Anda di halaman 1dari 33

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Demak merupakan salah satu daerah yang memiliki kawasan

pesisir dan potensi hutan mangrove dengan luas wilayah sebesar 89,743 ha

(Faturrohmah dan Bramantyo, 2017). Secara geografis Kabupaten Demak dilalui

oleh jalur pantura dengan batas-batas administrasi wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Utara : Kabupaten Jepara dan Laut Jawa

• Sebelah Timur : Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobogan

• Sebelah Selatan : Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang

• Sebelah Barat : Kota Semarang

Lokasi penelitian terletak di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang,

Kabupaten Demak terletak di daerah pesisir yang memiliki potensi kelautan dan

perikanan cukup besar dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Desa

Betahwalang juga memiliki ekosistem hutan mangrove yang cukup luas sebesar

81,332 ha (Ganesa, 2019). Ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang

tumbuh berdampingan dengan pemukiman penduduk. Menurut Purnama (2019)

terdapat 12 spesies mangrove dari 8 famili yang telah teridentifikasi di Desa

Betahwalang terdiri mangrove mayor yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora

mucronata, Avicennia marina, Avicennia alba, Soneratia alba, Soneratia

caseolaris, Bruguiera cylindrica. Mangrove minor yaitu Excoecaria agallocha

dan mangrove asosiasi yaitu Terminalia catappa, Talipariti tiliaceum, Suaeda

maritima dan Acanthus ilicifolius dapat dilihat pada Lampiran 1.

44
45

Kondisi mangrove disini sebagian besar berada di tepi sungai dan di sekitar

area tambak. Tambak-tambak tersebut sudah dikelola secara intensif yang dimiliki

perseorangan. Namun ada juga tegakan mangrove yang ditemukan pada substrat

berlumpur yang berhadapan langsung dengan laut. Berdasarkan wawancara yang

dilakukan dengan masyarakat, kondisi ekosistem hutan mangrove di Desa

Betahwalang masih terancam kelestariaanya diduga karena banyaknya aktivitas

masyarakat yang sering dilakukan disekitar ekosistem hutan mangrove salah

satunya yaitu pembukaan lahan tambak untuk kepentingan budidaya. Suhu

perairan di Desa Betahwalang berkisar antara 28°C - 30°C. Nilai salinitas berkisar

antara 10 ppt – 20 ppt dengan derajat keasaman (pH) 6-7 dan nilai DO berkisar

4,6 -6,8 mg/l yang dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.1.2. Demografi

Demografi Desa Betahwalang meliputi data penduduk dan data responden.

Data penduduk meliputi data jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan mata

pencaharian. Data responden meliputi data pengetahuan mengenai mangrove,

potensi ekosistem hutan mangrove dan manfaat secara ekonomi dari ekosistem

hutan mangrove.

a. Jumlah Penduduk

Desa Betahwalang memiliki jumlah penduduk sekitar 5.672 jiwa dengan

rincian penduduk yang berjenis kelamin laki-laki 2.908 jiwa dan penduduk yang

berjenis kelamin perempuan 2.764 jiwa yang berasal dari 1.589 kepala keluarga.

Data jumlah penduduk dapat disajikan dalam Gambar 5.


46

49% 51% Laki-Laki (2.908)

Perempuan (2.764)

Gambar 5. Jumlah Penduduk Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang,


Kabupaten Demak (Monografi Desa Betahwalang, 2017).

b. Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan penduduk Di Desa Betahwalang didominasi oleh

tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) 1.546 orang, Sekolah Menengah Tingkat

Pertama (SLTP) sebanyak 1.379 orang, Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA)

520 orang, Sarjana 57 orang, belum sekolah 659 orang dan tidak sekolah 134

orang. Adapun jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Desa

Betahwalang yaitu terdapat bangunan Taman Kanak-Kanak (TK), 2 bangunan

Sekolah Dasar (SD), 1 banguan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP) dan

2 bangunan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA). Untuk tingkat pendidikan

masyarakat Desa Betahwalang dapat disajikan pada Gambar 6.

12% 1% Belum Sekolah (659)


16% 3% Tidak Sekolah (134)
SD (1.546)
32% SLTP (1.379)
36% SLTA (520)
S1 (57)

Gambar 6. Jumlah Tingkat Pendidikan Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang,


Kabupaten Demak (Monografi Desa Betahwalang, 2017).
47

c. Mata Pecaharian

Keseharian masyarakat Desa Betahwalang adalah melaut karena keadaan

wilayah Desa Betahwalang terletak di pantai laut jawa yang memberikan peluang

bagi masyarakat untuk berprofesi sebagai nelayan. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 7.

13% 1% Nelayan (1.357)


7%
Buruh Tambak (354)
16%
63% Buruh Industri (151)

Buruh Bangunan (273)

PNS (12)

Gambar 7. Jumlah Mata Pencaharian Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang,


Kabupaten Demak (Monografi Desa Betahwalang, 2017).

d. Pengetahuan Mengenai Fungsi Fisik Ekosistem Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil wawacara terhadap 150 koresponden yang mengetahui

mengenai fungsi fisik ekosistem hutan mangrove sebesar 83% sebanyak 128 orang ,

ragu-ragu 10% sebanyak 16 orang dan yang tidak mengetahui sebesar 7% sebanyak

11 orang. Data pengetahuan fungsi mangrove dapat disajikan pada Gambar 8.

7% 10%
Tidak Mengetahui (11)

83% Ragu-ragu (16)

Mengetahui (128)

Gambar 8. Pengetahuan Mengenai Fungsi Fisik Mangrove Desa Betahwalang,


Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak
48

e. Pengetahuan Jenis Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat di Desa Betahwalang sebagian

besar sudah mengetahui manfaat mangrove sebagai penahan abrasi sebesar 24%,

pelindung tambak sebesar 38%, penghasil kayu sebesar 13%, penahan lumpur

sebesar 20% dan sebagai tempat wisata sebesar 5% . Data mengenai pengetahuan

jenis manfaat mangrove dapat disajikan pada Gambar 9.

Penghasil Kayu
24% 13%
Penahan Lumpur
20%
5%
Pelindung Tambak
38%
Tempat Wisata

Penahan Abrasi Pantai

Gambar 9. Pengetahuan Mengenai Jenis Manfaat Mangrove di Desa Betahwalang,


Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak

f. Pengetahuan Mengenai Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Pengetahuan masyarakat mengenai manfaat ekosistem hutan mangrove

dalam segi ekonomi berdasarkan hasil penelitian masyarakat mengatakan

mengetahui manfaat mangrove secara ekonomi yaitu sebanyak 73% dan sebanyak

27% masyarakat tidak mengetahui manfaat mangrove secara ekonomi. Data

mengenai manfaat ekonomi mangrove dapat disajikan pada Gambar 10.


