Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Hutan mangrove disebut juga hutan pasang karena mangrove merupakan salah satu
jenis vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Hutan mangrove hidup di
daerah pesisir yang tanahnya terdiri dari lumpur dan pasir (air payau) yang secra berkala atau
terus menerus terendam air laut. Hal tersebut bermanfaat bagi biota laut yang tumbuh dan
berkembang di zona pasang surut pantai karena hutan mangrove terdiri dari komunitas
vegetasi pantai tropisi yang didominasi oleh berbagai jenis pohon mangrove, seperti bakau,
tanjung, bogem, dan api-api. Fungsi utama pohon mangrove yaitu sebagai penahan erosi
pantai, menahan lumpur, serta mampu menahan pengaruh gelombang. Karena hal itu
kawasan hutan mangrove juga memiliki potensi untuk berkembang menjadfi tujuan wisata
alam (Majid et al., 2016).

Ekosistem mangrove banyak ditemukan di daerah tropis maupun subtropics yang


mana tumbuh di sepanjang garis seperti rawa, muara sungai, dan danau. Keberadaan
mangrove memainkan peran penting dalam mengurangi emisi karbon dioksida serta
menyediakan sumber daya yang unit untuk kebutuhan biota laut dan manusia. Hutan
mangrove juga berfungsi sebagai tempat penetasan berbagai biota laut serta mampu
menyaring polutan dari air laut
(Maryantika dan Lin, 2017).

Tingginya laju erosi dan abrasi panti menyebabkan tidak seimbangnya pergerakan
sedimen di pantai yang menjadi salah satu permasalahan yang harus dihadapi oleh wilayah
pesisir Indonesia. Adapun jumlah sedimen yang dipindahkan oelh gelombang pantai lebih
tinggi dibandingkan dengan jumlah material yang dibawa ke pantai. Hal tersebut terjadi
karena hilangnya sabuk hijau pantai yang meliputi luasan mangrove, sehingga tingkat erosi
dan pantai menjadi signifikan. Selain itu, karena adanya kerusakan seitar 68% atau 5,9 juta ha
dari perkiraan 8,6 juga ha hutan mangrove membuat ekosistem hutan mangrove di Indonesia
dalam keadaan kritis (Komalasari, 2019).

Salah satu kawasan pesisir yang memiliki rangkaian hutan mangrove adalah pesisir
pantai Kabupaten Situbondo.Kondisi perkembangan luas hutan mangrove di Situbondo
terus mengalami penurunan pada tahun 1997 dengan total nilai luas tanaman mangrove
320,05 ha, pada tahun 2002 turun 9,19 % menjadi 290,65 ha (Budiarti et al., 2019). salah
satu penyebab penurunan luas hutan mangrove dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan
hutan mangrove menjadi tambak budidaya. Beralihnya fungsi lahan mangrove baik menjadi
tambak intensif, pemukiman penduduk, maupun kawasan wisata dapat memperbesar peluang
wilayah pesisir untuk mengalami abrasi serta sedimentasi (Wulandari, 2021).

Pesisr Kabupaten Situbondo merupakan salah satu kawasan pesisir yang memiliki
sejumlah pohon bakau. Dengan luas total tanaman mangrove 302,5 hs pada tahun 1997 yang
perkembangannya terus merosot. Pada tahun 2002 luasan hutan mangrove turun 9,19%
menjadi 290,65 ha (Budiarti et al., 2019). Seringnya alih fungsi lahan hutan mangrove
menjadi tambak termasuk salah satu penyebab berkurangnya luas hutan mangrove.
Kemungkinan abrasi dan sedimentasi di lokasi pantai dapat meningkat jika lahan mangrove
diubah menjadi tambak intensif, pemukiman, wisata, maupun rekreasi (Fahmi et al., 2017).

Hasil
Hutan mangrove di kawasan Taman Nasional Baluran termasuk salah satu konservasi
utama di Indonesia yang terdegradasi. Pada tahun 2000 hingga 2010 area mangrove
mengalami penurunan sebesar 0,5% atau 6,21 Ha. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan
area perairan. Sedangkan, pada periode tahun 2010 – 2020, wilayah mangrove mengalami
peningkatan yaitu untuk area mangrove sebesar 3,5%. Setiap kelas penutupan lahan
(mangrove) yang mengalami perbedaan dan perubahan luasan diduga karena beberapa faktor
seperti pasang surut dan curah hujan. Sedangkan dalam periode antara tutupan lahan tahun
2020 dan prediksi tahun 2030, luas mangrove mengalami peningkatan dari 15,57% menjadi
24,89% atau sebesar 122 Ha.

Beberapa upaya telah dilaksanakan untuk memulihkan mangrove di Taman Naional


Baluran seperti terbitnya peraturan daerah di Kabupaten Situbondo Nomor 6 Tahun 2014
tentang konservasi kawasan mangrove dan penanaman kembali mangrove di sepanjang pantai
sebagai upaya dari konservasi.

Pembahasan
Kawasan hutan mangrove di Pantai Bama terletak di Kabupaten Situbondo, Provinsi
Jawa Timur. Tutupan lahan mangrove pada kawasan konservasi Pantai Bma sangat
bervariasi dari tahun ke tahun. Hal tersebut diakibatkan oleh beberapa factor seperti curah
hujan dan pasang surut yang dapat mengubah jumlah tutupan lahan. Mangrove berpotensi
tergenang oleh air pasang yang menyebabkan tidak semua mangrove terklasifikasi sehingga
berdampak pada kawasan mangrove. Ketinggian pasang surut juga dapat menyebabkan
tenggelamnya mangrove akibat banjir pasang surut, akibatnya luasan mangrove pada tahun
2010 mengalami penurunan dan perairan mengalami penambahan luasan. Adapun pada saat
air laut surut, tanaman mangrove yang berada dekat laut atau pesisir tidak tergenang sehingga
akan terlihat saat proses klasifikasi. Hal tersebut mempengaruhi luasan mangrove tahun 2020
yang mengalami penambahan luasan dan wilayah perairan yang mengalami penurunan.

Curah hujan merupakan salah satu komponen iklim yang dapat mempengaruhi
perkembangan mangrove. Jumlah curah hujan dapata mempengaruhi ekosistem dan
perkembangan mangrove karena sebagian besar suhu udara dan air dan salinitas air
permukaan tanah berpengaruh terhadap ketahanan spesies mangrove. Kisaran curah hujan
rata-rata yang ideal untuk pertumbuhan mangrove yaitu sekitar 1500-3000 mm/tahun
(Darmawan et al., 2022).

Kesimpulan
Kawasan Pantai Bama Taman Nasional Baluran yang telah menjadi wilayah konservasi oleh
pemerintah setempat dapat mengalami penurunan atau peluasan tutupan lahan mangrove
yang disebabkan oleh factor alam. Faktor alamnya meliputi pasang surut air laut serta curah
hujan. Ketinggian, air pasang, mapun air surut berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove.
Adapun mangrove dapat tumbuh dengan baik pada kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000
mm/tahun. Meski begitu diperlukan juga upaya manusia dalam menjaga wilayah konservasi
yang telah ditetapkan agar vegetasi maupun biota yang ada di dalamnya tetap terjaga.

Daftar Pustaka
Budiarti, A. W., Wijaya, N. I., & Bintoro, R. S. (2019). Kesesuaian Lahan Untuk Ekowisata
Mangrove Di Kabupaten Situbondo. Prosiding Seminakel, 1(1), 58–67.
Darmawan, S., Claudia, A., & Tridawati, A. (2022). Prediksi Perubahan Kawasan Hutan
Mangrove Menggunakan Model Cellular Automata Markov pada Citra Penginderaan
Jauh Landsat (Studi Kasus: Kawasan Resort Bama, Taman Nasional Baluran, Kabupaten
Situbondo, Jawa Timur). Jurnal Rekayasa Hijau, 6(1), 57–72.
https://doi.org/10.26760/jrh.v6i1.57-72
Fahmi, M. Y., Muttaqin, A. D., & Nurjanah, I. (2017). Monitoring Ekosistem Laut Dan
Pesisir Di Taman Nasional Baluran, Situbondo. Prosiding Seminar Nasional Kelautan
Dan Perikanan III, September, 40–54.
Komalasari, R. (2019). Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Indonesia. Diambil Dari
Https://Www. Researchgate. Net/Publication/325314445. Diakses Pada, 22(5).
Majid, I., Muhdar, M.H. I. A., Syamsuri, I. 2016. Konservasi Hutan Mangrove di Pesisir
Pantai Kota Ternate Terintegrasi dengan Kurikulum Sekolah. Jurnal BIOeduKASI, 4(2),
488-496.
Maryantika, Norida, Dan Chinsu Lin. 2017. “Exploring Changes Of Land Use And
Mangrove Distribution In The Economic Area Of Sidoarjo District, East Java Using
Multi-Temporal Landsat Images” 4: 321–32.
Wulandari, L. D. 2021. Studi Perubahan Luas dan Kerapatan Mangrove di Kampung Blekok,
Kabupaten Situbondo.

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai