Anda di halaman 1dari 15

APPROACHES TO THE STUDY OF RELIGION

(ANEKA PENDEKATAN STUDI AGAMA)

Resume
Buku Approaches to the Study of Religion karya Peter Connolly (Ed)
Diajukan sebagai salah satu tugas pada mata kuliah
Approaches to and Methodology of Islamic Studies

Tim Dosen:
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD (GBPMK)
Prof. Dr. Suwito, MA.
Prof. Dr. Muhammad Said
Prof. M. Arskal Salim GP, MA., Ph.D.
Dr. Yusuf Rahman, MA.

Disusun oleh:
AHMAD FAOZAN (31181200000030)
MUHAMAD FAJRI (31181200000075)

PROGRAM DOKTOR PENGKAJIAN ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
1

A. Pendahuluan

Ninian Smart dalam pengantar (2002) menyebutkan bahwa studi agama


membutuhkan tiga mode penggambaran dimensional (dimensional mode of
representation). Pertama, dimensi yang merepresentasikan agama-agama dan
budaya-budaya berbeda secara vertikal. Kedua, dimensi agama dan budaya secara
horizontal dan untuk menginterpretasikan dan memahaminya, dibutuhkan berbagai
pendekatan antara lain sosiologi, antropologi, sejarah, filologi, sejarah seni,
musikologi dan studi-studi ritual lainnya. Ketiga, dimensi perbandingan agama. (vii-
viii)
Lebih lanjut, Smart menjelaskan bahwa studi agama memerlukan world-view
bagi dunia yang tidak menjadikan seluruh agama itu sama, tetapi menekankan nilai-
nilai komplementer agama dalam membantu membangun peradaban global yang
sesungguhnya (xiii). Studi agama menjadi unsur penting pendidikan tinggi yang
memberikan suatu peran pada studi-studi pandangan dunia (worldview studies) agar
berdiri berdampingan dengan ilmu-ilmu sosial humaniora lainnya. (xiii)
Peter Connolly (2002) memerinci tujuh pendekatan yang paling banyak
digunakan dalam studi agama, dengan titik tekan dan asumsi yang berbeda dalam
melakukan penelitian, yaitu pendekatan antropologis, feminis, fenomenologis,
filosofis, psikologis, sosiologis dan teologis. Seluruh pendekatan kecuali pendekatan
teologis, jika ditinjau dari afiliasi keagamaan, adalah pendekatan dari luar (outsider
approaches), yang tidak mengasumsikan adanya komitmen religius sebagai salah satu
kriteria dari peneliti. Ini sesuai dengan pendapat Ninian Smart, bahwa dalam studi
agama dibutuhkan “agnotisisme metodologis”. Bersikap terbuka (open mind) dan
tidak membawa komitmen tentang kebenaran atau akurasi satu atau lebih pandangan
dunia yang bersifat keagamaan dan tidak pula membawa keyakinan tentang kesalahan
pandangan dunia (2-3).
Karenanya peneliti dari dalam (insider) atau dari luar (outsider) perlu belajar
keluar dari zona nyaman dalam lingkupnya dengan memahami dan berimajinasi
memasuki dunia orang lain. Insider perlu belajar keluar secara imajinatif dari
perspektif religiusnya agar memperoleh banyak ide. Outsider juga memiliki
kewajiban secara imajinatif untuk membentuk dunia yang memiliki wilayah suci (3).
Untuk membangun pandangan-pandangan tersebut diperlukan
pengembangan kemampuan personal. Hal ini bermanfaat untuk meneliti cara
(pendekatan yang digunakan) seseorang dalam studi agama. Menggunakan suatu
pendekatan secara eksplisit juga berarti menerima asumsi-asumsi dan prioritas
tertentu juga komitmen untuk menggunakan metodologi dalam menjelaskan
fenomena (4).
Skop kajian studi agama dengan berbagai pendekatan adalah persoalan
definisi agama, manakah yang termasuk dalam batas istilah agama dan mana yang
bukan secara legitimate (6). Connolly menyebutkan bahwa satu-satunya elemen yang
benar-benar penting dalam definisi agama adalah keyakinan pada wilayah yang suci
(the sacred), transeden, atau transempiris. Jika hal ini ada maka kita beragama, jika
tidak ada kita tidak beragama. (10)
2

B. Aneka Pendekatan Studi Agama


1. Pendekatan Antropologis

David N Gellner (2002) menuliskan bahwa antropologi bermula pada abad


XIX sebagai penelitian asal usul manusia secara evolusi. Pandangan ini mendapat
dukungan dari teori evolusi biologis Darwin (15-16)
Pun antropologi sosial atau kultural dalam studi agama. Sir James Frazer
dalam The Golden Bough (1980) melihat seluruh agama sebagai bentuk sihir (magic)
fertilitas. Dalam ekspresi keyakinan rasionalismenya, Frazer mengemukakan skema
evolusi sederhana. Menurutnya, sejarah manusia melewati tiga fase yang secara
berurutan didominasi oleh magic (sihir), agama dan ilmu. (17)
Emil Durkheim dalam The Element Forms of Religious Life (1912)
menyatakan bahwa ëksperimen yang dilakukan dengan baik dapat membuktikan
adanya aturan tunggal dan mengemukakan perlunya menguji sebuah contoh secara
mendalam (18). Ini berbeda dengan Frazer dalam metode antropologi yang
digunakan, yang mengambil contoh dari seluruh dunia tetapi kurang memperhatikan
konteks aslinya.
Karl Marx (1818-1883) melanjutkan evolusionime sosial abad XIX. Dalam
pandangan Marxis, agama berfungsi melegitimasi dan mengabadikan posisi golongan
penguasa, sama dengan pandangan fungsionalisme struktural bahwa agama berfungsi
melegitimasi dan mengabadikan struktur sosial yang ada. (24)
Max Weber (1864-1920) merupakan anti evolusionis besar pertama yang
menekankan atas pentingnya memahami pandangan dan motivasi aktor-aktor sosial
dari dalam (from within). Antitesis terhadap evolusionisme secara independen
diilhami oleh berkembangnya metode penelitian lapangan di USA dan Inggris. Frans
Boas (1858-1942) di USA menegaskan bahwa masyarakat harus dikaji dan dipahami
melalui term-term mereka sendiri vis a vis spekulasi evolusionis.
Bronislaw Malinowski (1884-1942) di Inggris melakukan revolusi
Malinowski. Ia mengaku sebagai fungsionalis, gagasan bahwa seluruh adat kebiasaan
dan praktik harus dipahami dalam totalitas konteksnya dan dijelaskan dengan melihat
fungsinya bagi anggota masyarakat. Malinowski melakukan penelitian selama dua
tahun penuh di Pulau Trobdiand, arah Timur Laut Papua New Guinea. Malinowski
menggunakan metode yang kemudian dikenal sebagai observasi partisipan, yang
menjadi dasar antropologi sosial dan budaya (26). Malinowski menjelaskan agama
dan ilmu melalui teori fungsionalis tentang kebutuhan (individu) manusia.
Radcliffe Brown (1881-1955) seorang teoretisi, mensistematisasi pandangan
seluruh generasi antropologi sosial Inggris. Teorinya dikenal dengan fungsionalisme
struktural. Agama dilihat sebagai perekat masyarakat, dianalisis guna menunjukkan
peran agama dalam mempertahankan struktur sosial suatu kelompok.
Berbeda dengan di atas, antropologi fenomenologis atau hermeneutik
memberi penekanan lebih besar dalam melihat segala sesuatu dari sudut pandang
masyarakat itu sendiri. Ini berkaitan dengan pandangan interpretativist Clifford
Greetz dalam The Interpretation of Culture (1972). Perubahan ini digambarkan
sebagai pergerakan dari melihat kebudayaan dari luar (outside) dan dari sudut
pandang prinsip-prinsip universal kepada melihat kebudayaan dari dalam, tentang
3

bagaimana anggota masyarakat memandang segala sesuatu. Atau dalam konteks


Inggris, perubahan dari “struktur” kepada “makna”. Hal ini menjadi titik tolak
perubahan memandang antropologi sebagai bentuk sains ke arah kontekstualisasi
antropologi sebagai seni atau satu disiplin humanistik (31-32).
Kecenderungan lain antropologi modern adalah antropologi feminis. Ini dapat
dilihat pada beberapa etnografi yang mengoreksi bias gender. Lynn Bennett dengan
karya Dangerous Wives and Sacred Sister (1983) dan Lila Abu Lughod dalam Veiled
Sentiments (1986). Fokus utama antropologi feminis adalah pada cara-cara
perempuan mengatasi dan melawan posisi inferior yang selalu menimpa mereka,
termasuk dalam studi agama (32-33).
Holisme merupakan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi
modern. Praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat
sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat.
Fungsionalisme struktural diperkenalkan oleh Middleton dalam Lugbara
Religion (1960). Ide kunci fungsionalisme struktural adalah tentang struktur dan
fungsi (35).
Perintis jalan baru studi agama dengan pendekatan antropologi dari struktural
ke “makna” adalah karya EE Evans Pritchard, Withcraft, Oracles, and Magic among
Th Azande (1973), guru John Middleton. (43)
Antropologi interpretatif Geertz dalam perspektif global lebih berpengaruh
dari karya Evans Pritchard. Kemungkinan menafsirkan peristiwa menurut cara
pandang masyarakat itu sendiri merupakan ide kunci Geertz (45). Geertz melampaui
Malinowski yang memelopori observasi partisipan. Antropolog, menurut Geertz
memberikan penafsiran atas peristiwa-peristiwa dan penafsiran dari penafsiran yang
dimiliki masyarakat asli (46).
Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana ahli itu dan penduduk biasa memiliki
pandangan yang sama tentang aktivitas keagamaan yang sedang diteliti. Victor
Turner, menulis karya tentang analisis fungsionalis struktural klasik dinamika
hubungan matrilinial masyarakat Ndembu Zambia. Turner memiliki kedekatan
hubungan dengan informan dari penduduk asli. Bahkan dalam kehidupan selanjutnya,
Turner tidak lagi menggunakan “agnostik metodologis” tetapi menjadi seorang yang
beragama Katolik Roma. Menurutnya, ritual dan simbolismenya memiliki
ontologisme. Agama tidak sekadar permainan masa kanak-kanak dan dibuang pada
perkembangan ilmu dan teknologi, tetapi benar-benar inti segala persoalan. (49-50)
Pada akhirnya metode strukturalis dilihat sebagai interpretasi lebih lanjut
yang harus dikondisikan dalam struktur-struktur kekuatan dan status masyarakat yang
sedang diteliti. Homo Hierarchicus karya Louis Dumont (1966) merupakan monograf
strukturalis yang menggabungkan etnografi, sejarah dan teks suci.
Dalam antropologi, pertanyaan tentang interpretasi, interpretasi siapa yang
mesti digunakan? Antropologi feminis berupaya menjangkau kelompok-kelompok
yang disingkirkan secara sosial, seperti yang dilakukan Lynn Bennet (1983).
David N Gellner (Connolly, 52-53) akhirnya menegaskan bahwa etnografi
terbaik mengombinasikan pendekatan berbeda-beda dan tidak mencukupkan dengan
satu pendekatan.
4

2. Pendekatan Feminis

Mengutip Anne Carr (1988: 95), Sue Morgan (2002) meyakini bahwa
feminisme dan agama sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan
kontemprer pada umumnya. Tujuan utama studi agama dengan pendekatan feminis
adalah mengidentifikasi persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan
keagamaan terhadap kedirian dan interaksi keduanya yang paling menguntungkan
(63). Dalam pandangan feminis sendiri terdapat dua pendekatan berbeda. Ada yang
menolak institusi agama dan mengubahnya dengan spiritualitas feminis yang
menawarkan analisis tentang ambiguitas perlakuan agama terhadap perempuan. Ada
juga feminis yang memilih untuk mengubah dan mereformasi dari dalam tradisi
keagamaan masing-masing (64). Feminisme menurut David Bouchier (1983: 2)
adalah berbagai bentuk perlawanan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial,
personal, atau ekonomi di mana perempan sebagai pihak yang menderita karena jenis
kelaminnya (65).
Secara historis, pendekatan feminis religius dimulai pada abad XIX dengan
dikenalnya feminis religius Anglo America dengan dua isu utama, perbedaan tentang
akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisisme injil (65). Keterlibatan
feminis dengan agama di abad XIX merupakan suatu yang rumit dan berbelit, namun
mengilhami baik tanggapan yang konservatif maupun radikal. Feminisme Evangelis
mendasarkan seruannya pada perluasan peran kewarganegaraan perempuan.
Sementara, feminis liberal menentang ide-ide Injil tentang subordinasi dan
domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan
perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. (69).
Persoalan-persoalan yang muncul pada gelombang feminisme kedua pada
tahun 1960 dan 1970 mendapat dorongan ideologis dari feminis abad XIX. Proyek
kritis feminis kontemporer ini dimulai dengan pembahasan komprehensif tentang
misoginitas agama Barat. (71).
Pada analisis tingkat pertama ini, feminis tidak hanya mendokumentasikan
sumber-sumber agama yang memiliki persepsi distortif terhadap perempuan,
melainkan juga melakukan eksplanasi. Rosemary Radford Reuther dalam Religion
and Sexism (1974) dan New Woman New Earth: Sexiest Ideologist and Human
Liberation (1975) menyatakan bahwa pencemaran keagamaan terhadap perempuan
bergantung pada serangkaian kesalahan teologis dan antropologis.
Pendekatan feminis lain yang mencakup spektrum respon yang luas terdapat
dalam buku Woman Spirit Rising: A Feminist Reader in Religion (1979). Buku ini
mengemukakan penelitian tentang ketegangan yang menggambarkan pembedaan
klasik teori feminis, apakah bertujuan “kesetaraan atau pembedaan”. Feminis reformis
cenderung memfokuskan pada kesetaraan laki-laki perempuan dalam kerangka kerja
pembebasan perempuan. Sementara feminis radikal menekankan pembedaan jenis
kelamin dan menyerukan pada penemuan kembali prinsip feminin sebagai akhir
dominasi patriarkal. (73)
Walaupun dimensi kritis dekonstruktif menandai fase pertama analisis
feminis, kemunculan teologi feminis sering ditetapkan sejak Valerie Saiving menulis
artikel The Human Situation: A Feminine View. Kepeloporan kritiknya terhadap
5

teologi laki-laki klasik terartikulasikan sebagai premis fundamental karya-karya


feminis bahwa kesarjanaan teologis secara langsung dipengaruhi oleh identitas gender
atau jenis kelamin penulisnya. Saiving menunjukkan dengan cakap cara bagaimana
norma-norma maskulinitas dan humanitas sering diruntuhkan oleh kesarjanaan
androsentris (male centered) (75).
Feminis menuntut reorientasi fundamental dalam studi agama dengan
dimasukkannya “pengalaman” perempuan dalam aspek analisis keagamaan dan
teologis sebagai bentuk pengetahuan keagamaan yang legitimate dan mengubah
watak teoritis dominan (Reuther, 1983, Ursula King, 1995). Judith Plaskow (1990)
menulis bahwa komitmen pada pengalaman perempuan menandai suatu komitmen
apriori terhadap humanitas perempuan. Ini merupakan perubahan metodologis
feminis yang fundamental.
Beberapa karakteristik pendekatan feminis terhadap agama yang dipilih
karena perbedaan metodologis sebagai rekonstruksi keagamaan feminis yang paling
representatif dan mendasar. Pertama, menemukan jalan mengimajinasikan Tuhan
yang terkait dan mendukung concern spiritual perempuan (77-81). Kedua mengacu
pada tradisi kenabian Yesus dalam Injil, sebuah tema dasar yang oleh feminis
dinyatakan sebagai bukti kemampuan Injil memunculkan perspektif kritisisme
terhadap patriarki dengan bersumber pada injil sendiri. (82-83). Ketiga, penemuan
kembali sejarah keagamaan perempuan, (83) bahkan historis agama, gender dan
kekuasaan (85) yang pada gilirannya mengarah pada seruan terhadap pengakuan dan
akses yang setara bagi perempuan (86) bahkan hubungan laki-laki dan perempuan
yang kolaboratif dan egalitarian (88).
Munculnya suara perempuan dari seluruh dunia (Sharma (ed), 1987; Young,
1993; Cooey, 1991; King, 1994; Katoppo, 1979), bagi kesarjanaan feminis
kontemporer memunculkan satu-satunya tantangan metodologis yang paling
langgeng, menuntut suatu pengembangan konsep analitis kunci untuk
menggabungkan pengalaman perempuan yang khas dari berbagai status etnik (Issasi-
Diaz dan Tarango, 1992; Kyung, 1991; Willaiam, 1993); Fiorenza, 1993. (93).
Kebutuhan seluruh feminis untuk mengemukakan konsep teoritis tentang perbedaan ,
suatu pengakuan terhadap perbedaan yang terdapat di antara perempuan itu sendiri,
bukan perbedaan tradisional dengan antagonisme laki-laki—perempuan, dipertajam
oleh kesarjanaan ini. (95)
Persoalan pluralitas kultural dan rasial menghasilkan struktur pengetahuan
keagamaan yang sangat subyektif. Semenjak pembongkaran paling awal tentang
antrosentrisme, kekuatan sesungguhnya dari proyek feminisme terletak dalam kerja
samanya dengan konsep postmodern di mana metode penciptaan pengetahuan sama
signifikannya dengan muatan aktual pengetahuan itu sendiri. Kemauan feminisme
religius untuk merespon kritik internal (self critical attention) terhadap kelas, ras dan
daerah tertentu, memprioritaskan perbedaan dan menentang karakter monolitik dan
tunggal dari pengalaman perempuan, menimbulkan penekanan pada kesiapan yang
berkesinambungan dalam menghadapi tantangan epistemologis oleh situasi
postmodern. (97)
Pendekatan feminis terhadap agama melambangkan dilema intelektual kunci
suatu periode, bagaimana mendamaikan konteks historis, sosial atau kultural dengan
6

klaim-klaim universal yang disandarkan pada Tuhan. Feminis mengakuinya sebagai


hal yang imperatif dan karenanya perlu melanjutkan perjuangan yang disertai dengan
ketegangan antara penghargaan terhadap perbedaan kontekstual antar perempuan dan
optimisme yang dimunculkan oleh klaim-klaim spiritual etis yang memiliki nilai
penerapan (applicability) universal. (98).
Perdebatan kedua dalam feminis reigius yang juga terkait dengan persoalan
pluralitas etnik dan kultural adalah persoalan separatisme feminis. Feminis radikal, di
mana Mary Daly sebagai tokoh utama, mendorong perempuan agar melampaui batas-
batas masyarakat patrialkal dan menciptakan suatu dunia alternatif yang berpusat pada
perempuan yang sama sekali terbebas dari intervensi laki-laki. Pandangan separatis
ini dianggap sangat mencurigakan, bukan hanya pendirian separatis yang anti laki-
laki, tetapi juga perempuan kulit hitam menjadi korban konflik rasial. (98-99).
Fiorenza (1990) menganggap pandangan Daly sebagai keliru, elitis dan tidak realistis
(99), bahkan Harison (1990) menunjukkan resiko pandangan ini jika terjadi duplikasi
terhada ideologi dominan ketika feminis tidak lagi berdialog dengan komunitas yang
hendak ditransformasikannya. (100).
Dari sudut pandang strategi intelektual, separatisme yang berpusat pada
perempuan ditentang oeh sarjana-sarjana yang concern menangulangi polarisasi
identitas perempuan dan laki-laki dan mengusulkan suatu strategi holistik dengan
berfokus pada gender. Meski demikian, setelah satu dari dua tahap kerja yakni
dekonstruktif dan rekonstruktif, sarjana feminis sekarang telah masuk dalam fase
metodologi ketiga. Tahap ini dicurahkan pada konstruksi sistem gender yang lebih
inklusif yang mengakui interrelasi antara identitas perempuan dan laki-laki sebagai
pusat analisis teoretis. (100).
Morgan (2002) menutup tulisan dengan menyatakan bahwa pendekatan
feminis telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaann untuk menguji
kemampuan agama mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralis
kontemporer dan menghadapi tantangan postmodernitas (102).

3. Pendekatan Fenomenologis

Clive Erricker (2002) menyebutkan bahwa penelitian Jacques Waardenberg


Classical Approaches to the Study of Religion (1993) merupakan teks substantif
terkait perkembangan historis fenomenologi agama. Term kunci yang digunakan
Waardenberg adalah empiris dan rasional. Tugas fenomenolog adalah menunjukkan
bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman
kita tentang humanitas dengan cara yang positif. Lebih lanjut, studi agama juga tidak
dapat menjadi penelitian murni objektif tetapi harus mempertimbangkan keterlibatan
peneliti dalam subyek penelitian. (106-107).
Fenomenologi agama muncul di luar perdebatan tentang status kebenaran
yang tidak dipertanyakan, ketika penelitian mapan mulai kehilangan keterbuktian
dirinya (self evidence). Namun berangkat dari evaluasi atas pendekatan yang telah
mendahuluinya (anteseden) dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya
sendiri dalam studi agama. Di samping itu, konstruksi budaya atau kerangka acuan
tertentu memainkan perannya dalam cara menginterpretasikan. (108).
7

Pendekatan fenomenologis dapat dibangun dari Filsafat Hegel (1806). Hegel


mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas
penampakan dan manifestasi (erschinugnen). Seluruh fenomena dalam berbagai
keragamannya, bagaimanapun, didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist
atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antara esensi dan manifestasi menjadi
dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya mesti dipahami
sebagai suatu etitas yang berbeda. (110)
Filsafat Edmund Husserl juga menjadi dasar kedua pendekatan fenomenologi,
walaupun Husserl tidak secara langsung membahas studi agama. Dua konsep yang
mendasari karya Husserl menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi
fenomenologis terhadap agama; epoche dan pandangan eiditic. Epoche secara tidak
langsung menunjukkan tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi hasil
pemahaman. Pandangan eiditik terkait dengan kemampuan melihat apa yang ada
sesungguhnya. (111) Dua pandangan filasafat ini menjadi dasar bagi fenomenologis
filosofis dalam studi agama oleh Gerardus Vander Leeuw. Metode fenomenologis
Leeuw yang filosofis jelas rumit dan para sarjana enggan terlibat dalam kerumitannya.
Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye (1948) mengklasifikasi agama secara
sistematis dan memperkenalkan suatu metodologi yang sesuai. Saussaye merupakan
salah seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah.
Di samping mengakui pentingnya Hegel, Saussaye mengacu pada Kaisar India Akbar
(1555-1606) dan Ibnu Sina (1126-1196) (113).
Nathan Soderblom dan William Brede Kristensen juga merupakan figur awal
yang paling khas. Soderblom, seorang Kristen liberal yang memiliki komitmen pada
agama sebagai ekspresi kesucian, suatu fenomena sui generis yang tidak direduksi
semata-mata sebagai aspek yang berfungsi dalam masyarakat manusia. Menurut
Soderblom, agama yang sesungguhya dapat eksis tanpa suatu konsep pasti tentang
ketuhanan, namun tidak ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang suci
(holy) dan yang profan.(113-114)
Kristensen melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap pendekatan
historis dan filosofis, namun dalam memahaminya memiliki tujuan yang berbeda.
Menurut Kristensen, tugas deskriptif fenomenologi adalah melakukan
pengelompokan secara sistematik tentang karakteristik data untuk menggambarkan
watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkap elemen esensial dan
tipikal dari agama. Fenomenologi juga merupakan prasyarat bagi tugas filosofis dalam
menentukan esensi agama. Kristensen juga menegaskan pentingnya memahami
agama dari sudut pandang orang yang beriman. (114-115).
Rudolf Otto (1923) merupakan figur penting lain dalam pendekatan
fenomenologis dengan karya The Idea of the Holy. Karya ini menjadi penting karena
peletakan “yang suci” sebagai suatu kategori apriori otonom sebagai suatu kategori
makna dan nilai. Otto mempostulasikan otonomi agama sebagai hal yang berbeda dari
wilayah kehidupan lainnya dan memberikan dasar epistemologis terhadap
pengetahuan keagamaan yang secara psikologis dapat dicapai melalui sensus numinus
(pengalaman akan yang suci). (116)
Pendekatan fenomenologis paling tidak dapat dikategorikan menjadi dua.
Pertama, terdapat fenomenolog yang concern melaksanakan kajian agama secara
8

deskriptif. Tujuannya untuk mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi


fenomena. Pada gilirannya dapat membawa pada suatu klasifikasi tipe-tipe, suatu
tipologi. Pendekatan deskriptif murni memilih fenomenologi sebagai suatu disiplin
yang berbeda, namun juga menjadikannya rawan dengan kritik yang menyerang
kenaifan hermeneutik dan mengikis validitas hasil. Dalam melindungi serangan kritik,
fenomenologi secara langsung dapat terlibat dengan persoalan-persoalan hermeneutik
dan membangun suatu metodologi yang menggambarkan suatu pendirian teoritis
partikular. Akhirnya ini menghasilkan suatu apologi dalam bentuk yang sama dengan
apa yang dikemukakan teolog tentang “kebenaran” eksistensial. Posisi ini membuka
kritisisme selanjutnya dan memungkinkan fenomenolog menggali lubang untuk
dirinya dengan menjustifikasi karyanya yang tidak lagi diklaim sebagai
fenomenologis.
Pada akhirnya hal ini memberi pemahaman bahwa tidak ada definisi
fenomenologi yang baku. Pilihan yang lebih baik adalah mengakui bahwa gagasan
mengenai studi agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya
justifikasi studi agama berdasar istilah yang dimiliki sendiri daripada berdasar
pandangan teolog atau ilmuwan sosial. (117-119).
Kedua, fenomenolog yang concern melaksanakan kajian agama secara
filosofis. Psikolog William James disebut-sebut sebagai seorang eksemplar studi
fenomenologis filosofis. Dalam karyanya The Varieties of Religious Experience: A
Study in Human Nature (1902) James mendasarkan studi psikologis individual
tentang watak deskriptif dan merumuskan kesimpulan-kesimpulan filosofis sesuai
dengan posisinya sebagai seorang pragmatis. Kekuatan pendekatan James, menurut
Erricker adalah tidak ada praanggapan ideologis yang terkait dengan kebenaran atau
nilai statemen yang dibuat dan tidak ada upaya menyesuaikan hasil-hasilnya dengan
suatu kerangka kerja hermeneutik yang lebih besar yang dapat diderivasikan dari
sumber-sumber lain dan bukan dari data yang telah dikumpulkan. James seorang
pragmatis, menolak ide bahwa terdapat esensi dalam agama. Dalam hal ini dia
memahami bahwa tugasnya berbeda dengan tugas fenomenolog yang berupaya
melakukan kajian untuk menunjukkan eksistensi numinous, Tuhan atau Yang Suci.
(120-121). Berkebalikan dengan James, Mircea Elidae (1959) memiliki minat
mengidentifikasi perbedaan antara sacred dan profane dalam pengalaman manusia.
(122).
Kajian Ninian Smart (1969, 1983) dapat diletakkan antara James dan Eliade.
Smart memfokuskan perhatian pada tiga hal. Pertama, perkembangan organik agama
dalam sejarah manusia, yang dicirikan dengan tradisi dan institusi pada satu sisi dan
dimensi agama pada sisi lain. Kedua, pertanyaan-pertanyaan metodologis yang
menopang penelitian fenomenologis, dan ketiga, upaya Smart memperluas subyek
kajian hingga mencakup ideologis-ideologis yang menunjukkan kesamaan
karakteristik dengan agama, seperti Marxisme dan humanisme. Studi utama Smart
tentang pandangan dunia (worldview) daripada semata-mata agama. (123-128).
Kajian Wilfred Cantwell Smith dengan karyanya The Meaning and End of
Religion, tentang saling hubungan antara dua aspek agama, orang yang beriman
individual dan tradisi-tradisi kumulatif yang di dalamnya keyakinan itu muncul,
9

itulah yang memberikan pemahaman memadai mengenai fenomena agama secara


utuh.(129)
Beberapa kritik penting tentang fenomenologi dan nilainya dalam studi agama
antara lain, pertama, yang berkaitan dengan cara sejarah agama-agama dilaksanakan
dalah kritik yang berhubungan dengan objek studi, yang tidak sekadar berurusan
dengan otoritas besar masing-masing tradisi, namun juga hubungan agama dengan
manusia dan lingkungan. Pada gilirannya, kritik ini memiliki implikasi penting.
Pertama, memberi penekanan pada watak kontemporer fenomena. Kedua,
memfokuskan pada individual, kelompok dan pandangan sehari-hari daripada melihat
tradisi, otoritas atau pernyataan doktrinal tentang tema-tema teologis. Ketiga,
mengakui bahwa pluralitas tidak hanya terdapat dalam serangkaian tradisi, melainkan
pada realitas agama. Keempat, hubungan antara agama dan budaya merupakan
hubungan yang kompleks. Kritik terhadap objek studi berakibat terhadap metode.
Tworuschka berpandangan perlunya konsentrasi pada sejarah oral daripada tertulis
dan fungsi-fungsi primer dalam kehidupan sehari-hari.

4. Pendekatan Filosofis

Rob Fisher (2002) menyatakan bahwa studi agama dengan pendekatan


filosofis mengalami krisis identitas. Pertama, di mana pendekatan filosofis dalam
studi agama dapat ditemukan? Kedua, mengapa banyaknya tempat atau konteks
berbeda-beda menyebabkan krisis identitas? Yang jarang diteliti adalah alasan di balik
keragaman dan rangkaian respon terhadap pertanyaan ini. Selanjutnya, maka ada dua
hal yang muncul. Pertama, tidak mungkin membicarakan pendekatan filosofis
terhadap agama. Kedua, pendekatan yang digunkan akan bergantung pada konteks di
mana orang itu melakukan penelitian. (149-151)
Paling tidak, ada tiga persepsi umum dalam pendekatan filosofis. Pertama,
mengenai watak filsafat. Konsepsi ini mengambil tiga bentuk, yaitu 1) mengambil
bentuk tuduhan tentang ketidakrelevanan. 2) persoalan relevansi dikaitkan dengan
nilai guna filsafat. 3) filsafat pada dasarnya adalah persoalan pribadi mengenai
keyakinan dan pendapat yang dipertahankan secara personal yang tidak bisa
ditentang. Kedua, filsafat memiliki reputasi sebagai sesuatu yang sulit, dalam
pengertian sebagai sesuatu yang bersifat intelektual. Ketiga, filsafat merupakan hal
yang popular dengan pengertian sebagai sistem anekdot sederhana yang digunakan
masyarakat untuk menghidupi kehidupan mereka. (154-156)
Keterkaitan antara filsafat dan agama terfokus pada rasionalitas. Suatu
pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional. Proses rasional
mencakup dua hal. Pertama, fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam
tradisi keagamaan. Kedua, fakta bahwa dalam menguraikan keimanan, tradisi
keagamaan harus dapat menggunakan akal dalam memproduksi argumen-argumen
logis dan dalam membuat klaim-klaim yang dapat dibenarkan. (157).
Persoalan relevansi dikaitkan dengan nilai guna filsafat, perlu menyatakan
dua hal. Pertama, pada dasarnya filsafat adalah suatu aktivitas, sesuatu yang mesti
dilakukan oleh individu. Fakta ini menunjukkan bahwa pendekatan filosofis
merupakan proses interaksi dan keterlibatan terus menerus. Kedua, bagian dari
10

aktivitas filsafat adalah belajar bagaimana berpikir, suatu proses yang melibatkan
produksi alasan dan argumen yang pada gulirannya akan melindungi dari
praanggapan dan kefanatikan dan meyakinkan atas apa yang kita percayai dan
mengapa kita mempercayainya. (158-60)
Asal usul filsafat mesti dilacak kembali ke Yunani di mana istilah philosophia
dapat ditelusuri pada abad V SM yang terdiri dari dua kata, philia “cinta” dan sophia
“kebijakan”. Unsur kunci yang menyusun “cinta kepada kebijakan” adalah kemauan
menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan
mempertimbangkan seluruh wilayah pemikiran dan memiliki perhatian pada
kebenaran. Semua itu adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses di mana dialog,
diskusi dan mengemukakan ide dan argumen merupakan intinya. (163-164).
Sementara sejarah pendekatan filosofis dalam studi agama adalah sejarah
pergulatan yang berpangkal pada ledakan Turtellian: apa kaitan antara Athena dengan
Jerussalem? Apa kaitan antara filsafat dengan agama? Secara khusus, terdapat empat
posisi utama mengenai hubungan antara filsafat dengan agama. Pertama, filsafat
sebagai agama, di Barat mencakup Palto, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch,
Hartshorne dan Griffen. Inti pendekatan ini terletak pada ide bahwa dengan
merefleksikan watak realitas tertinggi, Tuhan(God), ketuhanan (divine), kita dapat
menemukan wawasan sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia.
Kedua, filsafat sebagai pelayan agama, mencakup Aquinas, John Locke, Basil
Miychell, dan Richard Swinburne. Ide utamanya adalah teologi natural tidak dapat
memberikan keimanan seseorang, ia mensyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus
merespon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Ketiga, filsafat
sebagai yang membuat ruang bagi keimanan meliputi William Ockham, Immanuel
Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantiga. dan 4) filsafat sebagai suatu perangkat analitis
bagi agama, dengan pemikir seperti Antony Flew, Paul van Buren, R.B. Barith Waite
dan D.Z. Phillips. Tujuan filsafat ini adalah menganalisis dan menjelaskan watak dan
fungsi bahasa keagamaan, menemukan cara kerja dan makna yang dibawa. Dan dapat
ditambahkan dengan 5) filsafat sebagai studi tentang penalaran yang digunakan dalam
pemikiran keagamaan merupakan suatu perkembangan modern yang mencakup
pemikir David Pailin, Maurice Wilis, dan John Hick. Pendirian dibalik pendekatan
agama jenis ini adalah bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu
struktur pemikiran mereka dan kebudayaan-kebudayaan partikular, di mana mereka
berada merupakan kondisi bagi apa yang mereka yakini. (167-169).
John Hick menyatakan bahwa pemikiran filosofis mengenai agama bukan
merupakan cabang teologi atau studi-studi keagamaan melainkan sebagai cabang
filsafat. Filsafat agama dengan demikian adalah suatu aktivitas keteraturan kedua
yang menggunakan perangkat-perangkat filsafat bagi agama dan pemikiran
keagamaan. Pendekatan filosofis memiliki empat cabang. Pertama, logika. Kedua,
metafisika, Ketiga, epistemologi, dan keempat, etika.(170-176).
Terdapat tiga wilayah yang banyak menarik minat dan penelitian, yaitu 1)
studi bahasa keagamaan atau disebut dengan pemahaman agama kultural linguistik,
2) persoalan kejahatan dan terfokus pada teodici dalam kaitan dengan penderitaan dan
kesengsaraan, dan 3) persoalan perbuatan Tuhan di dunia. (177)
11

5. Pendekatan Psikologis

Peter Connolly (2002) menyebutkan bahwa psikologi agama (psychology of


religion) adalah bidang kontroversial yang niscaya bersinggungan dengan kebenaran
atau kesalahan keyakinan keagamaan, dan menawarkan suatu arena di mana dapat
disajikan pembahasan fenomena keagamaan yang berbeda secara radikal. (195)
Studi agama dari pespektif psikologi hampir sama tuanya dengan psikologi
itu sendiri. Wilhelm Wundt (1879) dianggap sebagai orang yang membawa psikologi
sebagai disiplin ilmu. Hanya saja yang memelopori penelitian psikologi agama adalah
sarjana-sarjana Amerika seperti Hall yang mendirikan dan menjadi presiden sekolah
psikologi agama di Universitas Clark (1888-1920), Starbuck melalui karya The
Psychology of Religion (1899) tentang studi konversi keagamaan, Leuba meneliti
fenomena konversi dalam karya A Study in the Psychology of Religion Phenomena
(1986), dan James pada 1985 berkontribusi dalam psikologi dengan karya The
Principal of Psychology dan The Varieties of Religious Experience. (195-199).
Psikologi hadir dengan mazhab-mazhab yang secara radikal sering memiliki
pandangan berbeda dan bertentangan tentang watak psiko manusia dan cara terbaik
mengkajinya. Salah satu cara memosisikan mazhab-mazhab itu dalam kaitannya
dengan mazhab lain adalah dengan memfokuskan pada metode yang dipergunakan.
Connolly (2002) menawarkan metode atau pendekatan psikologis keras lunak karena
keutamaannya mengatur prinsip-prinsip dan penilaian positif atau negatif terhadap
agama oleh para psikolog mazhab itu. (202-204)
Flournoy (1899/1994) cenderung naturalistik meskipun secara teoritik
berpegang pada posisi netralitas dalam kaitannya dengan eksistensi entitas spiritual.
Flournoy mengkaji fenomena mediumistik dan spiritualistik. Janet mengkaji pasien
yang mengalami kekacauan mental dan memperhatikan elemen-elemen keagamaan
yang terdapat di dalamnya. Freud (1907) memperhatikan hubungan antar kondisi-
kondisi psikologis abnormal dengan agama. (204-206). Selanjutnya, pemikiran
psikoanalisis Freud menempatkan kembali agama dalam evolusi intelektual,
sementara Jung menganggap psikologi analitisnya melakukan tugas yang sama
dengan agama. (213). Psikologi humanistik muncul dengan Maslow dan Rogers
sebagai pendiri. Mereka ingin menghumanisasi psikologi dan memahami kesehatan
dan sakit melalui psikoanalisis dengan pendekatan klinis. (220) Pendekatan psikologi
agama yang dipaparkan ini mempresentasikan bagian spektrum psikologi kualitatif
lunak. (226)
Metode kuantitatif tidak hanya mencakup eksperimen melainkan juga
psikometris. Hasil penelitian psikometrik umumnya diungkapkan dengan korelasi
yang sangat berbeda dari hubungan sebab akibat yang dilakukan para eksperimentalis.
Kajian-kajian agama yang bersifat sosiopsikologis kebanyakan korelasional.
Walaupun demikian, psikolog sosial dalam kajian mengenai agama mengilustrasikan
tiga metode prinsipil, yaitu eksperimental (Bock and Warren, 1972 ; Milgram, 1974,
darley dan Batson, 1973/1988), korelasional (Allport, 1959) dan observasional
(Festinger, Riecken, dan Scachter, 1956). (227-239).
12

6. Pendekatan Sosiologis

Michael S. Northcott (2002) menuliskan bahwa fokus perhatian pendekatan


sosiologis adalah interaksi antara agama dan masyarakat. Praanggapan dasar
perspektif sosiologis adalah concern pada struktur sosial, konstruksi pengalaman
manusia dan kebudayaan termasuk agama. (271).
Sejak kelahirannya, sosiologi concern dengan studi agama, walaupun kadang
menguat dan melemah. Comte, Durkheim, Marx dan Weber sering mengacu pada
wacana-wacana teologis. Pada pertengahan abad XX, sosiolog-sosiolog di Eropa dan
Amerika Utara juga melihat bahwa agama memiliki signifikansi marginal dalam
dunia sosial, dan sosiologi agama bergerak dalam garis tepi studi sosiologis. Agama
kembali mendapat signifikansi sosiologis dengan datangnya postmodernitas dan
bangkitnya agama dalam beragam konteks global. Konsekuensinya, studi sosiologis
terhadap agama mulai keluar dari garis tepi disiplinnya dan memanifestasikan
tumbuhnya minat pada mainstream sosiologis yang memfokuskan perhatian pada
persoalan ekologi dan perwujudan, gerakan dan protes sosial, globalisasi,
nasionalisme dan postmodernitas. (273-274).
Comte dianggap sebagai pendiri sosiologi. Dalam masyarakat modern,
sosiologi menggantikan teologi sebagai sumber prinsip dan nilai penuntun kehidupan
sosial manusia. Bentuk positivistik konsep sosiologi Comte membawa konsekuensi
hilangnya agama dan teologi sebagai model perilaku dan keyakinan dalam masyarakat
modern. Dalam tradisi sosiologi Perancis, di samping Comte, Durkheim juga
menawarkan ulasan evolusioner tentang masyarakat manusia, dari amsyarakat
kesukuan pada masyarakat republik, dari magis kepada rasional, suatu ulasan yang
mencakup adanya kemunduran ritual dan dogma keagamaan secara gradual. (274).
Karya Durkheim memiliki pengaruh besar terhadap sosiologi agama, dalam
pendekatan Robert Bellah (1985) terhadap agama sipil dan nilai-nilai moral di
Amerika Utara kontemporer dan karya Bryan Wilson yang membahas fungsi agama.
(276-278).
Karl Marx seperti juga Durkheim menganggap agama sebagai produk sosial
dan sebagai agen keteraturan sosial dalam masyarakat pramodern. Agama berfungsi
sebagai tirai asap kolektif, elemen keteraturn sosial dan sebagai candu. Perspektif
Marxis dalam studi agama ditunjukkan dengan sejarah kontemporer gerakan teologi
pembebasan Amerika Latin (278).
Penggagas perspektif interaksionis dalam sosiologi dan studi sosial agama
adalah Max Weber. Dalam perspektif Weberian, agama dapat menjadi sumber
perubahan dan tantangan sosial, dan adakalanya sebagai sumber keteraturan sosial
dan legitimasi status quo. Namun Weber juga meyakini agama secara gradual akan
kehilangan signifikansi sosial sebagai konsekuensi dari rasionalisasi organisasi sosial
dan ekonomi modern. (280).
Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan sgnifikansinya
dalam dunia sosial mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori
sosiologis, meliputi: 1) stratifikasi sosial seperti kelas dan entitas, 2) kategori biososial
seperti seks, gender, perkawinan, keluarga masa kanak-kanak dan usia. 3) pola
organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomi, sistem pertukaran dan birokrasi,
13

dan 4) peran sosial seperti formasi terbatas, relasi intergrup, interaksi personal,
penyimpangan dan globalisasi. (283) Peran kategori-kategori itu dalam studi
sosiologis terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma utama tradisi
sosiologis dan refleksi atas realitas empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan,
antara lain paradigma fungsionalis (Durkheim, Parsons, Wilson) (283-286), dan
paradigma interaksionis (Peter Berger) (288-290).
Teoritisasi sosiologis menggunakan paradigma dan konseptualisasi analogis
tentang dunia sosial yang didasarkan pada tradisi sosiologis maupun refleksi atas data
empiris. Data empiris diperoleh melalui investigasi historis dan penelitian sosial
kontemporer. Dua corak metodologi penelitian sosial kontemporer yang prinsipil
dibedakan dengan dua istilah generik, kuantitatif dan kualitatif. (290). Pendekatan
kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survei terhadap
keyakinan keagamaan, nilai etis dan praktik kehadiran di gereja, juga menggunakan
statistik gereja dan dokumen publik. (292). Penelitian kualitatif dalam penelitian
sosial terhadap agama disandarkan pada studi komunitas atau jamaah keagamaan
dalam skala kecil dengan menggunakan metode seperti pengamatan partisipan atas
wawancara mendalam. (294).

7. Pendekatan Teologis

Frank Whaling (2002) menyatakan bahwa pendekatan teologis memfokuskan


pada sejumlah konsep, khususnya yang didasarkan pada ide theos logos, studi atau
pengetahuan tentang Tuhan atau tuhan-tuhan. (316).
Makna teologi memiliki tiga pandangan, pertama, teologi mesti berkaitan
dengan Tuhan atau transendensi, apakah dilihat secara mitologi, filosofis atau
dogmatis. Kedua, doktrin tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi,
meskipun memiliki banyak nuansa. Ketiga, teologi sesungguhnya adalah aktifitas
(second order activity) yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.
(319)
Jadi teologi berkepentingan dengan transendensi per se, yang tidak demikian
dengan lingkungan studi keagamaan. Dalam studi keagamaan titik fokusnya lebih
kepada orang-orang beriman dan pengalaman atau keyakinan ketimbang objek
keyakinan. (320). Lebih lanjut, Whaling menyebutkan delapan elemen yang terkait
studi keagamaan, yaitu komunitas keagamaan, ritual, etika, keterlibatan sosial dan
politik, kitab suci dan mite, konsep-konsep atau doktrin, estetika, dan spiritualitas.
(325-327)
Dalam sejarah intelektual Barat, terdapat tiga model dominan hubungan
antara teologi dengan studi keagamaan.
Pertama, model humanitas Yunani Romawi. Poros dari model ini adalah
humanitas. Studi agama dan ilmu kurang dianggap penting dalam studi yang lebih
luas.
Kedua, model teologi yang diwakili St. Augustines dan Thomas Aquinas.
Porosnya tidak lagi manusia, tetapi Tuhan dan keunggulannya terletak dalam teologi.
Teologi menurut Aquinas adalah queen of science.
14

Ketiga, model ilmu alam. Porosnya lebih berpusat pada alam dibanding
Tuhan atau manusia dan titik tekannya pada ilmu-ilmu alam sebagai kunci
pembelajaran. (321-322).
Di era sekarang, terdapat kesadaran yang lebih besar tentang komplementaris
model-model pengetahuan dan perlunya interkoneksi yang lebih mendalam. Teologi
dan studi-studi keagamaan, humanitas dan ilmu-ilmu alam saling membutuhkan satu
sama lain. Interkoneksi antara teologi dan studi keagamaan lebih jelas ditunjukkan
oleh analisis tentang keragaman model agama, antara lain, Ninian Smart (1969),
Michael Pye (1972), Frederick Streng (1969) dan Frank Whaling (1986).

Anda mungkin juga menyukai