Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem pesisir umumnya terdiri atas 3 komponen penyusun yaitu

lamun, terumbu karang dan mangrove. Bersama-sama ketiga ekosistem

tersebut membuat wilayah pesisir menjadi daerah yang relatif sangat subur

dan produktif (Tangke, 2010). Menurut Junaidi., Dkk (2017) Bahwa ekosistem

padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai fungsi

dan manfaat yang sangat panting bagi perairan wilayah pesisir. Secara taksonomi

lamun (seagrass) termasuk dalam kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae)

yang hidupnya terbatas di lingkungan laut yang umumnya hidup di perairan

dangkal wilayah pesisir. Distribusi lamun sangatlah luas, dari daerah perairan

dangkal Selandia baru sampai ke Afrika. Dari 12 genera yang telah dikenal, 7

genera diantaranya berada dan tersebar di wilayah tropis. Diversitas tertinggi ialah

di daerah Indo Pasifik Barat. Komunitas lamun di wilayah ini mempunyai

diversitas yang lebih kompleks dibanding yang berada di daerah sedang (Tangke,

2010).

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik pada

lingkungan laut dangkal. Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil)

yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya

dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat. Lamun senantiasa

membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu spesies yang

selanjutnya disebut sebagai padang lamun. Ekosistem padang lamun merupakan


2

ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta

mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. (Tangke, 2010).

Sarisma, dkk., (2017) menyatakan bahwa lamun juga merupakan suatu ekosistem

yang sangat penting dalam wilayah pesisir karena memiliki keanekaragaman

hayati tinggi, sebagai habitat bagi beberapa biota laut dan merupakan ekosistem

yang tinggi produktivitas organiknya, daerah asuhan, tempat mencari makan, dan

daerah pembesaran bagi berbagai biota.

Asosiasi padang lamun dan ikan mempunyai keterkaitan yang kuat dalam

siklus makanan terutama bagi ikan-ikan yang bersifat herbivora, Di antara ikan-

ikan pemakan lamun terpenting ialah ikan kakatua, suku Scaridae (Scarus spp dan

Sparisoma spp). seringkali mendapatkan sejumlah besar potongan potongan

lamun pada lambung-lambung ikan tersebut. (Mohamad, 2006).

Desa karae merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan

Siompu dengan panjang garis pantai kira-kira 10 KM. Dengan potensi wilayah

laut yang luas tersebut menjadikan desa karae berpeluang untuk dimanfaatkan

lebih lanjut dalam bidang kelautan. Salah satu potensi kelautan di Desa karae

adalah ekosistem lamun yang menjadi habitat dan tempat mencari makan bagi

penyu dan hewan laut lainnya terutama bagi ikan-ikan.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian tentang persentase

tutupan lamun dengan kelimpahan ikan di perairan desa Karae, kabupaten Buton

Selatan penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk melihat sejauh mana

hubungan kerapatan lamun terhadap kelimpahan ikan di perairan desa Karae,

kabupaten Buton Selatan.


3

B. Rumusan Masalah

Perairan pantai Desa Karae terletak di Kecamatan Siompu memiliki

perairan berpasir yang luas dan landai, masyarakat biasanya beraktifitas sebagian

besarnya adalah nelanyan. Perairan ini juga sering kali dijadikan masyarakat

untuk menangkap ikan dengan menggunakan jaring dan bubu. Akan tetapi karena

kurangnya pengetahuan terhadap hubungan persentase tutupan lamun dengan

kelimpahan ikan maka masih saja ditemukan beberapa nelayan menagkap ikan

dengan menggunakan bom sehingga dapat mengurangi persen tutupan lamun di

perairn tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi persentase tutupan lamun di perairan desa Karae,

kabiupaten Buton Selatan?

2. Bagaimana kelimpahan ikan di perairan Desa Karae, kabupaten Buton

Selatan?

3. Bagaiamana hubungan persentase tutupan lamun dengan kelimpahan ikan di

perairan Desa Karae, Buton Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui persentase tutupan lamun di perairan desa karae, kabupaten

Buton Selatan

2. Mengetahui kelimpahan ikan di perairan Desa Karae, kabupaten Buton

Selatan
4

3. Mengetahui hubungan persentase tutupan lamun dengan kelimpahan ikan di

perairan Desa Karae, kabupaten Buton Selatan

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada masyarakat nelayan Desa Karae mengenai hubungan presentase tutupan

lamun dengan kelimpahan ikan, Serta memberikan manfaat pula dalam

menambah ilmu pengetahuan serta wawasan bagi saya sendiri serta dapat

dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya


5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Lamun

Ekosistem lamun (seagrass ecosystem) : adalah satu sistem (organisasi)

ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara

komponen abiotik dan biotik (Azkab, 1999).

Padang lamun (seagrass bed) : adalah hamparan vegetasi lamun yang

menutupi suatu area pesisir/laut dangkal yasng terbentuk oleh satu jenis lamun

(monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang

padat (dense) atau jarang (sparse) (Hutomo, 1985).

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat

tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal. Semua lamun adalah

tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma),

daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh

di darat. Lamun senantiasa membentuk hamparan permadani di laut yang dapat

terdiri dari satu species (monospesific; banyak terdapat di daerah temperate) atau

lebih dari satu species (multispecific; banyak terdapat di daerah tropis) yang

selanjutnya disebut padang lamun. Ekosistem padang lamun merupakan

ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta

mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. (Tangke, 2010).

Tumbuhan lamun harus mampu beadaptasi dengan lingkungannya untuk

dapat tumbuh, hal ini senada dengan pernyataan Husni (2006), Bahwa lamun

perlu suatu kemampuan berkolonisasi sehingga dapat hidup sukses di laut yaitu
6

kemampuan untuk hidup pada media air asin (garam), mampu berfungsi normal

dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan

baik, mempunyai kemampuan untuk berbiak secara generatif dalam keadaan

terbenam dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan kondisi

stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut.

B. Klasifikasi lamun

Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di Indonesia menurut Zurba

(2018) adalah sebagai berikut :

Divisi : Anthophita
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledoneae
Ordo : Helobiae
Famili : Potamogetonaceae
Genus : Halodule
Spesies : Halodule pinvolia
Spesies : Halodule uninervis
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
Spesies : Cymodocea serulato
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
Genus: Thalassodendron Spesies : Thalassodendron ciltatum
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Spesies :Enhalus acoroides
Genus : Thalassia
Spesies: Thalassia hemprichii
7

Genus : Halophila
Spesies : Halophila spinulosa
Spesies : Halophila decipiens
Spesies : Halophila minor
Spesies : Halophila avails

Gambar 1. Jenis-jenis lamun yang terdapat di indonesia


(Sumber: Zurba, 2018)
8

C. Habitat dan Sebaran

Di Indonesia lamun menyebar hampir di seluruh perairan pesisir, tersebar

hampir diseluruh rataan terumbu sampai kedalaman 40 meter. Tumbuh di dasar

perairan dengan substrat dasar pasir, pasir berlumpur, lumpur dan kerikil karang

bahkan ada jenis lamun yang mampu hidup di dasar batu karang. Lamun dijumpai

dapat tumbuh diantara karang hidup, dan dibawah naungan mangrove.

Karakteristik setiap spesies yang berbeda berpengaruh pada zonasi yang

terbentuk pada hamparan padang lamun, terutama pada padang lamun dengan tipe

vegetasi campuran. Zonasi lamun yang terbentuk juga dipengaruhi oleh bentuk

topografi lokasi padang lamun berada. Padang lamun membentuk tiga zonasi

berdasarkan kedalamannya yaitu zona I merupakan daerah dangkal yang selalu

terbuka saat air surut (0–1 m); zona II berupa daerah pasang surut namun tetap

terendam air pada saat air surut ( 1– 5 m); dan zona III berupa daerah laut selalu

terendam air, tidak terpengaruh dengan pasang surut (5– 35 m), (Zurba, 2018).

Menurut Tangke (2010) bahwa Lamun juga hidup dan terdapat pada daerah mid-

intertidal sampai kedalaman 0,5-10 m, dan sangat melimpah di daerah sublitoral.

Jumlah spesies lebih banyak terdapat di daerah tropik.

D. Peranan Ekosistem Lamun bagi Perikanan

Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang sangat

penting bagi berbagai biota laut selain terumbu karang dan mangrove. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Husni (2006), bahwa peranan ekosistem padang lamun

di laut dangkal antara lain, sebagai produsen primer; sebagai stabilisator dasar
9

perairan, sebagai pendaur hara, sebagai sumber makanan dan sebagai tempat

asuhan bagi biota laut. Menururt adrim (2006) bahwa Lamun mempunyai

berbagai peranan bagi kehidupan dan penghidupan ikan yaitu, sebagai daerah

asuhan dan perlindungan, sebagai makanan ikan-ikan itu sendiri dan sebagai

padang pengembalaan atau tempat mencari makan (feeding ground) dengan

demikian semakin banyak hamparan padang lamun semakin banyak pula ikan-

ikan yang terdatat disekitarnya.

Padang lamun juga mempunyai peran sebagai perlindungan bagi ikan-ikan

hal ini sesuai dengan pernyataan Hutomo (1985) Bahwa kelimpahan ikan lebih

tinggi di daerah yang bervegetasi daripaa di daerah yang tidak bervegetasi.


10

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2020. Bertempat di

Perairan Desa Karae, kecamatan Siompu, Kabupaten Buton Selatan. Provinsi

Sulawesi Tenggara.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Perairan Desa Karae

B. Alat Dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada

tabel:1
11

Tabel. 1 alat dan bahan penelitian

No Parameter Satuan Alat dan Bahan Kegunaan


Alat :
0
1. Suhu C Thermometer Mengukur suhu
2. Arus m/detik Layangan arus Mengukur arus
3. Salinitas Ppt Handrefractometer Mengukur salinitas
4. Kecerahan - Secchi disk Mengukur kecerahan
5. Stasiun m Patok berskala Penenda stasiun
Mengambil
6. - Buah Kamera Digital
dokumentasi
7. - Inci Jaring Insang Alat tangkap
8. - Buah Bubu Alat tangkap
9. - Buah Perahu Mediasi
10. - m Transek Kuadrat Mengukur lamun
11. - m Meteran rol Mengukur jarak
12. DO mg/l Botol BOD Mengukur DO
Bahan :
- Lamun (Pedoman Inventarisasi
1. Individu Bahan penelitian
Lamun, Azkab, 1999)
- Ikan (jenis-jenis ikan di
2. Individu Bahan penelitian
indonesia, White Dkk, 2013)

C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi survey pendahuluan, penentuan stasiun

penelitian, pengambilan data ikan dan pengukuran kualitas perairan.

1. Survey Pendahuluan

Survey pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan,

penentuan titik stasiun, penentuan metode penelitian, survei awal lapangan dan

penyiapan peralatan yang akan dipergunakan di lapangan.

Lokasi penelitian terletak di sebelah Barat Desa Karae, yang memiliki

ekosistem lamun cukup luas. Ekosistem lamun yang berada dibagian Barat Desa

Karae ini merupakan keterwakilan dari berbagai jenis lamun yang ada di perairan

Desa Karae. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakteristik yang berbeda,

maka ditetapkan dalam tiga stasiun.


12

2. Penentuan Stasiun Penelitian

Penentuan stasiun penelitian ditentukan berdasarkan persen penutupan

lamun yang di amati secara visual.

Stasiun 1 : Terletak di panati Desa Karae, stasiun ini memiliki persen penutupan

lamun yang padat berada pada titik koordinat 5o37’44,28” LS,

122o32’21”14 BT

Stasiun 2 : Terletak di bagian Timur pantai Desa lapara, stasiun ini memiliki

persen penutupan lamun yang sedang, berada pada titik koordinat

5037’49,62” LS, 122031’56,17” BT

Stasiun 3 : Terletak di bagian Barat Desa Karae, stasiun ini memiliki persen

penutupan lamun yang jarang, berada pada titik koordinat 5037’47,95”

LS, 122032’05,95” BT

Berikut adalah sketsa peletakkan transek dalam stasiun pengambilan data sampel

Gambar 3. Sketsa pengambilan sampel


13

3. Pengambilan Data

a. Ikan

- Jaring Insang

Pemasangan jaring insang dilakukan berdasarkan fase bulan terang dan

bulan gelap, saat air laut pasang menjelang surut, jaring dibiarkan dan diangkat

saat air laut surut.

Jaring insang yang digunakan dengan ukuran mata jaring 1 inci, 1 ½ inci,

dan 2 inci, panjang jaring setiap mesh size yaitu 30 m, tinggi jaring setiap mesh

size yaitu 1 m (sarisma, Dkk., 2017). Ikan ditangkap dengan jaring insang yang

dipasang dengan posisi tegak lurus terhadap arah arus diatas hamparan lamun.

Ikan-ikan yang tertangkap diidentifikasi jenis dengan menggunakan buku

identifikasi ikan (White Dkk, 2013).

Gambar: 4 Jaring insang


(Sumber: https://www.google.com)

- Bubu

Pemasangan bubu sama dengan pemasangan jaring ingsan dilakukan

berdasarkan fase bulan terang dan bulan gelap, saat air laut pasang menjelang

surut dan dibiarkan selama tiga hari perendaman.

Bubu yang digunakan terbuat dari bambu yang dianyam berbentuk segi

empat dengan ukuran panjang 1 m, lebar 75 cm dan tinggi 25 cm. Dalam 1 kali
14

pengoperasian bubu dipasang pada masing-masing stasiun sebanyak 3 unit dalam

setiap titik pengamatan (Saraswati, Dkk., 2016).

Gambar: 5 bubu

Adapun jika dalam pengamatan ditemukan jenis ikan yang belum

teridentifikasi maka akan diidentifikasi lebih lanjut.

b. Lamun

Pengambilan data persen penutupan lamun menggunakan transek kuadrat

yang berukuran 1 m x 1 m. Pengamatan persen penutupan lamun dilakukan

dengan melihat persen penutupan lamun dan jenis lamun dalam transek pada tiap

titik pengamatan. Setiap stasiun diletakan transek garis tegak lurus dari garis

pantai ke arah laut sepanjang 50 m. Jarak antara setiap ulangan yaitu 10 m

dengan 3 kali ulangan pada tiap stasiun (Rahmawati, Dkk., 2014). Adapun jika

dalam pengamatan ditemukan jenis lamun yang belum teridentifikasi maka akan

diidentifikasi lebih lanjut.

c. Pengukuran Parameter Kualitas Perairan

Pengukuran data parameter  kualitas perairan meliputi suhu, salinitas,

kedalaman, kecerahan dan kecepatan arus dilakukan secara langsung dilapangan

dengan 3 kali ulangan setiap stasiun.


15

D. Analisis Data

1. Menghitung Persentase Tutupan Lamun

a. Meghitung persentasi tutupan lamun dalam satu kuadrat

Cara menghitung penutupan lamun dalam satu kuadrat adalah menjumlah

nilai penutupan lamun pada setiap kotak kecil dalam kuadrat dan membaginya

dengan jumlah kotak kecil, yaitu 4 (empat).

Persamaan 1.

Ʃ penutupan lamun(4 kotak)


% Penutupan Lamun=
4

b. Menghitung rata-rata penutupan lamun per stasiun

Cara menghitung rata-rata penutupan lamun per stasiun adalah menjumlah

penutupan lamun setiap kuadrat, yaitu hasil dari persamaan 1, pada seluruh

transek di dalam satu stasiun. Kemudian hasil penjumlahan dibagi dengan jumlah

kuadrat pada stasiun tersebut

Persamaan 2.

Jumlah penutupan
lamun seluruh transek
rata−rata% Penutupan Lamun=
Jumlah kuadrat
seluruh transek

c. Menghitung penutupan lamun per jenis pada satu stasiun

Penutupan lamun per jenis dihitung untuk menentukan jenis lamun yang

paling dominan pada satu lokasi berdasarkan persentase penutupannya. Cara

menghitung penutupan lamun perjenis lamun dalam satu stasiun adalah


16

menjumlah nilai persentase penutupan setiap jenis lamun pada setiap kuadrat

seluruh transek dan membaginya dengan jumlah kuadrat pada stasiun tersebut.

Persamaan 3.

jumlah nilai penutupan setiap


jenis lamun pda seluruh
kuadrat
rata−ratanilai dominasilamun %=
jumlah kuadrat
seluruh transek

Kondisi ekosistem lamun dapat diketahui dengan melihat persentase

tutupan lamun berdasarkan COREMAP-LIPI (2014) tentang kategori tutupan

lamun dan pedoman penentuan status padang lamun (Tabel 2).

Tabel 2. Kategori Tutupan Lamun


Persentas Penutupan Lamun (%) Kategori
0-25 Jarang
26-50 Sedang
51-75 Padat
76-100 Sangat Padat
Sumber : Rahmawati, Dkk., 2014)

2. Menghitung Kelimpahan Ikan

Untuk menghitung kelimpahan ikan digunakan satuan area karena gill net

yang digunakan memiliki panjang 30 m dan panjang line transek pada setiap

stasiun 100 m. Kelimpahan ikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Krebs (1989), yaitu :

persamaan 4.

n
D= Keterangan :
A
D = Kelimpahan ikan (Ind/area)
17

n = Jumlah total individu (Individu)


A = Luas total transek (area)
3. Hubungan Persentase Tutupan Lamun dengan Kelimpahan Ikan

Langkah berikutnya ialah mencari tahu bagaimana eratnya hubungan

antara dua variable (persen tutupan lamun dan kelimpahan ikan) tanpa melihat

bentuk hubungan dari keduanya. Ukuran yang digunakan untuk mengukur derajat

hubungan (korelasi) linier disebut koefisien korelasi (correlation coefficient)

yang dinyatakan dengan notasi ”r” yang sering dikenal dengan nama “Koefisien

Korelasi Pearson atau Product Moment Coefficient of Correlation”, (Sarwono

2006). dan cara sederhana dapat ditulis seperti :

Persamaam 5.

nƩ x i y i−( Ʃ xi ) (Ʃ y i)
r xy = 2
√ {nƩ x −¿ ¿
i

Keterangan:

rXY = korelasi antara variabel X dan Y


X = (Xi-X)
Y = (Yi-Y)

Hubungan atau korelasi antara kerapatan lamun dengan kelimpahan ikan

dianalisis dengan analisis regresi linear dengan formula (Fakhri, Dkk., 2016).

Persamaan 6.

y=a+b x Keterangan:

y = Luas tutupan padang lamun


18

a,b = Koefisien regresi


x = Kelimpahan ikan
Adapun untuk mengetahui hubungan antara persen tutupan lamun

terhadap kelimpahan ikan digunakan koefisien korelasi ( r ) dimana nilai r berbeda

antara 0-1. Menurut Razak (1991), keeratan nilainya adalah:

0,0–0,20 = Hubungan sangat lemah


0,21–0,40 = Hubungan lemah
0,40–0,79 = Hubungan sedang
0,70 –0,90= Hubungan kuat
0,90–1,00 = Hubungan sangat kuat
19

DAFTAR PUSTAKA

Adrim, M. 2006. Asosiasi ikan di padang lamun. Oseana. Volume 31(4) : 1-7.

Ansal, M.H., Priosambodo, D., Magdalena, L., Salam, M.A., 2017. Struktur
Komunitas Padang Lamun Di Perairan Kepulauan Waisai Kabupaten
Raja Ampat Papua Barat. Jurnal Ilmu Alam Dan Lingkungan. Vol. 8
(15): 29 – 37.

Azkab, H., 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana, Volume XXIV, Nomor
1, 1999 : 1- 16

Fachrul, 2006, Metode Sampling Bioekologi, Penerbit Bumi Aksara

Fakhri A. S., Riyantini, I., Juliandri P. J., Hamdani. H., Korelasi Kelimpahan
Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di
Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jurnal
Perikanan Kelautan Vol. VII No. 1 (165-171)

Hutomo, M. 1985. Telaah Ekologi Komunitas Ikan Pada Padang Lamun


(Seagrass, Anthophyta) Di Perairan Teluk Banten. Disertasi. Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Junaidi, Zulkifli, Thamrin, 2017. Analisis Hubungan Kerapatan Lamun Terhadap


Kelimpahan Makrozoobentos Di Perairan Selat Bintan Desa Pengujan
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan Dan Kelautan Universitas Riau Pekanbaru.

Novianti, M., Widyorini, N., Suprapto, D., 2013. Analisis Kelimpahan Perifiton
Pada Kerapatan Lamun Yang Berbeda Di Perairan Pulau Panjang, Jepara.
Journal Of Management Of Aquatic Resourcesvolume 2, Nomor 3, ,
Halaman 219-225

Odum, Z.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ke-3. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.

Prisilia, S., Adi, W., Febrianto, A., 2018. Struktur Komunitas Ikan Pada
Ekosistem Lamun Di Pantai Puding Kabupaten Bangka Selatan. Badan
Perencanaan Pembangunan Penelitian Dan Pengembangan Daerah
Kabupaten Bangka Selatan, Toboali
20

Rahmawati, S., Irawan, A., Supriyadi, I.H. Azkab, M.H. 2014. Panduan
Monitoring Padang Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.

Saraswati, Solichin, A., Hartoko, A., Suharti, S.R., 2016. Hubungan Kerapatan
Lamun Dengan Kelimpahan Larva Ikan Di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu Jakarta. Journal Of Maquares. Vol. 5 (3): 111-118.

Sarisma, D., ramli, Ira. M., 2017. hubungan kelimpahan ikan dengan kepadatan
lamun di perairan pulau hoga kecamatan kaledupa kabupaten wakatobi.
Jurnal Sapa Laut. Vol. 2(4): 103-112

Setyobudiandi, I., Sulistiono., Yulianda, F., Kusmana, C., Hariyadi S., Dammar,
A., Sembiring, A., Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan
Dan Kelautan, Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir
dan Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian
Bogor. Bogor. 312.

Tangke, U. 2010, ekosistem padang lamun manfaat, funsi dan rehabilitasi, Jurnal
Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate). Vol. 1: (9-
29).

White, W.T., Last, P.R., Dharmadi, Faizah, R., Chodrijah, U., Prisantoso, B.I.,
Pogonoski, J.J., Puckridge, M., Blaber, S.J.M., 2013. Indonesia.
Austalian centre for international agricultural research.

Zurba, N., 2018. Pengenalanpadang Lamun Suatu Ekosistem Yang Terlupakan.


Universitas Malikussaleh. Cetakan Pertama.

Anda mungkin juga menyukai