Anda di halaman 1dari 38

Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

II. MATERI PEMBELAJARAN


A. PENETAPAN TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN
1. Pertimbangan-Pertimbangan dalam Penetapan Tujuan
Tujuan pengelolaan hutan perlu dibuat untuk setiap kesatuan pengelolaan
hutan (KPH) pada masing-masing fungsi penggunaan hutan. Jadi KPH Produksi, KPH
Lindung dan KPH Konservasi, masing-masing harus memiliki tujuan pengelolaan yang
bersifat mandiri, terlepas dari kesatuan pengelolaan hutan yang lainnya meskipun
dengan fungsí penggunaan hutan yang sama. Ada kemungkinan bahwa terdapat
kesamaan rumusan tujuan untuk beberapa kesatuan pengelolaan hutan yang memiliki
fungsi penggunaan yang sama, namun paket tujuan pengelolaan dari setiap KPH
tersebut tetap harus bersifat mandiri. Proses penetapan tujuan pengelolaan harus
dilakukan untuk setiap kesatuan pengelolaan.
Tujuan pengelolaan setiap KPH umumnya ditetapkan berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan : (1) Fungsi penggunaan hutan, (2) Peranan ekologis hutan,
dan (3) Peranan hutan dalam menopang pembangunan daerah.
1.1 Bentuk Fungsi penggunaan hutan
Berdasarkan fungsí penggunaannya, hutan dikelompokkan atas : Hutan Lindung,
Hutan Konservasi, dan Hutan Produksi. Setiap bentuk fungsi penggunaan hutan
tersebut memiliki fungsi pokok (fungsi utama) tertentu sebagai berikut :
a. Hutan Lindung : memiliki fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga
kehidupan, yaitu untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah
b. Hutan Konservasi : memiliki fungsi pokok sebagai kawasan tempat pelestarian
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Hutan Konservasi terdiri atas : Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam dan Taman Buru.
b1. Kawasan HSA adalah kawasan untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan. HSA dibedakan lagi atas Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa
b2. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah kawasan untuk perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
KHPA dibedakan atas Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam.
b3. Taman Buru : kawasan hutan konservasi yang diperuntukkan bagi kepentingan
wisata buru

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 2


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

c. Hutan Produksi : Kawasan hutan dengan fungsi pokok untuk memproduksi hasil
hutan, yaitu benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal
dari hutan. Hutan Produksi dibedakan atas Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi
Biasa dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, dengan fungsi pokok masing-
masing sebagai berikut :
c1. Hutan Produksi Terbatas : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
terbatas (intensitas tertentu), yaitu pada tingkat pemanfaatan yang masih
meninggalkan keadaan tegakan hutan dengan kualitas minimal tertentu yang
dapat berfungsi dalam memberikan perlindungan terhadap tata air, erosi tanah,
dan pemeliharaan kesuburan tanah pada wilayah di sekitarnya.
c2. Hutan Produksi Biasa : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal pada tingkat yang masih dapat menjamin kelestarian hutan
c2. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan
dan dikonversi peruntukannya untuk keperluan di luar kehutanan, misalnya untuk
perkebunan, transmigrasi dll
Fungsi-fungsi hutan yang uraikan di atas adalah fungsi-fungsi utama dari masing-
masing KPH sesuai dengan peruntukannya. Selain fungsi-fungsi utama tersebut,
setiap KPH pada dasarnya dituntut untuk memberikan fungsi-fungsi ekonomi, ekologi
dan sosial secara simultan. Sehubungan dengan itu, perumusan tujuan pengelolaan
hutan pada hakekatnya diarahkan pada optimalisasi fungsi ekosistem hutan, yang
meliputi fungsi ekonomi, ekologi dan sosial.

1.2 Peranan ekologis hutan


Salah satu komponen yang diperlukan dalam pengelolaan bentang alam berbasis
ekosistem adalah adanya skenario penggunaan lahan (dan atau ruang) dalam setiap
kesatuan bentang alam tersebut (landscape scenario). Dengan melihat macam-macam
dan tingkat kepentingan dari penggunaan lahan dalam kesatuan bentang alam tersebut
akan dapat ditentukan bentuk tujuan pemanfaatan utama dari kesatuan bentang alam
tersebut, misalnya : campuran untuk pengembangan industri dan pertanian, kombinasi
penggunaan lahan milik dengan kepemilikan publik, dll.
Contoh skenario lain misalnya : tata ruang dalam suatu wilayah DAS untuk tujuan
mendukung kegiatan perekonomian di pusat kota dan perlindungan terhadap banjir di
daerah hilir DAS.
Apabila skenario tujuan pemanfaatan lahan dalam kesatuan bentang alam tertentu
diketahui (telah ditetapkan) maka besarnya peran hutan dalam menunjang skenario
tersebut dapat ditentukan, misalnya dengan menetapkan kadar peran tertentu untuk
setiap macam fungsi ekosistem hutan tersebut. Kadar peran setiap macam fungsi ini
selanjutnya dapat dinyatakan dalam nilai kuantitatif pada saat penetapan persamaan
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 3
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tujuan dan persamaan-persamaan kendala untuk mendapatkan tingkat yang optimal


fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosial dari ekosistem hutan yang bersangkutan.

1.3 Peranan hutan dalam menopang pembangunan daerah


Peran hutan dalam menopang pembangunan daerah, khususnya untuk
pembangunan ekonomi daerah, dapat berupa : penyediaan barang yang dapat
dihasilkan oleh ekosistem hutan untuk pemenuhan bahan baku berbagai industri
kehutanan dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat, jasa lingkungan ekosistem
hutan dalam menunjang berbagai aktivitas pembangunan dan untuk pemenuhan
kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan,
penelitian dan pengembangan, serta untuk kepentingan budaya dan keagamaan.
Pemenuhan keperluan tersebut dapat dilakukan melalui penetapan Kawasan Hutan
dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Selain itu, dapat pula dilakukan dengan
memperhitungkan serta memasukkan ke dalam model optimalisasi tujuan (tujuan-tujuan)
pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan.
2. Teknik Optimalisasi dalam Penetapan Tujuan
Optimalisasi fungsi-fungsi ekosistem hutan ditentukan berdasarkan faktor-faktor
yang merupakan representasi (pewakil) dari fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosial-
bidaya. Faktor-faktor ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam (peubah-peubah
(variables), baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Melalui
penggunaan peubah-peubah inilah dapat dibuat persamanan-persamaan tujuan (goal)
dan persamaan-persamaan pembatas atau kendala (constraint). Untuk dapat
merumuskan persamaan-persamaan tujuan dan persamaan kendala diperlukan besaran
yang menyatakan berapa besar perubahan yang akan terjadi pada tujuan atau kendala,
akibat berubahnya satu satuan peubah bebas dalam persamaan tujuan dan persamaan
kendala. Besaran ini dinamakan koefisien untuk peubah bebas tersebut. Besaran
koefisien setiap peubah bebas ini hanya dapat diketahui jika tersedia data yang cukup
berdasarkan hasil penelitian yang bersifat empiris. Apabila informasi ini tidak ada maka
persamaan tujuan dan persamaan kendala tidak dapat dibuat. Informasi seperti ini akan
tersedia apabila tindakan atau kegiatan pengelolaan yang sama atau sejenis sudah
pernah dilakukan pada lokasi-lokasi yang kondisinya diketahui. Untuk tindakan atau
kegiatan pengelolaan yang baru (belum pernah dilakukan), dan atau keadaan lokasinya
bersifat spesifik, maka informasi yang diperlukan tidak tersedia.
Berdasarkan ketersediaan informasi yang diperlukan dalam merumuskan
model pengambilan keputusan untuk optimalisasi fungsi-fungsi ekosistem hutan dalam
kesatuan pengelolaan hutannya, teknik optimalisasi dapat dikelompokkan atas :
a. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia
b. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tidak tersedia

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 4


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia antara lain :


1) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat pasti
(deterministic) atau tetap (fixed). Pengambilan untuk kondisi persoalan yang demikian
ini umumnya dilakukan dengan menggunakan Linier Programming
2) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat
mengandung peluang atau beresiko (probabilistic)
Pengambilan keputusan untuk kondisi yang demikian dilakukan dengan
menggunakan : (a) Kriterium Nilai harapan, (b) Kriterium Nilai harapan dan
keragaman, dan (c) Kriterium Keadaan yang paling mungkin terjadi
3) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat tidak
pasti (undeterministic). Pengambilan keputusan untuk kondisi yang demikian
dilakukan dengan menggunakan : (a) Kriterium Laplaceae, (b) Kriterium Minimaks
atau Maximin, (c) Kriterium Minimaks Penyesalan, dan (d) Kriterium Hurwics
Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tidak tersedia, dilakukan dengan
menggunakan bantuan para pakar. Salah satu teknik yang dalam digolongkan ke dalam
kelompok ini adalah teknik Analytic Hirarchy Process (AHP), sebuah Teknik pengambilan
keputusan multikriteria.
2.1. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia
Kelompok 1. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang
bersifat pasti (deterministic) atau tetap (fixed)
Data yang pasti : data yang hanya memiliki satu nilai yang bersifat pasti, memiliki
peluang untuk muncul sebesar 1 (satu) dan keragaman sebesar 0 (nol).
Contoh : Harga kayu gelondongan Rp.6jt, Luas areal HPH PT.Silvalestari Rp.54.000 Ha,
Jumlah polisi hutan pada KPHK Sinambung 25 orang, dll.
Sebagian besar data yang diperlukan/digunakan untuk menyusun perencanaan hutan
bersifat tidak pasti (bisa berubah-ubah), namun untuk memudahkan pengolahan dan
analisisnya, sering diasumsikan sebagai data yang bersifat pasti.
Kasus 1. Permasalahan penggemukan sapi dan budidaya pinus (Gambaran
keadaan permasalahan dalam pengelolaan hutan milik)
Pak Jack adalah seorang petani yang memiliki sebidang lahan kosong seluas 11,15
Ha Tanah ini dapat ditanami dengan pinus yang diharapkan dapat dipanen pada umur
satu tahun untuk memasok kebutuhan pohon natal. Tanah yang sama juga dapat
dijadikan sebagai lahan tempat penggemukan sapi.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 5


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Pohon pinus ditanam dan dijual secara berkelompok pada setiap petak yang luasnya
0,7Ha dan berisi 1.000 pohon, sedang untuk penggemukan setiap satu ekor sapi
dibutuhkan 1,85 Ha.
Pak Jack adalah petani yang memiliki banyak kesibukan, sehingga hanya dapat
menyediakan 200 jam per tahun untuk mengurus tanah miliknya
Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pengurusan pohon per petak (menanam,
memelihara, memanen dan mengemas) membutuhkan waktu 20 jam, sedang
pemeliharaan/penggemukan setiap ekor sapi memerlukan waktu 20 jam.
Total anggaran yang tersedia untuk membiayai kegiatan ini adalah Rp.120.000.000,-
Biaya tahunan untuk budidaya pohon adalah Rp.300.000,- per petak tanaman dan untuk
penggemukan sapi dibutukan biaya sebesar Rp.2.400.000,- per ekor
Untuk pemasaran sapi, Pak Jack telah membuat kesepakatan untuk memasok minimal 2
ekor sapi per tahun kepada tetangganya.
Berdasarkan tingkat harga yang berlaku pada saat penyusunan rencana diperkirakan
bahwa keuntungan bersih yang akan diperoleh adalah adalah sebesar Rp.5.000,- per
pohon atau Rp.5.000.000,- per petak tanaman pinus, dan Rp.10.000.000,- per ekor sapi.
Dari kasus / permasalahan tersebut di atas dapat dibuat identifisikasi dan pernyataan
permasalahan secara matematis sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan : Pak Jack
2. Tujuan : Memaksimalkan pendapatan dari kegiatan usaha
3. Kriterium Tujuan : Nilai uang (Rp) dari pendapatan bersih per tahun
4. Kegiatan dan Peubah Keputusan :
• Kegiatan Penggemukan sapi
Peubah Keputusan : X1 = jumlah sapi yang dibesarkan per tahun
• Kegiatan budidaya pinus
Peubah Keputusan : X2 = Jumlah petak tanaman yang berisi 1.000 pohon pinus
yang dibudidayakan per tahun
5. Fungsi Tujuan :
Maksimumkan Z = pendapatan bersih per tahun (Rp.1000.000) per tahun
dimana Z = 10 X1 + 5 X2
6. Kendala-kendala
• Kendalah lahan : tersedia 11,5 Ha
□ Penggemukan sapi : 1,85 Ha per ekor
□ Budidaya pinus : 0,7 Ha per petak tanaman Æ1.000 phn per petak
Pernyataan matematis : 1,85 X1 + 0,7 X2 ≤ 11,15
• Kendala anggaran : tersedia Rp.120.000.000 per tahun
□ Penggemukan sapi : Rp.2.400.000,- per ekor per tahun
□ Budidaya pinus : Rp. 300.000,- per petak tanaman per tahun
Pernyataan matematis : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 6


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

• Kendala waktu kerja : tersedia 200 jam per tahun


□ Penggemukan sapi : 20 jam per ekor per tahun
□ Budidaya pinus : 20 jam per petak tanaman per tahun
Pernyataan matematis : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200
• Kendala kesepakan (kontrak kerja) : minimal 2 ekor sapi per tahun
Pernyataan matematis : X2 ≥ 2
• Kendala non negatif peubah keputusan (semua peubah keputusan minimal bernilai
nol)
Pernyataan matematis : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat ringkasan pernyataan
permasalahan ini sebagai berikut :
Maksimumkan Z untuk Z = 10.000.000 X1 + 5.000.000 X2
dimana X1 = jumlah sapi yang digemukkan (ekor per tahun)
X2 = jumlah tanaman pinus yang dibudidayakan (petak per tahun)
Dengan kendala-kendala sebagai berikut :
a) Lahan : 1,85 X1 + 0,70 X2 ≤ 11,15
b) Anggaran : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000
c) Waktu : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200
d) Kontrak : X2 ≥ 2
e) Non negatif : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0

Kasus 2. Permasalahan Kombinasi antara Pemanenan Kayu dengan


Pemeliharaan Satwa Liar
Sebuah kawasan hutan memiliki luas 12.000 Ha. Sekitar 3.000 Ha dari hutan ini
terletak di lembah yang dilewati sungai dan dipergunakan untuk keperluan tempat
rekreasi, sedang 9.000 Ha sisanya dan digunakan untuk memproduksi kayu disamping
untuk pemeliharaan habitat satwa liar. Sekitar 80% dari lahan hutan ini ditumbuhi pinus
yang dapat dikelola untuk kepentingan pruduksi kayu, sedang 20% diantaranya
merupakan hutan campuran dari jenis daun lebar yang tetap harus dipertahankan untuk
kepentingan perlindungan kehidupan satwa liar yang ada disana. Dinas Kehutanan
setempat berencana untuk mengelola kawasan hutan ini dengan tujuan
memaksimumkan hasil hutan utama berupa kayu secara lestari, tetapi tetap dapat
menjamin terpeliharanya populasi satwa liar di hutan itu sebagai hasil sekunder.
Hasil kayu diharapkan dapat diperoleh dari areal tebangan dengan luas yang relatif sama
setiap tahunnya, melalui penerapan sistem tebang habis.
Melalui inventarisasi petak permanen diketahui pula riap tegakan, dan berdasarkan itu,
ditetapkan ”siklus tebang” selama 30 tahun yang dibagi atas 3 periode penebangan
dimana masing-masing periode penebangan berjangka 10 tahun. Kegiatan dasar
pengelolaan adalah penebangan pada tegakan tertentu dalam setiap periode
penebangan.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 7


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Dari hasil inventarisasi diperoleh data luas dan volume tegakan sebagai berikut :
1. Luas Areal
Tegakan Tipe-1 (Tanaman) = 2.000 Ha
Tegakan Tipe-2 (Tegakan kayu pertukangan tua) = 4.000 Ha
Tegakan Tipe-3 (Tegakan kayu pertukangan lewat masak tebang = 1.200 Ha
Total luas = 7.200 Ha

2. Volume tegakan per Ha


Tipe Volume tegakan saat ditebang (m3 per Ha)
Tegakan
Periode I (0-10 tahun) Periode II (11- 20 tahun) Periode III (21- 30 tahun)
1 30 100 300
2 120 170 200
3 250 220 180

Berdasarkan hasil inventarisasi ditetapkan pula bahwa dalam rangka lebih menjamin
kondisi habitat yang dapat mendukung upaya pelestarian populasi satwa liar yang
ada maka perlu ada pembatasan penebangan pada setiap tegakan dalam setiap
periode penebangan, yaitu masing-masing sebagai berikut : Tipe-1 tidak lebih dari
800 Ha, Tipe-2 tidak lebih dari 1.800 Ha dan Tipe-3 tidak lebih dari 500 Ha.
Identifikasi dan perumusan masalah secara matematis :
a) Pembuat Keputusan : Kadishut
b) Tujuan-Tujuan :
• Memaksimumkan hasil panen kayu secara lestari
• Mengelola habitat untuk pemeliharaan satwa liar

c) Kriteria Tujuan
• Total kayu yang dihasilkan dalam setiap periode penebangan 10 tahunan
sama, selama rotasi tebang (30 tahun)
• Sebaran tegakan menurut umur dan tipe tegakan memenuhi standar untuk
habitat satwa liar
d) Kegiatan dan Peubah Keputusan
X11 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 1
X21 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 1
X31 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 1
X12 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 2
X22 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 2
X32 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 2
X13 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 3
X23 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3
X33 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 8


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Fungsi Tujuan
Maksimumkan Z (Total hasil tebangan dalam m3), untuk :
Z = 30X11 + 120X21 + 250X31 + 100X12 + 170X22 + 220X32 + 300X13 + 200X23 +
180X33
e) Kendala-Kendala :
• Total luas tebangan (Ha) pada setiap tipe tegakan
Tipe-1 : X11 + X12 + X13 ≤ 2.000
Tipe-2 : X21 + X22 + X23 ≤ 4.000
Tipe-3 : X31 + X32 + X33 ≤ 1.200
• Volume hasil tebangan (m3) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : 30X11 + 120X21 + 250X31 = 400.000
Periode 1 (11 – 20 tahun) : 100X12 + 170X22 + 220X32 = 400.000
Periode 1 (21 – 30 tahun) : 300X13 + 200X23 + 180X33 = 400.000
• Luas tebangan (Ha) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 + X21 + X31 = 2.400
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X12 + X22 + X32 = 2.400
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X13 + X23 + X33 = 2.400
• Pembatasan luas penebangan (Ha) per tipe hutan per periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
• Syarat non negatif untuk peubah keputusan :
Xij ≥ 0 , untuk i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3

Perhitungan Volume hasil tebangan per periode penebangan (pada kendala b) :


Periode Luas per Volume Tika kali Total Volume Vol tebangan
Penebangan tipe hutan (m3/Ha) dalam setiap periode per periode
1 1. 2000 30 60.000
2. 4000 120 480.000
3. 1200 250 300.000 840.000 280.000

2 1. 2000 100 200.000


2. 4000 170 680.000
3. 1200 220 264.000 1.144.000 381.333

3 1. 2000 300 600.000


2. 4000 200 800.000
3. 1200 180 216.000 1.616.000 538.667
Jumlah tebangan selama tiga periode 1.200.000
Rata-rata tebangan dalam satu periode 400.000

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 9


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kelompok 2. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang


bersifat mengandung peluang atau beresiko (probabilistic)
Data yang bersifat mengandung peluang adalah data yang memiliki lebih dari satu
nilai dan nilai peluang munculnya setiap nilai diketahui (fungsi sebarannya diketahui).
Dengan demikian nilai tengah dan keragaman nilai data tersebut diketahui.
Contoh : Volume produksi tebangan HPH PT. Silvolestari pada bulan Juli mendatang
sangat dipengaruhi oleh hari hujan pada bulan tersebut, yakni sebagai berikut :
100 m3 apabila jumlah hari hujan kurang dari 10 hari,
80 m3 apabila jumlah hari hujan 10 – 15 hari, dan
50 m3 apabila jumlah hari hujan lebih dari 15 hari.
Berdasarkan data produksi selama beberapa tahun terakhir diketahui bahwa peluang
untuk masing-masing kategori jumlah hari hujan dan volume tebangan adalah masing-
masing sebagai berikut :

Jumlah hari hujan (hh) <10 10 - 15 >15


Volume tebangan (m3) 100 80 50
Peluang (hh) = Peluang (V) 0,2 0,3 0,5
Berdasarkan nilai-nilai pada tabel di atas dapat dihitung parameter keputusan antara lain
sebagai berikut :
Æ Nilai Harapan Volume Tebangan, E(V) = µV = Σ(Vi × pi ) = 100 × 0,2 + 75 × 0,3 + 50 × 0,5
= 20 + 22,5 + 25 = 67,5 m3
Æ Ragam Volume Tebangan : σ2(V) = E(Vi- µV)2 = Σ{pi × (Vi - µV)2}
= 0,2x(100-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2
= 381,25
D = E(V) ± Kxσ(V) : ÆE(V) – K.σ(V) digunakan untuk keuntungan Æ maksimalisasi
ÆE(V) + K.σ(V) digunakan untuk biaya Æ minimalisasi
Kasus
Pada sebuah areal bekas tebangan akan dilakukan penanaman kembali, untuk
menghasilkan tegakan yang bernilai ekonomi tinggi (memberikan NPV yang tinggi).
Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pada areal tersebut terdapat benih-benih
alami tumbuhan semak. Jika tidak dilakukan perlakuan khusus sebelum penanaman
benih-benih tumbuhan semak tersebut akan tumbuh dengan cepat paska penebangan
dan potensil menjadi pesaing bagi bibit tanaman pokok, yang pada akhirnya akan
mempengarui hasil akhir dari tanaman.
Diketahui bahwa keadaan kandungan alami biji-biji semak dalam tanah ada tiga kategori,
masing-masing dengan peluang terjadinya sebagai berikut :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 46


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kandungan s1 (tinggi) s2 (sedang) s3 (rendah)


Peluang 0,20 0,30 0,50
Sehubungan dengan itu terdapat tiga pilihan perlakuan sebelum penanaman, yaitu
masing-masing sebagai berikut :
t1 = semak dibakar, kemudian disemprot dengan herbisida (biaya Rp.1.4jt per Ha)
t2 = semak dibakar tanpa penyemprotan (biaya Rp.600.000,- per Ha)
t3 = tanpa perlakuan (tanpa biaya)
Berdasarkan hasil analisis dengan assumsi biaya, harga dan suku bunga tertentu
diperoleh nilai NPV untuk setiap kombinasi alternatif kegiatan dan keadaan kandungan
biji semak di dalam tanah seperti pada tabel berikut :
Tabel. Nilai NPV (Rp.10.000 per Ha) untuk setiap alternatif perlakuan dan keadaan
kandungan biji semak dalam tanah
NPV pada setiap tingkat kandungan biji semak dlm tanah
Alternatif Perlakuan
s1 s2 s3
t1 20 60 100
t2 -50 80 130
t3 -400 -200 150
Peluang 0,20 0,30 0,50

a. Kriterium nilai harapan


Berdasarkan rumus E(NPV) = µNPV = Σ(NPVi × pi ), dapat dihitung nilai harapan NPV
untuk masing-masing alternatif perlakuan yang hasilnya adalah sebagai berikut :
µNPV(T1) = 20 x 0,20 + 60 x 0,30 + 100 x 0,50 = 72
µNPV(T2) = -50 x 0,20 + 80 x 0,30 + 130 x 0,50 = 79
µNPV(T3) = -400 x 0,20 - 200 x 0,30 + 150 x 0,50 = -65
Solusi optimum berdasarkan kriterium ini adalah perlakuan yang menghasilkan nilai
harapan terbesar atau Maksimum µNPV (72, 79, -65) = 79, yaitu perlakuan t2.

b. Kriteria kombinasi nilai harapan dengan keragaman


Berdasarkan rumus : σ2NPV = E(NPVi- µNPV)2 = Σ{pi . (NPVi - µNPV)2}, dapat diperoleh
ragam dan nilai D yaitu E(NPV) - K x σ2(NPV) untuk K =1
σ2NPV(T1) = 202 x 0,20 + 602 x 0,30 + 1002 x 0,50 - (72)2 = 976
σ2NPV(T2) = -502 x 0,20 + 802 x 0,30 + 1302 x 0,50 - (79)2 = 4.629
σ2NPV(T3) = -4002 x 0,20 -2002 x 0,30 + 1502 x 0,50 - (-65)2 = 51.025

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 47


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Simpangan baku (akar dari ragam)


σNPV(T1) = = 31,241 ; D1 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = 40,759
σNPV(T2) = = 68,037 ; D2 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = 10,963
σNPV(T3) = = 225,887 ; D3 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = -290,887
Dalam perhitungan ini K diassumsikan bernilai 1 atau pengambil keputusan memberi
bobot yang sama untuk nilai tengah dan simpangan bakunya
Solusi optimum berdasarkan kriterium ini adalah perlakuan yang menghasilkan
Maksimum D (40,759 ; 10,963 ; -290,887) = 40,759, yaitu perlakuan t1.
c. Kriterium keadaan masa mendatang yang paling mungkin
Solusi optimum berdasarkan kriterium keadaan yang paling mungkin adalah NPV
terbesar pada kondisi yang memiliki peluang terbesar, yaitu :
Maksimum NPV (100, 130, 150) = 150, yaitu perlakuan t3.

Kelompok 3. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data


yang bersifat tidak pasti (undeterministic)
Data yang bersifat tidak pasti adalah data yang memiliki kemungkinan nilai lebih dari
satu, akan tetapi besarnya peluang bagi munculnya setiap nilai data tersebut, tidak
diketahui.
Contoh : Volume produksi tebangan HPH PT.Silvolestari pada bulan Juli mendatang
adalah 100 m3 apabila jumlah hari hujan pada bulan yang bersangkutan kurang dari 10
hari, 75 m3 apabila jumlah hari hujan pada bulan itu 10 – 15 hari, dan 50 m3 apabila
jumlah hari hujan pada bulan itu lebih dari 15 hari, seperti telah dikemukakan di depan.
Namun besaran nilai p1, p2 dan p3 tidak diketahui, yang diketahui hanya bahwa Σpi = 1
Dalam kasus demikian ini, besaran nilai harapan dan keragaman setiap alternatif
kegiatan atau perlakuan tidak dapat diketahui. Terdapat empat kriteria pengambilan
keputusan sekaitan dengan kasus semacam ini, yaitu :
a. Kriterium Laplace (The Laplace Criterion)
b. Kriterium Minimaks atau Maksimin (the Minimax or Maximin Criterion)
c. Kriterium Minimaks Penyesalan (the Savage Minimax Regret Criterion)
d. Kriterium Hurwicz (the Hurwicz Criterion)

Kriterium Laplace (The Laplace Criterion)


Kriterium ini menggunakan konsep peluang Laplace, yaitu suatu konsep peluang yang
mengacu pada prinsip ketidakcukupan informasi untuk mendasari penentuan nilai
peluang suatu kejadian. Menurut Laplace, apabila kita berhadapan dengan n buah
kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu θ1, θ2, …… θn, dan informasi
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 48
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tentang peluang masing-masing tidak diketahui maka tidak ada alasan untuk
menyatakan bahwa peluang untuk masing-masing kegiatan adalah tidak sama. Atas
dasar itulah, maka menurut prinsip ini, besarnya peluang untuk setiap kejadian adalah
sama yaitu 1/n , sehingga :
p(θ1) = p(θ2) = p(θ3) = .................... = p(θn) = 1/n
Ilustrasi tentang kriterium dapat dilihat pada contoh kasus berikut ini :
Jumlah fasilitas yang harus disediakan suatu perusahan rekreasi harus ditetapkan
berdasarkan tingkat persediaan yang harus tersedia untuk dapat memenuhi kebutuhan
pengunjung (wisatawan) pada setiap hari (atau hari-hari) libur tertentu. Jumlah
konsumen yang akan datang dalam setiap hari libur tidak diketahui secara pasti, akan
tetapi diharapkan akan berkisar antara empat besaran harapan tingkat pengunjung (θ)
yaitu : θ1 = 200 orang, θ2 = 250 orang, θ3 = 300 orang, dan θ4 = 350 orang, dimana
peluang setiap tingkat pengunjung tidak diketahui.
Untuk mengantisipasi setiap kemungkinan banyaknya pengunjung ini dapat dipilih salah
satu dari empat tingkat persediaan fasilitas yang ideal, yaitu jumlah fasilitas yang sesuai
dengan jumlah pengunjung.
Perbedaan antara jumlah fasilitas dengan jumlah pengunjung akan berkonsekuensi pada
pertambahan biaya, baik ketika jumlah fasilitas kurang maupun ketika jumlah fasiltas
berlebih
Misalkan jumlah biaya tambahan yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya
perbedaan tersebut di atas untuk semua kombinasi tingkat persediaan fasilitas (a1 =
rendah, a2 = sedang, a3 = tinggi dan a4 = sangat tinggi) dengan kemungkinan kejadian
tingkat pengunjung (θ1, θ2, θ3, dan θ4) adalah seperti pada tabel berikut :
Tabel. Biaya tambahan (Rp.1jt) untuk setiap kombinasi tingkat persediaan fasilitas dan
tingkat pengunjung harapan
Kategori Pengunjung
Tingkat Persediaan Fasilitas
θ1 θ2 θ3 θ4
a1 5 10 18 25
a2 8 7 8 23
a3 21 18 12 21
a4 30 22 19 15
Berdasarkan prinsip Laplace dapat dihitung nilai harapan biaya untuk setiap alternatif
tingkat persediaan fasilitas adalah :
Alternatif a1 : E(ca1, θ) = ¼ ( 5 + 10 + 18 + 25) = 14,5

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 49


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Alternatif a2 : E(ca2, θ) = ¼ ( 8 + 7 + 8 + 23) = 11,5


Alternatif a3 : E(ca3, θ) = ¼ (21 + 18 + 12 + 21) = 18,0
Alternatif a4 : E(ca4, θ) = ¼ (30 + 22 + 19 + 15) = 21,5
Berhubung karena permasalahan ini adalah permasalahan biaya, maka yang menjadi
keputusan optimal adalah alternatif keputusan yang memberikan jumlah biaya minimal.
Dengan demikian keputusan optimal untuk permasalahan ini adalah :
Minimum (Rp.14,5jt, Rp.11,5jt, Rp.18jt, Rp.21,5jt) = 11,5jt

Kriterium Minimaks (utk biaya) atau Maksimin (utk keuntungan)


Minimaks adalah kependekan dari Minimum-Maksimum, yang bermakna nilai biaya
terendah dari nilai-niali biaya maksimum yang ada. Sedang Maksimin adalah
kependekan dari Maksimum-Minimum, yang bermakna nilai keuntungan maksimum dari
nilai-nilai keuntungan minimum yang ada.
Kriterum Minimaks digunakan juga matriks hasil berisi sejumlah nilai biaya (kehilangan),
sedang Kriterium Maksimin digunakan jika matriks berisi sejumlah nilai keuntungan
(penerimaan).

Kriterium Minimaks
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh kasus ’biaya persediaan
fasilitas (dalam jutaan rupiah)’ yang telah dikemukan sebelumnya, seperti yang tersaji
pada tabel berikut ini

Tingkat Perse- Tambahan Biaya pada setiap Kategori Pengunjung Maks


diaan Fasilitas θ1 θ2 θ3 θ4 {c(ai,θj)}
a1 5 10 18 25 25
a2 8 7 8 23 23
a3 21 18 12 21 21
a4 30 22 19 15 30
Maksimum ( 5, 10, 18, 25) = 25
Maksimum ( 8, 7, 8, 23) = 23 Minimum (25, 23, 21, 30) = 21
Maksimum (21, 18, 12, 21) = 21 ÆKriterium Minimaks
Maksimum (30, 22, 19, 15) = 30
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks adalah a3
(tingkat persediaan fasilitas tinggi)

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 50


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kriterium Maksimin
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan merubah konteks contoh kasus di atas dengan
’tingkat keuntungan atau perolehan bersih dari usaha penyediaan fasilitas (dalam jutaan
rupiah)’, seperti yang tersaji pada tabel berikut ini

