Anda di halaman 1dari 11

Tugas: individu

PENGELOLAAN KPH

OLEH

KIKI UMAR
0434-1711-023

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2019
1. Sejarah Pembentukan KPH Di Indonesia

Sejarah KPH di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan hutan jati di Jawa.
Sejarah mencatat bahwa pada masa lalu, para Bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja
dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Di zaman itu telah ada semacam jabatan yang disebut
juru wana atau juru pengalasan (wana atau alas dalam bahasa Jawa berarti hutan). Setelah itu
datanglah VOC yang menguasai hutan jati di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk
kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya. Belum ada pengelolaan hutan
jati yang baik pada saat itu, VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya.
Setelah VOC bangkrut, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab
VOC dan berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula. Gubernur Jenderal Williem
Daendels (1808-1811) kemudian mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati
Jawa, dengan tetap memanfaatkan blandong5 . Pemerintah Hindia Belanda tahun 1897
membentuk houtvestrij. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai
suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam, memelihara hingga
memanen pohon.

Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berdirinya Negara
Indonesia tanggal 18 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggung-jawab dan kewenangan
pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst
van het Boschwezen dilimpahkan secara peralihan kelembagaannya kepada Jawatan Kehutanan
Republik Indonesia. Jawatan Kehutanan kemudian berubah menjadi Perusahaan Negara yang
bersifat komersial berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1961 tentang
Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara (PERHUTANI) .

Sebenarnya, sejak tahun 1990-an, di luar Jawa pernah terbentuk unit-unit Kesatuan
Pengelolaan Hutan Cabang Dinas Kehutanan Provinsi, namun tidak berkembang bahkan
dibubarkan karena kuatnya paradigma timber based management sebagai unit manajemen. Dinas
Kehutanan sebagai institusi pengurusan hutan (forest administration) kehilangan dasar
pengurusan di tingkat tapak berupa institusi pengelola (forest management) dalam bentuk KPH
(Departemen Kehutanan, 2010). Salah satu penyebab tidak berkerhasilnya Unit Pengelolaan
Hutan tersebut adalah akibat tidak jelasnya hak dan kewajiban KPH sebagai operator
pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak, ketidakjelasan hak dan kewajiban SKPD sebagai
administrator, serta tidak berperannya insititusi pusat sebagai pembina teknis dan fasilitator
namun berperan sebagai executor. Cikal bakal pembentukan KPH, sebenarnya sudah dimulai
sejak ditetapkannya kebijakan Pemerintah berupa UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kehutanan.

Namun amanat pembentukan KPH secara jelas baru tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yang
telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dalam rangka persiapan
untuk mewujudkan kelembagaan KPH, Menteri Kehutanan menetapkan KPH Model sebagai
wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual
KPH di tingkat tapak. Pembangunan KPH Model tidak dimaksudkan untuk mencari bentuk KPH
ideal yang akan diimplementasikan secara masal, tetapi merupakan bentuk awal organisasi KPH
sesuai dengan tipologi wilayah setempat, yang secara bertahap didorong untuk berkembang
sesuai dengan siklus pertumbuhan organisasi. Penetapan wilayah KPH Model bertujuan agar
tercapainya percepatan operasionalisasi KPH di seluruh Indonesia.

Perkembangan KPH sampai dengan bulan Desember 2013 adalah: Penetapan Wilayah
KPH Konservasi seluas 10,191 Juta ha pada 38 Taman Nasional, serta 12 Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa dari total luas hutan konservasi di Indonesia sebesar 26,82 Juta Ha. KPHL yang
sudah ditetapkan sebanyak 183 unit (luas 24.144.871 Ha) dan KPHP sebanyak 347 unit (luas
59.812.349 Ha). KPH Model yang sudah ditetapkannya 120 unit dari jumlah total KPH saat ini
yaitu 530 Unit. Berdasarkan jenisnya terbagi KPHL Model sebanyak 40 unit (luas 3.550.855 Ha)
dan KPHP Model sebanyak 80 unit (luas 12.888.863 Ha). Total luas KPH Model 16.439.718 Ha.
Dari 120 KPH Model yang telah ditetapkan wilayahnya, sebanyak 116 unit KPH Model telah
terbentuk organisasinya. Dari jumlah tersebut 103 unit KPH Model berbentuk Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD). Organisasi yang berbentuk Satuan Perangkat Daerah berjumlah 13 unit
dan yang belum terbentuk organisasinya sebanyak 4 unit. Saat ini total SDM di KPH adalah
1.658 orang dengan rincian Kepala KPH 98 orang, Kepala Tata Usaha 69 orang, Kepala Seksi 65
orang, staf 1.140 orang, Bakti Sarjana Kehutanan 168 orang dan lulusan Sekolah Menengah
Kejuruan Kehutanan 118 orang. Dari 120 KPH Model, telah tersusun rencana pengelolaan
sebanyak 82 KPH dan sejumlah 38 dilaksanakan pada tahun 2014 (Direktorat Wilayah
Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, 2013).

2. Alasan Diperlukan KPH

Sebagian besar (69,9%) luas daratan Indonesia (187,8 juta ha) terdiri dari kawasan hutan
(seluas 131,3 juta ha). Dari luas kawasan hutan tersebut, sekitar 52,2 persen merupakan areal
berhutan dan 47,5 % lainnya kawasan yang tidak berhutan (Direktorat Inventarisasi dan
Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2013). Kawasan hutan yang tidak berhutan tersebut
mengindikasikan hutan belum terkelola dengan baik. Data Kementerian Kehutanan (2013)
menyatakan hampir separuhnya kawasan hutan negara (46,5%) tidak dikelola secara intensif. Di
antara kawasan itu seluas 30 juta Ha hutan dibawah wewenang Pemerintah Daerah. Baru sekitar
64,37 juta Ha (53,5%) hutan yang dikelola dengan cukup intensif. Saat ini eskalasi konflik
sumberdaya hutan makin tinggi.
Kementerian Kehutanan (2013) memperkirakan seluas 17,6 juta Ha – 24,4 juta Ha hutan
terjadi konflik. Penyebab konflik lahan di kawasan hutan sangat beragam, antara lain : kebijakan
yang tidak terformulasi dengan jelas, tumpang tindih perijinan, tidak ada pengakuan hakhak
masyarakat adat dan sebagainya. Komisi Pemberantasan Korupsi (2013) dalam buku Nota
Kesepakatan antar Kementerian/ Lembaga untuk Rencana Aksi Percepatan Pengukuhan
Kawasan Hutan menyebut akar dari persoalan konflik di kawasan hutan dapat dipadatkan dalam
kalimat “tidak adanya kepastian penguasaan (tenurial security)”. Pembentukan KPH bisa
dijadikan sebagai peluang resolusi konflik yang selama ini masih terjadi.

Tata kelola hutan di Indonesia sangat lemah, karena secara de facto tidak ada pengelola
hutan yang menyebabkan sebagian besar kawasan hutan di Indonesia merupakan open acces.
Kondisi ini menyebabkan kegagalan program pembangunan kehutanan (Direktorat Wilayah
Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, 2011). Pemerintah saat ini
hanya melaksanakan fungsi administrasi pengurusan hutan dan belum melaksanakan pengelolaan
hutan secara fungsional sehingga sebagian besar kawasan hutan yang ditetapkan tidak memiliki
kelembagaan pengelola pada tingkat tapak (on site) (Karsudi, 2010). Di sisi lain implementasi
kebijakan desentralisasi sebagian pengelolaan hutan kepada pemerintah daerah adalah
desentralisasi administratif, belum pada pengertian desentralisasi yang yang sesungguhnya
(devolusi), karena beberapa kewenangan pengambilan keputusan masih dipegang pemerintah
pusat (Ekawati, 2013). KPH awalnya diarahkan menjadi bentuk nyata desentralisasi pengelolaan
hutan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pembentukan KPH diharapkan dapat
dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki permasalahan tata kelola kehutanan (Hernowo,
2011). Saat ini Kementerian Kehutanan sedang mencari format yang tepat untuk merumuskan
ulang desentralisasi pengelolaan hutan kepada KPH setelah dikeluarkannya UU No 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah.

Pembangunan KPH belajar dari pengalaman pengelolaan hutan di Jawa (oleh Perum
Perhutani), Taman Nasional dan beberapa negara maju (seperti Jerman, Swizerland). Mereka
mengelola hutannya menjadi satuan unit-unit pengelolaan dalam bentuk KPH (Forest
ManagementUnit/FMU). Model pengelolaan tersebut telah terbukti mampu memberikan
keuntungan bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat secara adil, baik dari sisi ekonomi,
sosial dan lingkungan. Pengalaman tersebut menjadi salah satu faktor pendorong komitmen
Indonesia untuk mempercepat pembangunan KPH pada kawasan hutan di luar Pulau Jawa
(Departemen Kehutanan, 2011).

3. Jenis -Jenis KPH

Berdasarkan fungsinya KPH dapat dibedakan menjadi :


a. KPH Lindung (KPHL) adalah KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian
besar terdiri dari kawasan hutan lindung.
b. KPH Produksi (KPHP) adalah KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian
besar terdiri dari kawasan hutan produksi.
c. KPH konservasi (KPHK) adalah KPH yang luas wilayahnya seluruhnya atau
didominasi oleh kawasan hutan konservasi
Apabila KPH terdiri atas lebih dari satu fungsi pokok hutan, maka penetapan KPH didasarkan
kepada fungsi pokok hutan yang luasannya dominan. Berdasarkan jangkauan wilayah kerjanya,
KPH dibedakan menjadi:
a. KPH Pusat. KPH Pusat berupa KPH yang luas wilayahnya seluruhnya atau
didominasi oleh kawasan hutan konservasi atau KPH yang wilayah kerjanya lintas
provinsi.
b. KPH Provinsi adalah KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas
kabupaten/kota.
c. KPH Kabupaten/Kota adalah KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu
wilayah kabupaten/kota.
Berdasarkan pengelolanya, KPH dibedakan menjadi :
a. KPH dikelola oleh pemerintah pusat, misalnya untuk KPHK
b. KPH dikelola oleh pemerintah provinsi, misalnya untuk KPH yang
wilayahnya lintas kabupaten/kota.
c. KPH dikelola oleh pemerintah kabupaten (contoh KPH yang luas
wilayahnya dalam satu kabupaten)
d. KPH dikelola oleh BUMN (contoh Perum Perhutani)
e. KPH dikelola oleh masyarakat dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan (KPHKm), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA)

Berdasarkan posisi KPH terhadap izin pemanfaatan hutan yang ada, KPH dibedakan menjadi:
a. KPH yang seluruh wilayahnya sudah terbagi habis dalam izin-izin
pemanfaatan/penggunaan hutan.
b. KPH yang sebagian wilayahnya sudah dibebani izin-izin
pemanfaatan/penggunaan hutan.
c. KPH yang seluruh wilayahnya belum ada izin pemanfaatan/ penggunaan
hutannya atau KPH yang seluruh wilayahnya merupakan kawasan hutan
wilayah tertentu. Wilayah tertentu antara lain adalah wilayah hutan yang
situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk
mengembangkan pemanfaatannya berada di luar areal izin pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan.

4. Tahapan pembangunan KPH di Indonesia

Menurut Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan


Hutan (2010), ada tiga 3 tahapan pembangunan KPH, yaitu: pembentukan unit wilayah KPH,
pembentukan institusi pengelola dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.

1. Pembentukan unit-unit wilayah KPH

Unit-unit wilayah KPH pada seluruh kawasan hutan dibentuk untuk menjamin adanya
kepastian wilayah kelola. Pembentukan wilayah KPH melalui tahapan :
a. Rancang bangun KPH. Rancang bangun KPH adalah rancangan wilayah KPH yang
memuat hasil identifikasi dan deliniasi awal areal yang akan dibentuk menjadi wilayah
KPH dalam peta dan deskripsinya.
b. Arahan pencadangan KPH. Arahan pencadangan KPH adalah surat dan peta arahan
pencadangan KPH yang merupakan hasil penelaahan rancang bangun KPH terhadap
kriteria yang ditetapkan.
c. Usulan penetapan KPH. Usulan penetapan KPH adalah hasil pembentukan KPH oleh
Gubernur yang berupa hasil pencermatan rancang bangun berdasarkan arahan
pencadangan KPH.
d. Penetapan wilayah KPH. Penetapan wilayah KPH adalah pengesahan wilayah KPH pada
kawasan hutan oleh Menteri.

Secara umum pembentukan wilayah KPH harus mempertimbangkan:


a. Karakteristik lahan
b. Tipe hutan
c. Fungsi hutan
d. Kondisi daerah aliran sungai
e. Kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat
f. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
g. Batas administrasi pemerintahan
h. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan
i. Batas alam atau buatan yang bersifat permanen dan
j. Penguasaan lahan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kriteria pembentukan wilayah KPH adalah sebagai


berikut :
a) Kepastian wilayah kelola
b) Kelayakan ekologi
c) Kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan dan
d) Kelayakan pengembangan pemanfaatan hutan

2. Pembentukan Institusi Pengelola

Institusi pengelola dibentuk pada setiap unit KPH, sehingga ada kepastian penanggung
jawab pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen di tingkat tapak. Institusi ini mencakup
aset/sumberdaya hutan (material), organisasi, personel, sarana dan prasarana serta anggaran.
Pembentukan institusi pengelola KPH disikapi kegamangan di beberapa daerah karena belum
jelasnya perbedaan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan dan KPH. Permasalahan
kelembagaan KPH tidak mudah diselesaikan oleh intern Kementerian Kehutanan, karena
menyangkut kebijakan daerah setempat. Walaupun Kementerian Dalam Negeri sudah
mendukung membangunan KPH dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di daerah, tetapi
kenyataannya banyak daerah masih mempertahankan KPH sebagai institusi di bawah Dinas
Kehutanan dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Pembentukan kelembagaan
KPH sebagai unit kerja terpisah dari dinas hanya dianggap sebagai cost center yang membebani
daerah.

Kecenderungan daerah untuk membentuk KPH dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis
Daerah juga perlu dianalisis sebagai upaya untuk tapping anggaran pemerintah pusat, baik yang
disalurkan melalui DIPA Kementerian Kehutanan maupun yang disalurkan melalui DAK
Kehutanan. Hal ini wajar dilakukan bila alasannya adalah keterbatasan anggaran pemerintah
daerah, dengan catatan dengan limit waktu tertentu hingga KPH tersebut harus dilepas sebagai
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Kelembagaan KPH diarahkan dalam bentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD),
tetapi beberapa daerah lebih memilih bentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).
Pembelajaran pembentukan SKPD untuk menangani bencana (dalam bentuk Badan
Penanggulangan Bencana Daerah) memberi pengalaman bahwa pembentukan institusi baru akan
membebani anggaran Pemda. Selain itu sebagian besar Pemda belum melihat perbedaan tugas
pokok dan fungsi yang cukup signifikan antara Dinas Kehutanan dan KPH.

Kelembagaan KPH yang selama ini terbentuk kemungkinan akan mengalami perubahan
seiring dengan dikeluarkannya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kelembagaan KPH yang selama ini merupakan UPTD Dinas Kabupaten atau SKPD Kabupaten
diprediksi berubah menjadi UPTD Dinas Provinsi/SKPD Provinsi atau bahkan menjadi UPT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau tugas perbantuan urusan pengelolaan hutan
dari pemerintah pusat ke KPH.

3. Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

Rencana pengelolaan hutan jangka panjang memuat :

1) Pendahuluan
2) Deskripsi kawasan (risalah wilayah KPH, potensi wilayah KPH, sosial budaya,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, posisi areal kerja dalam tata ruang
wilayah dan pembangunan daerah, isu strategis, kendala, dan permasalahan)
3) Visi dan Misi Pengelolaan Hutan
4) Analisis dan Proyeksi
5) Rencana Kegiatan Strategis (inventarisasi berkala wilayah kelola dan penataan hutannya,
pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu, pemberdayaan masyarakat, pembinaan dan
pemantauan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan pada areal yang berizin,
rehabilitasi pada areal kerja di luar izin, pembinaan dan pemantauan rehabilitasi dan
reklamasi di dalam areal yang berizin, rencana penyelenggaraan perlindungan hutan dan
konservasi alam, rencana penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang
izin, koordinasi dan sinergi dengan instansi dan stakeholder terkait, rencana penyediaan
dan peningkatan kapasitas SDM, penyediaan pendanaan, rencana rasionalisasi wilayah
kelola, review rencana pengelolaan dan pengembangan investasi)
6) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
7) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Isi dari rencana pengelolaan hutan jangka panjang
perlu dikritisi karena dokumen tersebut belum secara jelas mendiskripsikan tiga fungsi
dari hutan itu sendiri yaitu fungsi produksi, fungsi lingkungan dan fungsi sosial

Belajar dari dokumen rencana pengelolaan kelestarian hutan yang disusun oleh Perum
Perhutani, membagi rencana pengelolaan hutan menjadi tiga, yaitu: kelola produksi, kelola sosial
dan kelola lingkungan. Selain itu sistem silvikultur yang digunakan juga belum terdiskripsi
secara jelas. Penyusunan rencana pengelolaan hutan di tingkat KPH merupakan penjabaran
operasional pencapaian target-target rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota, provinsi dan
nasional. Penyusunan rencana KPH meliputi : a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan dan b) rencana strategi bisnis. Penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka panjang
banyak dibantu oleh universitas lokal dan BPKH, karena belum mapannya kelembagaan yang
ada di daerah. Seharusnya KPH adalah pihak yang paling berkepentingan untuk menyusun
dokumen rencana pengelolaan hutan di daerahnya.

5. Kriteria Dan Indicator Pembentukan Wilayah KPH


Kriteria pembentukan wilayah KPH adalah sebagai berikut : a). kepastian wilayah kelola,
b). kelayakan ekologi, c). kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan dan d).
kelayakan pengembangan pemanfaatan hutan. Masing-masing kriteria mempunyai indikator
sebagai berikut:
1. Kepastian wilayah kelola.
a. Berada dalam kawasan hutan tetap setelah tahap penunjukan atau penataan
batas atau penetapan kawasan hutan.
b. Mempunyai letak, luas dan batas yang jelas dan relatif permanen.
c. Setiap areal unit pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan wajib meregister
arealnya dalam wilayah KPH.
d. Batas wilayah KPH sejauh mungkin mengikuti batas-batas alam.

2. Kelayakan ekologi.
a. Posisi dan letak wilayah KPH mempertimbangkan kesesuaian terhadap DAS
atau Sub DAS.
b. Mempertimbangkan homogenitas geomorfologi dan tipe hutan.
c. Bentuk areal mengarah ke ideal dari aspek ekologi, yaitu areal yang kompak
lebih baik dari pada bentuk terfragmentasi dan bentuk membulat lebih baik
daripada bentuk memanjang.
3. Kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan.
a. Luas wilayah KPH dalam batas rentang kendali yang optimum.
b. Luas wilayah KPH mempertimbangkan intensitas pengelolaan dari aspek
produksi.
c. Mempertimbangkan keutuhan batas izin pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan, serta lembaga pengelolaan hutan lain yang telah ada.

4.Kelayakan pengembangan pemanfaatan hutan.


a. Mempertimbangkan kemungkinan pemanfaatan potensi sumber daya hutan.
b. Merupakan areal yang kompak atau memiliki tingkat fragmentasi areal yang
rendah.
c. Memiliki tingkat aksesibilitas yang memadai.

6. Kriteria Dalam Menentukan Luas/Batas Wilayah KPH Sehingga Dapat Memberikan


Efisiensi Dan Efektifitas Organisasi Kph Yang Dibentuk
Dalam menentukan luas/batas wilayah KPH digunakan kriteria-kriteria yang dapat
memberikan jaminan efisiensi dan efektifitas organisasi KPH yang akan dibentuk, antara lain :
a) Tujuan pengelolaan
b) Kondisi daerah aliran sungai. Dasar penentuan luas wilayah KPH seyogyanya berdasar
kepada bentang alam ekosistem DAS namun karena kawasan hutan bukan merupakan
kertas putih DAS yang bisa didesain dengan mudah maka modifikasi perlu dilakukan
dengan memperhatikan kondisi lapangan( existing condition).
c) Batas administrasi pemerintahan
d) Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan
e) Aksesibilitas
f) Rentang kendali
Berdasarkan hasil penelitian Suhendang (1990) dalam Samsuri (2004) luas kawasan
hutan yang dikelola oleh suatu kesatuan pengelolaan hutan sebagai suatu kesatuan pengurusan
kehutanan ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1) Kemampuan petugas lapangan (mandor)
2) Karakteristik pengusahaan hutan
3) Potensi sumber daya hutan
4) Aksesibilitas
5) Intensitas pengelolaan

7. Tipologi KPH

Setiap KPH juga memiliki karakteristik yang bervariasi baik ditinjau dari potensi hutan
yang ada (biofisik dan produk hutan), kapabilitas pengelola KPH (lembaga dan jumlah SDM),
kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta dukungan pemerintah daerah. Di sisi
lain, kebijakan pembangunan KPH yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan seragam
untuk semua kondisi. Atas dasar keragaman karakteristik yang ada dirasakan perlu untuk
membuat tipologi KPH. Tipologi KPH akan membantu pemilihan strategi untuk mempercepat
pembangunan KPH. Tipologi KPH diperlukan bukan oleh KPH namun oleh pemerintah sebagai
administrator/regulator untuk bisa menentukan bentuk intervensi yang perlu dilakukan apabila
suatu KPH memerlukan intervensi Pemerintah.

Kartodihadrjo et al (2011) secara sederhana membuat empat tipologi KPH dengan


mempertimbangkan faktor tahapan perkembangan KPH dan potensi sumberdaya yang terdapat di
dalam kawasan hutan. Tipologi KPH tersebut adalah :
a. KPH dalam tahap pembentukan dan potensi sumberdaya cukup
b. KPH telah terbentuk dan potensi sumberdaya cukup
c. KPH dalam tahap pembentukan dan tidak memiliki potensi sumberdaya cukup
d. KPH telah terbentuk dan tidak mempunyai potensi sumberdaya cukup.
Budiningsih (2013), menyusun tipologi KPH dengan mempertimbang kan beberapa
faktor yakni pengetahuan pengelola KPH (tupoksi KPH dan konsep pengelolaan di tingkat
tapak), kapabilitas pengelola KPH (jumlah dan kapabilitas SDM), partisipasi stakeholder dalam
pembangunan KPH (komitmen Pemda, partisipasi masyarakat dan konflik) dan potensi usaha
(luas KPH, potensi kayu, potensi HHBK yang dapat dikembangkan dari KPH.Berdasarkan faktor
tersebut KPH dibedakan menjadi :
a. KPH tipe A : karakteristik pemahaman konsep KPH baik, SDM cukup dan kapabel,
dukungan stakeholder tinggi, dan potensi usaha baik. Contoh: KPH Yogyakarta.
b. KPH tipe B : karakteristik pemahaman konsep KPH sedang, jumlah dan kapabilitas SDM
tersedia tapi belum cukup, dukungan stakeholder sedang, dan potensi usaha sedang.
Contoh : Rinjani Barat (NTB), Limau (Jambi), Merangin (Jambi), Lakitan(Musi Rawas),
Batu Lanteh(NTB), Rote Ndao (NTT), Banjar (Kalsel), Seruyan (Kalteng), Lakompa
(Buton), Jeneberang (Sulsel), Mamasa Barat (Sulbar), 50 Kota (Sumbar), Beram Hitam
(Jambi), Batu Tegi (Lampung), Rinjani Timur (NTB), Bali Barat (Bali), Bali Tengah
(Bali), Bali Timur (Bali), Tarakan (Kaltim), Ganda Dewata (Sulbar), Mapili (Polewali),
Gularaya (Sultenggara), Kapuas (Kalteng), Biak Numfor (Papua).
c. KPH Tipe C: karakteristik pemahaman konsep KPH kurang, jumlah dan kapabilitas SDM
belum cukup, dukungan stakeholder kurang, dan potensi usaha kurang. Contoh : P.Laut
dan Sebuku (Kalsel), Kapuas Hulu (Kalbar), Tanah Laut (Kalsel), Kendawangan
(Kalbar), Lamandau (Kalteng), Sinopa (Maluku), Lariang (Sulbar), Malunda (Sulbar),
Way Terusan (Lampung), Muara Duo (Lampung).
8. Deskripsi Umum Klasifikasi KPH
No Klasikikasi Diskripsi umum
1. Sangat baik • Kelembagaan : ada organisasi, memiliki SDM di atas 20 orang,
didukung dana APBD serta sapras fasilitasi Kemenhut telah
dimanfaatkan
• Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) :
dinilai/disahkan
• Aktivitas pengelolaan : ada mandiri/APBD dan APBN
2. Baik • Kelembagaan : ada organisasi, memiliki SDM di atas 6-20 orang,
didukung dana APBD serta sapras fasilitasi Kemenhut telah
dimanfaatkan
• Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) :
dinilai/disahkan
• Aktivitas pengelolaan : ada mandiri/APBD dan APBN
3. Cukup baik • Kelembagaan : ada organisasi, memiliki SDM di atas 1 -5 orang,
didukung dana APBD serta sapras fasilitasi Kemenhut telah
dimanfaatkan
• Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) : proses
penilaian
• Aktivitas pengelolaan : ada mandiri/APBD dan tidak ada dukungan
APBN
4. Kurang baik • Kelembagaan : belum ada organisasi, belum ada SDM, belum
didukung dana APBD serta sapras fasilitasi Kemenhut belum
dimanfaatkan
• Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) : proses
penyusunan
• Aktivitas pengelolaan : tidak ada kegiatan mandiri/ APBD

Anda mungkin juga menyukai