49

27%
Mengetahui (109)
73%
Tidak Mengetahui (41)

Gambar 10. Pengetahuan Mengenai Manfaat Ekonomi Mangrove di Desa


Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak

g. Pengetahuan Mengenai Jenis Manfaat Ekonomi Mangrove

Berdasarkan hasil kuesioner terhadap 150 responden jenis kegiatan ekonomi

yang sering dilakukan masyarakat disekitar hutan mangrove yaitu pembukaan lahan

untuk pengembangan usaha tambak ataupun budidaya sebesar 14%, pengambilan

ikan atau hewan-hewan di sekitar ekosistem hutan mangrove sebesar 65%,

pengambilan kayu, daun dan akar mangrove sebesar 19% dan pengambilan buah

mangrove sebesar 2%. Data mengenai jenis manfaat ekonomi ekosistem hutan

mangrove dapat disajikan pada Gambar 11.

2% 14% Pembukaan Lahan (21)


19%
Pengambilan Biota di
Mangrove (100)
Pengambilan Kayu
65% Mangrove (29)
Pengambilan Buah
Mangrove (4)

Gambar 11. Kegiatan Ekonomi yang dilakukan masyarakat di Desa Betahwalang,


Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak
50

4.1.3. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Data hasil penelitian akan dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Hasil

perhitungan uji validalitas data kuesioner dapat disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Uji Validitas Data Penelitian Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan


Mangrove di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten
Demak

Kategori Person Correlation


Fungsi Mangrove 0,326
Spesies Mangrove 0,541
Manfaat Mangrove 0,259
Keadaan Mangrove 0,591
Harapan Masyarakat 0,570
Peran Masyarakat 0,390
Dukungan Masyarakat 0,532
Penanaman Mandiri 0,294
Pengelolaan Ekosistem Mangrove 0,425

Penelitian ini menggunakan tingkat signifikan 2 arah dengan nilai r tabel

yang didapat sebesar 0.160 sehingga pertanyaan mengenai ekosistem hutan

mangrove yang dapat dilihat pada Tabel 9 memiliki status valid karena nilai r

hitung (Corrected Item Total) > r tabel .

Tabel 10. Uji Reliabilitas Data Penelitian Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan
Mangrove di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten
Demak

Kategori Corrected Item Total Cronbach’s Alpha if


Correlation Item Deleted
Fungsi Mangrove 0,205 0,670
Spesies Mangrove 0,372 0,643
Manfaat Mangrove 0,192 0,674
Keadaan Mangrove 0,471 0,630
Harapan Masyarakat 0,457 0,635
Peran Masyarakat 0,309 0,662
Dukungan Masyarakat 0,458 0,648
Penanaman Mandiri 0,238 0,672
Pengelolaan Ekosistem 0,328 0,658
Mangrove
51

Berdasarkan Tabel 10 diatas, maka uji reliabilitas variabel data fungsi

mangrove, spesies mangrove, manfaat mangrove, keadaan mangrove, harapan

masyarakat, peran masyarakat, dukungan masyarakat, penanaman mandiri dan

pengelolaan ekosistem hutan mangrove menghasilkan Cronbach’s Alpha lebih

besar dari 0,600 yang berarti kesembilan variabel tersebut konsisten.

4.1.4. Potensi Sumberdaya Ekosistem Hutan Mangrove

Berdasarkan wawancara kepada 150 responden, didapatkan potensi

sumberdaya ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang. Potensi tersebut

meliputi perikanan tangkap yaitu rajungan, ikan bandeng, udang, dan kepiting.

Untuk potensi perikanan budidaya terdapat tambak ikan bandeng dan udang yang

dikelolah masyarakat secara alami maupun intensif. Pengolahan hasil laut yang

sedang dirintis oleh masyarakat Desa Betahwalang yaitu pembuatan tepung yang

terbuat dari limbah cangkang rajungan, pembuatan krupuk ikan, pembuatan ikan

asin dan lain-lain. Masyarakat Desa Betahwalang juga mengetahui bahwa

ekosistem hutan mangrove dapat diolah menjadi produk makanan seperti permen,

jenang, sirup dan krupuk namun belum dikembangkan untuk wirausaha karena

keterbatasan sumberdaya manusia pada tahap produksi. Serasah daun-daun

mangrove dan ranting yang sudah mengering biasanya dimanfaatkan masyarakat

setempat untuk diolah menjadi pupuk kompos karena mengandung konsentrasi

karbon yang tinggi sehingga cocok untuk pertumbuhan tanaman.


52

4.1.5. Identifikasi Nilai Guna Ekosistem Hutan Mangrove

Nilai ekonomi sumber daya mangrove dibagi menjadi nilai guna (use

value) dan nilai non guna (non use value). Nilai guna meliputi nilai langsung

(direct use value) dan nilai pilihan (option value). Sedangkan komponen lainnya

yaitu nilai non guna (non use value) dibagi menjadi dua yang meliputi nilai

keberadaan (existence value) dan nilai warisan (bequest value).

a. Nilai Guna (Use Value)

1) Nilai Guna Langsung (Direct Use Value/DUV)

Tabel 11. Review Nilai Guna Langsung Ekosistem hutan mangrove di Desa
Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak

No. Deskripsi Produksi Nilai Total


(/tahun) (Rp/tahun)
1. Penangkapan Rajungan 1268 kg Rp 46.080.000
2. Penangkapan Kepiting Bakau 951 kg Rp 56.815.000
3. Penangkap Ikan 2219 kg Rp 24.380.000
4. Tambak Udang 300 kg/ha Rp 312.000.000
5. Tambak Bandeng 1.000 kg/ha Rp 320.000.000
6. Tambak Garam 1500 kg/ha Rp 18.000.000
7. Penjual Ikan Asin 1000 bungkus Rp 23.000.000
Total Rp 800.275.000

Berdasarkan perhitungan dari nilai manfaat langsung ekosistem hutan

mangrove di Desa Betahwalang didapatkan nilai total manfaat langsung sebesar

Rp 800.275.000,-/tahun yang didapatkan dari 7 kegiatan ekonomi masyarakat

yang sering dilakukan di Desa Betahwalang. Secara umum bisa dilihat dari Tabel

11 nilai total manfaat langsung ekosistem hutan mangrove selama setahun dalam

skala kecil yaitu tambak garam sebesar Rp 18.000.000 dari hasil produksi 1500

kg, penjual ikan asin sebesar Rp 23.000.000,-/tahun dari hasil produksi 1000

bungkus dan penangkapan ikan sebesar Rp 24.380.000 dari hasil produksi 2.219

kg. Dalam skala sedang yaitu penangkapan rajungan sebesar Rp 46.080.000,-


53

/tahun dari hasil produksi 1268 kg dan penangkapan kepiting bakau sebesar Rp

56.815.000 dari hasil produksi 951 kg. Sedangkan yang termasuk dalam skala

tinggi terdapat pada budidaya tambak udang sebesar Rp 312.000.000 dari hasil

produksi 300 kg dan tambak bandeng yaitu sebesar Rp 320.000.000 dari hasil

produksi 1000 kg.

2) Nilai Pilihan (Option Value/OV)

Tabel 12. Review Nilai Pilihan Ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang,
Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak

No. Deskripsi Luas Nilai Total


(ha) (Rp)
1. Luas Ekosistem hutan mangrove 81,332 17.168.034,35
Total 17.168.034,35

Nilai pilihan yang terdapat pada Desa Betahwalang adalah sebesar Rp

17.168.034,35,-/tahun (Tabel 12). Hasil ini didapatkan dari jumlah total luasan

ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang yaitu sebesar 81,332 ha yang

dikalikan dengan kurs dolar (16 November 2019) sebesar Rp 14.072,39,00.

b. Nilai Non Guna (Non Use Value)

1) Nilai Keberadaan (Existence Value /EV)

Tabel 13. Review Nilai Keberadaan Ekosistem hutan mangrove di Desa


Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak

No. Deskripsi Nilai Total


(Rp)
1. Nilai Keberadaan Rp 612.576.000
Total Rp 612.576.000

Nilai keberadan ekosistem hutan mangrove yang terdapat pada Desa

Betahwalang adalah sebesar Rp 612.576.000,-/tahun (Tabel 13). Hasil ini


54

didapatkan dari nilai rata-rata Willingness To Pay (WTP) sebesar 108.000 yang

dikalikan dengan jumlah penduduk di Desa Betahwalang sebanyak 5.672 orang.

2) Nilai Warisan (Bequest Value /BV)

Tabel 14. Review Nilai Warisan Ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang,
Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak

No. Deskripsi Nilai Total


(Rp)
1. Nilai Warisan Rp 80.027.500
Total Rp 80.027.500

Nilai warisan yang terdapat pada Desa Betahwalang adalah sebesar Rp

80.027.500,-/tahun (Tabel 14) yang didapatkan dari jumlah total nilai guna

langsung ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang yaitu sebesar Rp

800.275.000 yang dikalikan dengan 10%.

c. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value /TEV)

Tabel 15. Review Nilai Total Ekonomi Ekosistem hutan mangrove di Desa
Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak

No. Jenis Nilai Guna Nilai Total (Rp) Persentase


(%)
1. Nilai Guna (Use Value)
Nilai Guna Langsung Rp 800.275.000 53
Nilai Pilihan Rp 17.168.034,35 1.10
Use Value Rp 817.443.034,35
2. Nilai Non Guna
(Non Use Value)
Nilai Keberadaan Rp 612.576.000 40.60
Nilai Warisan Rp 80.027.500 5.30
Non Use Value Rp 692.603.500
Total Nilai Ekonomi Rp 1.510.046.534 100
55

Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang adalah

sebesar Rp 1.510.046.534,-/tahun. Secara umum bisa dilihat dalam Tabel 15,

kategori nilai guna mempunyai nilai sebesar Rp 817.443.034,35,-/tahun yang

didapatkan dari penjumlahan nilai guna langsung sebesar Rp 800.275.000,-/tahun

dan nilai pilihan yaitu sebesar Rp 17.168.034,35,-/tahun. Kategori nilai non guna

mempunyai nilai sebesar Rp 692.603.500,-/tahun dari hasil penjumlahan nilai

keberadaan ekosistem hutan mangrove yaitu sebesar Rp 612.576.000,-/tahun dan

nilai warisan sebesar Rp 80.027.500,-/tahun. Urutan pertama nilai ekonomi total

ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang yaitu nilai guna langsung dengan

presentase tertinggi sebesar 53%, urutan kedua nilai keberadaan sebesar 40.60%,

urutan ketiga nilai warisan dengan presentase 5.30% dan nilai total terendah

terdapat pada nilai pilihan dengan presentase 1.10%.

4.1.6. Strategi Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove Melalui Analisis SWOT

Strategi yang digunakan untuk menghitung valuasi ekonomi ekosistem

hutan mangrove menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity

dan Threat) dengan mempertimbangkan semua aspek yang berkaitan dengan

kegiatan ekonomi yang ada. Tahap pertama melakukan identifikasi faktor internal

dan eksternal yang terdapat di lapangan dan berpengaruh terhadap pengelolaan

ekosistem hutan mangrove yang terdapat di Desa Betahwalang. Tahapan kedua

yaitu penilaian rating yang didapatkan dari hasil wawancara yang terstruktur dan

pembobotan yang di dapat dari penilaian terhadap para ahli, lalu skor akhir akan

digambarkan melalui matriks SWOT. Matriks SWOT dipergunakan untuk

menganalisis gambaran peluang dari ancaman yang ada serta disesuaikan dengan
56

kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Tahapan terakhir yaitu pencocokan dari

faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat menghasilkan beberapa alternatif

strategi dalam pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan.

a. Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Faktor internal dan faktor eksternal yang terdapat di Desa Betahwalang adalah

sebagai berikut :

Tabel 16. Identifikasi Faktor Internal Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang,


Kabupaten Demak

Strength Weakness

 Pengetahuan masyarakat mengenai  Kurangnya pengetahuan masyarakat


fungsi dan manfaat ekosistem hutan mengenai jenis-jenis mangrove
mangrove
 Pengetahuan masyarakat terhadap  Tingkat pendidikan masyarakat yang
potensi ekonomi mangrove dan rendah
sumber daya hasil laut
 Adanya kelompok tani yang aktif  Belum berkembangnya produk yang
mendukung rehabilitasi mangrove dihasilkan dari mangrove sebagai
sumber pendapatan masyarakat
 Mulai tumbuhnya kesadaran  Kurangnya kegiatan penyuluhan dan
masyarakat untuk menjaga mangrove sosialisasi mengenai kegiatan
rehabilitasi mangrove
 Potensi ekosistem hutan mangrove  Kondisi sosial ekonomi
sebagai pelindung pantai dan tambak

Tabel 19. Identifikasi Faktor Eksternal Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang,


Kabupaten Demak

Opportunity Threat

 Banyaknya dukungan pemerintah  Eksploitasi pemanfaatan mangrove


maupun swasta dan hasil laut
 Peningkatan ekonomi masyarakat  Alih fungsi lahan mangrove menjadi
setempat dariekosistem hutan tambak
mangrove
 Adanya peraturan yang mengatur  Praktek penebangan mangrove dari
pengelolaan ekosistem hutan oknum yang tidak bertanggung
mangrove jawab
57

b. Nilai IFAS dan EFAS


Perhitungan nilai IFAS dan EFAS dari faktor internal dan eksternal yang

yang terdapat di Desa Betahwalang adalah sebagai berikut :

Tabel 17. Hasil Analisis Faktor Internal IFAS SWOT Kajian Valuasi Ekonomi
Hutan Mangrove Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten
Demak

Kode Komponen Faktor Internal Bobot Rating Skor


Kekuatan (Strength)
S1 Pengetahuan masyarakat mengenai 0.09 4 0.36
fungsi dan manfaat ekosistem hutan
mangrove
S2 Pengetahuan masyarakat terhadap 0.09 4 0.36
potensi ekonomi mangrove dan
sumber daya hasil laut
S3 Adanya kelompok tani yang aktif 0.11 3 0.33
mendukung rehabilitasi mangrove
S4 Mulai tumbuhnya kesadaran 0.14 3 0.42
masyarakat untuk menjaga mangrove
S5 Potensi ekosistem hutan mangrove 0,09 3 0,27
sebagai pelindung pantai dan tambak
Jumlah (S) 0,51 1,74
Kode Kelemahan (Weakness) Bobot Rating Skor
W1 Kurangnya pengetahuan masyarakat 0.09 2 0.18
mengenai jenis-jenis mangrove
W2 Tingkat pendidikan masyarakat yang 0.09 3 0.27
rendah
W3 Belum berkembangnya produk yang 0.09 2 0.18
dihasilkan dari mangrove sebagai
sumber pendapatan masyarakat
W4 Kurangnya kegiatan penyuluhan dan 0.11 4 0.44
sosialisasi mengenai kegiatan
rehabilitasi mangrove
W5 Kondisi Sosial Ekonomi 0.11 4 0.44
Jumlah (W) 0.49 1,51
TOTAL 1 0.23
58

Tabel 18. Hasil Analisis Faktor Eksternal EFAS SWOT Kajian Valuasi Ekonomi
Hutan Mangrove Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten
Demak

Kode Peluang (Opportunity) Bobot Rating Skor


O1 Banyaknya dukungan pemerintah 0.17 3 0.51
maupun swasta
O2 Peningkatan ekonomi masyarakat 0.21 4 0.84
setempat dari ekosistem hutan
mangrove
O3 Adanya peraturan yang mengatur 0.13 3 0.39
pengelolaan ekosistem hutan mangrove
Jumlah (O) 0.50 1.74
Kode Ancaman (Threat) Bobot Rating Skor
T1 Eksploitasi pemanfaatan mangrove dan 0.13 4 0.52
hasil laut
T2 Alih fungsi lahan mangrove menjadi 0.21 2 0.42
tambak
T3 Praktek penebangan mangrove dari 0.17 3 0.51
oknum yang tidak bertanggung jawab
Jumlah (T) 0.50 1,45
TOTAL 1 0.29

Berdasarkan hasil analisis faktor internal IFAS (Internal Strategic Factor

Analysis Summary) di Desa Betahwalang adalah sebesar 0.23 yang terdiri dari

jumlah skor kekuatan (strength) S1, S2, S3, S4, S5 sebesar 1.74 dan jumlah skor

kelemahan (weakness) W1, W2, W3, W4, W5 sebesar 1.51. Sedangkan nilai EFAS

(External Strategic Factor Analysis Summary) didapatkan hasil sebesar 0.29 yang

terdiri dari jumlah skor peluang (opportunity) O1, O2, O3 sebesar 1.74 dan jumlah

skor ancaman (threat) T1, T2, T3 sebesar 1.45. Dari hasil nilai IFAS dan EFAS

yang terdapat pada Tabel 20, maka matriks yang terbentuk berada pada kuadran I

dimana nilai yang dihasilkan keduanya positif. Nilai bobot dan rating dari Strength

dan Opportunity (S-O) menunjukkan argensi penanganan dan tingkat kepentingan

yang tinggi. Matriks SWOT dapat disajikan pada Gambar 12.


59

Opportunity

(0,23; 0,29)

Weakness Strength

Threath

Gambar 12. Matriks SWOT di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang,


Kabupaten Demak

c. Alternatif Strategi Pengembangan


Alternatif strategi pengembangan ekosistem hutan mangrove di Desa

Betahwalang berdasarkan rangking dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Penentuan Strategi Pengembangan di Desa Betahwalang, Kecamatan


Bonang, Kabupaten Demak

No Strategi Keterikatan Jumlah Skor Rangking


1 Strategi S-O S1, S2, S3, S4, S5 dan O1, 3.48 1
O2, O3
2 Strategi S-T S1, S2, S3, S4, S5 dan T1, 3.19 3
T2, T3
3 Strategi W-O W1, W2, W3, W4, W5 dan 3.25 2
O1, O2, O3
4 Strategi W-T W1, W2, W3, W4, W5 dan 2.96 4
T1, T2, T3
60

Keterangan :

1. Strategi S-O

- Pemberdayaan masyarakat untuk menghasilkan produk dari mangrove


maupun hasil laut yang kreatif, inovatif dan konservatif (S2,O2)
- Pembentukan kawasan ekowisata hutan mangrove yang berbasis

masyarakat (S1,O1)

- Kerjasama antara pemerintah maupun swasta dengan masyarakat

dalam upaya konservasi ekosistem hutan mangrove (S3,S4,S5,O3)

2. Strategi S-T

- Perlibatan masyarakat secara aktif dalam kegiatan penyuluhan dan

sosialisasi mengenai kegiatan rehabilitasi hutan mangrove (S3,T1)

- Perencanaan pembangunan yang bersifat strategis yang menghindari

alih fungsi lahan (S4, T2)

- Pembinaan masyarakat mengenai manfaat dalam segi fisik, ekologi

maupun ekonomi (S1, S2, S5, T3)

3. Strategi W-O

- Adanya peraturan yang tegas dalam penjagaan ekosistem hutan

mangrove dan potensi hasil laut (W2,O3)

- Pembinaan masyarakat untuk upaya inovasi produk yang dhasilkan

dari laut maupun mangrove (W1,W3,W5,O2)

- Perlibatan secara aktif masyarakat, pemerintah maupun swasta dalam

kegiatan monitoring dan evaluasi hasil rehabilitasi ekosistem hutan

mangrove (W4,O1)
61

4. Strategi W-T

- Membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga

ekosistem hutan mangrove (W1,W3,W4,T3)

- Melakukan rehabilitasi pada kawasan mangrove yang rusak (W2,T1)

- Pembatasan pengembangan infrastruktur yang memberikan dampak

terhadap ekosistem hutan mangrove (W5,T2)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Dalam Penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan

membagikan kuesioner kepada masyarakat yang berhubungan langsung dengan

ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang. Hasil kuesioner tersebut akan

dilakukan uji statistika berupa uji validitas dan reliabilitas menggunakan program

SPSS 16. Berdasarkan hasil uji validitas (Tabel 9) didapatkan r hitung dari

variabel fungsi mangrove sebesar 0.326, spesies mangrove sebesar 0.541, manfaat

mangrove sebesar 0.259, keadaan mangrove sebesar 0.591, harapan masyarakat

sebesar 0.570, peran masyarakat sebesar 0.390, dukungan masyarakat sebesar

0.532, penanaman mandiri sebesar 0.294 dan pengelolaan ekosistem hutan

mangrove sebesar 0.425. Uji validitas menunjukkan bahwa nilai r hitung dari

masing-masing variabel lebih besar dari r tabel sebesar 0.160 yang dapat diartikan

bahwa data penelitian pada tabel 9 termasuk valid. Hasil dari pengujian

kesembilan variabel kuesioner yang valid ini dapat digunakan sebagai salah satu

pertimbangan dalam pengambilan strategi bagi pengelolaan ekosistem hutan

mangrove.
62

Uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan ketepatan data yang digunakan

dalam penelitian. Uji reliabilitas menunjukkan bahwa nilai Cronbach Alpha dari

tiap-tiap variabel lebih besar dari 0,600 yang berarti bahwa kuesioner yang

merupakan indikator-indikator dari variabel tersebut adalah konsisten. Hal

tersebut dapat dibuktikan melalui pengujian hasil wawancara di Desa

Betahwalang (Lampiran 3), variabel fungsi mangrove nilai cronbach alpha

sebesar 0.670, spesies mangrove sebesar 0.643, manfaat mangrove sebesar 0.674,

keadaan mangrove sebesar 0.630, harapan masyarakat sebesar 0.635, peran

masyarakat sebesar 0.662, dukungan masyarakat sebesar 0.648, penanaman

mandiri sebesar 0.672, dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove sebesar 0.658.

4.2.2. Identifikasi Nilai Guna Ekosistem hutan mangrove

Identifikasi nilai guna ekosistem hutan mangrove pada penelitian ini

menggunakan metode wawancara yang melibatkan 150 responden yang berlokasi

di Desa Betahwalang. Responden yang dilibatkan adalah masyarakat yang

berhubungan langsung dengan ekosistem hutan mangrove yang ada disana.

Berdasarkan hasil wawancara sebesar 73% masyarakat di Desa Betahwalang

mengetahui mangrove memiliki manfaat besar, salah satunya manfaat secara

ekonomi. Manfaat ekosistem hutan mangrove dapat diidentifikasi menggunakan

teknik valuasi ekonomi yang terbagi atas nilai guna (use value), tidak ada nilai

guna (non use value) dan nilai total ekonomi (total economic value). Berikut nilai

guna ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang.


63

a. Nilai Guna (Use Value)

1) Nilai Guna Langsung (Direct Use Value/DUV)

Nilai guna langsung merupakan nilai ekonomi yang diperoleh dari

pemanfaatan secara langsung dari suatu sumberdaya atau ekosistem. Berdasarkan

hasil penelitian, total pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara langsung di

Desa Betahwalang sebesar Rp 800.275.000,-/tahun. Hal ini disebabkan karena

banyaknya aktivitas masyarakat yang sering dilakukan di daerah pesisir yang

berkaitan dengan ekosistem hutan mangrove. Perhitungan nilai guna langsung

dapat dilihat pada Lampiran 5. Penelitian oleh Hanifa (2013) di Desa Pasar

Banggi Kabupaten Rembang, diperoleh nilai guna langsung ekosistem hutan

mangrove sebesar Rp 889.649.579,-/tahun yang dapat dilihat pada Tabel 11. Hal

ini menunjukkan bahwa nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove di Desa

Betahwalang lebih kecil dibandingkan Desa Pasar Banggi diduga karena

banyaknya aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat yang berhubungan

secara langsung dengan ekosistem hutan mangrove di Desa Pasar Banggi.

Nilai guna langsung ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang

mencakup 7 bagian yaitu penangkapan rajungan, penangkapan kepiting bakau,

penangkap ikan, tambak udang, tambak bandeng, tambak garam dan penjual ikan

asin. Keseharian masyarakat adalah nelayan karena Desa Betahwalang secara

geografis terletak di pantai laut jawa yang mempunyai potensi kelautan dan

perikanan cukup besar. Nelayan biasanya melaut pada pagi hari dengan

menggunakan alat tangkap gill net, set bottom gill net (bubu) serta arad. Jenis

hasil tangkapan nelayan sendiri meliputi rajungan, ikan belanak, kepiting, udang

dan cumi. Penangkapan rajungan yaitu sebesar Rp 46.080.000,- dengan rata-rata


64

produksi per tahun sekitar 1.2 ton yang dapat dilihat pada Tabel 11. Rajungan

merupakan hasil tangkapan utama dan sumber penghasilan utama bagi masyarakat

yang berprofesi sebagai nelayan karena Desa Betahwalang merupakan penghasil

rajungan terbesar di Indonesia dan sudah berhasil mengekspor rajungan untuk

negara-negara di Eropa salah satunya Amerika Serikat. Desa Betahwalang juga

ditetapkan sebagai daerah konvervasi rajungan sehingga dalam penangkapannya

terdapat aturan-aturan yang berlaku seperti, pelarangan menangkap rajungan di

daerah konservasi serta menangkap rajungan yang sedang bertelur demi

keberlanjutan populasi rajungan di laut.

Penangkapan kepiting bakau juga merupakan salah satu pendapatan

masyarakat Betahwalang. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada malam hari

dengan memasang jaring pada sekitar ekosistem hutan mangrove. Manfaat

penangkapan kepiting memiliki nilai sebesar Rp 56.815.000,-/tahun yang

diperoleh dari pendapatan bersih nelayan kepiting dengan hasil tangkapan sekitar

951 kg. Dalam sekali penangkapan rata-rata responden mendapatkan 2 kg dengan

harga Rp 65.000,-/kg – Rp 100.000,-/kg yang dijual ke pengepul tergantung besar

kecilnya ukuran kepiting yang didapatkan.

Hasil tangkapan yang terdiri dari ikan menghasilkan nilai guna sebesar Rp

24.380.000,-/th dibandingkan penelitian Hanifa (2013) Desa Pasar Banggi,

Rembang (Rp 28.690.667,-/tahun), Mayasari (2018) Desa Timbulsloko, Demak

(Rp 29.250.000,-/tahun). Rospita et al. (2017) Desa Pasar Ngalam, Kabupaten

Seluma (Rp 14.101538,-/tahun). Perbedaan hasil laut yang sangat mencolok

terlihat dari ketiga lokasi diduga karena kondisi ekosistem hutan mangrove

menyebabkan banyak ikan yang memijah di sekitarnya sehingga potensi


65

sumberdaya ikan yang dihasilkan di daerah tersebut juga melimpah. Penurunan

hasil produksi ikan disebabkan karena kondisi ekosistem hutan mangrove itu

sendiri. Ketika ekosistem hutan mangrove itu rusak atau tidak berfungsi seperti

seharusnya maka akan menimbulkan dampak bagi masyarakat. Salah satunya

terhentinya siklus hidup biota di sekitar hutan mangrove yang mengakibatkan

pendapatan nelayan berkurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya dan dapat meningkatkan angka kemiskinan di daerah pesisir.

Sistem budidaya tambak yang dikembangkan di Desa Betahwalang dibagi

menjadi 2 jenis yaitu tambak alami dan tambak intensif. Teknologi yang

digunakan pada tambak alami masih menggunakan teknologi yang sangat

sederhana sehingga hasil produksi yang diperoleh lebih rendah. Pakan yang

digunakan yaitu pakan alami yang tumbuh secara alami dan tidak ada pakan

tambahan, jika dilihat dari segi biaya tambak alami lebih murah karena tidak

membutuhkan pakan ekstra dan nutrisi yang lebih. Tambak intensif menggunakan

teknologi yang modern dan lebih maju sehingga memperoleh hasil produksi lebih

tinggi. Jika dibandingkan dengan tambak alami, biaya produksi yang dikeluarkan

tambak intensif lebih besar karena dalam budidaya ini membutuhkan penambahan

nutrisi dan sistem pengairan yang baik untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Dengan adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat, pada saat ini

masyarakat di Desa Betahwalang mencoba menerapkan metode budidaya tambak

menggunakan sistem modulur polikultur.

Menurut Mangampa dan Baharuddin (2014) teknologi polikultur merupakan

teknik budidaya berbagai jenis ikan secara bersama dalam satu ekosistem yang

melakukan proses biologi dan kimia secara bersamaan sehingga menghasilkan


66

keuntungan yang sinergis. Dengan menggunakan teknologi ini masyarakat Desa

Betahwalang melakukan budidaya udang windu dan ikan bandeng secara

bersamaan. Ikan bandeng merupakan biota yang aktif bergerak sehingga perannya

dalam budidaya ini sebagai pengaduk atau penggerak yang mampu meningkatkan

aerasi pada tambak. Selain mendapatkan hasil produksi yang berlipat ganda,

keuntungan lain dari budidaya ini yaitu hemat pakan dan ramah lingkungan.

2) Nilai Pilihan (Option Value/ OV)

Nilai pilihan (OV) adalah nilai ekonomi yang didapatkan dari potensi yang

dimiliki oleh ekosistem hutan mangrove, sehingga dapat dimanfaatkan di masa

yang akan datang. Nilai pilihan ekosistem hutan mangrove dihitung menggunakan

perkiraan dari nilai yang dihasilkan oleh suatu sumber daya alam yang ada di

tempat lain, kemudian nilai tersebut digunakan sebagai gambaran manfaat dari

suatu lingkungan. Nilai pilihan pada penelitian ini dilihat dari adanya nilai

biodiversitas ekosistem hutan mangrove yang ada.

Berdasarkan penelitian Purnama (2019) Desa Betahwalang memiliki spesies

mangrove yang beragam yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,

Avicennia marina, Avicennia alba, Soneratia alba, Bruguiera cylindrica,

Excoecaria agallocha, Talipariti tiliaceum, Terminalia catappa, Suaeda maritima

dan Acanthus ilicifolius. Ekosistem hutan mangrove di wilayah tersebut tumbuh

subur di tepian tambak berlumpur hingga muara sungai. Kemampuan beradaptasi

tumbuhan mangrove dengan membentuk akar yang kuat dan kokoh inilah yang

menjadikan mangrove dapat mencegah adanya abrasi di wilayah pesisir. Adanya

program rehabilitasi yang dilakukan oleh kelompok tani setempat memiliki


67

dampak yang besar bagi kelestarian ekosistem hutan mangrove di masa yang akan

datang. Menurut Ruitenbeek (1992) Nilai biodiversity hutan mangrove di

Indonesia mempunyai nilai sebesar US$ 1,500 per km2 atau US$ 15/ha/th. Nilai

ini merupakan asumsi yang dapat digunakan untuk seluruh hutan mangrove di

Indonesia yang terjaga secara alami.

Nilai dari manfaat biodiversity didapatkan dengan cara mengalikan kurs

dolar sebesar Rp 14.072,39 (16 November 2019) dengan luasan hutan mangrove

sebesar 81,332 ha. Berdasarkan perhitungan tersebut nilai pilihan di Desa

Betahwalang adalah sebesar Rp 17.168.034,35/tahun atau setara dengan Rp

211.085,85/ha (Lampiran 7). Jika dibandingkan dengan penelitian Mayasari

(2018), di Desa Timbulsloko menggunakan teknik perhitungan yang sama

memperoleh nilai sebesar Rp 15.672.189,42/th. Perbedaan nilai tersebut

dikarenakan oleh perbedaan luasan mangrove di Desa Betahwalang lebih luas

yaitu 81,332 ha dari pada di Desa Timbulsloko 77,04 ha. Nilai pilihan tersebut

bisa berkurang atau bertambah tergantung dengan kondisi ekosistem hutan

mangrove di suatu wilayah. Nilai tersebut akan berkurang jika terdapat penurunan

kondisi lingkungan atau kerusakan yang terjadi ekosistem hutan mangrove,

namun akan bertambah jika kelestarian ekosistem hutan mangrove tetap terjaga,

salah satunya dengan adanya kegiatan penanaman mangrove yang dilakukan

masyarakat setempat yang akan mempengaruhi luasan ekosistem hutan mangrove.


68

b. Nilai Non Guna (Non Use Value)

1) Nilai Keberadaan (Existence Value/ EV)

Nilai keberadaan (EV) adalah suatu nilai yang menunjukkan bentuk

kepedulian seseorang terhadap manfaat suatu sumberdaya alam. Nilai keberadaan

hutan mangrove diperoleh dari adanya kesedian masyarakat untuk membayar

suatu kondisi lingkungan dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan agar

dapat berfungsi sebagai mestinya. Nilai keberadaan ekosistem hutan mangrove di

Desa Betahwalang adalah sebesar Rp 612.576.000,-/tahun (Lampiran 8) yang

dihitung dari hasil perkalian WTP (Willness to Pay) masyarakat sebesar Rp

108.000,-/tahun dengan jumlah penduduk sebanyak 5.672 orang. Nilai WTP ini

menggambarkan besarnya biaya minumum yang seseorang bayarkan dalam

bentuk kepuasan terhadap suatu sumberdaya alam yang dapat memberikan

manfaat bagi masyarakat.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Christy (2019) di Desa Kaliwlingi

Brebes, nilai keberadaan hutan mangrove disana mencapai Rp 2.245.720.000,-

/tahun lebih tinggi dari Desa Betahwalang. Hal ini disebabkan karena nilai

kesedian membayar masyarakat terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove di

Desa Kaliwlingi lebih tinggi yaitu sebesar Rp 230.000,-/tahun dibandingkan Desa

Betahwalang sebesar Rp 108.000,-/tahun. Perbedaan ini dapat terjadi diduga

karena di Desa Kaliwlingi sudah terdapat tempat ekowisata mangrove yang cukup

baik sehingga masyarakat lebih merasakan adanya manfaat dari ekosistem hutan

mangrove secara langsung. Dengan adanya ekowisata tersebut dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta pengetahuan masyarakat

mengenai ekosistem hutan mangrove meningkat, sehingga secara tidak langsung


69

kesadaran masyarakat untuk melakukan konservasi ekosistem hutan mangrove

lebih tinggi dibandingkan di Desa Betahwalang.

Faktor lain yang menyebabkan nilai WTP masyarakat di Desa Betahwalang

rendah diduga karena presepsi masyarakat setempat mengenai keberadaan

ekosistem hutan mangrove. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarat

mengenai fungsi dan manfaat ekosistem hutan mangrove secara langsung maupun

tidak langsung ini yang menyebabkan masyarakat kurang peduli terhadap

ekosistem hutan mangrove. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab rendahnya

nilai WTP yang dibayarkan masyarakat setempat guna perbaikan infrastrukstur

dan kualitas lingkungan di wilayah pesisir.

2) Nilai Warisan (Bequest Value/ BV)

Nilai warisan (BV) adalah nilai ekonomi yang didapatkan dari hasil manfaat

pelestarian ekosistem hutan mangrove sehingga dapat digunakan untuk generasi

di masa depan. Nilai warisan ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang

didapatkan dari adanya fungsi fisik ekosistem hutan mangrove sebagai pelindung

pantai dari adanya ombak, sehingga wilayah pesisir terhindar dari adanya abrasi.

Selain itu fungsi ekologis dan ekonomis ekosistem hutan mangrove juga berguna

untuk generasi yang akan datang. Salah satunya mangrove digunakan sebagai

habitat atau tempat tinggal dari berbagai biota laut, tempat mencari makan

(feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat

pemijahan (spawning ground). Dengan besarnya fungsi dan manfaat ekosistem

hutan mangrove tersebut, partisipasi masyarakat setempat sangat dibutuhkan


70

untuk menjaga ekosistem hutan mangrove agar dapat lestari sehingga dapat

dijadikan nilai warisan bagi generasi di masa depan.

Menurut Ruitenbeek (1992) nilai warisan ekosistem hutan mangrove

diperkirakan berasal dari 10% dari nilai manfaat langsung yang dihasilkan oleh

adanya ekosistem hutan mangrove. Nilai guna langsung di Desa Betahwalang

sebesar Rp 800.275.000,-/tahun (Lampiran 9) sehingga nilai warisan dari

ekosistem hutan mangrove adalah sebesar Rp 80.027.500,-/tahun. Nilai warisan

ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat saat ini terhadap generasi yang

akan datang. Semakin tinggi kepedulian masyarakat dalam menjaga keberadaan

ekosistem hutan mangrove maka semakin tinggi pula peluang generasi yang

akan datang untuk merasakan adanya fungsi dan manfaat ekosistem hutan

mangrove di masa depan.

Salah satu cara untuk menjaga keberadaan ekosistem hutan mangrove agar

tetap lestari yaitu dengan mengadakan kegiatan rehabilitasi mangrove yang

sudah rusak. Kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Betahwalang ini banyak

didukung oleh instansi pemerintah maupun swasta. Instansi pemerintah yang

pernah mengadakan kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Betahwalang yaitu

DLH dan DKP Kabupaten Demak. Selain itu instansi swasta seperti OISCA,

Wetlands dan BWN juga turut memberi bantuan dalam program Bioraight yaitu

menjadikan pesisir menjadi jalur hijau, bekerjasama dengan kelompok petani

tambak Sido Makmur yang dibentuk masyarakat di Desa Betahwalang.


71

c. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value/ TEV)

Nilai ekonomi total (TEV) merupakan nilai yang didapatkan dari hasil

penjumlahahan keseluruhan nilai ekonomi yang terkandung di dalam ekosistem

hutan mangrove. Nilai-nilai tersebut berasal dari nilai guna langsung, nilai guna

tidak langsung, nilai pilihan, nilai keberadaan dan nilai warisan yang telah

diidentifikasi dan dikuantifikasikan. Nilai guna langsung meliputi manfaat

langsung budidaya hasil laut, manfaat langsung rajungan, manfaat langsung

kepiting, dan manfaat langsung udang. Nilai guna tidak langsung dari fungsi

fisik sebagai penahan abrasi menggunakan biaya pengganti. Manfaat pilihan

didapatkan dari hasil identifikasi keanekaragaman hayati ekosistem hutan

mangrove. Adapun manfaat lain seperti manfaat keberadaan yang didapatkan

dari kemampuan membayar masyarakat (WTP) serta manfaat warisan yang

diperoleh dari 10% manfaat langsung ekosistem hutan mangrove di Desa

Betahwalang.

Nilai ekonomi total yang terdapat di Desa Betahwalang dengan luas 81.332

ha adalah sebesar 1.510.046.534,-/tahun (Tabel 15) yang didapatkan dari nilai

guna langsung (use value) sebesar Rp 817.443.034,35,-/tahun dan nilai non guna

(non use value) sebesar Rp 692.603.500,-/tahun. Jika dibandingkan dengan

penelitian Simbala et al. (2017) di Tanjung Dudepo, Sulawesi Utara mempunyai

nilai ekonomi total sebesar Rp 1.677.932.338,-/tahun yang nilainya lebih besar

dari Desa Betahwalang. Perbedaan yang terjadi pada penelitian-penelitian

sejenis diduga karena kondisi ekosistem hutan mangrove, luasan ekosistem

hutan mangrove, perubahan nilai tukar rupiah US$, perbedaan harga pasar dan

pemanfaatan yang dilakukan masyarakat di sekitar ekosistem hutan mangrove.


72

Berdasarkan hasil yang ditunjukan pada Tabel 15 nilai guna langsung

ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang memiliki peranan yang sangat

penting karena memiliki presentase nilai yang paling tinggi daripada nilai

lainnya yaitu sebesar 53%. Hal ini sesuai dengan pendapat responden yang

dijumpai, bahwa ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang mempunyai

dampak posistif bagi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir. Salah satu

dampak posistif yang dirasakan masyarakat adalah persediaan hasil perikanan

yang melimpah. Sebagaimana diketahui bahwa ekosistem hutan mangrove

mempunyai manfaat secara ekologis yaitu sebagai tempat mencari makan dan

perlindungan berbagai biota laut. Hal inilah yang membuat masyarakat berupaya

untuk mempertahankan keadaan ekosistem hutan mangrove agar tidak

mengalami kerusakan.

Nilai ekonomi berikutnya yaitu nilai pilihan dengan presentase sebesar

1.10%. Fungsi ekosistem hutan mangrove sebagai sumber keanekaragaman

hayati di Desa Betahwalang mempunyai nilai presentase yang paling kecil. Hal

ini diduga karena masih banyak potensi yang belum diketahui seluruhnya

sehingga masyarakat perlu menggali potensi ekosistem hutan mangrove yang

ada agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Untuk nilai keberadaan dan nilai

warisan masing-masing mempunyai presentase sebesar 40.60% dan 5.30%.

Kedua nilai ini jika digabungkan akan mempunyai nilai yang besar.

Nilai manfaat pada ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang

bergantung dengan keberadaan ekosistem hutan mangrove itu sendiri. Apabila

terjadi pemanfaatan secara terus-menerus akan terjadi tekanan terhadap

sumberdaya alam di dalam maupun di sekitar ekosistem hutan mangrove yang


73

menyebabkan kerusakan. Sebagai penahan abrasi fungsi ini akan tetap ada jika

masyarakat menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan baik.

Sebaliknya jika tidak masyarakat akan mengalami kerugian yang berpengaruh

terhadap tingkat kesejahteraan. Dengan demikian masyarakat setempat harus

menjaga kondisi ekosistem hutan mangrove agar dapat berfungsi sebagaimana

mestinya serta melakukan pemanfaatan secara konservatif dan tidak

mengeksploitasinya. Semakin besar manfaat yang dirasakan masyarakat dengan

keberadaan ekosistem hutan mangrove maka semakin besar pula nilai manfaat

yang dapat diwarisan untuk generasi yang akan datang.

4.2.3. Analisis SWOT

Potensi yang terdapat pada ekosistem hutan mangrove di Desa

Betahwalang dilihat dari adanya fungsi fisik ekosistem hutan mangrove sebagai

pelindung alami pantai. Dengan adanya ekosistem hutan mangrove mendukung

adanya peningkatan hasil tangkapan ikan dan budidaya tambak yang dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun di satu sisi dengan

adanya perkembangan pembangunan di wilayah pesisir secara terus-menerus

akan menyebabkan konversi lahan yang dapat mengurangi area ekosistem hutan

mangrove di Desa Betahwalang. Oleh karena itu perlu dilakukan strategi untuk

pengembangan ekosistem hutan mangrove supaya tercipta pengelolaan secara

berkelanjutan. Untuk mengetahui adanya kekuatan, kelemahan, peluang dan

ancaman yang ada dalam melakukan pengelolaan ekosistem hutan mangrove

maka pada penelitian ini menggunakan metode analisis SWOT.


74

Penentuan bobot dan rating diperlukan untuk merumuskan strategi

pengembangan ekosistem hutan mangrove dengan mengelompokkan faktor-

faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman).

Penilaian bobot dan rating pada penelitian ini dinilai dari 2 sudut pandang yaitu

pemerintah dan akademisi. Data dari pemerintah diwakili Bapak Sulkan selaku

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak dan dari akademisi

oleh Bapak Dr. Rudhi Pribadi selaku dosen Departemen Ilmu Kelautan,

Universitas Diponegoro. Untuk meningkatakan nilai total ekonomi ekosistem

hutan mangrove di Desa Betahwalang perlu dilakukan adanya rekomendasi yang

tepat guna mendapatkan tujuan yang maksimal. Berdasarkan hasil analisis

matriks SWOT (Gambar 14) strategi yang sesuai untuk diterapkan di Desa

Betahwalang adalah strategi S-O. Dengan adanya kekuatan dan peluang yang

tinggi ini maka strategi untuk pengembangan ekosistem hutan mangrove harus

memaksimalkan seluruh kekuatan yang ada demi mendapatkan peluang yang

besar. Penentuan strategi pengembangan di Desa Betahwalang peringkat I, II,

III, IV secara berturut-turut yaitu strategi S-O (3.48), strategi W-O (3.25),

strategi S-T (3.19), strategi W-T (2.96) dapat dilihat pada Tabel 24. Strategi S-O

yang dapat dilakukan antara lain :

1. Pemberdayaan masyarakat untuk menghasilkan produk dari mangrove

maupun hasil laut yang kreatif, inovatif dan konservatif

Produk olahan berbahan dasar mangrove yang pernah dilakukan di Desa

Betahwalang yaitu pembuatan permen dari buah mangrove jenis Bruguiera sp,

sedangkan untuk produk dari hasil laut yaitu pembuatan tepung dari cangkang

rajungan, pembuatan ikan asin dan krupuk ikan. Kendala terbesar yang dihadapi
75

masyarakat Desa Betahwalang yaitu kurangnya sumberdaya masyarakat dalam

tahap produksi dan kurangnya pengetahuan masyarakat dalam packaging dan

pemasaran produk. Packaging yang menarik dan pemasaran produk yang luas

sangat penting dalam kegiatan wirausaha agar tidak kalah saing dengan produk

lainnya. Oleh karena itu strategi edukatif dalam bentuk pelatihan-pelatihan dan

pengembangan produk yang kreatif dan inovatif perlu dikembangkan agar dapat

membantu perekonomian masyarakat setempat. Melalui kegiatan ini diharapkan

dapat meningkatkan pemahaman dan ketrampilan kelompok masyarakat

setempat dalam berwirausaha. Selain itu aspek konservatif juga harus

diperhatikan agar usaha yang dilakukan dapat berkesinambungan dan tetap

terjaga kelestariannya. Konservasi yang dilakukan tersebut tidak hanya menjaga

ekosistem hutan mangrove agar tetap lestari namun juga dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat disekitar hutan mangrove.

2. Pembentukan kawasan ekowisata hutan mangrove yang berbasis masyarakat

Desa Betahwalang memiliki potensi sumberdaya ekosistem hutan mangrove

yang cukup besar dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta ekosistem

hutan mangrove yang tergolong masih alami, sehingga cocok untuk dijadikan

kawasan ekowisata mangrove. Ekowisata berbasis masyarakat dapat mengurangi

kemiskinan serta meningkatkan perekonomian dengan memberikan peluang

kesempatan kerja bagi masyarakat seperti pedagang kerajinan, penjual makanan

dan minuman, pemandu ekowisata, biaya penginapan, biaya transportasi dan

sebagainya. Selain itu ekowisata ini juga bersifat konservatif karena tidak

merusak alam dan berkelanjutan. Ekowisata ini dapat berkelanjutan jika dalam

pengambilan keputusan masyarakat diberikan wewenang untuk terlibat didalam


76

pengelolaan ekowisata. Dengan demikian maka dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat dalam menjaga lingkungan terutama ekosistem hutan mangrove,

sehingga tercipta pola ekowisata dengan keindahan alam yang masih alami.

3. Kerjasama antara pemerintah maupun swasta dengan masyarakat dalam

upaya konservasi ekosistem hutan mangrove

Salah satu upaya konservasi ekosistem hutan mangrove yang dapat dilakukan

adalah mengadakan rehabilitasi hutan mangrove. Rehabilitasi mangrove ini perlu

dilakukan sebagai upaya pengembalian nilai estetika dan fungsi hutan mangrove

yang mengalami kerusakan. Dalam hal ini dibutuhkan koordinasi yang baik

antara masyarakat, pemerintah maupun swasta untuk mencapai keberhasilan

suatu kegiatan. Peran pemerintah maupun swasta dalam program rehabilitasi

hutan mangrove di Desa Betahwalang adalah sebagai fasilitator yang

mengalokasikan dana melalui mekanisme tertentu, salah satunya dengan

mengadakan proyek di wilayah pesisir seperti penanaman mangrove dan

pembuatan bangunan pemecah gelombang di wilayah pesisir. Pemerintah

biasanya bekerjasama dengan akademisi untuk memberikan pendidikan,

pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai program rehabilitasi

hutan mangrove agar dapat terlibat di dalamnya serta dapat berkelanjutan.

Masyarakat setempat harus berperan secara aktif dalam program ini, karena

secara langsung maupun tidak langsung masyarakat yang mengetahui kondisi

ekosistem hutan mangrove di Desa Betahwalang. Monitoring dan evaluasi perlu

dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan program rehabilitasi hutan

mangrove. Oleh karena itu keterpaduan antara masyarakat, pemerintah maupun

swasta perlu ditingkatkan guna mencapai tujuan yang ingin dicapai.

Anda mungkin juga menyukai