Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KONDISI HUTAN SEBELUM ORDE BARU

2.1 “Warisan Kolonial”: Regulasi dan Langkah Awal Konservasi

Bumi Nusantara dikaruniai kesuburan alam yang sangat luar biasa. Di dalamnya

tumbuh berbagai tanaman yang tidak terdapat di belahan dunia lain seperti rempah-

rempah. Kekayaan rempah-rempah yang terdapat di tanah Nusantara ini telah menarik

kedatangan orang-orang Barat (Eropa) untuk memperolehnya. Demi mendapatkan

rempah-rempah yang dinginkan, orang-orang Barat tersebut melakukan berbagai hal

seperti memonopoli perdagangan rempah-rempah (Kartodirdjo, 1993: 74). Di samping

rempah-rempah, bumi Nusantara pun masih menyimpan kekayaan alam lainnya seperti

hutan, sehingga dalam perkembangannya, hutan pun menjadi salah satu kekayaan alam

yang tidak luput dari aksi penjarahan bangsa Barat yang berujung pada kerusakan

hutan.

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya hutan yang sangat melimpah. Pada

masa kolonial, hutan menjadi salah aspek yang tidak luput dari penjarahan. Boomgaard

(1992: 6) menyebutkan bahwa pada masa ini pohon kayu berkualitas baik, misalnya

seperti jati (Tectona grandis) adalah salah satu komoditas yang paling dicari saat itu.

Kualitas kayu jati yang bagus menjadikannya banyak ditebang di hampir seluruh

bagian Indonesia, termasuk di Jawa.

20
21

Pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602-1799), pohon-

pohon kayu berkualitas bagus yang terdapat di hutan banyak ditebang. Eksploitasi

terhadap hutan ini umumnya dilakukan untuk kepentingan ekonomi. Kayu-kayu hasil

tebangan tersebut umumnya digunakan untuk pembuatan kapal-kapal VOC. Di

samping digunakan untuk pembuatan kapal pribadi, kayu-kayu yang diperoleh pun

dipergunakan sebagai bahan baku industri pembuatan kapal yang dipesan oleh orang-

orang Eropa. Selain digunakan untuk pembuatan kapal, kayu kayu yang berkualitas

baik itu pun digunakan untuk membuat tong dan peti untuk keperluan dagang,

pembuatan senjata, arang dan mesiu serta berbagai hal lainnya. Dengan kondisi seperti

ini, maka tidak heran jika pada sekitar tahun 1670 hutan di Rembang telah habis

ditebang (Departemen Kehutanan, 1986a: 34-36).

Selama masa VOC, hutan-hutan terus dieksploitasi. Pada umumnya, orang-

orang VOC hanya mengambil keuntungan dari hutan. Dalam upaya eksploitasi tersebut

VOC memperkerjakan rakyat di sekitar hutan untuk menebang sampai mengangkut

kayu dengan upah yang cukup kecil. Selain itu, pada masa ini setiap kabupaten harus

menyerahkan kayu-kayu dalam jumlah tertentu. Cirebon misalnya, harus menyerahkan

80.000 papan tahang (tempayang legger), 40.000 papan tahang tempayan mesiu dan

sekitar 2.000 kayu balok (Departemen Kehutanan, 1986a: 47).

Di samping kegiatan eksploitasi hutan yang terus menerus dilakukan, kerusakan

hutan juga diakibatkan oleh jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya.

Dengan terjadinya perkembangan jumlah penduduk, maka lahan untuk mendirikan


22

rumah serta bahan-bahan untuk medirikan rumah (terutama kayu) pun meningkat. Di

Pulau Jawa misalnya, tahun 1781 disebutkan terdapat sekitar 2.029.115 jiwa penduduk,

empat belas tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 3,5 juta jiwa (Departemen

Kehutanan, 1986a: 50).

Setelah itu, pada masa pemerintah Hindia Belanda (1800-1942) kondisi hutan

tidak jauh berubah. Hutan masih saja dieksploitasi dan kerusakan hutan tidak bisa

diminimalisir. Pada masa ini, dapat dikatakan bahwa permintaan terhadap kayu yang

berkualitas baik tidak berkurang, sehingga kayu kualitas dua maupun tiga menjadi

alternatif pemenuhan kebutuhan kayu. Hal ini menyebabkan dimulainya eksploitasi

terhadap kayu-kayu rimba pada tahun 1890 (Departemen Kehutanan, 1986a: 137).

Selain dieksploitasi, kerusakan hutan juga disebabkan oleh pembukaan lahan

untuk perkebunan. Misalnya, ketika sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang mulai

diberlakukan sejak 1830-an, banyak hutan yang dibuka untuk membuat lahan

perkebunan. Dengan terjadinya pembukaan lahan hutan, luas hutan dari tahun ke tahun

terus berkurang (Dajajapertjunda & Edje Djamhuri, 2013: 111).

Setelah itu, pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945), secara umum dapat

dikatakan bahwa hutan mengalami kerusakan yang cukup parah. Tuntutan penyerahan

kayu sebesar dan secepat mungkin mengakibatkan hutan (khususnya di Jawa)

mengalami kerusakan serius karena dieksploitasi secara besar-besaran untuk keperluan

perang. Selain itu, kerusakan hutan pada periode pendudukan Jepang juga disebabkan

oleh kebijakan Jepang dalam bidang pertanahan yang mengorientasikan pada


23

pelipatgandaan produksi bahan pangan. Jepang meminjamkan kawasan hutan kepada

rakyat untuk diubah menjadi lahan pertanian. Kebijakan tersebut diberikan di berbagai

tempat di Jawa dengan total area yang dipinjamkan seluas 4.428 hektar dan melibatkan

sebanyak 8.242 orang1 (Nawiyanto, 2015: 57).

Di samping itu, kerusakan hutan selama masa pendudukan Jepang pun

didorong dengan tidak adanya upaya pelestarian alam, mengingat situasi yang genting

perang (Wiratno, et al, 2002: 35). Tidak banyak data yang ditemukan mengenai kondisi

kehutanan Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Akan tetapi, berdasarkan catatan

Soepardi (1974) secara tegas disebutkan bahwa hutan Indonesia mengalami kerusakan

yang cukup serius pada masa ini.

Setelah hutan rusak berat akibat tindakan eksploitasi yang berlebihan, akhirnya

pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa segala usaha yang telah dilakukan untuk

mengelola hutan tidak akan berjalan baik selama belum ada ahli kehutanan yang dapat

memberikan penerangan dalam pengelolaan hutan. Sebagai upaya untuk mengatasi itu

semua, pada tahun 1847 Gubernur Jenderal J.J Rochusen (1845-1851), mengajukan

usul kepada pemerintah pusat di Negeri Belanda supaya dikirim ke Hindia Belanda

beberapa orang ahli kehutanan yang telah dididik di Jerman. Usulan tersebut diterima,

1
Rinciannya adalah 2.501 hektar di Wilayah Inspeksi I Bandung diberikan kepada 4.928 orang,
225 hektar di Wilayah Inspeksi II Yogyakarta diserahkan kepada 725 orang, 340 hektar di Wilayah
Inspeksi III Semarang diberikan kepada 928 orang, 819 hektar di Wilayah Inspeksi IV Surabaya
diberikan kepada 1.521 orang, dan 543 hektar di Wilayah Inspeksi V Malang dipinjamkan kepada 86
orang (Poerwokoesoemo, 1974:25-26 dalam Nawiyanto, 2015: 57).
24

dan pada tahun 1849, untuk pertama kali dikirim tiga orang ahli yang terdiri dari dua

orang teknis kehutanan dan satu orang ahli geodesi (Subadi, 2010: 104).

Setelah itu, pada tahun 1858, dengan Surat Keputusan tanggal 3 Desember No.

28, sudah dicetuskan gagasan untuk membentuk sebuah komisi perancang peraturan

yang anggotanya terdiri dari seorang pejabat kehutanan, seorang pejabat administratif

dan seorang ahli hukum, untuk meninjau kembali semua peraturan dan ketentuan yang

berlaku tentang hutan. Setelah itu, pada tahun 1859 terjadi sebuah kasus yang

mengaharuskan segera dibentuknya komisi untuk menyusun peraturan tentang hutan.

Kasus tersebut dilakukan oleh Sarijan yang melakukan penebangan kayu diluar batas

eksploitasi yang telah ditunjuk. Ketika pelanggaran ini diproses, ternyata tidak ada

suatu ketentuan untuk menghukum Sarijan. Karena kejadian ini, para pejabat

kehutanan menyarankan untuk segera mengangkat komisi yang akan menyusun

peraturan mengenai pemangkuan dan ekploitasi hutan (Departemen Kehutanan, 1986a:

74).

Sekitar dua tahun setelah kasus Sarijan tersebut, pada 10 Agustus 1861 komisi

telah mengajukan kepada pemerintah tiga buah rancangan yaitu: (1) reglemen untuk

pemangkuan hutan dan eksploitasi hutan di Jawa dan Madura, dan segala sesuatu yang

berkaitan dengan itu berikut nota penjelasannya, (2) rancangan petunjuk pelaksanaan

untuk penanaman dan pemeliharaan pohon jati dalam hutan Pemerintah Jawa dan

Madura, (3) rancangan petunjuk pelaksanaan tentang penebangan dan pemeliharaan,

pengujian dan pengukuran kayu jati dalam hutan pemerintah di Jawa dan Madura.
25

Usulan dari komisi ini kemudian dipertimbangkan dan mendapat saran oleh beberapa

orang seperti saran dari Dewan Direktur dan Direktur Hasil Bumi dan Gudang Sipil

pada 1862, saran dari Protokol Jenderal pada Mahkamah Agung pada 1863, dan saran

dari Mollier pada 1864 (Salim, 2002: 19-20).

Usaha untuk membuat regulasi kehutanan baru terealisasikan pada tahun 1865

tepatnya pada 10 September, dengan diundangkannya Reglemen Hutan

(Boschreglement) 1865. Reglemen Hutan 1865 disusun oleh sebuah komisi yang terdiri

dari tiga orang yaitu (1) Mr. F.H. der Kinderen (Panitera pada Mahkamah Agung), (2)

F.G Bloemen Waanders (Inspektur Tanaman Budi Daya) dan (3) E. van Roessler

(Inspektur Kehutanan) (Salim, 2002: 19).

Adapun hal yang diatur dalam Reglemen 1865 (secara singkat) yaitu; (1)

pengertian hutan, (2) hutan jati milik negara termasuk juga hutan jati yang ditanam dan

dipelihara oleh rakyat atas perintah pemerintah, (3) eksploitasi hutan, (4)

diwajibkannya peremajaan hutan (reboisasi) dan untuk peremajaan hutan ini perlukan

surat perintah dari gubernur jenderal, (5) dalam menjalankan tugasnya, para inspektur

berwenang memberikan perintah dan petunjuk kepada houtvester (pemangku hutan)

dan harus dilaporkan kepada Direktur Tanaman Budi Daya, (6) hutan di bawah

pemangkuan teratur dan (7) pemberian wewenang kepada residen untuk menebang

hutan yang tidak teratur dengan izin Direktur Tanaman Budi Daya (Departemen

Kehutanan, 1986a: 74-78).


26

Dalam prakteknya, Reglemen 1865 masih mengandung banyak kelemahan dan

kekurangan. Misalnya, seperti pemisahan hutan jati menjadi hutan yang dikelola secara

teratur dan tidak teratur yang mengakibatkan kerusakan pada hutan jati yang dikelola

tidak teratur. Selain itu, banyak pula keluhan mengenai pembatasan dalam pengadaan

kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan, bahan bakar dan lain

sebagainya. Akibat dari lemahanya, Reglemen Hutan 1865, reglemen tersebut hanya

dipergunakan selama sembilan tahun saja. Kemudian, Reglemen 1865 diganti dengan

Reglemen Hutan yang baru yang ditetapkan pada 14 April 1874 (Departemen

Kehutanan 1986a: 79).

Secara singkat inti dari Reglemen Hutan 1874 adalah sebagi berikut: (1)

diadakan pembedaan antara hutan jati dan hutan rimba, (2) pengelolaan hutan jadi

menjadi dua, yaitu hutan jati yang dikelola secara teratur dan yang belum ditata akan

dipancang, diukur dan dipetakan. Hutan ini dibagi dalam distrik hutan, (3) distrik hutan

dikelola oleh houtsvester/adspiran houtsvester (calon pemangku hutan), (4) eksploitasi

hutan sama dengan yang tercantum pada Reglemen 1865, (5) untuk tujuan tertentu

dapat diminta suart izin penebangan kayu dalam jumlah terbatas, yang dikeluarkan oleh

direktur Binnenlands Bestuur (Pemerintah Dalam Negeri), (6) pemangkuan hutan

rimba yang dikelola secara tidak teratur berada di tangan residen, di bawah perintah

Binnenlands Bestur dan dibantu oleh seorang houtsvester. Selain itu, Reglemen 1874

tidak hanya berlaku di Jawa dan Madura saja, tetapi juga berlaku di Vorstenlanden

(tanah kasunanan dan kesultanan) sepanjang pemerintah berhak atas kayu yang ada
27

didaerah itu, kecuali hutan yang pemangkuan dan pemanfaatannya sudah diserahkan

kepada pihak ketiga (Departemen Kehutanan, 1986a: 80).

Sama halnya dengan reglemen sebelumya, Reglemen Hutan 1874 pun

mengalami berbagai perubahan seperti dirubah dengan Ordonansi 26 Mei 1882 dan

Ordonansi 21 November 1894, yang berujung digantinya reglemen tersebut dengan

reglemen yang baru pada 9 Februari 1897. Di samping itu, dengan keputusan

pemerintah pada 9 Februari 1897 No. 21 diterapkan pula peraturan pelaksanaannya,

yang diberi nama “Reglemen untuk Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura” yang

disingkat menjadi Dienstreglement (Reglemen Dinas) yang berisi ketentuan tentang

kehutanan dan ketentuan pelaksanaan dari regulasi kehutanan (Departemen

Kehutanan, 1986a: 80).

Reglemen Hutan 1897 berbeda dengan Reglemen Hutan 1874. Ketentuan yang

penting pada Reglemen 1897 terletak pada pengertian hutan negara, pembagian hutan

negara, pemangkuan hutan dan eksploitasi hutan (Salim, 2002: 23). Berdasarkan

reglemen ini hutan negara terdiri dari (1) semua lahan bebas yang gundul (tidak

ditumbuhi pepohonan, atau tanpa vegetasi selama belum ditentukan peruntukannya)

merupakan hak negara, (2) semua lapangan yang dicadangkan pemerintah demi

kepentingan mempertahankan atau memperluas hutan, termasuk semua lahan yang

pada penataan batas dimasukan dalam kawasan hutan, dan (3) tanaman hutan yang

telah atau akan dibina negara selama pemangkuannya belum diatur sendiri. Hutan

negara dibedakan menjadi hutan jati dan hutan rimba. Hutan rimba dibedakan menjadi
28

hutan tetap dan tidak tetap. Sedangkan pemangkuan hutan adalah kegiatan pengurusan

hutan yang mencakup kegiatan penataan hutan dan pengamanan hutan. Dalam hal

eksploitasi, reglemen ini membaginya menjadi dua yaitu eksploitasi teratur dan tidak

teratur. Dalam pelaksanaannya, eksploitasi dilakukan dengan perantara annemer

(pemborong) yang ditetapkan dengan tender (Departemen Kehutanan, 1986a: 81).

Reglemen Hutan 1897 berlaku kurang lebih selama 16 tahun. Dengan adanya

Ordonansi Kolonial 30 Juli 1913 dan ditetapkannya reglemen hutan yang baru maka

berakhirlah masa berlaku Reglemen 1897. Dalam aturan pelaksanaanya, Reglemen

1913 ini tidak hanya berlaku di Jawa dan Madura, tetapi juga berlaku di seluruh Hindia

Belanda (Departemen Kehutanan, 1986a: 81).

Adapun hal-hal yang diatur dalam reglemen ini dan menjadi pembeda dengan

reglemen sebelumnya adalah mengenai pemangkuan hutan yang meliputi penataan

hutan, pengamanan hutan dan penelitian hutan. Kemudian, dalam hal aturan

pelaksanaan eksploitasi hutan, ketentuannya tidak jauh berbeda dengan reglemen

sebelumnya. Selain itu, rakyat juga diperbolehkan berburu atau menyandang senapan

di dalam hutan jati dan rimba yang sudah ditata dengan izin pemerintah daerah

(Departemen Kehutanan 1986a, 82-83).

Dalam isinya, reglemen ini tidak mengatur mengenai sanksi pidana atas

kejahatan dan pelanggaran di bidang kehutanan. Padahal suatu aturan baru dikatakan

mempunyai upaya pemaksa apabila ditentukan secara tegas tentang sanksi pidana di
29

bidang kehutanan, karena dengan adanya sanksi pidana masyarakat akan berpikir ulang

untuk melakukan tindak pidana (Salim, 2002: 25).

Pada tahun 1927, Reglemen Hutan 1913 diganti dengan Reglemen voor het

Beheer der bossen van den Lande op Java en Madura 1927 (Peraturan Pengelolaan

Hutan Negara di Jawa dan Madura), yang secara singkat disebut Bosordonantie voor

Java en Madura 1927 (Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura) (Departemen

Kehutanan, 1986a: 83). Ordonansi ini diumumkan dalam Staatsblad (Lembaran

Negara) 1927 No. 221 dan terakhir ditambah dengan Staatsblad 1940 No. 3 (Salim,

2002: 25).

Ordonansi Hutan 1927 ini terdiri atas 7 bab dan 31 pasal. Hal-hal yang diatur

dalam ordonansi ini yaitu: pengertian hutan, susunan hutan, penyelidikan hutan,

pengurusan hutan, perlindungan hutan, pengumpulan hasil hutan pengembalaan

hewan, memotong makanan hewan, pengambilan rumput-rumptan, ketentuan pidana

dan penutup. Ketentuan pidana yang diatur dalam Ordonansi Hutan 1927 berupa

pidana denda dan pidana kurungan selama tiga bulan bagi perusak hutan. Sifat

perbuatannya adalah pelangaran (Salim, 2002: 26).

Kemudian, Ordonansi Hutan 1927 diatur lebih lanjut dalam Boschverordening

voor Java en Madura (Peraturan Hutan di Jawa dan Madura) 1932 yang kemudian

masih diperbaiki pada tahun 1935, 1937 dan 1939. Ordonansi 1927 ini hanya berlaku

di Jawa dan Madura, untuk kehutanan di luar Jawa dan Madura belum diatur dalam

ketentuan perundang-undangan. Namun, di daerah-daerah tertentu telah diundangkan:


30

(1) Relemen-Reglemen Agraria, (2) Ordonansi-Ordonansi Perlindungan Hutan, (3)

Ordonansi-Ordonansi Perladangan, dan (4) Reglemen-Reglemen Penebagangan Kayu.

Akan tetapi peraturan-peraturan tersebut simpang siur dan mengandung banyak

kelemahan sehinga tidak dapat dijadikan laandasan hukum dalam pemangkuan hutan.

Selain itu, antara satu sama lain aturan tidak saling berhubungan (Departemen

Kehutanan, 1986a: 84).

Setelah itu, pada Tahun 1937 rancangan ordonansi hutan untuk luar Jawa dan

Madura pernah diajukan kepada Volksraad (Dewan Rakyat), akan tetapi sampai pecah

Perang Dunia II rancangan tersebut belum selesai dibicarakan (Hardjasoemantri, 1993:

1 dalam Salim, 2002: 26).

Selain membuat regulasi hutan, upaya pelestarian alam pun didukung dengan

pengesahan regulasi perlindungan alam. Regulasi-regulasi tersebut adalah:

1. Ordonantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdiren en Vogels

(Ordonansi Perlindungan Mamalia dan Burung) tahun 1909

2. Natuurmonumenten Ordonantie (Ordonansi Monumen Alam) tahun 1916

3. Jachtrdonantie (Ordonansi Perburuan) tahun 1924

4. Natuurmonumenten en Wildreservatenordonantie (Ordonansi Monumen Alam dan

Suaka Margasatwa tahun 1932

5. Dierenbeschermingordonantie (Ordonansi Perlindungan Satwa Liar) tahun 1931

6. Jachtverordering Java en Madoera (Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura) tahun

1940
31

7. Naturbeschermingordonantie (Ordonansi Perlindungan Alam) tahun 19412.

Selain itu, Booming-nya isu kerusakan alam membuat kelompok naturalis di

Hindia Belanda melakukan upaya-upaya perlindungan alam, seperti kampanye

perlindungan alam, baik ditingkat pemerintah maupun ditingkat internasional. Indikasi

awal adanya perhatian terhadap perlindungan alam adalah dengan didirikannya

Perhimpunan Ahli Ilmu Alam Hindia Belanda (Koninklijke Natuurkundige

Vereeniging in Nederlandsch-Indie) pada 19 Juli 1850 di Batavia sebagai bagian dari

perkembangan ilmu pengetahuan di Hindia Belanda (Encyclopaedi van Nederlandsch-

Indie, 1917: 563 dalam Gustaman, 2013: 76). Selain itu, Boomgaard (1999: 263)

mengatakan bahwa salah satu langkah awal pemerintah kolonial dalam upaya

pelestarian alam adalah dengan diresmikannya natuurmonument (monument

alam/cagar alam) di kaki Gunung Gede Pangrango, Cibodas pada 17 Mei 1889, melaui

besluit (Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda) No. 50.

Perlindungan alam di Hindia Belanda sangat erat kaitannya dengan nama Sijfert

Hendrik Koorders (1863-1919)3. Peristiwa penting dalam sejarah konservasi alam di

Indonesia adalah dengan berdirinya Nederlands Indische Vereeniging tot

Natuurbescherming (Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda) di Buitenzorg

(Bogor) pada 12 Juli 1912, dengan ketua pertamanya S.H Koorders. Peristiwa penting

2
Untuk lebih jelas memahami regulasi-regulasi tentang perburuan, perlindungan satwa serta
kawasan pelestarian alam di masa Hindia Belanda lihat: Budi Gustaman, 2013. Konservasi Satwa Liar
di Hindia Belanda: Upaya-Upaya Perlindungan Satwa Liar dari Perburuan 1909-1942. Skripsi.
Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran.
3
S.H Koordes adalah seorang ahli botani yang dilahirkan di Bandung pada 29 November 1863
(Yudhistira, 2012: 15).
32

lainnya terjadi pada 1925, yaitu dengan didirikannya, Nederlands Commissie voor

Internationale Natuur Bescherming (Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam

Internasional) di bawah pimpinan Mr. P.G Tienhoven, yang merupakan ketua dari

Vereeniging tot behound van Natuurmonument (Perkumpulan untuk Pelestarian Cagar

Alam) di Belanda. Walaupun komisi ini secara umum bertujuan meningkatkan

perlindungan alam internasional, akan tetapi perhatiannya terhadap alam Hindia

Belanda pun sangat besar (Departemen Kehutanan, 1986a: 189).

Selama pemerintahan Hindia Belanda, sudah banyak kawasan yang dijadikan

sebagai cagar alam berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat itu. Berikut adalah

data persebaran kawasan konservasi di Indonesia pada masa Hindia Belanda.

Tabel 2.1: Persebaran Kawasan Konservasi Selama Masa Hindia Belanda 1800-1942

Luas Area
Pulau Jumlah
(Ha)
Jawa 150.000 70
Bali/Lombok/Timor 65.000 4
Sumatera 1.300.000 27
Kalimantan 600.000 7
Sulawesi 5.000 7
Irian 320.000 1

Sumber: Koorders 1912: 20; Dammerman 1950: 80; Pluygers 1952: 40 dalam Boomgaard, Peter. 1999.
“Oriental Nature its Friends and its enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial
Indonesia, 1889-1949” dalam Environment and History. Vol. 5, No. 3. hal. 275.

Kemudian, pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang tidak

mengeluarkan regulasi tentang hutan maupun perlindungan alam. Dalam hal

pengelolaan hutan, pemerintah Jepang mengatakan bahwa untuk sementara regulasi


33

pada zaman Hindia Belanda masih tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan

kepentingan pemerintah militer Jepang4. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Pasal 3

Undang-Undang No. 1 Tahun 1942, yang berbunyi: “Semua badan-badan Pemerintah,

kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu, tetap

diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan Pemerintah

Militer” (Salim, 2002: 27).

Berdasarkan ketentuan di atas, jelaslah bahwa hukum dan undang-undang yang

berlaku pada zaman Hindia Belanda tetap diakui sah oleh pemerintah Jepang, dengan

tujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum). Dengan adanya

ketentuan tersebut mempermudah Pemerintah Jepang untuk menerima, memeriksa,

dan mengadili serta memutuskan setiap perkara yang diajukan. Dengan demikian,

bahwa ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintah Jepang dibidang kehutanan

adalah Ordonansi Hutan 1927 dengan berbagi peraturan pelaksanaannya (Salim, 2002:

27).

Selama masa penjajahan di Indonesia baik itu oleh orang Eropa maupun oleh

Jepang, hutan Indoensia menjadi salah satu kekayaan alam yang tidak luput dari

penjarahan. Akan tetapi, terdapat perbadaan antara pemerintah kolonial dan

pemerintah militer Jepang, di mana pemerintah kolonial masih melakukan upaya

4
Urusan kehutanan pada masa Pendudukan Jepang awalnya termasuk dalam Departemen
Sangyobu (Deapetemen Ekonomi), akan tetapi peperangan memerlukan sekali banyak kayu untuk
keperluan pembuatan kapal sehinga urusan kehutanan dipindahkan ke dalam Departemen Zoosen Kyo
Ku (Perkapalan) sampai akhirnya dipindahkan ke dalam Departemen Gonzyuseizanbu (Departemen
Produksi Kebutuhan Perang) (Soepardi 1974: 174 dalam Departeman Kehutanan, Sejarah Kehutanan
Indonesia Jilid II, 1986: 6).
34

konservasi sedangkan pemerintah Jepang secara umum dapat dikatakan hanya

memanfaatkan hutan saja. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, pemerintah Jepang

menyerahkan pengelolaan hutan kepada Republik Indonesia (Subadi, 2010: 110).

2.2 Hutan Indonesia Periode 1945-1966

Setelah Jepang dinyatakan kalah dalam peristiwa Perang Pasifik, pemerintah

Jepang pergi meninggalkan lahan-lahan kritis akibat eksploitasi hutan. Seperti yang

disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa pendudukan Jepang, hutan mengalami

kerusakan yang serius. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, kondisi kehutanan tidak

jauh berubah. Kerusakan hutan malah semakin tidak terkendali.

Pada masa ini kerusakan hutan masih tetap terjadi. Misalnya, disebutkan di

seluruh pulau Jawa dan Madura terjadi kerusakan hutan yang disebabkan oleh rakyat.

Berdasarkan catatan Soepardi (1974: 60), kerusakan hutan tersebut dilakukan oleh

rakyat yang salah dalam memaknai kemerdekaan. Selain itu, kurangnya pemahaman

tentang manfaat hutan bagi kehidupan serta kurangnya tanah untuk lahan pertanian pun

menjadi faktor perusakan hutan oleh rakyat.

Kerusakan-kerusakaan tersebut misalnya, terdapat di Jawa Barat dengan total

kerusakan terbesar yaitu 77.000 ha, Jawa Timur 23.000 ha dan Jawa Tengah 10.000

ha. Di Jawa Barat, kerusakan hutan tersebut seperti terjadi di Indramayu yaitu di daerah

Ploso Kerep dan Tugu dengan jumlah kerusakan seluas 117,5 ha. Pengrusakan hutan

di Indramayu ini dilakukan oleh 1.300 orang, yang dipimpin oleh bekas Heiho dan
35

Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Para perusak tersebut masuk ke hutan,

melakukan penebangan secara besar-besaran terhadap pohon jati. Kayu-kayu hasil

tebangan tersebut dibawa pulang untuk dijual atau digunakan untuk kepentingan rumah

masing-masing. Kayu-kayu sisa tebangan yang tidak dibawa dibakar di dalam hutan

untuk menghilangkan jejak (Soepardi, 1974: 60). Data mengenai kerusakan hutan di

Jawa Barat selama tahun 1945-1947 dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

Diagram 2.1: Kerusakan Hutan di Jawa Barat tahun 1945-1947

30000

25000
Luas Kerusakan (Ha)

20000

15000

10000

5000

Sumber: Soepardi, 1974: 61.

Disamping itu, permasalahan kehutanan juga disebabkan dengan datangnya

tentara Inggris-Belanda yang berusaha menajajah kembali Indonesia. Misalnya,

dengan terjadinya peristiwa yang disebut dengan Agresi Militer Belanda I dan II, telah

memutuskan hubungan antara kantor Jawatan Kehutanan pusat dan daerah. Di Jawa
36

Barat, peristiwa tersebut telah memutuskan sebelas hubungan kantor-kantor daerah

seperti Banten, Bogor, Sukabumi, Bandung Utara dan Selatan, Garut, Majalengka,

Tasikmalaya, Indramayu, Purwakarta dan Ciledug (Soepardi, 1974: 65).

Selama masa revolusi fisik (1945-1950), kondisi hutan di Pulau Jawa-Madura

sangat memprihatinkan, banyak lahan-lahan hutan yang gundul akibat pendudukan

Jepang dan masa revolusi fisik (Djawatan Kehutanan, 1951: 10). Menurut Inspektur

Jawatan Kehutanan Jawa Barat, Kusnowarso, selama periode tersebut sekitar 45.000

hektar kawasan hutan di Jawa dan Madura telah dibuka. Selain itu juga terdapat 28.000

hektar hutan rusak akibat pencurian kayu dan kerusakan lainnya. Sedangkan

menurutnya, kerusakan hutan di Jawa Barat pada periode tersebut disebabkan oleh

pencurian kayu, dan penyerobotan lahan hutan (Warta Harian Pikiran Rakjat, 25

September 1950).

