. Bigeye Sixgill Shark

6. Blacktip Reef Shark

7. Blue Shark

8. Bluegrey Carpetshark

9. Bluntnose Sixgill Shark

10. Broadnose Sevengill Shark

11. Bronze Whaler Shark

12. Bull Shark

13. Burmese Bamboo Shark

14. Caribbean Reef Shark

15. Caribbean Roughshark

16. Cookiecutter Shark

17. Copper Shark

18. Crested Bullhead Shark

19. Frilled Shark

20. Galapagos Bullhead Shark

21. Goblin Shark

22. Gray Reef Shark

23. Great Hammerhead Shark

24. Great White Shark

25. Greenland Shark

26. Hammerhead Shark

27. Horn Shark

6
28. Japanese Sawshark

29. Japanese Wobbegong

30. Leafscale Gulper Shark

31. Lemon Shark

32. Leopard Shark

33. Mako Shark

34. Megalodon Shark

35. Nurse Shark

36. Pacific Sleeper Shark

37. Porbeagle Shark

38. Port Jackson Shark

39. Portuguese Dogfish Shark

40. Prickly Dogfish Shark

41. Reef Shark

42. Sailfin Rough Shark

43. Sand Shark

44. Sawback Angelshark

45. Scalloped Hammerhead Shark

46. Sharpnose Sevengill Shark

47. Shortfin Mako Shark

48. Silky Shark

49. Silvertip Shark

50. Thresher Shark

7
51. Tiger Shark

52. Whale Shark

53. Zebra Shark5


Data diatas merupakan diambil dari data tentang jenis hiu yang

umum diketahui dan tersebar diseluruh dunia, sedangkan di indonedia

sendiri yang merupakan Negara dengan kepulauan maritime sendiri, hiu di

Indonesia sudah mencapai 117 jenis. Dari berbagai jenis hiu diatas ada

beberapa yang dilindungi namun ada juga yang tidak dilindungi atau bias

ditangkan dan dikonsumsi. Hiu memiliki karakter biologis yang spesifik

seperti berumur panjang, fekunditas rendah, jumlah anakan sedikit, lambat

dalam mencapai matang kelamin dan pertumbuhannya lambat, sehingga

sekali terjadi over eksploitasi, sangat sulit bagi populasinya untuk kembali

pulih. Kebanyakan hiu adalah termasuk hewan predator pada lingkungan

terumbu karang dan lautan, mereka berada pada tingkat atas dari rantai

makanan yang menentukan keseimbangan dan mengontrol jaring- jaring

makanan yang komplek di bawah. mereka. AWI (2009) menerangkan

bahwa sebagai predator tingkat atas, hiu juga berperan sebagai penjaga

lingkungan laut mereka. Namun demikian, dari 117 jenis hiu yang terdapat

di Indonesia, hanya 1 jenis yang sudah berstatus dilindungi penuh, yaitu

hiu paus (Rhyncodon typus). Empat jenis hiu lainnya, yaitu hiu koboy

(Carcharhinus longimanus) dan 3 jenis hiu martil (Spyhrna lewini,

Sphyrna Zygaena, dan Sphyrna mokarran) termasuk yang dilarang ekspor

5.https://gerava.com/2021/10/25/53-jenis-dan-nama-ikan-hiu-di-dunia-dengan-gambar-a-
sampai-z/

8
melalui Permen KP No. 5 Tahun 2018. Sedangkan ada 8 jenis hiu yang

masuk CITES, yang artinya pemanfaatan untuk perdagangan luar

negerinya diperbolehkan, namun dengan aturan ketat.

2. Lingkungan

Lingkungan adalah suatu media di mana makhluk hidup tinggal,

mencari, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait

secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang

menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih

kompleks dan riil.6 Lingkungan hidup menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang yang terdiri dari benda, daya,

keadaan, makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya,

yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan

makhluk hidup lainnya. Dan dapat dikatakan lingkungan merupakan suatu

media di mana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan

memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal

balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama

manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan rill. Komponen

lingkungan terdiri dari faktor abiotic (tanah, air, udara, cuaca, suhu) dan

faktor biotik (tumbuhan, hewan, dan manusia). Lingkungan bisa terdiri

6 A. Rusdina, 2015, Membumbikan Etika Lingkungan Bagi Upaya Membudayakan


Pengelolaan Lingkungan yang Bertanggungjawab, ISSN 1979-8911, Vol IX No 2, hlm. 247

9
atas lingkungan alam dan lingkungan buatan, sedangkan lingkungan alam

adalah keadaan yang diciptakan Tuhan untuk manusia.7

a. Pengelolaan Lingkungan

Menurut Syahrul Machmud dalam buku hukum lingkungan

yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya

terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi

kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,

pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas

tanggungjawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan

untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya yang

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.8

Pengelolaan lingkungan hidup, menyatakan bahwa lingkungan

hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,

dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang

mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia

serta makhluk hidup lainnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa

lingkungan atau lingkungan hidup adalah segala sesuatu benda,

7 Yosef Anata Christie, La Sina dan Rika Erawaty, Dampak Kerusakan Lingkungan
Akibat Aktivitas Pembangunan Perumahan (Studi Kasus di Perumahan Palaran City oleh PT
Kusuma Hady Property), Jurnal Beraja Niti, ISSN 2337-4608, Vol 2 No 11, 2013, hlm. 6
8 Syahrul Machmud, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, Cetakan III, Citra
Bhakti,Bandung. 2012, hlm 15.

10
keadaan, situasi yang ada di sekeliling makhluk hidup dan berpengaruh

terhadap kehidupan (sifat, pertumbuhan, persebaran) makhluk hidup

yang bersangkutan.

b. Ilmu Ekonomi

Ilmu Ekonomi Ilmu yang mempelajari bagaimana individu atau

masyarakat memilih cara penggunaan sumber daya yang langka untuk

memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Pada dasarnya ekonomi

merupakan kegiatan sosial, karena tidak ada manusia yang mampu

hidup sendiri dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia satu sama lain

harus saling bekerjasama.

Ada beberapa teori ilmu ekonomi menurut beberapa para ahli

1. Adam Smith : Ilmu ekonomi adalah penyelidikan tentang keadaan

dan sebab adanya kekayaan negara.

2. N. Gregory Mankiw: Ilmu ekonomi adalah studi tentang cara

masyarakat mengelola sumber-sumber daya yang langka.

3. Richard G. Lipsey: Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari

pemanfaatan sumber daya yang langka untuk memenuhi keinginan

manusia yang tidak terbatas.

4. J. S. Mill: Ilmu ekonomi adalah sains praktikal tentang pengeluaran

dan penagihan.

5. Robert B. Ekelund Jr. dan Robert D. Tollison : Ilmu ekonomi

adalah ilmu yang mempelajari cara individu dan masyarakat yang

11
mempunyai keinginan yang tidak terbatas memilih untuk

mengalokasikan sumber daya yang terbatas demi memenuhi

keinginan mereka.

6. Alfred Marshall: Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari

usaha-usaha individu dalam ikatan pekerjaan dalam kehidupannya

sehari-hari dan membahas kehidupan manusia yang berhubungan

dengan bagaimana ia memperoleh pendapatan dan bagaimana pula

ia mempergunakan pendapatan itu.

7. Robert B. Ekelund Jr. dan Robert D. Tollison: Ilmu ekonomi adalah

ilmu yang mempelajari cara individu dan masyarakat yang

mempunyai keinginan yang tidak terbatas memilih untuk

mengalokasikan sumber daya yang terbatas demi memenuhi

keinginan mereka.

3. Pengelolaan lingkungan laut dan kaitannya dengan ekonomi

Laut yang kaya akan banyaknya biota air dan habitat yang

hidup di dalamnya tidaklah menjadi suatu hal yang lagi mengherankan

kalau rantai makanan manusia banyak yang terdapat dari laut itu

sendiri. Bahkan pada zaman praaksara dimana manusia belum

mengenal huruf bahkan belum bisa membaca dan menulis, mereka

hanya mengerti cara mencari makanan dan berpindah tempat untuk

melangsungkan kehidupan mereka, kebanyakan dari manusia pada

zaman itu ditemukan fosil nya di sekitaran pesisir pantai, hal ini

menunjukkan bahwa, dari zaman dahulu kala pun, makanan yang

12
banyak tersedia tidaklah terlalu banyak dari daratan, tetapi dari lautan.

Barulah ketika sudah memasuki jaman aksara, manusia mulai

mengenal bercocok tanam, mengolah logam dan akhirnya sampai pada

abad sekarang dengan tekhnologi yang sudah bermacam-macam,

manusia bisa bertahan hidup dengan tidak hanya bergantung pada

mengkonsumsi makanan yang ada di laut. Namun, tidak bias dibantah

bahwa makanan asli tanpa olahan dan campur tangan manusia

kebanyakan berasal dari laut. Ini menunjukkan bahwa pentingnya laut

dan menjaga ekosistem laut akan berdampak besar bagi kehidupan

manusia terlebih di Indonesia yang notabenanya banyak yang mata

pencahariannya berasal dari laut atau disebut sebagai nelayan.

Jika ditinjau dari perspektif ekonomi, salah satu contoh kecil

yang dapat diambil adalah pengolahan garam, garam yang berasal dari

penguapan air laut yang dibantu pengeringannya dengan sinar matahari

dapat menjadi nilai jual yang tinggi ketika di jadikan bumbu dapur dan

alat kosmetika. Contoh ini menjadi salah satu rujukan mengapa laut

menghasilkan nilai ekonomi yang lumayan mempengaruhi mata

pencaharian seseorang.

Dengan menjaga ekosistem laut salah satunya menjaga biota air

agar tetap dilestarikan keberadaannya maka nilai ekonomi yang

muncul dari pengelolaan lingkungan ini juga akan tinggi, terlebih lagi

dengan biota air yang nilai jual nya cukup fantastis, jika tidak

diberdayakan keberadaannya dan tidak menjaga lingkungan laut, maka

13
ekosistem laut tidak akan sama lagi dan banyak biota air yang akan

mati terus menerus bahkan lebih parahnya, akan punah.

14
BAB III

HASIL

A. Peburuan Hiu

Perburuan ikan hiu akibat perdagangan siripnya bahkan dagingnya

untuk dikonsumsi masih menjadi salah satu masalah utama dalam

konservasi satwa saat ini. Masalah perburuan hiu dinilai kompleks, karena

melibatkan berbagai dimensi dalam isu lingkungan, baik itu dimensi

ekonomi, sosial, budaya hingga konservasi itu sendiri. Upaya

menghentikannya pun, bukan sebuah perkara mudah. Selama masih ada

pembeli yang mau menerima sirip-sirip ini, maka pasar akan selalu

terbuka, dan perburuan masih akan terus terjadi, bahkan terbukanya pasar

untuk menerima daging hiu pun menjadi suatu hal yang sangat apik tanpa

adanya larangan. Butuh sebuah pendekatan yang holistik secara ekonomi

politik untuk mengatasinya, tidak cukup hanya menangkap pelaku

perburuan, namun juga memperkuat regulasi dan Undang-Undang serta

penegakan hukum di lapangan terhadap negara penerimanya. perburuan

hiu sudah dimulai sejak era 1970-an, dan Indonesia adalah penyuplai

sekitar 14% dari kebutuhan sirip hiu dunia antara tahun 1998 hingga 2002.

Terkait dengan meningkatnya pasar bagi sirip hiu untuk dikonsumsi, maka

tingkat perburuan ikan hiu di Indonesia juga terus meningkat. Perburuan

ikan hiu di Indonesia meningkat dari hanya sekitar 1000 Metrik ton di

tahun 1950, menjadi 117.600 metrik ton di tahun 2003 dengan nilai ekspor

15
mencapai 6000 Dollar AS di tahun 1975 dan membengkak hingga lebih

dari10 juta dollar di tahun 1991. Sebagian besar sirip hiu ini dikonsumsi

oleh para penikmat kuliner kelas hotel bintang lima dan sebagian restoran

yang menyediakan masakan Cina kelas atas.

Ada beberapa jenis hiu yang awalnya perburuan nya tidak dilarang,

namun hanya 1 spesies hiu yang tidak boleh dikonsumsi, yaitu hiu paus,

namun mengingat kini populasi hiu yang semakin langka dan mulai susah

ditemui dikarenakan penangkapan yang terus menerus, pemerintah telah

mengeluarkan larangan perburuan hiu dan menetapkan beberapa hukuman

untuk penangkapan secara ilegal terhadap hiu, namun, belum ada upaya

pengurangan dalam penanganan ini, dikarenakan banyak yang

menumpukan ekonominya dalam penangkapan hiu ini.

