Bumi Nusantara dikaruniai kesuburan alam yang sangat luar biasa. Di dalamnya
tumbuh berbagai tanaman yang tidak terdapat di belahan dunia lain seperti rempah-
rempah. Kekayaan rempah-rempah yang terdapat di tanah Nusantara ini telah menarik
rempah-rempah, bumi Nusantara pun masih menyimpan kekayaan alam lainnya seperti
hutan, sehingga dalam perkembangannya, hutan pun menjadi salah satu kekayaan alam
yang tidak luput dari aksi penjarahan bangsa Barat yang berujung pada kerusakan
hutan.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya hutan yang sangat melimpah. Pada
masa kolonial, hutan menjadi salah aspek yang tidak luput dari penjarahan. Boomgaard
(1992: 6) menyebutkan bahwa pada masa ini pohon kayu berkualitas baik, misalnya
seperti jati (Tectona grandis) adalah salah satu komoditas yang paling dicari saat itu.
Kualitas kayu jati yang bagus menjadikannya banyak ditebang di hampir seluruh
20
21
pohon kayu berkualitas bagus yang terdapat di hutan banyak ditebang. Eksploitasi
terhadap hutan ini umumnya dilakukan untuk kepentingan ekonomi. Kayu-kayu hasil
samping digunakan untuk pembuatan kapal pribadi, kayu-kayu yang diperoleh pun
dipergunakan sebagai bahan baku industri pembuatan kapal yang dipesan oleh orang-
orang Eropa. Selain digunakan untuk pembuatan kapal, kayu kayu yang berkualitas
baik itu pun digunakan untuk membuat tong dan peti untuk keperluan dagang,
pembuatan senjata, arang dan mesiu serta berbagai hal lainnya. Dengan kondisi seperti
ini, maka tidak heran jika pada sekitar tahun 1670 hutan di Rembang telah habis
orang VOC hanya mengambil keuntungan dari hutan. Dalam upaya eksploitasi tersebut
kayu dengan upah yang cukup kecil. Selain itu, pada masa ini setiap kabupaten harus
80.000 papan tahang (tempayang legger), 40.000 papan tahang tempayan mesiu dan
hutan juga diakibatkan oleh jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya.
rumah serta bahan-bahan untuk medirikan rumah (terutama kayu) pun meningkat. Di
Pulau Jawa misalnya, tahun 1781 disebutkan terdapat sekitar 2.029.115 jiwa penduduk,
empat belas tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 3,5 juta jiwa (Departemen
Setelah itu, pada masa pemerintah Hindia Belanda (1800-1942) kondisi hutan
tidak jauh berubah. Hutan masih saja dieksploitasi dan kerusakan hutan tidak bisa
diminimalisir. Pada masa ini, dapat dikatakan bahwa permintaan terhadap kayu yang
berkualitas baik tidak berkurang, sehingga kayu kualitas dua maupun tiga menjadi
terhadap kayu-kayu rimba pada tahun 1890 (Departemen Kehutanan, 1986a: 137).
untuk perkebunan. Misalnya, ketika sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang mulai
diberlakukan sejak 1830-an, banyak hutan yang dibuka untuk membuat lahan
perkebunan. Dengan terjadinya pembukaan lahan hutan, luas hutan dari tahun ke tahun
Setelah itu, pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945), secara umum dapat
dikatakan bahwa hutan mengalami kerusakan yang cukup parah. Tuntutan penyerahan
perang. Selain itu, kerusakan hutan pada periode pendudukan Jepang juga disebabkan
rakyat untuk diubah menjadi lahan pertanian. Kebijakan tersebut diberikan di berbagai
tempat di Jawa dengan total area yang dipinjamkan seluas 4.428 hektar dan melibatkan
didorong dengan tidak adanya upaya pelestarian alam, mengingat situasi yang genting
perang (Wiratno, et al, 2002: 35). Tidak banyak data yang ditemukan mengenai kondisi
kehutanan Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Akan tetapi, berdasarkan catatan
Soepardi (1974) secara tegas disebutkan bahwa hutan Indonesia mengalami kerusakan
Setelah hutan rusak berat akibat tindakan eksploitasi yang berlebihan, akhirnya
pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa segala usaha yang telah dilakukan untuk
mengelola hutan tidak akan berjalan baik selama belum ada ahli kehutanan yang dapat
memberikan penerangan dalam pengelolaan hutan. Sebagai upaya untuk mengatasi itu
semua, pada tahun 1847 Gubernur Jenderal J.J Rochusen (1845-1851), mengajukan
usul kepada pemerintah pusat di Negeri Belanda supaya dikirim ke Hindia Belanda
beberapa orang ahli kehutanan yang telah dididik di Jerman. Usulan tersebut diterima,
1
Rinciannya adalah 2.501 hektar di Wilayah Inspeksi I Bandung diberikan kepada 4.928 orang,
225 hektar di Wilayah Inspeksi II Yogyakarta diserahkan kepada 725 orang, 340 hektar di Wilayah
Inspeksi III Semarang diberikan kepada 928 orang, 819 hektar di Wilayah Inspeksi IV Surabaya
diberikan kepada 1.521 orang, dan 543 hektar di Wilayah Inspeksi V Malang dipinjamkan kepada 86
orang (Poerwokoesoemo, 1974:25-26 dalam Nawiyanto, 2015: 57).
24
dan pada tahun 1849, untuk pertama kali dikirim tiga orang ahli yang terdiri dari dua
orang teknis kehutanan dan satu orang ahli geodesi (Subadi, 2010: 104).
Setelah itu, pada tahun 1858, dengan Surat Keputusan tanggal 3 Desember No.
28, sudah dicetuskan gagasan untuk membentuk sebuah komisi perancang peraturan
yang anggotanya terdiri dari seorang pejabat kehutanan, seorang pejabat administratif
dan seorang ahli hukum, untuk meninjau kembali semua peraturan dan ketentuan yang
berlaku tentang hutan. Setelah itu, pada tahun 1859 terjadi sebuah kasus yang
Kasus tersebut dilakukan oleh Sarijan yang melakukan penebangan kayu diluar batas
eksploitasi yang telah ditunjuk. Ketika pelanggaran ini diproses, ternyata tidak ada
suatu ketentuan untuk menghukum Sarijan. Karena kejadian ini, para pejabat
74).
Sekitar dua tahun setelah kasus Sarijan tersebut, pada 10 Agustus 1861 komisi
telah mengajukan kepada pemerintah tiga buah rancangan yaitu: (1) reglemen untuk
pemangkuan hutan dan eksploitasi hutan di Jawa dan Madura, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan itu berikut nota penjelasannya, (2) rancangan petunjuk pelaksanaan
untuk penanaman dan pemeliharaan pohon jati dalam hutan Pemerintah Jawa dan
pengujian dan pengukuran kayu jati dalam hutan pemerintah di Jawa dan Madura.
25
Usulan dari komisi ini kemudian dipertimbangkan dan mendapat saran oleh beberapa
orang seperti saran dari Dewan Direktur dan Direktur Hasil Bumi dan Gudang Sipil
pada 1862, saran dari Protokol Jenderal pada Mahkamah Agung pada 1863, dan saran
Usaha untuk membuat regulasi kehutanan baru terealisasikan pada tahun 1865
(Boschreglement) 1865. Reglemen Hutan 1865 disusun oleh sebuah komisi yang terdiri
dari tiga orang yaitu (1) Mr. F.H. der Kinderen (Panitera pada Mahkamah Agung), (2)
F.G Bloemen Waanders (Inspektur Tanaman Budi Daya) dan (3) E. van Roessler
Adapun hal yang diatur dalam Reglemen 1865 (secara singkat) yaitu; (1)
pengertian hutan, (2) hutan jati milik negara termasuk juga hutan jati yang ditanam dan
dipelihara oleh rakyat atas perintah pemerintah, (3) eksploitasi hutan, (4)
diwajibkannya peremajaan hutan (reboisasi) dan untuk peremajaan hutan ini perlukan
surat perintah dari gubernur jenderal, (5) dalam menjalankan tugasnya, para inspektur
dan harus dilaporkan kepada Direktur Tanaman Budi Daya, (6) hutan di bawah
pemangkuan teratur dan (7) pemberian wewenang kepada residen untuk menebang
hutan yang tidak teratur dengan izin Direktur Tanaman Budi Daya (Departemen
kekurangan. Misalnya, seperti pemisahan hutan jati menjadi hutan yang dikelola secara
teratur dan tidak teratur yang mengakibatkan kerusakan pada hutan jati yang dikelola
tidak teratur. Selain itu, banyak pula keluhan mengenai pembatasan dalam pengadaan
kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan, bahan bakar dan lain
sebagainya. Akibat dari lemahanya, Reglemen Hutan 1865, reglemen tersebut hanya
dipergunakan selama sembilan tahun saja. Kemudian, Reglemen 1865 diganti dengan
Reglemen Hutan yang baru yang ditetapkan pada 14 April 1874 (Departemen
Secara singkat inti dari Reglemen Hutan 1874 adalah sebagi berikut: (1)
diadakan pembedaan antara hutan jati dan hutan rimba, (2) pengelolaan hutan jadi
menjadi dua, yaitu hutan jati yang dikelola secara teratur dan yang belum ditata akan
dipancang, diukur dan dipetakan. Hutan ini dibagi dalam distrik hutan, (3) distrik hutan
hutan sama dengan yang tercantum pada Reglemen 1865, (5) untuk tujuan tertentu
dapat diminta suart izin penebangan kayu dalam jumlah terbatas, yang dikeluarkan oleh
rimba yang dikelola secara tidak teratur berada di tangan residen, di bawah perintah
Binnenlands Bestur dan dibantu oleh seorang houtsvester. Selain itu, Reglemen 1874
tidak hanya berlaku di Jawa dan Madura saja, tetapi juga berlaku di Vorstenlanden
(tanah kasunanan dan kesultanan) sepanjang pemerintah berhak atas kayu yang ada
27
didaerah itu, kecuali hutan yang pemangkuan dan pemanfaatannya sudah diserahkan
mengalami berbagai perubahan seperti dirubah dengan Ordonansi 26 Mei 1882 dan
reglemen yang baru pada 9 Februari 1897. Di samping itu, dengan keputusan
yang diberi nama “Reglemen untuk Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura” yang
Reglemen Hutan 1897 berbeda dengan Reglemen Hutan 1874. Ketentuan yang
penting pada Reglemen 1897 terletak pada pengertian hutan negara, pembagian hutan
negara, pemangkuan hutan dan eksploitasi hutan (Salim, 2002: 23). Berdasarkan
reglemen ini hutan negara terdiri dari (1) semua lahan bebas yang gundul (tidak
merupakan hak negara, (2) semua lapangan yang dicadangkan pemerintah demi
pada penataan batas dimasukan dalam kawasan hutan, dan (3) tanaman hutan yang
telah atau akan dibina negara selama pemangkuannya belum diatur sendiri. Hutan
negara dibedakan menjadi hutan jati dan hutan rimba. Hutan rimba dibedakan menjadi
28
hutan tetap dan tidak tetap. Sedangkan pemangkuan hutan adalah kegiatan pengurusan
hutan yang mencakup kegiatan penataan hutan dan pengamanan hutan. Dalam hal
eksploitasi, reglemen ini membaginya menjadi dua yaitu eksploitasi teratur dan tidak
Reglemen Hutan 1897 berlaku kurang lebih selama 16 tahun. Dengan adanya
Ordonansi Kolonial 30 Juli 1913 dan ditetapkannya reglemen hutan yang baru maka
1913 ini tidak hanya berlaku di Jawa dan Madura, tetapi juga berlaku di seluruh Hindia
Adapun hal-hal yang diatur dalam reglemen ini dan menjadi pembeda dengan
hutan, pengamanan hutan dan penelitian hutan. Kemudian, dalam hal aturan
sebelumnya. Selain itu, rakyat juga diperbolehkan berburu atau menyandang senapan
di dalam hutan jati dan rimba yang sudah ditata dengan izin pemerintah daerah
Dalam isinya, reglemen ini tidak mengatur mengenai sanksi pidana atas
kejahatan dan pelanggaran di bidang kehutanan. Padahal suatu aturan baru dikatakan
mempunyai upaya pemaksa apabila ditentukan secara tegas tentang sanksi pidana di
29
bidang kehutanan, karena dengan adanya sanksi pidana masyarakat akan berpikir ulang
Pada tahun 1927, Reglemen Hutan 1913 diganti dengan Reglemen voor het
Beheer der bossen van den Lande op Java en Madura 1927 (Peraturan Pengelolaan
Hutan Negara di Jawa dan Madura), yang secara singkat disebut Bosordonantie voor
Java en Madura 1927 (Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura) (Departemen
Negara) 1927 No. 221 dan terakhir ditambah dengan Staatsblad 1940 No. 3 (Salim,
2002: 25).
Ordonansi Hutan 1927 ini terdiri atas 7 bab dan 31 pasal. Hal-hal yang diatur
dalam ordonansi ini yaitu: pengertian hutan, susunan hutan, penyelidikan hutan,
dan penutup. Ketentuan pidana yang diatur dalam Ordonansi Hutan 1927 berupa
pidana denda dan pidana kurungan selama tiga bulan bagi perusak hutan. Sifat
voor Java en Madura (Peraturan Hutan di Jawa dan Madura) 1932 yang kemudian
masih diperbaiki pada tahun 1935, 1937 dan 1939. Ordonansi 1927 ini hanya berlaku
di Jawa dan Madura, untuk kehutanan di luar Jawa dan Madura belum diatur dalam
kelemahan sehinga tidak dapat dijadikan laandasan hukum dalam pemangkuan hutan.
Selain itu, antara satu sama lain aturan tidak saling berhubungan (Departemen
Setelah itu, pada Tahun 1937 rancangan ordonansi hutan untuk luar Jawa dan
Madura pernah diajukan kepada Volksraad (Dewan Rakyat), akan tetapi sampai pecah
Selain membuat regulasi hutan, upaya pelestarian alam pun didukung dengan
1940
31
Indie, 1917: 563 dalam Gustaman, 2013: 76). Selain itu, Boomgaard (1999: 263)
mengatakan bahwa salah satu langkah awal pemerintah kolonial dalam upaya
alam/cagar alam) di kaki Gunung Gede Pangrango, Cibodas pada 17 Mei 1889, melaui
Perlindungan alam di Hindia Belanda sangat erat kaitannya dengan nama Sijfert
(Bogor) pada 12 Juli 1912, dengan ketua pertamanya S.H Koorders. Peristiwa penting
2
Untuk lebih jelas memahami regulasi-regulasi tentang perburuan, perlindungan satwa serta
kawasan pelestarian alam di masa Hindia Belanda lihat: Budi Gustaman, 2013. Konservasi Satwa Liar
di Hindia Belanda: Upaya-Upaya Perlindungan Satwa Liar dari Perburuan 1909-1942. Skripsi.
Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran.
3
S.H Koordes adalah seorang ahli botani yang dilahirkan di Bandung pada 29 November 1863
(Yudhistira, 2012: 15).
32
lainnya terjadi pada 1925, yaitu dengan didirikannya, Nederlands Commissie voor
Internasional) di bawah pimpinan Mr. P.G Tienhoven, yang merupakan ketua dari
sebagai cagar alam berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat itu. Berikut adalah
Tabel 2.1: Persebaran Kawasan Konservasi Selama Masa Hindia Belanda 1800-1942
Luas Area
Pulau Jumlah
(Ha)
Jawa 150.000 70
Bali/Lombok/Timor 65.000 4
Sumatera 1.300.000 27
Kalimantan 600.000 7
Sulawesi 5.000 7
Irian 320.000 1
Sumber: Koorders 1912: 20; Dammerman 1950: 80; Pluygers 1952: 40 dalam Boomgaard, Peter. 1999.
“Oriental Nature its Friends and its enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial
Indonesia, 1889-1949” dalam Environment and History. Vol. 5, No. 3. hal. 275.
pada zaman Hindia Belanda masih tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan
kepentingan pemerintah militer Jepang4. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Pasal 3
diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan Pemerintah
berlaku pada zaman Hindia Belanda tetap diakui sah oleh pemerintah Jepang, dengan
dan mengadili serta memutuskan setiap perkara yang diajukan. Dengan demikian,
adalah Ordonansi Hutan 1927 dengan berbagi peraturan pelaksanaannya (Salim, 2002:
27).
Selama masa penjajahan di Indonesia baik itu oleh orang Eropa maupun oleh
Jepang, hutan Indoensia menjadi salah satu kekayaan alam yang tidak luput dari
4
Urusan kehutanan pada masa Pendudukan Jepang awalnya termasuk dalam Departemen
Sangyobu (Deapetemen Ekonomi), akan tetapi peperangan memerlukan sekali banyak kayu untuk
keperluan pembuatan kapal sehinga urusan kehutanan dipindahkan ke dalam Departemen Zoosen Kyo
Ku (Perkapalan) sampai akhirnya dipindahkan ke dalam Departemen Gonzyuseizanbu (Departemen
Produksi Kebutuhan Perang) (Soepardi 1974: 174 dalam Departeman Kehutanan, Sejarah Kehutanan
Indonesia Jilid II, 1986: 6).
34
Jepang pergi meninggalkan lahan-lahan kritis akibat eksploitasi hutan. Seperti yang
kerusakan yang serius. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, kondisi kehutanan tidak
Pada masa ini kerusakan hutan masih tetap terjadi. Misalnya, disebutkan di
seluruh pulau Jawa dan Madura terjadi kerusakan hutan yang disebabkan oleh rakyat.
Berdasarkan catatan Soepardi (1974: 60), kerusakan hutan tersebut dilakukan oleh
rakyat yang salah dalam memaknai kemerdekaan. Selain itu, kurangnya pemahaman
tentang manfaat hutan bagi kehidupan serta kurangnya tanah untuk lahan pertanian pun
kerusakan terbesar yaitu 77.000 ha, Jawa Timur 23.000 ha dan Jawa Tengah 10.000
ha. Di Jawa Barat, kerusakan hutan tersebut seperti terjadi di Indramayu yaitu di daerah
Ploso Kerep dan Tugu dengan jumlah kerusakan seluas 117,5 ha. Pengrusakan hutan
di Indramayu ini dilakukan oleh 1.300 orang, yang dipimpin oleh bekas Heiho dan
35
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Para perusak tersebut masuk ke hutan,
tebangan tersebut dibawa pulang untuk dijual atau digunakan untuk kepentingan rumah
masing-masing. Kayu-kayu sisa tebangan yang tidak dibawa dibakar di dalam hutan
untuk menghilangkan jejak (Soepardi, 1974: 60). Data mengenai kerusakan hutan di
Jawa Barat selama tahun 1945-1947 dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
30000
25000
Luas Kerusakan (Ha)
20000
15000
10000
5000
dengan terjadinya peristiwa yang disebut dengan Agresi Militer Belanda I dan II, telah
memutuskan hubungan antara kantor Jawatan Kehutanan pusat dan daerah. Di Jawa
36
seperti Banten, Bogor, Sukabumi, Bandung Utara dan Selatan, Garut, Majalengka,
Jepang dan masa revolusi fisik (Djawatan Kehutanan, 1951: 10). Menurut Inspektur
Jawatan Kehutanan Jawa Barat, Kusnowarso, selama periode tersebut sekitar 45.000
hektar kawasan hutan di Jawa dan Madura telah dibuka. Selain itu juga terdapat 28.000
hektar hutan rusak akibat pencurian kayu dan kerusakan lainnya. Sedangkan
menurutnya, kerusakan hutan di Jawa Barat pada periode tersebut disebabkan oleh
pencurian kayu, dan penyerobotan lahan hutan (Warta Harian Pikiran Rakjat, 25
September 1950).
Selain itu, kerusakan hutan pada masa revolusi fisik juga didorong dengan
awal tahun 1951 disebutkan sekitar 400.000 hektar tanah kawasan hutan rimba telah
diserobot oleh rakyat (Djawatan Kehutanan, 1951: 11). Di samping itu, pada masa
revolusi fisik telah terjadi peningkatan jumlah pelanggaran dan kejahatan kehutanan.
Misalnya, pada tahun 1950 tercatat sekitar 8.753 kasus setahun kemudian jumlahnya
meningkat kurang lebih sekitar 50 persen yang jumlahnya menjadi 13.296 kasus.
kawasan hutan dan lain sebagainya. Selain itu, pada tahun 1950-1951 juga telah terjadi
sekitar 5 ribu peristiwa kebakaran hutan yang mengahabiskan kurang lebih 70 ribu
bencana terhadap bangsa Indonesia. Pada musim kemarau, banyak daerah di Indonesia
yang mengalami kekeringan. Kemudian, pada musim hujan bencana seperti banjir dan
Untuk mengatasi masalah bencana alam akibat kerusakan hutan tersebut, pada
tahun 1946, Jawatan Kehutanan membentuk sebuah panitia pengarang. Panitia tersebut
berlaku pada masa Hindia Belanda untuk dipergunakan dalam pengelolaan hutan,
selama belum adanya regulasi kehutanan yang baru (Departemen Kehutanan, 1986b:
24). Dengan demikian, untuk hutan Jawa dan Madura regulasi yang berlaku adalah
Ordonansi Hutan 1927 (Staatsblad 1927 No. 221). Kemudian, untuk hutan diluar Jawa
tidak sedikit6.
5
Kekeringan akibat kerusakan hutan tersebut misalnya terjadi di Bandung. Pada musim
kemarau tahun 1950, wilayah Bandung mengalami kekeringan (Warta Harian Pikiran Rakjat, 7
September 1950). Untuk memenuhi kebutuhan air di daerah Bandung, pemerintah Bandung mengambil
air dari Sungai Citarum (Warta Harian Pikiran Rakjat, 30 oktober 1950). Kemudian bencana seperti
banjir dan tanah longsor terjadi di Ciawi dan Cileungsi pada tahun 1954 (Warta Harian Pikiran Rakjat,
15 September 1954). Setelah itu, pada akhir-akhir tahun 1957, hampir di seluruh kabupaten Jawa Barat
terjadi Banjir seperti di Bogor, Ciamis, Karawang dan tanah longsor terjadi di Banjaran dan Purwakarta
(Pikiran Rakjat. 12 Desember 1957: 2).
6
Untuk hutan di wilayah Sumatera Barat, Menado, Riau dan pulau-pulau di sekitarnya, Bangka
– Belitung, Palembang Jambi dan Bengkulu peraturan yang berlaku adalah Agrarische Reglement.
Undang-undang Perlindungan Hutan Belitung berlaku di Palembang, Singkep, Lampung dan Rau.
38
kondisi hutan. Pada 11 Februari 1946 melalui surat No. 380/Oe, Kementerian
Setelah itu, selama tahun 1949-1953 Jawatan Kehutanan telah menyediakan Dana
sebesar Rp. 229.000.000 untuk keperluan reboisasi (Kementerian Pertanian, 1953: 1).
Kemudian, pada tahun 1950, dana untuk penghijauan hutan tersebut mendapat
(Djawatan Kehutanan, 1951: 11). Di bawah ini adalah data hasil pelaksanaan reboisasi
Peraturan Panglong berlaku di Bengkalis, Indragari, Lingga, Karimun dan Tanjungpinang, dan semacam
Peraturan Panglong yang berlaku di Kalimantan (Departemen Kehutanan, 1986b: 43).
39
60,000
50,000
Luas Reboisasi (Ha)
40,000
30,000
Jawa dan Madura
Luar Jawa dan Madura
20,000
10,000
0
1950 1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959
Tahun
polisi kehutanan ditugaskan untuk melakukan patroli. Dalam patroli tersebut polisi
kehutanan dipersenjatai. Meskipun polisi hutan telah dipersenjatai dengan pistol dan
senapan, kasus pelanggaran kehutanan seperti pencurian kayu masih saja terjadi. Untuk
mengatasi hal ini, tentara diikutsertakan dalam pengawasan hutan, akan tetapi bantuan
ini kemudian dihentikan, sehingga kondisi pengamanan hutan kembali seperti semula.
Dalam melaksanakan tugasnya, polisi hutan banyak yang diculik bahkan dibunuh oleh
para pencuri kayu. Kasus pembunuhan dan penculikan polisi hutan yang sedang
bertugas paling banyak terjadi di Jawa Barat dan Sulawesi (Djawatan Kehutanan, 1951:
40
85). Berikut ini adalah data petugas Jawatan Kehutanan yang meninggal saat
Tabel 2.2: Data Petugas Jawatan Kehutanan Yang Meninggal Ketika Melakukan
Tugas Pengamanan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
hutan juga dilakukan dengan cara preventif (mencegah) yaitu memberi pemahaman
kepada rakyat tentang pentingnya hutan bagi negara dan rakyat agar hutan tidak
dirusak. Di samping maraknya kasus pencurian kayu hutan, hal yang cukup sulit
ada di Indonesia mendapat perawatan yang serius. Oleh karena rusaknya hutan telah
merubah kondisi suhu. Selain itu, di dalam hutan Indonesia masih terdapat hal-hal yang
41
sangat bernilai yang tidak didapatkan di negara lain. Rencana itu disetuji oleh
(Djawatan Kehutanan, 1951: 10). Selain itu, untuk mengatasi permasalahan kerusakan
hutan, melalui surat keputusan bersama dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertanian, tanggal 24 September 1951 No. Agr. 40/18/1 dan No. 88/Um 51 serta
pengumuman Menteri Pertanian tangal 6 Okober 1951 No. 1/PMP/51 dan tanggal 15
November No. 106/Um/51, telah dibentuk Panitia Pembangunan Wilayah Hutan dan
kepanitiaan ini adalah untuk menyelesaikan persoalan tanah hutan yang diserobot
1951 pemerintah menyediakan dana sebesar Rp. 1,9 juta untuk perawatan tanaman di
Jawa dan Madura serta Rp. 112.500,- untuk perawatan tanaman diluar Jawa dan
Sulitnya mengelola hutan pada saat itu, bukan hanya disebabkan oleh
perusakan hutan, tetapi juga disebabkan oleh kurangnya tenaga ahli di dalam Jawatan
42
Kehutanan itu sendiri. Maka, selain usaha untuk memulihkan kondisi hutan, pada tahun
Jawatan Kehutanan tercukupi. Usaha ini seperti memberikan kursus kepada para
1951: 11).
Setelah itu, dengan surat keputusan tangal 21 November 1951 No. 4274 yang
menyelenggarakan peraturan dan pedoman baru untuk Jawatan Kehutanan. Panitia ini
disebut dengan Panitia Peraturan Kehutanan, yang diketuai oleh R. Kiswarin. Adapun
rancangan peraturan serta pedoman yang baru sebagai pengganti peraturan dan
peraturan Hutan Luar Jawa dan Madura, melalui surat keputusan tangal 25 Oktober
No. 17767/KD/1/4. Panitia ini diketuai oleh E.J. Wind yang dibantu oleh: Mr. H. de
Leau, Ronggur Patuan Malaon, R. Soepardi, Ir. C. Cartner, R.O. Noerhadi dan Song
43
Tjoe Gie. Dalam usaha perencanaan peraturan kehutanan, Bagian Perlindungan Alam
dari Kebun Raya Bogor juga turut membantu (Djawatan Kehutanan, 1951: 15).
Pada periode 1945 - 1956, urusan kehutanan dilakukan secara sentral (terpusat).
Tahun 1957 (Lembaran Negara 1957 No. 169) yang menyerahkan sebagian urusan
pemerintah pusat di bidang perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada Daerah
Swatantra Tingkat I secara berurutan: Jawa Barat pada 4 Juni 1958, Jakarta pada 10
Juni 1958, Sumatera Utara pada 10 Juli 1958, Aceh pada 12 Juli 1958, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah pada 8 Agustus 1958, Jawa Tengah Pada 28 Agustus
1958, Riau pada 4 September 1958, Yogyakarta pada 27 September 1958, Sumatera
Selatan pada 3 Oktober 1958, Jambi pada 7 Oktober 1958, Kalimantan Timur pada 11
Oktober 1958 disusul dengan Jawa Timur dan Kalimantan Barat pada tahun 1959.
pemerhati alam. Sejak tahun 1958, Perhimpunan Penggemar Alam yang berpusat di
membentuk sebuah panitia yang dikenal dengan Panitia Penyelamatan Tanah dan Air.
44
menanam berbagai jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis, melakukan reboisasi di
(Departemen Kehutanan, 1986b: 92). Saran panitia tersebut kemudian diterima oleh
Departemen Pertanian, sehingga setiap tahun PPN dilaksakan dari tanggal 17-23
Desember yang diakhiri dengan acara puncak. Secara berturut-turut PPN dilaksanakan
di Jawa Barat. Pada tahun 1961 dialaksanakan PPN ke-1 di Gunung Mas Bogor, dan
Gambar 2.1: Lokasi Pekan Penghijauan Nasional Ke-1 di Gunung Mas Bogor
Kehutanan yang berlangsung dari 4-9 November. Pada kesempatan itu Ir. Soemarjo
yang terdiri atas 100 menteri. Dengan terbentunya kabinet tersebut, lahirlah
Kehutanan Nasional itu hendaknya menjamin prinsip-prinsip otonomi yang luas, sesuai
UUD 1945. 3) Untuk menyusun UU tersebut, perlu dibentuk suatu panitia yang
yang telah direncanakan tersebut belum dibuat (Departemen Kehutanan, 1986b: 74).
pemerintah Hindia Belanda (Mulyana dan Dermawan, 2008: 23). Hal ini juga
pengelolaan kawasan konservasi (Mahmud et al, 2015: 161). Wiratno et al (2002: 36-
37), dalam bukunya pun mengatakan bahwa urusan perlindungan alam pada masa
46
konservasi hutan yang lebih nyata mulai terlihat pada masa Orde Baru.