Resume
Buku Approaches to the Study of Religion karya Peter Connolly (Ed)
Diajukan sebagai salah satu tugas pada mata kuliah
Approaches to and Methodology of Islamic Studies
Tim Dosen:
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD (GBPMK)
Prof. Dr. Suwito, MA.
Prof. Dr. Muhammad Said
Prof. M. Arskal Salim GP, MA., Ph.D.
Dr. Yusuf Rahman, MA.
Disusun oleh:
AHMAD FAOZAN (31181200000030)
MUHAMAD FAJRI (31181200000075)
A. Pendahuluan
2. Pendekatan Feminis
Mengutip Anne Carr (1988: 95), Sue Morgan (2002) meyakini bahwa
feminisme dan agama sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan
kontemprer pada umumnya. Tujuan utama studi agama dengan pendekatan feminis
adalah mengidentifikasi persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan
keagamaan terhadap kedirian dan interaksi keduanya yang paling menguntungkan
(63). Dalam pandangan feminis sendiri terdapat dua pendekatan berbeda. Ada yang
menolak institusi agama dan mengubahnya dengan spiritualitas feminis yang
menawarkan analisis tentang ambiguitas perlakuan agama terhadap perempuan. Ada
juga feminis yang memilih untuk mengubah dan mereformasi dari dalam tradisi
keagamaan masing-masing (64). Feminisme menurut David Bouchier (1983: 2)
adalah berbagai bentuk perlawanan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial,
personal, atau ekonomi di mana perempan sebagai pihak yang menderita karena jenis
kelaminnya (65).
Secara historis, pendekatan feminis religius dimulai pada abad XIX dengan
dikenalnya feminis religius Anglo America dengan dua isu utama, perbedaan tentang
akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisisme injil (65). Keterlibatan
feminis dengan agama di abad XIX merupakan suatu yang rumit dan berbelit, namun
mengilhami baik tanggapan yang konservatif maupun radikal. Feminisme Evangelis
mendasarkan seruannya pada perluasan peran kewarganegaraan perempuan.
Sementara, feminis liberal menentang ide-ide Injil tentang subordinasi dan
domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan
perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. (69).
Persoalan-persoalan yang muncul pada gelombang feminisme kedua pada
tahun 1960 dan 1970 mendapat dorongan ideologis dari feminis abad XIX. Proyek
kritis feminis kontemporer ini dimulai dengan pembahasan komprehensif tentang
misoginitas agama Barat. (71).
Pada analisis tingkat pertama ini, feminis tidak hanya mendokumentasikan
sumber-sumber agama yang memiliki persepsi distortif terhadap perempuan,
melainkan juga melakukan eksplanasi. Rosemary Radford Reuther dalam Religion
and Sexism (1974) dan New Woman New Earth: Sexiest Ideologist and Human
Liberation (1975) menyatakan bahwa pencemaran keagamaan terhadap perempuan
bergantung pada serangkaian kesalahan teologis dan antropologis.
Pendekatan feminis lain yang mencakup spektrum respon yang luas terdapat
dalam buku Woman Spirit Rising: A Feminist Reader in Religion (1979). Buku ini
mengemukakan penelitian tentang ketegangan yang menggambarkan pembedaan
klasik teori feminis, apakah bertujuan “kesetaraan atau pembedaan”. Feminis reformis
cenderung memfokuskan pada kesetaraan laki-laki perempuan dalam kerangka kerja
pembebasan perempuan. Sementara feminis radikal menekankan pembedaan jenis
kelamin dan menyerukan pada penemuan kembali prinsip feminin sebagai akhir
dominasi patriarkal. (73)
Walaupun dimensi kritis dekonstruktif menandai fase pertama analisis
feminis, kemunculan teologi feminis sering ditetapkan sejak Valerie Saiving menulis
artikel The Human Situation: A Feminine View. Kepeloporan kritiknya terhadap
5
3. Pendekatan Fenomenologis
4. Pendekatan Filosofis
aktivitas filsafat adalah belajar bagaimana berpikir, suatu proses yang melibatkan
produksi alasan dan argumen yang pada gulirannya akan melindungi dari
praanggapan dan kefanatikan dan meyakinkan atas apa yang kita percayai dan
mengapa kita mempercayainya. (158-60)
Asal usul filsafat mesti dilacak kembali ke Yunani di mana istilah philosophia
dapat ditelusuri pada abad V SM yang terdiri dari dua kata, philia “cinta” dan sophia
“kebijakan”. Unsur kunci yang menyusun “cinta kepada kebijakan” adalah kemauan
menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan
mempertimbangkan seluruh wilayah pemikiran dan memiliki perhatian pada
kebenaran. Semua itu adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses di mana dialog,
diskusi dan mengemukakan ide dan argumen merupakan intinya. (163-164).
Sementara sejarah pendekatan filosofis dalam studi agama adalah sejarah
pergulatan yang berpangkal pada ledakan Turtellian: apa kaitan antara Athena dengan
Jerussalem? Apa kaitan antara filsafat dengan agama? Secara khusus, terdapat empat
posisi utama mengenai hubungan antara filsafat dengan agama. Pertama, filsafat
sebagai agama, di Barat mencakup Palto, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch,
Hartshorne dan Griffen. Inti pendekatan ini terletak pada ide bahwa dengan
merefleksikan watak realitas tertinggi, Tuhan(God), ketuhanan (divine), kita dapat
menemukan wawasan sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia.
Kedua, filsafat sebagai pelayan agama, mencakup Aquinas, John Locke, Basil
Miychell, dan Richard Swinburne. Ide utamanya adalah teologi natural tidak dapat
memberikan keimanan seseorang, ia mensyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus
merespon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Ketiga, filsafat
sebagai yang membuat ruang bagi keimanan meliputi William Ockham, Immanuel
Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantiga. dan 4) filsafat sebagai suatu perangkat analitis
bagi agama, dengan pemikir seperti Antony Flew, Paul van Buren, R.B. Barith Waite
dan D.Z. Phillips. Tujuan filsafat ini adalah menganalisis dan menjelaskan watak dan
fungsi bahasa keagamaan, menemukan cara kerja dan makna yang dibawa. Dan dapat
ditambahkan dengan 5) filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam
pemikiran keagamaan merupakan suatu perkembangan modern yang mencakup
pemikir David Pailin, Maurice Wilis, dan John Hick. Pendirian dibalik pendekatan
agama jenis ini adalah bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu
struktur pemikiran mereka dan kebudayaan-kebudayaan partikular, di mana mereka
berada merupakan kondisi bagi apa yang mereka yakini. (167-169).
John Hick menyatakan bahwa pemikiran filosofis mengenai agama bukan
merupakan cabang teologi atau studi-studi keagamaan melainkan sebagai cabang
filsafat. Filsafat agama dengan demikian adalah suatu aktivitas keteraturan kedua
yang menggunakan perangkat-perangkat filsafat bagi agama dan pemikiran
keagamaan. Pendekatan filosofis memiliki empat cabang. Pertama, logika. Kedua,
metafisika, Ketiga, epistemologi, dan keempat, etika.(170-176).
Terdapat tiga wilayah yang banyak menarik minat dan penelitian, yaitu 1)
studi bahasa keagamaan atau disebut dengan pemahaman agama kultural linguistik,
2) persoalan kejahatan dan terfokus pada teodici dalam kaitan dengan penderitaan dan
kesengsaraan, dan 3) persoalan perbuatan Tuhan di dunia. (177)
11
5. Pendekatan Psikologis
6. Pendekatan Sosiologis
dan 4) peran sosial seperti formasi terbatas, relasi intergrup, interaksi personal,
penyimpangan dan globalisasi. (283) Peran kategori-kategori itu dalam studi
sosiologis terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma utama tradisi
sosiologis dan refleksi atas realitas empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan,
antara lain paradigma fungsionalis (Durkheim, Parsons, Wilson) (283-286), dan
paradigma interaksionis (Peter Berger) (288-290).
Teoritisasi sosiologis menggunakan paradigma dan konseptualisasi analogis
tentang dunia sosial yang didasarkan pada tradisi sosiologis maupun refleksi atas data
empiris. Data empiris diperoleh melalui investigasi historis dan penelitian sosial
kontemporer. Dua corak metodologi penelitian sosial kontemporer yang prinsipil
dibedakan dengan dua istilah generik, kuantitatif dan kualitatif. (290). Pendekatan
kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survei terhadap
keyakinan keagamaan, nilai etis dan praktik kehadiran di gereja, juga menggunakan
statistik gereja dan dokumen publik. (292). Penelitian kualitatif dalam penelitian
sosial terhadap agama disandarkan pada studi komunitas atau jamaah keagamaan
dalam skala kecil dengan menggunakan metode seperti pengamatan partisipan atas
wawancara mendalam. (294).
7. Pendekatan Teologis
Ketiga, model ilmu alam. Porosnya lebih berpusat pada alam dibanding
Tuhan atau manusia dan titik tekannya pada ilmu-ilmu alam sebagai kunci
pembelajaran. (321-322).
Di era sekarang, terdapat kesadaran yang lebih besar tentang komplementaris
model-model pengetahuan dan perlunya interkoneksi yang lebih mendalam. Teologi
dan studi-studi keagamaan, humanitas dan ilmu-ilmu alam saling membutuhkan satu
sama lain. Interkoneksi antara teologi dan studi keagamaan lebih jelas ditunjukkan
oleh analisis tentang keragaman model agama, antara lain, Ninian Smart (1969),
Michael Pye (1972), Frederick Streng (1969) dan Frank Whaling (1986).