B. Dampak terhadap lingkungan

Perburuan dan perdagangan ikan hiu bisa berdampak buruk bagi

lingkungan sekitar, diantara dampaknya adalah kepunahan ikan hiu

berdampak bagi keseimbangan ekosistem laut sekitar dan berdampak

terhadap kesehatan masyarakat yang mengonsumsi ikan hiu tersebut. Isu

berkurangnya populasi hiu di perairan dunia menjadi salah satu fokus

WWF (World Wide Fund for Nature) saat ini. WWF berinisiatif

mengumpulkan petisi yang hasilnya akan mereka berikan ke beberapa

restoran yang menyediakan menu sirip hiu dan juga ke toko-toko ikan

segar serta ke media massa yang turut mengambil peran dalam

16
mempromosikan menu sirip hiu yang dikenal sangat mahal ini. Menurut

WWF saat ini masyarakat masih memiliki pengetahuan yang terbatas

mengenai fakta tentang hiu. Bahkan, banyak yang beranggapan bila punah,

tidak akan berdampak buruk bagi ekosistem laut.

Banyak yang beranggapan hiu memakan ikan-ikan yang lebih kecil

dan membuat jumlah ikan-ikan tersebut berkurang. Padahal keberadaan

hiu sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Contoh

simpel adalah hiu memakan ikan-ikan kecil yang sakit, karena yang

sedang sakit pasti tidak gesit sehingga mudah ditangkap. Bila hiu punah,

tentunya akan ada penyebaran penyakit di antara ikan-ikan tersebut.

Apabila hiu punah maka tidak akan ada kontrol bagi pertumbuhan-

pertumbuhan ikan besar yang memakan ikan-ikan kecil. Sehingga, ikan-

ikan kecil itu akan punah juga.

Populasi hiu kini sangat mengkhawatirkan. Bahkan karena

jumlahnya yang sudah sedikit, banyak nelayan yang menangkap bayi hiu

untuk mengambil siripnya saja dan badannya dibuang lagi ke laut.

C. Dampak terhadap ekonomi

Daging bahkan sirip hiu mempunyai dampak ekonomi yang tinggi

bagi nelayan. Sirip hiu mempunyai dampak ekonomi yang tinggi bagi

nelayan karena dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi, bahkan

dagingnya yang terkenal sangat enak dikonsumsi pun menjadi permintaan

tinggi bagi konsumen setiap tahunnya, yang menyebabkan dampaknya

17
terhadap ekonomi sangat berpengaruh, apalagi terhadap nelayan yang

menangkapnya, tetapi perburuan hiu dapat menurunkan populasinya yang

berdampak kepada kepunahan.

Suasa
na transaksi jual beli ikan hiu harimau atau hiu tiger (Galeocerdo cuvier)
di terminal Pelabuhan Perikanan Samudera Kutaraja, Desa Lampulo,
Banda Aceh, Aceh, Rabu (26/8/2020) {data terakhir}. Hiu harimau
menurut Kementerian Perikanan dan Kelautan tidak termasuk dalam
daftar jenis hiu yang dilindungi. Hiu harimau tersebut tersebut
diperdagangkan untuk pasar lokal dengan harga Rp2 juta hingga Rp3 juta
per ekor.

Shark Finning atau lebih dikenal dengan pemanfaatan sirip hiu

menjadi topik yang selalu menarik untuk dibahas. Praktek shark finning

sendiri umumnya dilihat sebagai salah satu bentuk penyiksaan terhadap

hewan, karena pada sebagian nelayan hanya mengambil bagian sirip hiu

dalam keadaan hidup dan sisa tubuhnya dikembalikan ke dalam laut,

biasanya praktek shark finning ini berlaku bagi daging hiu yang tidak bisa

dikonsumsi, namun dipergunakan siripnya saja untuk dijual. Proses

tersebut dianggap tidak sesuai dengan konsep Animal Welfare

(kesejahteraan hewan) yang mengatakan bahwa hewan juga merasakan

18
penderitaan selayaknya manusia. Kampanye STOP SHARK FINNING

gencar dilakukan oleh berbagai pihak untuk menghentikan perburuan hiu,

yang dalam pelaksanaannya dapat dikatakan sangat tidak ramah

lingkungan. Negara-negara Uni Eropa saat ini telah melarang penuh segala

upaya pemanfaatan hiu guna menjaga populasi predator tersebut di alam.

