Anda di halaman 1dari 33

Laporan Praktikum 1

Silvikultur

PRESKRIPSI SILVIKULTUR DI TEGAKAN JATI (Tectona


Grandis) DI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS
HASANUDDIN

NAMA : MUH. AMIN DG BULU

NIM : M031211005

KELAS : SILVIKULTUR C

KELOMPOK : 20 (DUA PULUH)

ASISTEN : BUNGA LINO

LABORATORIUM SILVIKULTUR DAN FISIOLOGI POHON

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii

DAFTAR TABEL................................................................................................. iv
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan .......................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3


2.1 Deskrisi Pohon Jati (Tectona grandis) ................................................ 3
2.2 Preskripsi Silvikultur ............................................................................ 4
2.3 Produktivitas Tegakan Jati .................................................................. 5
2.4 Bonita ..................................................................................................... 5
2.5 Penjarangan ........................................................................................... 7
2.6 Derajat Kekerasan Penjarangan ....................................................... 10
2.7 Kerapatan Tegakan ............................................................................ 11
2.8 Riap Tahunan Rata-Rata (MAI) ....................................................... 12

III. METODOLOGI PRAKTIKUM ................................................................ 13


3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 13
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 13
3.3 Prosedur Kerja .................................................................................... 13
3.4 Analisis Data ........................................................................................ 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 17


4.1 Hasil ...................................................................................................... 17
4.2 Pembahsan ........................................................................................... 21

PENUTUP ............................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23

LAMPIRAN ......................................................................................................... 25

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tegakan Jati (Tectona grandis) ............................................................ 3

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1

iv
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan suatu ekosistem alam yang kompleks dan terdiri atas berbagai
komponen ekosistem yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Hutan dapat
memberikan manfaat tangible berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu
serta manfaat intangible seperti sebagai penghasil oksigen, pengatur siklus air,
penyimpan karbon dan pengatur iklim mikro. Hutan tanaman industri, dalam hal
ini adalah hutan jati merupakan salah satu komponen penting ekosistem hutan yang
selalu mengalami dinamika dari waktu ke waktu terkait jumlah individu, dimensi
(ukuran) dari setiap individu maupun komposisi jenisnya. Kegiatan pengusahaan
hutan tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik
tegakan hutan jati, karena jika kegiatan penebangan yang dilakukan tidak sesuai
dengan konsep riap, dimana bila kegiatan penebangan dilakukan melebihi
kemampuan hutan untuk memulihkan diri, hal ini dapat merubah kondisi
karakteristik tegakan hutan jati serta berpengaruh terhadap potensi hutan tegakan
jati untuk siklus tebang berikutnya, bahkan akan berdampak pula pada kelestarian
sumberdaya hutan secara luas bagi kehidupan baik ekonomi, ekologi maupun
sosial.
Informasi karakteristik tegakan tersebut dapat dikatakan sebagai potret kondisi
tegakan hutan setelah dilakukan kegiatan pengusahaan atau pengelolaan pada rotasi
yang pertama. Selanjutnya, informasi tentang karakteristik tersebut dapat
digunakan untuk menduga kondisi tegakan pada awal rotasi berikutnya dengan
memperhatikan riap dan dinamika struktur tegakannya. Gambaran tentang kondisi
tegakan dugaan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
penentuan sistem silvikultur pada rotasi tebang berikutnya dalam bentuk
perencanaan yang cermat, akurat, dan tepat sasaran dalam mewujudkan
pengelolaan hutan lestari yang mempertimbangkan aspek sosial, ekologis dan
ekonomis (Malata et al., 2017).
Hal lain yang penting pula dalam pengusahaan tegakan hutan tanaman adalah
volume kayu, yaitu kegiatan penaksiran volume kayu di suatu areal hutan tanaman
yang dapat dilakukan dengan cara pengukuran secara langsung di lapangan dimana

1
pohon- pohon yang dipilih mampu mewakili seluruh tegakan dalam areal hutan
tersebut. Penaksiran volume juga dapat dilakukan secara tidak langsung dengan
menggunakan Tabel Volume Lokal (TVL). Volume tegakan dapat dinyatakan
dengan karakteristik- karakteristik pohon seperti luas bidang dasar dan tinggi pohon
rata-rata (Wijaya et al., 2021).
Pengukuran merupakan hal yang paling penting dilakukan, karena dapat
mengetahui atau menduga potensi suatu tegakan ataupun suatu komunitas tertentu.
Dalam memperoleh data pengukuran, jenis dan cara penggunaan alat merupakan
faktor penentu utama yang mempengaruhi ketelitian data yang diperoleh. Semakin
baik alat yang dipergunakan maka semakin baik pula hasil pengukuran yang akan
didapat. Demikian pula halnya dengan kemampuan pengamatan dalam pengukuran,
semakin baik dalam penggunaan suatu alat maka semakin baik pula data yang
dikumpulkan (Thamrin, 2020).
1.2 Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah Mahasiswa mampu menentukan


potensi suatu tegakan dan dapat mengukur diameter, tinggi, LBDS dan menghitung
volume tegakan jati (Tectona grandis).

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskrisi Pohon Jati (Tectona grandis)

Pohon berperan penting dalam mencegah perubahan iklim. Kelebihan karbon


dioksida (CO2) memicu terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi karena
disebabkan oleh banyak faktor. Dengan adanya pohon yang mampu menyerap
CO2, mengeluarkan dan menyimpan karbon, serta menghasilkan oksigen yang
selanjutnya kembali ke udara. Pohon menyerap gas polusi seperti nitrogen, oksida,
aminoa, sulfur, dioksida, dan menyaring partikulat dari udara (Murtinah, dkk.
2015).
Jati (Tectona grandis Linn.f.) merupakan tanaman yang sangat populer sebagai
penghasil bahan baku untuk industri perkayuan karena memiliki kualitas dan nilai
jual yang sangat tinggi. Kekuatan dan keindahan seratnya merupakan faktor yang
menjadikan kayu jati sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003). Jati
merupakan salah satu jenis kayu tropis yang sangat penting dalam pasar kayu
internasional karena berbagai kelebihan yang dimilikinya dan merupakan jenis
kayu yang sangat bernilai untuk tanaman kehutanan (Murtinah, dkk. 2015).
Jati merupakan jenis yang sudah dikenal dan diusahakan sejak lama, khususnya
di Pulau Jawa yang meliputi wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di
luar Pulau Jawa, jati ditemukan secara terbatas di beberapa tempat di Pulau
Sulawesi, Pulau Muna, Pulau Sumbawa, Pulau Bali, Pulau Sumatra dan Pulau
Kalimantan (Murtinah, dkk. 2015).

3
Gambar 1. Tegakan Jati (Tectona grandis)

2.2 Preskripsi Silvikultur

Silvikultur adalah perpaduan antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan, dengan
berdasarkan ilmu silvika, yaitu pemahaman mengenai sifat-sifat hidup jenis-jenis
pohon serta interaksinya dalam tegakan, dan penerapannya dengan memperhatikan
karakteristik lingkungan setempat. Perbedaan yang menyolok antara silvikultur dan
kehutanan adalah pada cakupannya, yakni silvikultur diaplikasikan pada aras
tegakan, sedangkan kehutanan lebih umum sifatnya. Keseluruhan cara pandang dan
rangkaian tindakan dalam mempermudakan, merawat, hingga memanen suatu tipe
hutan, dikenal sebagai sistem silvikultur. Silvikultur fokus terhadap perawatan
tegakan hutan agar tetap produktif. Dapat dikatakan, silvikultur adalah perpaduan
antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan berdasarkan ilmu silvika, yakni
pemahaman mengenai sifat hidup jenis-jenis pohon serta interaksinya dalam
tegakan, dan penerapannya memperhatikan karakteristik lingkungan tertentu
(Sukendro & Amir, 2022).
Budidaya hutan agar tetap lestari serta mampu memenuhi kebutuhan hasil
hutan, baik kayu maupun non kayu sangat diperlukan. Silvikultur adalah ilmu,
teknolog dan seni dalam pembinaan ekosistem hutan yang meliputi seluruh
kegiatan budidaya, seperti pembenihan, pembibitan, permudaan (penanaman),
pemeliharaan dan monitoring suatu ekosistem hutan (alam/tanaman). Silvikultur

4
adalah praktik pengendalian proses permudaan (penanaman), pertumbuhan,
komposisi, kesehatan, dan kualitas suatu hutan demi mencapai aspek-aspek ekologi
dan ekonomi yang diharapkan. Silvikultur berfokus pada perawatan tegakan hutan
untuk menjamin produktivitas (Sukendro & Amir, 2022).

2.3 Produktivitas Tegakan Jati

Produktivitas tegakan dipengaruhi oleh ruang tumbuh, unsur hara, dan


ketersediaan sinar matahari. Produktivitas merupakan laju pertumbuhan suatu
pohon atau tegakan saat ini atau dalam periode waktu tertentu. Produktivitas dapat
diketahui dengan melakukan pengukuran pertumbuhan pohon dengan cara
menghitung luas bidang dasar (LBDs). LBDs menggambarkan tingkat
pertumbuhan sesaat atau produktivitas pohon dari waktu ke waktu. Dalam
menghitung LBDs dibutuhkan data diameter pohon kerapatan (Safe’i dan Tsani,
2017).
Produktivitas pohon merupakan salah satu indikator dalam menentukan
kesehatan hutan sebagai bagian dari tujuan pengelolaan hutan. Sehatnya hutan akan
memberikan dampak yang baik bagi pemenuhan fungsi hutan. Pemantauan
kesehatan hutan merupakan sistem untuk memantau kondisi ekonomi hutan dengan
menggunakan metode Forest Health Monitoring (FHM) (Safe’i, dkk. 2019)
2.4 Bonita

Bonita adalah ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang ditentukan
berdasarkan hasil pengukuran tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar
(pohon peninggi) dalam suatu tegakan pada umur tertentu. Pohon peninggi adalah
tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar, yang menggambarkan pohon-
pohon dominan dalam suatu tegakan hutan (Simarmata, 2015).

Kualitas tempat tumbuh adalah ukuran tingkat kesuburan tanah yang


berhubungan erat dengan produktivitas kayu yang dapat dihasilkan. Sedangkan
yang dimaksud dengan bonita adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan
kualitas tempat tumbuh. Penetapan nilai bonita sering didasarkan pada hubungan
antara rata rata peninggi dengan umur tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu
jati adalah tinggi tanaman jati, semakin tinggi tanaman jati semakin baik kualitas
dari jati tersebut. Penilaian bonita melalui penilaian karakteristik lahan mungkin

5
dapat dikernbangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi kepentingan
perencanaan, pengembangan dan pengelolaan hutan jati (Simarmata, 2015).

Kualitas tempat tumbuh (site quality) dari jenis suatu tegakan pohon dinyatakan
sebagai peninggi untuk umur tertentu yang disebut pohon per satuan luas, luas
bidang dasar setinggi dada, dan rata-rata tinggi bidang dasar. Kondisi ini berlaku
pada suatu daerah yang keadaan tanahnya mirip dengan daerah yang akan dibangun
hutan tanaman industri (HTI), dimana mempunyai penentuan umur baku tegakan.
Hasil menyeluruh ini ditabulasikan untuk memudahkan mengetahui volume kayu
yang dihasilkan oleh peninggi pada umur tertentu. Parameter tersebut disusun
sedemikian rupa dengan melawan umur tegakan, sehingga didapat indeks bonita.
Umur tegakan yang digunakan dalam penyusunan indeks bonita adalah umur
tegakan saat melakukan penjarangan, yaitu 5, 10, 20, 25, …, 105 tahun dan
hubungan peninggi dengan umur tegakan berdasarkan grafik disebut kelas bonita
(Simarmata, 2015).
Penyusunan kelas-kelas bonita perlu memperhatikan umur baku. Jika korelasi
antara peninggi dan umur tegakan linier positif, maka semakin tua suatu tegakan
berarti memberikan mutu site yang makin tinggi. Pada tegakan terlalu tua (>80
tahun), hubungan peninggi dan umur cenderung tidak lagi linier, sehingga
memberikan mutu site terlalu tinggi. Penilaian mutu site pada tegakan terlalu muda
(<30 tahun) sering memberikan mutu site terlalu rendah. Hal ini berpeluang
terjadinya gejolak pada kelas-kelas bonita setiap kali diadakan pengukuran ulang.
Sebenarnya, peninggi sebagai alat ukur seharusnya mampu dijadikan pengukuran
akurat bagi media dan pada lingkungan yang sama pula. Dengan kata lain, jika
peninggi digunakan untuk mengukur produktivitas suatu kelas bonita pada
pengukuran kapan saja akan menghasilkan nilai yang sama pula (Simarmata, 2015).
Pertumbuhan tanaman jati sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satu
faktor yang amat penting adalah kondisi tanah. Berdasarkan penelitian
menunjukkan persentase kelerengan tanah mempunyai hubungan yang sangat nyata
dengan nilai bonita tanaman jati, dimana pada kondisi lahan yang datar tanaman
jati cenderung tumbuh lebih baik. Penelitian kualialitas tempat tumbuh berdasarkan
sifat-sifat tanah lebih memberikan keuntungan, karena penilaian kualitas tempat
tumbuh ini tidak perlu menunggu adanya tegakan. Sedangkan, dalam perencanaan

6
pengembangan hutan jati penilaian kualitas tempat tumbuh sebelum hutan tersebut
digunakan sangat perlu (Simarmata, 2015).
Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan faktor peninggi mempunyai
beberapa kelemahan, antara lain (Simarmata, 2015):
1. Mensyaratkan kehadiran tegakan hutan
2. Mensyaratkan kondisi tertentu dari tegakan dan
3. Khusus untuk jati penilaian terlalu rendah pada tegakan muda dan terlalu
tinggi pada tegakan tua

2.5 Penjarangan

Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau


kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan
atau periode permudaan. Tujuannya yaitu pemungutan pohon terutama untuk
mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas
tegakan tinggal (Nurkin, 2019).

Penjarangan hutan adalah suatu tindakan silvikultur terhadap tegakan hutan


tanaman yang bertujuan untuk memperoleh tegakan tinggal sehat, kualitas kayu
yang baik pada akhir daur, sehingga hasil/produksi penjarangan hutan bukan
merupakan tujuan utama tetapi merupakan hasil antara dari tindakan silvikultur.
Tujuan dari kegiatan penjarangan adalah memelihara pohon-pohon yang terbaik
pada suatu tegakan dengan memberi ruang tumbuh yang cukup bagi tegakan tinggal
sehingga pada akhir daur akan diperoleh tegakan hutan yang memiliki massa kayu
yang besar dan berkualitas tinggi. Untuk menghindari tumbuhnya tunas air dan
serangan hama/penyakit, pada tegakan muda dilakukan penjarangan dengan derajat
penjarangan lemah dengan frekuensi sesering mungkin (Nurkin, 2019).
Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang
mungkin bisa dilakukan, ini tergantung pada jarak tanam, kesuburan tanah dan
perawatan. Pelaksanaan penjarangan sendiri didasarkan atas beberapa
pertimbangan antara lain: Pertimbangan ekonomis yaitu jumlah pohon persatuan
luas ideal, penjarangan sistematik, penjarangan seleksi rendah, dan penjarangan
tajuk (Rochmah, dkk. 2020).

7
Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan
manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan. Tujuannya menciptakan
keseimbangan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan ekonomi
untuk memperoleh hasil yang maksimal di kemudian hari (Nurkin,2012).
Penjarangan merupakan tindakan pengurangan jumlah batang per satuan luas
untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi
persaingan antarpohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalamn tegakan. Pada
umumnya, untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pada umur
3-4 tahun, sedangkan pada jenis yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan
pertama kali pada umur 5-10 tahun (Nurkin,2012).
Adapun tujuan pelaksanaan penjarangan adalah untuk memacu pertumbuhan
dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tegakan agar diperoleh tegakan hutan
dengan massa kayu dan kualitas kayu yang tinggi sehingga dapat memberikan
penghasila yang tinggi selama daur. Jadi pada dasarnya tujuan kegiatan ini untuk
memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi individu-individu terpilih dan
menghilangkan individu yang cacat atau tidak terpilih (Nurkin,2012).
Dalam silvikultur ada beberapa konsep dasar tentang penjarangan yang
diungkapkan dalam beberapa pustaka sebagai berikut (Nurkin,2012) :
1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)
Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling
bawah dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal
dengan istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini
adalah semua pohon dengan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang,
kemudian disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas
sampai pada lapisan tajuk paling atas.
2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)
Berbeda dengan penjarangan rendah, penjarangan tajuk lebih diarahkan pada
pohon-pohon kelas tajuk paling atas (dominant trees) dan kelas tajuk pertengahan.
Dari proses penjarangan ini maka perbedaan pokok antara low thinning dan crown
thinning adalah bahwa dalam crown thinning tidak ada penjarangan ringan karena
dimulai dari pohon kelas tajuk paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan
untuk penjarangan berikut berasal dari kelas tajuk codominan dan dominan.

8
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal
dari dua kelas lapisan tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan dari metode
penjarangan ini adalah tidak dapat diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi
atau sebaran kelas-kelas tajuknya yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.
3. Penjarangan Seleksi (Selection Thinning)
Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon
dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan seleksi
sangat berbeda dengan penjarangan rendah, yaitu dimulai pada pohon-pohon yang
tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara maksimal
hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon kodominan dan yang
tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk dimanfaatkan kayunya pada
penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa cara penjarangan ini lebih cocok
diterapkan pada suatu tegakan yang menghasilkan kayu dengan diameter sedang
dan kecil.
4. Penjarangan Mekanik (Mechanical Thinning)
Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode
mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah
posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini diterapkan
pada tegakan seumur dan tingginya hampir seragam. Dalam aplikasinya, pohon
pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut penjarangan selang atau spacing
thinning. Dapat pula penjarangan dilakukan pada pohon-pohon dalam jalur atau
lorong dengan jarak tertentu sehingga membentuk jalur-jalur sempit dan disebut
pula penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan
pada tegakan yang berukuran sedang dan setelah mencapai ukuran poles atau tiang
maka digunakan metode lain.
5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)
Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain
sehingga disebut free thinning karena tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada
umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan
penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi
tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan
ditebang

9
2.6 Derajat Kekerasan Penjarangan

Kekerasan penjarangan dinyatakan dengan derajat kekerasan penjarangan, yaitu


perbandingan antara rata-rata jarak antarpohon dengan tingginya, pohon peninggi
atau merupakan suatu angka yang ditentukan berdasarkan perbandingan (dalam
persen) yang tepat antra jarak antar pohon rata-rata dan tinggi pohon. Angka
perbandingan ini kemudian dinyatakan sebagai S%. Makin besar angka
perbandingan ini, maka makin besar pula intensitas penjarangan tegakan. Umur dan
bonita tegakan dengan demikian menentukan S% (Nurkin,2012).
Ada empat kategori tingkat atau derajat kekerasan penjarangan, yaitu : sangat
lemah, lemah, agak keras, dan keras. Penciri atau indikator dari penjarangan sangat
lemah adalah dimulai pada pohon-pohon tertekan yang pasti akan mati secara
alami. Indikator dari penjarangan lemah adalah dilaksanakan pada pohon-pohon
tertekan yang dan beberapa dari pohon codominan. Indikator dari penjarangan agak
keras adalah dilaksanankan pada pohon-pohon codominan dan penjarangan keras
dicirikan oleh beberapa pohon dominan yang jarak tumbuhnya tidak teratur juga
ikut ditebang (Nurkin,2012).
Berdasarkan S% (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan
dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per
ha dalam tegakan). S% optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon
dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S % optimal
diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S% pada
akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15-35 %
(Nurkin,2012).
Wolff Von Wulfing juga telah menyusun tabel yang mengutarakan S% untuk
berbagai kelas umur dan bonita. Perubahan S% dalam tegakan jati penting untuk
menetukan frekuensi penjarangan. Untuk mengukur S% dengan cepat dari suatu
petak percobaan jati Ferguson membuat nomogram yang memberi hubungan antara
luas petak percobaan, jumlah batang per petak percobaan dan jumlah batang per ha
dan S%. Dengan demikian dapat dilihat dengan cepat perubahan-perubahan dalam
kekerasan penjarangan, baik oleh pertumbuhan tegakan sendiri maupun oleh
kerusakan (Nurkin,2012)

10
2.7 Kerapatan Tegakan

Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam


menentukan produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal
ini penting karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat
dimanipulasi dalam rangka pengembangan tegakan (Kuswandi, 2017).
Kerapatan tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi rimbawan
dalam pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikultur
dapat mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan dan juga
memodifikasi kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter dan bahkan
volume produksi selama periode perkembangan tegakan (Kuswandi, 2017).
Kerapatan menggambarkan besarnya ruang yang di tempati pohon-pohon di
dalam tegakan dan dinyatakan sebagai ruang yang ditempati oleh batang. Karena
itu jumlah pohon persatuan luas lahan (biasanya hektare), atau N/ha
menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Parameter lain kerapatan tegakan
adalah LBDS (luas bidang dasar) per hektare (Nurkin,2012).
Kerapatan tegakan bukanlah merupakan penentuan ukuran volume langsung.
Pada penentuan kerapatan tegakan menghendaki tambahan informasi tentang
tegakan sebelum volume dapat ditaksir. Ada beberapa macam cara menentukan
kerapatan tegakan antara lain (Kuswandi, 2017):
1. Metoda Okuler
Para rimbawan Eropa mempertahankan kerapatan maksimal yang selaras
dengan pertumbuhan maksimal dengan estimasi okuler penutupan tajuk dan
perkembangan tajuk.
2. Metode Indeks Kerapatan Tegakan Reineke
Metode ini digunakan untuk menjadi alat untuk pengelolaan tegakan intensif
untuk mengatur kerapatan tegakan. Indeks kerapatan tegakan selalu dinyatakan
sebagai jumlah pohon. Metode ini bebas untuk mempertimbangkan pengaruh
tempat tumbuh dan umur, dan dengan mudah diperoleh dengan menggunakan sudut
Bitterlich atau baji Bruce untuk pengukuran luas bidang dasar (LBDS) dan dengan
pencatatan diameter pohon yang dihitung pada setiap titik. Metode ini memberikan
ukuran kerapatan yang tidak bergantung pada jenis.
3. Metoda Tabel Hasil Normal

11
Metode tabel hasil normal ini dikembangkan dari tegakan seumur yang
merupakan dasar untuk mengukur kerapatan tegakan. Disini, metode tabel hasil
normal memberikan nilai rata-rata banyak karakteristik tegakan untuk tegakan
mempunyai stok penuh, seumur, dan murni pada umur dan kualitas tempat tumbuh
sama. Kerapatan suatu tegakan tertentu dengan metode ini dinyatakan sebagai
hubungan luas bidang dasar, jumlah pohon, atau volumenya dengan nilai tabel hasil
normal untuk umur dan indeks tempat tumbuh yang sama

2.8 Riap Tahunan Rata-Rata (MAI)

Riap tahunan rata-rata atau Mean Annual Increment (MAI) adalah ukuran
produktivitas hutan yang digunakan untuk menghitung pertumbuhan rata-rata dari
pohon-pohon dalam satu tahun. MAI dapat dihitung dengan cara membagi volume
kayu total yang dihasilkan dalam satu periode tertentu (misalnya 10 tahun) dengan
umur rata-rata pohon pada akhir periode tersebut. MAI diukur dalam satuan kubik
meter per hektar per tahun.MAI adalah salah satu indikator yang penting dalam
pengelolaan hutan karena dapat memberikan gambaran tentang produktivitas hutan
dalam jangka panjang (Damayanti, 2016).
Oleh karena itu, perhitungan MAI harus dilakukan secara spesifik untuk setiap
jenis pohon yang ada di hutan yang diukur. Dalam praktiknya, pengukuran MAI
dilakukan dengan melakukan pemantauan terus-menerus terhadap pertumbuhan
pohon-pohon di hutan selama beberapa periode waktu tertentu. Setelah itu, data
yang terkumpul akan diolah untuk mendapatkan nilai MAI pada setiap jenis pohon
yang ada di hutan tersebut. Dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan,
pengukuran MAI sangat penting untuk memastikan bahwa pengelolaan hutan
dilakukan dengan cara yang tepat sehingga produktivitas hutan dapat terjaga dan
tetap berkelanjutan (Damayanti, 2016).

12
III. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum preskripsi silvikultur tegakan jati (Tectona grandis) di Fakultas Ilmu


Budaya Universitas Hasanuddin dilakukan pada hari Sabtu, 28 April 2023 pukul
15.30 WITA sampai selesai, bertempat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum preskripsi silvikultur
tegakan jati (Tectona grandis) adalah sebagai berikut
3.2.1 Alat
1. Roll meter, digunakan untuk mengukur jarak atau panjang lokasi plot
yang ditentukan.
2. Tali rafiah, digunakan sebagai pembatas plot yang di bentang pada
lokasi yang ditentukan.
3. Pita meter, digunakan untuk mengukur keliling pohon.
4. Abney level, digunakan untuk mengukur tinggi total dan tinggi bebas
cabang pohon.
5. Kamera digital, digunakan sebagai alat untuk mendokumentasikan
kegiatan praktikum lapangan.
6. Patok, digunakan untuk membuat penanda plot
3.2.2 Bahan
1. Alat tulis menulis, untuk mencatat data pengukuran selama praktikum
berlangsung.
2. Tally sheet, sebagai tempat menyimpan catatan hasil pengukuran
3. Tegakan jati (Tectona grandis), sebagai objek yang diamati
3.3 Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja pada praktikum ini yaitu:


1. Menentukan lokasi pengamatan
2. Membuat 2 plot segi empat dengan tali rafiah masing-masing seluas 10 m x
10 m.

13
3. Untuk mengukur sudut tinggi total pohon, tentukan terlebih dahulu jarak
pengamat ke pohon, kita dapat melihat sudutnya dengan menggunakan
abney level dan jarak yang digunakan yaitu 10 meter dan tinggi pengamat
(sampai mata)
4. Untuk mengukur sudut tinggi bebas cabang, tentukan terlebih dahulu tajuk
pertamanya dan kemudian diukur sama seperti mengukur sudut tinggi total.
5. Mengukur keliling dengan cara pita meter dilingkarkan ke batang setinggi
dada
6. Mencatat hasil yang diperoleh pada tally sheet.
7. Mengolah data yang telah dikumpulkan menggunakan rumus.
8. Setiap tahap kegiatan di dokumentasikan dan dilampirkan di Laporan

3.4 Analisis Data

Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktikum lapangan


Silvikultur ini adalah sebagai berikut.

1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang


dikonversi ke diameter, dengan rumus:

Diameter = k/π

Keterangan:
k : Keliling pohon (cm)
π : 3,14
2. Menghitung tinggi bebas cabang dengan menggunakan rumus:

Tbc = (tan ɑtbc x jp) + tp

Keterangan:
ɑtbc : Sudut tinggi bebas cabang menggunakan abney level
jp : Jarak pengamat ke pohon, yaitu 10 m
tp : Tinggi pengamat (sampai mata)
3. Menghitung tinggi total dengan menggunakan rumus:

Ttot = (tan ɑπ x jp) + tp

14
Keterangan:
ɑπ : Sudut tinggi pohon menggunakan abney level
jp : Jarak pengamat ke pohon, yaitu 10 m
tp : Tinggi pengamat (sampai mata)
4. Menghitung luas bidang dasar pohon (LBDS) dengan menggunakan rumus:

LBDS = ¼ π d2

Keterangan:
LBDS : Luas bidang dasar
π : 3,14
d : Diameter
5. Menghitung volume tinggi total (Ttot ) dan volume tinggi bebas cabang
(TBC) dengan rumus:
VT.tot = LBDS x T.tot x f
Keterangan:
V.Ttot : Volume tinggi total
LBDS : Luas bidang dasar
T.Ttot : Tinggi total
f : Angka bentuk (0,8)

VTBC = LBDS x T.tot x f

Keterangan:
VTBC : Volume tinggi total
LBDS : Luas bidang dasar
TBC : Tinggi bebas cabang
f : Angka bentuk (0,8)
Kurva Kelas Diameter

J : d maksimal – d minimal
K : 1 + 3,33 log (jumlah pohon)
P : J/K
Keterangan:

15
d : Diameter
J : Jangkauan data
K : Banyaknya interval kelas
P : Panjang kelas
6. Kerapatan
a. Kerapatan Individu
!"#$%& ()&)*
Kerapatan Individu/ha = +"%,

b. Kerapatan LBDs
S+-., ,/$"0"& ($)1
Kerapatan LBDs/ha = +"%, 20/%

Luas Plot sampel = 0,1 ha

7. Bonita
Menggunakan jumlah pohon dalam seluruh tegakan dengan rumus:

&34&54&64⋯4*
H= 8
Keterangan:
H : Tinggi rata-rata (peninggi)
h : Peninggi maisng-maisng pohon
N : Jumlah pohon
8. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)

%
S% Hitung = (/ 𝑥 100%

5
a = √10000 x >8√6
Keterangan:
a : Jarak antar pohon
p : Peninggi
N : Jumlah pohon
S% Tabel dapat dilihat pada kelas bonita.

16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kelas Diameter Pohon
Diketahui jumlah pohon dalam 10 plot yang diamati (n) = 64 Pohon
1. Jangkauan data
J = d maksimal – d minimal
= 37,90 – 10,83
= 27,07
2. Banyaknya interval kelas
K = 1 + 3,3 Log n
= 1 + 3,3 Log 64
= 1 + 3,3 × 1,80
= 1 + 5,94
= 6,94
3. Panjang kelas
P=J/K
= 27,07 / 6,94 = 3,90
Tabel 1. Sebaran Kelas Diameter Pohon

No. Interval (cm) Frekunsi

1. 10,83 – 14,73 6

2. 14,73 – 18.63 15

3. 18,63 – 22.53 13

4. 22,53 – 26,43 15

5. 26,43 – 30,33 7

6. 30,33 – 34,23 6

7. 34,23 – 38,13 2

17
Kelas Diameter Tectona grandis
20
15
Frekuensi
10
5
0
10.83- 14.73- 18.63- 22.53- 26.43- 30.33- 34.23-
14.73 18.63 22.53 26.43 30.33 34.23 38.13
Kelas diameter 6 15 13 15 7 6 2

Gambar 1. Sebaran Kelas Diameter Pohon

4.1.2 Kerapatan Tegakan

1. Kerapatan Individu
Diketahui jumlah plot yang diamati pada saat melakukan praktikum
sebanyak 10 plot dan luas area tip plot praktikum yang diamati adalah 10 m ×
10 m yang berti luas keseluruhan area praktikum yang diamati adalah:
Luas keseluruhan = (10 m × 10 m) × 10 plot
= 1.000 m = 0,1 ha
!"#$%& ?)&)*
Kerapatan individu/ha = +"%,

@A
= B,3 &%

= 860 pohon/ha
2. Kerapatan LBDs
Kerapatan LBDs di tentukan menggunakan rumus sebagai berikut:
∑+-., ,/$"0"& ($)1
Kerapatan LBDs = +"%, 20/%

Tabel 2. Rata-rata LBDSs seluruh plot


Plot Rata-rata LBDs (m2)

1 0,04

2 0,12

3 0,03

18
4 0.05

5 0,04

7 0,03

8 0,03

9 0,06

10 0,06

∑(B,BF4B,354B,B64B,BG4B,BF4B,BF4B,B64B,B64B,BA4B,BA)
Kerapatan LBDs = B,3 &%
B,G
= B,3 &%

= 5 m2/ha
4.1.3 Bonita
&34&54&64&…4*
H= 8

𝑃𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 30 − 𝑝𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 25
=𝑥
30 − 25

Peninggi 25+x
Bonita 1

16,8 − 15,8 1
= = 0,2
5 5

15,8+0,2 = 16

Bonita 2

21,4 − 20,2 1,2


= = 0,24
5 5

20,2 + 0,24 = 20,44

Bonita 3

19
26,0 − 24,4 1,6
= = 0,32
5 5

24,4 + 0,3 = 24,72

Bonita 4

30,6 − 28,3 2,3


= = 0,46
5 5

28,3 + 0,46 = 28,76

Bonita 5

35,2 − 33,2 2
= = 0,4
5 5

33,2 + 0,4 = 33,6

4.1.4 Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)

𝑆% 𝑢𝑚𝑢𝑟 30 − 𝑆% 𝑢𝑚𝑢𝑟 25
=𝑦
30 − 25

1. S% 1

21,4 − 20,9 0,5


= = 0,1
5 5

20,9 + 0,1 = 21

2. S% 2

23,4 − 22,8 0,6


= = 0,12
5 5

22,8 + 0,12 = 22,92

3. S% 3

25,2 − 24,3 0,9


= = 0,18
5 5

24,3 + 0,18 = 24,48

20
4. S% 4

26,9 − 26,4 0,5


= = 0,1
5 5

26,4 + 0,1 = 26,5

5. S% 5

29,3 − 29,0 0,3


= = 0,06
5 5

29,0 + 0,06 = 29,06

4.1.5 Riap Tahunan Rata-Rata

4.2 Pembahsan

21
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

22
DAFTAR PUSTAKA

Almulqu, A, H & Renoat, E. 2021. Karakteristik Tegakan Jati Di Wilayah Kesatuan


Pengelolaan Hutan Kabupaten Kupang. Jurnal Pendidikan Biologi 6 (3):
311-319.
Bustomi, S., dan Yulianti, M. 2013. Model Hubungan Tinggi dan Diameter Pohon
Akasia (Acacia auriculiformis) Sebagai Penghasil Kayu Energi di Kabupaten
Purwokerto Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan, 10(3), 155-160.
Damayanti, D.R. 2016. “Permudaan Alami Hutan di Satuan Pengelolaan Taman
Nasional (STPTN) wilayah III Kuala Penete Taman Nasional Way Kambas”.
Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Hidayat, S. 2015. Komposisi dan Struktur Tegakan Penghasil Kayu Bahan
Bangunan di Hutan Lindung Tanjung Tiga, Muara Enim, Sumatera Selatan
(Composition and Structure of Tree that Produce Building Materials in The
Tanjung Tiga Protected Forest, Muara Enim, South Sumatra). Jurnal
Manusia dan Lingkungan, 22(2), 194-200.
Istomo., dan Dwisutono, A. N. 2016. Struktur dan Komposisi Tegakan Serta Sistem
Perakaran Tumbuhan Pada Kawasan Karst di Taman Nasional Bantimurung-
Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. Jurnal Silvikultur Tropika, 7(1),
58-67.
Kuswandi, R. 2017. Model pertumbuhan tegakan hutan alam bekas tebangan
dengan sistem tebang pilih di Papua. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan,
11(1), 45-55.
Malata, H., Ngulube, E. S., & Missanjo, E. (2017). Site specific stem volume
models for Pinus patula and Pinus oocarpa. International Journal of
Forestry Research: 1-6.
Murtinah, V., Marjenah., Ruchaemi, A., dan Ruhiyat, D. 2015. Pertumbuhan Hutan
Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) di Kalimantan Timur. Jurnal
AGRIFOR, 19(2), 287-292.
Nurkin, B. 2019. Buku Ajar Silvikultur. Makassar. Fakultas Kehutanan, Universitas
Hasanuddin.
Rochmah, S. F., Safe’i, R., Bintoro, A., dan Kaskoyo, H. 2020. Analisis
Produktivitas Sebagai Salah Satu Indikator Kesehatan Hutan (Studi Kasus

23
Pada Hutan Rakyat Jati di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
Provinsi Lampung). Bandar Lampung. Universitas Lampung.
Safe’i, R., dan Tsani, K. M. 2017. Penyuluhan Program Kesehatan Hutan Rakyat
Di Desa Tanjung Kerta Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran.
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 1-3.
Safe’i, R., Wulandari, C. dan Kaskoyo, H. 2019. Penilaian Kesehatan Hutan Pada
Berbagai Tipe Hutan Di Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari, 7(1), 95-
109.
Simarmata, M. M. T. 2015. Model Penyusunan Kualitas Tempat Tumbuh
Eucalyptus urophylla Pada Hutan Tanaman. Jurnal Elektronik AKAR, 1(1),
1-10.
Sukendro, A., & Amir, A. H. (2022). Pengaruh Penjarangan Dan Lokasi Terhadap
Pertumbuhan Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.) di PT. Lestari
Mahaputra Buana, Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Journal of Tropical
Silviculture, 13(03), 218–224. https://doi.org/10.29244/j-siltrop.13.03.218-
224
Susanto, S. A. 2019. Sebaran Ukuran Diameter Pohon untuk Menentukan Umur
dan Regenerasi Hutan di Lahan Bera Womnowi, Manokwari. Biotropika:
Journal of Tropical Biology, 7(2), 67-76.
Thamrin, H. (2020). Pengukuran tinggi dan diameter tanaman meranti merah
(Shorea pauciflora C.F. Gaertn) di Kebun Raya Unmul Samarinda
(KRUS). Jurnal Agriment 5(1): 62-65.
Wijaya, D,L,D., Hidayat, R., & Santoso, P. (2021). Tarif volume local pohon jati
(Tectona grandis) di hutan kemasyarakatan Sedyo Rukun Kabupaten
Gunung Kidul. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil 5 (1): 78-89.

24
LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi praktikum

Pembuatan Plot Pengukuran Proyeksi Tajuk

Pengukuran Ttot dan Tbc Foto kelompok 20


Lampiran 2. Gambar tajuk tampak atas dan depan (Skala 1 :100 cm)
Lampiran 3. Tabel hasil pengukuran

25
Lampiran 4. Sampul jurnal/buku

26
27
28
29

Anda mungkin juga menyukai