Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS PERBURUAN HIU DI PERAIRAN ACEH TERHADAP

EKOSISTEM LAUT SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN

Oleh :

Hilda (226010201001)
Wulan Dara Sari Arhas (226010201002)

Dosen Pengampu :

Ichsan, S,T. M.PPM., Ph.D

PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Laut merupakan sebuah perairan asin besar yang dikelilingi secara

menyeluruh atau sebagian oleh daratan. Dalam arti yang lebih luas, laut adalah

system perairan Samudra berair asin yang saling terhubung di bumi yang

dianggap sebagai satu Samudra global atau sebagai beberapa Samudra utama,

seluruh badan air asin yang saling berhubungan menutupi 70% dari permukaan

bumi.

Samudra merupakan tempat tinggal beranekaragaman kehidupan yang

memanfaatkannya sebagai habitat. Sinar matahari hanya menerangi lapisan-

lapisan atas laut, sehingga sebagian besar Samudra berada dalam kegelapan yang

permanen. Di setiap tingkatan kedalaman dan zona suhu, terdapat habitat-habitat

tersendiri untuk spesies-spesies yang unik. Seperti yang diketahui lingkungan laut

yang luas terdapat bermacam-macam populasi dan habitat makhluk hidup lainnya

yang hidup di lautan yang luasnya bahkan diperkirakan ¾ luasnya bumi. Beberapa

contohnya adalah terumbu karang, hutan kelp, padang lamun, kolam pasang surut,

dasar laut yang berlumpur, berpasir dan berbatu, serta zona pelagic terbuka.

Organisme yang hidup di laut juga bermacam-macam, dari mulai paus dengan

panjang yang mencapai 30 meter hingga fitoplankton dan zooplankton, fungi dan

bakteri, alga, dan tumbuhan unik lainnya, beserta bermacam-macam spesies ikan

1
yang jarang kita temui bahkan dilihat dengan mata telanjang pun akan sulit

mendapati berbagai macam spesies ikan yang berada di dalam laut, salah satu

spesies ikan tersebut adalah ikah hiu.

Hiu atau ikan cucut merupakan sekelompok ikan dengan kerangka tulang

rawan yang lengkap dan tubuh yang ramping. Hiu mencakup spesies yang

mempunyai ukuran sebesar telapak tangan, hingga hiu paus ikan terbesar yang

mampu tumbuh hingga sekitar 12 meter, dan hanya memakan plankton. Hiu

umumnya lambat mencapai keadaan dewasa dan dari segi produksi mereka

menghasilkan sedikit sekali keturunan dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya.

Hiu hanya bereproduksi sekitar 8-10 tahun sekali dan menghasilkan anak yang

tidak lebih dari 20 ekor. Itu juga belum tentu semuanya hidup. Hal ini

menimbulkan keprihatinan karena akhir-akhir ini meningkatnya usaha untuk

menangkap atau memburu hiu yang semakin tinggi, akan menjadikan spesies hiu

yang susah menghasilkan keturunan ini terancam punah.

Di laut wilayah aceh, perburuan hiu ini menjadi salah satu pencarian

terbesar bagi sebagian nelayan, hiu menjadi ikan ‘primadona’ di aceh, selain

perburuan nya yang tidak dilarang, ikan hiu juga merupakan ikan mahal dengan

daging yang lezat untuk disantap. Hiu merupakan salah satu pengharapan besar

nelayan, jenis ikan hiu yang di tangkap ini memanglah jenis hiu yang diizinkan

untuk diburu, karena populasinya yang sedikit dan bisa dikatakan hiu merupakan

hewan yang sangat jarang didapati, maka, harga yang dikenakan tidak bisa

terbilang murah, perkilo daging ikan ini bisa mencapai harga 30.000 sampai

dengan 35.000, jika dibeli per ekor bisa mencapai 3.000.000 sampai 4.000.000

2
(sumber m.bisnis.blogspot.com). Sehingga tidak heran jika semakin banyak

mendapat ikan hiu, semakin banyak pula laba yang nelayan dapatkan.

Berdasarkan isi yang telah diuraikan penulis tertarik mengangkat kasus

tentang perburuan hiu di laut Aceh dikarenakan populasi hiu yang kini kian

menipis namun penangkapan hiu terus menerus dilakukan dengan gamblang dan

diperjual belikan dengan bebas.