Sementara itu negara G20 khususnya Kanada juga telah berkomitmen

untuk mengendalikan pemanfaatan hiu denga cara melarang perdagangan

komoditas ini. Beberapa negara bagian AS seperti Washington, Oregon,

California juga telah terdapat larangan perdagangan sirip hiu.

Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur peredaran dan

pemanfaatan hiu. Salah satu peraturan yang mengatur peredaran dan

pemanfaatannya di Indonesia adalah PERMEN KP No. 5 Tahun 2018

tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi dan Hiu Martil dari

wilayah negara RI keluar wilayah negara RI. Kedua jenis hiu ini telah

masuk dalam Appendix II CITES dan dilarang mengeluarkan rekomendasi

ekspor berdasarkan surat edaran Direktur KKHL No. 2078/PRL.5/X/2017.

Selain kedua jenis hiu diatas, ada Hiu Tikus yang masuk dalam Apendiks

II CITES dan jika tertangkap sebagai tangkapan sampingan sesuai dengan

Pasal 73 Permen KP No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan

Tangkap di WPP NRI wajib dilepas dan dilaporkan jika mati. Hiu yang

termasuk kedalam Appendix CITES juga diatur dalam Permen KP No. 61

Tahun 2018 mengenai peraerannya yang harus disertai dengan SIPJI dan

SAJI DN. Nilai ekonomi yang “seksi” dan permintaan pasar yang

19
membludak menjadi daya pemikat utama praktek shark finning. Kedua hal

tersebut menjadi alasan utama maraknya perburuan hiu. Angka

pemanfaatan hiu setiap tahun cenderung terus meningkat. Wilayah kerja

LPSPL Sorong merupakan daerah penghasil hiu di Timur Indonesia.

Tahun 2017 pemanfaatan hiu mencapai 360.128,70 Kg dengan rincian

6,39% merupakan hiu yang dimanfaatkan secara utuh sedangkan hiu tanpa

sirip atau yang mengalami shark finning adalah 93,61%. Sementara itu

ditahun 2018 terjadi peningkatan pemanfaatan hiu hingga mencapai

442.360,14 Kg dengan rincian tetapi pada tahun ini aktivitas shark finning

menurun menjadi 37,67% dan pemanfaatan hiu utuh sebanyak 62,33%.

Data tahun 2019 hingga Mei 2019 tercatat sebanyak 206.869,05 Kg

dengan rincian pemanfaatan hiu secara utuh sebesar 41,21% dan hiu tanpa

sirip sebanyak 58,79%. Satu kilogram sirip hiu dapat dijual dengan harga

Rp750.000,00- Rp2.000.000,00 tergantung size sirip sementara itu sup

sirip hiu perporsinya dapat dihargai hingga Rp1.800.000,00. Sedangkan

produk non sirip khususnya daging hanya bernilai Rp25.000,00. Armada

kapal nelayan penangkap ikan yang kecil juga menyebabkan nelayan

enggan membawa hiu secara utuh untuk didaratkan dikarenakan kapasitas

muatan yang sangat terbatas. Daging hiu juga rentan mengalami

pembusukan atau penurunan kualitas jika tidak diletakan dalam cold

storage sedangkan sirip dapat diolah diatas kapal dengan cara dikeringkan.

Tetapi, di beberapa daerah terkhusus nya Aceh sendiri, daging hiu sudah

dimanfaatkan dengan cara dijual secara lokal. Selain masyarakat lokal,

20
pengusaha yang memanfaatkan hiu sebagai komoditas penjualan utama

mulai memanfaatkan seluruh bagian tubuh hiu. Pengolahan juga dapat

mengarah pada pemanfaatan bahan baku ikan secara menyeluruh sehingga

menghasilkan limbah sesedikit mungkin yang sekaligus memaksimalkan

nilai tambah yang diperoleh.

D. Undang-Undang Larangan Perburuan Hiu

Lembaga Adat Laut Aceh meminta pemerintah setempat

mensosialisasikan Undang-Undang Larangan Penangkapan Hiu

(Superordo selachimorpha) bagi masyarakat nelayan di provinsi paling

barat Sumatra ini. Pemerintah Aceh melalui Dinas Kelautan dan Perikanan

harus mensosialisasikan kepada masyarakat nelayan terkait jenis hiu yang

dilarang ditangkap atau dilindungi undang-undang, hal itu disampaikanya

saat dimintai tanggapan terkait maraknya penangkapan ikan hiu yang

dilindungi undang-undang dan saban hari didaratkan oleh nelayan Aceh di

Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Lampulo, Banda Aceh.

Kebanyakan masyarakat nelayan di Aceh belum mengetahui jenis-jenis

ikan hiu yang dilindungi undang-undang di Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Pihaknya berharap Pemerintah Aceh maupun

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mensosialisasikan semua

undang-undang jenis hiu yang dilarang ditangkap.

21
(jenis hiu dan pari yang dilindungi dan tidak dilindungi)

Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kelautan dan

Perikanan melarang keras perburuan ikan hiu dan ragam jenis mamalia

lainnya yang dilindungi undang-undang. Ketentuan mengenai larangan

penangkapan ikan hiu, antara lain tertuang dalam Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor: 59/PERMEN-KP/2014, Keputusan

Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 18/KEPMEN-KP/2013.

Selanjutnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2012,

serta Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

22
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Sebagaimana disebutkan pada pasal 85, setiap orang yang dengan

sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan atau menggunakan alat

penangkap ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu

dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah perikanan NKRI

sebagaimana dimaksud pasal 9, dipidana penjara paling lama lima tahun

dan didenda paling banyak Rp 2 miliar. Ikan hiu yang dilindungi undang-

undang tersebut, meliputi hiu martil (Sphyrna leweni), hiu koboi

(Carcharhinus longimanus), hiu gergaji (Pristis microdon), hiu paus

(Rhyncodon typus), dan hiu monyet/cucut pedang (Alopias pelagicus).

E. Antara Ekologi Dan Ekonomi Perburuan Hiu

Perikanan hiu juga merupakan sektor yang sangat dilematis. Hiu

adalah predator puncak di lautan yang memiliki peran penting dalam

ekosistem. Kepunahan hiu akan berdampak pada rusaknya ekosistem dan

dapat mengancam kehidupan makhluk di bumi. Sisi lain banyak nelayan

kecil yang menggantungkan kehidupan pada komoditas ini. Oleh sebab

itu dalam upaya pengendalian tidak bisa semerta merta melarang

melakukan penangkapan secara penuh karena berkaitan dengan

kesejahteraan dan kehidupan orang banyak. Hiu juga perikanan tergolong

sebagai perikanan yang miskin data baik jumlah tangkapan, pendaratan,

23
perkiraan stok,fishing ground dan jumlah armada hiu. Bisa jadi

disebagian wilayah memang langka namun di daerah lain populasinya

cenderung tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut penelitan dan kajian

mengenai hiu sangat diperlukan guna memenuhi ketersediaan data

sehingga dapat ditentukan aturan main dalam perburuan hiu agar dapat

tercipta keseimbangan ekologi dan ekonomi.

Menurut Jaiteh et al (2016) nelayan mengaku hasil tangkapan hiu

di Indonesia Timur ukurannya semakin mengecil dan sebagian besar hiu

yang tertangkap ikan merupakan usia muda. Berdasarkan hal tersebut

dapat diprediksikan bahwa telah terjadi over fishing pada sektor ini.

Kuota penangkapan dan ukuran minimal untuk hiu yang ditangkap sangat

diperlukan untuk melindungi kelestarian predator laut tersebut. Sebagai

upaya untuk menanggulangi isu shark finning, regulasi yang mengatur

penangkapan hiu secara utuh sangat diperlukan guna memastikan bahwa

seluruh produk dapat termanfaatkan. Hiu utuh yang tertangkap juga dapat

dijadikan sebagai sumber data untuk kepentingan pengelolaan. Selain

untuk diburu, hiu juga dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik ekowisata

bahari. Kepala BRSDM KKP M. Zulficar Mochtar yang menyatakan

bahwa hiu dan pari memiliki nilai ekonomis tinggi untuk pariwisata.

Kegiatan ekowisata tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Wisata

hiu dan pari di Palau diperkirakan menyumbang sebesar 18.000.000 USD

per tahun atau Rp261.000.000.000,00 per tahun (AWARE Foundation,

2011). Jika potensi ini dapat didorong dan dimanfaatkan dengan baik

24
maka dapat menciptakan keseimbangan ekonomi dan ekologi pada

perikanan hiu. Perburuan ikan hiu akibat perdagangan siripnya

untuk dikonsumsi masih menjadi salah satu masalah utama dalam

konservasi satwa saat ini.

Upaya untuk membatasi perdagangan sirip dan daging hiu dalam

konferensi CITES baru-baru ini gagal, akibat kuatnya desakan

kepentingan ekonomi dibanding keberlanjutan lingkungan dalam jangka

panjang, namun upaya penegakan peraturan untuk mengatasi

perdagangan sirip hiu tidak akan pernah berhenti. Indonesia negara yang

ikut meratifikasi CITES, Pemerintah RI telah mengeluarkan aturan

pengelolaan hiu dan pari. Seperti perlindungan secara penuh untuk hiu

paus dan pari gergaji (masuk dalam PP Nomor 7/1999), diperkuat aturan

perlindungan untuk hiu paus (Kepmen KP Nomor 18/2013), dan pari

manta (Kepmen KP Nomor 4/2014). Selanjutnya, pemerintah juga

mengeluarkan larangan ekspor untuk hiu martil dan hiu koboi (Permen

KP Nomor 48/2016). Dalam Permen KP Nomor 26/2013 yang

merupakan perubahan Permen KP Nomor 30/2012 tentang Usaha

Perikanan Tangkap di Indonesia, diatur tentang penangkapan hiu tikus

terkait dengan perikanan tuna. Disebutkan, sebagai tindakan konservasi

terhadap hiu tikus sebagai tangkapan sampingan (bycatch) perlakuannya

meliputi: melepaskan hiu tikus yang tertangkap dalam keadaan hidup ke

laut, mendaratkan dan mencatat hiu tikus yang tertangkap dalam keadaan

mati untuk dilaporkan kepada kepala pelabuhan.

25
Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya di

Indonesia juga mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi dan

Pengelolaan Hiu dan Pari 2016-2020 secara nasional. Strategi yang

dijabarkan antara lain melakukan konservasi hiu-hiu yang terancam,

mengatur perdagangan produk hiu dan pari sebagai bagian dari

implementasi CITES termasuk melakukan penguatan pendataan dan

penelitian, perlindungan habitat serta penyadartahuan, peningkatan

kapasitas SDM dan kelembagaan.

F. Tantangan dan Permasalahan yang Dihadapi

Tantangan terbesar pengelolaan hiu adalah permintaan pasar untuk

berbagai produk hiu yang semakin meningkat dari tahun ke tahun,

khususnya yang berasal dari Asia Timur. Juga, jangan dilupakan

permintaan pasar domestik daging hiu untuk kebutuhan protein yang

ditengarai semakin meningkat dan menjadi gaya hidup. Permasalahan

yang dihadapi dalam pengelolaan hiu di Indonesia adalah keakuratan data

tangkapan di tingkat lapangan. Hal ini menyangkut berapa total jumlah hiu

yang ditangkap di lautan dan identifikasi jenis-jenis hiu yang ditangkap.

Hal ini diperburuk dengan praktik shark finning yang masih dilakukan

nelayan. Praktik ini adalah memotong hiu, hanya mengambil siripnya saja,

dan bagian tubuh lainnya (95%) dibuang kembali ke laut. Praktik ini

cenderung membiaskan jumlah tangkapan hiu sebenarnya yang terjadi di

lautan lepas yang dapat dikategorikan sebagai illegal dan unreported

fishing. Padahal data-data ini penting untuk menentukan penelusuran

26
(traceability) dan menyusun strategi pengelolaan perikanan hiu dan pari

yang berkelanjutan, seperti penentuan kuota yang disyaratkan untuk

spesies yang masuk dalam daftar Appendix II CITES. Data ini dapat

menjadi pertimbangan untuk pengaturan lokasi penangkapan, pengaturan

jenis alat tangkap, dan musim penangkapan dianjurkan.

Kemampuan petugas enumerator untuk mengidentifikasi berbagai

tangkapan hiu (termasuk sirip hasil tangkapan shark finning) mutlak

diperlukan. Persoalan lain adalah masalah pengawasan, dimana tidak

semua kawasan di Indonesia dapat dilakukan monitoring oleh para

petugas, akibat faktor keterbatasan dana. Juga, regulasi larangan ekspor

diperuntukan untuk mengurangi permintaan pasar dari luar negeri (Permen

KP 48/2016) saat ini belum mampu mengurangi tingkat eksploitasi hiu di

Indonesia. Padahal, saat ini diindikasikan bahwa Indonesia tidak hanya

berperan sebagai negara produsen hiu terbesar di dunia tetapi juga menjadi

konsumen terbesar. Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan

Surabaya diindikasikan telah menjadi tempat konsumen hiu terbesar.

Pemerintah RI melalui Menteri Kelautan dan Perikanan membuka

Simposium Hiu di Indonesia. Acara ini bertujuan menggali informasi

mengenai data dan informasi untuk bisa dijadikan blue print dalam

pengelolaan dan pelestarian hiu.

27
G. Sosialisai dan Kampanye

Sosialisasi dan kampanye harus dilakukan secara masif di

lapangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa, mulai dari pengusaha

hingga ke restoran, saat ini hewan laut tersebut seakan langka ditemukan.

Ada beberapa hal sebagai penyebabnya, salah satunya adalah mulai

maraknya pembasmian hiu untuk dikonsumsi.

Ditambah lagi dengan banyaknya kapal-kapal asing yang mencuri

ikan di Indonesia dalam beberapa tahun lalu. Padahal keberadaan hiu

dilaut ini menjadi satu rangkaian ekosistem penting kehidupan bawah laut.

Contohnya, munculnya hiu di permukaan laut menandakan bawha akan

ada musim panen ikan. Namun, jarang munculnya dua spesies tersebut

menjadikan para nelayan kini sulit memperkirakan musim ikan.

28
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Di Aceh, banyak sekali nelayan yang mengantungkan mata

pencahariannya sehingga terkadang masih banyak dari pada nelayan ini

yang belum mengerti tentang perburuan hiu yang dilindungi dan tidak

dilindungi dan juga jumlah tangkapan yang harus dibatasi. Perburuan hiu

hendaknya dapat ditindaklanjuti penanganannya, mengingat untuk

menjaga ekosistem lautan agar seimbang dan berharap spesies hiu ini tidak

akan punah walaupun termasuk di dalamnya hiu yang dapat dikonsumsi

dan ditangkap, adanya tindakan tegas pemerintah setiap daerah akan

membantu hal ini. Karena, kelalaian dari penanggung jawab kelautan dan

perikanan ini akan berdampak besar bila data yang diperoleh tidak sesuai

dan tidak adanya pengawasan dalam penangkapan hiu ini. Larangan saja

tidak akan membuat nelayan yang haus akan ekonomi berhenti memburu

hiu, oleh karena itu, perburuan hiu ini harus ditegaskan pelarangan

penangkapan nya, bahkan pelarangan menerima daging maupun sirip hiu

pada pasar terbuka, restoran dan tempat lainnya yang masih menerima.

29
B. Saran

Kedepannya, peraturan pemerintah setiap daerah haruslah di

tekankan dalam perburuan ini, selain mengganggu ekosistem, perburuan

hiu ini akan menyebabkan hiu tidak dapat berkembang biak lagi atau

buruknya akan punah. Mengingat Indonesia merupakan Negara yang

kepulauan maritim, banyak sekali orang pesisir yang menggantungkan

kehidupannya pada laut, sehingga banyaknya biota laut dalam

penangkapan akan menguntungkan mereka, pengawasan yang ketat dan

teratur akan menjadi salah satu upaya terbesar dan langkah awal untuk

pelestarian hiu kembali.

30

Anda mungkin juga menyukai