Silvikultur
NIM : M031211005
KELAS : SILVIKULTUR C
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL................................................................................................. iv
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan .......................................................................... 2
PENUTUP ............................................................................................................ 22
LAMPIRAN ......................................................................................................... 25
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tegakan Jati (Tectona grandis) ............................................................ 3
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1
iv
I. PENDAHULUAN
Hutan merupakan suatu ekosistem alam yang kompleks dan terdiri atas berbagai
komponen ekosistem yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Hutan dapat
memberikan manfaat tangible berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu
serta manfaat intangible seperti sebagai penghasil oksigen, pengatur siklus air,
penyimpan karbon dan pengatur iklim mikro. Hutan tanaman industri, dalam hal
ini adalah hutan jati merupakan salah satu komponen penting ekosistem hutan yang
selalu mengalami dinamika dari waktu ke waktu terkait jumlah individu, dimensi
(ukuran) dari setiap individu maupun komposisi jenisnya. Kegiatan pengusahaan
hutan tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik
tegakan hutan jati, karena jika kegiatan penebangan yang dilakukan tidak sesuai
dengan konsep riap, dimana bila kegiatan penebangan dilakukan melebihi
kemampuan hutan untuk memulihkan diri, hal ini dapat merubah kondisi
karakteristik tegakan hutan jati serta berpengaruh terhadap potensi hutan tegakan
jati untuk siklus tebang berikutnya, bahkan akan berdampak pula pada kelestarian
sumberdaya hutan secara luas bagi kehidupan baik ekonomi, ekologi maupun
sosial.
Informasi karakteristik tegakan tersebut dapat dikatakan sebagai potret kondisi
tegakan hutan setelah dilakukan kegiatan pengusahaan atau pengelolaan pada rotasi
yang pertama. Selanjutnya, informasi tentang karakteristik tersebut dapat
digunakan untuk menduga kondisi tegakan pada awal rotasi berikutnya dengan
memperhatikan riap dan dinamika struktur tegakannya. Gambaran tentang kondisi
tegakan dugaan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
penentuan sistem silvikultur pada rotasi tebang berikutnya dalam bentuk
perencanaan yang cermat, akurat, dan tepat sasaran dalam mewujudkan
pengelolaan hutan lestari yang mempertimbangkan aspek sosial, ekologis dan
ekonomis (Malata et al., 2017).
Hal lain yang penting pula dalam pengusahaan tegakan hutan tanaman adalah
volume kayu, yaitu kegiatan penaksiran volume kayu di suatu areal hutan tanaman
yang dapat dilakukan dengan cara pengukuran secara langsung di lapangan dimana
1
pohon- pohon yang dipilih mampu mewakili seluruh tegakan dalam areal hutan
tersebut. Penaksiran volume juga dapat dilakukan secara tidak langsung dengan
menggunakan Tabel Volume Lokal (TVL). Volume tegakan dapat dinyatakan
dengan karakteristik- karakteristik pohon seperti luas bidang dasar dan tinggi pohon
rata-rata (Wijaya et al., 2021).
Pengukuran merupakan hal yang paling penting dilakukan, karena dapat
mengetahui atau menduga potensi suatu tegakan ataupun suatu komunitas tertentu.
Dalam memperoleh data pengukuran, jenis dan cara penggunaan alat merupakan
faktor penentu utama yang mempengaruhi ketelitian data yang diperoleh. Semakin
baik alat yang dipergunakan maka semakin baik pula hasil pengukuran yang akan
didapat. Demikian pula halnya dengan kemampuan pengamatan dalam pengukuran,
semakin baik dalam penggunaan suatu alat maka semakin baik pula data yang
dikumpulkan (Thamrin, 2020).
1.2 Tujuan dan Kegunaan
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1. Tegakan Jati (Tectona grandis)
Silvikultur adalah perpaduan antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan, dengan
berdasarkan ilmu silvika, yaitu pemahaman mengenai sifat-sifat hidup jenis-jenis
pohon serta interaksinya dalam tegakan, dan penerapannya dengan memperhatikan
karakteristik lingkungan setempat. Perbedaan yang menyolok antara silvikultur dan
kehutanan adalah pada cakupannya, yakni silvikultur diaplikasikan pada aras
tegakan, sedangkan kehutanan lebih umum sifatnya. Keseluruhan cara pandang dan
rangkaian tindakan dalam mempermudakan, merawat, hingga memanen suatu tipe
hutan, dikenal sebagai sistem silvikultur. Silvikultur fokus terhadap perawatan
tegakan hutan agar tetap produktif. Dapat dikatakan, silvikultur adalah perpaduan
antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan berdasarkan ilmu silvika, yakni
pemahaman mengenai sifat hidup jenis-jenis pohon serta interaksinya dalam
tegakan, dan penerapannya memperhatikan karakteristik lingkungan tertentu
(Sukendro & Amir, 2022).
Budidaya hutan agar tetap lestari serta mampu memenuhi kebutuhan hasil
hutan, baik kayu maupun non kayu sangat diperlukan. Silvikultur adalah ilmu,
teknolog dan seni dalam pembinaan ekosistem hutan yang meliputi seluruh
kegiatan budidaya, seperti pembenihan, pembibitan, permudaan (penanaman),
pemeliharaan dan monitoring suatu ekosistem hutan (alam/tanaman). Silvikultur
4
adalah praktik pengendalian proses permudaan (penanaman), pertumbuhan,
komposisi, kesehatan, dan kualitas suatu hutan demi mencapai aspek-aspek ekologi
dan ekonomi yang diharapkan. Silvikultur berfokus pada perawatan tegakan hutan
untuk menjamin produktivitas (Sukendro & Amir, 2022).
Bonita adalah ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang ditentukan
berdasarkan hasil pengukuran tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar
(pohon peninggi) dalam suatu tegakan pada umur tertentu. Pohon peninggi adalah
tinggi rata-rata seratus pohon tertinggi per hektar, yang menggambarkan pohon-
pohon dominan dalam suatu tegakan hutan (Simarmata, 2015).
5
dapat dikernbangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi kepentingan
perencanaan, pengembangan dan pengelolaan hutan jati (Simarmata, 2015).
Kualitas tempat tumbuh (site quality) dari jenis suatu tegakan pohon dinyatakan
sebagai peninggi untuk umur tertentu yang disebut pohon per satuan luas, luas
bidang dasar setinggi dada, dan rata-rata tinggi bidang dasar. Kondisi ini berlaku
pada suatu daerah yang keadaan tanahnya mirip dengan daerah yang akan dibangun
hutan tanaman industri (HTI), dimana mempunyai penentuan umur baku tegakan.
Hasil menyeluruh ini ditabulasikan untuk memudahkan mengetahui volume kayu
yang dihasilkan oleh peninggi pada umur tertentu. Parameter tersebut disusun
sedemikian rupa dengan melawan umur tegakan, sehingga didapat indeks bonita.
Umur tegakan yang digunakan dalam penyusunan indeks bonita adalah umur
tegakan saat melakukan penjarangan, yaitu 5, 10, 20, 25, …, 105 tahun dan
hubungan peninggi dengan umur tegakan berdasarkan grafik disebut kelas bonita
(Simarmata, 2015).
Penyusunan kelas-kelas bonita perlu memperhatikan umur baku. Jika korelasi
antara peninggi dan umur tegakan linier positif, maka semakin tua suatu tegakan
berarti memberikan mutu site yang makin tinggi. Pada tegakan terlalu tua (>80
tahun), hubungan peninggi dan umur cenderung tidak lagi linier, sehingga
memberikan mutu site terlalu tinggi. Penilaian mutu site pada tegakan terlalu muda
(<30 tahun) sering memberikan mutu site terlalu rendah. Hal ini berpeluang
terjadinya gejolak pada kelas-kelas bonita setiap kali diadakan pengukuran ulang.
Sebenarnya, peninggi sebagai alat ukur seharusnya mampu dijadikan pengukuran
akurat bagi media dan pada lingkungan yang sama pula. Dengan kata lain, jika
peninggi digunakan untuk mengukur produktivitas suatu kelas bonita pada
pengukuran kapan saja akan menghasilkan nilai yang sama pula (Simarmata, 2015).
Pertumbuhan tanaman jati sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satu
faktor yang amat penting adalah kondisi tanah. Berdasarkan penelitian
menunjukkan persentase kelerengan tanah mempunyai hubungan yang sangat nyata
dengan nilai bonita tanaman jati, dimana pada kondisi lahan yang datar tanaman
jati cenderung tumbuh lebih baik. Penelitian kualialitas tempat tumbuh berdasarkan
sifat-sifat tanah lebih memberikan keuntungan, karena penilaian kualitas tempat
tumbuh ini tidak perlu menunggu adanya tegakan. Sedangkan, dalam perencanaan
6
pengembangan hutan jati penilaian kualitas tempat tumbuh sebelum hutan tersebut
digunakan sangat perlu (Simarmata, 2015).
Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan faktor peninggi mempunyai
beberapa kelemahan, antara lain (Simarmata, 2015):
1. Mensyaratkan kehadiran tegakan hutan
2. Mensyaratkan kondisi tertentu dari tegakan dan
3. Khusus untuk jati penilaian terlalu rendah pada tegakan muda dan terlalu
tinggi pada tegakan tua
2.5 Penjarangan
7
Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan
manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan. Tujuannya menciptakan
keseimbangan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan ekonomi
untuk memperoleh hasil yang maksimal di kemudian hari (Nurkin,2012).
Penjarangan merupakan tindakan pengurangan jumlah batang per satuan luas
untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi
persaingan antarpohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalamn tegakan. Pada
umumnya, untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pada umur
3-4 tahun, sedangkan pada jenis yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan
pertama kali pada umur 5-10 tahun (Nurkin,2012).
Adapun tujuan pelaksanaan penjarangan adalah untuk memacu pertumbuhan
dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tegakan agar diperoleh tegakan hutan
dengan massa kayu dan kualitas kayu yang tinggi sehingga dapat memberikan
penghasila yang tinggi selama daur. Jadi pada dasarnya tujuan kegiatan ini untuk
memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi individu-individu terpilih dan
menghilangkan individu yang cacat atau tidak terpilih (Nurkin,2012).
Dalam silvikultur ada beberapa konsep dasar tentang penjarangan yang
diungkapkan dalam beberapa pustaka sebagai berikut (Nurkin,2012) :
1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)
Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling
bawah dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal
dengan istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini
adalah semua pohon dengan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang,
kemudian disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas
sampai pada lapisan tajuk paling atas.
2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)
Berbeda dengan penjarangan rendah, penjarangan tajuk lebih diarahkan pada
pohon-pohon kelas tajuk paling atas (dominant trees) dan kelas tajuk pertengahan.
Dari proses penjarangan ini maka perbedaan pokok antara low thinning dan crown
thinning adalah bahwa dalam crown thinning tidak ada penjarangan ringan karena
dimulai dari pohon kelas tajuk paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan
untuk penjarangan berikut berasal dari kelas tajuk codominan dan dominan.
8
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal
dari dua kelas lapisan tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan dari metode
penjarangan ini adalah tidak dapat diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi
atau sebaran kelas-kelas tajuknya yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.
3. Penjarangan Seleksi (Selection Thinning)
Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon
dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan seleksi
sangat berbeda dengan penjarangan rendah, yaitu dimulai pada pohon-pohon yang
tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara maksimal
hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon kodominan dan yang
tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk dimanfaatkan kayunya pada
penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa cara penjarangan ini lebih cocok
diterapkan pada suatu tegakan yang menghasilkan kayu dengan diameter sedang
dan kecil.
4. Penjarangan Mekanik (Mechanical Thinning)
Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode
mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah
posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini diterapkan
pada tegakan seumur dan tingginya hampir seragam. Dalam aplikasinya, pohon
pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut penjarangan selang atau spacing
thinning. Dapat pula penjarangan dilakukan pada pohon-pohon dalam jalur atau
lorong dengan jarak tertentu sehingga membentuk jalur-jalur sempit dan disebut
pula penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan
pada tegakan yang berukuran sedang dan setelah mencapai ukuran poles atau tiang
maka digunakan metode lain.
5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)
Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain
sehingga disebut free thinning karena tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada
umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan
penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi
tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan
ditebang
9
2.6 Derajat Kekerasan Penjarangan
10
2.7 Kerapatan Tegakan
11
Metode tabel hasil normal ini dikembangkan dari tegakan seumur yang
merupakan dasar untuk mengukur kerapatan tegakan. Disini, metode tabel hasil
normal memberikan nilai rata-rata banyak karakteristik tegakan untuk tegakan
mempunyai stok penuh, seumur, dan murni pada umur dan kualitas tempat tumbuh
sama. Kerapatan suatu tegakan tertentu dengan metode ini dinyatakan sebagai
hubungan luas bidang dasar, jumlah pohon, atau volumenya dengan nilai tabel hasil
normal untuk umur dan indeks tempat tumbuh yang sama
Riap tahunan rata-rata atau Mean Annual Increment (MAI) adalah ukuran
produktivitas hutan yang digunakan untuk menghitung pertumbuhan rata-rata dari
pohon-pohon dalam satu tahun. MAI dapat dihitung dengan cara membagi volume
kayu total yang dihasilkan dalam satu periode tertentu (misalnya 10 tahun) dengan
umur rata-rata pohon pada akhir periode tersebut. MAI diukur dalam satuan kubik
meter per hektar per tahun.MAI adalah salah satu indikator yang penting dalam
pengelolaan hutan karena dapat memberikan gambaran tentang produktivitas hutan
dalam jangka panjang (Damayanti, 2016).
Oleh karena itu, perhitungan MAI harus dilakukan secara spesifik untuk setiap
jenis pohon yang ada di hutan yang diukur. Dalam praktiknya, pengukuran MAI
dilakukan dengan melakukan pemantauan terus-menerus terhadap pertumbuhan
pohon-pohon di hutan selama beberapa periode waktu tertentu. Setelah itu, data
yang terkumpul akan diolah untuk mendapatkan nilai MAI pada setiap jenis pohon
yang ada di hutan tersebut. Dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan,
pengukuran MAI sangat penting untuk memastikan bahwa pengelolaan hutan
dilakukan dengan cara yang tepat sehingga produktivitas hutan dapat terjaga dan
tetap berkelanjutan (Damayanti, 2016).
12
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum preskripsi silvikultur
tegakan jati (Tectona grandis) adalah sebagai berikut
3.2.1 Alat
1. Roll meter, digunakan untuk mengukur jarak atau panjang lokasi plot
yang ditentukan.
2. Tali rafiah, digunakan sebagai pembatas plot yang di bentang pada
lokasi yang ditentukan.
3. Pita meter, digunakan untuk mengukur keliling pohon.
4. Abney level, digunakan untuk mengukur tinggi total dan tinggi bebas
cabang pohon.
5. Kamera digital, digunakan sebagai alat untuk mendokumentasikan
kegiatan praktikum lapangan.
6. Patok, digunakan untuk membuat penanda plot
3.2.2 Bahan
1. Alat tulis menulis, untuk mencatat data pengukuran selama praktikum
berlangsung.
2. Tally sheet, sebagai tempat menyimpan catatan hasil pengukuran
3. Tegakan jati (Tectona grandis), sebagai objek yang diamati
3.3 Prosedur Kerja
13
3. Untuk mengukur sudut tinggi total pohon, tentukan terlebih dahulu jarak
pengamat ke pohon, kita dapat melihat sudutnya dengan menggunakan
abney level dan jarak yang digunakan yaitu 10 meter dan tinggi pengamat
(sampai mata)
4. Untuk mengukur sudut tinggi bebas cabang, tentukan terlebih dahulu tajuk
pertamanya dan kemudian diukur sama seperti mengukur sudut tinggi total.
5. Mengukur keliling dengan cara pita meter dilingkarkan ke batang setinggi
dada
6. Mencatat hasil yang diperoleh pada tally sheet.
7. Mengolah data yang telah dikumpulkan menggunakan rumus.
8. Setiap tahap kegiatan di dokumentasikan dan dilampirkan di Laporan
Diameter = k/π
Keterangan:
k : Keliling pohon (cm)
π : 3,14
2. Menghitung tinggi bebas cabang dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
ɑtbc : Sudut tinggi bebas cabang menggunakan abney level
jp : Jarak pengamat ke pohon, yaitu 10 m
tp : Tinggi pengamat (sampai mata)
3. Menghitung tinggi total dengan menggunakan rumus:
14
Keterangan:
ɑπ : Sudut tinggi pohon menggunakan abney level
jp : Jarak pengamat ke pohon, yaitu 10 m
tp : Tinggi pengamat (sampai mata)
4. Menghitung luas bidang dasar pohon (LBDS) dengan menggunakan rumus:
LBDS = ¼ π d2
Keterangan:
LBDS : Luas bidang dasar
π : 3,14
d : Diameter
5. Menghitung volume tinggi total (Ttot ) dan volume tinggi bebas cabang
(TBC) dengan rumus:
VT.tot = LBDS x T.tot x f
Keterangan:
V.Ttot : Volume tinggi total
LBDS : Luas bidang dasar
T.Ttot : Tinggi total
f : Angka bentuk (0,8)
Keterangan:
VTBC : Volume tinggi total
LBDS : Luas bidang dasar
TBC : Tinggi bebas cabang
f : Angka bentuk (0,8)
Kurva Kelas Diameter
J : d maksimal – d minimal
K : 1 + 3,33 log (jumlah pohon)
P : J/K
Keterangan:
15
d : Diameter
J : Jangkauan data
K : Banyaknya interval kelas
P : Panjang kelas
6. Kerapatan
a. Kerapatan Individu
!"#$%& ()&)*
Kerapatan Individu/ha = +"%,
b. Kerapatan LBDs
S+-., ,/$"0"& ($)1
Kerapatan LBDs/ha = +"%, 20/%
7. Bonita
Menggunakan jumlah pohon dalam seluruh tegakan dengan rumus:
&34&54&64⋯4*
H= 8
Keterangan:
H : Tinggi rata-rata (peninggi)
h : Peninggi maisng-maisng pohon
N : Jumlah pohon
8. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)
%
S% Hitung = (/ 𝑥 100%
5
a = √10000 x >8√6
Keterangan:
a : Jarak antar pohon
p : Peninggi
N : Jumlah pohon
S% Tabel dapat dilihat pada kelas bonita.
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kelas Diameter Pohon
Diketahui jumlah pohon dalam 10 plot yang diamati (n) = 64 Pohon
1. Jangkauan data
J = d maksimal – d minimal
= 37,90 – 10,83
= 27,07
2. Banyaknya interval kelas
K = 1 + 3,3 Log n
= 1 + 3,3 Log 64
= 1 + 3,3 × 1,80
= 1 + 5,94
= 6,94
3. Panjang kelas
P=J/K
= 27,07 / 6,94 = 3,90
Tabel 1. Sebaran Kelas Diameter Pohon
1. 10,83 – 14,73 6
2. 14,73 – 18.63 15
3. 18,63 – 22.53 13
4. 22,53 – 26,43 15
5. 26,43 – 30,33 7
6. 30,33 – 34,23 6
7. 34,23 – 38,13 2
17
Kelas Diameter Tectona grandis
20
15
Frekuensi
10
5
0
10.83- 14.73- 18.63- 22.53- 26.43- 30.33- 34.23-
14.73 18.63 22.53 26.43 30.33 34.23 38.13
Kelas diameter 6 15 13 15 7 6 2
1. Kerapatan Individu
Diketahui jumlah plot yang diamati pada saat melakukan praktikum
sebanyak 10 plot dan luas area tip plot praktikum yang diamati adalah 10 m ×
10 m yang berti luas keseluruhan area praktikum yang diamati adalah:
Luas keseluruhan = (10 m × 10 m) × 10 plot
= 1.000 m = 0,1 ha
!"#$%& ?)&)*
Kerapatan individu/ha = +"%,
@A
= B,3 &%
= 860 pohon/ha
2. Kerapatan LBDs
Kerapatan LBDs di tentukan menggunakan rumus sebagai berikut:
∑+-., ,/$"0"& ($)1
Kerapatan LBDs = +"%, 20/%
1 0,04
2 0,12
3 0,03
18
4 0.05
5 0,04
7 0,03
8 0,03
9 0,06
10 0,06
∑(B,BF4B,354B,B64B,BG4B,BF4B,BF4B,B64B,B64B,BA4B,BA)
Kerapatan LBDs = B,3 &%
B,G
= B,3 &%
= 5 m2/ha
4.1.3 Bonita
&34&54&64&…4*
H= 8
𝑃𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 30 − 𝑝𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 25
=𝑥
30 − 25
Peninggi 25+x
Bonita 1
16,8 − 15,8 1
= = 0,2
5 5
15,8+0,2 = 16
Bonita 2
Bonita 3
19
26,0 − 24,4 1,6
= = 0,32
5 5
Bonita 4
Bonita 5
35,2 − 33,2 2
= = 0,4
5 5
𝑆% 𝑢𝑚𝑢𝑟 30 − 𝑆% 𝑢𝑚𝑢𝑟 25
=𝑦
30 − 25
1. S% 1
20,9 + 0,1 = 21
2. S% 2
3. S% 3
20
4. S% 4
5. S% 5
4.2 Pembahsan
21
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
23
Pada Hutan Rakyat Jati di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan
Provinsi Lampung). Bandar Lampung. Universitas Lampung.
Safe’i, R., dan Tsani, K. M. 2017. Penyuluhan Program Kesehatan Hutan Rakyat
Di Desa Tanjung Kerta Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran.
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 1-3.
Safe’i, R., Wulandari, C. dan Kaskoyo, H. 2019. Penilaian Kesehatan Hutan Pada
Berbagai Tipe Hutan Di Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari, 7(1), 95-
109.
Simarmata, M. M. T. 2015. Model Penyusunan Kualitas Tempat Tumbuh
Eucalyptus urophylla Pada Hutan Tanaman. Jurnal Elektronik AKAR, 1(1),
1-10.
Sukendro, A., & Amir, A. H. (2022). Pengaruh Penjarangan Dan Lokasi Terhadap
Pertumbuhan Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.) di PT. Lestari
Mahaputra Buana, Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Journal of Tropical
Silviculture, 13(03), 218–224. https://doi.org/10.29244/j-siltrop.13.03.218-
224
Susanto, S. A. 2019. Sebaran Ukuran Diameter Pohon untuk Menentukan Umur
dan Regenerasi Hutan di Lahan Bera Womnowi, Manokwari. Biotropika:
Journal of Tropical Biology, 7(2), 67-76.
Thamrin, H. (2020). Pengukuran tinggi dan diameter tanaman meranti merah
(Shorea pauciflora C.F. Gaertn) di Kebun Raya Unmul Samarinda
(KRUS). Jurnal Agriment 5(1): 62-65.
Wijaya, D,L,D., Hidayat, R., & Santoso, P. (2021). Tarif volume local pohon jati
(Tectona grandis) di hutan kemasyarakatan Sedyo Rukun Kabupaten
Gunung Kidul. Jurnal Hutan Pulau-Pulau Kecil 5 (1): 78-89.
24
LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi praktikum
25
Lampiran 4. Sampul jurnal/buku
26
27
28
29