Anda di halaman 1dari 12

Mangrove di Indonesia

Indonesia dikaruniai kawasan mangrove yang sangat luas, yaitu sekitar 3,7 juta hektar. Kawasan mangrove
tersebut tersebar di pesisir-pesisir Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, hingga Papua. Tetapi, kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir telah mengurangi luas hutan mangrove di Indonesia. Penyebabnya antara lain
adalah: pembukaan lahan atau konversi hutan menjadi kawasan pertambakan, permukiman, industri dan lainlain. Selain konversi, kerusakan hutan mangrove juga terjadi akibat pemanfaatan yang intensif untuk kayu bakar,
bahan bangunan, pemanfaatan daun mangrove sebagai makanan ternak, serta penambangan pasir laut di
sepanjang pantai bagian depan kawasan mangrove.
Beberapa data menunjukkan bahwa kerusakan dan penyusutan luas hutan mangrove Indonesia terus terjadi.
Pada tahun 1982 Indonesia masih memiliki 5.209.543 ha hutan mangrove, namun di tahun 1992 jumlahnya telah
menjadi 2.496.185 ha. Pada tahun 1985, pulau Jawa telah kehilangan 70% hutan mangrovenya. Luas hutan
mangrove di Sulawesi Selatan berkurang dari 110.000 ha pada tahun 1965 menjadi 30.000 ha pada tahun1985.
Sedangkan Teluk Bintuni (Papua) masih terdapat 300.000 ha mangrove, namun kini terus menerus mengalami
tekanan, sebagaimana terjadi pula di delta Sungai Mahakam dan pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Apabila tidak ada usaha untuk mencegah kerusakan, serta tak ada usaha untuk mengembalikan kondisi hutan
mangrove, maka lingkungan pesisir Indonesia akan semakin mengkhawatirkan bagi kehidupan. Bahkan,
perekonomian penduduk pesisir yang bergantung pada ekosistem mangrove juga akan semakin sulit. Salah satu
kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat untuk melestarikan mangrove adalah melalui penanaman atau
rehabilitasi mangrove.
Apa itu mangrove?
Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis atau areal sub-tropis beserta seluruh organisme yang
didominasi oleh bebeapa pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut pantai
berlumpur. Mangrove juga tumbuh subur di sepanjang delta, estuaria dan coastal lagoon (danau di pinggir laut)
yang dilindungi oleh batu karang, tumpukan pasir atau struktur lain dari gelombang dan pasang air laut.
Ciri-ciri lingkungan hutan mangrove:

Tumbuh pada daerah yang memiliki jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir

Tergenang air laut atau air payau secara teratur,

Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Manfaat mangrove:

Peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, serta penahan lumpur dan sedimen,

Menghasilkan serat untuk keset dan bahan bangunan (kayu),

Menyediakan bahan baku untuk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

Menghasilkan bahan kimia: arang dan coal tar, bahan pewarna kain, rotenone (bahan semacam racun
yang digunakan untuk membunuh ikan hama atau ikan lain yang tidak dikehendaki), tanin, flavonoid (senyawa
yang dapat mencegah serangan jantung dan kanker), gula alkohol, asam asetat, dll.

Menghasilkan madu, kepiting, udang, tiram, kerang- kerangan dan ikan serta makanan bagi binatang.
Mangrove juga merupakan tempat terbaik bagi budidaya ikan air payau dalam karamba.

Memberikan tempat tumbuh untuk udang dan ikan yang bermigrasi ke area mangrove ketika muda, dan
kembali ke laut ketika mendekati usia matang seksual. Selain itu udang karang dan ikan yang bereproduksi di
hulu sungai (freshwater upstream) dan bermigrasi pada masa mudanya karena makanan berlimpah di daerah
mangrove.
Sebagai tempat wisata.

Beberapa cara untuk melindungi mangrove:

Tidak menggunakan areal mangrove sebagai tempat pembuangan sampah,

Tidak membendung anak sungai dan sungai di area mangrove,

Pembuatan karamba dengan struktur yang baik, sehingga tidak mengganggu aliran air, rute migrasi
binatang air dan ekosistem mangrove,

Membangun jalan air (walkways) yang tinggi dan rumah pohon di area mangrove, membuat jalur
lintasan perahu (boat trip) secara terbatas.
Membiarkan air tidal (pasang) bebas bergerak ketika membangun jalan menuju garis pantai,

Menggunakan metode tradisional dan mengobservasi kearifan lokal yang berkaitan dengan
pemanfaatan dan perlindungan mangrove.
Membantu proses pertumbuhan ekosistem dengan membangun groins dan bukan tembok laut (sea

wall),

Bekerjasama dengan ahli biologi untuk kegiatan yang berkaitan dengan silvikultur dan aquakultur, serta
pengembangan genetika tumbuhan.

Bekerjasama dengan industri pariwisata untuk mengembangkan taman laut, perlindungan biosfer laut
dan promosi wisata kebudayaan.

Menyediakan silent boating pada saat matahari tenggelam dan malam hari,

Lautan tropis sangat jernih. Oleh karena itu hanya ada sedikit plankton untuk makanan ikan, kepiting
dan udang.

Ekosistem mangrove memiliki produktivitas unsur organik yang lebih tinggi dari produktivitas di lautan
dan batu karang.

Kerusakan Hutan Mangrove


Kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkuatirkan,
terutama wilayah pesisir yang kegiatan pembangunannya pesat. Kerusakan
sumberdaya pesisir tersebut umumnya disebabakan oleh banyak faktor antara
lain Eksploitasi lebih, Pencemaran, Penggunanan teknologi yang tidak ramah
lingkungan dan Abrasi pantai dan sedimentasi. Kerusakan ekosistem pesisir
tersebut berimplikasi langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan
dan mengurangi stok ikan untuk berkembang serta mengurangi fungsi estetika
lingkungan pesisir. Kerusakan fisik lingkungan pesisir ini dipicu oleh faktor-faktor
sosial-ekonomi, khususnya masalah pertumbuhan penduduk dan kemiskinan.
Masalah sosial ini perlu menjadi perhatian karena adanya keterkaitan yang erat
antara pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan laju ekspoloitasi sumberdaya
perikanan. Langkanya pendapatan alternative diluar pemanfaatan sumberdaya
perikanan sering menimbulkan dependensi yang berlebihan terhadap
sumberdaya tersebut. Salah satu ekosisitem yang mengalami perubahan yakni
ekosistem mangrove.
Ekosistem hutan mangrove merupakan sumberdaya alami kaya akan fungsi dan
manfaat, salah satunya sebagai peredam dan pelindung dari gempuran
gelombang yang timbul. Namun karena ulah manusia yang berbuat kerusakan di
muka bumi ini, hutan mangrove yang seharusnya dapat diambil manfaatnya oleh
manusia, berubah menjadi rusak. Baik itu disebabkan eksploitasi hutan
mangrove menjadi lahan komersial atau kerusakan karena pencemaran,
sehingga kelestariannya tidak terjaga lagi. Mangrove adalah vegetasi hutan yang
tumbuh diantara garis pasang surut,tumbuhan yang hidup diantara laut dan
daratan. Sehingga hutan mangrove dinamakan juga hutan pasang. Hutan
mangrove dapat tumbuh pada pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati
yang diatasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau ditumbuhi lumpur atau pantai
berlumpur.
Hutan mangrove terjadi di daerah pantai yang terus menerus atau berurutan
terendam dalam air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut, tanahnya terdiri
atas lumpur dan pasir. Secara harfiah, luasan hutan mangrove ini hanya sekitar 3
% dari luas seluruh kawasan hutan dan 25 % dari seluruh hutan mangrove dunia.

Namun, dilihat dari perannya, kawasan vegetasi ini pantas diperhitungkan.


Berikut beberapa jenis kerusakan hutan mangrove;
1.
Kerusakan secara fisik dan kimia Kegiatan yang memberikan sumbangan
terbesar terhadap kerusakan mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu
untuk keperluan komersial serta peralihan peruntukkan untuk tambah dan
pertanian. Sedang kematian secara alami tidak memberikan data signifikan yang
patut dicurigai sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove. Sebab- sebab
dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik dan kimia akan
diuraikan berikut ini :
1. Penambangan mineral Penambangan mineral mineral, telah berkembang
di kawasan pesisir. Penambangan dalam ekosistem mangrove
mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di daerah
sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek
yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air
permukaan ked an dalam mangrove. Pengendapan yang berlebihan akan
merusak mangrove karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara
dan udara dalam substrat dan air diatasnya. Bila proses pertukaran ini tidak
berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat.
Terhentinyaa sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan pada
mangrove, yang terlihat pada penurunan produktifitas dan kemampuan.
Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di
mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula
produktivitas ikan.
2. Pembelokan aliran air tawar Suatu pengertian yang salah bila dikatakan
bahwa tumbuhan mangrove untuk hidupnya mutlak memerlukan air asin.
Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah
yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim
musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di
daerah seperti ini kerluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali.
pengambil keputusan sering melihat dalam lingkungan seperti ini suatu hal
yang mubazir membiarkan air tawar masuk ke laut, sehingga tidak heran bila
berusaha untuk memanfaatkan air tawar ini untuk keperluan di daerah darat.
3. Eksploitasi Hutan Eksploitasi hutan mangrove secara besar- besaran
dilakukan untuk keperluan kayu, tatal dan bubur kayu. Biasanya eksplotasi
seperti itu dilakukan dengan tebang habis. Di daerah tebang habis
permudaan alam umumnya tidak berjalan dengan baik sehingga
mengakibatkan penurunan nilai hutan karena pohon- pohon untuk panen
berikutnya berupa pohon- pohon dengan kualitas rendah. Kegiatan
eksploitasi perlu dilakukan secara hati- hati guna memperkecil kerusakan
yang mungkin terjadi, khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai
ekologi adalahekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber
keanekaragaman hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
Dalam melaksanakan eksploitasi hutan secara besar- besaran dilakukan
dengan menggunakan alat transportasi dan alat tebang yang modern.

Sehingga membutuhkan fasilitas dan infrastruktur sebagai pendukungnya.


Pengadaan fasilitas dan akses ke lokasitersebut juga meninggalkan
kerusakan tersendiri terhadap hutan mangrove. Masalah lain yang sering
timbul adalah sisa- sisa hasil tebangan tidak dapat segera terdaur ulang
dengan proses penguraian. Karena banyaknya sisa penebangan yang
menumpuk sehingga proses penguraian berjalan dengan lambat. Sisa
penebangan yang besar- besar dengan adanya arus pasang surut juga akan
terbawa kemana-mana dan dapat menimbulkan masalah baru
4. Konversi Lahan Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di
daerah pesisir selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak
cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan
pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove
dianggap sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah
memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek- efek yang
negative terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya. Selain itu
kehadiran saluran- saluran drainase mengubah system hidrologi air tawar di
daerah mangrove yang masi utuh yang terletak kea rah laut dan hal ini
mengakibatkan dampak negatif.
Hutan mangrove di Pulau Jawa, pada umumnya sejak tahun 1950 sebagian
besar sudah rusak disebabkan pencurian kayu dan dijadikan pertambakan.
Tambak dalam skala kecil tidak terlalu banyak mempengaruhi ekosistem
mangrove dan ekosistem di sekitarnya, tetapi lain halnya dengan tambak
dalam skala besar. Konversi mangrove yang luas menjadi tambak dapat
mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya.
Penggunaan lahan pasang surut untuk pertambakkan terjadi di hamper
seluruh Indonesia, namun sekitar 94 % dari 225.000 ha areal pertambakan
ada di Propinsi Aceh, Jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi
Selatan. Penyebarannya 52% terdapat di Jawa, 30 % di Sulawesi, 15 % di
Sumatra, 1% di Kalimantan dan 0,1%di Maluku dan Irian Jaya. Dengan data
luasan yang ada berarti hilangnya areal mangrove yang disebabkan
pembukaan tambk sebesar 22%.
5. Tumpahan Minyak Tumpahan minyak bumi dan hasil- hasil olahannya
dengan kapal laut semakin meningkat. Kebocoran, tumpahan dan
pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di berbagai
tempat, jalur- jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove
(misalnya selat Malaka) dan kebocoran setra pembuangan minyak dengan
sengaja telah menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap
mangrove. Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua
kategori. Kategori pertama adalah efek laut yang akut, segera terlihat dan
berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan tumbuhan
( pepagan, akar tunjang, akar napas ) yang mempunyai fungsi dalam
pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat,
tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun
dan kematian pohon- pohon mangrove di tempat tempat yang paling
berpengaruh terjadi 4- 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan

peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna


yang bersangkutan oleh komponen racun yang terkandung dalam minyak.
6. Pembuangan Limbah Kegiatan pertanian, agro- industri, industry kimia dan
rumah tangga menghasilkan limbah dalam jumlah yang beraneka dan
kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah cair terlarut atau
membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan
anorganik yang juga terdapat di alam, tetapi kehadiran dalam jumlah
berlebihan dalam lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak
semuanya dapat didaur ulang secara alami. Dalam banyak kasus, pestisida
dan antibiotic juga kerap kali digunakan, bahkan untuk pengolahan tambak
tradisional. Gambar. Kondisi tanaman mangrove yang telah rusak dan
dipenuhi sampah
domestik dari masyrakat sekitar pesisir Kelapa
Lima Kota Kupang- NTT 7. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan mangrove yang
pernah terjadi di lahan Pesisir Timur Sembilang pada tahun 1980 1990an
berhubungan dengan pembukaan lahan yang luas ( untuk perkebunan dan
transmigrasi) dan oleh penduduk setempat. Sedangkan kebakaran yang
terjadi pada tahun 1997 disebabkan oleh kegiatan penebangan liar, nelayan
dan pengembangan kawasan transmigrasi ( Dennis et al, 2000).
2.
Kerusakan Biologi Kerusakan yang ditimbulkan karena factor biologi adalah
serangan hama. Hama pada tanaman mangrove yang ditemukan di beberapa
tempat secara singkat dapay dijelaskan sebagai berikut :
1. Ulat ( Lepidoptera )
a.
Ulat kantong Acanthopsyche sp. ( Lepidoptera, psychidae)
menyerang tanaman Bruguierai spp ( tancang) di Cilacap, Rhizophora spp
di Purwakarta dan Rhizophora mucronata di Pemalang. Bagian tanaman
yang diserang ulat kantong ini adalah bagian daunnya. Daging daun
merupakan bagian yang dimakan, urat- urat dan tulang daun tetap utuh.
Apabila sebagian besar daging daun habis dimakan, daun akan kering.
Tanaman muda yang sebagian besar daun- daun dan kuncup ujung
diserang ulat berakibat kematiannya.
b.
Ulat bulu (Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizophora spp di
Pemalang, Brebes, Purwakarta. hama ini hamper tiap tahun menyerang
tanaman bakau muda yaitu ulat bulu dan sebangsa ulat kantong. Ulat
memakan daun sejak menetas sampai menjelang kepompong. Tanaman
bakau yang daunnya habis dimakan ulat pada lahan kondisi mongering
umumnya mati. Meningkatnya populasi ulat diperkirakan karena langka
predator. Usaha penanggulangan pada daun bakau yang diserang dengan
menggunakan tangan dan dikeprak, namun karena populasinya tinggi
dicoba dengan insektisida yang sangat terbatas dan diatur
pelaksanaannya disesuaikan dengan tata waktu kegiatan empang parit.
c.
Ulat pucuk tunas Capua endoeypa ( Lepidoptera) menyerang
tanaman Rhizopara mucronata di Bali. Ulat yang merupakan larva didalam
tunas bibit dan memakan tunas tersebut sebelum daun terbuka. Meskipun

bibit tidak akan mati, tetapi akan terhenti atau menjadi lambat
pertumbuhan sehingga akan menurun kualitasnya. Adanya serangan ini
ditandai oleh adanya telur maupun lubang- lubang kecil pada pucuk tunas
bibit. Pengendaliannya dengan cara membuka tunas yang ditandai adanya
lubang- lubang kecil, kemudian ulat diambil dan dibunuh.
d.
Ulat daun Dasyehira sp,memakan daun semai Avicenmia marma di
Bali. Ulat dapat diatasi dengan memasang jaring plastik diatas bedeng,
setelah jaring dibuka, sebaiknya segera diperiksa dan bila dijumpai segera
dibunuh. Bila terjadi kerusakan serius bisa disemprot dengan insektisida
atau dipindahkan ke bedeng pasang surut.
2. Kutu sisik chionapsis sp ( hemiptera, diaspididae) Hama ini dilaporkan
menyerang tanaman reboisasi dari jenis Rhizhopora di Bali tahun 1995 dan kutu
sisik berbentuk bulat telur ujungnya membesar yang dilindungi oleh perisai yang
lunak. Serangan kutu sisik ini akan menyebabkan daun menguning dan
akhirnya kering. Cara mengendalikan kutu sisik dari hasil penelitian dengan
menggunakan fluorbac FC dengan bahan aktif bacilius turingiensisi dan asodrin
15 wsc, rata- rata serangan hama menurun bahkan sebagian pohon tampak
pulih dan berangsur- angsur sehat.
3. Belalang Belalang sering menyerang tanaman mangrove dengan memakan
daunnya terutama yang masih muda. Penanganannya belalang diambil atau bila
jumlahnya banyak dengan menggunakan insektisida. Namun penggunaan
insektisida tidak dianjurkan.
4. Laba- laba Laba-laba hidup/ bersarang pada tanaman bakau yang kecil dan
besar, bambu pancang penguat tanggul, pemakan diantara rekahan sawah dan
gulma serta gubug- gubug pantai. Hama laba- laba menyerang tanaman bakau
pada bulan kering, baik yang muda maupun tua. Pada tanaman muda laba-laba
dapat mematikan tanaman karena tajuk tanaman seluruhnya dibalut rapat oleh
jaring laba-laba. Tajuk yang terbungkus dalam waktu lama akan menyebabkan
tanaman bakau kering dan mati. Serangan akan lebih hebat jika lingkungan
terbuka tanpa tanaman lain. Usaha penanggulangan dengan cara membuikan
tempat pemijahan laba- laba berupa vegetasi pada galengan empang parit,
bamboo perangkap sekitar empang parit diikuti cara mekanis.
5. Ketam Ketam (Sesarma spp) menyerang buah / benih Brugmera gymnorrhriza
dan Rhizophora spp di Cilacap. Hama ini menyerang pada benih bakau yang
masi segar karena mengandung protein karbohidrat ( zat gula). Untuk
mengurangi yaitu dengan menurunkan kadar gula benih disimpan selama 1
minggu atau membuat pagar kecil sekitar benih dengan daun paku- pakuan atau
menggunakan bumbung bambu. 6. Mamalia Mamalia termasuk hama yang dapat
merusak tanaman mangrove diantaranya kera, kerbau, sapi, dan kambing.
Binatang ini akan memakan daun yang masih muda hingga habis dan akhirnya
tumbuhan mangrove akan mati. Untuk menanggulangi hewan tersebut harus
dihalau dan jangan dilepas untuk merumput di dekat tanaman mangrove yang
baru tanam.

Kerusakan Mangrove Tiga Kali Lipat Lebih berbahaya dari


Hutan Tropis Dunia
September 8, 2012 Aji Wihardandi

Hutan mangrove di Indonesia. Foto: Aji Wihardandi


Penghancuran dan degradasi hutan mangrove, padang lamun dan hutan rawa akan
berakibat hilangnya jutaan ton karbon ke udara setiap tahun. Hal ini dilaporkan dalam
sebuah tulisan yang dimuat di jurnal PLoS ONE.
Penelitian ini mempelajari 49 juta hektar eksosistem pantai dan memperkirakan emisi
yang akan muncul akibat konversi wilayah tersebut. Terkait adanya ketidakpastian
luasan dan keberadaan ekosistem ini dan tingkat konversi yang terjadi serta
bervariasinya stok karbon yang berbeda di tiap wilayah, hasil penelitian ini muncul
dengan rentang hasil antara 150 juta hingga 1.02 milyar ton karbondioksida per tahun.
Di puncak tertingginya, emisi akibat rusaknya dan degradasi ekosistem pantai akan
mempengaruhi emisi tahunan di Jepang, negara emiter karbon terbesar kelima di dunia.
Menurut hasil penelitian ini, sebagian besar emisi, atau sekitar 53% berasal dari
hilangnya hutan mangrove, lalu disusul oleh musnahnya padang lamun mengakibatkan
hilangnya 33 % karbon dan terakhir adalah hutan rawa sekitar 13%.

Peta dunia ekosistem pesisir pantai


Ekosistem wilayah pantai ini adalah sebuah wilayah yang sangat kecil, hanya sekitar 6%
dari wilayah daratan yang tertutup oleh hutan tropis, namun emisi yang akan terjadi jika
mereka lenyap adalah sekitar seperlima dari jumlah emisi akibat hilangnya hutan tropis
di seluruh dunia, ungkap Linwood Pandleton, salah satu penulis dan direktur dari Ocean
and Coastal Policy Program di Nicholas Institute, Duke University dalam penyataannya.
Setiap satu hektar, hutan rawa bisa memuat karbon yang sama dengan emisi yang
dihasilkan 488 mobil setiap tahun. Sebagai perbandingan, menghancurkan satu hektar
hutan mangrove jumlah emisinya setara dengan menebang tiga hingga lima hektar
hutan tropis.
Hasil penelitian ini sudah digunakan dalam program internasional mitigasi perubahan
iklim terkait karbon biru atau blue carbon. Ini adalah sebuah program ntuk
menggunakan pendanaan karbon -baik dalam bentuk dana bantuan maupun aktivitas
berbasis pasar seperti offset- untuk mendanai upaya konservasi ekosistem ini. Penelitian
ini memperkirakan bahwa nilai ekonomi dari emisi karbon tahunan berkisar antara 6.1
hingga 41.9 miliar dollar.
Ekosistem Karbon biru memberikan banyak keuntungan bagi manusia: misalnya
mendukung perikanan, memberi perlindungan wilayah pantai dari banjir dan badai, dan
memberi filter bagi air di pesisir dari sejumlah polutan, ungkap Emily Pidgeon, direktur
senior dari Strategic Marine Initiatives di Conservation Internastional dan wakil ketua
Blue Carbon Initiative. Insentif ekonomi untuk menggantikan kehilangan ini bisa
membantu melindungi keuntungan-keuntungan ini sebagai bagian dari upaya global
untuk menekan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.
Hasil lengkap penelitian bisa diunduh disini

Tingkat konversi ekosistem pesisir

Emisi akibat konversi ekosistem pesisir.

Anda mungkin juga menyukai