B. Rumusan Masalah

Banyaknya penangkapan terhadap hiu yang dilakukan oleh para nelayan di

Aceh tanpa memperhitungkan jumlah yang ditangkap demi hasil yang banyak,

menyebabkan pengurangan populasi hiu dan berkurangnya ikan hiu di lautan.

Permasalahan ini menyebabkan masalah yang cukup serius mengingat produksi

hiu yang lumayan susah dan lama, sehingga mempengaruhi ekosistem laut.

3
BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Teori

1. Hiu

Ikan Hiu atau Cucut (superordo Selachimorpha) adalah sekelompok ikan

dengan kerangka tulang rawan yang lengkap1 dan tubuh yang ramping. Mereka

bernapas dengan menggunakan lima liang insang (kadang-kadang enam atau

tujuh, tergantung pada spesiesnya) di samping, atau dimulai sedikit di belakang,

kepalanya. Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles untuk

melindungi kulit mereka dari kerusakan, dari parasit, dan untuk menambah

dinamika air. Mereka mempunyai beberapa deret gigi yang dapat digantikan.

Hiu mencakup spesies yang berukuran sebesar telapak tangan. Hiu pigmi

(Euprotomicrus bispinatus) sebuah spesies dari laut dalam yang panjangnya hanya

22 cm, hingga hiu paus (Rhincodon typus) yang merupakn ikan terbesar yang

mampu tumbuh hingga sekitar 12 meter dan hanya memakan plankton melalui

alat penyaring di mulutnya. Hiu banteng (Carcharhinus leucas) adalah yang paling

terkenal dari beberapa spesies yang berenang di air laut maupun air tawar (jenis

ini ditemukan di Danau Nikaragua, di Amerika Tengah) dan di delta-delta.2

Hiu telah berada di lautan selama 450 juta tahun dan merupakan salah satu

makhluk yang penting dan menghuni lautan dunia. Mereka merupakan fosil

1 Budker, Paul (1971). The Life of Sharks. London: Weidenfeld and Nicolson. SBN
297003070.
2 Allen, Thomas B. (1999). The Shark Almanac. New York: The Lyons Press. ISBN 1-
55821-582-4.

4
hidup, menguasai lautan bahkan sebelum dinosaurus menguasai daratan. Sebagai

predator puncak, hiu memegang peranan penting dalam ekosistem dengan

mengendalikan dan memelihara spesies yang lebih rendah pada rantai makanan.

Dengan memakan ikan yang sakit dan lemah, mereka memelihara keseimbangan

antara kompetitor laut lainnya dan menjaga keragaman spesies yang ada di dalam

lautan. Untuk itu, keberadaan mereka sangat penting untuk kesehatan laut.3

Hiu terdiri dari kelompok spesies yang sangat banyak dan setiap spesies

dapat beradaptasi dengan sangat baik sesuai dengan lingkungannya. Mereka dapat

menghuni setiap bagian lautan dunia, mulai dari laut dalam, terumbu karang, zona

pelagis hingga lautan Arktik. Saat ini ada sekitar 500 spesies hiu. Hiu yang paling

besar adalah hiu Paus. Hiu Paus dapat tumbuh hingga lebih dari 18 meter,

sementara itu untuk spesies hiu terkecil berukuran sekepalan tangan manusia.4

Ada 53 jenis hiu yaitu:

1. Zebra Bullhead Shark

2. Whitetip Reef Shark

3. Bahamas Sawshark

4. Basking Shark

5. Bigeye Sixgill Shark

6. Blacktip Reef Shark

7. Blue Shark

8. Bluegrey Carpetshark

3 https://threshershark.id/id/update/fakta-hiu-dan-habitatnya/
4 https://threshershark.id/id/update/fakta-hiu-dan-habitatnya/

5
9. Bluntnose Sixgill Shark

10. Broadnose Sevengill Shark

11. Bronze Whaler Shark

12. Bull Shark

13. Burmese Bamboo Shark

14. Caribbean Reef Shark

15. Caribbean Roughshark

16. Cookiecutter Shark

17. Copper Shark

18. Crested Bullhead Shark

19. Frilled Shark

20. Galapagos Bullhead Shark

21. Goblin Shark

22. Gray Reef Shark

23. Great Hammerhead Shark

24. Great White Shark

25. Greenland Shark

26. Hammerhead Shark

27. Horn Shark

28. Japanese Sawshark

29. Japanese Wobbegong

30. Leafscale Gulper Shark

31. Lemon Shark

6
32. Leopard Shark

33. Mako Shark

34. Megalodon Shark

35. Nurse Shark

36. Pacific Sleeper Shark

37. Porbeagle Shark

38. Port Jackson Shark

39. Portuguese Dogfish Shark

40. Prickly Dogfish Shark

41. Reef Shark

42. Sailfin Rough Shark

43. Sand Shark

44. Sawback Angelshark

45. Scalloped Hammerhead Shark

46. Sharpnose Sevengill Shark

47. Shortfin Mako Shark

48. Silky Shark

49. Silvertip Shark

50. Thresher Shark

51. Tiger Shark

52. Whale Shark

53. Zebra Shark5

5.https://gerava.com/2021/10/25/53-jenis-dan-nama-ikan-hiu-di-dunia-dengan-gambar-a-
sampai-z/

7
2. Lingkungan

Lingkungan adalah suatu media di mana makhluk hidup tinggal, mencari,

dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal

balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia

yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil. 6 Lingkungan hidup menurut

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang yang terdiri dari benda,

daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya,

yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk

hidup lainnya. Dan dapat dikatakan lingkungan merupakan suatu media di mana

makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta

fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan keberadaan

makhluk hidup yang

menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih

kompleks dan rill. Komponen lingkungan terdiri dari faktor abiotic (tanah, air,

udara, cuaca, suhu) dan faktor biotik (tumbuhan, hewan, dan manusia).

Lingkungan bisa terdiri atas lingkungan alam dan lingkungan buatan, sedangkan

lingkungan alam adalah keadaan yang diciptakan Tuhan untuk manusia.7

6 A. Rusdina, 2015, Membumbikan Etika Lingkungan Bagi Upaya Membudayakan


Pengelolaan Lingkungan yang Bertanggungjawab, ISSN 1979-8911, Vol IX No 2, hlm. 247
7 Yosef Anata Christie, La Sina dan Rika Erawaty, Dampak Kerusakan Lingkungan
Akibat Aktivitas Pembangunan Perumahan (Studi Kasus di Perumahan Palaran City oleh PT
Kusuma Hady Property), Jurnal Beraja Niti, ISSN 2337-4608, Vol 2 No 11, 2013, hlm. 6

8
a. Pengelolaan Lingkungan

Menurut Syahrul Machmud dalam buku hukum lingkungan yang

dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,

pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan

pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan

dengan asas tanggungjawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat

bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa.8

Pengelolaan lingkungan hidup, menyatakan bahwa lingkungan hidup

merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk

hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa lingkungan atau lingkungan hidup adalah segala sesuatu

benda, keadaan, situasi yang ada di sekeliling makhluk hidup dan berpengaruh

terhadap kehidupan (sifat, pertumbuhan, persebaran) makhluk hidup yang

bersangkutan.

8 Syahrul Machmud, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, Cetakan III, Citra


Bhakti,Bandung. 2012, hlm 15.

9
b. Ilmu Ekonomi

Ilmu Ekonomi Ilmu yang mempelajari bagaimana individu atau

masyarakat memilih cara penggunaan sumber daya yang langka untuk memenuhi

kebutuhan yang tidak terbatas. Pada dasarnya ekonomi merupakan kegiatan sosial,

karena tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri dalam memenuhi

kebutuhannya. Manusia satu sama lain harus saling bekerjasama.

Ada beberapa teori ilmu ekonomi menurut beberapa para ahli

1. Adam Smith : Ilmu ekonomi adalah penyelidikan tentang keadaan

dan sebab adanya kekayaan negara.

2. N. Gregory Mankiw: Ilmu ekonomi adalah studi tentang cara

masyarakat mengelola sumber-sumber daya yang langka.

3. Richard G. Lipsey: Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari

pemanfaatan sumber daya yang langka untuk memenuhi keinginan

manusia yang tidak terbatas.

4. J. S. Mill: Ilmu ekonomi adalah sains praktikal tentang pengeluaran

dan penagihan.

5. Robert B. Ekelund Jr. dan Robert D. Tollison : Ilmu ekonomi

adalah ilmu yang mempelajari cara individu dan masyarakat yang

mempunyai keinginan yang tidak terbatas memilih untuk

mengalokasikan sumber daya yang terbatas demi memenuhi

keinginan mereka.

10
6. Alfred Marshall: Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari

usaha-usaha individu dalam ikatan pekerjaan dalam kehidupannya

sehari-hari dan membahas kehidupan manusia yang berhubungan

dengan bagaimana ia memperoleh pendapatan dan bagaimana pula

ia mempergunakan pendapatan itu.

7. Robert B. Ekelund Jr. dan Robert D. Tollison: Ilmu ekonomi adalah

ilmu yang mempelajari cara individu dan masyarakat yang

mempunyai keinginan yang tidak terbatas memilih untuk

mengalokasikan sumber daya yang terbatas demi memenuhi

keinginan mereka.

11
BAB III

HASIL

A. Peburuan Hiu

Perburuan ikan hiu akibat perdagangan siripnya bahkan dagingnya untuk

dikonsumsi masih menjadi salah satu masalah utama dalam konservasi satwa saat

ini. Masalah perburuan hiu dinilai kompleks, karena melibatkan berbagai dimensi

dalam isu lingkungan, baik itu dimensi ekonomi, sosial, budaya hingga konservasi

itu sendiri. Upaya menghentikannya pun, bukan sebuah perkara mudah. Selama

masih ada pembeli yang mau menerima sirip-sirip ini, maka pasar akan selalu

terbuka, dan perburuan masih akan terus terjadi, bahkan terbukanya pasar untuk

menerima daging hiu pun menjadi suatu hal yang sangat apik tanpa adanya

larangan. Butuh sebuah pendekatan yang holistik secara ekonomi politik untuk

mengatasinya, tidak cukup hanya menangkap pelaku perburuan, namun juga

memperkuat regulasi dan Undang-Undang serta penegakan hukum di lapangan

terhadap negara penerimanya. perburuan hiu sudah dimulai sejak era 1970-an, dan

Indonesia adalah penyuplai sekitar 14% dari kebutuhan sirip hiu dunia antara

tahun 1998 hingga 2002. Terkait dengan meningkatnya pasar bagi sirip hiu untuk

dikonsumsi, maka tingkat perburuan ikan hiu di Indonesia juga terus meningkat.

Perburuan ikan hiu di Indonesia meningkat dari hanya sekitar 1000 Metrik ton di

tahun 1950, menjadi 117.600 metrik ton di tahun 2003 dengan nilai ekspor

mencapai 6000 Dollar AS di tahun 1975 dan membengkak hingga lebih dari10

juta dollar di tahun 1991. Sebagian besar sirip hiu ini dikonsumsi oleh para

12
penikmat kuliner kelas hotel bintang lima dan sebagian restoran yang

menyediakan masakan Cina kelas atas.

Ada beberapa jenis hiu yang awalnya perburuan nya tidak dilarang, namun

hanya 1 spesies hiu yang tidak boleh dikonsumsi, yaitu hiu paus, namun

mengingat kini populasi hiu yang semakin langka dan mulai susah ditemui

dikarenakan penangkapan yang terus menerus, pemerintah telah mengeluarkan

larangan perburuan hiu dan menetapkan beberapa hukuman untuk penangkapan

secara ilegal terhadap hiu, namun, belum ada upaya pengurangan dalam

penanganan ini, dikarenakan banyak yang menumpukan ekonominya dalam

penangkapan hiu ini.

B. Dampak terhadap lingkungan

Perburuan dan perdagangan ikan hiu bisa berdampak buruk bagi

lingkungan sekitar, diantara dampaknya adalah kepunahan ikan hiu berdampak

bagi keseimbangan ekosistem laut sekitar dan berdampak terhadap kesehatan

masyarakat yang mengonsumsi ikan hiu tersebut. Isu berkurangnya populasi hiu

di perairan dunia menjadi salah satu fokus WWF (World Wide Fund for Nature)

saat ini. WWF berinisiatif mengumpulkan petisi yang hasilnya akan mereka

berikan ke beberapa restoran yang menyediakan menu sirip hiu dan juga ke toko-

toko ikan segar serta ke media massa yang turut mengambil peran dalam

mempromosikan menu sirip hiu yang dikenal sangat mahal ini. Menurut WWF

saat ini masyarakat masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai fakta

13
tentang hiu. Bahkan, banyak yang beranggapan bila punah, tidak akan berdampak

buruk bagi ekosistem laut.

Banyak yang beranggapan hiu memakan ikan-ikan yang lebih kecil dan

membuat jumlah ikan-ikan tersebut berkurang. Padahal keberadaan hiu sangat

penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Contoh simpel adalah hiu

memakan ikan-ikan kecil yang sakit, karena yang sedang sakit pasti tidak gesit

sehingga mudah ditangkap. Bila hiu punah, tentunya akan ada penyebaran

penyakit di antara ikan-ikan tersebut. Apabila hiu punah maka tidak akan ada

kontrol bagi pertumbuhan-pertumbuhan ikan besar yang memakan ikan-ikan

kecil. Sehingga, ikan-ikan kecil itu akan punah juga.

Populasi hiu kini sangat mengkhawatirkan. Bahkan karena jumlahnya yang

sudah sedikit, banyak nelayan yang menangkap bayi hiu untuk mengambil

siripnya saja dan badannya dibuang lagi ke laut.

C. Dampak terhadap ekonomi

Daging bahkan sirip hiu mempunyai dampak ekonomi yang tinggi bagi

nelayan. Sirip hiu mempunyai dampak ekonomi yang tinggi bagi nelayan karena

dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi, bahkan dagingnya yang terkenal

sangat enak dikonsumsi pun menjadi permintaan tinggi bagi konsumen setiap

tahunnya, yang menyebabkan dampaknya terhadap ekonomi sangat berpengaruh,

apalagi terhadap nelayan yang menangkapnya, tetapi perburuan hiu dapat

menurunkan populasinya yang berdampak kepada kepunahan. Shark Finning atau

lebih dikenal dengan pemanfaatan sirip hiu menjadi topik yang selalu menarik

14
untuk dibahas. Praktek shark finning sendiri umumnya dilihat sebagai salah satu

bentuk penyiksaan terhadap hewan, karena pada sebagian nelayan hanya

mengambil bagian sirip hiu dalam keadaan hidup dan sisa tubuhnya dikembalikan

ke dalam laut, biasanya praktek shark finning ini berlaku bagi daging hiu yang

tidak bisa dikonsumsi, namun dipergunakan siripnya saja untuk dijual. Proses

tersebut dianggap tidak sesuai dengan konsep Animal Welfare (kesejahteraan

hewan) yang mengatakan bahwa hewan juga merasakan penderitaan selayaknya

manusia. Kampanye STOP SHARK FINNING gencar dilakukan oleh berbagai

pihak untuk menghentikan perburuan hiu, yang dalam pelaksanaannya dapat

dikatakan sangat tidak ramah lingkungan. Negara-negara Uni Eropa saat ini telah

melarang penuh segala upaya pemanfaatan hiu guna menjaga populasi predator

tersebut di alam. Sementara itu negara G20 khususnya Kanada juga telah

berkomitmen untuk mengendalikan pemanfaatan hiu denga cara melarang

perdagangan komoditas ini. Beberapa negara bagian AS seperti Washington,

Oregon, California juga telah terdapat larangan perdagangan sirip hiu.

Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur peredaran dan

pemanfaatan hiu. Salah satu peraturan yang mengatur peredaran dan

pemanfaatannya di Indonesia adalah PERMEN KP No. 5 Tahun 2018 tentang

Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi dan Hiu Martil dari wilayah negara RI

keluar wilayah negara RI. Kedua jenis hiu ini telah masuk dalam Appendix II

CITES dan dilarang mengeluarkan rekomendasi ekspor berdasarkan surat edaran

Direktur KKHL No. 2078/PRL.5/X/2017. Selain kedua jenis hiu diatas, ada Hiu

Tikus yang masuk dalam Apendiks II CITES dan jika tertangkap sebagai

15
tangkapan sampingan sesuai dengan Pasal 73 Permen KP No. 30 Tahun 2012

tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI wajib dilepas dan dilaporkan jika

mati. Hiu yang termasuk kedalam Appendix CITES juga diatur dalam Permen KP

No. 61 Tahun 2018 mengenai peraerannya yang harus disertai dengan SIPJI dan

SAJI DN. Nilai ekonomi yang “seksi” dan permintaan pasar yang membludak

menjadi daya pemikat utama praktek shark finning. Kedua hal tersebut menjadi

alasan utama maraknya perburuan hiu. Angka pemanfaatan hiu setiap tahun

cenderung terus meningkat. Wilayah kerja LPSPL Sorong merupakan daerah

penghasil hiu di Timur Indonesia. Tahun 2017 pemanfaatan hiu mencapai

360.128,70 Kg dengan rincian 6,39% merupakan hiu yang dimanfaatkan secara

utuh sedangkan hiu tanpa sirip atau yang mengalami shark finning adalah 93,61%.

