Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

“Dunia sudah kehilangan 2,3 juta kilometer persegi tutupan pohon antara tahun
2000 sampai 2012 – setara dengan kehilangan wilayah hutan seluas 50 kali
lapangan sepakbola setiap menitnya setiap hari selama 13 tahun belakangan!
Sebaliknya, hanya 0,8 juta kilometer persegi tumbuh kembali, ditanami, atau
direstorasi dalam periode waktu yang sama”1.

Potongan kalimat di atas menunjukkan bahwa, laju kerusakan hutan2 dunia

yang lebih besar dibandingkan dengan angka pertumbuhan hutan mengindikasikan

bahwa kondisi hutan dunia saat ini sedang ‘kritis’. Hampir sekitar 50 persen dari luas

hutan dunia tersebut terdapat di Brazil, Zaire dan Indonesia3. Berdasarkan data dari

Badan Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (2016), Indonesia memiliki kawasan

hutan yang cukup luas, yakni sekitar 63,66% dari luas daratan Indonesia.

1
Data dari Universitas Maryland yang dimuat dalam http://www.wri-indonesia.org/id/blog/9-
maps-explain-worlds-forests diakses pada Rabu, 17 Mei 2017 pukul 18.08 WIB.
2
Hutan adalah sejumlah pohon yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu,
kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi
dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas
dan tumbuhnya cukup rapat baik secara horizontal maupun vertikal (Ngadung, 1975: 3 dalam Salim,
2002: 40).
3
Judith Gradwohl dan Russell Greenberg (1992:13), mengatakan bahwa Indonesia dan dua
negara lainnya (Zaire dan Brazil), adalah negara dengan hutan tropis terbesar di dunia. Sekitar 50%
hutan tropis dunia, yang berdaun lebar dengan tajuk tertutup terdapat di tiga negara tersebut.

1
2

Di samping memiliki kawasan hutan yang luas, angka hilangnya hutan

(deforestasi) di Indonesia pun cukup besar yaitu mencapai seluas 684.000 hektar setiap

tahunnya. Menurut data yang dirilis Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) serta

berdasarkan data dari Global Forest Resources Assessment (FRA), Indonesia

menempati peringkat kedua dunia tertinggi kehilangan hutan setelah Brazil yang

berada di urutan pertama4.

Hilangnya tutupan hutan atau rusaknya hutan tersebut disebabkan oleh

beberapa faktor, seperti penebangan kayu yang berlebihan, praktik illegal logging,

konversi lahan hutan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan (seperti untuk

perkebunan kelapa sawit dan transmigrasi), perambahan hutan, perladangan berpindah,

dan lain sebagainya (Hidayat, 2011: 88). Faktor kerusakan hutan yang disebutkan oleh

Hidayat itu murni ulah manusia, akan tetapi seperti halnya kebakaran hutan itu tidak

selalu disebabkan oleh manusia. Musim kering yang cukup lama pun dapat

menyebabkan kebakaran hutan.

Rusaknya hutan adalah sebuah kerugian besar bagi kelangsungan hidup

mengingat peran dan fungsi hutan yang begitu besar. Soepardi (1954: 19) mengatakan

bahwa secara garis besar, hutan berperan sebagai penghasil bahan (produksi), untuk

menjaga keadaan hawa (klimatologi), penjaga keadaan tanah (erosi), penjaga keadaan

air (hidrologi), juga merupakan tempat di mana oksigen yang kita hirup sehari-hari

4
Pernyataan Deputi FAO Representative bidang program di Indonesia, Ageng Herianto dalam
seminar dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Pemerintah Provinsi Sulsel.
Diakses dari http://regional.kompas.com diakses pada Rabu, 17 Mei 2017 pukul 18.22 WIB.
3

diproduksi. Apabila laju kerusakan tidak bisa ditekan, dampak yang diberikan terhadap

kelangsungan hidup pun cukup signifikan, mengingat peran dan fungsi hutan yang

begitu penting. Selain bencana seperti banjir, longsor, kekurangan air, kerusakan hutan

juga berpengaruh terhadap kesehatan5.

Melihat kondisi kekinian hutan yang kritis, menjadi pendorong untuk melihat

bagaimana upaya konservasi terhadap hutan yang dilakukan di masa lampau. Seperti

dinyatakan Peter Boomgaard (1992: 5) bahwa kerusakan hutan di Indonesia bukan lagi

suatu fenomena baru. Hutan Indonesia telah rusak sejak masa pemerintahan kolonial.

Rusaknya hutan Indonesia pada masa tersebut dimotori oleh kepentingan ekonomi,

peperangan dan alih fungsi lahan hutan. Namun, di samping pembabatan hutan dalam

skala besar masih ada upaya perlindungan (konservasi) terhadap hutan seperti

membuat regulasi kehutanan dan penghijauan.

Setelah itu, pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), kondisi hutan tidak

jauh berubah. Pada masa ini hutan Indonesia mengalami kerusakan yang cukup parah.

Tuntutan penyerahan kayu sebesar dan secepat mungkin mengakibatkan hutan-hutan

Indonesia khususnya di Jawa mengalami kerusakan serius karena dieksploitasi secara

besar-besaran untuk ongkos perang. Selama masa pendudukan Jepang, secara umum

dapat dikatakan perlindungan alam tidak diperhatikan, mengingat situasi yang genting

5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarah Olson dari Universitas Wisconsin, Amerika
Serikat, dalam laporan penelitiannya di jurnal Emerging Infectious Diseases (2010) mengatakan,
pengundulan hutan di Amazon membantu nyamuk berkembang dan menyebabkan angka malaria
melonjak. Di dalam penelitian itu dikatakan bahwa terjadi peningkatan kasus malaria sebesar 48% di
wilayah Brazil, setelah 4,2 % pohon lindung ditebang (sumber: http://nasional.kompas.com/read/
diakses pada Selasa 9 Mei 2017 pukul 04.16 WIB).
4

perang (Wiratno, et al, 2002: 35). Pengelolaan hutan pada masa ini sementara diatur

sesuai konstitusi pada zaman Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan

kepentingan pemerintah militer Jepang6.

Kemudian, setelah bangsa Indonesia merdeka, pemerintah Jepang

menyerahkan pengelolaan hutan kepada Republik Indonesia melalui Surat Ketetapan

Gunseikanbu Keizaibutyutyo Nomor 1686/K.G.T pada tanggal 1 September 1945

(Subadi, 2010: 110). Setelah tahun 1945, situasi negara masih dihadapkan pada

berbagai gejolak sosial, politik, dan segala bidang masih diarahkan pada upaya-upaya

untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih bangsa Indonesia. Waktu yang

sangat singkat setelah proklamasi kemerdekaan, belum memungkinkan untuk

menyusun undang-undang atau peraturan-peraturan pelaksanaan di bidang kehutanan.

Untuk mengatasi kesenjangan di bidang hukum ini, maka regulasi hutan di zaman

Hindia Belanda masih berlaku selama tidak bertentangan dengan cita-cita

kemerdekaan (Departemen Kehutanan, 1986b: 24).

Kemudian, pada Masa Orde Baru, regulasi hutan yang sebelumnya berlaku

digantikan dengan disahkannya Undang-Undang No. Nomor 5 tahun 1967 Tentang

Ketentuan Pokok Kehutanan. Undang-undang tersebut merupakan regulasi kehutanan

pertama yang disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Melihat fakta kerusakan

6
Urusan kehutanan pada masa pendudukan Jepang awalnya termasuk dalam Departemen
Sangyobu (Departemen Ekonomi), akan tetapi peperangan memerlukan sekali banyak kayu untuk
keperluan pembuatan kapal sehingga urusan kehutanan dipindahkan ke dalam Departemen Zoosen Kyo
Ku (Perkapalan) sampai akhirnya dipindahkan ke dalam Departemen Gonzyuseizanbu (Departemen
Produksi Kebutuhan Perang) (Departemen Kehutanan, 1986b: 6).
5

hutan yang telah terjadi sejak lama, perhatian terhadap hutan pun telah dilakukan oleh

dunia internasional sejak tahun 1920-an. Hutan Indonesia memiliki peran yang sangat

penting di mata internasional, sehingga langkah-langkah yang dilakukan di tingkat

global tersebut ternyata memiliki pengaruh terhadap kehutanan Indonesia yang

diaplikasikan di berbagai daerah, seperti di Jawa Barat.

Dalam penelitian ini dibutuhkan pembatasan spasial dan temporal agar

pembahasan lebih terfokus. Batas spasial penelitian ini adalah kawasan hutan yang

berada di Provinsi Jawa Barat yang didasarkan oleh berbagai pertimbangan misalnya,

Provinsi Jawa Barat yang padat akan jumlah penduduk7, terdapatnya kota-kota besar

seperti Bandung yang membuat pembangunan semakin cepat. Padatnya jumlah

penduduk serta pesatnya pembangunan di Jawa Barat sangat berpotensi terhadap

kerusakan hutan mengingat permintaan terhadap lahan dan kayu pun meningkat.

Adapun batasan temporal penelitian ini adalah pada masa pemerintahan Orde Baru

(1967-1998), yang didasarkan atas disahkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967

Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, yang merupakan undang-undang pertama di

Indonesia tentang kehutanan (setelah masa penjajahan), dan batas akhir penelitian

adalah pada tahun 1998 yang merupakan akhir dari pemerintahan Orde Baru. Secara

garis besar penyusunan skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana kerusakan hutan

dan upaya konservasi yang dilakukan terhadap hutan di Jawa Barat pada masa Orde

7
Menurut hasil sensus penduduk tahun 1971, jumlah penduduk Jawa Barat adalah 21.632.589
jiwa. Luas wilayah Jawa Barat pada waktu itu adalah 4.459.888 ha, sehingga setiap kilo meter persegi
(km2) ditempati oleh 485 jiwa (Haeruman et al. 1977: 8).
6

Baru, maka penulisan skripsi ini berjudul Deforestasi dan Konservasi Hutan di Jawa

Barat Pada Masa Orde Baru 1967-1998.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan

rumusan masalah berupa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi hutan sebelum pemerintahan Orde Baru?

2. Mengapa terjadi deforestasi di Jawa Barat pada masa Orde Baru?

3. Bagaimana upaya konservasi hutan di Jawa Barat pada masa Orde Baru?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus. Tujuan khusus penelitian ini

adalah untuk menjawab perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan

khusus penulisan penelitian ini untuk:

1. Mengetahui kondisi hutan sebelum Orde Baru.

2. Mengetahui penyebab-penyebab kerusakan hutan di Jawa Barat pada masa

Orde Baru.

3. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk melestarikan hutan di Jawa

Barat pada masa Orde Baru.


7

Sementara itu, tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah

khazanah historiografi dibidang konservasi, serta mampu memberikan gambaran untuk

konservasi hutan di masa yang akan datang.

1.4 Metode Penelitan

Untuk dapat membuat sebuah tulisan sejarah, harus dilakukan sebuah penelitian

sejarah. penelitian sejarah adalah penelitian yang mempelajari kejadian-kejadian atau

peristiwa-peristiwa pada masa lampau manusia. Tujuannya, adalah untuk membuat

rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif. Tujuan ini dapat dicapai

dengan menggunakan metode sejarah (Herlina, 2015:1). Adapun metode sejarah

menurut Gottschalk (1985:39) berarti proses menguji dan menganalisis secara kritis

rekaman dan peninggalan masa lampau. Adapun tahapan-tahapan yang harus

dikerjakan dalam metode sejarah terdiri atas: heuristik, kritik, interpretasi dan

historiografi (Herlina, 2015: 15-16).

Tahapan pertama adalah heuristik, secara etimologi heuristik berasal dari

bahasa Yunani “heuriskein” yang berarti menemukan. Atau memperoleh (Renier,

1997: 113 dalam Herlina, 2015: 17). Mengacu pada asal kata tersebut, maka heuristik

berarti proses mencari dan mengumpulkan rekaman-rekaman peristiwa masa lampau

(sumber sejarah). Dalam tahapan heuristik ini, dilakukan studi ke berbagai tempat yang

berada dalam jangkauan serta dirasa kompeten dalam menyediakan sumber-sumber


8

yang diperlukan terkait pembahasan. Adapun tempat-tempat yang dikunjungi di

antaranya:

1. Perpustakaan Batoe Api yang berlokasi di Jl. Bandung-Sumedang Jatinangor. Di

perpustakaan ini ditemukan sumber berupa buku yang berjudul Hutan Reboisasi

Mempertinggi Kemakmuran karya Soepardi dan buku Preservation of Wild Life

and Nature Reserves in The Nederlands Indies yang ditulis oleh K.W Dammerman.

2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB Unpad)

Jatinangor, di sini ditemukan sumber berupa skripsi yang berjudul Konservasi

Satwa Liar di Hindia Belanda: Upaya-upaya Perlindungan Satwa Liar dari

Perburuan 1900-1942, yang ditulis oleh Budi Gustaman.

3. Perpustakaan Cisral Universitas Padjadjaran di Kampus Jatinangor. di sini

ditemukan sumber berupa buku yang berjudul Konservasi Sumberdaya Alam Dan

Lingkungan Pendekatan Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi karya Hadi S.

Alikodra.

4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) yang berlokasi di Jl.

Salemba dan Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, di Perpusnas ini ditemukan

sumber-sumber seperti buku yang berjudul Hutan dan Kehutanan karya Arifin Arif

serta surat kabar Kompas, Pikiran Rakyat, Merdeka dan Berita Yudha yang memuat

berita mengenai kerusakan hutan dan reboisasi.

5. Perpustakaan Direktorat Jenderal Kehutanan dan Konservasi Alam yang berlokasi

Jl. Ir. H. Juanda No. 15 Bogor. Di sini ditemukan sumber berupa Laporan
9

Pelaksanaan Pemadaman Kebakaran Hutan di Gunung Ciremai dari Udara tahun

1983 dan buku Kehutanan Djawa Barat: Masa Lampau-Sekarang dan Masa Jang

Akan Datang.

6. Perpustakaan Kehutanan Ir. Djamaludin Suryo Hadi Kusumo di Gedung Manggala

Wanabakti Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Di sini ditemukan sumber berupa Laporan

Jawatan Kehutanan Jawa Barat tahun 1973, Proceedings Tenth Word Forestry

Congress dan Laporan Hasil Rapat Kerdja Kehutanan Djawa/Madura, Bali, Nusa

Tenggara, Maluku dan Irian Barat di Tretes Jawa Timur tahun 1968.

7. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jl. Ampera Raya No. 7 Jakarta

Selatan. Di sini ditemukan sumber berupa surat wakil presiden Indonesia kepada

menteri pertanian dan menteri dalam negeri tentang kerusakan hutan di Leweung

Sancang, Jawa Barat, serta surat Departemen Kehutanan kepada gubernur Jawa

Barat tentang kerusakan hutan di Leweung Sancang, Garut-Jawa Barat.

8. PT. Balai Iklan di Jl. Kopo No. 304 Bandung, Jawa Barat. Di sini ditemukan

sumber berupa surat kabar Kompas dan Pikiran Rakyat yang memuat tentang berita

kebakaran hutan di Jawa Barat pada 1997.

Selain melakukan penelusuran sumber di berbagai tempat yang telah

disebutkan di atas, proses heuristik juga dilakukan melalui internet seperti di web

fao.org dan diperoleh sumber berupa laporan hasil konferensi FAO kedelapan dan

kesembilan.
10

Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka proses selanjutnya ialah

mengelompokkan sumber berdasarkan asal-usulnya. Sumber dibagi menjadi tiga

kelompok berdasarkan asal-usulnya yaitu sumber primer, sekunder dan tersier. Sumber

primer adalah bila sumber atau penulis sumber menyaksikan, mendengar sendiri (eye

witness atau ear witness), atau mengalami sendiri (the actor) peristiwa yang dituliskan

dalam sumber tersebut. Singkatnya sumber primer adalah sumber yang belum diolah

atau diganggu gugat. Sumber primer terbagi dua, ada sumber primer kuat (strictly

primary sources) sumber yang berasal dari para pelaku atau saksi mata yang

menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Yang kedua adalah sumber primer kurang

kuat atau sumber primer kontemporer (less-strictly primary sources atau contemporary

primary sources), sumber ini bisa disebut juga sumber sezaman. Sumber ini berasal

dari zaman terjadinya suatu peristiwa tetapi tidak berhubungan langsung dengan

peristiwa tersebut. Sumber sekunder adalah bila sumber atau penulis sumber hanya

mendengar peristiwa dari orang lain. Untuk mudahnya sumber sekunder sumber yang

tidak hidup sezaman dengan peristiwa atau sumber yang telah diolah. Kemudian,

sumber tersier adalah semua karya tulis (sejarah) yang bersifat ilmiah seperti skripsi,

tesis, disertasi dan karya ilmiah lainnya (Herlina, 2015 : 10-13). Dalam penelitian ini

digunakan sumber primer seperti laporan tahunan Dinas Kehutanan dan sumber primer

kurang kuat atau sumber sezaman seperti koran-koran, sumber sekunder dan sumber

tersier.
11

Setelah sumber terkumpul dan dikelompokkan, maka tahap selanjutnya ialah

kritik atau verifikasi terhadap sumber sejarah. Kritik terbagi dua yaitu kritik eksternal

dan kritik internal. Kritik eksternal bertujuan untuk mengetahui otentisitas sumber atau

keaslian sumber. Kritik internal bertujuan untuk mengetahui apakah sumber yang

digunakan dapat dipercaya atau tidak, singkatnya menentukan tingkat kredibilitas

sumber (Helina, 2015 : 24-33). Salah satu sumber utama yang digunakan dalam

penyusunan skripsi ini adalah arsip laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Jawatan

Kehutanan, sehingga sumber tersebut dapat dipertanggungjawabkan isinya. Selain itu,

sumber berupa arsip tersebut juga didukung dengan data-data yang terdapat di dalam

surat kabar. Kemudian, dalam menggunakan sumber yang berasal dari internet,

penelitian ini tidak begitu saja mempergunakannya tetapi meninjau seperti situs web

apa yang menyajian data tersebut sehingga isinya dapat dipercaya.

Tahap ketiga adalah interpretasi. Interpretasi adalah tahapan atau kegiatan

menafsirkan fakta-fakta serta menerapkan makna dan saling berhubungan dari fakta-

fakta yang diperoleh (Herlina, 2015:15). Pada tahap ini, proses interpretasi

menggunakan interpretasi faktual. Interpretasi ini dilakukan berdasarkan fakta-fakta

yang terjadi di lapangan. Misalnya, seperti ketidakikutsertaan Indonesia pada

konferensi kehutanan sedunia ketiga yang dilaksanakan pada tahun 1949.

Ketidakhadiran Indonesia tersebut dapat kita lihat berdasarkan fakta yang terjadi di

Indonesia pada 1949 yang masih berupaya mempertahankan kemerdekaan, terlebih

lagi Indonesia baru tergabung dengan FAO tahun 1950.


12

Tahap terakhir dari metode sejarah ialah historiografi – yaitu penyajian

(umumnya dalam bentuk tulisan). Dalam tahap ini diperlukan kemahiran dalam

mengarang (Herlina, 2015 : 55).

1.5 Tinjauan Atas Studi Terdahulu

Skripsi yang membahas mengenai kerusakan dan upaya konservasi hutan

dalam sudut pandang sejarah, masih terbilang langka. Kebanyakan skripsi sejarah yang

penulis temui di Perpustakaan Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

(FIB Unpad), lebih didominasi oleh kajian sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Buku yang digunakan sebagai literatur acuan dalam penelitian ini adalah

pertama, buku Sejarah Kehutanan Indonesia jilid I, II, dan III. Buku ini diterbitkan

oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia pada 1986, buku Sejarah Kehutanan

Indonesia jilid I menceritakan bagaimana kehutanan Indonesia pada masa prasejarah,

proses pemanfaatan hutan di Indonesia pada masa VOC dan pemerintah kolonial

Hindia Belanda. Selain itu, buku jilid I pun menjelaskan bagaimana pemerintah

kolonial mulai melakukan pengaturan pemanfaatan hutan, baik untuk pemenuhan

kebutuhan ekonomi dan konservasi lingkungan. Sedangkan buku jilid II menceritakan

bagaimana kehutanan pada masa penjajahan Jepang, yang kemudian dilanjutkan

dengan pengelolaan hutan pada masa Soekarno dan buku jilid III menceritakan

pengelolaan hutan pada masa Orde Baru. Buku ini merupakan buku yang kaya akan
13

regulasi-regulasi hutan yang pernah berlaku di Indonesia juga strategi yang dilakukan

dalam pemanfaatan hutan. Akan tetapi, buku ini tidak menjelaskan bagaimana

pengaruh dunia internasional terhadap kehutanan Indonesia.

Kedua, kajian yang berjudul “Gerakan Lingkungan Di Jawa Masa Kolonial”

(2014) yang dimuat dalam Jurnal Paramita edisi ke-24, yang ditulis oleh Nawiyanto.

Secara umum, kajian ini membahas tentang bagaimana lahir dan berkembangnya

gerakan-gerakan kepedulian terhadap lingkungan alam pada masa Hindia Belanda.

Kajian ini memberikan sumbangsih kepada penelitian ini seperti perkembangan

organisasi Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda yang sangat berpengaruh

terhadap upaya konservasi di Indonesia. Akan tetapi, kajian tersebut tidak memberikan

data-data yang sangat rinci mengenai kerusakan hutan di Jawa Barat, seperti yang

tertulis dalam skripsi ini.

Ketiga, buku yang berjudul Preservation of Wild Life and Nature Reserves in

The Netherlands Indies (1929) karya Dr. K. W. Dammerman8. Secara singkat tulisan

ini membahas mengenai pembentukan kawasan-kawasan konservasi di Hindia

Belanda. Dengan demikian, buku ini memberikan informasi mengenai tahun

dimulainya kawasan konservasi, alasan didirikannya serta akses yang dapat

dipergunakan menuju kawasan konservasi tersebut. Sayangnya, tulisan ini pun tidak

menjelaskan bagaimana kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia.

8
K.W. Dammerman ini adalah seorang naturalis Hindia Belanda yang juga menjabat sebagai
sekretaris di Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming atau Perkumpulan
Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nawiyanto, 2014: 39).
14

Keempat, kajian yang berjudul “Forest Management and Exploitation in

Colonial Java, 1677-1897” (1992) yang dimuat dalam Forest and Conservation

History edisi ke-36 karya Peter Boomgaard. Kajian ini memberikan informasi

mengenai eksploitasi terhadap hutan dan pengelolaan hutan di Jawa pada kurun waktu

1677-1897. Eksploitasi terhadap hutan bukanlah suatu fakta baru di Indonesia. Aksi-

aksi eksploitasi terhadap hutan sudah terjadi sejak jaman Vereenigde Oostindische

Compagnie (VOC), bahkan jaman kerajaan. Dijelaskan bahwa area tutupan hutan

dibabat untuk berbagai kepentingan seperti hasil kayunya dijual atau untuk pembukaan

lahan. Eksploitasi terhadap hutan yang terus berlanjut, direspon oleh pemerintah

dengan berdirinya Departemen Kehutanan yang pertama (1808-1826) pada masa H.W

Daendels (1808-1811). Dalam tulisan ini Boomgaard tidak secara rinci membahas

regulasi hutan, akan tetapi sangat terfokus pada aksi ekploitasi hutan di Pulau Jawa

terutama di Jawa Tengah dan Timur.

Kelima, skripsi yang berjudul Konservasi Satwa Liar Di Hindia Belanda:

Upaya-Upaya Perlindungan Satwa Liar dari Perburuan 1900-1942 (2013) yang

ditulis oleh Budi Gustaman. Skripsi ini adalah sebuah skripsi yang sama-sama

membahas mengenai konservasi dalam sudut pandang sejarah. Fokus pembahasan dari

karya ini ialah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam

melindungi satwa liar dari perburuan. Tidak berbeda jauh dari hari ini, satwa-satwa liar

selalu menjadi objek tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab dengan

cara memburu mereka. Hilang atau punahnya suatu populasi satwa akan
15

mengakibatkan kepincangan ekosistem. Skripsi tersebut memberikan Informasi

mengenai perkembangan regulasi perlindungan alam pada masa kolonial. Akan tetapi,

skripsi tersebut tidak secara dalam membahas mengenai kerusakan hutan.

Karya-karya yang disebutkan di atas secara umum merupakan karya yang

berhubungan dengan topik pembahasan konservsai hutan di Jawa Barat.

1.6 Kerangka Pemikiran Teoritis

Rekonstruksi sejarah dalam penyusunannya haruslah dilihat sebagai salah satu

keseluruhan yang utuh dan menyeluruh serta merupakan kompleksitas yang mencakup

aspek-aspek yang menentukan suatu peritiswa sejarah. Seiring perkembangan ilmu

sejarah, proses analisis tidak hanya menggunakan pendekatan sejarah, tetapi dibantu

oleh ilmu-ilmu lain untuk mendekati peristiwa sejarah (Kartodirdjo, 1992: 120). Pun

dengan penelitian ini, digunakan ilmu bantu untuk mampu mendekati peristiwa sejarah.

Dalam penelitian ini juga digunakan tiga konsep yang berfungsi untuk mengarahkan

dan menganalisis dalam penelitian.

Kerangka pemikiran dalam penelitian skripsi ini mengarah kepada hubungan

sebab – akibat dari kerusakan hutan (deforestasi) yang menyebabkan ketidakstabilan

ekosistem sehingga perlunya dilakukan upaya-upaya perlindungan terhadap hutan.

Oleh karena itu, konsep yang digunakan adalah deforestasi, ekosistem dan konservasi.

Konsep deforestasi (kerusakan hutan) menurut Myers merupakan kegiatan

penghancuran tutupan hutan secara sempurna melalui pembersihan lahan (land


16

clearing). Sementara itu, menurut Food and Agriculture Organization (FAO)

deforestasi dijelaskan sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan lain atau

pengurangan yang tajam dari tutupan hutan di bawah ukuran 10%. Di samping itu,

deforestasi menekan kehilangan permanen tutup hutan dalam jangka panjang.

Kehilangan hutan seperti itu dapat hanya disebabkan melalui pengaruh manusia yang

berlanjut atau gangguan alam (Hidayat, 2011: 90-91). Mengacu pada berbagai

pendapat tersebut dapat dipahami bahwa deforestasi tersebut adalah perusakan hutan

baik oleh manusia maupun alam. Kerusakan hutan di Indonesia sudah terjadi sejak

lama. Misalnya, pada tahun 1997 telah terjadi kebakaran hutan yang sangat hebat di

Indonesia. Peristiwa tersebut bahkan dinyatakan sebagai bencana internasional karena

dampak yang diberikan dari peristiwa tersebut sangat luas.

Sementara itu, konsep ekosistem menurut Otto Soemarwoto adalah suatu

sistem ekologi9 yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup

dengan lingkungannya (Soemarwoto, 2004: 23). Kerusakan hutan yang telah terjadi

selama ini ternyata telah mengakibatkan ketidakstabilan ekosistem. Ketidakstabilan

ekosistem akibat kerusakan hutan tersebut membawa dampak yang sangat merugikan

seperti banjir di Bandung pada 1970-an dan kekeringan pada 1991. Untuk menjaga

kestabilan ekosistem ini, salah satu caranya adalah dengan melestarikan hutan.

9
Secara etimologi, ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan
logos yang berarti ilmu. Karena itu secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam
rumahnya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup (Soemarwoto,
2004: 22).
17

Konsep selanjutnya adalah konservasi. Menurut Hadi S. Alikodra Konservasi

adalah pengelolaan biosphere10 secara bijaksana bagi keperluan manusia, sehingga

menghasilkan manfaat secara berkelanjutan bagi generasi kini dan menetapkan

potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (Alikodra, 2012:

36). Selain itu, de Beer mengatakan bahwa konservasi dalam konteks kehutanan

merupakan pengelolaan kehidupan alam oleh manusia guna memperoleh manfaat

secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna

menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Maka konservasi

sebenarnya bernilai positif, mencakup pelestarian atau perlindungan serta

pemanfaatan berkelanjutan (de Beer, 1996 dalam Wiratno et al., 2002 : 12). Upaya-

upaya konservasi hutan yang dilakukan di Indonesia salah satunya dengan

melaksanakan kegiatan reboisasi seperti pelaksanaan Program Penghijauan Nasional

(PPN) yang telah dilakukan sejak 1961-1995, pelaksanaan program gerakan gandrung

tatangkalan yang digagas untuk melestarikan hutan Jawa Barat, proses tebang pilih

dalam upaya pemanfatan berkelanjutan, pengaman hutan oleh polisi hutan dan

kampanye-kampanye untuk membangun pemahaman tentang hutan.

1.7 Organisasi Penulisan

Untuk memudahkan dalam pembacaan – penelitian sejarah ini, maka penulisan

sejarah ini disusun secara sistematis dan kronologis. Sebagaimana rumusan masalah

10
Berdasarkan ilmu Geografi, yang dimaksud dengan biosphere adalah sebuah lapisan yang
didalamnya terdapat kehidupan.
18

yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini membahas kerusakan dan upaya-

upaya yang dilakukan untuk melestarikan hutan di Jawa Barat, pada masa Orde Baru.

Skripsi ini tersusun atas tiga bab pembahasan dan diakhiri dengan bab penutup.

Bab pertama, adalah pendahuluan yang terdiri dari tujuh sub-bab. Pertama,

adalah latar belakang masalah. Dalam latar belakang masalah, diuraikan kondisi

kekinian menganai hutan di dunia dan Indonesia, kekayaan hutan Indonesia, kerusakan

hutan dan sepintas tentang pengelolaan hutan, yang nantinya akan menjadi perumusan

masalah. Selain itu, dalam sub-bab ini juga menjelaskan alasan-alasan dipilihnya topik

ini sebagai pembahasan. Selanjutnya, adalah rumusan masalah. Rumusan masalah ini

berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang menjadi fokus pembahasan, dan akan

dijelaskan dalam bab selanjutnya. Ketiga, adalah tujuan penelitian, berisi target

pencapaian yang harus dicapai sesuai dengan perumusan masalah. Setelah itu, metode

penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah. Selanjunya,

adalah tinjauan studi terdahulu yang berfungsi sebagai pembanding antara penelitian

ini dengan studi terdahulu. Berikutnya, adalah kerangka pemikiran teoritis, yang berisi

penjabaran konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian sebagai pembantu (ilmu

bantu) dalam mengarahkan penelitian. Terakhir adalah organisasi penulisan.

Bab kedua, terdiri atas dua sub-bab. Pada sub-bab pertama disajikan mengenai

kondisi hutan pada masa kolonial serta regulasi dan langkah awal konservasi hutan di

Indonesia. Kemudian sub-bab kedua membahas mengenai kondisi hutan pada periode
19

1945-1966, yang didalamnya menjelaskan tentang kerusakan hutan serta langkah-

langkah konservasi yang dilakukan pada masa tersebut.

Bab ketiga merupakan bab inti dari penelitian ini. Dalam bab tiga ini dibahas

mengenai konservasi hutan di Jawa Barat yang terdiri dari empat sub-bab, yaitu pada

sub-bab pertama dibahas mengenai regulasi hutan pada masa Orde Baru, sub-bab

kedua membahas mengenai kerusakan hutan di Jawa Barat pada masa Orde Baru.

Sedangkan sub-bab ketiga membahas mengenai pengearuh internasional terhadap

kehutanan Indonesia dan pada sub-bab ke-empat, skripsi ini membahas mengenai

upaya konservasi hutan di Jawa Barat pada masa Orde Baru.

Bab keempat merupakan bab terakhir atau bab penutup, di mana dalam bab ini

terdiri atas simpulan dari penulisan sejarah ini. Dilengkapi pula dengan daftar pustaka,

lampiran dan daftar riwayat hidup penulis.

Anda mungkin juga menyukai