Tingkat Perse- Tingkat Keuntungan pada setiap Kategori Pengunjung Min


diaan Fasilitas θ1 θ2 θ3 θ4 {c(ai,θj)}
a1 35 30 22 15 15
a2 32 23 32 20 20
a3 19 22 28 17 17
a4 10 18 21 25 10
Minimum (35, 30, 22, 15) = 15
Minimum (32, 23, 32, 17) = 17 Maksimum (15, 20, 17, 10) = 20
Minimum (19, 22, 28, 19) = 19 ÆKriterium Maksimin
Minimum (10, 18, 21, 25) = 10
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Maksimin adalah a2
(tingkat persediaan fasilitas sedang)
Kriterium Minimaks Penyesalan
Misalkan ada sebuah matriks kehilangan atau matriks biaya (nilai dalam ribuan rupiah)
sebagai berikut :
θ1 θ2 Maksimum {c(ai,θj)}
a1 15.000 6.000 15.000
a2 12.000 12.000 12.000
Melalui penerapan kriterium minimaks terhadap kondisi ini, akan diperoleh kesimpulan
bahwa solusi optimumnya adalah a2 karena oleh Minimum (15.000, 12.000) = 12.000.
Namun secara intuitif kita akan lebih cenderung memilih a1 oleh karena jika yang terjadi
adalah θ2 (θ = θ2) maka kita hanya akan kehilangan 6.000. Sementara itu, kehilangan
yang akan dialami apabila pilihan jatuh pada a2 adalah sebesar 12.000.
Untuk mengatasi ketidakkonsistenan antara kesimpulan berdasarkan kriterium obyektif
dan cara berpikir logis pada permasalahan yang bersifat ekstrim seperti ini, maka perlu
dilakukan modifikasi terhadap matriks asal menjadi matrik baru yang lasim disebut
sebagai matriks penyesalan (regret matrix). Unsur-unsur matriks penyesalan
menyatakan ukuran tingkat penyesalan yang mungkin terjadi / dialami jika kita salah pilih.
Nilai unsur-unsur tersebut dihitung dengan rumus :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 51


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Maksimum c(ak,θj) - c(ai,θj) untuk keuntungan


r(ai,θj) =
c(ai,θj) - Minimum c(ak,θj) untuk kehilangan (biaya)

Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan mariks asal (C) pada
permasalahan penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut :

Nilai C utk ai & θj θ1 θ2 θ3 θ4 Maks {C(ai,θj)}


a1 5 10 18 25 25
a2 8 7 8 23 23
a3 21 18 12 21 21
a4 30 22 19 15 30
Minimum c(ak,θj) 5 7 8 15

Dari matriks asal tersebut dapat dibuat matriks penyesalan R sebagai berikut :
Nilai R utk ai & θj θ1 θ2 θ3 θ4 Maks {R(ai,θj)}
a1 0 3 10 10 10
a2 3 0 0 8 8
a3 16 11 4 6 16
a4 25 15 11 0 25
Maksimum ( 0, 3, 10, 10) = 10
Maksimum ( 3, 0, 0, 8) = 8 Minimum (10, 8, 16, 25) = 8
Maksimum (16, 11, 4, 6) = 16 ÆKriterium Minimaks Penyesalan
Maksimum (25, 15, 11, 0) = 15
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks Penyesalan
adalah a2

Kriterium Hurwicz
Kriterium ini merupakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada sikap yang
berada diantara sikap optimistik dan sikap pesimistik. Sikap optimisktik akan memilih
Kriterium Masksimaks, sedang sikap pesimistik lebih memilih Kriterium Maksimin.
Penerapan Kriterium Hurwicz dilakukan dengan cara memberi bobot pada sikap
optimistik dan sikap pesimistik. Faktor pembobot untuk sikap optimistik adalah α, sedang
faktor pembobot untuk sikap pesimistik adalah 1- α.
Faktor pembobot α disebut indeks optimistik (index of optimism). Nilai α = 1 bermakna
kriterium menjadi sangat optimistik, sebaliknya nilai α = 0 bermakna Kriterium menjadi
sangat pesimistik.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 52


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Kriterium Hurwicz menggunakan besaran H yang diperoleh dengan rumus :


H = α x maksimum c(ai,θj) + (1- α) x minimum c(ai,θj)
Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan data pada permasalahan
penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut :
Alternatif tingkat Min Maks
persediaan fasilitas θ1 θ2 θ3 θ4 c(ai,θj) c(ai,θj) H
a1 5 10 18 25 5 25 15
a2 8 7 8 23 7 23 15
a3 21 18 12 21 12 21 16,5
a4 30 22 19 15 15 30 22,5
Catatan : Nilai H dihitung dengan menggunakan α = 0,5
Solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan Kriterium Hurwicz adalah
persediaan fasilitas pada tingkat a1 atau a2
Davis dan Johnson (1987) menggolongkan kecendrungan cara berpikir para pengambil
keputusan dalam kondisi tidak menentu (decision under uncertainty) atas :
a) Kelompok rasionalis
b) Kelompok optimistik dan pesimistik
c) Kelompok polotikus atau administratur yang bersifat konservatif
a) Kelompok Rasionalis
Para pengambil keputusan yang tergolong dalam kelompok ini berargumen bahwa
keadaan masa depan adalah hal yang belum diketahui, sehingga sangatlah tidak
rasional jika kita menganggap (apalagi menyakini) bahwa sesuatu keadaan memiliki
kecendrungan (kemungkinan) untuk terjadi lebih besar dari pada keadaan lainnya.
Menurut kelompok ini, yang paling rasional adalah anggapan bahwa semua keadaan
yang mungkin terjadi memiliki peluang yang sama. Kelompok ini menggunakan Kriterium
(nilai harapan) Laplace.
b) Kelompok Optimistik dan Kelompok Pesismistik
Kelompok optimistik berpendapat bahwa alternatif apapun yang kita pilih, alam tidak
pernah memiliki keinginan untuk menundukkan (mengalahkan) kita dan karena itu
keadaan paling menguntungkanlah yang akan terjadi pada masa mendatang, sepanjang
kita mengupayakannya. Atas dasar pemikiran demikian ini, kelompok optimistik selalu
memilih alternatif yang memberikan keuntungan maksimum diantara keuntungan
maksimum yang dicapai pada setiap alternatif yang ada (Maksimaks).
Sebaliknya, kelompok pesimistik selalu melihat bahwa kemungkinan paling merugi-
kanlah yang akan terjadi. Akibatnya, kelompok ini cenderung memilih alternatif yang

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 53


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

menghasilkan keuntungan atau kehilangan masksimum dari minimum keuntungan atau


kehilangan yang dicapai pada setiap alternatif yang ada (Maksimin)
c) Kelompok Politikus atau Administratur yang bersifat Konservatif
Kelompok ini sangat kuatir terhadap kemungkinan terjadinya penyesalan akibat
terjadinya suatu kemungkinan keadaan di masa yang akan datang. Berdasarkan cara
berpikir seperti ini, kelompok ini cenderung mengambil keputusan berlandaskan
kemungkinan penyesalan maksimal yang paling minimum (Savage Regret Minimax
Criterion)
Untuk ilustrasi di bawah ini disajikan matriks hasil berupa NPV (Rp.1jt) pada program
penanaman kembali tegakan pinus di suatu wilayah
Perlakuan Tingkat kandungan biji E(NPV)
terhadap lokasi semak dalam tanah Minimum Maksimum peluang sama
penanaman s1 s2 s3 E{g(ai,sj}
a1 20 60 100 20 a) 100 60 c)
a2 -50 80 130 -50 130 53,3
a3 -400 -200 150 -400 150 b) -150
Peluang sama
(p = ⅓) ⅓ ⅓ ⅓

NPV maksimum 20 80 150

Matriks penyesalan untuk permasalahan ini adalah sebagai berikut :


Perlakuan terhadap Tingkat kandungan biji semak dalam tanah Maksimum sj
lokasi penanaman s1 s2 s3 g(ai,sj)
a1 0 20 50 50 d)
a2 70 0 20 70
a3 420 280 0 420
Keputusan optimal untuk setiap klp pengambil keputusan adalah sebagai berikut :
a) Kelompok pesimistik memilih a1 (maksimum dari pendapatan minimum); yaitu
a1. Minimum ( 20, 60, 100) = 20
a2. Minimum ( -50, 80, 130) = -50 Æ Maksimum NPV(20, -50, -400) = 20
a3. Minimum (-400,-200, 150) = -400
b) Kelompok optimistik memilih a3 (maksimum dari seluruh hasil) ; yaitu Maksimum
a1. Maksimum ( 20, 60, 100) = 100
a2. Maksimum ( -50, 80, 130) = 130 Æ Maksimum (100, 130, 150) = 150
a3. Maksimum (-400,-200, 150) = 150

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 54


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

c) Kelompok rasionalis memilih a1 (maksimum nilai harapan NPV dengan peluang sama
untuk setiap sj); yaitu Maksimum E{g(ai,sj}
a1. E ( 20, 60, 100) = 60
a2. E ( -50, 80, 130) = 53,3 Æ Maksimum (60, 53,3, -150) = 60
a3. E (-400,-200, 150) = -150
d) Kelompok politikus memilih a1 (minimum dari kemungkinan penyesalan terhadap nilai
yang bersifat maksimum untuk setiap sj ;
a1. Maksimum (0, 20, 50) = 50
a2. Maksimum (70, 0, 20) = 70 Æ Minimum (50, 70, 420) = 50
a3. Maksimum (420, 280, 0) = 420
Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa keputusan optimal untuk dua kelompok
pengambil keputusan dapat saja sama. Namun patut dicatat bahwa kesamaan tersebut
tidaklah merupakan suatu keharusan tetapi hanya terjadi secara kebetulan.

Kelompok 4. Teknik pengambilan keputusan bertahap ganda


Ketiga kelompok teknik pengambilan keputusan yang diuraikan di muka (decision
under certainty, decision untr risk, & decision under unsertainty) merupakan
pengambilan keputusan satu tahap, dimana pengambilan keputusan hanya dilakukan
satu kali saja yaitu sebelum kegiatan dilakukan. Setelah itu kegiatan dilaksanakan
berdasarkan keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan. Proses keputusan seperti
ini sesuai untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan yang bertujuan untuk
mendapatkan maanfaat yang bersifat lestari atau berkelanjutan. Dimensi waktu
pelaksanaan keputusan dalam hal ini berjangka panjang dengan frekuensi pengulangan
kegiatan diasumsikan tidak terhingga.
Pada sejumlah macam kegiatan proses pengambilan keputusan dapat pula
dilakukan secara bertahap. Keputusan yang diambil pada kesempatan pertama (Tahap-
1) bukanlah keputusan akhir yang harus diikuti sampai keseluruhan kegiatan selesai
dilakukan. Keputusan tahap-2 harus diambil sampai pada tahap kegiatan tertentu dalam
pelaksanaan keputusan tahap-1. Dengan demikian keputusan tahap-2 akan sangat
tergantung pada hasil yang dicapai dalam pelaksanaan keputusan tahap-1 dengan
mempertimbangkan kemungkinan (hasil prediksi) keadaan yang akan terjadi pada masa
mendatang. Proses pengambilan keputusan demikian ini dinamakan proses
pengambilan keputusan bertahap ganda (multi-stage decision process). Teknik yang
dapat digunakan untuk membuat tipe keputusan ini adalah dengan cara membuat
’Pohon Keputusan’ (decision tree).