Sementara itu ditahun 2018 terjadi peningkatan pemanfaatan hiu hingga mencapai

442.360,14 Kg dengan rincian tetapi pada tahun ini aktivitas shark finning

menurun menjadi 37,67% dan pemanfaatan hiu utuh sebanyak 62,33%. Data

tahun 2019 hingga Mei 2019 tercatat sebanyak 206.869,05 Kg dengan rincian

pemanfaatan hiu secara utuh sebesar 41,21% dan hiu tanpa sirip sebanyak

58,79%. Satu kilogram sirip hiu dapat dijual dengan harga Rp750.000,00-

Rp2.000.000,00 tergantung size sirip sementara itu sup sirip hiu perporsinya dapat

dihargai hingga Rp1.800.000,00. Sedangkan produk non sirip khususnya daging

hanya bernilai Rp25.000,00. Armada kapal nelayan penangkap ikan yang kecil

juga menyebabkan nelayan enggan membawa hiu secara utuh untuk didaratkan

dikarenakan kapasitas muatan yang sangat terbatas. Daging hiu juga rentan

mengalami pembusukan atau penurunan kualitas jika tidak diletakan dalam cold

16
storage sedangkan sirip dapat diolah diatas kapal dengan cara dikeringkan. Tetapi,

di beberapa daerah terkhusus nya Aceh sendiri, daging hiu sudah dimanfaatkan

dengan cara dijual secara lokal. Selain masyarakat lokal, pengusaha yang

memanfaatkan hiu sebagai komoditas penjualan utama mulai memanfaatkan

seluruh bagian tubuh hiu. Pengolahan juga dapat mengarah pada pemanfaatan

bahan baku ikan secara menyeluruh sehingga menghasilkan limbah sesedikit

mungkin yang sekaligus memaksimalkan nilai tambah yang diperoleh.

D. Undang-Undang Larangan Perburuan Hiu

Lembaga Adat Laut Aceh meminta pemerintah setempat

mensosialisasikan Undang-Undang Larangan Penangkapan Hiu (Superordo

selachimorpha) bagi masyarakat nelayan di provinsi paling barat Sumatra ini.

Pemerintah Aceh melalui Dinas Kelautan dan Perikanan harus mensosialisasikan

kepada masyarakat nelayan terkait jenis hiu yang dilarang ditangkap atau

dilindungi undang-undang, hal itu disampaikanya saat dimintai tanggapan terkait

maraknya penangkapan ikan hiu yang dilindungi undang-undang dan saban hari

didaratkan oleh nelayan Aceh di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Lampulo,

Banda Aceh. Kebanyakan masyarakat nelayan di Aceh belum mengetahui jenis-

jenis ikan hiu yang dilindungi undang-undang di Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Pihaknya berharap Pemerintah Aceh maupun Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP) mensosialisasikan semua undang-undang jenis hiu

yang dilarang ditangkap.

17
Pemerintan Republik Indonesia melalui Menteri Kelautan dan Perikanan

melarang keras perburuan ikan hiu dan ragam jenis mamalia lainnya yang

dilindungi undang-undang. Ketentuan mengenai larangan penangkapan ikan hiu,

antara lain tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

59/PERMEN-KP/2014, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

18/KEPMEN-KP/2013. Selanjutnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor 12/2012, serta Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Sebagaimana disebutkan pada pasal 85, setiap orang yang dengan sengaja

memiliki, menguasai, membawa, dan atau menggunakan alat penangkap ikan dan

atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan

sumber daya ikan di wilayah perikanan NKRI sebagaimana dimaksud pasal 9,

dipidana penjara paling lama lima tahun dan didenda paling banyak Rp 2 miliar.

Ikan hiu yang dilindungi undang-undang tersebut, meliputi hiu martil (Sphyrna

leweni), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), hiu gergaji (Pristis microdon), hiu

paus (Rhyncodon typus), dan hiu monyet/cucut pedang (Alopias pelagicus).

E. Antara Ekologi Dan Ekonomi Perburuan Hiu

Perikanan hiu juga merupakan sektor yang sangat dilematis. Hiu adalah

predator puncak di lautan yang memiliki peran penting dalam ekosistem.

Kepunahan hiu akan berdampak pada rusaknya ekosistem dan dapat mengancam

18
kehidupan makhluk di bumi. Sisi lain banyak nelayan kecil yang menggantungkan

kehidupan pada komoditas ini. Oleh sebab itu dalam upaya pengendalian tidak

bisa semerta merta melarang melakukan penangkapan secara penuh karena

berkaitan dengan kesejahteraan dan kehidupan orang banyak. Hiu juga perikanan

tergolong sebagai perikanan yang miskin data baik jumlah tangkapan, pendaratan,

perkiraan stok,fishing ground dan jumlah armada hiu. Bisa jadi disebagian

wilayah memang langka namun di daerah lain populasinya cenderung tinggi.

Berkaitan dengan hal tersebut penelitan dan kajian mengenai hiu sangat

diperlukan guna memenuhi ketersediaan data sehingga dapat ditentukan aturan

main dalam perburuan hiu agar dapat tercipta keseimbangan ekologi dan ekonomi.

Menurut Jaiteh et al (2016) nelayan mengaku hasil tangkapan hiu di

Indonesia Timur ukurannya semakin mengecil dan sebagian besar hiu yang

tertangkap ikan merupakan usia muda. Berdasarkan hal tersebut dapat

diprediksikan bahwa telah terjadi over fishing pada sektor ini. Kuota penangkapan

dan ukuran minimal untuk hiu yang ditangkap sangat diperlukan untuk

melindungi kelestarian predator laut tersebut. Sebagai upaya untuk

menanggulangi isu shark finning, regulasi yang mengatur penangkapan hiu secara

utuh sangat diperlukan guna memastikan bahwa seluruh produk dapat

termanfaatkan. Hiu utuh yang tertangkap juga dapat dijadikan sebagai sumber

data untuk kepentingan pengelolaan. Selain untuk diburu, hiu juga dapat

dimanfaatkan sebagai daya tarik ekowisata bahari. Kepala BRSDM KKP M.

Zulficar Mochtar yang menyatakan bahwa hiu dan pari memiliki nilai ekonomis

tinggi untuk pariwisata. Kegiatan ekowisata tersebut memiliki nilai ekonomis

19
yang tinggi. Wisata hiu dan pari di Palau diperkirakan menyumbang sebesar

18.000.000 USD per tahun atau Rp261.000.000.000,00 per tahun (AWARE

Foundation, 2011). Jika potensi ini dapat didorong dan dimanfaatkan dengan baik

maka dapat menciptakan keseimbangan ekonomi dan ekologi pada perikanan hiu.

Perburuan ikan hiu akibat perdagangan siripnya untuk dikonsumsi masih menjadi

salah satu masalah utama dalam konservasi satwa saat ini.

Upaya untuk membatasi perdagangan sirip dan daging hiu dalam konferensi

CITES baru-baru ini gagal, akibat kuatnya desakan kepentingan ekonomi

dibanding keberlanjutan lingkungan dalam jangka panjang, namun upaya

penegakan peraturan untuk mengatasi perdagangan sirip hiu tidak akan pernah

berhenti. Indonesia negara yang ikut meratifikasi CITES, Pemerintah RI telah

mengeluarkan aturan pengelolaan hiu dan pari. Seperti perlindungan secara penuh

untuk hiu paus dan pari gergaji (masuk dalam PP Nomor 7/1999), diperkuat

aturan perlindungan untuk hiu paus (Kepmen KP Nomor 18/2013), dan pari manta

(Kepmen KP Nomor 4/2014). Selanjutnya, pemerintah juga mengeluarkan

larangan ekspor untuk hiu martil dan hiu koboi (Permen KP Nomor 48/2016).

Dalam Permen KP Nomor 26/2013 yang merupakan perubahan Permen KP

Nomor 30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Indonesia, diatur tentang

penangkapan hiu tikus terkait dengan perikanan tuna. Disebutkan, sebagai

tindakan konservasi terhadap hiu tikus sebagai tangkapan sampingan (bycatch)

perlakuannya meliputi: melepaskan hiu tikus yang tertangkap dalam keadaan

hidup ke laut, mendaratkan dan mencatat hiu tikus yang tertangkap dalam keadaan

mati untuk dilaporkan kepada kepala pelabuhan.

20
Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya di

Indonesia juga mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi dan Pengelolaan

Hiu dan Pari 2016-2020 secara nasional. Strategi yang dijabarkan antara lain

melakukan konservasi hiu-hiu yang terancam, mengatur perdagangan produk hiu

dan pari sebagai bagian dari implementasi CITES termasuk melakukan penguatan

pendataan dan penelitian, perlindungan habitat serta penyadartahuan, peningkatan

kapasitas SDM dan kelembagaan.

F. Tantangan dan Permasalahan yang Dihadapi

Tantangan terbesar pengelolaan hiu adalah permintaan pasar untuk

berbagai produk hiu yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, khususnya

yang berasal dari Asia Timur. Juga, jangan dilupakan permintaan pasar domestik

daging hiu untuk kebutuhan protein yang ditengarai semakin meningkat dan

menjadi gaya hidup. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hiu di

Indonesia adalah keakuratan data tangkapan di tingkat lapangan. Hal ini

menyangkut berapa total jumlah hiu yang ditangkap di lautan dan identifikasi

jenis-jenis hiu yang ditangkap. Hal ini diperburuk dengan praktik shark finning

yang masih dilakukan nelayan. Praktik ini adalah memotong hiu, hanya

mengambil siripnya saja, dan bagian tubuh lainnya (95%) dibuang kembali ke

laut. Praktik ini cenderung membiaskan jumlah tangkapan hiu sebenarnya yang

terjadi di lautan lepas yang dapat dikategorikan sebagai illegal dan unreported

fishing. Padahal data-data ini penting untuk menentukan penelusuran

(traceability) dan menyusun strategi pengelolaan perikanan hiu dan pari yang

berkelanjutan, seperti penentuan kuota yang disyaratkan untuk spesies yang

21
masuk dalam daftar Appendix II CITES. Data ini dapat menjadi pertimbangan

untuk pengaturan lokasi penangkapan, pengaturan jenis alat tangkap, dan musim

penangkapan dianjurkan.

Kemampuan petugas enumerator untuk mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu

(termasuk sirip hasil tangkapan shark finning) mutlak diperlukan. Persoalan lain

adalah masalah pengawasan, dimana tidak semua kawasan di Indonesia dapat

dilakukan monitoring oleh para petugas, akibat faktor keterbatasan dana. Juga,

regulasi larangan ekspor diperuntukan untuk mengurangi permintaan pasar dari

luar negeri (Permen KP 48/2016) saat ini belum mampu mengurangi tingkat

eksploitasi hiu di Indonesia. Padahal, saat ini diindikasikan bahwa Indonesia tidak

hanya berperan sebagai negara produsen hiu terbesar di dunia tetapi juga menjadi

konsumen terbesar. Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya

diindikasikan telah menjadi tempat konsumen hiu terbesar.

Pemerintah RI melalui Menteri Kelautan dan Perikanan membuka

Simposium Hiu di Indonesia. Acara ini bertujuan menggali informasi mengenai

data dan informasi untuk bisa dijadikan blue print dalam pengelolaan dan

pelestarian hiu.

G. Sosialisai dan Kampanye

Sosialisasi dan kampanye harus dilakukan secara masif di lapangan, mulai dari

anak-anak hingga dewasa, mulai dari pengusaha hingga ke restoran, saat ini

hewan laut tersebut seakan langka ditemukan. Ada beberapa hal sebagai

22
penyebabnya, salah satunya adalah mulai maraknya pembasmian hiu untuk

dikonsumsi.

Ditambah lagi dengan banyaknya kapal-kapal asing yang mencuri ikan di

Indonesia dalam beberapa tahun lalu. Padahal keberadaan hiu dilaut ini menjadi

satu rangkaian ekosistem penting kehidupan bawah laut. Contohnya, munculnya

hiu di permukaan laut menandakan bawha akan ada musim panen ikan. Namun,

jarang munculnya dua spesies tersebut menjadikan para nelayan kini sulit

memperkirakan musim ikan.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

23
A. Kesimpulan

Perburuan hiu hendaknya dapat ditindaklanjuti penanganannya, mengingat

untuk menjaga ekosistem lautan agar seimbang dan berharap spesies hiu ini tidak

akan punah, adanya tindakan tegas pemerintah setiap daerah akan membantu hal

ini. Karena, kelalaian dari penanggung jawab kelautan dan perikanan ini akan

berdampak besar bila data yang diperoleh tidak sesuai dan tidak adanya

pengawasan dalam penangkapan hiu ini. Larangan saja tidak akan membuat

nelayan yang haus akan ekonomi berhenti memburu hiu, oleh karena itu,

perburuan hiu ini harus ditegaskan pelarangan penangkapan nya, bahkan

pelarangan menerima daging maupun sirip hiu pada pasar terbuka, restoran dan

tempat lainnya yang masih menerima.

B. Saran

Kedepannya, peraturan pemerintah setiap daerah haruslah di tekankan

dalam perburuan ini, selain mengganggu ekosistem, perburuan hiu ini akan

menyebabkan hiu tidak dapat berkembang biak lagi atau buruknya akan punah.

Pengawasan yang ketat akan menjadi salah satu upaya terbesar dan langkah awal

untuk pelestarian hiu kembali.

24

Anda mungkin juga menyukai