c. Hutan Produksi : Kawasan hutan dengan fungsi pokok untuk memproduksi hasil
hutan, yaitu benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal
dari hutan. Hutan Produksi dibedakan atas Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi
Biasa dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, dengan fungsi pokok masing-
masing sebagai berikut :
c1. Hutan Produksi Terbatas : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
terbatas (intensitas tertentu), yaitu pada tingkat pemanfaatan yang masih
meninggalkan keadaan tegakan hutan dengan kualitas minimal tertentu yang
dapat berfungsi dalam memberikan perlindungan terhadap tata air, erosi tanah,
dan pemeliharaan kesuburan tanah pada wilayah di sekitarnya.
c2. Hutan Produksi Biasa : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal pada tingkat yang masih dapat menjamin kelestarian hutan
c2. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan
dan dikonversi peruntukannya untuk keperluan di luar kehutanan, misalnya untuk
perkebunan, transmigrasi dll
Fungsi-fungsi hutan yang uraikan di atas adalah fungsi-fungsi utama dari masing-
masing KPH sesuai dengan peruntukannya. Selain fungsi-fungsi utama tersebut,
setiap KPH pada dasarnya dituntut untuk memberikan fungsi-fungsi ekonomi, ekologi
dan sosial secara simultan. Sehubungan dengan itu, perumusan tujuan pengelolaan
hutan pada hakekatnya diarahkan pada optimalisasi fungsi ekosistem hutan, yang
meliputi fungsi ekonomi, ekologi dan sosial.
Pohon pinus ditanam dan dijual secara berkelompok pada setiap petak yang luasnya
0,7Ha dan berisi 1.000 pohon, sedang untuk penggemukan setiap satu ekor sapi
dibutuhkan 1,85 Ha.
Pak Jack adalah petani yang memiliki banyak kesibukan, sehingga hanya dapat
menyediakan 200 jam per tahun untuk mengurus tanah miliknya
Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pengurusan pohon per petak (menanam,
memelihara, memanen dan mengemas) membutuhkan waktu 20 jam, sedang
pemeliharaan/penggemukan setiap ekor sapi memerlukan waktu 20 jam.
Total anggaran yang tersedia untuk membiayai kegiatan ini adalah Rp.120.000.000,-
Biaya tahunan untuk budidaya pohon adalah Rp.300.000,- per petak tanaman dan untuk
penggemukan sapi dibutukan biaya sebesar Rp.2.400.000,- per ekor
Untuk pemasaran sapi, Pak Jack telah membuat kesepakatan untuk memasok minimal 2
ekor sapi per tahun kepada tetangganya.
Berdasarkan tingkat harga yang berlaku pada saat penyusunan rencana diperkirakan
bahwa keuntungan bersih yang akan diperoleh adalah adalah sebesar Rp.5.000,- per
pohon atau Rp.5.000.000,- per petak tanaman pinus, dan Rp.10.000.000,- per ekor sapi.
Dari kasus / permasalahan tersebut di atas dapat dibuat identifisikasi dan pernyataan
permasalahan secara matematis sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan : Pak Jack
2. Tujuan : Memaksimalkan pendapatan dari kegiatan usaha
3. Kriterium Tujuan : Nilai uang (Rp) dari pendapatan bersih per tahun
4. Kegiatan dan Peubah Keputusan :
• Kegiatan Penggemukan sapi
Peubah Keputusan : X1 = jumlah sapi yang dibesarkan per tahun
• Kegiatan budidaya pinus
Peubah Keputusan : X2 = Jumlah petak tanaman yang berisi 1.000 pohon pinus
yang dibudidayakan per tahun
5. Fungsi Tujuan :
Maksimumkan Z = pendapatan bersih per tahun (Rp.1000.000) per tahun
dimana Z = 10 X1 + 5 X2
6. Kendala-kendala
• Kendalah lahan : tersedia 11,5 Ha
□ Penggemukan sapi : 1,85 Ha per ekor
□ Budidaya pinus : 0,7 Ha per petak tanaman Æ1.000 phn per petak
Pernyataan matematis : 1,85 X1 + 0,7 X2 ≤ 11,15
• Kendala anggaran : tersedia Rp.120.000.000 per tahun
□ Penggemukan sapi : Rp.2.400.000,- per ekor per tahun
□ Budidaya pinus : Rp. 300.000,- per petak tanaman per tahun
Pernyataan matematis : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat ringkasan pernyataan
permasalahan ini sebagai berikut :
Maksimumkan Z untuk Z = 10.000.000 X1 + 5.000.000 X2
dimana X1 = jumlah sapi yang digemukkan (ekor per tahun)
X2 = jumlah tanaman pinus yang dibudidayakan (petak per tahun)
Dengan kendala-kendala sebagai berikut :
a) Lahan : 1,85 X1 + 0,70 X2 ≤ 11,15
b) Anggaran : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000
c) Waktu : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200
d) Kontrak : X2 ≥ 2
e) Non negatif : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0
Dari hasil inventarisasi diperoleh data luas dan volume tegakan sebagai berikut :
1. Luas Areal
Tegakan Tipe-1 (Tanaman) = 2.000 Ha
Tegakan Tipe-2 (Tegakan kayu pertukangan tua) = 4.000 Ha
Tegakan Tipe-3 (Tegakan kayu pertukangan lewat masak tebang = 1.200 Ha
Total luas = 7.200 Ha
Berdasarkan hasil inventarisasi ditetapkan pula bahwa dalam rangka lebih menjamin
kondisi habitat yang dapat mendukung upaya pelestarian populasi satwa liar yang
ada maka perlu ada pembatasan penebangan pada setiap tegakan dalam setiap
periode penebangan, yaitu masing-masing sebagai berikut : Tipe-1 tidak lebih dari
800 Ha, Tipe-2 tidak lebih dari 1.800 Ha dan Tipe-3 tidak lebih dari 500 Ha.
Identifikasi dan perumusan masalah secara matematis :
a) Pembuat Keputusan : Kadishut
b) Tujuan-Tujuan :
• Memaksimumkan hasil panen kayu secara lestari
• Mengelola habitat untuk pemeliharaan satwa liar
c) Kriteria Tujuan
• Total kayu yang dihasilkan dalam setiap periode penebangan 10 tahunan
sama, selama rotasi tebang (30 tahun)
• Sebaran tegakan menurut umur dan tipe tegakan memenuhi standar untuk
habitat satwa liar
d) Kegiatan dan Peubah Keputusan
X11 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 1
X21 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 1
X31 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 1
X12 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 2
X22 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 2
X32 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-3 dalam periode penebangan 2
X13 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-1 dalam periode penebangan 3
X23 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3
X33 = Luas areal tebangan (Ha) pada Tipe-2 dalam periode penebangan 3
Fungsi Tujuan
Maksimumkan Z (Total hasil tebangan dalam m3), untuk :
Z = 30X11 + 120X21 + 250X31 + 100X12 + 170X22 + 220X32 + 300X13 + 200X23 +
180X33
e) Kendala-Kendala :
• Total luas tebangan (Ha) pada setiap tipe tegakan
Tipe-1 : X11 + X12 + X13 ≤ 2.000
Tipe-2 : X21 + X22 + X23 ≤ 4.000
Tipe-3 : X31 + X32 + X33 ≤ 1.200
• Volume hasil tebangan (m3) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : 30X11 + 120X21 + 250X31 = 400.000
Periode 1 (11 – 20 tahun) : 100X12 + 170X22 + 220X32 = 400.000
Periode 1 (21 – 30 tahun) : 300X13 + 200X23 + 180X33 = 400.000
• Luas tebangan (Ha) dalam setiap periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 + X21 + X31 = 2.400
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X12 + X22 + X32 = 2.400
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X13 + X23 + X33 = 2.400
• Pembatasan luas penebangan (Ha) per tipe hutan per periode penebangan
Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (11 – 20 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
Periode 1 (21 – 30 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500
• Syarat non negatif untuk peubah keputusan :
Xij ≥ 0 , untuk i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3
tentang peluang masing-masing tidak diketahui maka tidak ada alasan untuk
menyatakan bahwa peluang untuk masing-masing kegiatan adalah tidak sama. Atas
dasar itulah, maka menurut prinsip ini, besarnya peluang untuk setiap kejadian adalah
sama yaitu 1/n , sehingga :
p(θ1) = p(θ2) = p(θ3) = .................... = p(θn) = 1/n
Ilustrasi tentang kriterium dapat dilihat pada contoh kasus berikut ini :
Jumlah fasilitas yang harus disediakan suatu perusahan rekreasi harus ditetapkan
berdasarkan tingkat persediaan yang harus tersedia untuk dapat memenuhi kebutuhan
pengunjung (wisatawan) pada setiap hari (atau hari-hari) libur tertentu. Jumlah
konsumen yang akan datang dalam setiap hari libur tidak diketahui secara pasti, akan
tetapi diharapkan akan berkisar antara empat besaran harapan tingkat pengunjung (θ)
yaitu : θ1 = 200 orang, θ2 = 250 orang, θ3 = 300 orang, dan θ4 = 350 orang, dimana
peluang setiap tingkat pengunjung tidak diketahui.
Untuk mengantisipasi setiap kemungkinan banyaknya pengunjung ini dapat dipilih salah
satu dari empat tingkat persediaan fasilitas yang ideal, yaitu jumlah fasilitas yang sesuai
dengan jumlah pengunjung.
Perbedaan antara jumlah fasilitas dengan jumlah pengunjung akan berkonsekuensi pada
pertambahan biaya, baik ketika jumlah fasilitas kurang maupun ketika jumlah fasiltas
berlebih
Misalkan jumlah biaya tambahan yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya
perbedaan tersebut di atas untuk semua kombinasi tingkat persediaan fasilitas (a1 =
rendah, a2 = sedang, a3 = tinggi dan a4 = sangat tinggi) dengan kemungkinan kejadian
tingkat pengunjung (θ1, θ2, θ3, dan θ4) adalah seperti pada tabel berikut :
Tabel. Biaya tambahan (Rp.1jt) untuk setiap kombinasi tingkat persediaan fasilitas dan
tingkat pengunjung harapan
Kategori Pengunjung
Tingkat Persediaan Fasilitas
θ1 θ2 θ3 θ4
a1 5 10 18 25
a2 8 7 8 23
a3 21 18 12 21
a4 30 22 19 15
Berdasarkan prinsip Laplace dapat dihitung nilai harapan biaya untuk setiap alternatif
tingkat persediaan fasilitas adalah :
Alternatif a1 : E(ca1, θ) = ¼ ( 5 + 10 + 18 + 25) = 14,5
Kriterium Minimaks
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh kasus ’biaya persediaan
fasilitas (dalam jutaan rupiah)’ yang telah dikemukan sebelumnya, seperti yang tersaji
pada tabel berikut ini
Kriterium Maksimin
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan merubah konteks contoh kasus di atas dengan
’tingkat keuntungan atau perolehan bersih dari usaha penyediaan fasilitas (dalam jutaan
rupiah)’, seperti yang tersaji pada tabel berikut ini
Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan mariks asal (C) pada
permasalahan penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut :
Dari matriks asal tersebut dapat dibuat matriks penyesalan R sebagai berikut :
Nilai R utk ai & θj θ1 θ2 θ3 θ4 Maks {R(ai,θj)}
a1 0 3 10 10 10
a2 3 0 0 8 8
a3 16 11 4 6 16
a4 25 15 11 0 25
Maksimum ( 0, 3, 10, 10) = 10
Maksimum ( 3, 0, 0, 8) = 8 Minimum (10, 8, 16, 25) = 8
Maksimum (16, 11, 4, 6) = 16 ÆKriterium Minimaks Penyesalan
Maksimum (25, 15, 11, 0) = 15
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks Penyesalan
adalah a2
Kriterium Hurwicz
Kriterium ini merupakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada sikap yang
berada diantara sikap optimistik dan sikap pesimistik. Sikap optimisktik akan memilih
Kriterium Masksimaks, sedang sikap pesimistik lebih memilih Kriterium Maksimin.
Penerapan Kriterium Hurwicz dilakukan dengan cara memberi bobot pada sikap
optimistik dan sikap pesimistik. Faktor pembobot untuk sikap optimistik adalah α, sedang
faktor pembobot untuk sikap pesimistik adalah 1- α.
Faktor pembobot α disebut indeks optimistik (index of optimism). Nilai α = 1 bermakna
kriterium menjadi sangat optimistik, sebaliknya nilai α = 0 bermakna Kriterium menjadi
sangat pesimistik.
c) Kelompok rasionalis memilih a1 (maksimum nilai harapan NPV dengan peluang sama
untuk setiap sj); yaitu Maksimum E{g(ai,sj}
a1. E ( 20, 60, 100) = 60
a2. E ( -50, 80, 130) = 53,3 Æ Maksimum (60, 53,3, -150) = 60
a3. E (-400,-200, 150) = -150
d) Kelompok politikus memilih a1 (minimum dari kemungkinan penyesalan terhadap nilai
yang bersifat maksimum untuk setiap sj ;
a1. Maksimum (0, 20, 50) = 50
a2. Maksimum (70, 0, 20) = 70 Æ Minimum (50, 70, 420) = 50
a3. Maksimum (420, 280, 0) = 420
Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa keputusan optimal untuk dua kelompok
pengambil keputusan dapat saja sama. Namun patut dicatat bahwa kesamaan tersebut
tidaklah merupakan suatu keharusan tetapi hanya terjadi secara kebetulan.
Gambaran tentang pohon keputusan ini dapat diilustrasikan dengan contoh sebagai
berikut (Taha, 1982) :
Sebuah perusahaan akan membangun hutan tanaman (semacam Hutan Rakyat) pada
sebidang lahan. Sekaitan dengan itu, ada dua pilihan, yaitu (1) penanaman seluruh lahan
secara sekaligus atau (2) penanaman sebagian lahan pada tahap-1 untuk kemudian
dikembangkan pada tahap berikutnya.
Keputusan tentang tingkat penanaman ini dibuat berdasarkan tingkat permintaan
terhadap kayu yang akan dihasilkan (besar atau kecil) pada saat pemanenan.
Penanaman seluruh lahan secara sekaligus dapat dibenarkan jika tingkat permintaan
terhadap kayu yang dihasilkan kelak akan tinggi. Sebaliknya apabila tingkat permintaan
kayu nantinya rendah, maka penanaman secara bertahap akan merupakan keputusan
yang optimal, dimana pada tahap-1 dilakukan penanaman pada sebagian kecil lahan,
dan setelah dua tahun dilakukan evaluasi untuk pengambilan keputusan tahap-2, yaitu
apakah penanaman perlu dikembangkan atau tidak. Periode kegiatan ditetapkan 10
tahun.
Proses pengambilan keputusan secara keseluruhan untuk permasalahana seperti ini
dapat digambarkan secara skhematis dalam bentuk pohon keputusan. Untuk dapat
membuat pohon keputusan diperlukan dua macam (tipe) simpul, yaitu :
a) Simpul untuk titik atau proses pengambilan keputusan (decision making process),
dilambangkaan dengan bujur sangkar (▢). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
alternatif kegiatan yang dapat dipilih dan dilambangkan dengan tanda panah (Æ).
b) Simpul untuk menggambarkan kemungkinan keadaan atau kejadian (event chance),
digambarkan dengan lingkaran (o). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah
kemungkinan keadaan di masa yang akan datang yang dilambangkan dengan tanda
panah (Æ).
Dengan menggunakan simpul dan lambang tersebut di atas maka selanjutnya dapat
digambarkan hubungan antar alternatif kegiatan dan kemungkinan keadaan di masa
mendatang dalam satu periode keputusan seperti pada gambar berikut ini.
Untuk pembuatan keputusan melalui teknik denah pohon diperlukan informasi tentang :
a) Peluang terjadinya setiap kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu
masa setelah jangka waktu tertentu setelah pengambilan keputusan
b) Biaya dan pendapatan untuk setiap alternatif kegiatan yang akan dipilih
Misalkan untuk contoh permasalahan di atas diketahui bahwa nilai peluang, biaya dan
pendapatan adalah sebagai berikut :
a) Peluang terjadinya tingkat permintaan tinggi dan tingkat pendapatan rendah selama
periode usaha (10 tahun ke depan) adalah masing-masing 0,75 dan 0,25
2
1 5
4
3 6
b) Kebutuhan biaya :
• Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus) : Rp.50 milyar
• Pembangunan tanaman secara bertahap
9 Tahap pertama : Rp.10 milyar
9 Tahap kedua (dua tahun setelah pembangnan tahap pertama) : Rp.42 milyar
c) Prakiraan pendapatan tahunan untuk setiap alternatif kegiatan adalah :
• Pembangunan tanaman skala besar
9 Permintaan tinggi : Rp.10 milyar
9 Permintaan rendah : Rp.3,0 milyar
2
1 5
4
3 6
Gambar 3.2. Diagram pohon keputusan, dilengkapi dengan biaya dan pendapatan
Berdasarkan informasi di atas, maka diagram pohon keputusan untuk permasalahan ini
dapat dilengkapi seperti yang tersaji pada Gambar 3.2.
Berdasarkan nilai-nilai pada diagram keputusan, maka selanjutnya dapat dilakukan
evaluasi pada simpul keputusan tahap pertama dan simpul keputusan tahap kedua.
Selanjutnya keputusan dibuat dengan menggunakan kriterium nilai harapan (untuk
keuntungan bersih).
Evaluasi dilakukan mulai dari tahapan ”bernomor besar” dan secara berturut-turut diikuti
dengan tahapan yang lebih kecil. Untuk permasalahan di atas evaluasi dimulai dari tahap
kedua, baru kemudian dilanjutkan dengan evaluasi tahap pertama.
Evaluasi Tahap Kedua
Evaluasi dilakukan untuk membandingkan penanaman dengan pengembangan dengan
penanaman tanpa pengembangan, pada pembangunan tanaman skala kecil (bertahap).
Nilai harapan keuntungan (E) dapat diketahui melalui perhitungan sebagai berikut :
E(keuntungan bersih\ pengembangan) = 8 x (9M x 0,75 + 2M x 0,25) – 42M = Rp.16M
E(keuntungan bersih\ tanpa pengembangan) = 8 (2,5M x 0,75 + 2M x 0,25 ) = Rp.19M
Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan
bahwa penanaman tanpa pengembangan merupakan keputusan optimum pada tahap
Kedua, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.19M
(1) Peubah-peubah apa sajakah yang harus diperhatikan sebagai representasi dari
aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya ekosistem hutan yang akan
dikelola ?
(2) Berapa besar peran (nilai dan tingkat kepentingan) yang diharapkan dari setiap
peubah yang diperhatikan itu harus diberikan untuk mendapatkan tujuan
pengelolaan yang bersifat optimal ?
(3) Kegiatan-kegiatan apa sajakah yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan hutan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ?
Informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu berupa data
empiris hasil berbagai penelitian atau pengalaman, pada tempat-tempat tertentu mungkin
sudah diketahui sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan keputusan
dengan menggunakan teknik pengambilan keputusan yang sudah dibicarakan. Akan
tetapi pada sebagian besar lokasi hutan(dengan karakteristik yang bersifat spesifik) bisa
dipastikan belum banyak diketahui. Sebagaimana telah diutarakan di muka,
penyelesaian permasalahan seperti ini dapat dipergunakan dengan bantuan pakar.
Ada banyak permasalahan mendasar yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan
keputusan dengan bantuan pakar, misalnya :
(1) Kelompok-kelompok mana saja yang harus dilibatkan sebagai pakar dalam proses
pengambilan keputusan agar kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap
permasalahan yang dihadapi terwakili ?
(2) Berapa banyak dan bagaimana cara pemilihan tokoh pakar yang akan dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan agar persepsi, harapan dan keinginan
masyarakat dalam setiap kelompok tersebut terwakili? Dan banyak lagi
permasalahan dasar seperti ini !
Permasalahan-permasalahan dasar seperti itu banyak dibahas dalam sejumlah buku-
buku teks bidang sosial, dan secara khusus dalam Metode Penelitian Sosial. Dalam
kaitan dengan Ilmu Perencanaan Hutan salah satu teknik pengambilan keputusan yang
digunakan adalah teknik pengambilan keputusan multikriteria, yang disebut teknik
Analitic Hierarchy Process (AHP)
Proses pengambilan keputusan dengan melibatkan pakar sebenarnya dapat dilakukan
dengan cara diskusi atau pengambilan suara terbanyak (voting). Namun kedua cara ini
dapat bersifat tidak obyektif apabila terjadi dua hal sebagai berikut :
(1) Sikap atau perhatian para pakar yang terlibat berbeda-beda. Sikap dan perhatian
pakar terhadap permasalahan yang dibahas akan menentukan kegigihan, atau
bahkan tingkat kengototan pakar dalam diskusi. Padahal dalam diskusi,
kesimpulan-kesimpulan diskusi akan sangat ditentukan oleh pendapat pakar-pakar
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 61
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan
yang cenderung lebih gigih dari pada pakar yang bersikap pasif karena kurang
tertarik pada permasalahan yang didiskusikan, walaupun pakar yang termaksud
terakhir ini sebenarnya lebih mengetahui dan lebih memahami permasalahan dari
pakar yang aktif dan gigih. Apabila keadaan ini terjadi maka kesimpulan diskusi
dapat bersifat tidak obyektif oleh karena akan berbias kepada pengetahuan,
pemahaman dan kepentingan kelompok pakar yang aktif dan gigih tetapi
sebenarnya kuran memahami permasalahan yang dibahas.
(2) Pengetahuan, pemahaman terhadap informasi serta daya nalar para pakar sangat
beragam dengan perbedaan yang sangat besar. Keadaan kumpulan pakar seperti
ini akan menjadi kelemahan dalam proses pengambilan keputusan dengan prinsip
suara terbanyak (voting). Dalam pengambilan keputusan dengan suara terbanyak,
prinsip dasar yang lazim dianut adalah one-man one-vote, sehingga suara dihitung
dalam pengambilan keputusan sama untuk semua pakar. Akibatnya, kualitas
kebutusan akan berbias terhadap persepsi, pengetahuan, pemahaman dan
kepentingan pakar yang sebetulnya tidak menguasai permasalahan yang dihadapi.
Besarnya nias yang terjadi tentu akan bergantung pada proporsi anggota-amggota
pakar yang terdapat dalam setiap kelompok, yaitu pakar yang menguasai dan yang
tidak menguasai permasalahan yang dihadapi, yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua kelemahan dalam proses
pengambilan keputusan sebagaimana diutarakan di muka adalah dengan menggunakan
metode AHP.
Metode AHP dikembangkan oleh Prof. Thomas Saaty, guru besar di Wharton School,
University of Pensylvania pada tahun 1972 (Saaty, 1990). Saat pertama kali
mengembangkan metode ini pada saat ia bekerja untuk menyusun Rencana Kontingensi
(contingency planning) untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat (1971) dan
kemudian dikembangkan dalam penerapan metode ini untuk menentukan rancangan
alternatif masa depan dalam pembangunan di negara berkembang (Sudan).
Menurut Saaty (1990) hirarki adalah sebuah abstraksi dari struktur sistem yang dibuat
untuk mempelajari interaksi fungsional antar komponen-komponen di dalam sistem
berikut dampaknya pada keseluruhan sistem. Dalam kuliah Ilmu Perencanaan Hutan,
kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa kemampuan dalam menyusun
hirarki permasalahan untuk permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam bidang
pengelolaan hutan. Contoh-contoh penyelesaian program matematik dari hirarki
permasalahan akan dibahas dalam praktikum. Mahasiswa yang ingin mengetahui
metode ini secara lebih mendalam dapat membaca buku teks asli (Saaty, T.L 1990.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 62
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan
a) Aksioma resiprokal
AHP berlandaskan kepada matriks perbandingan berpasangan (pairwais comparative
matrix) dari variabel-veriabel (kriteria) yang diperhatikan. Dengan aksioma repsiprokal
dimaksudkan bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus kebalikan
Apabila variabel-variabel yang diperhatikan adalah A, B dan C maka perbandingan
berpasangan yang terbentuk adalah A vs B, A vs C dan B vs C. Sifat resiprokal
perbandingan A vs B berarti : apabila diketahui A merupakan variabel yang dinilai
memiliki tingkat kepentingan5 (lima) kali tingkat kepentingan B, maka dikatakan A vs B =
5. Sebaliknya, tentu saja tingkat kepentingan B menjadi 1/5 kali tingkat kepentingan A
atau B vs A = 1/5. Hal yang sama berlaku untuk pasangan variabel yang lain
b) Aksioma homogenitas
Matriks perbandingan berpasangan berisi unsur-unsur (nilai) yang merupakan hasil
perbandingan tingkat kepentingan peran setiap variabel dalam menetapkan skenario
(alternatif) kegiatan untuk mencapai tujuan utama. Dalam membuat perbandingan antar
variabel ini, harus dipergunakan ukuran yang sama dan relevan. Sebagai contoh, untuk
membandingkan tingkat kepentingan variabel jenis pohon jati dengan jenis pohon pinus
dalam mendukung fungsi hutan untuk mencegah erosi tanah, misalnya, harus
diperbandingkan sistem perakaran kedua jenis pohon itu. Perbandingan harga (Rp/m3)
kayu dari kedua jenis pohon ini tidak relevan untuk menerangkan tujuan ini. Akan tetapi
variabel harga kayu ini menjadi relevan apabila tujuannya adalah untuk mendapatkan
keuntungan bersih dari hasil penjualan kayu dari hutan yang dikelola.
c) Aksioma ketergantungan
Hirarki dalam AHP merupakan alat utama yang diperlukan untuk membuat matriks
perbandingan berpasangan untuk mendapatkan solusi optimal dari permasalahan yang
dihadapi. Hirarki dalam AHP umumnya terdiri atas banyak tingkat (level) dari tujuan
utama (level 1) sampai skenario alternatif kegiatan sebagai jawaban permasalahan yang
dihadapi (level k, k ≥ 2). Diantara level 1 dengan level k, terdapat level 2, level 3
.................. level k-2, dan level k-1. Banyaknya level yang terdapat dalam sebuah
hirarki tergantung kepada permasalahan yang dihadapi serta kerangka pemikiran yang
dikembangkan oleh pembuat keputusan dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Aksioma ketergantungan mengandung arti bahwa antara setiap variabel pada setiap
level dalam setiap hirarki harus terdapat keterkaitan walaupun tidak selamanya harus
merupakan hubungan antar level yang bersifat sempurna. Hubungan antara dua level
yang berurutan dikatakan sempurna apabila variabel (unsur) dalam level tertentu (level k)
memiliki hubungan dengan seluruh variabel (unsur) yang terdapat dalam level satu
tingkat lebih rendah (level k+1). Catatan : penomoran level dalam hirarki dilakukan
dengan memberi lambang level 1 pada level yang paling tinggi (tujuan utama), sedang
level yang paling rendah diberi lambang level k (k > 1)
d) Aksioma ekspektasi (harapan)
Unsur-unsur dalam matriks perbandingan berpasangan merupakan nilai-nilai skor
tingkat kepentingan suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain secara
berpasangan. Dengan aksioma ekspektasi dimaksudkan bahwa nilai-nilai yang diberikan
oleh anggota pakar yang terlibat tersebut merupakan ekspresi dari harapan, persepsi
atau keinginan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dengan demikian maka nilai
yang dihasilkan tidak dituntut untuk terlalu rasional, atau bahkan mungkin bersifat
subyektif. Yang dituntut adalah konsistensi hasil penilaian dari setiap pakar. Konsistensi
hasil penilaian ini diukur berdasarkan konsistensi hasil perbandingan antar variabel-
variabel yang diperhatikan. Misalkan ada tiga variabel A, B dan C yang akan
dibandingkan ; jika A tiga kali lebih penting dari B (A vs B =3) dan B dua kali lebih
penting dari C (B vs C = 2), maka hasil perbandingan dikatakan sangat konsisten jika A
enam kali lebih penting dari C (A vs C = 6). Pada kenyataannya, sangat sulit untuk
melakukan perbandingan yang benar-benar konsisten karena banyaknya variabel yang
harus diperhatikan. Karena itu, dalam AHP dikembangkan sebuah uji numerik untuk
mengukur tingkat konsistensi hasil perbandingan anggota pakar.
2) Langkah-langkah AHP
a) Dekomposisi
Pengambilan keputusan dalam suatu permasalahan pada dasarnya merupakan
upaya untuk menentukan alternatif tindakan atau kegiatan (upaya) yang bersifat optimal
(optimum solution) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan akhir yang ingin
dicapai dalam AHP disebut tujuan utama. Antara tujuan utama dengan tujuan skenario
alternatif solusi dihubungkan oleh langkah-langkah kriteria pengambilan keputusan.
Setiap langkah kriteria pengambilan keputusan ini dinamakan level (tingkatan) yang
terdiri dari beberapa variabel sebagai unsur dari kriteria tersebut. Dalam AHP, level di
bawah tujuan utama (level 1) atau level 2 dinamakan khusus sebagai kriteria, sedang
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan M3 - 64
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan
level di bawahnya (level 3) dinamakan sub-kriteria, dan level di bawahnya lagi (level 4)
dinamakan su-sub kriteria, begitu seterusnya. Level terendah adalah skenario alternatif
solusi permasalahan yang dihadapi. Level-level yang terbentuk ini harus memiliki
keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini dinyatakan dalam bentuk hubungan antar
unsur dalam dua level yang berurutan. Jaringan antar level dari keseluruhan yang
terdapat dari suatu permasalahan yaitu dari tujuan utama (level teratas atau level 1)
samapai level terendah, yaitu skenario alternatif solusi dinamakan hirarki permasalahan
atau biasa disebut hirarki.
Memilih alternatif solusi
Level 1 : Tujuan Utama terbaik / optimum
Level 2 : Kriteria K1 K2 K3
Berdasarkan sifat hubungan antar unsur dalam setiap level yang terdapat dalam sebuah
hirarki, hirarki permasalahan dapat dikategorikan kedalam hirarki lengkap dan hirarki
tidak lengkap. Hirarki lengkap adalah hirarki yang terbentuk oleh level-level hirarki yang
setiap komponen dalam setiap level tertentu berhubungan (tergantung) dengan seluruh
kompenen yang terdapat dalam level satu tingkat di bawahnya (level 1 dengan level 2,
level 2 dengan level 3 dst). Apabila tidak semua komponen dalam level tertentu
berhubungan dengan seluruh komponen dalam level satu tingkat di bawahnya, maka
hirarki permasalahan, dinamakan hirarki tidak lengkap.
Langkah-langkah kegiatan dalam tahapan dekomposisi untuk membuat hirarki
permasalahanadalah sebagai berikut :
(1) Menetapkan tujuan utama dari permasalahan yang dihadapai
(2) Menetapkan alternatif solusi (kegiatan, barang, harapan) yang ditetapkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(3) Menetapkan kriteria dan komponen-komponen dalam kriteria (indikator, variabel)
yang akan digunakan untuk menetapkan alternatif solusi yang akan dipilih (solusi
optimal). Apabila diperlukan maka kriteria ini dapat dipecah lagi ke dalam sub
kriteria, sub-sub kriteria, dst
(4) Menetapkan hubungan antar kompenen dalam setiap level dengan komponen pada
level di bawahnya
(5) Menggambarkan keseluruhan jaringan antara tujuan utama, kriteria (sub kriteria,
sub-sub kriteria, dst, apabila diperlukan) dan skenario alternatif solusi dalam bentuk
suatu hirarki permaslahan.
Level 2 : Kriteria K1 K2 K3
Gambar 2. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang tidak lengkap (hirarki yang
tidak lengkap)
.2
1 1
.
S1, S2, ...... Sq = Skor untuk tingkat prioritas alternatif ke-1, ke-2 ........... dan ke-q
Skor Si dinyatakan dalam nilai proporsi (0≤Si≤1; untuk i = 1, 2, ..., q); ∑Si = 1.
tegakan hutan, budidaya lebah madu, dan atau pengembangan kawasan rekreasi pada
bagian-bagian kawasan tertentu.
Informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan tujuan khusus dalam
pengelolaan hutan dapat diperoleh melalui hasil-hasil penelitian ilmiah atau berdasarkan
pengalaman di tempat lain, atau berdasarkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan.
Dalam pegelolaan hutan berbasis ekosistem, alternatif kegiatan yang dipilih haruslah
merupakan alternatif kegiatan yang sudah teruji secara ilmiah melalui penelitian yang
bersifat dinamis dan iteratif di tempat itu, sehingga kegiatannya akan bersifat spesifik dan
sesuai dengan karasteristik biofisik ekosistem hutan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat setempat. Keterujian kegiatan yang dipilih juga harus didasarkan pada
umpan balik (feed back) dari komponen ekosistem hutan setempat terhadap setiap
perlakuan yang dicobakan atau diteliti, yang dapat dilakukan melalui suatu pendekatan
sistem dengan teknik simulasi.
2. Kelengkapan informasi setiap kegiatan
Setiap kegiatan atau teknologi yang terpilih untuk diterapkan, harus memenuhi syarat-
syarat kelayakan, baik dari aspek ekologi dan aspek teknis, maupun dari aspek ekonomi
dan sosial. Untuk menilai kelayakan kegiatan tersebut, diperlukan berbagai informasi
dasar yang berkenaan dengan peranan kegiatan dalam mendukung upaya pencapaian
tujuan, beserta dampaknya terhadap lingkungan. Informasi dasar ini dapat diperoleh
melalui publikasi hasil penelitian ilmiah, pengalaman-pengalaman di tempat lain dan
kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan yang dipilih untuk diterapkan
seharusnya merupakan kegiatan yang memang layak, dimana penilaian kelayakan
termaksud didasarkan pada informasi tentang berbagai aspek yang lengkap. Kegiatan
atau pilihan teknologi yang dinilai akan relevan dengan tujuan yang ditetapkan, serta
layak secara ekologis, teknis ekonomi, dan sosial, tetapi masih belum teruji
kebenarannya, sebelum diterapkan terlebih dahulu perlu diuji melalui kaji tindak (pilot
project) di tempat atau lokasi pengelolaan
3. Kesejalanan dengan norma, tata nilai dan kepentingan masyarakat lokal
Pengelolaan hutan, pada hakekatnya, diharapkan dapat menunjang peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Sehubungan dengan itu, teknologi atau
kegiatan pengelolaan hutan harus diupayakan untuk tidak menimbulkan gejolak sosial
dalam masyarakat setempat, yaitu melalui upaya-upaya menselaraskan setiap kegiatan
atau teknologi yang dipilih dengan norma, tata nilai dan kebutuhan atau kepentingan
masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian, informasi mengenai sistem nilai dan
kepentingan atau kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat sangat penting untuk
diketahui oleh pihak pengelola atau pihak perencana dan pelaksana kegiatan-kegiatan
pengelolaan. Informasi termaksud dapat diperoleh melalui pelaksanaan survei sosial dan
Tiga buah preskripsi pengelolaan hutan ini dibuat untuk tegakan pinus yang
bersifat hipotetis untuk memberikan illustrasi yang rinci dan lengkap dalam penyusunan
preskripsi dan proyeksi keadaan tegakan dan hasil di mas yang akan datang. Deskripsi
keadaan tegakan hutan pinus adalah sebagai berikut :
Keadaan tegakan hutan pada saat ini terdiri atas tegakan-tegakan :
a. Lahan terbuka bekas tebangandengan sistem tebang habis
b. Tegakan permudaan secara alami
c. Tegakan berumur 60 tahun dengan indeks tempat tumbuh 80 ft (sekitar 24 m) pada
umur dasar 25 tahun (catatan : indeks tempat tumbuh = peninggi tegakan pada umur
dasar tertentu. Untuk tegakan pinus di Amerika Serikat umur dasar ditetapkan 25
tahun)
Dalam tegakan rata-rata terdapat 12 pohon (per hektar) pinus berukuran besar
untuk kayu gergajian, 35 pohon (per hektar) pinus berukuran sedang (tiang), serta
permudaan pinus dan kayu dalam lebar. Secara keseluruhan, 60% dari tegakan hutan
yang ada ditumbuhi oleh pinus. Proyeksi hasil ditetapkan untuk priode 60 tahun.
Untuk keadaan tegakan seperti itu, dapat dibuat tiga alternatif preskripsi
pengelolaan hutan hipotetis sebagaimana diuraikan berikut ini
Preskripsi 1
a. Tujuan pemilik lahan hutan : menyediakan kayu pulp untuk pasokan ke pabrik pulp
miliknya
b. Perlakuan (uraian kegiatan)
Menebang habis secara serentak seluruh tegakan umure tua yang ada, persiapan
lahan (sebelum penanaman kembali) berupa pemotongan dan pembakaran sisa-sisa
kayu, penanaman dengan jarak 10 ft x 10 ft dengan jenis pinus, tanpa perlakuan antara,
tebang habis pada umur 20 tahun
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 2005 2025 2045
1. Umur tegakan sebelum panen (tahun) 60 20 20 20
2. Umur tegakan setelah panen (tahun) 0 0 0 0
3. Volume hasil panen (cords / acre) 12 20 20 20
Catatan : 1) Cord = satuan volume untuk kayu bakar
1 cord = 128 cubic feet = 3,6 m3 ; suatu tumpukan kayu berukuran
8 feet x 4 feet x 4 feet = 2,4 m x 1,2 m x 1,2 m
2) 1 acre = 0,405 hektar
Preskripsi 2
a. Tujuan pemilik lahan hutan : menjual tegakan kayu gergajian. Menyediakan tempat
berburu burung, menerapkan pengelolaan intensif.
b. Perlakuan (uraian kegiatan) :
Tebang habis secara serentak seluruh tegakan umur tua yang tersedia, penyiapan
lahan untuk penanaman kembali dengan cara :
• pemotongan sisa-sisa pohon, penumpukan potongan kayu, dan pembakaran,
• pembajakan dan penanaman dengan jarak tanam 7ft x 7ft dengan jenis pinus,
• penggunaan herbisida untuk tumbuhan pengganggu,
• penjarangan pertama pada umur 10 tahun (non-commercial thinning),
• penjarangan untuk menghasilkan kayu serat dan kayu pertukangan pada umur
20 tahun, 30 tahun, 40 tahun dan 50 tahun,
• tebang akhir pada umur 60 tahun.
• pengulangan pembakaran untuk mengurangi bahan bakar dalam hutan, dan
• pemeliharaan habitat burung setiap 5 tahun sejak tegakan berumur 10 tahun.
c. Proyeksi hasil
Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045
Preskripsi 3
a. Tujuan pemilik lahan (lahan merupakan milik publik) :
Menyediakan jasa sosial ekosistem hutan berupa kombinasi terbaik berbagai hasil
yang dapat diperoleh. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, diperlukan adanya
pohon-pohon besar dan pengelolaan hutan untuk tegakan tidak seumur agar diperoleh
keragaman jenis satwa liar yang tinggi.
Dari ketiga ilustrasi di atas dapat diperoleh beberapa kunci dalam menyusun sebuah
preskripsi dalam pengelolaan hutan, yaitu :
1. Jumlah rincian informasi, ukuran kuantitatif, keragamannya dan tingkat kompleksitas
informasi yang diprediksikan tergantung pada tingkat kepuasan pengelola (pemilik
atau pemegang hak). Makin tinggi tingkat kepastian gambaran hasil yang
dikehendaki, makin rinci informasi yang diperlukan
2. Jumlah rincian informasi dan ukuran kuantitatif yang diperlukan tergantung pada
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan. Makin spesifik atau makin sempit tujuan
pengelolaan yang ditetapkan, makin sedikit rincian informasi yang diperlukan.
3. Untuk tegakan hutan atau ekosistem yang sama dapat saja dibuat beberapa
preskripsi pengelolaan hutan yang berbeda-beda, bergantung pada besar-kecilnya
ruang lingkup tujuan yang ditetapkan.
Berdasarkan contoh-contoh preskripsi pengelolaan di depan, maka dapat pula dibuat
preskripsi pengelolaan hutan untuk kesatuan pengelolaan hutan lainnya, seperti :
1. Hutan Tanaman Industri (HTI) atau hutan tanaman pada kawasan Hutan Produksi
2. Hutan Alam Produksi 3. Hutan Lindung 4. Hutan Konservasi
5. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 6. Hutan Rakyat, dll
IV. PENUTUP
Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan
proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan
materi “Penetapan Tujuan dan Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Hutan”, dalam
melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks,
Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain.
Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan
secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya
mahasiswa.