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 55


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Gambaran tentang pohon keputusan ini dapat diilustrasikan dengan contoh sebagai
berikut (Taha, 1982) :
Sebuah perusahaan akan membangun hutan tanaman (semacam Hutan Rakyat) pada
sebidang lahan. Sekaitan dengan itu, ada dua pilihan, yaitu (1) penanaman seluruh lahan
secara sekaligus atau (2) penanaman sebagian lahan pada tahap-1 untuk kemudian
dikembangkan pada tahap berikutnya.
Keputusan tentang tingkat penanaman ini dibuat berdasarkan tingkat permintaan
terhadap kayu yang akan dihasilkan (besar atau kecil) pada saat pemanenan.
Penanaman seluruh lahan secara sekaligus dapat dibenarkan jika tingkat permintaan
terhadap kayu yang dihasilkan kelak akan tinggi. Sebaliknya apabila tingkat permintaan
kayu nantinya rendah, maka penanaman secara bertahap akan merupakan keputusan
yang optimal, dimana pada tahap-1 dilakukan penanaman pada sebagian kecil lahan,
dan setelah dua tahun dilakukan evaluasi untuk pengambilan keputusan tahap-2, yaitu
apakah penanaman perlu dikembangkan atau tidak. Periode kegiatan ditetapkan 10
tahun.
Proses pengambilan keputusan secara keseluruhan untuk permasalahana seperti ini
dapat digambarkan secara skhematis dalam bentuk pohon keputusan. Untuk dapat
membuat pohon keputusan diperlukan dua macam (tipe) simpul, yaitu :
a) Simpul untuk titik atau proses pengambilan keputusan (decision making process),
dilambangkaan dengan bujur sangkar (▢). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
alternatif kegiatan yang dapat dipilih dan dilambangkan dengan tanda panah (Æ).
b) Simpul untuk menggambarkan kemungkinan keadaan atau kejadian (event chance),
digambarkan dengan lingkaran (o). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
kemungkinan keadaan di masa yang akan datang yang dilambangkan dengan tanda
panah (Æ).
Dengan menggunakan simpul dan lambang tersebut di atas maka selanjutnya dapat
digambarkan hubungan antar alternatif kegiatan dan kemungkinan keadaan di masa
mendatang dalam satu periode keputusan seperti pada gambar berikut ini.
Untuk pembuatan keputusan melalui teknik denah pohon diperlukan informasi tentang :
a) Peluang terjadinya setiap kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu
masa setelah jangka waktu tertentu setelah pengambilan keputusan
b) Biaya dan pendapatan untuk setiap alternatif kegiatan yang akan dipilih
Misalkan untuk contoh permasalahan di atas diketahui bahwa nilai peluang, biaya dan
pendapatan adalah sebagai berikut :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 56


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

a) Peluang terjadinya tingkat permintaan tinggi dan tingkat pendapatan rendah selama
periode usaha (10 tahun ke depan) adalah masing-masing 0,75 dan 0,25

2
   

   
 
1 5
     
   
4
    

    3 6
   
   
   
   

Gambar 3.1. Diagram pohon keputusan untuk permasalahan pembangunan tanaman


Keterangan gambar : = Pengambilan keputusan tahap pertama
= Pengambilan keputusan tahap-2, dua tahun setelah
pengambilan keputusan tahap-1
a = Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus)
b = Pembangunan tanaman skala kecil (bertahap)
c = Pembangunan dikembangkan
d = Pembangunan tidak dikembangkan (diberhentikan)
1) = Tingkat permintahan terhadap hasil tanaman (kayu) tinggi
2) = Tingkat permintaan terhadap hasil tanaman rendah

b) Kebutuhan biaya :
• Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus) : Rp.50 milyar
• Pembangunan tanaman secara bertahap
9 Tahap pertama : Rp.10 milyar
9 Tahap kedua (dua tahun setelah pembangnan tahap pertama) : Rp.42 milyar
c) Prakiraan pendapatan tahunan untuk setiap alternatif kegiatan adalah :
• Pembangunan tanaman skala besar
9 Permintaan tinggi : Rp.10 milyar
9 Permintaan rendah : Rp.3,0 milyar

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 57


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

• Pembangunan tanaman skala kecil tahap pertama


9 Permintaan tinggi : Rp.2,5 milyar per tahun
9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun
• Pembangunan tanaman skala kecil tahap kedua (hasil pengembangan)
9 Permintaan tinggi : Rp.9,0 milyar per tahun
9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun
• Pembangunan tanaman skala kecil tanpa diikuti pengembangan
9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun

2
   

   
 
1 5
     
   
4
    

    3 6
   
   
   
   
   

Gambar 3.2. Diagram pohon keputusan, dilengkapi dengan biaya dan pendapatan

Berdasarkan informasi di atas, maka diagram pohon keputusan untuk permasalahan ini
dapat dilengkapi seperti yang tersaji pada Gambar 3.2.
Berdasarkan nilai-nilai pada diagram keputusan, maka selanjutnya dapat dilakukan
evaluasi pada simpul keputusan tahap pertama dan simpul keputusan tahap kedua.
Selanjutnya keputusan dibuat dengan menggunakan kriterium nilai harapan (untuk
keuntungan bersih).
Evaluasi dilakukan mulai dari tahapan ”bernomor besar” dan secara berturut-turut diikuti
dengan tahapan yang lebih kecil. Untuk permasalahan di atas evaluasi dimulai dari tahap
kedua, baru kemudian dilanjutkan dengan evaluasi tahap pertama.
Evaluasi Tahap Kedua
Evaluasi dilakukan untuk membandingkan penanaman dengan pengembangan dengan
penanaman tanpa pengembangan, pada pembangunan tanaman skala kecil (bertahap).

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 58


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Nilai harapan keuntungan (E) dapat diketahui melalui perhitungan sebagai berikut :
E(keuntungan bersih\ pengembangan) = 8 x (9M x 0,75 + 2M x 0,25) – 42M = Rp.16M
E(keuntungan bersih\ tanpa pengembangan) = 8 (2,5M x 0,75 + 2M x 0,25 ) = Rp.19M
Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan
bahwa penanaman tanpa pengembangan merupakan keputusan optimum pada tahap
Kedua, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.19M

Evaluasi Tahap Pertama


Evaluasi disini dilakukan untuk membandingkan keuntungan bersih pada penanaman
skala besar dengan keuntungan bersih pada penanaman skala kecil yang masing-
masing dapat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
E(keuntungan bersih \ penanaman skala besar) =
10 x (10M x 0,75 + 3M x 0,25) – 50M = Rp.32,5M
E(keuntungan bersih \ penanaman skala kecil) =
[{19M + (2 x 2,5M) x 0,75} + (10 x 2M x 0,25)] – 10M = Rp.13M
Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan
bahwa penanaman dengan skala besar merupakan keputusan optimum pada tahap
pertama, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.32,5M
Hal ini sekaligus bermakna bahwa keputusan tahap kedua tidak diperlukan lagi.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 59


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

2.2 Teknik Pengambilan Keputusan Berdasarkan Informasi yang Sangat


Miminim atau Sama Sekali Tanpa Informasi
Dalam kelompok pengambilan keputusan ini kita berhadapan dengan permasalahan
yang untuk membuat keputusannya sangat sedikit atau bahkan mungkin tidak ada sama
sekali informasi yang dapat dijadikan dasar dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiadaan informasi ini tidak berarti tidak ada sama sekali yang relevan, akan tetapi
informasi yang ada tidak dapat menerangkan langsung atau persis sama dengan
informasi yang diperlukan. Sebenarnya informasi yang kira-kira sama dengan informasi
yang diperlukan tersedia, akan tetapi untuk dapat menggunakannya perlu dilakukan
analogi atau penafsiran-penafsiran agar menjadi sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi. Oleh karenanya untuk membuat keputusan dalam permasalahan yang
dihadapi diperlukan bantuan pakar yang dianggap mengetahui informasi dan
permasalahan yang dihadapi. Pakar yang dimaksud disini dapat berarti pakar yang
lazim dikenal selama ini, yaitu ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknilogi, akan
tetapi dapat pula berarti orang-orang yang memahami betul lokasi dan adat istiadat
masyarakat tempat sumber permasalahan yang dihadapi, atau pihak-pihak yang terlibat
dan berkepentingan atau akan terkena dampak akibat dibuatnya kebijakan sebagai
tindak lanjut dibuatnya kebutusan. Permasalahan yang sesuai dengan ciri-ciri
permaslahan yang memerlukan teknik pembuatan keputusan seperti ini adalah setiap
permasalahan baru yang terbentuk akibat karakteristik lokasinya yang bersifat khusus
(spesifik) atau dapat pula akibat kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk
menyelesaikannya merupakan kegiatan baru.
Tipe permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan, lebih-lebih apabila
pengelolaan berlandaskan pada pendekatan ekosistem (forest ecosystem based
management), sebagian besar akan termasuk ke dalam kategori permasalahan yang
terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem maka
kerangka pendekatan dan tindakan pengelolaan harus berlandaskan pada pengelolaan
yang bersifat adaptif, rumusan-rumusan pengelolaan (prescriptions) dean bentuk-bentuk
tindakan dalam pengelolaan hutan harus disesuaikan dengan keadaan biofisik, ekonomi
dan sosial-budaya spesifik di tempat hutan tersebut berada. Oleh karenanya maka
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutannya akan bersifat spesifik,
berbeda satu dengan lainnya. Dengan demikian, maka jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang berkaitan dengan permaslahan dalam pengelolaan hutan berbasis
ekosistem akan berbeda satu sama lainnya. Beberapa contoh pertanyaan dimaksud
antara lain, adalah :

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 60


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(1) Peubah-peubah apa sajakah yang harus diperhatikan sebagai representasi dari
aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya ekosistem hutan yang akan
dikelola ?
(2) Berapa besar peran (nilai dan tingkat kepentingan) yang diharapkan dari setiap
peubah yang diperhatikan itu harus diberikan untuk mendapatkan tujuan
pengelolaan yang bersifat optimal ?
(3) Kegiatan-kegiatan apa sajakah yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan hutan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ?
Informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu berupa data
empiris hasil berbagai penelitian atau pengalaman, pada tempat-tempat tertentu mungkin
sudah diketahui sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan keputusan
dengan menggunakan teknik pengambilan keputusan yang sudah dibicarakan. Akan
tetapi pada sebagian besar lokasi hutan(dengan karakteristik yang bersifat spesifik) bisa
dipastikan belum banyak diketahui. Sebagaimana telah diutarakan di muka,
penyelesaian permasalahan seperti ini dapat dipergunakan dengan bantuan pakar.
Ada banyak permasalahan mendasar yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan
keputusan dengan bantuan pakar, misalnya :
(1) Kelompok-kelompok mana saja yang harus dilibatkan sebagai pakar dalam proses
pengambilan keputusan agar kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap
permasalahan yang dihadapi terwakili ?
(2) Berapa banyak dan bagaimana cara pemilihan tokoh pakar yang akan dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan agar persepsi, harapan dan keinginan
masyarakat dalam setiap kelompok tersebut terwakili? Dan banyak lagi
permasalahan dasar seperti ini !
Permasalahan-permasalahan dasar seperti itu banyak dibahas dalam sejumlah buku-
buku teks bidang sosial, dan secara khusus dalam Metode Penelitian Sosial. Dalam
kaitan dengan Ilmu Perencanaan Hutan salah satu teknik pengambilan keputusan yang
digunakan adalah teknik pengambilan keputusan multikriteria, yang disebut teknik
Analitic Hierarchy Process (AHP)
Proses pengambilan keputusan dengan melibatkan pakar sebenarnya dapat dilakukan
dengan cara diskusi atau pengambilan suara terbanyak (voting). Namun kedua cara ini
dapat bersifat tidak obyektif apabila terjadi dua hal sebagai berikut :
(1) Sikap atau perhatian para pakar yang terlibat berbeda-beda. Sikap dan perhatian
pakar terhadap permasalahan yang dibahas akan menentukan kegigihan, atau
bahkan tingkat kengototan pakar dalam diskusi. Padahal dalam diskusi,
kesimpulan-kesimpulan diskusi akan sangat ditentukan oleh pendapat pakar-pakar
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 61
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

