Anda di halaman 1dari 32

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328597627

KEANEKARAGAMAN JENIS KARANG KERAS (Scleractinia) DAN KOMUNITAS


BENTIK TERUMBU DI TAMAN WISATA PERAIRAN (TWP) TELUK BUMBANG,
KABUPATEN LOMBOK TENGAH, NUSA TENGGARA BARAT....

Article · October 2018

CITATIONS READS

0 1,822

2 authors:

Abrar Muhammad Ofri Johan


Indonesian Institute of Sciences Ministry of Marine Affairs and Fisheries
47 PUBLICATIONS   1,336 CITATIONS    84 PUBLICATIONS   1,226 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Zooxanthellae project View project

Coral Reef Ecology View project

All content following this page was uploaded by Abrar Muhammad on 30 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Prosiding Simposium Nasional Ikan dan Perikanan

KEANEKARAGAMAN JENIS KARANG KERAS (Scleractinia)


DAN KOMUNITAS BENTIK TERUMBU DI TAMAN WISATA PERAIRAN
(TWP) TELUK BUMBANG, KABUPATEN LOMBOK TENGAH,
NUSA TENGGARA BARAT

[Hards Corals (Scleractinia) Diversity and Reef Benthic Communities at Local


Marine Tourism Park, Teluk Bumbang Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat]

Muhammad Abrar1*, Ofri Johan2, Julius3

1
UPT Loka Pengelolaan SDM Oseanografi (LPKSDMO), Pulau Pari,
Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI)
Gedung LIPI Tisna Amidjaya, Jl. Raden Saleh No 43, Cikini, Jakarta Pusat 10330
2
Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
3
Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
* abrarlipi@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penilaian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dilakukan dengan
mengukur parameter yang menjadi indikator keberhasilan, antara lain dari keanekaragaman
jenis karang keras dan perubahan komunitas bentik terumbu karang. Penelitian struktur dan
komposis jenis karang keras dan komunitas bentik terumbu karang telah dilakukan di Taman
Wisata Perairan (TWP) Teluk Bumbang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada bulan
Oktober 2015, dengan tujuan menyediakan data terkini kondisi terumbu karang di zona
perairan dan waktu yang berbeda. Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan
mengukur tutupan karang hidup dan kategori bentik terumbu lainnya menggunakan metode
Line Intercept Transect (LIT) panjang 10 meter sebanyak 3 kali sebagai keterwakilan,
ditempatkan sejajar garis pantai pada satu kedalaman antara 5-7 meter. Inventarisasi jenis
dilakukan dengan observasi langsung menggunakan peralatan selam SCUBA pada habitat
dan kedalaman yang berbeda. Hasil penelitian menunjukan terumbu karang didominasi oleh
tutupan komunitas karang lunak terutama genus Sarcophyton sp dan Sinularia sp dengan
rerata 48,75%. Tutupan karang hidup dari kelompok karang keras (Scleractinia) sebagai
indikator kesehatan terumbu karang berada pada kisaran 13,98% - 24,51% dengan rerata
17,66%±12,24 (mean±SD), sehingga berada dalam kondisi kurang baik serta relatif sama
pada zona konservasi dan waktu yang berbeda. Komposisi jenis karang dengan
keneragaman cukup tinggi dan komunitas benthos terumbu didominasi oleh karang lunak,
karang keras dan algae, namun tidak menunjukan perbedaan yang nyata antar zona
konservasi perairan yang berbeda.

Kata kunci: Bentik terumbu, keanekaragaman jenis, kondisi terumbu karang, karang keras,
Lombok Tengah, taman wisata perairan, Teluk Bumbang

ABSTRACT
Assessment of effectiveness of marine protected area can be done by measuring parameters
that become indicator of success, among others are the diversity of hard coral species and
coral reef community. Research on the structure and composition of hard coral species and
coral reef community has been done in the local Marine Tourism Park (MTP) Teluk Bumbang,
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, in October 2015, with the aim to providing the
updating data on coral reef conditions in different zones of conservatian area. The assessment
of coral reef condition was done by measuring live coral cover and other coral reef categories

MASYARAKAT IKTIOLOGI INDONESIA


Keragaman jenis karang kerang

using 10 meter long by Line Intercept Transect (LIT) method with 3 times as representative,
placed parallel to the coastline and at a depth between 5-7 meters. Corals species Inventory
are done by direct observation using SCUBA equipment in different habitats and depths. The
results showed coral reefs were dominated by soft coral community cover especially genus
Sarcophyton and Sinularia with mean of 48,75%. Live coral cover as a health indicator of coral
reefs was ranged of 11.82% - 24.51% with an average of 16.71%, so it is in poor condition.
The coral species composition with highest diversity and benthos reef communities are
dominated by soft corals and algae, but do not show any significant between different zones
of marine conservation area.

Keywords: Coral reef condition, hard coral, marine tourism park, Lombok Tengah reef benthic,
species diversity, Teluk Bumbang

Pendahuluan
Terumbu karang dunia dalam skala luas dilaporkan terus mengalami
kerusakan, sekitar 19% dunia kehilangan area terumbu karang, 15% kondisinya
sangat terancam dan akan terdegradasi dalam kurun waktu 15-20 tahun (Wilkinson,
2008; Reid et al., 2009). Upaya pencegahan dan perbaikan kerusakan dengan
mendorong partisipasi lokal dan peningkatan kesejahteraan serta dukungan
kebijakan dan pengawasan dari berbagai pihak menjadi bagian yang sangat penting.
Indonesia sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia, bersama dengan 5 negara
lainnya berkontribusi lebih besar untuk mempertahankan dan memanfaatkan secara
berkelanjutan ekosistem terumbu karang tersebut. Upaya pemerintah Indonesia
direalisasikan dengan mengeluarkan kebijakan pencadangan kawasan konservasi
perairan seluas 20 juta hektar sampai tahun 2020 dan diperkirakan sampai saat ini
sudah terpenuhi sekitar 18 juta hektar lebih.
Pembentukan dan Pengembangan wilayah kawasan konservasi perairan
didasarkan pada kaidah-kaidah pemanfaatan dan pengelolaan yang menjamin
ketersedian dan kesinambungan dengan tetap mempertahankan, memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai keanekaragaman sumberdaya yang ada. Keberhasilan
intervensi program pengelolaan di kawasan konservasi perairan harus dapat diukur
dengan menetapkan standar indikator keberhasilan sesuai dengan tujuan
pengelolaan dan objek yang menjadi target konservasi tersebut. Parameter yang
ditetapkan dalam pengukuran meliputi komitmen pencadangan kawasan,
kelembagaan pengelolalaan, rencana pengelolaan, penguatan kelembagaan, upaya
pengelolaan serta infrastruktur dan sarana. Selanjutnya efektifitas pengelolaan
diukur berdasarkan tingkatan capaian pemenuhan semua parameter pada saat
proses pengelolaan dilakukan (Lubis et al., 2014).
Keberhasilan kawasan konservasi perairan dapat dilihat dari perubahan dan
kecenderungan peningkatan kualitas dari objek yang dijadikan target konservasi
sebelum dan setelah intervensi program pengelolaan dilakukan. Kawasan
Konservasi Perairan Daerah (KKLD) Kabupaten Lombok Tengah telah dicadangkan
melalui Peraturan Bupati Nomor 2 Tahun 2011 serta telah tersedia dokumen zonasi
kawasan dan rencana pengelolaannya pada Tahun 2012 (KKJI-KKP, 2012). KKLD
Kabupaten Lombok Tengah dengan status Taman Wisata Perairan (TWP) Teluk
Bumbang memilki luas 22.940,45 ha merupakan kawasan pesisir dan pulau kecil

190 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

yang berada di sepanjang pesisir selatan Pulau Lombok. Ekosistem terumbu karang
merupakan salah satu potensi sumberdaya yang menjadi target konservasinya
(Dermawan et al. 2014). Sebelum kawasan konservasi perairan dicadangkan,
terumbu karang di kawasan perairan ini mengalami kerusakan, dari hasil penilaian
oleh Wild Conservation Society (WCS) (2011) yang sekaligus menjadi dasar untuk
pencadangan kawasan didapatkan terumbu karang berada dalam kondisi sedang
dengan tutupan karang keras 29,48%. Tutupan karang lunak dan algae cukupt tinggi
dan mendominasi komunitas bentik terumbu yaitu masing-masingnya 26,92% dan
algae 33,10%. (Dermawan et al. 2014). Jumlah genus karang keras yang ditemukan
mencapai 27 genus, umumnya dari genus Acropora 27%, Porites 25%, Montipora
13% dan genus lainnya kurang dari 10%.
Capaian pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dilihat dari
ketersedian data dan informasi terkini status dan kondisi sumberdaya yang menjadi
target konservasi (sebagai indikator keberhasilan). Sejak TWP Teluk Bumbang
dicadangkan (tahun 2011) dan sampai saat sekarang (tahun 2015) belum dilakukan
kembali penilaian terhadap target konservasi sumberdaya tersebut. Ketersedian data
dari hasil penelitian lainnya juga sangat sedikit dan tidak kekinian (update).
Ukuran capaian pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan dengan
membandingkan kembali parameter yang dijadikan ukuran penilaian kondisi terumbu
karang. Apakah kondisi terumbu karang setelah dikonservasi lebih baik dibanding
sebelum konservasi dilakukan. Apakah komposisi jenis karang keras dan struktur
komunitas bentik terumbu berbeda pada saat setelah dikonservasi. Oleh karena itu
telah dilakukan penelitian untuk menilai kembali kekayaan jenis karang keras dan
struktur komunitas bentik terumbu di kawasan perairan yang sama TWP Teluk
Bumbang Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan untuk
melakukan inventarisasi kekayaan jenis karang batu (Scleractinia) dan pengukuran
struktur komunitas bentik dan peniliaian kondisi terumbu karang. Selanjutnya data
yang dihasilkan dapat dijadikan ukuran penilaian efektifitas pengelolaan TWP Teluk
Bumbang, Kabupaten Lombok Tengah pada setiap tingkatannya.

Bahan dan metode


Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2015 pada musim pancaroba dari musim
timur ke musim barat, dengan cuaca cerah, curah hujan rendah dan angin cukup kuat.
Lokasi penelitian berada di perairan TWP Teluk Mumbang, Kabupaten Lombok
Tengah, dengan lima (5) stasiun penelitian yang tersebar pada zona konservasi
perairan yang berbeda (Gambar 1). Stasiun LBTL01 berada dalam zona inti, Stasiun
LBTL02 pada zona perikanan berkelanjutan, sedangkn zona LBTL03, LBTL04 dan
LBTL05 berada di zona pemanfaatan.

Jilid 1 191
Keragaman jenis karang kerang

Gambar 1. Peta lokasi dan sebaran stasiun penelitian di peraiaran TWP Teluk
Bumbang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Pengamatan struktur komunitas dan kekayaan jenis karang meliputi


pengukuran tutupan bentik terumbu, jumlah jenis dan sebaran karang batu. Koleksi
data (sampling) tutupan bentik terumbu dilakukan dengan menggunakan metode Line
Intercept Transect (LIT), modifikasi panjang 10 meter sebanyak tiga (3) kali sebagai
keterwakilan (English et al., 1997; Manuputty et al., 2006). Masing-masing transek
ditempatkan secara acak tersistematik di atas permukaan terumbu, dengan jarak
antar transek 20 meter, ditempatkan sejajar garis pantai pada rataan, tubir atau lereng
terumbu di kedalaman 5-7 meter. Pencatatan meliputi identifikasi bentuk hidup (life
form) setiap kategori bentik dan atau genus/jenis serta ukurannya yang berada persis
dibawah garis transek (ketelitian sampai sentimeter). Inventarisasi kekayaan jenis
karang dilakukan dengan cara cacah langsung pada berbagai tipa habitat (rataan,
tubir dan lereng terumbu) dan di kedalaman yang berbeda menggunakan peralatan
selam SCUBA. Setiap jenis karang yang ditemukan didokumentasikan dengan
kamera bawah air Canon Power Shot G16, sedangkan koleksi bebas dilakukan untuk
jenis-jenis karang keras yang tidak dapat diidentifikasi langsung di bawah air.
Panduan identifikasi jenis menggunakan buku Coral of the World Volume 1-3 (Veron,
2000) dan buku jenis-jenis karang di Indonesia (Suharsono, 2010). Data set kualitas
air diperoleh dari data sekunder hasil pengukuran pada waktu dan lokasi yang sama
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, KKP (Rustam et al. 2016).
Sedangkan data set sekunder tutupan bentik terumbu karang diperoleh dari hasil

192 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

pengukuran yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) tahun 2011
(WCS, 2011; Direktorat KKJI-KKP, 2012; Dermawan et al. 2014)
Data hasil identifikasi dan pengukuran panjang intersep setiap kategori bentik
terumbu diolah untuk mendapatkan porsi suatu tutupan bentik terumbu terhadap
kategori bentik lainnya dalam bentuk penutupan bentik tersebut. Persentase tutupan
setiap kategori bentik terumbu pada setiap stasiun didapat dengan menggunakan
rumus (English et al. 1997; Manuputty et al. 2006):

Jumlah panjang intersep suatu kategori bentik


%Tutupan Bentik = --------------------------------------------------------------x 100%
Total panjang transek

Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi terumbu
karang seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi –
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI) yang disajikan pada
Tabel 2 berikut (Giyanto et al. 2014).
Analisa statistik deskriptif menggunakan aplikasi Excel 2010 dilakukan untuk
melihat gambaran eksisting setiap kategori bentik, sedangkan untuk melihat
pengaruh sebaran stasiun dan zona konservasi perairan berbeda dan periode
sebelum dan setelah pencadangan kawasan terhadap tutupan komunitas bentik
terumbu dilakukan dengan analysis of varian (ANOVA) pada taraf siginikansi 0,05.
Analisa untuk melihat nilai keanekaragaman jenis karang digunakan indeks
keanekaragaman Shanon (H’), Indeks Dominansi (C) dan nilai indeks kemerataan
Pielou (E) dengan rumus berikut ini:

H’ = -∑ pi lon pi, yang mana pi = ni/N

C = ∑ (pi)2

H’
E = -----------------
H max
Keterangan:
H’ = Indeks keanekragaman (Shanon-Wiener)
ni = Frekuensi kehadiran spesies i
N = Frekuensi kehadiran semua spesies
C = Indeks dominansi
E = Indeks keseragaman

Jilid 1 193
Keragaman jenis karang kerang

Tabel 1. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase


tutupan karang hidup.
Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian

75 – 100 Sangat baik


50 – 74,9 Baik
25 – 49,9 Cukup Baik
0 – 24,9 Kurang Baik

Hasil dan pembahasan


Kualitas air
Data sekunder pengukuran kualitas air pada stasiun penelitian terdistribusi
zona konservasi perairan berbeda, terdiri dari parameter fisika (3 variabel), kimia (6
variabel) dan biologi (1 variabel) disajikan pada Tabel 2. Rerata hasil pengukuran
setiap variable kualitas air tersebut relatif hampir sama dan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata. Data parameter fisika kekeruhan memiliki nilai rata-rata
berkisar 0,0091-1,2778 NTU dan kecerahan perairan antara 7,77 – 9,22 meter, maka
sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH) No 51 Tahun 2004
hasi pengkuran tersebut masih berada dalam abang batas bagi biota laut tumbuh dan
berkembang dengan baik. Sementara itu, nilai rata-rata suhu permukaan dengan
kisaran 25,7 - 25,9 oC, berada di bawah ambang batas bagi pertumbuhan maksimal
biota karang yaitu antara 28-30 oC (KMNLH No 51 Tahun 2004), sehingga kondisi
tersebut berdampak terhadap perkembangan terumbu karang. Hal ini juga sesuai
dengan hasil penilaian kondisi terumbu karang pada semua stasiun pengamatan
yaitu berada dalam kondisi kurang baik dengan kisaran tutupan karang hidup hanya
13,98% – 19,83% dengan rerata 17,665% (Gambar 6 dan 7a). Suhu rendah yang
terjadi di sepanjang perairan selatan Pulau Lombok merupakan suhu alami dan terjadi
secara musiman (Rustam et al., 2016). Hal ini disebabkab oleh adanya fenomena up
welling yang terjadi di sepanjang selatan perairan Indonesia, termasuk perairan
selatan pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat terutama pada saat musim timur
(Susanto et al., 2001; Kunarso, 2005; Rakhmaputeri, 2010).
Kekeruhan dan kecerahan perairan memberikan indikasi adanya kandungan
sejumlah partikel dalam kolom air yang memberikan dampak terhadap tingkat
kejernihan air dan sedimentasi. Disamping itu juga memberikan indikasi
kemungkinan adanya partikel organik terlarut yang berpengaruh kondisi dan kualitas
perairan seperti nutrien berlebihan dan bahan pencemar berbahaya. Tingkat
kekeruhan dan kejernihan air berpengaruh terhadap penetrasi cahaya matahari bagi
proses fotosintesis termasuk oleh algae simbion zooxhantella yang berassosiasi
dengan hewan karang (ISRS, 2004). Perubahan suhu permukaan perairan dari
kondisi normal, memberikan dampak terhadap proses fisiologis biota, termasuk bagi
biota karang terutama terhadap proses pertumbuhan, fotosintesis dan reproduksi
(Hubbard, 1997). Pengaruh dan dampak suhu tersebut terlihat jelas terhadap jumlah

194 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

jenis dan pola sebaran biota karang di dunia, yang mana semakin berkurang menurut
garis lintang (utara dan selatan) karena semakin rendahnya suhu permukaan air laut
(Veron 2000; Spalding et al. 2001; Veron et al. 2009).
Pengukuran parameter kimia kandungan Fosfat, Nitrat dan Amonia terlihat tidak
terlalu bervariasi dan tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Hasil rata-rata
pengukuran kandungan fosfat berkisar 1,72 mg/l – 3,71 mg/l dan Nitrat pada kisaran
0,56 mg/l – 0,85 mg/l tergolong tinggi dan melebihi ambang batas bagi biota laut
termasuk karang dan biota lain yang berassosiasi dengan terumbu karang (sesuai
KMNLH No 51 Tahun 2004). Kelarutan fosfat, nitrat dan amonia memberikan indikasi
kandungan nutrient dalam perairan, yang mana nilainya akan menentukan tingkat
kesuburan perairan (Fong et al. 2011; Gunila et al. 2016). Terumbu karang tumbuh
dan berkembang dengan baik pada perairan dengan nutrient rendah. Nutrien berlebih
dalam perairan menyebabkan tingginya pertumbuhan benthos algae, sehingga
berkompetisi ruang menghalangi pertumbuhan karang dan penempelan larva karang
(Fong et al. 2011). Selain itu, nutrient tinggi juga menyebabkan ledakan populasi
fitoplankton dan meningkatnya kandungan mikroba (bakteri, virus dan jamur) dalam
perairan yang berdampak terhadap infeksi penyakit pada karang (Larned, 1998).
Sumber nutrien di lokasi penelitian terutama berasal dari kejadian up welling dan
daratan melalui pencucian oleh hujan, aliran sungai serta oleh limbah organik dari
berbagai aktifitas manusia di sepanjang pesisir (Rustam et al. 2016).
Nutrien tinggi salah satunya berdampak terhadap kesuburan perairan yang
diukur dari kandungan klorofil-a hasil fotosintesis phytoplankton perairan. Hasil
pengukuran menunjukan kisaran rerata kandungan klorofil-a cukup tinggi yaitu
19,0889 µ/l – 40,4273 µ/l, sehingga dapat dikatakan peraiaran dengan tingkat
kesuburan tinggi dan sangat produktif. Tingkat kesuburan suatu perairan ditentukan
dengan membandingkan kosentrasi klorofil-a (Vollenweider, 1969 dalam Heriyanto,
2009). Kandungan klorofil-a kurang dari 1 µg/l adalah perairan yang tidak produktif,
1-20 µg/l perairan yang cukup produktif, sedangkan lebih dari 20 µg/l adalah perairan
yang produktif. Hasil studi Kunarso et al (2011) menunjukan bahwa terjadi up welling
di sepanjang pesisir selatan Jawa Timur, selatan Bali sampai selatan Lombok terjadi
mulai Juni sampai Oktober dengan suhu permukaan berkisar 26,18 –28,35°C dengan
rerata 27,04±0,93°C dan kisaran kandungan klorofil-a sebesar 0,3–0,95 mg/m³
dengan rerata 0,69±0,28mg/m³.

Jilid 1 195
Keragaman jenis karang kerang

Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air di kawasan konservasi perairandaerah TWP


Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Teluk Bumbang (Zona Inti) Teluk Kuta (Zona Pemanfaatan) Teluk Mawun (Zona Pemanfaatan)
Parameter Min Mak Rerata STD Min Mak Rerata STD Min Mak Rerata STD

Fisika
Kekeruhan
(NTU) 0 7,6 102 2.52 0 0.1 0.0091 0.0302 0 11.5 1.2778 3.3888
Kecerahan (m) 7 10 8,22 1,30 1,5 13 7,7727 3,8429 2 12 9,222 3,0732
o
Suhu ( C) 25,3 25,9 25,7 0,19 24,5 26,3 25,5909 0,4571 25,2 26 25,59 0,3100
Kimia
Fosfat (mg/l) 1 4,89 1,979 1,22 0,7 2,67 1,72 0,74 1,01 8,99 3,7111 2,7616
Nitrat (mg/l) 0,5 0,9 0,633 0,01 0,5 2 0,8545 0,4298 0,5 0,7 0,5596 0,0726
Amonia (mg/l) 0,01 0,028 0,018 0,007 0,021 0,031 0,0257 0,0031 0,04 0,031 0,0188 0,0095
pH 7,81 7,94 7,87 0,046 7,23 7,84 7,6536 0,2353 7,51 7,92 7,8044 0,1194
DO (mg/l) 7,39 8 7,799 0,182 3,12 7,75 6,9836 1,3039 7,42 7,99 7,5767 0,1899
Salinitas (psu) 31,2 31,6 31,4 0,112 31,3 31,5 31,3909 0,0701 31,3 31,5 31,3889 0,0601
Biologi
Kloforofil-a (µ/l) 5,9 47,4 23,0333 16,6309 17,8 89 40,4273 22,947 11,8 35,6 19,0889 8,285

Gambaran umum terumbu karang


Stasiun LBTL01 (Spot Diving Goa Kelelawar)
Stasiun LBTL01 berada di wilayah pesisir Desa Mertak, Kecamatan Pujut,
Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Daerah pesisir merupakan perbukitan dengan
pantai berbatu dan sangat terjal, tidak banyak vegetasi, berupa padang rumput dan
kering. Lokasi penyelaman (dive spot Gua Kelelawar), merupakan lokasi budidaya
rumput laut model tali rentang, termasuk wilayan konservasi perairan sebagai zona
inti. Perairan agak terlindung dan berada di depan sebuah teluk, saat pemantauan
dilakukan cuaca cerah berawan, arus cukup kuat, namun gelombang dan arus tidak
terlalu kuat karena terlindung oleh didnding bukit, perairan jernih dengan jarak
pandang lebih dari 20 meter. Tipe terumbu pantai (fringing reef), curam dengan rataan
terumbu selalu berada di bawah permukaan air di kedalaman 8 meter lebih, substrat
dasar perairan keras dari batuan kapur dan bongkahan karang mati. Transek berada
di rataan terumbu pada kedalaman 8,7 meter, sangat landai dengan kemiringan 10-
20 derajat. Terumbu karang didominasi oleh komunitas karang lunak (soft coral)
terutama dari genus Sarcophyton dan Sinularia, karang keras umumnya dari
kelompok Acropora dengan bentuk koloni tabulate dan dari Famili Pocilloporidae,
pertumbuhan algae cukup tinggi dari kelompok Halimeda. Biota lain dari kelompok
sponge dan biota bentos yang berassosiasi dengan terumbu lainnya jarang. Hasil
penilaian kondisi terumbu karang menunjukan tutupan rata-rata karang hidup sebesar
13,98% sehingga berada dalam kondisi kurang baik.

196 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Stasiun LBTL02
Stasiun LBTL02 berada di wilayah pesisir Desa Mertak, Kecamatan Pujut,
Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Daerah pesisir berbukit dengan pantai berbatu
dan sedikit bagian berpasir, tidak banyak vegetasi, ditemukan semak dan rumput
kering. Daerah pesisir dikembangkan sebagai daerah wisata, pemukiman nelayan,
budidaya rumput laut, dan terdapat banyak keramba apung dengan alat tangkap
benih lobster, merupakan zona perikanan berkelanjutan. Perairan sangat terlindung
dalam teluk, saat pemantauan dilakukan cuaca cerah berawan, dengan gelombang
dan arus tidak terlalu kuat, agak keruh jarak pandang 10 meter. Tipe terumbu pantai
(fringing reef) dengan rataan tidak terlalu lebar, sekitar 100 meter dari pantai arah ke
tubir, substrat dasar perairan berpasir, patahan karang mati dan dasar yang keras
dari batuan kapur.
Transek berada di lereng terumbu pada kedalaman 4 meter, dengan
kemiringan 30 derajat. Tubir karang tidak terlalu jelas berada di kedalaman 2-3 meter,
lereng terumbu landai sampai kedalaman 7-8 meter. Terumbu karang didominasi oleh
komnitas karang lunak (soft coral) terutama dari genus Sarcophyton dan Sinularia,
karang keras umumnya dari kelompok Acropora dengan bentuk koloni bercabang
genus Seriatopora dan pertumbuhan algae dari kelompok Halimeda, juga ditemukan
target jenis dengan perlindungan terbatas bambu laut (Isis sp.). Hasil penilaian
kondisi terumbu karang menunjukan tutupan rata-rata karang hidup sebesar 15,51%
sehingga berada dalam kondisi kurang baik.

Gambar 1. Stasiun LBTL 01, zona inti, pesisir Desa Mertak, Kecamatan Pujut,
Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Jilid 1 197
Keragaman jenis karang kerang

Gambar 2. Stasiun LBTL02, zona perikanan berkelanjutan, pesisir Desa Mertak,


Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Gambar 3. Stasiun LBTL03, zona pemanfaatan, pesisir Desa Kuta, Kecamatan


Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Stasiun LBTL03 (Dive Spot Batu Dundang)


Stasiun LBTL03 berada di wilayah pesisir Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Praya,
Kabupaten Lombok Tengah. Daerah pesisir berbukit dengan pantai berbatu dan
sangat terjal, tidak banyak vegetasi, hanya berupa padang rumput dan semak kering.
Lokasi wisata dengan pengembangan penginapan hotel berbintang, titik penyelaman
Batu Dundang, termasuk dalam kawasan konservasi perairan zona pemanfaatan.
Perairan sangat terbuka, berada di depan Teluk Kuta sisi sebelah barat, saat
pengamatan dilakukan cuaca cerah berawan dan hujan, kemudian cerah, gelombang
dan arus cukup kuat, perairan agak jernih dengan jarak pandang 15 meter lebih. Tipe
terumbu karang tepi (fringing reef) dengan rataan terumbu selalu berada di bawah
permukaan air di kedalaman 8-9 meter, substrat dasar perairan keras dari batuan
kapur dan sedikit berpasir dan patahan karang mati. Transek berada di rataan
terumbu pada kedalaman 9 meter, sangat landai dengan kemiringan 10 derajat.
Terumbu karang didominasi oleh komnitas karang lunak (soft coral) terutama dari

198 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

genus Sarcophyton dan Sinularia, karang keras umumnya dari kelompok Acropora
dengan bentuk koloni tabulate dan karang masif dari Famili Faviidae dan Poritidae,
pertumbuhan algae dari kelompok Halimeda. Biota lain kelompok sponge dan biota
bentos yang berassosiasi dengan terumbu lainnya terlihat jarang. Hasil penilaian
kondisi terumbu karang menunjukan tutupan rata-rata karang hidup sebesar 24,51%
sehingga berada dalam kondisi cukup baik.

Stasiun LBTL04
Stasiun LBTL04 berada di wilayah pesisir Desa Tumpak, Kecamatan Pujut,
Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Daerah pesisir merupakan perbukitan dengan
pantai berbatu dan sangat terjal, sedikit berpasir, tidak banyak vegetasi, berupa
padang rumput dan kering. Lokasi perikanan tangkap nelayan lokal terutama udang
karang, sotong dan gurita, termasuk kawasan konservasi perairan daerah zona
pemanfaatan. Saat pemantauan dilakukan cuaca cerah, dengan gelombang dan
arus tidak terlalu kuat, jernih dengan jarak pandang 30 meter lebih.
Tipe terumbu pantai dengan rataan terumbu selalu berada di bawah
permukaan air di kedalaman 6 meter, substrat dasar perairan keras dari batuan kapur.
Transek berada di rataan terumbu pada kedalaman 7 meter, sangat landai dengan
kemiringan 10-20 °. Terumbu karang didominasi komunitas karang lunak (soft coral)
dari genus Sarcophyton dan Sinularia, karang keras umumnya dari kelompok
Acropora dengan bentuk koloni tabulate dan kelompok karang encrusting serta
pertumbuhan algae dari kelompok Halimeda. Biota lain dari kelompok sponge dan
biota bentos yang berassosiasi dengan terumbu lainnya terlihat jarang, ditemukan
udang karang (lobster). Hasil penilaian kondisi terumbu karang menunjukan tutupan
rata-rata karang hidup sebesar 14,7 % sehingga berada dalam kondisi kurang baik.

Stasiun LBTL05
Stasiun LBTL05 berada di wilayah pesisir Desa Tumpak, Kecamatan Pujut,
Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Daerah pesisir merupakan pantai berpasir putih
dan sangat landai, lokasi wisata berjemur, berenang, dan snorkeling, terdapat
perkampungan nelayan merupakan wilayan konservasi perairan zona pemanfaatan.
Saat pemantauan dilakukan cuaca cerah berawan, dengan gelombang dan arus tidak
terlalu kuat, keruh dengan jarak pandang 10 meter. Tipe terumbu pantai (fringing
reef) dengan rataan terumbu terpapar saat air surut, cukup luas dengan jarak sekitar
200 meter dari pantai ke arah tubir, substrat dasar perairan keras dari batuan kapur
dan bongkahan karang mati. Transek berada di lereng terumbu pada kedalaman 4
meter, agak curam dengan kemiringan 30-40 derajat. Terumbu karang sangat
didominasi oleh komunitas karang lunak (soft coral) terutama dari genus Sarcophyton
dan Sinularia, karang keras umumnya dari kelompok karang masif dan pertumbuhan
algae Halimeda. Biota lain dari kelompok sponge dan biota bentos yang berassosiasi
dengan terumbu lainnya terlihat jarang. Hasil penilaian kondisi terumbu karang

Jilid 1 199
Keragaman jenis karang kerang

menunjukan tutupan rata-rata karang hidupsebesar 19,83% sehingga berada dalam


kondisi kurang baik.
Tutupan karang keras (Scleractinia) pada semua stasiun berada di bawah 25%
(kisaran 13.98% - 24.51%, rerata 17,71%), sehingga terumbu karangnya berada
dalam kondisi kurang baik. Sebaliknya, tutupan karang lunak (SC) paling tinggi lebih
dari 25% (kisaran 28,7% - 78,71%, rerata 48,76%), adapun tutupan algae termasuk
tinggi juga yaitu kisaran 2,39%-22,67% dengan rerata 12,54% . Data hasil penilaian
kondisi terumbu karang di lokasi peraiaran yang sama tidak banyak tersedia. Data
yang tersedia juga melaporkan bahwa terumbu karang perairan Lombok Tengah
dalam kondisi kurang baik dan didominasi oleh tutupan karang lunak dan algae
(Bachtiar, 2004; WCS, 2011; Dirjen KKJI-KKP 2012; Dermawan et al. 2014).
Ketersedian data saat ini dan data hasil penilaian sebelumnya secara temporal
menunjukan kehadiran dan dominasi karang lunak dan algae ada sepanjang tahun,
sehingga dapat dikatakan terumbu karangnya dicirikan oleh komunitas karang lunak
dan algae.

Gambar 4. Stasiun LBTL 04, zona pemanfaatan, pesisir Desa Tumpak, Kecamatan
Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Gambar 5. Stasiun LBTL05, zona pemanfaatan, pesisir Desa Tumpak, Kecamatan


Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

200 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Rendahnya tutupan komunitas karang keras di periaran TWP Teluk Bumbang,


Lombok Tengah dibatasi kondisi lingkungan perairan. Semua stasiun pengamatan
tersebar di peraiaran sepanjang pesisir bagian selatan Pulau Lombok, persis di
depannya perairan terbuka Samudera Hindia. Kondisi perairan terbuka seperti ini
dicirikan dengan ombak, alun, dan arus cukup kuat, dan turbulensi, kondisi ini akan
membatasi sebaran koloni dan kelulusan hidup penempelan larva karang (Hubbard,
1997). Fenomena oseanografi seperti up weeling, El-Nino Southern Osciliation
(berdampak El-Nino) dan Indian Ocean Dipole (IOD) di selatan perairan Indonesia
juga sering terjadi sampai di perairan selatan Lombok Tengah (Kunarso et al, 2011;
Emiyeti et al, 2014). Fenomena oseanografi tersebut menyebabkan terjadi variasi
suhu permukaan laut, pengayaan nutrien dan meningkatkan produktifitas perairan
(Nontji 1993; Putra 2012; Emiyeti et al. 2014; Rustam et al. 2016) yang menjadi faktor
pembatas bagi pertumbuhan dan perkembang karang keras. Sebaliknya perairan
subur dengan nutrient dan kelimpahan plankton tinggi menguntungkan dan
mendukung pertumbuhan cepat algae (Fong & Paul 2011; Mc Cook et al. 2001) dan
karang lunak (Baum et al. 2016).

Kondisi Terumbu Karang


Banyak parameter yang dijadikan indikator untuk mengukur kondisi terumbu
karang, salah satunya adalah dari persentase tutupan bentik terumbu. Persentase
tutupan bentik terumbu adalah porsi penutupan setiap ketegori bentik terhadap luas
permukaan terumbu menurut ruang dan waktu. Kategori bentik terumbu dari tutupan
karang hidup menjadi indikator utama untuk mengukur kondisi terumbu karang
(English et al. 1997; Hill dan Wilkinson 2004; Oliver et al. 2004; Obura & Grismditch,
2009).
Hasil pengukuran tutupan bentik terumbu pada lima (5) stasiun pengamatan di
perairan TWP Teluk Bumbang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat
menunjukan nilai yang cukup bervariasi (Gambar 6). Komunitas bentik terumbu
didominasi oleh tutupan karang lunak (soft coral) pada kisaran 28,7%-73,71%,
dengan tutupan rata-rata 48,76%, terutama dari genus Sarcophyton dan Sinularia.
Koloni karang yang mengalami pemutihan sangat jarang sehingga tutupannya
mendekati 0%, bagian substrat dasar berlumpur juga tidak ditemukan sehingga
tutupannya 0%. Pertumbuhan algae cukup tinggi, terutama dari alge berkapur
Halimeda dengan tutupan rata-rata 12,55%, dimana rerata tutupan tertinggi mencapai
22,65 di Stasiun LBTL05. Bentik terumbu dari bentik abiotis seperti dasar berpasir
(S), patahan karang mati (R) dan dasar dengan substras keras batuan (RCK)
menutupi terumbu sampai 12,8%. Biota bentik lain dari kelompok sponge (SP) dan
biota bentik yang berassosiasi dengan terumbu sangat jarang dengan rerata tutupan
masing-masing 1,17 % dan 0,5%. Tutupan karang keras (hard corals) sebagai
indikator kesehatan terumbu karang terlihat rendah pada setiap stasiun, berkisar
13,98% - 24,52% dengan rerata tutupan hanya 17,66%, sehingga terumbu karang
berada dalam kondisi kurang baik.

