Anda di halaman 1dari 9

Selamatkan Bumi Indonesia !

Ir. Didiek S. Hargono SE.ME.

”Earth is enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.”
“Alam ini akan selalu mampu mencukupi kebutuhan makan bagi penghuninya, tetapi tidak mampu untuk mencukupi satu saja
manusia yang rakus”

Pengantar
Setiap tanggal 22 April 2008 kita memperingati hari Bumi, planet yang telah berusia kurang lebih
5.500.000.000 tahun. Hari Bumi ini di Indonesia sebenarnya tidak lazim diperingati sebelum tahun 1972,
apalagi saat itu kekayaan alam kita masih sangat banyak dan kondisi lingkungan hidup kita masih jauh
lebih baik, sehingga rasanya pada saat itu orang Indonesia masih “belum perlu” merasa khawatir untuk
menyelamatkan bumi dan lingkungannya.
Gagasan hari bumi sendiri muncul dari seorang senator dari Amerika Serikat Gaylorfd Nelson yang
menyaksikan betapa menurunnya kualitas lingkungan di bumi yang hanya satu-satunya tempat hidup
manusia. Kerusakan yang juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri sudah kian menjadi-jadi,
sehingga setelah menyampaikan pidatonya di Seattle pada tahun 1969, Gaylorfd bersama dengan teman-
teman LSM, 1500 perguruan tinggi, dan 10.000 sekolah, turun ke jalan untuk mengadakan aksi
penyelamatan bumi dari kerusakan.
Segera setelah aksi tersebut berturut-turut terjadi pergerakan dalam upaya penyelamatan bumi mulai dari
Konferensi Tingkat Tinggi Lingkungan Hidup pada tahun 1972 di Stockholm, konferensi tingkat dunia
yang membicarakan lingkungan dunia global di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang menyepakati
Forestry Principle yang menekankan pentingnya hutan bagi masa depan umat manusia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah kita memiliki persetujuan yang mengikat secara hukum berkaitan
dengan perlindungan lingkungan hidup untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu melalui Protocol
Kyoto. Tetapi agar kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan secara operasional, maka harus diratifikasi
oleh 55 negara. Ratifikasi tersebut juga harus mencakup negara penghasil 55% emisi gas rumah kaca
dunia, yang berarti bahwa negara-negara industri besar harus meratifikasinya. Pada saat itu hanya sedikit
negara industri besar yang meratifikasinya, hingga terselenggaranya konferensi Global Warming baru-
baru yang diadakan di Bali yang menghasilkan Bali Roadmap, hanya tinggal Amerika Serikat yang masih
belum meratifikasinya.

Indonesia sebagai “Zamrud Katulistiwa”


Indonesia yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa adalah sebuah negara kepulauan yang terbentang
antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Lebih dari 17.000 pulau telah tercatat, 6.000 di antaranya
merupakan pulau berpenghuni. Indonesia juga diberkahi dengan lintasan khatulistiwanya di area Asia
Tenggara. Luas total daratan mencapai 1.811.570 km2 dan 63 persen (1.134.330 km2) masih berupa
hutan. Sementara itu luas total wilayah air adalah 317 juta hektare termasuk zona ekonomi eksklusif
(ZEE) 473 ribu hektare. Penduduknya terdiri dari 600 kelompok etnik, diperkirakan jumlahnya telah
mencapai 210 juta jiwa pada 2002, dengan hampir 80 persen tinggal di Pulau Jawa (Data BPS dan KLH).
Kekayaan alamnya yang memiliki 25.000 hingga 30.000 spesies tumbuh-tumbuhan atau sekitar 10% dari
jumlah total spesies tumbuhan yang ada di dunia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari permukaan
bumi, saat ini lebih dari 590 spesies tumbuhan di Indonesia dalam resiko akan terancam punah atau telah
punah.
Indonesia setidaknya mempunyai 47 ekosistem unik. Walaupun luasnya hanya 1,3 persen dari permukaan
dunia, namun 17 persen dari spesies di dunia hidup di Indonesia, melebihi segala bentuk kehidupan dari
seluruh Benua Afrika. Dalam hitungan persen, Indonesia setidaknya memiliki 11 persen dari spesies
tanaman bunga dunia, 12 persen spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies amfibi dan reptil,
17 persen dari spesies buning dunia, dan 37 persen dari spesies ikan di dunia. Dalam hal jumlah,
Indonesia mempunyai 515 spesies mamalia, peringkat pertama di dunia, dan 36 persen endemik. 122
spesies kupu-kupu, angka tertinggi di dunia, 44 persen endemik. Lebih dari 600 spesies reptil (peringkat
ketiga di dunia), 153 spesies burung (28 persen endemik) dan lebih dari 270 spesies amfibi, merupakan
peringkat lima besar dunia, serta 28.000 tanaman bunga, menduduki peringkat ketujuh dunia.
Dalam hal kelautan Indonesia menempati pusat Indo-pacific biogeographic kelautan dan posisinya yang
strategis antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sehingga tidak mengherankan jika sangat kaya akan
variasi kelautan dan pesisirnya. Misalnya, hutan mangrove terbesar di Asia, padang lamun, dan hamparan
terumbu karang. Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 3,8 juta hektare yana menempatkan
Indonesia sebagai pemilik hutan mangrove terbesar di dunia. Disusul oleh Nigeria 3,24 juta hektare dan
Australia 1,6 juta hektare. Hampir 2/3 dari perbatasan laut Indonesia ditutupi oleh terumbu karang yang
diperkirakan mencapai 7.500 km2. Banyak kehidupan yang bergantung pada keberlangsungan eksistensi
terumbu karang, seperti pemijahan ikan dan lebih dari 200 jenis ikan hias (Kementerian Negara
Lingkungan Hidup dan Konphalindo, Atlas of Biodiversity in Indonesia. Jakarta. 1995)
Hal ini hanya untuk menunjukkan betapa Indonesia itu kaya akan potensi yang harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia dengan konsep lestari dan berkeadilan. Kerusakan ekosistem dan
lingkungan di Indonesia akan mempengaruhi dunia, karena potensi hal tersebut di atas. Akan tetapi
Indonesia menerapkan kebijakan yang salah kaprah, dengan dukungan negara-negara industri besar dunia
terjadi perusakan besar-besaran, sehingga berdampak pada diri sendiri dan dunia. Anehnya setelah rusak,
kita yang dipersalahkan dan diminta harus menanggung beban tersebut.

Kerusakan Hutan Indonesia Awal Malapetaka


Kerusakan hutan merupakan awal dari siklus penurunan kualitas lingkungan hidup, karena hutan
merupakan bagian terpenting dalam siklus ekologi. Kerusakan hutan di Indonesia sudah dalam tingkat
yang membahayakan. Pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah berlomba-lomba mengeruk
sumber daya hutannya untuk mencukupi kebutuhan dana pembangunan daerahnya, yang sering
menguntungkan perseorangan atau kelompok elit daerah. Bahkan kadangkala tidak adanya rencana yang
sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan hidup, kalaupun ada sering dilanggar, daerah-daerah yang
“haram” untuk disentuh, seperti Taman Nasional, Hutan Lindung, dan sejenisnya, terpaksa harus dibabat
atas nama kebutuhan “rakyat”. Jika perijinan sulit, maka jurus-jurus lama dikeluarkan melalui upaya tidak
terpuji yang justru melibatkan aparat yang seharusnya bertugas menjaganya. Dengan prinsip “semakin
banyak pihak yang terlibat, maka akan semakin aman dan lancar upaya ilegal loging dan pencurian kayu
hutan”.
Akibatnya tercapailah prestasi terbesar pemerintah yaitu diraihnya predikat untuk Indonesia sebagai
negara dengan laju kerusakan hutan (deforestasi) yang tercepat di dunia (Guinness Book of World
Records – April 2007). Indonesia dinilai bertanggung jawab atas menciutnya kapasitas paru-paru dunia
dan juga dituduh sebagai negara yang membiarkan berlangsungnya illegal loging dan pembakaran hutan
untuk lahan perkebunan. Indonesia bersama Papua Nugini dan Brasil mengalami kerusakan hutan
terparah sepanjang kurun 2000-2005. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menghancurkan
kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, yang nilainya setara dengan hancurnya 300 lapangan
bola setiap jam. Hal ini disebabkan oleh karena hutan alam Indonesia secara legal dieksploitasi di bawah
kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kedua kebijakan ini
membuka peluang eksploitasi hutan yang menguntungkan para taipan pemegang konsesi. Sistem HPH
dan HTI sangat bertanggung jawab atas percepatan laju deforestasi di Indonesia.
Departemen Kehutanan mengeluarkan angka deforestasi Indonesia sepanjang tahun 1997-2000 sebesar
2.84 juta hektar per tahun, sedangkan sepanjang tahun 2000-2005 mencapai 1.8 juta hektar per tahun.
Menurut Green Peace luas hutan Indonesia pada tahun 1950 berjumlah 162 juta hektar (84%), kemudian
menjadi 119 juta hektar (64%) pada tahun 1985, dan terus menurun pada tahun 1997 menjadi 98 juta
hektar (50%), hingga kini (2005) tersisa 85 juta hektar (43%). Menurut GreenPeace, dalam separuh abad
terakhir Indonesia telah kehilangan separuh dari hutannya, sehingga yang tersisa adalah 55 juta hektar,
tetapi Departemen Kehutanan mencatat luas hutan Indonesia 133.57 juta hektar. Dari luas hutan tersebut
jumlah hutan Papua yang masih tersisa seluas 40.546.360 hektar. Hutan gambut di Indonesia yang
mencapai 22,5 juta hektar dan di Riau menyimpan hampir separuhnya, sebentar lagi sudah tinggal
kenangan. Padahal dengan dilakukannya konversi hutan gambut tersebut berakibat dilepaskannya 1.100
juta ton Co2 (Karbondioksida) per tahun ke atmosfir Indonesia, yang menjadi biang keladi “Green House
Effect” (Cifor, 2007).
Belum lagi di sektor kelautan, sektor dalam bidang kelautan yang paling parah mengalami kerusakan
adalah hutan mangrove dan terumbu karang, akibat dari sistem pertanian dan pertambakan yang tidak
terencana dan terkontrol. Diperkirakan hanya tinggal 60 persen hutan mangrove kita masih dalam kondisi
baik, namun pada saat yang sama lebih dan 840.000 hektare hutan mangrove akan diubah menjadi lahan
pertambakan. Terumbu karang yang merupakan habitat kehidupan laut juga mengalami ancaman hebat.
Terutama dari praktik penangkapan ikan yang destruktif, yaitu dengan pemboman ataupun pemakaian
racun. Sektor pariwisata juga mengancam kehidupan terumbu karang dengan pemakaian terumbu karang
sebagai pondasi dari cottage yang dibangun untuk kepentingan industri pariwisata.
Jadi berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup tahun 2006 dapat diambil kesimpulan bahwa
kerusakan alam kita sudah sangat parah, mulai dari air, udara, dan lahan atau hutan. Ketersediaan air
bersih cenderung menurun sebesar 15-35 % per kapita per tahun, karena kerusakan lingkungan di daerah
tangkapan air, sehingga saat hujan tidak banyak air yang meresap ke dalam tanah, dan sebagian lagi
mengalir menjadi aliran permukaan yang mengakibatkan banjir, sebaliknya di musim kemarau, ancaman
kekeringan semakin besar karena kurangnya ketersediaan air. Terjadinya penurunan kualitas air karena
masuknya bahan pencemar air dari limbah industri, air limbah domestik maupun sampah. Terjadi pula
penurunan kualitas udara yang sangat seius, khususnya di kota-kota besar akibat emisi yang masuk ke
udara ambient melebihi daya dukung lingkungan. Kondisi sumberdaya lahan dan hutan kita ditandai
dengan kerusakan lahan dan hutan mencapai 59.2 juta ha dengan laju deforestasi mencapai 1.19 juta ha
per tahun.

Dampak Investasi Asing Pada Kerusakan Lingkungan


Investasi asing turut juga menyumbangkan kerusakan bumi Indonesia. Selain merugikan karena hasil
bumi kita dikeruk hanya untuk kepentingan bangsa asing dan sedikit dari elite kekuasaan, juga akibat
jangka panjang untuk generasi selanjutnya adalah kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini secara
luas dan masif sudah terjadi sejak tiga dekade terakhir. Ditandai dengan kelahiran tiga paket UU yang
membuka peluang eksploitasi sumber daya alam Indonesia secara masif, yaitu UU Kehutanan 1967, UU
Pertambangan 1967, dan UU Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri 1967. Akibatnya terjadi dampak
yang mengerikan yaitu banyak investor asing yang masuk ke Indonesia yang mengeksploitasi
sumberdaya alam Indonesia tanpa aturan perlindungan lingkungan dan kesadaran lingkungan yang belum
berkembang seperti sekarang, sehingga mereka beroperasi tanpa dibebani kewajiban sosial dan
lingkungan. Bahkan, oposisi dari masyarakat baru muncul pada tahun 1980-an berupa protes masyarakat
atas rusaknya lingkungan mereka akibat aktivitas pertambangan. Sebut saja Suku Amungme dan Komoro
di Papua Barat yang bersengketa dengan Freeport mengenai lahan mereka; perusahan minyak Mobil Oil
di Aceh, dan tambang Newmont di Sulawesi Utara.
Pada era pemerintahan Bung Karno, dengan tegas beliau menolak meminta pinjaman untuk pembangunan
atau membuka lebar-lebar pintu investasi asing. Padahal ketika itu tahun 1945, dimana Indonesia baru
saja memproklamirkan kemerdekaannya. Bung Karno pada saat itu bahkan ingin agar Indonesia dibangun
sendiri oleh pemuda-pemudi terampil yang telah berhasil menempa ilmu baik di dalam dan di luar negeri.
Tetapi bukan berarti bahwa Bung Karno anti modal asing. Hal ini tercermin ketika Megawati
Soekarnoputri yang saat itu berusia 16 tahun bertanya padanya perihal mengapa Bung Karno tidak segera
bertindak untuk mengelola sumber daya alam Indonesia, padahal saat itu istana selalu ramai dikunjungi
investor asing yang minta kepada Bung Karno supaya dibolehkan mengeksplorasi dan mengeksploitasi
minyak dan sumber daya mineral lainnya. Bung Karno selalu menolak kecuali untuk hal-hal yang sangat
urgent dan minimal sekali dalam pemenuhan kebutuhan yang mendesak. Bung Karno menjelaskan
kepada Megawati : “Nanti Dis (nama panggilan Mega), kita tunggu sampai kita mempunyai insinyur-
insinyur sendiri !”.
Bung Karno ingin menggarap sumber daya mineral yang ada di bumi Indonesia oleh insinyur-insinyur
Indonesia sendiri yang sedang disiapkannya. Bung Karno lebih mencintai bangsanya tanpa merugikan
orang lain dan memimpikan bangkitnya perusahaan-perusahaan minyak Indonesia seperti Shell, Exxon
Mobil, Chevron, Total dan sebagainya. Dalam era Presiden Soekarno utang luar negeri kita hanya sebesar
US$ 2 miliar. Sumber daya alam kita praktis utuh. Tetapi memang kondisi ekonomi kita hancur pada saat
itu, bahkan inflasi mencapai 600%. Terlantarnya ekonomi dan tidak adanya perhatian terhadap
pembangunan ekonomi bukan berarti Bung Karno tidak mengerti ekonomi. Bung Karno tidak
mengundang modal asing secara besar-besaran, dan tidak mempersilakan akhli-akhli asing
mengendalikan Indonesia, karena Bung Karno mengerti betul konsekuensi jika politik kita tidak berdaulat
dan ekonomi kita tidak mandiri. Bung Karno terfokus untuk menggembleng bangsa Indonesia menjadi
satu nation yang diikat dengan Tunggal Eka dalam Kebhinekaannya membutuhkan waktu dan prioritas
tinggi, sehingga pembangunan ekonominya tidak terlampau tertangani. Selain itu dalam periode tersebut
terjadi banyak gangguan seperti pemberontakan DI/TII, RMS, PRRI/Permesta, dan rongrongan dari
kekuatan-kekuatan geopolitik.
Setelah Soekarno tumbang oleh kekuatan asing (Amerika), penggantinya Soeharto dengan triumviratnya
yaitu Adam Malik dan Hamengkubowono IX, di Genewa bersepakat dengan para kapitalis besar Amerika
membagi kekayaan alam Indonesia kepada penguasa modal besar Amerika Serikat tersebut. Papua,
Sulawesi, Jawa, dan Sumatera dibagi habis. Sehingga ketika Soeharto berkuasa, segera dibukalah selebar
lebarnya pintu investasi asing melalui UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam dan Luar
Negeri, yang hingga saat ini tidak ada upaya untuk mengambil alih kembali perusahaan tersebut,
walaupun insinyur, PhD, dan Professor kita sudah menumpuk. Freeport masih bercokol di Papua,
Newmont di Sulawesi, dan Exxon/Caltex di Jawa dan Sumatera. Apakah tenaga ahli kita tidak mampu?
Bohong besar… Kekuatan KKN birokrat dan pengusaha asinglah yang mengatur semuanya agar
kepentingan penanaman modal negaranya di Indonesia tetap dipertahankan. Biarlah kekayaan alamnya
dikeruk mereka dan rakyat Indonesia yang menanggung kerusakan alamnya. Puluhan universitas ternama
telah bertahun-tahun mencetak sangat banyak insinyur pertambangan, dan di antaranya banyak yang
bergelar Ph.D dan Profesor. Namun 92% dari minyak kita tetap dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan
asing hingga saat ini. Pertamina hanya mengeksploitasi 8% saja. Formula kontrak bagi hasil mengatakan
85% untuk Indonesia dan 15% untuk perusahaan minyak asing. Namun kenyataan sampai sekarang, 40%
dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing dan 60% oleh bangsa Indonesia. Asing tidak memperoleh
15% sesuai dengan kontrak, karena di dalam kontrak itu ada ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus
dibayar terlebih dahulu sampai habis (tetapi hingga kini tidak habis habis). Yang tersisa untuk kita adalah
kerusakan hutan dan lingkungan.

Dampak Kerusakan Lingkungan Terhadap Pemanasan Global


Kerusakan demi kerusakan tersebut menyebabkan terjadinya pemanasan global. Konsentrasi gas-gas
tertentu yang dikenal sebagai gas rumah kaca, terus bertambah di udara akibat tindakan manusia melalui
kegiatan industri, khususnya CO2 dan chloro fluorocarbon. Yang terutama adalah karbon dioksida, yang
umumnya dihasilkan dari penggunaan batubara, minyak bumi, gas, penggundulan hutan, serta
pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi metan
disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian. Chlorofluorocarbon (CFC) merusak lapisan ozon seperti
juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global, tetapi sekarang dihapus dalam Protokol Montreal.
Karbon dioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di
udara dan menyaring banyak panas dari matahari.
Proses pemanasan global dipicu oleh adanya efek rumah kaca, dimana energi dari matahari memacu
cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut
ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmosfer (uap air, karbon dioksida dan gas lainnya) menyaring
sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini
maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak
mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman
sekitar 60°F/15°C. Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrai gas rumah kaca pada
atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah
mendekati 30%, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%.
Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Mengapa
konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Para ilmuwan umumnya percaya bahwa pembakaran bahan bakar
fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon
dioksida dan gas rumah kaca.
Sementara lautan dan vegetasi yang bertugas menangkap banyak CO2 tidak mampu mengimbangi
pertambahan CO2 dari kegiatan manusia di bumi, hal ini berarti bahwa jumlah akumulatif dari gas rumah
kaca yang berada di udara bertambah setiap tahunnya dan berarti mempercepat pemanasan global.
Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara spektakuler, dimana sekitar 70%
energi dipakai oleh negara-negara maju; dan 78% dari energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal
ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan yang
lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk pemanfaatan ”energi tak dapat habis”
seperti matahari, angin, biogas, air, khususnya hidro mini dan makro, baik di negara maju maupun miskin
tetaplah rendah (dalam perbandingan dengan bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk
bahan bakar fosil dan energi nuklir). Padahal sumber energi ini dapat mengurangi penggunaan bahan
bakar fosil.
Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, menyebabkan emisi karbon
bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi
kesuburan tanah. Padahal tanah mengandung karbon sebanyak 24 milyar ton dan hutan Indonesia
menyumbangkan emisi CO2 sebesar 2.6 milliar ton per tahun, walaupun juga mengandung 19 milliar ton
carbon.
Jika diamati maka sumber pencemar utama adalah transportasi, kebakaran hutan, limbah rumah tangga,
limbah tambang, dan limbang industri. Selama 1985 – 2000 jumlah kendaraan sebagai sarana transportasi
meningkat dari 1.2 juta menjadi 19 juta. Pada tahun 1985 – 1997 seluas 20 juta hektar hutan terbakar dan
dibakar, dan pada tahun 1997-1998 luas hutan yang terbakar dan dibakar sebesar 10 juta hektar. Dalam
hal limbah rumah tangga – hanya 3-5% yang punya akses saluran limbah rumah tangga, sehingga
menyumbangkan Emisi CO2 sebanyak 35 juta ton CO2. Pertambangan menyumbang limbah seperti
tailing dan merkuri dalam jumlah yang besar, sedangkan industri lainnya menyumbangkan limbah cair
(black liquor) karena system daur ulang limbah yang tidak ada, tidak lengkap, atau tidak baik dan juga
menyumbangkan Emisi CO2 sebanyak 275 juta ton per tahun.
Terjadinya Global Warming diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Pengelolaan
hutan yang salah dan menyebabkan hutan tropis hancur serta tidak memberikan manfaat yang signifikan
baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di sekitarnya. Yang mengeruk keuntungan adalah
pengusaha yang secara semena-mena telah menghancurkan hutan yang menjadi tempat menyimpan air
dan penghasil oksigen bagi mahluk hidup dan tempat hidup flora dan fauna. Pengelolaan yang salah
menyebabkan bencana banjir dan dampak lingkungan lain, rakyat yang sudah miskin tetap miskin dan
bahkan menjadi lebih miskin karena hutannya sudah hancur. Bertambahanya suhu global yang tidak dapat
dicegah lagi dan bahwa perubahan iklim mungkin sudah terjadi sekarang. Selain itu penyebab utamanya
adalah adanya konsumsi yang berlebihan. Bukan oleh 80% penduduk miskin di 2/3 belahan bumi, tetapi
oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber alam dunia. Program konversi
minyak tanah menjadi gas juga dapat diambil sebagai contoh bahwa ketidaksiapan pemerintah secara
infrastruktur dan juga sosialisasi, menyebabkan banyak orang desa menggunakan lagi kayu bakar dengan
merambah hutan, karena untuk memasak mereka sulit memperoleh minyak tanah dan gas, serta harga gas
terus membumbung tinggi. Kampanye dalam rangka Pemilu juga memacu kerusakan lingkungan, karena
penyumbang dana pemilu bisa jadi disumbang oleh pengusaha pembalakan hutan liar sebagai upaya
pencucian uang.
Situasi seperti ini bahkan menjadi lebih buruk lagi dikarenakan banyak dan luasnya areal hutan alam
menurun, begitu juga dengan manfaatnya bagi masyarakat. Banyak tanaman liar yang juga komersial,
telah dieksploitasi secara berlebihan. Cadangan hutan dan area yang dilindungi oleh pemerintah, dikelola
oleh pihak yang dalam pengelolaannya tidak melibatkan komunitas setempat, sehingga mengakibatkan
konflik sosial yang seharusnya tidak perlu terjadi. Banyak spesies tumbuh-tumbuhan yang manfaat
potensialnya belum diketahui, tetapi spesies tersebut telah berkurang pada tingkat yang membahayakan
dan punah lebih cepat dibandingkan laju pengumpulan tumbuhan tersebut untuk dapat diteliti, dikenal dan
diregenasikan kembali.
Gaya hidup manusia modern juga menjadi penyebab rusaknya lingkungan. Sampah yang dihasilkan
perumahan atau kota turut menyumbang kematian sungai yang mengaliri perkotaan. Bencana itu masih
ditambah dengan tumbuhnya industri di sepanjang sungai yang sering digunakan sebagai sarana
pembilasan dan pembuangan sampah industri. Hampir semua sungai di Indonesia mengalami tekanan
kerusakan fungsi ekosistemnya.

Dampak Pemanasan Global Dan Perubahan Iklim


Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Sejumlah bukti
baru dan kuat yang muncul dalam studi mutakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi
50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia. Pemanasan global di masa depan lebih besar dari
yang diduga sebelumnya. Saat ini kita menghadapi bertambahnya suhu global yang tidak dapat dicegah
lagi dan bahwa perubahan iklim mungkin sudah terjadi sekarang.
Dalam Panel Antar Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim yang diselenggarakan pada bulan Desember
1977 dan Desember 2000, badan yang terdiri dari 2000 ilmuwan tersebut menyebutkan sejumlah realitas
yang terjadi saat ini, diantaranya :

» Mencairnya es di kutub utara dan selatan sebagai akibat dari pemanasan global menyebabkan dampak
yang sangat besar, karena air mempunyai konsep bejana berhubungan, sehingga menyebabkan naiknya
permukaan air laut rata-rata 0.57 cm/tahun yang dapat menyebabkan banyak pulau di Indonesia akan
terendam dan tenggelam. Diperkirakan bahwa pada tahun 2050 seluruh pesisir Indonesia bakal
tenggelam 0.28 – 4.17 meter. Bahkan di DAS Citarum 26 ribu hektar kolam dan 10 ribu hektar sawah
terancam terendam air laut,
» Curah hujan rata-rata naik 2-3%, tetapi ada di beberapa tempat di Indonesia yang justru menurun.
Serangan angin kencang yang sebelumnya jarang terjadi menjadi lebih sering. Musim hujan menjadi
berubah dan selalu terlambat, hal ini menyebabkan petani di beberapa tempat seperti di Subang dan Pati
gagal panen. Musim hujan juga menjadi lebih pendek, sebagaimana yang dirasakan di Manggarai –
NTT.
» Suhu rata-rata udara di Indonesia naik 0.3 o C per tahun sejak tahun 1990.
» Terumbu karang menjadi rusak karena suhu air laut meningkat 0.2 – 2.5 derajat Celcius setiap tahun,
bahkan di pulau Pari – Kep. Seribu terjadi pemutihan 50% terumbu karangnya.
» Kesuburan tanah pertanian merosot hingga 2-8%, sehingga produksi padi menurun 4% per tahun.
Pasokan beras lokal di Karawang dan Subang menurun 95%, dan produksi jagung menurun 59% per
tahun. Produksi kacang-kedelai turun 10% per tahun.
» Permukaan tanah turun 0.8 cm per tahun
» Bencana-bencana alam lebih sering terjadi dan lebih dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin topan,
siklon dan kekeringan akan terus terjadi. Bencana badai besar terjadi empat kali lebih besar sejak tahun
1960.
» Suhu global meningkat sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, tetapi di sejumlah tempat
dapat lebih tinggi dari itu.
» Permukaan es di kutub utara makin tipis.
» Penggundulan hutan, yang melepaskan karbon dari pohon-pohon, juga menghilangkan kemampuan
untuk menyerap karbon.
» 20% emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia dan memacu perubahan ilim.
» Sejak Perang Dunia II jumlah kendaraan motor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680 juta;
kendaraan motor termasuk merupakan produk manusia yang menyebabkan adanya emisi carbon
dioksida pada atmosfer.
» Selama 50 tahun ini kita telah menggunakan sekurang-kurangnya setengah dari sumber energi yang
tidak dapat dipulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia.
» Negara-negara miskin akan dilanda kekeringan dan banjir, dimana sekitar tahun 2020 penduduk dunia
akan terancam bahaya kekeringan dan banjir dan akan menderita luar biasa akibat perubahan iklim
karena letak geografisnya serta kekurangan sumber alam untuk penyesuaian dengan perubahan dan
melawan dampaknya.
» Biaya tahunan untuk menangkal pemanasan global dapat mencapai 300 miliar dollar, 50 tahun ke depan
jika tidak diambil tidakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika pemimpin politik kita dan
pembuat kebijaksanaan politik tidak bertindak cepat, dunia ekonomi akan menderita kemunduran
serius. Selama dekade lalu bencana alam telah mengeruk dana sebesar 608 milliar dollar.
» Panen makanan pokok seperti gandum, beras dan jagung dapat merosot sampai 30% seratus tahun
mendatang akibat pemanasan global (Wakil PBB untuk Program Lingkungan Hidup pada Konferensi
Perubahan Iklim ke-7 di Maroko November 2001)
» Para petani akan beralih tempat olahan ke pegunungan yang lebih sejuk, menyebabkan terdesaknya
hutan dan terancamnya kehidupan di hutan dan terancamnya mutu serta jumlah suplai air. Penemuan
baru ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari rakyat pedesaan di negara berkembang sudah
mengalami dan menderita kelaparan dan gizi buruk tersebut. Pengungsi akibat lingkungan hidup sudah
berjumlah 25 juta di seluruh dunia

Upaya Pencegahan dan Penyelamatan


Lalu apa yang dapat kita lakukan? Sebagai bagian dari populasi dunia, maka yang kita lakukan di
Indonesia yang merupakan paru-paru dunia akan sangat berdampak pada dunia. Tetapi pemerintah yang
mempunyai kekuatan secara politis perlu mengembangkan struktur yang dapat melindungi lingkungan
global dengan melakukan lobi-lobi lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan ikut mendukung
persetujuan internasional seperti Protokol Kyoto. Keutuhan lingkungan yang nyata hanya akan dicapai
dengan upaya terpadu dari semua pihak. Krisis lingkungan pada dasarnya adalah krisis nilai. Kita
membutuhkan suatu model sikap untuk melihat dunia secara berbeda. Pendidikan diperlukan agar
masyarakat waspada tidak saja terhadap lingkungan yang mengancam planet tetapi juga waspada
terhadap misteri yang mendasari eksistensi planet. Menjaga lingkungan hidup berarti ajakan untuk
memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan manusia, sambil mengolah alam, manusia
tidak merusak keseimbangan dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada
tanah, udara dan air bagi keberadaannya.Proses pemanasan global

Isyu lingkungan hidup telah menjadi inti pemikiran sosial, politik dan ekonomi karena degradasi yang
seringkali menyebabkan penderitaan kelompok miskin dari masyarakat. Resiko akibat perubahan iklim
dan bertambahnya bencana alam mendorong untuk mempersoalkan kembali keyakinan masyarakat
modern. Berkembangnya gap antara kaya dan miskin tidak boleh membuat orang acuh tak acuh dan
mencegah penggunaan berlebihan sumber-sumber alam dan mencegah percepatan hilangnya spesies-
spesies.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain membuat sebanyak mungkin sumur resapan air yang dapat
menampung air hujan, menyelamatkan hutan mangrove di pantai pantai Indonesia, menghentikan
reklamasi pantai dan juga meminta bertanggung jawab terhadap yang sudah mereka lakukan dengan cara
membiayai penghutanan kembali pantai pesisir sebagai kompensasi, membenahi kebijakan pengelolaan
hutan yang berpihak kepada rakyat dengan melibatkan masyarakat untuk menjaga hutan di daerahnya
masing-masing, menanam pohon yang tepat yang bertujuan reintroduksi dan konservasi, misalnya untuk
Kalimantan dipilih tumbuhan endemik Kalimantan yang sudah hampir punah, seperti Meranti, Ramin,
dan lain-lain, serta merancang cara melindungi sumber-sumber alam. Juga dapat dilakukan pengurangan
penggunaan air, pembakaran barang-barang yang tidak dapat didaur ulang, emisi CFC dan emisi
pengganti CFC dengan tidak menggunakan aerosol dan menggunakan energi efisien, dan juga
pengurangan penggunakan listrik dengan menggunakan lampu hemat energi.
Bahkan baik secara pribadi maupun dengan komunitas, kita dapat mempraktekkan tiga hal berikut, yaitu :
1. Mendaur ulang atau menggunakan kembali barang-barang yang tidak dipaket, mencari merk yang
memperhatikan lingkungan, mendaur ulang segala yang dapat didaur ulang seperti plastik, kupasan
buah segar dan sayur mayur, kertas dan kardus, gelas dan kaleng.
2. Memulai dengan membuat kompos, tambahkan cacing dan juga daun-daun, ranting-ranting dan
kotoran dari kebun dan kompos itu akan menjadi pupuk alam untuk tanah.
3. Mendorong industri kerajinan untuk menjalankan tanggungjawab bagi daur ulang bahanbahan sisa dan
alat-alat elektro seperti tv dan komputer.

Kita perlu mengingatkan pemerintah setempat akan komitmen mereka untuk mendaur ulang dan
mengurangi pemborosan serta mempertahankan hukum daur ulang dan pemborosan agar tetap relevan,
mendorong pengusaha setempat agar mengurangi produk-produk paket, mengingatkan otoritas setempat
untuk memelihara listrik dan menggunakannya dalam system yang efisien, mengingatkan pemerintah
akan komitmen mereka pada deklarasi dan protokol-protokol demi lingkungan hidup, mengingatkan siapa
saja agar hidup sederhana di bumi ini dan mengingatkan agar selalu menggunakan dan mendaur ulang
barang yang digunakan.

Kondisi Negara Indonesia yang masih berkembang dan penduduknya masih banyak yang miskin, dalam
usaha meningkatkan kemampuan ekonominya memanfaatkan hutan, tetapi pengawasan dan perencanaan
dari pemerintah harus ditingkatkan.

Dalam konteks internasional, seharusnya beban menjaga kelestarian hutan seharusnya menjadi tanggung
jawab bersama, tidak hanya Indonesia. Oleh karena itu konsep Reduce Emission From Deforestration and
Degradation (REDD), suatu konsep mekanisme pembiayaan dari negara industri untuk negara pemilik
hutan (salah satu bentuk perdagangan karbon) yang disepakati dalam pertemuan Bali harus didukung oleh
semua bangsa di dunia. Walaupun banyak pula yang masih meragukan hal tersebut, seperti beberapa
pihak yang menilai hal ini sebagai upaya baru penguasaan pemilik kapital untuk menguasai dan
mengawasi hutan di negara berkembang, dan ada penilaian bahwa mekanisme REDD yang ditawarkan
Indonesia di Bali dapat membangkrutkan bangsa jika diterapkan di tengah lemahnya penegakan hukum
dan kejahatan lingkungan. REDD juga dinilai hanya menguntungkan lembaga keuangan yang mengelola
dana itu dan pihak ketiga yang dalam hal ini bisa lembaga konservasi, konsultan, atau lembaga penelitian,
sementara masyarakat di sekitar hutan belum tentu dapat manfaatnya. Bahkan ada juga yang menilai
bahwa isu pemanasan global (pengurangan emisi gas rumah kaca) yang mendunia saat ini tak jelas
ujungnya, karena hanya terkonsentrasi pada soal emisi dan perdagangan karbon dibandingkan dengan hal-
hal substansial penyebabnya. Pembagian tanggung jawab memitigasi bencana global tersesat pada model
transaksi ekonomi dan perdagangan yang tak mengatasi penderitaan penduduk. Privatisasi atmosfer jelas
terlihat dalam perdagangan karbon yang cenderung menerapkan model ekonomi kapitalistik. Padahal
menurut Pemerintah Indonesia sendiri REDD dapat memberikan kesempatan kepada negara untuk
mendapatkan keuntungan finansial dari potensi hutan tanpa menebang hutan. Sedangkan lembaga
konservasi internasional menyambut peluang tersebut sebagai tambahan dana untuk kegiatan konservasi
di tiap-tiap wilayah kerja mereka.

Terlepas dari pro dan kontra, hal yang terpenting adalah bahwa pemerintah harus berbenah diri dalam
menerapkan kebijakan yang pro lingkungan dan berperan aktif dalam merubah paradigma pembangunan
yang selama ini tidak ramah lingkungan menjadi sebaliknya, agar anggapan dunia luar maupun dalam
negeri terhadap pemerintah yang dinilai tidak pandai merawat hutan, sehingga tanah yang tadinya subur
kemudian diperas habis-habisan demi kepentingan selapis tipis kaum elite dapat dieliminir dan
keseluruhan hasil yang diperoleh dari kekayaan alam dalam bumi Indonesia dapat dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk masyarakat Indonesia. Selamat hari Bumi....
We do not inherit the earth from our ancestors, we borrow it from our children.
Native American Proverb

* Didiek S.Hargono,
Alumnus Fak.Kehutanan IPB dan Fak. Ekonomi UI
Sedang menyelesaikan Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik – FEUI
** Pernah dimuat di www.koraninternet.com

Anda mungkin juga menyukai