yang cenderung lebih gigih dari pada pakar yang bersikap pasif karena kurang
tertarik pada permasalahan yang didiskusikan, walaupun pakar yang termaksud
terakhir ini sebenarnya lebih mengetahui dan lebih memahami permasalahan dari
pakar yang aktif dan gigih. Apabila keadaan ini terjadi maka kesimpulan diskusi
dapat bersifat tidak obyektif oleh karena akan berbias kepada pengetahuan,
pemahaman dan kepentingan kelompok pakar yang aktif dan gigih tetapi
sebenarnya kuran memahami permasalahan yang dibahas.
(2) Pengetahuan, pemahaman terhadap informasi serta daya nalar para pakar sangat
beragam dengan perbedaan yang sangat besar. Keadaan kumpulan pakar seperti
ini akan menjadi kelemahan dalam proses pengambilan keputusan dengan prinsip
suara terbanyak (voting). Dalam pengambilan keputusan dengan suara terbanyak,
prinsip dasar yang lazim dianut adalah one-man one-vote, sehingga suara dihitung
dalam pengambilan keputusan sama untuk semua pakar. Akibatnya, kualitas
kebutusan akan berbias terhadap persepsi, pengetahuan, pemahaman dan
kepentingan pakar yang sebetulnya tidak menguasai permasalahan yang dihadapi.
Besarnya nias yang terjadi tentu akan bergantung pada proporsi anggota-amggota
pakar yang terdapat dalam setiap kelompok, yaitu pakar yang menguasai dan yang
tidak menguasai permasalahan yang dihadapi, yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua kelemahan dalam proses
pengambilan keputusan sebagaimana diutarakan di muka adalah dengan menggunakan
metode AHP.
Metode AHP dikembangkan oleh Prof. Thomas Saaty, guru besar di Wharton School,
University of Pensylvania pada tahun 1972 (Saaty, 1990). Saat pertama kali
mengembangkan metode ini pada saat ia bekerja untuk menyusun Rencana Kontingensi
(contingency planning) untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat (1971) dan
kemudian dikembangkan dalam penerapan metode ini untuk menentukan rancangan
alternatif masa depan dalam pembangunan di negara berkembang (Sudan).
Menurut Saaty (1990) hirarki adalah sebuah abstraksi dari struktur sistem yang dibuat
untuk mempelajari interaksi fungsional antar komponen-komponen di dalam sistem
berikut dampaknya pada keseluruhan sistem. Dalam kuliah Ilmu Perencanaan Hutan,
kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa kemampuan dalam menyusun
hirarki permasalahan untuk permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam bidang
pengelolaan hutan. Contoh-contoh penyelesaian program matematik dari hirarki
permasalahan akan dibahas dalam praktikum. Mahasiswa yang ingin mengetahui
metode ini secara lebih mendalam dapat membaca buku teks asli (Saaty, T.L 1990.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 62
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Multicriteria Decision Making : the analytic hierarchy process university of Pittsburg,


Pittsburg).
Uraian berikut adalah butir-butir penting mengenai : aksioma, langkah-langkah dan
contoh penggunaan AHP sebagaimana diuraikan oleh Saaty (1980) yang ringkasannya
dibuat oleh Mahi (tanpa tahun) yang disarikan dan diperkaya lebih lanjut oleh penyusun.
1) Aksioma dalam AHP

a) Aksioma resiprokal
AHP berlandaskan kepada matriks perbandingan berpasangan (pairwais comparative
matrix) dari variabel-veriabel (kriteria) yang diperhatikan. Dengan aksioma repsiprokal
dimaksudkan bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus kebalikan
Apabila variabel-variabel yang diperhatikan adalah A, B dan C maka perbandingan
berpasangan yang terbentuk adalah A vs B, A vs C dan B vs C. Sifat resiprokal
perbandingan A vs B berarti : apabila diketahui A merupakan variabel yang dinilai
memiliki tingkat kepentingan5 (lima) kali tingkat kepentingan B, maka dikatakan A vs B =
5. Sebaliknya, tentu saja tingkat kepentingan B menjadi 1/5 kali tingkat kepentingan A
atau B vs A = 1/5. Hal yang sama berlaku untuk pasangan variabel yang lain
b) Aksioma homogenitas
Matriks perbandingan berpasangan berisi unsur-unsur (nilai) yang merupakan hasil
perbandingan tingkat kepentingan peran setiap variabel dalam menetapkan skenario
(alternatif) kegiatan untuk mencapai tujuan utama. Dalam membuat perbandingan antar
variabel ini, harus dipergunakan ukuran yang sama dan relevan. Sebagai contoh, untuk
membandingkan tingkat kepentingan variabel jenis pohon jati dengan jenis pohon pinus
dalam mendukung fungsi hutan untuk mencegah erosi tanah, misalnya, harus
diperbandingkan sistem perakaran kedua jenis pohon itu. Perbandingan harga (Rp/m3)
kayu dari kedua jenis pohon ini tidak relevan untuk menerangkan tujuan ini. Akan tetapi
variabel harga kayu ini menjadi relevan apabila tujuannya adalah untuk mendapatkan
keuntungan bersih dari hasil penjualan kayu dari hutan yang dikelola.
c) Aksioma ketergantungan
Hirarki dalam AHP merupakan alat utama yang diperlukan untuk membuat matriks
perbandingan berpasangan untuk mendapatkan solusi optimal dari permasalahan yang
dihadapi. Hirarki dalam AHP umumnya terdiri atas banyak tingkat (level) dari tujuan
utama (level 1) sampai skenario alternatif kegiatan sebagai jawaban permasalahan yang
dihadapi (level k, k ≥ 2). Diantara level 1 dengan level k, terdapat level 2, level 3
.................. level k-2, dan level k-1. Banyaknya level yang terdapat dalam sebuah

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 63


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

hirarki tergantung kepada permasalahan yang dihadapi serta kerangka pemikiran yang
dikembangkan oleh pembuat keputusan dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Aksioma ketergantungan mengandung arti bahwa antara setiap variabel pada setiap
level dalam setiap hirarki harus terdapat keterkaitan walaupun tidak selamanya harus
merupakan hubungan antar level yang bersifat sempurna. Hubungan antara dua level
yang berurutan dikatakan sempurna apabila variabel (unsur) dalam level tertentu (level k)
memiliki hubungan dengan seluruh variabel (unsur) yang terdapat dalam level satu
tingkat lebih rendah (level k+1). Catatan : penomoran level dalam hirarki dilakukan
dengan memberi lambang level 1 pada level yang paling tinggi (tujuan utama), sedang
level yang paling rendah diberi lambang level k (k > 1)
d) Aksioma ekspektasi (harapan)
Unsur-unsur dalam matriks perbandingan berpasangan merupakan nilai-nilai skor
tingkat kepentingan suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain secara
berpasangan. Dengan aksioma ekspektasi dimaksudkan bahwa nilai-nilai yang diberikan
oleh anggota pakar yang terlibat tersebut merupakan ekspresi dari harapan, persepsi
atau keinginan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dengan demikian maka nilai
yang dihasilkan tidak dituntut untuk terlalu rasional, atau bahkan mungkin bersifat
subyektif. Yang dituntut adalah konsistensi hasil penilaian dari setiap pakar. Konsistensi
hasil penilaian ini diukur berdasarkan konsistensi hasil perbandingan antar variabel-
variabel yang diperhatikan. Misalkan ada tiga variabel A, B dan C yang akan
dibandingkan ; jika A tiga kali lebih penting dari B (A vs B =3) dan B dua kali lebih
penting dari C (B vs C = 2), maka hasil perbandingan dikatakan sangat konsisten jika A
enam kali lebih penting dari C (A vs C = 6). Pada kenyataannya, sangat sulit untuk
melakukan perbandingan yang benar-benar konsisten karena banyaknya variabel yang
harus diperhatikan. Karena itu, dalam AHP dikembangkan sebuah uji numerik untuk
mengukur tingkat konsistensi hasil perbandingan anggota pakar.

2) Langkah-langkah AHP
a) Dekomposisi
Pengambilan keputusan dalam suatu permasalahan pada dasarnya merupakan
upaya untuk menentukan alternatif tindakan atau kegiatan (upaya) yang bersifat optimal
(optimum solution) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan akhir yang ingin
dicapai dalam AHP disebut tujuan utama. Antara tujuan utama dengan tujuan skenario
alternatif solusi dihubungkan oleh langkah-langkah kriteria pengambilan keputusan.
Setiap langkah kriteria pengambilan keputusan ini dinamakan level (tingkatan) yang
terdiri dari beberapa variabel sebagai unsur dari kriteria tersebut. Dalam AHP, level di
bawah tujuan utama (level 1) atau level 2 dinamakan khusus sebagai kriteria, sedang
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 64
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

level di bawahnya (level 3) dinamakan sub-kriteria, dan level di bawahnya lagi (level 4)
dinamakan su-sub kriteria, begitu seterusnya. Level terendah adalah skenario alternatif
solusi permasalahan yang dihadapi. Level-level yang terbentuk ini harus memiliki
keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini dinyatakan dalam bentuk hubungan antar
unsur dalam dua level yang berurutan. Jaringan antar level dari keseluruhan yang
terdapat dari suatu permasalahan yaitu dari tujuan utama (level teratas atau level 1)
samapai level terendah, yaitu skenario alternatif solusi dinamakan hirarki permasalahan
atau biasa disebut hirarki.
Memilih alternatif solusi
Level 1 : Tujuan Utama terbaik / optimum

Level 2 : Kriteria K1 K2 K3

Level 3 : Alternatif solusi Solusi 1 Solusi 2

Gambar 1. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang lengkap (hirarki lengkap)

Berdasarkan sifat hubungan antar unsur dalam setiap level yang terdapat dalam sebuah
hirarki, hirarki permasalahan dapat dikategorikan kedalam hirarki lengkap dan hirarki
tidak lengkap. Hirarki lengkap adalah hirarki yang terbentuk oleh level-level hirarki yang
setiap komponen dalam setiap level tertentu berhubungan (tergantung) dengan seluruh
kompenen yang terdapat dalam level satu tingkat di bawahnya (level 1 dengan level 2,
level 2 dengan level 3 dst). Apabila tidak semua komponen dalam level tertentu
berhubungan dengan seluruh komponen dalam level satu tingkat di bawahnya, maka
hirarki permasalahan, dinamakan hirarki tidak lengkap.
Langkah-langkah kegiatan dalam tahapan dekomposisi untuk membuat hirarki
permasalahanadalah sebagai berikut :
(1) Menetapkan tujuan utama dari permasalahan yang dihadapai
(2) Menetapkan alternatif solusi (kegiatan, barang, harapan) yang ditetapkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(3) Menetapkan kriteria dan komponen-komponen dalam kriteria (indikator, variabel)
yang akan digunakan untuk menetapkan alternatif solusi yang akan dipilih (solusi
optimal). Apabila diperlukan maka kriteria ini dapat dipecah lagi ke dalam sub
kriteria, sub-sub kriteria, dst

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 65


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(4) Menetapkan hubungan antar kompenen dalam setiap level dengan komponen pada
level di bawahnya
(5) Menggambarkan keseluruhan jaringan antara tujuan utama, kriteria (sub kriteria,
sub-sub kriteria, dst, apabila diperlukan) dan skenario alternatif solusi dalam bentuk
suatu hirarki permaslahan.

Memilih alternatif solusi


Level 1 : Tujuan Utama
terbaik / optimum

Level 2 : Kriteria K1 K2 K3

Level 3 : Alternatif solusi Solusi 1 Solusi 2

Gambar 2. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang tidak lengkap (hirarki yang
tidak lengkap)

b) Pembentukan Matriks Perbandingan Berpasangan


PCM (Pairwais Comparative Matrix) merupakan sebuah matriks segi berukuran
sama dengan jumlah komponen dalam sebuah kriteria. Jadi PCM dibuat untuk setiap
kriteria dan apabila jumlah komponen dari suatu kriteria adalah p, maka ukuran PCM
adalah p x p. Unsur dalam PCM adalah hasil penilaian berpasangan (dua-dua) dari
setiap komponen yang terdapat dalam setiap kriteria. Nilai perbandingan merupakan
bobot tingkat kepentingan (peran) suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain
dalam kriteria yang sama dalam penetapan alternatif solusi yang ditetapkan. Dalam AHP
bobot kepentingan variabel dinyatakan dalam nilai skor sebagai berikut :
1 = sama pentingnya 3 = sedeikit lebih penting 5 = agak lebih penting
7 = jauh lebih penting 9 = mutlak lebih penting
Skor 2, 4, 6 dan 8 merupakan ukuran tingkat kepentingan di antara nilai-nilai di atas.
Tahapan pembentukan PCM yang diperlukan untuk menentukan alternatif optimal
dengan metode AHP adalah :
(1) Pembuatan PCM antar komponen dalam setiap kriteria untuk menentukan besarnya
bobot setiap variabel (komponen) kriteria dalam menentukan macam alternatif solusi
yang akan dipilih

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 66


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

(2) Pengujian tingkat kekonsistenan unsur-unsur dalam PCM


(3) Pembuatan PCM untuk menentukan nilai setiap variabel dalam kriteria untuk setiap
alternatif solusi yang akan dipilih
(4) Melakukan sintesa antara PCM untuk menentukan bobot kepentingan variabel
kriteria (PCM1) dengan solusi yang dibuat (PCM2), dengan tahapan sbb :
(a) Tentukan vektor ciri dari PCM1, sehingga diperoleh vektor bobot kepentingan
setiap variabel dalam kriteria, misalkan V (Catatan : apabila PCM1 berukuran p x
p, maka vektor ciri V akan berukuran p x 1)
(b) Kalikan PCM2 dengan vektor V, sehingga diperoleh vektor S yang merupakan
skor tingkat prioritas pilihan untuk setiap alternatif solusi yang dibuat. Dari vektor
ini dapat ditentukan solusi optimal, yaitu alternatif solusi yang memiliki nilai skor
tertinggi.
Apabila PCM2 = M dengan jumlah baris q ( q = jumlah alternatif solusi) dan jumlah lajur p,
maka :
1

  .2  
1 1
.

S1, S2, ...... Sq = Skor untuk tingkat prioritas alternatif ke-1, ke-2 ........... dan ke-q
Skor Si dinyatakan dalam nilai proporsi (0≤Si≤1; untuk i = 1, 2, ..., q); ∑Si = 1.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 67


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

B. Identifikasi Alternatif Kegiatan dalam Pengelolaan Hutan


Alternatif kegiatan pengelolaan hutan sangat tergantung dan melekat pada
tujuan pengelolaan yang ingin diwujudkan. Dengan kata lain, solusi optimal bagi alternatif
tujuan (maksimum atau minimum fungsi tujuan) akan menentukan atau melandasi
alternatif kegiatan yang akan dilaksanakan. Solusi optimum dari suatu permasalahan
pengelolaan hutan, sekaligus dapat memberi gambaran atau mencerminkan kuantitas,
kualitas dan atau nilai dari tujuan yang dapat diwujudkan melalui rangkaian alternatif
kegiatan yang dipilih dan dtitetapkan untuk dilaksanakan. Sekaitan dengan itu, suatu hal
yang perlu diketahui adalah bagaimana melakukan identifikasi terhadap semua alternatif
kegiatan yang mungkin untuk sampai pada penentuan kegiatan yang terpilih untuk
dilaksanakan.
Uraian berikut membahas tentang proses identifikasi alternatif-alternatif
kegiatan atau rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan tujuan
pengelolaan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, tujuan (tujuan-tujuan) pengelolaan
hutan yang telah ditetapkan akan mendasari pelaksanaan identifikasi semua alternatif
kegiatan atau rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan dan sekaligus menjadi dasar
dalam memilih dan menetapkan kegiatan yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan
(tujuan-tujuan) pengelolaan. Berikut ini diberikan beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka identifikasi semua alternatif kegiatan atau rangkaian
kegiatan yang mungkin dilakukan dan pemilihan atau penentuan kegiatan atau rangkaian
kegiatan yang dinilai dapat menjamin optimalisasi pencapaian tujuan pengelolaan hutan.
1. Kesejalanan (relevansi) dengan tujuan khusus
Sebuah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dipilih untuk dilaksanakan dalam
rangka mencapai tujuan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan, haruslah merupakan
kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakini dapat menjamin pencapaian tujuan
pengelolaan tersebut secara optimum. apabila kegiatan atau rangkaian kegiatan tersebut
memiliki hubungan ketergantungan yang kuat dengan tujuan yang bersangkutan. Hal ini
mengindikasikan bahwa jika suatu tujuan ataupun rangkaian tujuan pengelolaan telah
ditetapkan maka alternatif kegiatan yang dapat dipilih untuk dilaksanakan menjadi lebih
terbatas, yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang memang mendukung upaya
pencapaian tujuan termaksud secara optimal. Contoh : jika pengelolaan sebuah hutan
lindung terutama diperuntukkan atau ditujukan bagi perlindungan permukaan tanah dari
erosi yang melebihi tingkat erosi diperkenankan, maka kegiatan-kegiatan yang potensil
menyebabkan penurunan luas penutupan tajuk tegakan, seperti penebangan, harus
dihindari atau tidak dapat ditetapkan sebagai kegiatan pengelolaan hutan yang akan
diterapkan. Untuk itu perlu diidentifikasi kegiatan lain yang lebih sesuai dan atau
mendukung tujuan pengelolaan hutan, seperti budidaya tanaman obaat-obatan di bawah

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 33


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

tegakan hutan, budidaya lebah madu, dan atau pengembangan kawasan rekreasi pada
bagian-bagian kawasan tertentu.
Informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan tujuan khusus dalam
pengelolaan hutan dapat diperoleh melalui hasil-hasil penelitian ilmiah atau berdasarkan
pengalaman di tempat lain, atau berdasarkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan.
Dalam pegelolaan hutan berbasis ekosistem, alternatif kegiatan yang dipilih haruslah
merupakan alternatif kegiatan yang sudah teruji secara ilmiah melalui penelitian yang
bersifat dinamis dan iteratif di tempat itu, sehingga kegiatannya akan bersifat spesifik dan
sesuai dengan karasteristik biofisik ekosistem hutan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat setempat. Keterujian kegiatan yang dipilih juga harus didasarkan pada
umpan balik (feed back) dari komponen ekosistem hutan setempat terhadap setiap
perlakuan yang dicobakan atau diteliti, yang dapat dilakukan melalui suatu pendekatan
sistem dengan teknik simulasi.
2. Kelengkapan informasi setiap kegiatan
Setiap kegiatan atau teknologi yang terpilih untuk diterapkan, harus memenuhi syarat-
syarat kelayakan, baik dari aspek ekologi dan aspek teknis, maupun dari aspek ekonomi
dan sosial. Untuk menilai kelayakan kegiatan tersebut, diperlukan berbagai informasi
dasar yang berkenaan dengan peranan kegiatan dalam mendukung upaya pencapaian
tujuan, beserta dampaknya terhadap lingkungan. Informasi dasar ini dapat diperoleh
melalui publikasi hasil penelitian ilmiah, pengalaman-pengalaman di tempat lain dan
kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan yang dipilih untuk diterapkan
seharusnya merupakan kegiatan yang memang layak, dimana penilaian kelayakan
termaksud didasarkan pada informasi tentang berbagai aspek yang lengkap. Kegiatan
atau pilihan teknologi yang dinilai akan relevan dengan tujuan yang ditetapkan, serta
layak secara ekologis, teknis ekonomi, dan sosial, tetapi masih belum teruji
kebenarannya, sebelum diterapkan terlebih dahulu perlu diuji melalui kaji tindak (pilot
project) di tempat atau lokasi pengelolaan
3. Kesejalanan dengan norma, tata nilai dan kepentingan masyarakat lokal
Pengelolaan hutan, pada hakekatnya, diharapkan dapat menunjang peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Sehubungan dengan itu, teknologi atau
kegiatan pengelolaan hutan harus diupayakan untuk tidak menimbulkan gejolak sosial
dalam masyarakat setempat, yaitu melalui upaya-upaya menselaraskan setiap kegiatan
atau teknologi yang dipilih dengan norma, tata nilai dan kebutuhan atau kepentingan
masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian, informasi mengenai sistem nilai dan
kepentingan atau kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat sangat penting untuk
diketahui oleh pihak pengelola atau pihak perencana dan pelaksana kegiatan-kegiatan
pengelolaan. Informasi termaksud dapat diperoleh melalui pelaksanaan survei sosial dan

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 34


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

hasilnya harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan sangat


diperlukan. Sejalan dengan itu, pemahaman dan penguasaan tentang kegiatan atau
teknologi yang diterapkan beserta potensi dampaknya merupakan suatu keharusan bagi
perencana dan pelaksana kegiatan pengelolaan. Pemahaman dan penguasaan tentang
dampak dari kegiatan atau teknologi yang diterapkan akan memungkinkan pengelola
merumuskan langkah-langkah atau strategi yang dapat diambil untuk memaksimalkan
dampak positif dan sebaliknya meminimalkan atau jika mungkin menghindari dampak
negatif yang potensil muncul dalam penerapan teknologi atau pelaksanaan kegiatan
pengelolaan yang bersangkutan. Terkait dengan hal ini, kegiatan-kegiatan yang dapat
membuka / memperluas lapangan pekerjaan dan atau peluang berusaha bagi
masyarakat di sekitar hutan seharusnya diberi skala prioritas yang tinggi dalam pemilihan
kegiatan pengelolaan hutan.

C. Preskripsi Pengelolaan Hutan


Sebuah preskripsi (prescription =resep) pengelolaan hutan adalah suatu
rangkaian uraian lengkap mengenai tujuan khusus (objective), tata waktu kegiatan atau
aktivitas (treatment schedule), dan perkiraan atau proyeksi hasil (projection).
Preskripsi pengelolaan hutan merupakan unsur penting yang mutlak harsu ada
agar perencanaan pengelolaan hutan dapat dibuat. Tanpa ada preskripsi pengelolaan
hutan yang rinci dan tegas, maka gambaran mengenai kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan untuk melaksanakan pengelolaan hutan tidak akan dapat didefenisikan dengan
baik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa proses pengambilan keputusan yang
dilakukan dalam rangka perencanaan pengelolaan hutan adalah untuk mendapatkan
preskripsi pengelolaan hutan yang akan diterapkan dalam suatu kesatuan pengelolaan
hutan.
Menurut Davis dan Johnson (1987), untuk dapat membuat preskripsi
pengelolaan hutan yang terandalkan, maka kita harus mampu untuk menduga atau
memperkirakan secara kuantitatif mengenai sifat-sifat tegakan hutan di masa yang akan
datang dari seluruh tegakan hutan yang telah ada sekarang maupun tegakan baru hasil
penanaman kembali (regenerasi). Tanpa informasi kuantitatif hasil dugaan keadaan
tegakan tersebut, kita tidak akan pernah mengetahui apakah tujuan khusus yang telah
kita tetapkan akan dapat dicapai atau tidak.
Untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk preskripsi kegiatan dalam
pengelolaan hutan, dapat dipelajari tiga contoh preskripsi tegakan hutandan proyeksi
pertumbuhannya dalam pengelolaan hutan dengan tujuan utama menghasilkan kayu
secara lestari yang dibuat oleh Davis dab Johnson (1987), sebagaimana diuraikan
berikut ini.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 35


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Tiga buah preskripsi pengelolaan hutan ini dibuat untuk tegakan pinus yang
bersifat hipotetis untuk memberikan illustrasi yang rinci dan lengkap dalam penyusunan
preskripsi dan proyeksi keadaan tegakan dan hasil di mas yang akan datang. Deskripsi
keadaan tegakan hutan pinus adalah sebagai berikut :
Keadaan tegakan hutan pada saat ini terdiri atas tegakan-tegakan :
a. Lahan terbuka bekas tebangandengan sistem tebang habis
b. Tegakan permudaan secara alami
c. Tegakan berumur 60 tahun dengan indeks tempat tumbuh 80 ft (sekitar 24 m) pada
umur dasar 25 tahun (catatan : indeks tempat tumbuh = peninggi tegakan pada umur
dasar tertentu. Untuk tegakan pinus di Amerika Serikat umur dasar ditetapkan 25
tahun)
Dalam tegakan rata-rata terdapat 12 pohon (per hektar) pinus berukuran besar
untuk kayu gergajian, 35 pohon (per hektar) pinus berukuran sedang (tiang), serta
permudaan pinus dan kayu dalam lebar. Secara keseluruhan, 60% dari tegakan hutan
yang ada ditumbuhi oleh pinus. Proyeksi hasil ditetapkan untuk priode 60 tahun.
Untuk keadaan tegakan seperti itu, dapat dibuat tiga alternatif preskripsi
pengelolaan hutan hipotetis sebagaimana diuraikan berikut ini

Preskripsi 1
a. Tujuan pemilik lahan hutan : menyediakan kayu pulp untuk pasokan ke pabrik pulp
miliknya
b. Perlakuan (uraian kegiatan)
Menebang habis secara serentak seluruh tegakan umure tua yang ada, persiapan
lahan (sebelum penanaman kembali) berupa pemotongan dan pembakaran sisa-sisa
kayu, penanaman dengan jarak 10 ft x 10 ft dengan jenis pinus, tanpa perlakuan antara,
tebang habis pada umur 20 tahun
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 2005 2025 2045
1. Umur tegakan sebelum panen (tahun) 60 20 20 20
2. Umur tegakan setelah panen (tahun) 0 0 0 0
3. Volume hasil panen (cords / acre) 12 20 20 20
Catatan : 1) Cord = satuan volume untuk kayu bakar
1 cord = 128 cubic feet = 3,6 m3 ; suatu tumpukan kayu berukuran
8 feet x 4 feet x 4 feet = 2,4 m x 1,2 m x 1,2 m
2) 1 acre = 0,405 hektar

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 36


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Preskripsi 2

a. Tujuan pemilik lahan hutan : menjual tegakan kayu gergajian. Menyediakan tempat
berburu burung, menerapkan pengelolaan intensif.
b. Perlakuan (uraian kegiatan) :
Tebang habis secara serentak seluruh tegakan umur tua yang tersedia, penyiapan
lahan untuk penanaman kembali dengan cara :
• pemotongan sisa-sisa pohon, penumpukan potongan kayu, dan pembakaran,
• pembajakan dan penanaman dengan jarak tanam 7ft x 7ft dengan jenis pinus,
• penggunaan herbisida untuk tumbuhan pengganggu,
• penjarangan pertama pada umur 10 tahun (non-commercial thinning),
• penjarangan untuk menghasilkan kayu serat dan kayu pertukangan pada umur
20 tahun, 30 tahun, 40 tahun dan 50 tahun,
• tebang akhir pada umur 60 tahun.
• pengulangan pembakaran untuk mengurangi bahan bakar dalam hutan, dan
• pemeliharaan habitat burung setiap 5 tahun sejak tegakan berumur 10 tahun.

c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045

1. Umur tegakan (tahun) 60/0 10 20 30 40 50 60


2. Hasil inventarisasi (sebelum panen)
a. Kayu pertukangan (Mbdft/acre) 6 0 2 10 18 23 25
b. Kayu pulp atau kayu serat (cord / acre) 8 4 13 18 16 10 6
c. Rata-rata DBH tegakan (inch) 9 4 12 16 19 22 25
3. Hasil Panen
a. Kayu pertukangan (Mbdft/acre) 6 0 0 0 3 5 25
b. Kayu pulp atau kayu serat (cord / acre) 8 0 3 10 10 6 6
4. Hasil burung yang dapat dipanen (*) 0,01 0,05 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02

Catatan : 1 Mbft = 1 x 1.000 x 1 ft2 x 1 inch = 0,3048 m3 x 2,54 cm = 7,74 m2


1 Mbdft / acre = 19,11 m3 / ha
(*) = kawanan burung berisi 20 ekor / acre

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 37


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Preskripsi 3
a. Tujuan pemilik lahan (lahan merupakan milik publik) :
Menyediakan jasa sosial ekosistem hutan berupa kombinasi terbaik berbagai hasil
yang dapat diperoleh. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, diperlukan adanya
pohon-pohon besar dan pengelolaan hutan untuk tegakan tidak seumur agar diperoleh
keragaman jenis satwa liar yang tinggi.

b. Perlakuan (uraian kegiatan)


Bekerja berdasarkan tegakan yang ada pada saat ini. Pembersihan terhadap
tegakan awal, penyelamatan dari kebakaran hutan (melalui pembersihan serasah agar
mengurangi bahan bakar), penjarangan yang bersifat tidak komersial. Pemeliharaan
terhadap tegakan dengan komposisi 60% pinus dan 40% kayu daun lebar. Tebang
habis pada areal-areal yang sempit (berukuran 1 sampai 2 acre atau sekitar 0,405
sampai 0,810 hektar), dan regenerasi secara alami. Melakukan pembakaran terkendali
untuk pengendalian bahan bakar dalam hutan, peningkatan kualitas habitat satwa liar,
dan pengendalian kayu daun lebar.
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045

1. Umur tegakan (tahun) 60 70 80 90 100 100 100


2. Hasil inventarisasi
a. Kayu pertukangan pinus (Mbdft/acre) 6 9 11 12 14 13 14
b. Kayu pertukangan daun lebar (Mbdft/acre) 0 1 3 4 5 7 6
c. LBDS tegakan pinus (inch / acre) 40 55 75 80 95 85 90
d. LBDS tegakan daun lebar (inch / acre) 5 10 20 25 20 40 50
3. Hasil Panen
a. Pinus (Mbdft/acre) 0 2 2 0 4 5 2
b. Kayu Pertukangan (Mbdft/acre) 0 1 0 0 2 1 3
c. Kayu serat (cord / acre) 0 5 5 0 6 4 4
4. Hasil lain-lain
a. Kayu bakar ( ton / acre ) 30 20 18 15 15 15 15
b. Produksi ternak (AUMs / acre) 0,10 0,15 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
c. Indeks keragaman habitat (skala 1 - 10) 6 6 7 7 7 8 8
d. Kualitas relatif habitat rusa (skala 0 - 1) 0,6 0,5 0,5 0,4 0,3 0,3 0,3
e. Kualitas relatif habitat burung (skala 0 - 1) 0,2 0,3 0,3 0,4 0,5 0,5 0,6
f. Kualitas keindahan visual (skala 1 - 10) 5 5 6 6 7 7 7
Catatan : AUM = Animal Unit Months

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 38


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Dari ketiga ilustrasi di atas dapat diperoleh beberapa kunci dalam menyusun sebuah
preskripsi dalam pengelolaan hutan, yaitu :
1. Jumlah rincian informasi, ukuran kuantitatif, keragamannya dan tingkat kompleksitas
informasi yang diprediksikan tergantung pada tingkat kepuasan pengelola (pemilik
atau pemegang hak). Makin tinggi tingkat kepastian gambaran hasil yang
dikehendaki, makin rinci informasi yang diperlukan
2. Jumlah rincian informasi dan ukuran kuantitatif yang diperlukan tergantung pada
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan. Makin spesifik atau makin sempit tujuan
pengelolaan yang ditetapkan, makin sedikit rincian informasi yang diperlukan.
3. Untuk tegakan hutan atau ekosistem yang sama dapat saja dibuat beberapa
preskripsi pengelolaan hutan yang berbeda-beda, bergantung pada besar-kecilnya
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan.
Berdasarkan contoh-contoh preskripsi pengelolaan di depan, maka dapat pula dibuat
preskripsi pengelolaan hutan untuk kesatuan pengelolaan hutan lainnya, seperti :
1. Hutan Tanaman Industri (HTI) atau hutan tanaman pada kawasan Hutan Produksi
2. Hutan Alam Produksi 3. Hutan Lindung 4. Hutan Konservasi
5. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 6. Hutan Rakyat, dll

III. INDIKATOR PENILAIAN


Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di atas,
setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam : (1)
menjelaskan dengan contoh metode-metode penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktor-
faktor yang dipertimbangkan dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan
hutan, dan (3) menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan.
Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah : (1)
ketepatan analisis, (2) ketepatan rumusan tujuan, (3) ketepatan skala prioritas
(preskripsi pengelolaan hutan) yang dibuat, (4) kerjasama kelompok, dan (5) keaktifan
individu, dengan total bobot nilai modul sebesar 30% dari total nilai mata kuliah.
Adapun perincian bobot nilai tersebut adalah : ketepatan analisis dan ketepatan
rumusan tujuan masing-masing dengan bobot nilai 6%, ketepatan skala prioritas
(preskripsi pengelolaan hutan) yang dibuat dengan bobot nilai sebesar 10%, serta
kerjasama kelompok dan keaktifan individu masing-masing dengan bobot nilai 4%.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 39


Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan

Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu


penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-unit tugas
mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.

IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan
proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan
materi “Penetapan Tujuan dan Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Hutan”, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks,
Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan
secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.

Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 40

Anda mungkin juga menyukai