Jilid 1 201
Keragaman jenis karang kerang

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terumbu karang sedang berada dalam
kondisi kurang baik (tutupan karang keras rendah) dan sebaliknya terlihat tutupan
karang lunak dan algae relatif lebih tinggi. Hal ini memberikan indikasi bahwa terumbu
karang sedang mengalami penurunan dan sebaliknya terjadi dominansi komunitas
bentik terumbu oleh tutupan karang lunak (Chou & Yamazato 1990; Fox et al. 2003;
Ward-Paige et al, 2005 ; Baum, 2016) dan tutupan algae (Nystrom et al, 2000 ;
Szmant, 2002 ; Hughes et al 2007). Pergantian komposisi komunitas bentik terumbu
dari tutupan karang keras ke tutupan karang lunak dan algae serta oleh biota bentik
terumbu lainnya telah banyak dilaporkan, terutama pada terumbu karang yang
mengalami kerusakan (Done, 1982 ; Hughes, 1994 ; Baum et al, 2016).
Penurunan kondisi terumbu karang ini disebabkan oleh kondisi perairan yaitu
rendahnya suhu permukaan, yang mana hasil pengukuran menunjukan kisaran suhu
25,56 - 25,7 oC dengan rerata 25,63 oC (Rustam et al. 2016). Terumbu karang dapat
berkembang baik pada kisaran suhu permukaan 18-36 oC (Cole dan Fadlallah, 1991;
Hubbard, 1997) dengan kisaran suhu optimal 26-28 oC (Hubbard, 1997), sedangkan
di perairan tropis Indonesia suhu optimalnya adalah 28-30 oC (Kep. MKLH No 51,
2004).Variasi suhu menurut garis lintang memperlihatkan pola sebaran dan
keanekaragaman karang didunia, yaitu paling tinggi dan beragam di daerah tropis
dan semakin berkurang menjauhi perairan tropis, sebagai sebuah konsekuensi
penurunan suhu permukaan ke arah wilayah lintang tinggi. Namun kejadian anomali
suhu permukaan perairan lokal seperti oleh kejadian upwelling, ENSO dan IOD serta
prediksi kenaikan suhu permukaan laut global di masa yang akan datang, akan
mempengaruhi sebaran dan keanekaragaman karang di perairan tropis. Suhu
perairan sangat berperan dalam proses metabolisme dan fisiologi biota karang
terutama dalam proses kalsifikasi rangka kapur dan reproduksi (Grigg 1982 ;
Hubbard, 1997).
Faktor lain penyebab kondisi karang kurang baik adalah buruknya kualitas air
bagi biota karang, yaitu tingginya nutrien perairan. Hasil pengukuran Fosfat dan
Nitrat sebagai indikator nutrien menunjukan nilai cukup tinggi yaitu pada kisaran 1,72
– 3,71 mg/l dengan rerata 1,98 mg/l (Rustam et al. 2016), sedangkan kosentrasi
normal bagi biota laut termasuk karang adalah Fosfat 0,015 mg/l dan Nitrat 0,008 mg/l
(Kep. MKLH No 51, 2004). Kondisi ini memicu tingkat kesuburan perairan (eutrofikasi)
yang berdampak terhadap tingginya produktifitas primer (Larned, 1998; Ward-Paige,
2005 ; Brodie et al., 2011) . Pada kondisi lain, perairan subur dengan nutrien tinggi
mendukung bagi perkembangan biota karang lunak dan algae (Baum et al., 2016).
Banyak hasil studi menunjukan bahwa peningkatan tutupan karang lunak dan algae
tersebut sejalan dengan peningkatan kesuburan perairan (GESAMP, 2001 ; Fabricus
2005 ; Bell et al., 2014 ; Baum et al., 2016), sedimentasi (Mc Clanahan dan Obura,
1997 ; Baum et al., 2016), penurunan kualitas air (Holmes et al., 2000 ; Norstrom et
al., 2009 ; Baum et al., 2016). Dominansi tutupan karang lunak dan algae
menyebabkan kompetisi ruang dengan karang keras dan menghambat proses

202 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

rekruitmen karang yaitu menghalangi penempelan larva dan perkembangan anakan


karang (Loya et al., 2004).
Data dan informasi hasil studi kondisi terumbu karang di perairan Lombok
Tengah tidak banyak tersedia. Dirjen KKJI-KKP (2012) dalam dokumen zonasi dan
rencana pengelolaan kawasan konservasi peraiaran daerah kabupaten Lombok
Tengah, NTB menjelaskan bahwa terumbu karang di peraiaran TWP Teluk Bumbung
berada dalam kondisi baik hingga buruk dengan rerata 24,77%, sedangkan tutupan
karang lunak cukup tinggi yaitu lebih dari 20% (tertinggi mencapai 42%) pada 4
stasiun dari 7 stasiun yang diamati dengan rerata 27,39%. Penilaian terumbu karang
oleh WCS (2011) pada lokasi peraiaran yang sama namun menunjukan hasil yang
agak berbeda, yang mana tutupan algae lebih tinggi yaitu 33,10%, dan karang lunak
yaitu 26,92%, sedangkan karang keras 29,48% (Dermawan et al., 2014). Kajian
kondisi terumbu karang di peraiaran Nusa Tenggara Barat dengan set data dari 1996-
2003 di lokasi Pulau Lombok dan Sumbawa dari 34 stasiun dan 166 transek
ditemukan sekitar 52,94% berada dalam kondisi kurang baik/jelek (Bachtiar, 2004).
Hal ini menunjukan bahwa terumbu karang di perairan TWP Teluk Mumbang, Lombok
Tengah didominasi dan dicirikan oleh tutupan karang lunak dan algae.
Tutupan rata-rata karang hidup pada setiap stasiun terlihat berbeda dan cukup
bervariasi berkisar 13,98±4,57% (mean±SE) – 24,51±13,74% dengan jumlah rata-
rata 17,66± 7,07%, namun tidak menunjukan perbedaan yang nyata (p-value =
0,86381 ; one way ANOVA, pada taraf siginifikansi 0,05) (Gambar 7a). Begitu juga
rerata tutupan karang hidup berdasarkan sebaran zona konservasi perairan
walaupun terlihat cukup bervariasi yaitu pada kisaran 13,98±4,57%–19,61± 5,07%,
dengan rerata 16,37±4,57, namun tidak menunjukan perbedaan yang nyata (p-value
= 0,777 ; one way ANOVA, pada taraf siginifikansi 0,05) (Gambar 7b).

RCK

SI
Persentase Tutupan (%)

OT

DC

DCA

AL

SP
Stasiun

Keterangan: HC=Hard Coral; SC=Soft Coral; SP=Sponge ; AL=Algae ; DCA=Death Coral With Algae ; DC=Dead
Coral ; OT=Others ; S=Sand ; R=Ruble ; SI=Silt ; RCK=Rock

Gambar 6. Persentase tutupan bentik terumbu di peraiaran TWP Teluk Mumbang,


Lombok Tengah, Kabupetn Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Jilid 1 203
Keragaman jenis karang kerang

Secara spasial sebaran terumbu karang, baik berdasarkan stasiun maupun


zona konservasi peraiaran berada dalam satu wilayah perairan yang relatif sama yaitu
di sisi selatan pulau Lombok berhadapan langsung dengan lautan terbuka Samudera
Hindia. Semua stasiun pengamatan tersebar dalam satu rangkaian terumbu karang
tepi (single fringing reef) dengan jarak terjauh sekitar 16 km dan terdekat 2 km,
sehingga diduga memiliki struktur dan komposisi komunitas karang yang hampir
sama. Studi Pandolfi (2001, 2002) menjelaskan bahwa tidak ditemukan lagi jenis
karang (jarang) di sepanjang trensek 40 meter antar lokasi dengan jarak berkisar 13-
35 km di perairan di bagian selatan laut Karibia. Hasil penelitian Fuad (2010) di
terumbu karang terpisah yaitu perairan Pulau Bunaken dan pesisir Tombariri,
Manado, Sulawesi Uatara yang berjarak sekitar 30 km menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan tutupan dan kekayaan genus karang di kedua lokasi tersebut.
Perlakuan zona konservasi perairan berbeda tidak mempengaruhi struktur
dan komposisi komunitas karang hidup, sehingga tidak memberikan perubahan
terhadap kondisi terumbu karang. Hal ini menunjukan bahwa intervensi program
konservasi melalui zonasi kawasan belum menunjukan hasil yang maksimal.
Efektifitas sebuah kawasan konservasi diukur dari upaya kebijakan, pengelolaan,
pengawasan, penyadaran dan edukasi masyarakat serta rehabilitasi ekosistem yang
mengalami keruskan. Hasil penilaian efektifitas pengelolaan TWP Teluk Bumbang
tahun 2014 0leh KKJI-KKP adalah merah 60% lebih (Dermawan et al, 2014, artinya
kawasan konservasi baru diinisiasi (Lubis et al, 2014), yang yang mana belum ada
implementasi pengelolaan yang dilakukan di kawasan konservasi perairan tersebut.

30
Tutupan Karang Hidup (%)

25
20
15
10
5
0
ZON-I ZON-P ZON-PB
ZONASI

Keterangan : ZON-I = Zona Inti ; ZON-P = Zona Pemanfaatan ; ZON-PB = Zona Perikanan Berkelanjutan

Gambar 7. Persentase tutupan karang hidup (Hard Coral) berdasarkan sebaran


stasiun dan zona berbeda di peraiaran TWP Teluk Bumbang, Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat

204 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

60 80
Tutupan (%)

Tutupan (%)
40 60
40
20 20
0 0
2011 2015 2011 2015
Tahun Tahun

a b
Gambar 8. Tutupan karang keras (Hard Corals) (a) dan karang lunak (Soft Coral)
(b), pada waktu (tahun) yang berbeda di peraiaran TWP Teluk
Bumbang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Rentang waktu empat tahun (Tahun 2011 – 2015) terjadi penurunan tutupan
karang keras yaitu dari 24,77%±15,72% (mean±SD) menjadi 17,71%±4,43%,
walaupun kondisi terumbu karang tetap berada dalam kondisi sama yaitu kurang baik.
Penurunan tutupan karang keras sebesar -7,07% tersebut tidak menunjukan
perubahan tutupan yang cukup signikan (one way ANOVA, p-value = 0,356) (Gambar
8a). Sebaliknya, dalam rentang waktu yang sama, tutupan karang lunak mengalami
kenaikan yaitu dari 27,4%±13,28% menjadi 48,76%±16,4%, dengan perubahan
cukup signifikan (one way ANOVA, p-value = 0,032) (Gambar 8b), sehingga mampu
mendominasi komunitas bentik terumbu. Hal ini memberikan indikasi bahwa terjadi
pergantian (shift phase) dari tutupan karang keras ke tutupan karang lunak dalam
kurun waktu tersebut atau sebaliknya bahwa dominansi tutupan karang lunak adalah
kondisi yang stabil.
Perubahan komposisi komunitas biota di terumbu karang merupakan dampak
langsung dan tidak langsung dari berbagai faktor yang saling berinteraksi (Penning,
1997), baik oleh kejadian secara alami atau akibat tekanan manusia, atau kombinasi
keduanya. Karang keras dan karang lunak merupakan komunitas bentik terumbu
penting, yang mana keduanya sering hadir secara bersamaan sebagai bentik sessil
yang saling berkompetisi terhadap ruang. Dominasi karang lunak diuntungkan oleh
perairan yang dengan nutrien tinggi ombak dan arus yang cukup kuat serta suhu
rendah, yang terjadi secara reguler dan terus menerus (Rustam et al., 2016).
Rentang waktu cukup lama (4 tahun) memberikan indikasi bahwa komunitas bentik
terumbu tidak lagi pergantian ke arah dominasi satu populasi (phase-shift), namun
merupakan pergantian menuju sebuah kondisi yang lebih stabil (alternative stable
state) dan mampu bertahan dalam rentang perubahan kondisi lingkungan yang luas
(ecological locked) (Dudgeon et al., 2010 ; Petraitis & Dudgeon, 2004).

Jilid 1 205
Keragaman jenis karang kerang

Struktur dan komposisi jenis karang keras


Hasil inventarisasi kekayaan jenis karang di wilayah perairan TWP Teluk
Mumbang, Kabupaten Tengah, ditemukan total 115 spesies karang keras mewakili
42 genus dari 15 famili. Kekayaan jenis pada setiap stasiun menunjukan jumlah yang
cukup bervariasi berkisar 43 – 52 spesies dari 18 – 28 genus yang mewakili 10 – 13
famili. Stasiun LBTL 03 memiliki kekayaan jenis paling tinggi yaitu 52 jenis dari 28
genus mewakili 13 famili. Sedangkan kekayaan jenis paling rendah ditemukan di
Stasiun LBTL 01 yaitu 43 jenis dari 18 genus mewakili 10 famili. Kekayaana jenis
karang keras yang pernah tercatat di lokasi ini adalah 185 karang keras dari 54 famili
(Ditjen Bangda dan IPB, 1995 dalam Dinas Kelautan Perikanan Lombok Tengah,
2012). Studi WCS (2011) pada lokasi yang sama menemukan 27 genus karang, 27%
diantaranya dari genus Acropora, 25% dari genus Porites, 135 dari Montipora dan
dari genus lainnya kurang dari 10%. Secara global sebaran jenis karang di perairan
selatan Pulau Lombok termasuk dalam sebaran jenis-jenis karang antara perairan
Lesser-Sunda dengan kekayaan jenis karang keras mencapai 454 jenis dalam
kisaran 451-500 spesies (Veron et al, 2009).
Jenis-jenis karang yang ditemukan menunjukan sebaran jenis di perairan
Lombok Tengah sangat spesifik. Beberapa kelompok spesies karang sangat umum
dijumpai tetapi beberapa kelompok lain sangat jarang dan satu (1) jenis karang tidak
dapat diidentifikasi. Kelompok karang yang umum ditemukan pada setiap stasiun
adalah famili Acroporidae antara lain Acropora digitifera, famili Faviidae seperti
Favites abdita, Favites pentagona dan Platygyra carnosus dan famili Pocilloproidae
yaitu Pocillopora eydouxy (Lampiran 1); sedangkan kelompok karang yang tidak
umum ditemukan antara lain Seriatopora stellate (Gambar 9a), Cycloseris
patelliformis (Gambar 9b), Coscinaraea monile (Gambar 9c), dan Montastrea
collemani (Gambar 9d). Jenis karang yang belum diketahui spesiesnya adalah
Pachyseris sp. (Gambar 9e).

206 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Seriatopora stellate (a) Cycloseris patelliformis (b)

Montastrea collemani (c) Coscinaraea monile (d)

Jilid 1 207
Keragaman jenis karang kerang

Pachyseris sp. (e)


Gambar 7. Karang keras Pachyseris yang jarang ditemukan dan belum dapat
diidentifikasi

Hasil pengkuran dinamika dan komposisi jenis karang yaitu berupa nilai indeks
keanekaragaman (H) 4,534, indeks dominasi (C) 0,012 dan indeks keseragaman (E)
0,955. Hasil indeks tersebut menunjukan bahwa komunitas karang di peraiaran TWP
Teluk Bumbang memiliki tingkat keanekaragaman tinggi, dominasi oleh jenis tertentu
sangat rendah dan komunitas karang dalam kondisi stabil (Simpson, 1949; Krebs,
1985; Magurran 1998; Odum 1971 ; Bengen, 2000). Nilai indeks keanekaragaman
karang ini jauh lebih tinggi dari hasil yang pernah dilaporkan di perairan Pulau
Bunaken dan pesisir Tombariri, Manado Sualwesi Utara yaitu 1.58±0.48 (mean±SD)
dan 1.77±0.41, begitu juga dengan indeks keseragaman 0,69±0.14 dan 0.76±0,11
(Fuad, 2010). Struktur dan komposisi jenis dalam sebuah komunitas karang bersifat
dinamis ditentukan oleh jumlah jenis, jumlah individu dan kehadiran suatu jenis
karang dalam populasi (Bengen, 2000.

Kesimpulan
Komunitas bentik terumbu di peraiaran TWP Teluk Bumbang, Lombok Tengah,
NTB didominasi oleh tutupan karang lunak, karang keras dan algae. Kondisi terumbu
karang pada stasiun dan zona konservasi peraiaran yang berbeda relatif sama (mirip)
yaitu berada dalam kondisi kurang baik sampai kondisi sedang dengan kondisi umum

208 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

kurang baik. Begitu juga kondisi terumbu karang sebelum dan setelah pencadangan
konservasi perairan relatif sama dan tidak menunjukan perubahan yang siginifikan.
Keanekaragaman jenis karang cukup tinggi, dengan komposisi dan sebaran relatif
sama serta tidak ada dominansi satu jenis.

Saran
Target perlindungan ekosistem terumbu karang dan jenis dalam kawasan
konservasi perairan saat ini belum maksimal, sehingga perlu didorongan untuk
mempercepat upaya pemulihan dan peningkatan sumberdaya hayati di dalamnya.
Sesuai dengan dokumen rencana pengelolalan kawasan dan zonasi TWP Teluk
Mumbang Tahun 2012, upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan
pengawasan perairan dapat ditingkatkan.

Ucapan terima kasih


Kajian rona lingkungan di perairan TWP Mumbang, Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat tahun 2015, didukung dan didanai oleh DIPA Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ucapan terima kasih
khusus disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir yang telah menyetujui dan mendanai kegaitan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim penelitian lainnya, terutama
rekan peneliti di lapangan dan masyarakat di Desa Mertak, Kecamatan Pujut,
Kabupaten Lombok Tengah.

Daftar pustaka
Bachtiar I. 2004. Status terumbu karang di Propinsi Nusa Tenggara Barat : Sebuah
Kajian. Jurnal Biologi Tropis 5(1):1-9.
Baum G, Januar I, Fersel SCA, Wild C, and Kunzmann A. 2016. Abundance and
physiology of dominant soft corals linked to water quality in Jakarta Bay,
Indonesia. PeerJ. 4: e2625. DOI 10.7717/peerj.2625.
Bengen DG. 2000. Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik
sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB. Bogor.
88hlm.
Bell PRF, Elmetri I, Lapointe BE. 2014. Evidence of large-scale chronic
eutrophication in the Great Barrier Reef: quantification of chlorophyll a
thresholds for sustaining coral reefcommunities. Ambio 43(3): 361–376.
Brodie, JE, Devlin M, Heynes D, Waterhouse J. 2011. Assessment of the
eutrophication status of the Great Barrier Reef lagoon (Australia).
Biogeochemistry (2011) 106:281-302
Chou LM, Yamazato K. 1990. Community structure of coral reefs within the vicinity of
Motubu and Sesoko (Okinawa) and the effects of human and natural influences.
Galaxea 9(1):9–75.