Selain itu, kerusakan hutan pada masa revolusi fisik juga didorong dengan

pesatnya pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa. Banyaknya jumlah penduduk telah

mengakibatkan maraknya kasus penyerobotan terhadap kawasan hutan. Misalnya, pada

awal tahun 1951 disebutkan sekitar 400.000 hektar tanah kawasan hutan rimba telah

diserobot oleh rakyat (Djawatan Kehutanan, 1951: 11). Di samping itu, pada masa

revolusi fisik telah terjadi peningkatan jumlah pelanggaran dan kejahatan kehutanan.

Misalnya, pada tahun 1950 tercatat sekitar 8.753 kasus setahun kemudian jumlahnya

meningkat kurang lebih sekitar 50 persen yang jumlahnya menjadi 13.296 kasus.

Kasus-kasus tersebut berupa perusakan hutan, pencurian, pengembalaan hewan dalam


37

kawasan hutan dan lain sebagainya. Selain itu, pada tahun 1950-1951 juga telah terjadi

sekitar 5 ribu peristiwa kebakaran hutan yang mengahabiskan kurang lebih 70 ribu

hektar kawasan hutan (Djawatan Kehutanan, 1951: 87-89).

Rusaknya hutan seperti yang telah disebutkan sebelumnya telah membawa

bencana terhadap bangsa Indonesia. Pada musim kemarau, banyak daerah di Indonesia

yang mengalami kekeringan. Kemudian, pada musim hujan bencana seperti banjir dan

tanah longsor tidak bisa terelakkan5.

Untuk mengatasi masalah bencana alam akibat kerusakan hutan tersebut, pada

tahun 1946, Jawatan Kehutanan membentuk sebuah panitia pengarang. Panitia tersebut

ditugaskan untuk meninjau dan menerjemahkan regulasi-regulasi kehutanan yang

berlaku pada masa Hindia Belanda untuk dipergunakan dalam pengelolaan hutan,

selama belum adanya regulasi kehutanan yang baru (Departemen Kehutanan, 1986b:

24). Dengan demikian, untuk hutan Jawa dan Madura regulasi yang berlaku adalah

Ordonansi Hutan 1927 (Staatsblad 1927 No. 221). Kemudian, untuk hutan diluar Jawa

dan Madura, peraturan kehutanan tersebar dalam peraturan-peraturan yang jumlahnya

tidak sedikit6.

5
Kekeringan akibat kerusakan hutan tersebut misalnya terjadi di Bandung. Pada musim
kemarau tahun 1950, wilayah Bandung mengalami kekeringan (Warta Harian Pikiran Rakjat, 7
September 1950). Untuk memenuhi kebutuhan air di daerah Bandung, pemerintah Bandung mengambil
air dari Sungai Citarum (Warta Harian Pikiran Rakjat, 30 oktober 1950). Kemudian bencana seperti
banjir dan tanah longsor terjadi di Ciawi dan Cileungsi pada tahun 1954 (Warta Harian Pikiran Rakjat,
15 September 1954). Setelah itu, pada akhir-akhir tahun 1957, hampir di seluruh kabupaten Jawa Barat
terjadi Banjir seperti di Bogor, Ciamis, Karawang dan tanah longsor terjadi di Banjaran dan Purwakarta
(Pikiran Rakjat. 12 Desember 1957: 2).
6
Untuk hutan di wilayah Sumatera Barat, Menado, Riau dan pulau-pulau di sekitarnya, Bangka
– Belitung, Palembang Jambi dan Bengkulu peraturan yang berlaku adalah Agrarische Reglement.
Undang-undang Perlindungan Hutan Belitung berlaku di Palembang, Singkep, Lampung dan Rau.
38

Di samping itu, pemerintah pun melakukan tindakan untuk memperbaiki

kondisi hutan. Pada 11 Februari 1946 melalui surat No. 380/Oe, Kementerian

Kemakmuran membentuk Panitia Reboisasi (Departemen Kehutanan, 1986b: 31).

Setelah itu, selama tahun 1949-1953 Jawatan Kehutanan telah menyediakan Dana

sebesar Rp. 229.000.000 untuk keperluan reboisasi (Kementerian Pertanian, 1953: 1).

Kemudian, pada tahun 1950, dana untuk penghijauan hutan tersebut mendapat

tambahan dengan menggunakan uang Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI)

(Djawatan Kehutanan, 1951: 11). Di bawah ini adalah data hasil pelaksanaan reboisasi

yang dilakukan oleh pemerintah dari tahun 1950-1959.

Diagram 2.2: Reboisasi di Indonesia Tahun 1950-1959

Peraturan Panglong berlaku di Bengkalis, Indragari, Lingga, Karimun dan Tanjungpinang, dan semacam
Peraturan Panglong yang berlaku di Kalimantan (Departemen Kehutanan, 1986b: 43).
39

60,000

50,000
Luas Reboisasi (Ha)

40,000

30,000
Jawa dan Madura
Luar Jawa dan Madura
20,000

10,000

0
1950 1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959
Tahun

Sumber: Kementerian Pertanian, 1953: 1; Departemen Kehutanan, 1986b: 62.

Selain itu, untuk mengatasi kerusakan-kerusakan hutan, pemerintah telah

melakukan upaya-upaya perlindungan baik yang bersifat refresif maupun preventif,

mengingat meningkatnya kasus pelanggran kehutanan. Untuk mengamankan hutan,

polisi kehutanan ditugaskan untuk melakukan patroli. Dalam patroli tersebut polisi

kehutanan dipersenjatai. Meskipun polisi hutan telah dipersenjatai dengan pistol dan

senapan, kasus pelanggaran kehutanan seperti pencurian kayu masih saja terjadi. Untuk

mengatasi hal ini, tentara diikutsertakan dalam pengawasan hutan, akan tetapi bantuan

ini kemudian dihentikan, sehingga kondisi pengamanan hutan kembali seperti semula.

Dalam melaksanakan tugasnya, polisi hutan banyak yang diculik bahkan dibunuh oleh

para pencuri kayu. Kasus pembunuhan dan penculikan polisi hutan yang sedang

bertugas paling banyak terjadi di Jawa Barat dan Sulawesi (Djawatan Kehutanan, 1951:
40

85). Berikut ini adalah data petugas Jawatan Kehutanan yang meninggal saat

melakukan tugas pengamanan hutan.

Tabel 2.2: Data Petugas Jawatan Kehutanan Yang Meninggal Ketika Melakukan
Tugas Pengamanan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Nama Jabatan Tanggal Meninggal


Kardi Kepala Kuli Daerah Hutan Garut 25 Januari 1950
Kepala Mantri Polisi Kehutanan
Soeartaatmadja 9 Oktober 1950
Sukabumi
Kepala Perencanaan Kehutanan
M. Suria 3 Januari 1950
Indramayu
Dirdjosoemarto Mantri Polisi Hutan Ciledug 15 Maret 1951
Ketjo Mandor Tebangan Hutan Indramayu 8 Juli 1951
Mardisiswojo Mantri Polisi Hutan Purwakarta 5 Juli 1951
Masboen Mantri Polisi Hutan Indramayu 4 Mei 1951
Soemadinata Mantri Polisi Hutan Bogor 13 Juni 1951
Wuisan W.T Pengamat Hutan Purwakarta 21 Juni 1951

Sumber: Laporan Jawatan Kehutanan, 1950: iii.

Selain melalui tindakan polisionil yang bersifat represif, upaya perlindungan

hutan juga dilakukan dengan cara preventif (mencegah) yaitu memberi pemahaman

kepada rakyat tentang pentingnya hutan bagi negara dan rakyat agar hutan tidak

dirusak. Di samping maraknya kasus pencurian kayu hutan, hal yang cukup sulit

penyelesaiannya adalah pengembalian tanah kehutanan yang telah diduduki oleh

masyarakat (Djawatan Kehutanan, 1951: 85).

Melihat keadaan hutan yang rusak (terutama di Bandung), Kusnadi pegawai

Jawatan Kehutanan di Bogor menyarankan kepada pemerintah agar hutan-hutan yang

ada di Indonesia mendapat perawatan yang serius. Oleh karena rusaknya hutan telah

merubah kondisi suhu. Selain itu, di dalam hutan Indonesia masih terdapat hal-hal yang
41

sangat bernilai yang tidak didapatkan di negara lain. Rencana itu disetuji oleh

pemerintah sehinga pada Oktober 1950 pemerintah sudah mempersiapkan rencana

pengelolaan hutan (Warta Harian Pikiran Rakjat, 21 Oktober 1950).

Maraknya kasus penyerobotan lahan hutan yang terjadi, membuat Menteri

Pertanian Indonesia memerintahkan pelarangan pembukaan lahan hutan secara liar

(Djawatan Kehutanan, 1951: 10). Selain itu, untuk mengatasi permasalahan kerusakan

hutan, melalui surat keputusan bersama dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Pertanian, tanggal 24 September 1951 No. Agr. 40/18/1 dan No. 88/Um 51 serta

pengumuman Menteri Pertanian tangal 6 Okober 1951 No. 1/PMP/51 dan tanggal 15

November No. 106/Um/51, telah dibentuk Panitia Pembangunan Wilayah Hutan dan

Wilayah Pertanian di setiap provinsi dengan diketuai oleh gubernur masing-masing

provinsi. Adapun anggota-anggotanya tendiri dari tentara, pegawai jawatan dan

organisasi-organisasi yang berhubungan dengan pertanian. Tujuan pendirian

kepanitiaan ini adalah untuk menyelesaikan persoalan tanah hutan yang diserobot

(Djawatan Kehutanan, 1951: 85-86).

Di samping itu, dalam kegiatan perawatan hutan (Bosverpleging), pada tahun

1951 pemerintah menyediakan dana sebesar Rp. 1,9 juta untuk perawatan tanaman di

Jawa dan Madura serta Rp. 112.500,- untuk perawatan tanaman diluar Jawa dan

Madura (Djawatan Kehutanan, 1951: 84).

Sulitnya mengelola hutan pada saat itu, bukan hanya disebabkan oleh

perusakan hutan, tetapi juga disebabkan oleh kurangnya tenaga ahli di dalam Jawatan
42

Kehutanan itu sendiri. Maka, selain usaha untuk memulihkan kondisi hutan, pada tahun

1951, Jawatan Kehutanan juga memperhatikan pendidikan agar jumlah pegawai di

Jawatan Kehutanan tercukupi. Usaha ini seperti memberikan kursus kepada para

pegawai agar pengetahuan tentang kehutanan lebih memadai (Djawatan Kehutanan,

1951: 11).

Setelah itu, dengan surat keputusan tangal 21 November 1951 No. 4274 yang

dikeluarkan oleh Jawatan Kehutanan, dibentuk suatu panitia yang bermaksud

menyelenggarakan peraturan dan pedoman baru untuk Jawatan Kehutanan. Panitia ini

disebut dengan Panitia Peraturan Kehutanan, yang diketuai oleh R. Kiswarin. Adapun

tujuan dari dibentuknya panitia ini adalah:

1. Dalam jangka pendek, merencanakan peraturan-peraturan darurat/sementara, yang

khusus ditujukan kepada kebutuhan pada keadaan waktu itu.

2. Dalam jangka panjang, meninjau kembali semua peraturan-peraturan yang ada

ataupun berlaku saat itu di seluruh Jawatan Kehutanan, dan menyelenggarakan

rancangan peraturan serta pedoman yang baru sebagai pengganti peraturan dan

pedoman yang telah ada.

Kemudian, untuk kehutanan di luar Jawa dan Madura, Kepala Jawatan

Kehutanan membentuk Panitia Penyusun Rancangan Undang-Undang dan Peraturan-

peraturan Hutan Luar Jawa dan Madura, melalui surat keputusan tangal 25 Oktober

No. 17767/KD/1/4. Panitia ini diketuai oleh E.J. Wind yang dibantu oleh: Mr. H. de

Leau, Ronggur Patuan Malaon, R. Soepardi, Ir. C. Cartner, R.O. Noerhadi dan Song
43

Tjoe Gie. Dalam usaha perencanaan peraturan kehutanan, Bagian Perlindungan Alam

dari Kebun Raya Bogor juga turut membantu (Djawatan Kehutanan, 1951: 15).

Pada periode 1945 - 1956, urusan kehutanan dilakukan secara sentral (terpusat).

Kemudian, pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 64

Tahun 1957 (Lembaran Negara 1957 No. 169) yang menyerahkan sebagian urusan

pemerintah pusat di bidang perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada Daerah

Swatantra Tingkat I. Penyerahan urusan kehutanan dari pemerintah pusat ke Daerah

Swatantra Tingkat I secara berurutan: Jawa Barat pada 4 Juni 1958, Jakarta pada 10

Juni 1958, Sumatera Utara pada 10 Juli 1958, Aceh pada 12 Juli 1958, Kalimantan

Selatan dan Kalimantan Tengah pada 8 Agustus 1958, Jawa Tengah Pada 28 Agustus

1958, Riau pada 4 September 1958, Yogyakarta pada 27 September 1958, Sumatera

Selatan pada 3 Oktober 1958, Jambi pada 7 Oktober 1958, Kalimantan Timur pada 11

Oktober 1958 disusul dengan Jawa Timur dan Kalimantan Barat pada tahun 1959.

Kemudian, untuk wilayah Indonesia Timur urusan kehutanan menjadi wewenang

Daerah Tingkat II (Departemen Kehutanan, 1986b: 44-45).

Selain pemerintah, upaya-upaya perlindungan hutan juga dilakukan oleh para

pemerhati alam. Sejak tahun 1958, Perhimpunan Penggemar Alam yang berpusat di

Bogor pun telah mengadakan gerakan-gerakan perlindungan alam (Departemen

Kehutanan, 1965: 143).

Setelah itu, pada 16 Oktober 1961 Departemen Pertanian dan Agraria

membentuk sebuah panitia yang dikenal dengan Panitia Penyelamatan Tanah dan Air.
44

Setelah dibentuk, panitia tersebut menjalankan tugasnya, yang kemudian memberikan

rekomendasi kepada menteri untuk mengadakan gerakan penghijauan dengan

menanam berbagai jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis, melakukan reboisasi di

daerah yang kritis dan menyelenggarakan Pekan Penghijauan Nasional (PPN)

(Departemen Kehutanan, 1986b: 92). Saran panitia tersebut kemudian diterima oleh

Departemen Pertanian, sehingga setiap tahun PPN dilaksakan dari tanggal 17-23

Desember yang diakhiri dengan acara puncak. Secara berturut-turut PPN dilaksanakan

di Jawa Barat. Pada tahun 1961 dialaksanakan PPN ke-1 di Gunung Mas Bogor, dan

PPN yang ke-2 dilakukan di Gunung Kromong Kabupaten Cirebon (Departemen

Kehutanan, 1986b: 99).

Gambar 2.1: Lokasi Pekan Penghijauan Nasional Ke-1 di Gunung Mas Bogor

Sumber: Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1997: 14.

Setelah itu, pada tahun 1963 dilaksanakan Konferensi Instansi-instansi

Kehutanan yang berlangsung dari 4-9 November. Pada kesempatan itu Ir. Soemarjo

Joeswopranjoto mengajukan agar dibuat undang-undang perlindungan sumber daya


45

alam. Akan tetapi sampai berakhirnya kepemiminan Soekarno, pembuatan undang-

undang tersebut tidak terlaksana (Departemen Kehutanan, 1986b: 102).

Kemudian, pada tahun 1964, Presiden Soekarno membentuk Kabinet Dwikora,

yang terdiri atas 100 menteri. Dengan terbentunya kabinet tersebut, lahirlah

Departemen Kehutanan. Setelah itu, pada 5-12 Desember 1964, Departemen

Kehutanan mengadakan musyawarah kerja di Bogor. Hasil musyawarah tersebut

adalah: 1) Perlunya disusun Undang-undang Pokok Perlindungan dan Pembinaan

Sumber-sumber Alam dan Undang-ndang Kehutanan Nasional, untuk mengantikan

perundang-undang kehutanan yang sedang berlaku saat itu. 2) Undang-undang

Kehutanan Nasional itu hendaknya menjamin prinsip-prinsip otonomi yang luas, sesuai

UUD 1945. 3) Untuk menyusun UU tersebut, perlu dibentuk suatu panitia yang

didalamnya diikutsertakan ahli, organisasi dan Badan Perencanaan Departemen

Kehutanan. Akan tetapi, sampai akhir masa pemerintahan Soekarno regulasi-regulasi

yang telah direncanakan tersebut belum dibuat (Departemen Kehutanan, 1986b: 74).

Selama masa kepemimpinan Soekarno, secara umum dapat dikatakan bahwa

pengelolaan kawasan konservasi masih mewarisi cara-cara yang dilakukan oleh

pemerintah Hindia Belanda (Mulyana dan Dermawan, 2008: 23). Hal ini juga

dipertegas oleh pernyataan Kementerian Pertanian Indonesia bahwa Ordonansi

Perlindungan Alam (Natuurbescherming Ordonnantie) 1941 masih berlaku dalam

pengelolaan kawasan konservasi (Mahmud et al, 2015: 161). Wiratno et al (2002: 36-

37), dalam bukunya pun mengatakan bahwa urusan perlindungan alam pada masa
46

kepemimpinan Soekarno hanya mengoper-oper kepengelolaannya saja. Upaya

konservasi hutan yang lebih nyata mulai terlihat pada masa Orde Baru.

Anda mungkin juga menyukai