Jilid 1 209
Keragaman jenis karang kerang

Direktorat Jenderal Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan. 2012. Penyusunan Managemen Plan dan Zonasi Kawasan
Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Lombok Tengah, NTB”. Direktorat
KKJI-KKP.
Dermawan A, Lubis SB, Suraji, Rasyid N, Ashari M, Kuhaja T, Sofiullah A, Saefudin
M, Handadari ASK, Widiastutik R, Wulandari DR. 2014. Status Pengelolaan
Efektif Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil di
Indonesia. Profil 113 Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kementerian Kelauatan dan Perikanan
Republik Indonesia.
Done TJ. 1982. Patterns in the distribution of coral communities across the central
Great Barrier Reef. Coral Reefs 1(2):95–107.
Emiyati, Setiawan KT, Anneke KS, Manopo., Budhiman S, Hasyim B. 2014. Analisis
multitemporal sebaran suhu permukaan laut di perairan Lombok menggunakan
data penginderaan jauh MODIS. Prosisiding Seminar Nasional Penginderaan
Jauh 470-479
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey manual for tropical marine resources.
Townsville: Asutralian Institute of Marine Science
Fabricius KE. 2005. Effects of terrestrial runoff on the ecology of corals and coral
reefs: review and synthesis. Marine Pollution Bulletin 50(2):125–146.
Fox HE, Pet JS, Dahuri R, Caldwell RL. 2003. Recovery in rubble fields: long-term
impacts of blast fishing. Marine Pollution Bulletin 46(8):1024–1031.
Fong P and Paul VJ. 2011. Coral Reef Algae. In Z. Dubinsky and N. Stambler (eds.),
Coral Reefs: An Ecosystem in Transition
Fuad MAZ. 2010. Coral Reef Rugosity and Coral Biodiversity, Bunaken National Park,
North Sualwesi, Indonesia. Thessis. International Institute for Geo-Information
Science and Earth Observation. Enscheds-The Netherlands. 70 pp
Giyanto AEW, Manuputty, Abrar M, Siringoringo RM. 2014. Monitoring Terumbu
Karang: Ed. Suharsono dan O.K. Sumadiharga. Panduan Monitoring
Kesehatan Terumbu Karang: Terumbu Karang, Ikan Karang, Megabenthos dan
Penulisan Laporan. CRITC COREMAP-CTI LIPI. 77 pp
GESAMP. 2001. Protecting the Oceans from Land-Based Activities: Land-Based
Sources and Activities Affecting the Quality and Uses of the Marine, Coastal
and Associated Freshwater Environment. Nairobi: United Nations Environment
Program, 71.WWF Indonesia-Worlf Fish Center. 35 pp
Grigg RW. 1982. Darwin Point: a threshold for atoll formation. Coral Reef. 1: 29-35
Herianto. 2009. Kesuburan Perairan Waduk Nagedang Desa Giri Sako Kecamatan
Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi Riau, Ditinjau Dari Kosentrasi
Klorofil-a Fitoplankton. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi MSP.
FAPERIKA. UNRI. Pekanbaru.

210 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Hill J and Wilkinson C. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs,
Version 1 : A Resource for Managers. Asutralian institute of Marine Sciences.
Australia. 123 pp
Hughes TP. 1994. Catastrophes, phase-shifts, and large-scale degradation of a
Caribbean coral reef. Science. 265(5178):1547–1551.
Hubbard DK. 1997. Reef as dynamics system. Charles Birkeland (eds) : Life and
Death of Coral Reefs. Chapman and Hall Insternational Thomson Publishing.
New York. 536 pp
International Society for Reef Study (ISRS). 2004. The effects of terrestrial runoff of
sediments, nutrients and other pollutants on coral reefs. Briefing Paper 3,
International Society for Reef Studies (ISRS), pp: 18
Krebs CJ. 1985. Ecology: the Experimental Analysis of Distribution and Abundance,
3rd edition. Harper and Row: New York, NY, USA
Kunarso. 2005. Kajian Penentuan Lokasi-Lokasi Upwelling di Perairan Indonesia dan
Sekitarnya serta Kaitannya dengan Fishing Ground Tuna. Tesis, Program Studi
Magister Oseanografi, Sains Atmosfir, dan Seismologi, Institut Teknologi
Bandung.
Kunarso, Hadi S, Ningsih NS, Baskoro MS. 2011. Variabilitas Suhu dan Klorofil-a di
Daerah Upwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di Perairan Selatan
Jawa sampai Timor. Jurnal Ilmu Kelauatan 16 (3) 171-180.
Kemili P dan Putri MR, 2012. Pengaruh Durasi dan Intensitas Upwelling Berdasarkan
Anomali Suhu Permukaan Laut Terhadap Variabilitas Produktivitas Primer di
Perairan Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1,
Hal. 66-79.
Kunarso Hadi S, Ningsih NS, Baskoro MS. 2011. Daerah upwelling pada variasi
kejadian ENSO dan IOD di perairan selatan Jawa sampai Timor. Jurnal Ilmu
Kelautan (16) 3:171-180
Larned ST. 1998. Nitrogen- versus phosphorus-limited growth and sources of
nutrients for coral reef macroalgae. Marine Biology 132: 409-421
Lubis SB, Suraji, Rasyid N, Kuhaja T, Saefudin M, Widiastutik R, Kenyo AS, Ashari
M, Wulandari DR, Jannah AR, Sofiullah A, Afandi YA, Wijonarno A, Herdiana
Y. 2014 Panduan Monitoring Biofisik (Sumber Daya Kawasan) Kawasan
Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Konservasi
Kawasan dan Jenis Ikan. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan. 89 pp
Lubis SB, Suraji, Rasyid N, Sofiullah A, Antung R, Asri J, Kenyo AS, Wulandari R,
Saefudin M, Muschan Ashari, Ririn Widiastutik, Tendy Kuhaja, Yusuf Arief,
Afandi Ari Setiarso, Soemodinoto. 2014. Suplemen 3 : Panduan Penyususnan
Rencana Pengelolalaan dan zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Direktorat
Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Jilid 1 211
Keragaman jenis karang kerang

Loya Y, Lubinevsk H, Rosenfeld M, Kramarsky-Winter E. 2004. Nutrient enrichment


caused by in situ fish farms at Eilat, Red Sea is detrimental to coral reproduction.
Mar Pollut Bull. 49(4):344–353.
Magurran AE. 1998. Ecological Diversity and It’s Measurement. Princeton University
Press.New Jersey.
Manuputty AEW, Giyanto, Winardi, Suharti SR dan Djuwariah. 2006. Manual
monitoring kesehatan karang (Reef Health Monitoring). CRITC COREMAP
FASE II LIPI. Jakarta. 109 hlm.
Mc Clanahan TR, Obura D. 1997. Sedimentation effects on shallow coral communities
in Kenya. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 209(1–2):103–
122.
Ningsih NS, Hadi S dan Yusuf M. 2002. Upwelling in the Southern Coast of Java and
Its Relation to Seasonal Ocean Circulation by Using a Three-Dimensional
Ocean Model. Proceeding Pan Ocean Remote Sensing Conference. 2:669-672.
Ningsih NS, Hadi S, Supangat A, Yusuf M dan Handiani DN. 2004. Fishing Ground
Prediction in Indonesian Waters Based on Upwelling Regions and Its relation to
Seasonal Circulation. Final Report, The Asahi Glass Foundation.
Norstro¨m AV, Nystro¨m M, Lokrantz J, Folke C. 2009. Alternative states on coral
reefs: beyond coral–macroalgal phase shifts. Marine Ecology Progress Series.
376:295–306
Obura D and Grimsditch G. 2009. Resilience assessment of coral reefs: Rapid
assessment protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal
stress. IUCN. Gland. Switzerland. 70 pp
Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd.
Philadelphia.
Oliver, Marshall P, Setiati N, Lara H. 2004. A global protocol for assessment and
monitor of coral bleaching.
Pandolfi JM. 2001. Taxonomic and numerical scales of analysis in paleoecological
data sets: examples from the Pleistocene of the Caribbean. J Paleontol.
75:546–563
Pandolfi JM. 2002. Coral community dynamics at multiple scales. Coral Reefs.
21:13–23. DOI 10.1007/s00338-001-0204-7.
Putra, Ega. 2012. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a dan Suhu Permukaan laut dari
Citra Satelit Modis serta Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis
di Perairan Laut Jawa. Skripsi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Rakhmaputeri N. 2010. Kajian Variabilitas Upwelling di Perairan Selatan Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Laut Sawu dengan Menggunakan Penginderaan Jauh.
Tugas Akhir Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi Bandung.

212 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Reid. C, Marshall J, Logan D, Kleine D. 2009. Coral Reef and Climate Change: The
Guide for Education and Awareness. Coral Watch, The University of
Queensland PB. 256 pp
Rustam A, Yulius A, Heriati, Salim HL, Ramdhan M. 2016. Kajian kualitas air perairan
Lombok Tengah sebagai kawasan konservasi laut daerah. Taslim Arifin et al (eds).
Bunga Rampai: Iptek Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Blue Economy di
Pulau Lombok. IPB Press. Bogor.
Susanto RD, Gordon AL, dan Zheng Q, 2001. Upwelling Along the Coasts of Java
and Sumatra and Its Relation to ENSO. Geophysical Research Letters.
28:1,559– 1,602.
Spalding MD, Ravilious C and Green EP. 2001. World Atlas of Coral Reefs. Prepared
at the UNEP World Conservation Monitoring Centre. University of California
Press, Berkeley, USA. 432 pp
Simpson, EH. 1949. Measurement of diversity. Nature, 163: 688.
Stephen L. Coles and Yusef H. Fadlallah. 1991. Reef coral survival and mortality at
low temperatures in the Arabian Gulf: new species-specific lower temperature
limits. Coral Reefs 9:231-237
Suharsono. 2010, Jenis-Jenis Karang di Indonesia. COREMAP Program. 372 pp
Veron JEN, Devantier LM, Turak E, Green AL, Kininmonth S, Smith MS and
Peterson N. 2009. Delineating the coral triangle. Galaxea, Journal of Coral Reef
Studies, 11: 91-100.
Veron JEN. 2000. Coral of the World Volume 1. Australian Insttitute of Marine
Science. 463 pp
Veron JEN. 2000. Coral of the World Volume 2. Australian Insttitute of Marine
Science. 429 pp
Veron JEN. 2000. Coral of the World Volume 3. Australian Insttitute of Marine
Science. 490 pp
Wildlife Conservation Society (WCS). 2011. Laporan Kegiatan Identifikasi dan
Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi Perairan di Kabupaten Lombok
Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ward-Paige CA, Risk MJ, Sherwood OA, Jaap WC. 2005. Clionid sponge surveys on
the Florida Reef Tract suggest land-based nutrient inputs. Marine Pollution
Bulletin. 51(5–7):570–579.

Jilid 1 213
Keragaman jenis karang kerang

Lampiran 1. Daftar jenis karang keras di periaran TWP Teluk Mumbang, Kabupaten
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

STASIUN
LBTL LBTL LBTL LBTL
TAXON LBTL 01 02 03 04 05
SCLERACTINIA CORAL
ACROPORIDAE Verril, 1902
Acropora Oken ,1815
Acropora abrotanoides Lamarck, 1816 +
Acropora crateriformis Gardiner, 1898 +
Acropora digitifera Dana, 1846 + + + + +
Acropora efflorescen Dana, 1846 + + +
Acropora 214ylindr Dana, 1846 + + +
Acropora hyachintus Dana, 1846 +
Acropora irregularis Brook, 1892 + + + +
Acropora loripes Brook, 1892 + + + +
Acropora macrostoma Brook, 1891 +
Acropora millepora Ehrenberg, 1834 + +
Acropora microclados Ehrenberg,1834 +
Acropora monticulosa Bruggemann,
1879 +
Acropora ocellata Klunzinger, 1876 + + +
Acropora palifera Lamarck, 1816 +
Acropora nasuta Dana, 1846 + + +
Acropora robusta Dana, 1846 +
Acropora 214ylindr Dana, 1846 +
Acropora samoensis, Dana 1846 +
Acropora solitaryensis Veron and
Wallace, 1984 + +
Acropora spicifera Dana 1846 +
Acropora subulata Dana 1846 +
Acropora valida Dana 1846 +
Astreopora Blainville, 1830
Astreopora 214ylindri Bernard, 1896 +
Astreopora myriopthalma Lamarck, 1816 + +
Montipora Blainville, 1830
Montipora aequituberculata Bernard,
1897 + +
Montipora monasteriata Forskal, 1775 + +
Montipora palawanensis, Veron 2000
Montipora 214ylindri Veron,2000 +
Montipora tuberculosa Lamarck, 1816 +

214 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Montipora venosa Ehrenberg, 1834 + +


Montipora vietnamensis Veron, 2000 +
AGARICIDAE Gray, 1847
Coeloseris Vaughan, 1918
Coeloseris mayeri Vaughan, 1819 + +
Gardinoseris Scheer and Pillai, 1974
Gardinoseris planulata Dana, 1846 + +
Pavona Lamarck, 1801
Pavona explanulata Lamarck, 1816 + +
Pavona frondifera Lamarck, 1816 +
Pachyseris Milne Edwards and Haime, 1849
Pachyseris rugosa Lamarck, 1801 +
Pachyseris sp + +
DENDROPHYLLIDAE Gray, 1847
Turbinaria Oken, 1815
Turbinaria frondens Dana, 1846 +
Turbinaria pelatata Esper, 1794 + + + +
EUPHYLLIDAE Veron 2000
Euphyllia Dana, 1846
Euphyllia ancora Veron and Pinchon,
1980 +
Euphyllia glaberescen Chamisso and
Eysenhardt, 1821 +
FAVIIDAE Gregory, 1900
Diploastrea Matthai, 1914
Diploastrea heliopora Lamarck, 1816 +
Echinopora Lamarck, 1816
Echinopora gemmacea Lamarck, 1816 + + +
Favia Oken, 1815
Favia helianthoides Wells, 1954 +
Favia speciosa Dana, 1846 + + +
Favia veroni Moll and Borell-Best, 1984 + +
Favites Link, 1807
Favites abdita Ellis and Solander, 1786 + + + + +
Favites acuticolis Ortmann, 1889 + +
Favites flexuosa Dana, 1846 +
Favites halicora Ehrenberg, 1834 + + +
Favites micropentagona Veron 2000 + + +
Favites pentagona Esper, 1794 + + + + +
Favites stylifera Yabe and Sugiyama,
1937 + + +

Jilid 1 215
Keragaman jenis karang kerang

Goniastrea Milne Edwards and Haime,


1848
Goniastrea minuta Veron 2000 +
Leptoria Milne Edwards and Haime, 1848
Leptoria irregularis Veron 1990 + +
Montastrea Blainville, 1830
Montastrea curta Dana, 1846 + + +
Montastrea colemanni Veron 2000 + + +
Montastrea magnistellata Chelavier,
1971 +
Montastrea Valenciennes Milne
Edwards and Haime, 1848 + +
Oulophyllia Milne Edwards and Haime,
1848
Oulophyllia bennettae Veron and
Pinchon, 1977 +
Oulophyllia crispa Lamarck, 1816 +
Platygyra Ehrenberg, 1834
Platygyra acuta Veron 2000 +
Platygyra lamellina Ehrenberg, 1834 + + + +
Platygyra carnosus Veron 2000 + + + + +
Platygyra contorta Veron 1990 + +
Platygyra daedalea Chevalier, 1975 + + + +
Platygyra pini Chelavier, 1975 + +
Platygyra verweyi Wijsman-Best, 1976 + +
Plesiastrea Milne Edwards and Haime,
1848
Plesiastrea versipora Lamarck, 1816 + + + +
FUNGIIDAE Dana 1846
Cycloseris Milne Edwards and Haime,
1849
Cycloseris patelliformis Boschma, 1923 +
Fungia Lamarck, 1801
Fungia fugites Linnaeus, 1758 + +
Fungia granulosa Klunzinger, 1879 +
Fungia paumotensis Stuchbury, 1833 +
Fungia scruposa Klunzinger, 1879 +
Fungia scutaria Lamarck, 1801 + +
Fungia repanda Dana, 1846 +
Sandalolitha Quelch, 1884
Sandalolitha robusta Quelch, 1886 +
MERULINIDAE Verril, 1866

216 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Hydnopora Fischer de Waldheim, 1807


Hydnopora exesa Pallas, 1766 + + + + +
Hydnopora microconos Lamarck, 1816 + + + +
Merulina Ehrenberg, 1834
Merulina ampliata Ellis and Solander,
1786 + + +
Merulina scrabicula Dana,1846 + +
MUSSIDAE Ortmann, 1890
Acanthastrea Milne Edwards and Haime,
1848
Achantastrea echinata Dana, 1846 + +
Lobophyllia Blainville, 1830
Lobophyllia hemprichii Ehrenberg, 1834 + + + +
Lobophyllia hataii Yabe and Sugiyama,
1936 + +
Lobophyllia Flabelliformis Veron, 2000 + +
Symphyllia
Symphyllia agaricia Milne Edwards and
Haime, 1849 + + + +
Symphyllia radians Milne Edwards and
Haime, 1849 + + + +
Symphyllia recta Dana, 1846 + +
OCULINIDAE Gray, 1847
Galaxea Oken, 1815
Galaxea fascicularis, Linnaeus, 1767 + + + +
PECTINIDAE Vaughan and Wells, 1943
Echinophyllia Klunzinger, 1879
Echynophyllia aspera Ellis and
Solander,1788 + + + +
Mycedium Oken, 1815
Mycedium elephantotus Pallas, 1766 + + + +
Oxypora Saville-Kent, 1871
Oxypora lacera Verril, 1864 + +
Pectinia Oken, 1815
Pectinia lactuca Pallas, 1766 +
POCILLOPORIDAE Gray, 1842
Pocillopora Lamarck, 1816
Pocillopora damicornis Esper, 1797 + +
Pocillopora eydouxy Milne Edwards and
Haime, 1860 + + + + +
Pocillopora meandrina Dana, 1846 +

Jilid 1 217
Keragaman jenis karang kerang

Pocillopora verrucosa Ellis and


Solander, 1786 + + +
Pocillopora woodjonesi Vaughan, 1918 + +
Seriatopora Lamarck, 1816
Seriatopora hystrix Dana, 1846 +
Seriatopora caliendrum Ehrenberg, 1834 +
Stylopora Schweigger, 1819
Stylopora pistilata Esper, 1797 + +
PORITIDAE Gray, 1842
Goniopora Blainville, 1830
Goniopora collumna Dana, 1846 + +
Goniopora lobata Milne Edwards and
Haime, 1860 +
Porites Link, 1807
Porites annae Crossland, 1952 +
Porites 218ylindric Nemenzo, 1955 + + + +
Porites 218ylindrical Dana, 1846 +
Porites latistellata Quelch, 1886 + +
Porites lobata Dana, 1846 + + +
Porites lutea Milne Edwards and Haime,
1851 + + +
Porites tuberculosa Veron, 2000 +
SIDERASTERIDAE Vaughan and Wells,
1943
Coscinaraea Milne Edwards and Haime,
1848
Coscinaraea monile Forskal, 1775 +
Psammocora Dana 1846
Psamocora nierstraszi Horst, 1921 +
Pseudosiderastrea Yabe and Sugiyama,
1935
Pseudosiderastrea tayami Yabe and
Sugiyama, 1935 +

NON SCLERACTINIA CORAL


MILLEPORIDAE Verril, 1865
Millepora Linneaus, 1758
Millepora dichotoma Forskal, 1775 + + +
HELIOPORIDAE Moseley, 1876
Heliopora coerulea, Pallas, 1766 + + +

10 13 13 13 12

218 Pros. SIPP 2017


Abrar et al.

Jumlah Famili
Jumlah Genus 18 20 28 24 28
Jumlah Jenis 43 47 52 50 50
Total Famili 15
Total Genus 42
Total jenis 115
Indeks Keanekaragaman 4,534201
Indeks Dominasi 0,012205
Indeks Keseragaman 0,955588

Jilid 1 219

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai