Anda di halaman 1dari 38

AGAMA DAN DINAMIKA MASYARAKAT

SKS: 3/SEMESTER
KEGIATAN KERJA TERDIRI 3 BAGIAN/SEMESTER
1. Kuliah kelas 1 X 3 X 50 menit = 150 menit, hasil nyata catatan kuliah.
2. Mandiri terpimpin 1 X 3 X 50 menit = 150 menit, hasil laporan diskusi
perminggu.
3. Mandiri bebas sda sda, hasil nyata sebuah essay.

ad. 2. Dibentuk kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 – 7 orang, tugas diskusi
kelompok setiap minggu, dipimpin seorang moderator dan seorang notulis, bergantian.

ad. 3. Essay bertemakan kajian teoritis tentang agama dan dinamika masyarakat.
Untuk mhs S2 terdiri dari min. 12 hal. – max. 15 hal., untuk mhs S3, min 15 hal –
max. 20 hal., diketik pada kertas kwarto double spasi.

FORMAT ESSAY:
1. PENDAHULUAN, berisi latar belakang tema yang dipilih bertalian dengan
justifikasi pentingnya isu-isu agama dan dinamika masyarakat yang diangkat
dalam kontek masa kini. D sini sdr dapat menyajikan asumsi-asumsi para ahli
dan juga terjadinya peristiwa aktual tentang agama dan kepercayaan, utamanya
keresahan sosial.
2. KAJIAN PUSTAKA, berisi tentang review karya tulis dan penelitian bertalian
langsung maupun tak langsung dengan tema yang dipilih, untuk melihat apa
yang sudah dikerjakan oleh peneliti/penulis sebelumnya. Kajian berkisar
tentang klaim dan argumen apa yang telah dibangun mereka, serta apa kritik
dan alternatif pemikiran sdr. sebagai perbaikan, atau kontestasi, atau
perlawanan/penolakan. Kajian pustaka ini berperan mengarahkan sdr untuk
meperoleh inspirasi pemikiran alternatif yang pada gilirannya dapat
ditrasformasikan menjadi pertanyaan kajian atau penelitian.
3. PROBLEMATIK, tuangkan ide perbaikan, atau kontestasi, atau perlawanan
sdr. dalam formulasi pertanyaan penelitian.
4. PENDEKATAN TEORITIS, orientasi teori apa yang sdr. pakai untuk
memayungi kajian substansi tema yang sdr. pilih. Dapat saja mencakup
orientasi teori dan kerangka teori.
5. KERANGKA TEORI adalah teori yang dirumuskan oleh penulis sendiri, di
mana skema rinciannya bertalian dengan data yang akan dikumpulkan.
Kerangka teori harus berserasian dengan orientasi teori yang digunakan.
biasanya kerangka teori itu berupa penjabaran dari problematik yang
dirumuskan di atas, atau dapat saja berupa hipotesa kerja sebagai jawaban
sementara dari pertanyaan kajian. Peran kerangka teori adalah untuk
membingkai data.
6. PENDEKATAN METODOLOGIS, adalah tatacara bagaimana sdr.
memperoleh dan menganalisis data.
7. DESKRIPSI FAKTUAL dalam bigkai kerangka teori.
2

8. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA


9. KESIMPULAN.

Essay ditulis dalam kertas kwarto double spasi.

DAFTAR BACAAN
1. Anthropological Studies of Religion (1987) – Brian Morris.
2. Religion and Anthropology. A Critical Introduction. (2006) - sda.
3. The Religion of Java (1960) -- Clifford Geertz.
4. The Interpretation of Culture (1973) - sda.
5. Magic, Science, and Religion (1948) – B. Malinowski.
6. Purity and Danger (1986) -- Mary Douglas.
7. Theories of Primitives Religion -- Evan Pritchard.
8. Religion. What Is It? (1976) -- William C. Tremmel.
9. Fenomenologi Agama. (1995) -- Maria Susai Dhavamony.
10. Agama dan masyarakat (1985) -- Elisabeth Nottingham.
11. A Reader in the Anthropology of Religion (2005) -- M. Lambek (editor).
12. Image and Symbols, Studies in Religious Symbolism (1961) – Mircea Eliade.
13. Rites of Passage (1960) -- Arnold van Gennep.
14. Hindu Javanese, Tengger Tradition and Islam (1985) -- Robert Hefner.
15. Nusa Jawa jilid I, II, III (1996) -- Denys Lombard.
16. Varieties of Javanese Religion (1999) -- Andrew Beatty.
17. Islam in Java (1990) Mark Woodward.
18. The Forest of Symbols (1982) -- Victor Turner.
19. The Ritual Process, Structure and Anti-Structure (1969) -- sda
20. Drama, Field and Metaphor, Symbolic Action in Human Society (1975) sda
21. Ecology, Meaning and Religion (1979) -- Roy Rappaport.
22. Death, Mourning, and Burial (2004) -- Antonius Robben (editor).
23. Death & the Regeneration of Life (1987) – M. Bloch & J. Parry (editor).
24. Religion and the Body -- Sarah Coakley (editor).
25. Alam, Religi dan Solidaritas Sosial (2009) -- Suhardi.
26. Ritual: Pencarian Jalan Keselamatan, Agama dan Masyarakat (2009) sda.

DEFINISI AGAMA
Apa itu agama? Banyak definisi tentang agama yang dirumuskan para ahli, termasuk
antropologi, maupun oleh penganut agama tertentu. Ada definisi sektarian dan definisi
akademik. kajian kita ini akan menggunakan definisi akademik, dan tiap definisi yang
dirumuskan selalu berkaitan dengan pendekatan teoritik yang merumuskannya.
Sementara definisi agama sektarian hanya dapat diberlakukan di dalam agama
sektarian yang bersangkutan. Penggunaan definisi sektarian secara akademik juga di
dalam kerangka pembahasan agama tertentu itu.

EB TYLOR: Kepercayaan pada makluk spiritual.


3

Definisi ini hanya dapat diterapkan pada kepercayaan tentang adanya makluk alam
gaib maupun Tuhan, beserta ritus-ritus bertalian dengan makhluk gaib itu. Tetapi tidak
dapat menampung ritus-ritus tentang kuasa magis.

DURKHEIM
Suatu perangkat kepercayaan dan praktek terkait pada benda-benda keramat, yaitu
benda-benda yang ditempatkan terpisah dan terlarang, suatu kepercayaan dan praktek
yang menyatukan satu komunitas moral – semua orang patuh pada mereka.

Definisi ini berlaku efektif dalam masyarakat tribal dan komunitas homogen, dan
berlaku sebagai perekat mansyarakat. Penekanan difinisi ini terletak pada praktek ritus
kongregasi yang memusatkan pada benda-benda keramat sebagai simbol semangat
masyarakat itu sendiri.

CLIFFORD GEERTZ
Sebuah sistem simbol (1), yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-
motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia (2),
dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi (3) dan
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas (4), sehingga
suasana hati dan motivasi itu tampak khas realistis (5).

Definisi ini dapat diterapkan dalam masyarakat tribal, komunitas homogen maupun
heterogen, yang secara implisit menampung kepercayaan kepada makhluk dan kuasa
gaib. Sifat definisi ini adalah abstrak dan berciri antroposentrik.

MELFORD SPIRO
Agama adalah suatu institusi terdiri dari interaksi berpola secara budaya dengan
makluk adi manusiawi yang diformulakan secara budaya.

Definisi ini mirip dengan definisi Taylor, dan definisi ini hanya dapat diterapkan
dalam masyarakat tribal dan komunitas homogen, dan juga tidak menampung
kepercayaan kepada kuasa gaib.

MILTON YINGER
Agama adalah sistem kepercayaan dan prakteknya dengan cara mana, suatu kelompok
orang bertindak dengan masalah akhir kehidupan manusia – suatu persoalan yang
berhubungan dengan kematian, penderitaan dan ketidak adilan, sampai pada
kebutuhan menanamkan kepaduan intelektual dan makna dalam kehidupan manusia
dan pentingnya penegakan ajaran moral dan pola kehidupan sosial.

Definisi ini agaknya merupakan sintesis definisi yang diformulasikan oleh Durkheim
dan Geertz. Definisi ini mengindikasikan bahwa agama adalah semata kebutuhan
kelompok dan masyarakat keseluruhan, dan mengabaikan kebutuhan spiritual
individu.
4

SUHARDI
Agama adalah suatu institusi di mana manusia merasa takjub(1), dan mengadakan
komunikasi interaksi berpola secara budaya berbentuk etika moral dan ritus simbolik
(2), terhadap kuasa alam supranatural yang terdiri makluk adimanusiawi dan daya gaib
(3), yang mengekspresikan perncarian jalan keselamatan spiritual (salvation) (4), dan
kepaduan sosial (5).

Rumusan saya dapat diberlakukan baik dalam masyarakat tribal, komunitas homogen
maupun heterogen, baik individual maupun kongregasi. Formulasi ini merupakan
sintesis dari definisi Durkheim, Spiro, Yinger, dan Geertz.

PENDEKATAN TEORITIK KAJIAN AGAMA

Agama adalah suatu institusi sosial, yaitu suatu produk dan sistem sosio-budaya yang
wajib dipahami dalam konteks sosio-budaya itu. Namun institusi agama dalam
kegiatannya bertujuan untuk mencari sesuatu dalam kehidupan manusia, yaitu
terutama pencarian jalan keselamatan spiritual, ketenteraman hidup, maupun kepaduan
bermasyarakat. Maka terdapat berbagai perspektif pendekatan dalam pengkajian
terhadap hidup beragama maupun secara institusional. Pendekatan teoritik sering
hanya menekankan salah satu atau dua dari perspektif di atas. Di bawah ini akan
dibahas berbagai jenis pendekatan teoritis tentang kajian agama secara akademik, baik
secara obyektif positifistik, interpretif simbolik, maupun secara subyektif di era
spiritualitas baru.

1. PENDEKATAN INTELEKTUALIS
Pendekatan ini adalah kajian klasik tentang studi agama dalam antropologi,
pelopornya adalah Edwrard Tylor dan James Frazer. Mereka menyatakan bahwa
agama dapat dipahami sebagai suatu cara penjelasan kejadian di dunia. Seperti juga
Robin Horton: kepercayaan agama adalah sistem teoritik dimaksutkan untuk
penjelasan, peramalan dan mengendalikan kejadian-kejadian ruang dan waktu.
Sehingga mereka berpendapat bahwa pemikiran agama sebagai sejenis ilmu
pengetahuan tentang manusia hubungannya dengan alam transenden. Permasalahan
tentang pendekatan ini bersifat parsial dalam teori evolusi, dan penjelasan kejadian
secara religius hampir tidak masuk akal, ketika dikontraskan dengan ilmu
pengetahuan. Teori evolusi agama dirumuskan berdasarkan sistem kepercayaan dalam
etnografi dari budaya yang masih hidup masa kini dan juga ditunjang dengan data
arkeologis yang sifatnya fragmentaris. Sehingga sebagian dari rumusan teori ini
bersifat hipotetis dan spekulatif, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Sifat
parsial pendekatan ini tampak dari kajian tiap sarjana hanya memusatkan pada salah
satu institusi sosial semata, seperti evolusi agama, evolusi keluarga, dsb. Pendekatan
bersifat intelektualis lantaran rumusan teorinya dikerjakan kaum intelektual di
belakang meja, yang berspekulasi bahwa manusia purba pada awal timbulnya
kepercayaan agama diperkirakan telah mampu membedakan secara penalaran antara
jiwa dengan raga.
5

2. PENDEKATAN EMOSIONALIS
Teori psikologi tentang agama, berakar sejarah lama bersumber dari filsuf David
Hume dan Spinoza. Agama merupakan tanggapan terhadap tekanan emosional,
sehingga bermanfaat untuk menghilangkan ketakutan dan kecemasan. Dorongan
manusiawi mendesaknya mencari keselamatan dari ancaman transenden dan intuisi
berkonsiliasi dengan kuasa transenden itu. Fungsionalisme biologi dan psikoanalisis
Sigmund Freud adalah contoh pendekatan klasik. Pendekatan yang lebih kontemporer
adalah Tambiah, bahwa ritus agama terutama mempunyai fungsi penyucian. Akhir ini
pendekatan psikologi sudah ketinggalan, tetapi masih menjadi kajian penting dari
kerja Melford Spiro dan Gananath Obeyesekere. Kajian saya sedikit-banyak juga
mengandung pendekatan ini, bahwa manusia beragama merupakan upaya pencarian
keselamatan akhir, dengan menjalani ritus-ritus intensif agar mendapatkan
ketenteraman hidup.

3. PENDEKATAN INDIVIDUALISME METODOLOGIS WEBER


Teori dasar Weber adalah teori tindakan sosial (theory of action), bukan pada struktur
sosial. Unit analisisnya adalah individu dalam kelompok-kelompok kepentingan
Pendekatan ini sering pula disebut dengan ‘atomistik’ terhadap realitas sosial, yang
bersifat mekanistik dari pada fungsional, dalam arti individu dalam masyarakat
memiliki otonomi pribadi. Weber selalu menyatakan bahwa kelompok-kelompok yang
mengancam negara, -asosiasi, organisasi, perkumpulan, korporasi- itu sebagai
‘perbuatan dari seorang individu’. Agama pada dasarnya merupakan kepentingan
perorangan, dan ketika menjalaninya memerlukan kerja sama dengan orang lain atau
membutuhkan pengikut. Timbulnya kejadian-kejadian tertentu didalangi oleh seorang
aktor intelektual, apalagi jika agama telah dirasuki dengan kepentingan ideologi
politik.

4. PENDEKATAN STRUKTURAL
Levi-Strauss menyatakan bahwa kebudayaan adalah satu bentuk komunikasi, dan yang
dipengaruhi oleh Linguistik Struktural, terutama teori de Saussure. Pendekatan ini
mencari penjelasan tata bahasa budaya. Sistem pemikiran, seperti mitologi, magis,
simbolisme, dan klasifikasi totemisme, demikian dianalisis dalam batas oposisi biner,
agar dapat mengungkapkan visi dasarnya dan logika simboliknya yang tersembunyi.
Pendekatan ini sebagai percontohan metode ilmiah dan intinya apa yang
dideskripsikan sebagai tatanan pikiran – struktur ideologi. Sifatnya adalah sinkronis
dan ahistori, sebagai aktifitas agen manusiawi yang terpisah dari realitas sosial dan
politik.

5. PENDEKATAN INTERPRETIF
Sering juga disebut pendekatan Semantik, Simbolik, Semiotik, atau Hermeneutik,
yang mewakili perkembangan dan reaksi terhadap pendekatan Sosiologis dalam studi
agama, terutama teori Fungsionalisme-Struktural. Pendekatan ini menempatkan agama
sebagai suatu budaya atau sistem simbolis yang pada dasarnya adalah sistem makna
6

yang mengekspresikan dan membentuk realitas sosial, juga sebagai penempatan dan
rasa identitas sekelompok orang. Tokoh pentingnya adalah Clifford Geertz, Mashall
Sahlin, Stanley Tambiah di Amerika, dan di Inggris adalah Mary Douglas, Victor
Turner, John Beattie. Pendekatan simbolik atau hermeneutik cenderung menolak
analisis komparatif dan keilmiahan masyarakat dan menekankan pada metafisik
idealis. Sebagian besar kajian saya menerapkan pendekatan ini.

6. PENDEKATAN KOGNITIF
Pada dekade akhir ini beberapa ahli antropologi bersemangat mengembangkan
sosiobiologi dan cabangnya psikologi evolusioner, sebagai suatu strategi memajukan
suatu studi agama secara benar-benar ilmiah. Sistem agama dapat dijelaskan dalam
batas basis pan-budaya ciri-ciri psikologis manusia, yaitu bentuk struktur universal
gagasan manusia tentang agama. Penekanannya secara khas pada mekanisme kognitif,
atau kecenderungan yang adaptif dalam arti biologis, yaitu telah menbantu daya tahan
hidup dan keberhasilan reproduktif di masa lalu. Keyakinan agama dan keupacaraan
digambarkan sebagai tandingan intuisi, yaitu berlawanan dengan anggapan dan
pengalaman pandangan umum, tetapi alamiah. Penjelasan untuk kepercayaan dan
upacara itu harus ditemukan dalam semua kerja pikiran manusia. Bagaimana pikiran
dan psike manusia mengkognisi alam transenden dan bagaimana itu
dikonsepsikan serta diaktualisasikan dalam ritus. Pikiran manusia terdiri dari
seluruh variasi mekanisme kognisi yang secara kolektif tak hanya menerangkan
keberadaan pemahaman keagamaan, melainkan juga bertahannya budaya manusia,
seraya menjelaskan cara bagaimana agama tampil dalam sejarah manusia.
Penganjurnya adalah Pascal Boyer (2001), Stewart Guthrie (1993). Pada dasarnya
pendekatan ini tampak mengabaikan faktor antara, seperti agen manusia dan
kehidupan sosial, dan terlalu menekankan penetapan insting psikologis.

7. PENDEKATAN PENOMENOLOGIS
Ini pendekatan klasik dalan studi agama, bersumber dari tulisan Edmund Husserl.
Contoh lain karya Rudolf Otto, Carl Jung, Mircea Eliade, dll. Penomenologi pada
dasarnya menerapkan metode filsafat yang mencoba memberikan gambaran netral
tentang pengalaman manusia. Cara ini melalui dua tahap. Pertama: paham epoche –
penangguhan sebelum pendapat (opini) dan menggolongkan sikap alamiah tentang
gejala yang terjadi – dengan pemahaman kamensen, sehingga titik pusat dapat
ditempatkan secara murni atas pengalaman sadar tentang gejala kongkrit yang terjadi,
dan memberikan kesempatan penomena berbicara bagi dirinya sendiri. Kedua: paham
intuisi eidetik, membuka makna melalui hakekat intuisi – makna hakiki gejala.
Antropolog menggunakan pedekatan ini mirip dengan pendekatan interpretif, untuk
menandingi pendekatan Sosiologis dan komparatif. Hakekatnya ini menyatakan
mengungkap jimat budaya dan mereduksi kehidupan sosial menjadi wacana bahasa –
keyakinan agama dan praktek ritual direduksi dalam proses menjadi teks.
Secara ironis, sementara beberapa antropolog postmodern telah merengkuh
fenomenologi agama dan teologi era baru, pakar studi agama telah menekankan
pentingnya perkembangan pedekatan agama yang lebih ilmiah dan sekuler. Dalam
kelanjutannya mereka menawarkan kritik kuat terhadap pendekatan fenomenologi
7

agama, yang memusatkan agama sebagai bidang yang otonom, terpeisah dari
kehidupan sosial dan psikologi manusia. Ini menempatkan alam kedewataan bukan
sebagai konstruksi sosial, tetapi yang memunyai realitas ontologis, hal ini berarti
bahwa asal agama dipahami sebagai pengalaman pribadi tentang kekaguman atau
misteri, yang menyandarkan seluruhnya pada pemahaman intuitif, dan mengabaikan
pentingnya penjelasan agama sebagai gejala sosial.

8. PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Pendekatan ini banyak digunakan antropolog dan sosiolog selama setengah abad yang
lalu, dan bersumber dari tulisan Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim.
Penerusnya adalah fungsionalisme Radcliffe-Brown, Raymond Firth, dan John
Middleton; pendekatan neo-Marxis disarankan oleh antropolog seperti MW van
Binsberger, Peter Worsley, dan Maurice Godelier; dan Sosiologi historis yang
dinyatakan neo-Weberian seperti Gananath Obeyesekere dan Ernest Gellner.
Inti pendekatan ini adalah gagasan bahwa agama pada dasarnya merupakan
institusi sosial sebagai gejala sosial, konstruksi manusia, dan hanya dapat dipahami
ketika agama ditempatkan dalam konteks sosio-historisnya. Kepercayaan agama dan
nilai praktek ritus, dan struktur organisasi harus dipandang sebagai hasil dari proses
sosial dan struktur sosial yang lebih luas – dalam pola hubungan sosial. Agama
dipandang sebagai institusi sosial, secara mendasar bertalian dengan isu-isu seperti
kesehatan, gender, identitas sosial, politik-ekonomi, dan sebagai proses sosial
globalisasi hubungan inter kelompok.

Dipahami juga bahwa agama mempengaruhi kehidupan sosial dan makna


budaya dalam beberapa tingkat, apakah sebagai suatu (1) ideologi pengesahan
penindasan kelas (Marxis), (2) berfungsi memelihara pola tatanan kehidupan
masyarakat (Durkheimian), atau (3) sebagai faktor munculnya kapitalisme
(Weberian). Kini pendekatan sosiologis tentang agama hampir selalu dikombinasi
dengan pemahaman interpretif dengan analisis sosiologis.
Pendekatan sosiologis banyak dikritik oleh pakar hermeneutik, yang
menyatakan bahwa analisis ini tak sepenuhnya mengikutsertakan drama dan intensitas
ritual agama dan simbolisme, dan melibatkan pemaksaan teori dan kategori Barat atas
data etnografi (Fernandez, 1978). Kaunter kritik, pendekatan sosiologi tentang agama
tampil dari kerja lapangan mengalami pengalaman dan partisipasi, dan bahwa
seseorang tak dapat mengejar suatu jenis antropologi yang sepenuhnya diluar tradisi
intelektual Barat (van Binsberger, 1981). Memahami ritus agama sebagai suatu bidang
otonom dan memusatkan semata pada simbolisme, estetika, dan pengalaman
idiosikretik juga mencerminkan pemaksaan nilai Barat, dan pemenuhan intelektual
atas budaya lain. Makanya kita memerlukan kombinasi pendekatan sosiologis dan
interpretif. Seturut aku, tujuan utama manusia beragama adalah upaya pencarian jalan
keselamatan akhir, bukan integrasi sosial, dan yang terakhir ini hanya merupakan
epipenomenon lantaran rutinitas berjalannya ritus berjamaah. Ada mekanisme
institusional khusus yang bertujuan mewujudkan bagaimana masyarakat berfungsi
secara terpadu, yaitu berlakunya pengendalian sosial dan sistem hukum. Agama
berperan mentakbiskan kegiatan institusi sosial itu. Peran agama dalam menjaga
ikatan sosial itu hanya berlaku pada masyarakat yang homogen dalam kata hati dan
8

nurani yang seragam. Bagi masyarakat heterogen seperti di Indonesia, ceritanya


menjadi lain. Ikatan sosial terbentuk hanya pada kelompok primordial, sementara
kelompok lain menjadi pesaing, bahkan menjadi musuh.

9. PENDEKATAN POST-MODERNISME/POST-STRUKTURALISME
Pendekatan baru ini belum banyak informasi yang tersedia, terutama dari kajian
akademik. Pemahaman ini dipicu maraknya kecederungan praktek religiusitas
esoterisitas di barat yang dikenal sebagai Era baru spiritualitas atau betuk
postmodern tentang spiritualitas. Area pujaan pada hakekatnya campuran kebatinan
timur, Neopaganisme, esoterisme Barat, dan gejala psikis dan daya gaib. Pada
mulanya ini diawali oleh visi milenarium bagi bangkitnya kembali pada masa kini
tentang sihir (witchcraft), daya gaib (magic), samanisme, dan ilmu nujum, dan ini
dikategorikan bentuk milenariumisme, sekalipun dalam kontek Era Baru ini
melibatkan agen spiritual dari pada personal karismatik. Menurut aku ini bukan
gerakan milenariumisme, melainkan gerakan religiusitas baru. Manusia modern yang
telah jenuh dengan kehidupan materi sekuler yang melimpah, dan jenuh dengan
doktrinal informatif dan rutinitas ritualistik yang hanya menghasilkan religiositas
massa yang dangkal, maka mereka merindukan suasana keagamaan yang lebih
mendalam, seperti yang dialami oleh pelaku dan penghayat religiositas virtuoso.
Mereka mengkonsepsikan Tuhan sebagai zat kedewataan, bukan berpribadi,
melainkan sebagai otaknya jagad raya, atau sebagai sumber hidup kedewataan dan
daya gaib atau jiwa jagad raya. Sehingga konsepsi theologi/theosofi Era Baru adalah
suatu daya kuasa transendental yang tak personal sebagai energi atau kuasa hidup,
yang menyebabkan jagad raya keseluruhan berdaya hidup. Ini mirip dengan gerakan
kebatinan Jawa. Keselamatan spiritual dicari lewat kata hati dan hati nurani
perorangan, wacana yang ditampilkan dapat bersifat poliphonik atau keaneka ragam
pengalaman batin subyektif. Pengalaman beragama bukanlah nurani obyektif yang
dipandu doktrin.

Dinamika Masyarakat dan Kepercayaan Agama


Analisis Durkheim tentang agama bertalian dengan fungsi agama dalam
masyarakat. Menurutnya, agama adalah semua hal yang diberi sifat sakral. Pada hal,
dalam setiap masyarakat terdiri dari lingkungan sosial-budaya dan fisik yang sebagian
besarnya memiliki sifat sekuler, tidak sakral. Bagian sekuler ini oleh Durkheim
digolongkan ke dalam keadaan profan. Maka, semua masyarakat di dunia ini, baik
primitif maupun modern, yang kongkrit maupun abstrak dikelompokkan ke dalam
yang profan dan selebihnya diberi sifat sakral. Dikotomi sakral-profan kini dikritisi
banyak mengandung kelemahan. Kategori-kategori masyarakat meliputi yang suci-
bersih-keramat adalah sakral, sementara lawannya adalah dosa-kotor-polluted bersifat
profan. Pada hal banyak kegiatan sosial dan bagian budaya yang tidak masuk dalam
salah satu dari kategori di atas yang berupa kegiatan normal terstruktur secara sekuler
atau kegiatan mundane.
Seluruh masyarakat di dunia kini menunjukkan adanya masyarakat yang masih
sederhana, baca primitif yang tribal terisolir atau semi tertutup, seperti yang dapat kita
saksikan di Afrika Tengah, di lingkungan kutup Utara, di Amerika Selatan, di
9

Australia, dan di Indonesia (Papua, Kalimatan, Sumatra dll). Selebihnya dari itu
menunjukkan masyarakat semi modern, modern dan super modern. Masyarakat maju
ini secara hipotetis umum tentu merupakan hasil dari proses perubahan dalam sejarah
yang bersifat evolusionis, difusionis alkulturatif, maupun yang radikal progresif dan
revolusi. Masyarakat purba yang dibayangkan masih serba sederhana dan primitif
seperti masyarakat tribal kurun waktu saat ini hanyalah imaginasi spekulatif belaka.
Seperti apa bentuk masyarakat purba yang pasti sederhana itu tidak ada bukti yang
dapat dipakai sebagai pendukung spekulasi itu.
Sebagai gambaran umum, maka masyarakat di dunia ini secara historis dapat
dikelompokkan menjadi 3 golongan: 1) masyarakat purba, 2) peradaban kuno, dan 3)
peradaban modern. Pembeda antara masyarakat purba dengan peradaban kuno adalah
adanya tulisan. Di mana suatu masyarakat telah mengenal tulisan maka masyarakat itu
telah memasuki peradaban kuno. Sementara pembeda masyarakat peradaban kuno
dengan modern adalah setelah diterapkanya filsafat empiris dalam ilmu pengetahuan.
Bentuk-bentuk masyarakat itu mencerminkan juga bentuk-bentuk keyakinan
beragama. Masyarakat purba selalu dikaitkan dengan kepercayaan pada kuasa gaib
dan pemujaan roh leluhur, sementara masyarakat lebih maju praindustri memiliki
kepecayaan penyembahan kepada dewa-dewa, dan masyarakat peradaban purba dan
modern bertalian dengan agama monotheisme, lihat juga pada filsafat possitivisme
tentang stadium theologi. Agaknya keyakinan beragama tidak memuncak pada agama
monotheisme ini, sebab di Eropa dan Amerika Utara kini mengenal adanya gejala The
New Age of Sperituality.
Masyarakat masa kini kurang lebih juga memperlihatkan kondisi-kondisi
seperti penggolongan di atas. Kini masyarakat di dunia dapat dikelompokkan menjadi:
1) masyarakat sederhana, tribal, terbelakang, 2) masyarakat praindustri, dan 3)
masyarakat industri modern dan super/post modern. Bagi Durkheim semua
masyarakat kini digolongkan berdasarkan tipe solidaritasnya ke dalam solidaritas
mekanik dan solidaritas organik, yang sejajar dengan tipe pertama dan ke tiga.
Sementara masyarakat tipe praindustri masih tampak cerminan solidaritas mekanik,
tetapi solidaritas organik telah merupakan sistem keseluruhan organisasi sosial.
Dalam masyarakat tipe sederhana nilai-nilai agama/kepercayaan meresapi
segala sesuatu, pada tipe praindustri, nilai-nilai kepercayaan itu semakin menurun dan
sekularisme meningkat, dan pada msayarakat industri modern, rasonalisme dan
sekularisme mulai dominan. Pada masyarakat post modern, manusia mencari jalan
keselamatan langsung menuju asal mula hidup secara mandiri subyektif tanpa harus
menyandarkan diri pada peran soter.
Pada tingkat awal mula masyarakat, Tuhan hadir dalam segala sesuatu, dan
perkembangan berangsur-angsur Tuhan semakin menarik diri ke alam supra, dan
menyerahkan dunia ini kepada manusia dengan segala kepentingan dan
pertengkarannya.
Masyarakat sederhana digolongkan masih terbelakang atau masyarakat tribal
yang kecil dan terisolasi. Pembagian kerja masyarakat ini berdasarkan tipe solidaritas
mekanik, di mana semua orang mampu mengerjakan apa pun jenis kerja yang ada di
dalamnya. Hal ini disebabkan lantaran tehnik kerja mereka masih rendah dan amat
sederhana. Spesialisasi kerja secara luas belum terbentuk. Sifat kerja berupa kerja
publik bagi laki-laki dan kerja domistik bagi perempuan. Keluarga, kegiatan ekonomi
10

dan ritus berkorban adalah lembaga-lembaga sosial dan agama yang penting. Kegiatan
kebiasaan sosial didominasi untuk mencari makan, mencari pasangan dan hubungan
kekerabatan dan ritus magi dan berkorban itu.
Setiap warga masyarakat ini memiliki hati nurani yang mirip satu sama lain,
sehingga menganut satu keyakinan agama. Bahkan ritus agama menyusup ke sektor
kegiatan institusi lainnya, seperti ekonomi, politik dan kekerabatan. Peran agama di
sini amat dominan membentuk ikatan sosial kuat akibat dari rutinitas berkumpul
dalam upacara magi dan upacara berkorban.
Setiap orang bersikap lebih mengedepankan kepentingan komunitas dari
kepentingan pribadi, lantaran yang terakhir itu telah diakomodasi secara kolektif.
Akibat tertanamnya adat dan keyakinan agama yang kuat, maka warga masyarakat
bersifat konservatif yang menghalangi terjadinya perubahan. Apalagi kepetingan
perorangan hampir tidak ada yang tampil melebihi yang lainnya, sehingga satu sama
lain tak terjadi tabrakan.
Sosialisasi kultural juga diwarnai dan beriringan dengan sosialisasi agama.
Kegiatan ekonomi, politik dan daur-hidup selalu ditakbiskan dengan upacara agama
dan magis. Maka dalam masyarakat tribal agama berperan sebagai pemersatu.
Pada masyarakat yang sedang berkembang sering dikaitkan sebagai
masyarakat praindustri yang telah terbuka komunikasinya dengan dunia luar. Daerah
hunian telah berkembang lebih luas, yang penghuninya bukan lagi membetuk
masyarakat tribal melainkan sebagai masyarakat etnik dengan populasi yang besar.
Tehnologi telah lebif maju, tetapi masih menunjukkan tehnologi pada karya, yaitu
lebih banyak orang ikut berpartisipasi dalam kegiatan produksi. Pembagian kerja telah
sampai pada tataran spesialisasi terbatas pada sektor-sektor institusi yang telah dikenal
seperti ekonomi yang mengenal produksi, distribusi dan jasa. Pertanian dan industri
kerajinan serta perdagangan kecil-kecilan adalah kegiatan utama di pedesaan yang
diatur secara politik dari kota-kota praindustri.
Tipe masyarakat ini telah mencerminkan adanya solidaritas organik, namun
bentuk solidaritas mekanik masih mengikutinya. Institusi pemerintahan telah
menunjukan bentuk modern dalam batas-batas tertentu, yang disusupi tipe
kepemimpinan tradisional.
Kehidupan beragama telah berkembang di mana umumnya warganya telah
menganut salah satu atau beberapa agama theosentrik (monotheisme), tetapi kegiatan
agama formal ini masih juga disusupi agama tradisional dan ini masih banyak menjadi
bagian dari keyakinan mereka. Keyakinan beragama dalam masyarakat berkembang
menunjukaknan keyakinan hati nurani yang mirip satu sama lain sampai yang cukup
heterogen. Namun lantaran ikatan adat tradisional lokal masih cukup kuat, maka
persaingan antar agama atau kelompok agama belum menunjukkan gejala yang
menyolok. Walupun begitu, potensi persaingan dan pertentangan pada masyarakat
yang heterogen dalam keyakinan itu telah ada dan ikut menyertai dalam doktrin
mereka.
Dalam batas-batas tertentu, selain peran agama masih menjadi pemersatu
masyarakat, agaknya agama juga memiliki peran lain yaitu ikut serta dalam kekuasaan
dan perluasan kekuasan politik. Sehingga seolah ada kolaborasi antara perluasan
kekuasaan politik bersama-sama persebaran agama, atau persebaran agama mengikuri
kekuasaan politik, atau melalui penaklukan. Jika itu yang terjadi, maka benturan antar
11

agama tak terhindarkan. Apalagi bila suatu masyarakat telah menunjukkan heterogitas
keyakinan agama seperti di Indonesia
Tipe masyarakat modern menampilkan bentuk solidarita organik. Institusi-
institusi sosial dan pembangian kerja yang amat spesialis menggambarkan
ketergantungan satu sama lain yang tak terhindarkan. Pengaruh tehnologi maju dan
cepatnya komunikasi informasi menyebabkan gerak masyarakat menjadi sangat
dinamis.dan cepat berubah. Tipe masyarakatnya menjadi amat heterogen dalam
populasi yang sangat besar dengan tipe manusianya dari berbagai bangsa atau suku
bangsa, tipe politik ekonomi sampai penganutan beragama. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang mewarnai kehidupan masyarakat modern juga
berpengaruh besar terhadap kehidupan beragama. Agama semakin terpecah-pecah ke
dalam kelompok-kelompok aliran atas dasar perbedaan tafsir ajaran.
Heteroginitas perbedaan agama dan merebaknya sekularisme jelas
melemahkan fungsi-fungsi agama sebagai pemersatu keseluruhan masyarakat. Fungsi
pemersatu mungkin masih berlaku hanya pada kelompok masing-masing agama,
bahkan hanya pada kelompok-kelompok dalam satu agama. Artinya suatu agama
dapat terpecah ke dalam aliran-aliran eklusif yang hanya membenarkan ajaran sendiri.
Akibatnya rasa toleransi dan empati semakin tipis.
Kegiatan hidup sehari-hari bersifat amat sekuler, area-area sakral semakin
tersisih, walaupun masih ada. Hidup beragama semakin eklusif, yang berakibat
persaingan dan pertengkaran antar agama dan kelompok-kelompok agama menjadi
konsumsi berita saban hari. Peran agama sebagai pemersatu masih tetap berlaku, tapi
hanya terbatas pada kelompok sendiri.

TEORI GENETIK AGAMA


Studi tentang agama belakangan ini berupaya mencari jawab : (1) Apa agama
itu?, (2) Bagaimana psikhe manusia beraktifitas sehingga menyebabkan manusia
menganut agama tertentu, (3) Bagaimana pengalaman religius dihayati manusia,
apakah dari sumber kekuatan di dalam pikir atau dari luar (Tuhan), (4) Bagaimana
agama berfungsi dalam masyarakat manusia. Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab
secara teoritis dalam pendekatan yang diuraikan di atas.

Pertanyaan pertama sampai ke tiga berupaya mencari jawab secara genetik, yakni
bahwa agama harus dipahami melalui asal-usulnya. Pertanyaan ke empat berupaya
memahami agama dari aspek fungsinya bagi hidup manusia bermasyarakat, yakni
bagaimana agama dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, dalam batas
pemahaman kebutuhan manusia secara emisional, sentimental manupun intelektual.
Dengan kata lain, bagaimana agama berfungsi memuaskan kebutuhan di atas.

Dari pertanyaan itu, secara garis besar manusia beragama dapat dijelaskan
dalam dua perspektif.
1. Aktivitas agama dijelaskan secara genetik, meliputi (1) aktivitas agama atas
dasar antroposentrik – (1.1) asal-usul agama atas pemikiran orang primitif,
(1.2) asal-usul agama atas dasar pemikiran masyarakat, (1.3) asal-usul agama
12

atas dasar renungan pemikiran psikhe seseorang; (2) aktivitas agama atas dasar
theosentrik, di mana agama ada akibat intervensi makhluk adimanusiawi.
2. Aktivitas agama dijelaskan secara fungsional, meliputi (1) fungsi-fungsi
emosional melalui pengungkapan makna ungkapan ritus dan etika moral. (2)
fungsi sentimental atau intelektual, yang berupaya mengkaji peran agama bagi
kehidupan bermasyarakat, yang merupakan kelanjutan teori Max Weber
tentang peran etika agama dengan kehidupan ekonomi dan teori Durkheim
tentang pemujaan kepada semangat masyarakat.

Melalui pendekatan fungsional, kita dapat menghindari upaya pendefinisian agama


sebagai sesuatu yang ditimbulkan semata oleh perbuatan Tuhan, melainkan juga
memberi ruang bagi perbuatan manusia. Hal ini untuk menghindar dari perangkap
propensialisme agama. Penyelidikan agama sebagai suatu fenomena kemanusiaan,
sepantasnya membenarkan kesederajatan tentang kepercayaan apapun, perilaku ritual
bagaimananpun, dan penghayatan bagaimananpun hendaknya berlaku bagi semua
agama. Pendekatan fungsional ini mengkaji aktivitas perbuatan manusia dalam semua
agama. Dengan demikian agama dilihat sebagai fenomena kemanusiaan.

Pendekatan genetik berupaya mengkaji asal-usul timbulnya dan sejarah


perkembangannya, baik agama antroposentrik maupu theosentrik.

Agama adalah suatu cara bagi manusia sebagai perorangan atau kelompok, untuk
berperilaku yang sesuai bertalian dengan aspek keberadaan manusia itu sendiri pada
dimensi lain transenden. Mereka merasa kagum, takjub, sekaligus ngeri dan rendah
diri terhadap jagad semesta. Perbuatan beragama diwujudkan dalam berbagai
kemampuan: intelektual, ritual, dan moral. Boleh jadi perbuatan agama itu
dimaksudkan untuk mengatasi trauma atau rasa kecemasan, ketakutan, serta kehidupan
negatif dari keberadaan manusia. Untuk mengatasi ancaman itu maka nanusia
berupaya mencari perlindungan dari sumber kuasa yang lebih absolut. Sehingga,
manusia mampu mengatasi rasa keterbatasannya. Perbuatan agama bertalian dengan
suatu penghayatan pengalaman agar sampai pada rasa kebahagiaan dan kepuasan batin
yang mendalam.

Agama Antroposentrik
Teori asal-usul agama antroposentrik terdiri tiga tema: (1) Primitive origins, (2)
Sociological origins, (3) Psichogenetic origins.

Teori asal-usul agama secara primitif banyak diformulasikan oleh ahli-ahli


Antropologi pada paroh ke dua abad XIX. Bahan-bahan etnografi yang digunakan
untuk menyusun teori ini bersumber dari “benda-benda artefak manusia purba dan
masyarakat primitif yang masih hidup” (Tremmel, 1976: 9). Spekulasi hipotetis asal-
usul agama ini pada umumnya dimaksudkan untuk mendasari teori evolusi agama.
Teori evolusi ini sering direvisi pada dekade sesudahnya dan sering pula dikritik
terlalu bersifat spekulatif. Sifat spekulatifnya terletak pada formulasi konstruksinya
sebagian besar mendasarkan data etnografis dan artefak fragmentaris.
13

Asumsi evolusi adalah bahwa kebudayaan dan masyarakat primitif itu dianggap
sebagai percontohan kebudayaan purba yang tetap bertahan hidup sampai kini, dan
belum, mengalami proses kemajuan dan perubahan yang berarti. Dengan demikian
kebudayaan primitif itu dipandang sebagai gambaran tingkat-tingkat awal kebudayaan
manusia dalam proses evolusi yang sudah berlangsung ratusan ribu tahun. Sedangkan
struktur tingkat perkembangan dikonstruksikan oleh para ahli secara intelektual
dibelakang meja.

Dari penjelasan teoritis ini menghasilkan sejumlah formulasi teori asal-usul agama
yang berbeda-beda yang umumnya bersifat antroposentrik, antara lain personifikasi
gejala alam oleh Friederich Max Muller, teori jiwa oleh Edward B, Tylor.

F. Max Muller (1823 – 1900) adalah seorang ahli Bahasa Sankrit dari Oxford.
Karyanya berjudul: Introduction to the Science of Religion, berisi pernyataanya bahwa
ada kebenaran dalam semua agama, bahkan dalam agama yang paling rendah
sekalipun. Menurutnya agama alamiah masa lalu adalah umum dalam budaya manusia
dan membentuk substratum kuno dari semua agama, yang didefinisikan sebagai
persepsi pada yang tiada batas. Sistem kepercaayaan budaya primitif sekarang ini
adalah substratum kuno yang masih bertahan hidup sampai kini. Awal agama harus
diidentifikasi sebagai kepercayaan animisme, yang timbul akibat adanya gagasan
tentang personifikasi gejala alam yang mengandung kekuatan besar, serta benda-benda
tertentu yang memiliki sifat personifikasi spiritual. Agama timbul ketika orang purba
mengira bahwa gejala alam dan kejadian luar biasa sebagai perbuatan makhluk
spiritual yang memjiwai obyek itu. Kemudian makhluk spiritual itu diberi nama sesuai
dengan obyeknya, misalnya dewa angin, dewa Matahari, bulan dsb. yang semuanya itu
berperangai seperti manusia. Menurutnya, agama dimulai ketika manusia
merasionalkan kekuatan alam dan memberinya sifat-sifat memiliki emosi, sentimen,
dapat berfikir, bernafsu dan juga memiliki nama (antropomporphisme), sehingga
mereka itu dapat merasa bahagia, kadang dapat begairah, dan marah. Lalu Muller
berargumen, bahwa agama timbul ketika manusia purba mengira obyek-obyek alam
dan kejadian luar biasa memiliki spirit yang menjiwai gejala-gejala alam itu.
Transformasi jiwa gejala alam menjadi dewa-dewa didasarkan pada kitab suci Veda
dalam bentuknya yang paling awal. Muller melihat agama bersumber dari agama dan
mitologi bangsa Aria yang kuno, yakni “bahwa nama dewa-dewa itu menyatakan
kepada kita, bahwa mereka itu semua mula-mula adalah nama gejala-gejala alam,
seperti api, air, hujan, badai, matahari, bulan, langit, dan bumi” (Morris, 1987: 94).

Edward Burnett Tylor (1832 – 1917), adalah seorang antropolog Inggris.


Karyanya berjudul Religion in Primitive Culture (1871), yang menguraikan teori
evolusi dan asal-usul agama. Gagasan yang mengukuhkan pendirian itu adalah “bahwa
doktrin dan praktek keagamaan adalah sebagai fenomena alamiah, sebagai hasil nalar
manusia, dan bukan intervensi supranatural (ibid: 100). Menurutnya, agama berawal
ketika manusia purba mulai merasionalkan pengalaman-pengalaman mereka akan
kejadian-kejadian hidup dan mati, serta pengalaman orang dalam mimpi” (Tremmel,
1976: 10). Dari pengalaman itu, manusia mulai menyadari adanya dua perwujudan
dalam dirinya, dan yang berada di dua alam yang berbeda, yaitu badan jasmani yang
14

menjadi bagian dari alam mondial, dan jiwa yang terkait dengan alam transendental.
Maka ketika manusia mati, orang purba meyakini bahwa jiwanya tetap hidup dan
kembali ke alam roh, dan jasmaninya menjadi jasad dan kembali menjadi elemen
kosmik. Sekalipun roh hidup di alam transenden, mereka diyakini masih dapat
berkomunikasi dengan anak keturunannya, dapat membatu mereka ataupun
menghukum. Itulah sebabnya, maka anak keturunannya mulai merasa wajib
mengadakan perlakuan khusus terhadap roh leluhur mereka, dalam bentuk
penghormatan, pemujaan, dan persembahan, sehingga timbulah kepercayaan
animisme sebagai bentuk agama yang paling awal. Anggapan ini direfleksikan dari
data-data kepercayaan pemujaan leluhur bangsa-bangsa primitif yang masih hidup
masa kini.

Asumsi dasar teori evolusi, pertama: bahwa bangsa primitif itu sebagai
percontohan kebudayaan masa purba, yang sampai hari ini belum banyak mengalami
kemajuan dan perubahan yang berarti. Ke dua, pemujaan animisme itu akan
berkembang maju didorong oleh kekuatan dari dalam menuju tingkat yang lebih
tinggi. Ke tiga, dalam kemajuan itu semua agama akan berkembang mulai dari yang
paling sederhana, melalui tingkat-tingkat tertentu menuju agama yang lebih maju, dan
akan menjadi tingkat yang paling mutakir. Ke empat, kemajuan semua agama akan
berlangsung secara graduil melalui tingakt-tingkat yang sama, -animisme – politeisme
– monoteisme.

Teori gejala alam Max Muller dan teori jiwa Tylor dibantah/ditolak oleh
Codrington dan Robert Marett, yang menyatakan bahwa rasionalisasi gejala alam dan
peristiwa mati serta mimpi, dan pemikiran manusia sebagai makhluk komposit adalah
suatu gagasan agama yang sudah maju. Mereka menghipotesakan bahwa agama
timbul bukan adanya pemikiran teologis dengan penjelasan rasional seperti itu. Tetapi
agama pada mulanya muncul dari rasa kagum dan takut yang dialami manusia purba
ketika berhadapan dengan kekuatan jagad disekitarnya. Ketika itu manusia hidup
bukan dalam masyarakat yang teratur dan damai, tetapi hidup dalam suasana yang
penuh bahaya, kelompok satu bertempur dengan kelompok yang lain. Hanya manusia
atau kelompok yang mampu bertahan hidup yang dapat melanjutkan generasinya.
Sumber bahaya tidak saja datang dari manusia atau kelompok lain, melainkan juga
datang dari kekuatan alam, terutama kuasa alam yang tak kelihatan, yang dipercayai
sebagai daya gaib atau mana. Respon manusia terhadap daya gaib itu adalah dengan
cara menghindar, berdamai dan juga memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu
sendiri.

Menurut Codrington, gagasan tentang agama berasal dari tanggapan manusia


terhadap kekuatan adikodrati yang tak berpersonifikasi itu. Di Melanesia daya gaib ini
disebut mana. Kepercayaan ini oleh Robert Marett disebut sebagai preanimisme.
Menurut Marett, bahwa agama mendahului spekulasi rasional manusia terhadap
peristiwa alam. Agama timbul dari rasa kagum manusia terhadap daya impersonal
yang mereka alami di sekeliling hidupnya. Konsep ini sering diacu dengan daya magis
atau daya gaib.
15

Daya magis adalah kuasa alam langsung dengan penggunaan kuasa supraalami atau
ekstraalami. Kekuatan magis dikenal secara luas dalam agama primitif dan kurang
dikenal dalam agama yang berperadaban. Dalam antropologi, sarjana abad XIX, dan
awal XX membedakan antara magis dan agama, namun di antara keduanya ada
hubungannya.
James George Frazer (1854 - 1841) adalah seorang antropolog dari Scotland
yang menulis buku The Golden Bough, yang menempatkan kepercayaan magis itu
mendahului agama. Perbedaan antara keduanya terletak pada sikap dan harapannya
dalam menjalankan ritus ke duanya. Dalam magis, manusia bersikap dan berharap
bahwa hasil yang dikehendaki dapat diselesaikan dengan suatu manipulasi langsung
sekitaran alam melalui penggunaan tehnik penguasaan daya supraalami itu. Dhukun
magis dipercayai mengetahui rahasia tehnik supraalami itu untuk menguasai daya
magis itu dan memaksanya menyelesaikan kehendak manusia. Menurut Frazer, seperti
ilmu pengetahuan, magis dipahami sebagai hukum yang mengatur jagad dan secara
langsung menggunakan hukum itu bagi keuntungan manusia. Agama tidak secara
langsung mengendalikan daya alam itu, melainkan lebih pada permohonan manusia
kepada agen yang mengendalikan daya supraalami itu. Menurut Frazer, agama timbul
ketika bangsa primitif (1) tak lagi puas terhadap penyelesaian mekanisme magis, (2)
ketika mereka mulai mengkonsepsikan dunia mereka secara animistik, di mana jagad
adiduniawi didominasi roh manusia yang telah mati. Mereka mulai melakukan ritus
pemujaan kepada roh leluhur itu. Sementara itu ritus magis tetap berlangsung sampai
hari ini.

Di dunia akademik dikenal dua jenis tehnik memanipulasi kuasa magis: 1)


homeopathik, yaitu jenis pemanfaatan kekuatan gaib yang disalurkan melalui proses
ritual dengan simbolisasi replikasi. Tehnik ini disebut juga simbol simpathetik, 2)
magi kontagius, yaitu cara-cara ritual magis melalui simbol-simbol penyaluran kuasa
gaib.

Agama Spirit Masyarakat


Agama antroposentrik berikutnya adalah agama spirit masysrakat yang dikenal
sebagai genesis sosiologis, dikemukakan oleh Emile Durkheim (1858 – 1917).
Pertama-tama ia menolak teori-teori sebelumnya. Menurutnya asal agama bukan dari
jiwa gejala alam atau jiwa dalam gejala mimpi, melainkan bersumber dari semangat
masyarakat. Kritiknya terhadap teori sebelumnya adalah bahwa teori-teori itu terlalu
menganggap bahwa manusia purba telah berfikir rasional, yang mampu membedakan
antara badan jasmani dengan jiwa. Kemudian Durkheim berargumen, bahwa paling
dasar dan primitif dari semua agama adalah totemisme (Morris, 1985: 116), sebagai
bentuk elementer agama. Pendewaan gejala alam dalam masyarakat prasejarah
dipusatkan bukan pada daya-daya kosmis, melainkan pada spesies-spesies hewan dan
tanaman sebagai obyek keramat yang merepresentasikan masyarakat atau
kelompoknya, dan sebagai simbol nurani serta semangat masyarakatnya. Maka asal-
usul kepercayaan agama bersumber dari daya semangat masyarakatnya sendiri.

Gagasan tentang agama masyarakat ini, Durkheim mengikuti pandangan dari


Fustel de Coulanges dan Robertson-Smith. De Coulanges, seorang ahli sejarah,
16

berpendapat bahwa ide-ide religius menentukan sifat dari keluarga-keluarga kuno,


hukum perkawinan dan bentuk-bentuk kekerabatan, serta hubungan antar individu.
Dengan berubah dan berkembangnya ide-ide tentang agama, maka struktur
masayarakat juga berubah. Ini adalah pendekatan interpretasi idealistik yang
menjelaskan bahwa ide-ide, dalam hal ini ide keagamaan, adalah sebagai sebab
pembentukan struktur sosial dan terjadinya perubahan sebagai faktor utama dalam
gejala sosial.

Durkheim mengikuti konsep ini, tetapi merubahnya dengan cara membalik


logikanya, menjadi bahwa perubahan struktur sosial adalah sebagai yang
menyebabkan perubahan tentang ide-ide keagamaan.

Gagasan tentang agama totemisme Durkheim bersumber dari tulisan John


McLennan: The worship of amimals and plants, yang diacu oleh Robertson Smith.
Yang terakhir ini beranggapan bahwa totemisme klen adalah sebagai bentuk agama
yang paling kuno, dengan gagasan dasar bahwa klen diidealkan dan didewakan, dan
secara material diwakili oleh hewan totem. Dalam masyarakat seperti itu, di mana
binatang totem dipakai sebagai orientasi keagamaan, maka upacara berkorban adalah
ritual kunci yang melibatkan usaha membangun persekutuan dengan daya kuasa
spiritual. Upacara berkorban dipandang bukan semata sebagai persembahan suci,
melainkan juga sebagai usaha menjalin hubungan antara daya kuasa spiritual dengan
umat manusia, dengan cara berpartisipasi bersama mengkonsumsi darah dan daging
hewan korban keramat. Menurut Robertson Smith bahwa 1) ritual agama adalah lebih
utama dari pada sistem belief; 2) agama adalah bertalian dengan kelompok sosial dari
pada bentuk pemikiran spekulatif; 3) ritual terutama mencerminkan fungsi sosial
dalam mengikat orang-orang dalam komunitas; 4) agama bukannya ada untuk
menjamin keselamatan jiwa, tetapi untuk menjamin kelestarian kesejahteraan
masyarakat.

Durkheim mengikuti gagasan-gagasan di atas, dan percaya bahwa totemisme


adalah agama yang paling kuno.

Ritus berkorban hewan totem diselenggarakan secara rutin dan periodik, di


mana daging dan darah hewan totem dikonsumsi dalam kongregasi itu, sementara
konsumsi harian dilarang. Komunitas atau kolektif yang secara rutin
menyelenggarakan kongregasi periodik berimplikasi peningkatan sentimen sosial.
Dari otoritas berkumpul periodik itu, lambat-laun menimbulkan pengalaman tentang
gagasan mengenai alam kedewataan, yang berupa kekuatan atau semangat
berkomunitas atau kolektif itu yang meresapi individu-individu warga masyarakat.
Semangat berkongregasi ini ternyata mampu mengendalikan kebiasaan dan tindakan
individu, yang berimplikasi menumbuhkan paham kekuasaan yang lebih unggul dari
pada manusia individu, dan ia merasa tergantung serta menghormatinya.

Totemisme adalah seluruh kepercayaan dan upacara yang menunjukkan suatu


sikap ritual terhadap alam, suatu kosmologi yang menyatakan suatu ide bahwa
manusia dan alam membentuk suatu totalitas spiritual. Di balik upacara nerkorban itu
17

ada suatu paham keyakinan tentang kekuatan atau daya impersonal berupa prinsip-
prinsip totem yang mengingkarnasi manusia dan gejala alam. Prinsip totem inilah
yang menyemangati individu warga masyarakat dengan manifestasi sebagai otoritas
moral.

Otoritas moral yang mengatasi individu menimbulkan rasa kekudusan terhadap


daya unggul tadi. Dengan demikian nurani atau semangat kolektif itu diyakini sebagai
daya spiritual yang menjiwai masyarakat itu sendiri, sehingga individu tunduk dan
menyerahkan diri dalam pemujaan kepada spirit masyarakat itu, yang divisualisasikan
dalam bentuk obyek sakral patung totem. Harapannya adalah mereka mendambakan
perlindungan dan jaminan kesejahteraan dari jiwa masyarakat itu.

Sentimen kolektif yang dibangkitkan dan ditingkatkan oleh kongregasi


periodik ini pada gilirannya membentuk rasa terikat terhadap masyarakatnya. Itulah
sebabnya, mengapa individu rela berbakti sampai pada berkorban. Semangat lolektif
inilah yang disebut colletive effervescence, yang divisualisasikan dalam obyek sakral
berupa patung totem, yang memiliki nilai-nilai simbolik. Pada intinya upacara
keagamaan dipandang sebagai mekanisme utama untuk mengekspresikan dan
memperkuat sentimen dan solidaritas kelompok. Agama berfungsi membangkitkan,
memperkuat dan mengekalkan sentimen kelompok itu melalui rutinitas berjamaah.
Kepercayaan totemisme ini pada umumnya ada dalam masyarakat yang berstruktur
marga atau klen. Struktur msyarakat terbentuk dari hubungan-hubungan tukar-
menukar antar klen. Larangan mengkonsumsi daging binatang totem klen agaknya
merupakan simbol dari larangan laki-laki anggota klen mengawini perempuan klen
sendiri. Maka pasangan perempuan harus diambil dari klen lain dalam azas
perkawinan exogami.

Teori Durkheim ini dirumuskan dari data-data etnografi suku bangsa asli
Australia. Totemisme Australia bukannya pemujaan kepada hewan-hewan dan
tanaman semata, melainkan obyek totem itu ditempatkan sebagai simbol semangat
masyarakat. Teori Durkheim hanya mampu diterapkan pada masyarakat yang
homogen. Sementara pada heterogen ceritanya akan menjadi berbeda.

Agama Psikogenetik
Menelusuri asal-usul agama dapat dilakukan melalui gejala psikogenetik.
William James, salah seorang ahli psikologi agama, mengatakan bahwa semua
pengetahuan manusia tentang dirinya dan jagadnya, termasuk agama, berasal dari
pengalaman sendiri, sebagai suatu kesadaran. Sigmund Freud, seorang ahli
psikoanalisa mengatakan bahwa manusia adalah apa yang telah mereka alami.
Edmund Husserl, seorang ahli fenomenologi mengatakan bahwa agama sebagai
hakekat pengalaman batin asli, suatu kesadaran yang tak dapat dipalsukan. Dalam hal
ini, James mendasarkan analisanya pada empirisme, Freud pada psikoanalisa
kepribadian, dan Husserl pada pengalaman transendental ego. Pemikiran ketiganya
mengasumsikan bahwa agama timbul dari pengalaman batin perorangan.
18

Menurut James agama adalah suatu respon secara psikis yang sehat. Agama
pada mulanya merupakan suatu nilai-nilai utama pada sifat batin (inner nature)
manusia untuk mencari kebebasan; setiap jenis kekuatan dan daya tahan, dorongan
dan kemampuan untuk mengatasi kehidupan napsu-napsu jasmaniahnya. Napsu
instingtif adalah belenggu rasa batin. “Doa atau persekutuan batin adalah suatu proses,
di mana karya sungguh-sungguh dilakukan, dan daya spiritual mengalir masuk dan
menghasilkan efek secara psikologis atau materi di jagad gejala. Semangat baru yang
dengan sendirinya bertambah sebagai suatu berkah hidup dan membentuk pesona atau
daya tarik keteguhan dan kepahlawanan. Jaminan keselamatan dan suasana
kedamaian, dan dalam hubungannya dengan orang lain menjadi cinta yang amat
besar” (dikutip Tremmel, 1976: 20). Karya yang dilakukan adalah mengendalikan
nafsu jasmaniah itu, agar dapat menemukan rasa batin yang hakiki. Rasa batin adalah
tidak lain sebagai rasa cinta terhadap yang Tiada Batas. Rasa cinta dapat juga
diimplementasikan dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat maupun kepada
lingkungan alam fisik.

Dalam beberapa hal Freud sepakat dengan William James, di mana agama
memiliki efek pada kehidupan psikhis. Tetapi Freud mengatakan bahwa agama adalah
penanda ketidak mampuan manusia menghadapi kehidupan pada keadaan aslinya.
Agama adalah tanggapan manusia atas belum matangnya emosi. Agama adalah
sebagai pengganti, atau sebagai pengandai bentuk kehidupan asli untuk menghadapi
kenyataan hidup. Perilaku agama adalah sebagai cara bagaimana manusia dewasa
mengatasi ancaman hidup keseharian, dengan menerapkan mekhanisme pikir kanak-
kanak yang tersembunyi. Analisis Freud ini ditujukan kepada agama di Barat,
terutanma agama teosentrik: Judaisme, Kristen dan Islam. Agama timbul dari
kebutuhan psikis manusia sebagai manusia atau psicogenetic origin.

Perspektif kajian Husserl adalah secara fenomenologi. Ia menyatakan bahwa


ketika kesadaran dibuat kosong, maka agama adalah wujud bagian batin dari hakekat
manusia. Pengalaman religius yang disebut keselamatan (salvation) adalah kondisi inti
kesadaran fundamental manusia. “Keselamatan adalah suatu pengalaman tentang titik
antisipasi diluar kesadaran biasa dalam diri manusia” (ibid: 22). Kesadaran inti yang
diinginkan manusia adalah mencapai kesempurnaan, yaitu kondisi yang luar biasa,
sebagai suatu pemecahan pada kerinduan ini, yang mengarahkan orang ke wilayah
diluar pribadi egonya. Pusat dari kemanusiaannya merupakan suatu pencapaian
sesuatu di arah luar ke realitas eksternal, yaitu menstransendenkan dirinya menuju
pada kesadaran akhir yang tak terjangkau, disimbolkan dengan konsepsi God. Kondisi
kesadaran manusia ini dapat dilihat secara fenomenologis sebagai kesadaran inti batin,
dan Husserl menamakannya sebagai “Transendantal Ego”. Seperti terungkap dalam
mistisisme “jiwa telah menyatu dan bahkan dianggap identik dengan Alam
Transendental atau Totalitas Ada” (ibid).

Di sini transendental ego diartikan sebagai kesadaran dari kesadaran, inti


pusat, atau jiwa manusia. Jiwa adalah bagian dari totalitas Ada. Maka dalam analisis
fenomenologi menunjukkan bahwa agama didasarkan atau timbul dari dasar psikhe
manusia.
19

Konsep-konsep psike manusia itu dimanifestasikan menjadi upaya manusia


menghayati transendental ego melalui proses pelepasan belenggu kosmis. Perjalanan
batin manusia berdasarkan spiritualitas India, yaitu: karma, maya, nirwana, dan yoga
(Eliade, 1958: 3).
1. Hukum sebab-akibat yang mempertalikan manusia dengan jagad raya dan
mengadili mereka dalam perputaran tak terbatas. Ini adalah hukum karma.
2. Proses misterius itu yang meyebabkan dan melestarikan jagad raya, dan dalam
tata kerja seperti itu menyebabkan keberadaan kelahiran kembali secara kekal
serba mungkin. Ini adalah maya, suatu khayalan kosmis, berlangsung terus
dijalani manusia selama ia dibutakan oleh kebodohan (avidya).
3. Kenyataan Mutlak berada di luar khayalan kosmis yang dirajut oleh maya dan
di luar pengalaman manusia, sebagaimana yang dikondisikan oleh karma;
Yang Maha Suci, Maha Mutlak, dengan nama apa pun itu dapat disebut Diri
(Atman), Brahman, tak terkondisikan, transenden, kekal, sempurna, nirwana
dst.
4. Tata cara menghayati Yang maha Suci yang efektif untuk mencapai kebebasan
adalah yoga, sikap badan membentuk yoga yang sesuai.

Dalam kehidupan manusia, atman merupakan pusat yang memancarkan daya


kuasa, seperti halnya Brahman yang merupakan pusat jagad raya. Kebaradaan jagad
gedhe merupakan prasyarat keberadaan jagad cilik. Ke duanya berada dalam
hubungan dekat, tersusun dari unsur kosmis yang sama, teratur dengan hukum kosmis
yang sama. Maka ke duanya dapat dipertalikan melalui yoga. Apabila seseorang
mampu menghayati jalinan itu, artinya tercapainya pelepasan. Pelepasan hanya terjadi,
ketika seseorang berhasil menanggalkan belenggu kosmis, ketika seseorang terlepas
dari perputaran kosmis.

Agama Theosentrik
Penganut agama monotheisme mengkonsepsikan agama timbul bukan dari
angan-angan manusia melainkan agama ada lantaran intervensi makhluk alam
transenden kepada hati nurani manusia. Konsepsi ini dikenal sebagai agama
theosentrik, yang pada dasarnya menyatakan bahwa agama timbul dari kehendak
Tuhan, dan kalangan ini mengidentikkan diri sebagai agama monotheisme. Dalam
wacana akademik dikenal dua jenis monotheisme: monotheisme kuno dan
monotheisme wahyu.

Menurut Andrew Lang (1898) dan Wilhelm Schmidt (1912), theisme kuno
dapat dijumpai dalam masyarakat yang paling primitif, yang masih ada masa kini,
misalnya “suku pigmies di Afrika yang memiliki kepercayaan dan praktek keagamaan
asli berupa pemujaan kepada makhluk transenden tertinggi, sebagai bentuk
monotheisme asli” (tremmel, 1976: 23). Mircea Eliade juga menyatakan bahwa orang
paling primitif memiliki kepercayaan pada makhluk transenden tertinggi. Dari
pernyataan ini menunjukkan bahwa gagasan tentang Tuhan sebagai substansi tertinggi
adalah ide agama yang sudah tua dalam sejarah manusia. Berdasarkan asumsi teoritik
monotheisme kuno ini agaknya bukan dari intervensi Tuhan, melainkan hasil
20

kebiasaan perilaku ritus manusia, meskipun sebenarnya tidak ada fakta yang
menjelaskannya.
Tetapi ada pula yang mengira bahwa Tuhan adalah sebagai genesis agama,
bukan timbul dari gagasan manusia. Maka munculnya ide agama merupakan
penghayatan religius yang ditimpakan pada pikiran manusia, bersumber dari alam
transenden atau pemberian Tuhan melalui wahyu. Premis terakhir ini mendapatkan
dukungan dari kalangan penganut agama theosentrik.

Secara historis, kepercayaan kepada satu Tuhan adalah realitas yang


merupakan perkembangan dari politheisme, dimana kepercayaan kepada dewa
tertinggi muncul berkat adanya sistem monarkhi di alam kedewataan. Pemujaan
kepada dewa Matahari sebagai penguasa tunggal oleh raja Mesir, Ikhnaton,
merupakan bentuk monotheisme awal pada masa peradaban kuno (pertengan abad 14
SM).

Dalam himne penghormatannya kepada Aten, dewa Matahari, menyisihkan


dewa-dewa lain yang akibatnya kultus yang ditujukan kepada mereka perlahan-lahan
ditinggalkan. Atenlah satu-satunya Tuhan, sebagai Pencipta dan Pengatur dunia dan
kehidupan manusia. Matahari adalah sumber kehidupan di atas bumi. Engkau berada
jauh dalam surga, namun cahayamu bekerja di atas bumi. Aten sebagai dewa Matahari
tidak diidentikkan dengan realitas fisik Matahari, Aten dianggap sebagai pencipta
segala sesuatu termasuk Matahari. Sekalipun proses perubahan evolusinis dari tataran
agama politheisme menuju monotheisme masih bersifat teoritik spekulatif, namun
setidaknya itu mengisyaratkan bahwa monotheisme kuno bukan atas dasar wahyu
Tuhan.

Agama monotheisme baru timbul dari adanya wahyu yang diturunkan kepada
bangsa Yahudi tercantum dalam kitab Perjanjian Lama. Tuhan yang Mahatinggi sering
muncul dalam Kitab Suci yang digunakan dalam kalangan bangsa Semit untuk
menunjuk pada satu Tuhan dalam struktur politheisme yang disesuaikan dengan
bentuk monarkhi.

Justifikasi teori theosentris dikuatkan dengan filosofi Rene Descartes (1596 –


1650), yang menyusun argumen secara epistemologis, bahwa pengetahuan kita tentang
keberadaan Tuhan adalah bukan dari pikiran murni manusia, di mana gagasan tentang
Tuhan diletakkan dalam pikiran manusia oleh tangan yang tak tampak. Dengan
demikian, gagasan tentang Tuhan tidak mungkin dapat berada dalam pikiran manusia,
jika Tuhan tidak meletakkannya di sana. Descartes mengacu pada hukum axiomatis
Aristoteles, bahwa suatu sebab mesti punya dimensi realita, ada akibat tentu ada
penyebabnya. Yang ada tidak mungkin berasal dari sesuatu yang tiada.

Tuhanlah yang meletakkan gagasan tentangNya dalam pikiran manusia,


sehingga manusia mengenali suatu makhluk sempurna tiada batas, suatu substansi
abadi diluar sana, merdeka bertindak, maha tahu, maha kuasa. Dunia ciptaan tak ada
yang sempurna, termasuk manusia. Sehingga tak ada satupun di dunia mondial ini
yang sempurna, yang mampu meletakkan ide tentang Tuhan dalam pikiran manusia.
21

Manusia memang memiliki akal dan pikiran. Tetapi ide itu mestinya merupakan
akibat yang datang dari suatu penyebab yang sekurang-kurangnya sama atau lebih
besar dari pada akibatnya itu sendiri. Sehingga mestinya berasal dari Tuhan, yang
secara absolut sempurna. Maka keberadaan Tuhan dapat dibenarkan, dan pengetahuan
manusia tentang Tuhan bukan sesuatu yang ditemukan atau diciptakan dalam pikiran
manusia, atau ditemukan di dunia mondial, melainkan sebagai pemberian Tuhan.

Pemahaman peletak gagasan tentang Tuhan oleh tangan yang tak tampak
ditolak oleh Rudolph Otto. Jika agama benar-benar kehendak Tuhan, mestinya dapat
dibuktikan. Dalam pembuktiannya Otto, pertama menolak teori antroposentris. Ide
Tuhan bukan penemuan manusia, tetapi dikaruniakan kepada manusia, dan juga bukan
sekedar dijustifikasi secara filosofis rasional oleh Descartes. Agama sebagai genesis
Tuhan itu berada jauh diluar penalaran. Ide itu berupa feeling atau ilham, yang timbul
akibat dari rasa kekudusan mendalam yang meresap dan merasuk keseluruh tubuh
manusia, dan yang membangkitkan kesadaran tentang penciptaan manusia dan tentang
keberadaan suatu Kekudusan yang lain.

Jika manusia berkontemplasi, merenungkan keberadaan alam raya, terutama di


malam hari memandang ke angkasa, seolah-olah ada daya pesona darinya.
Pengalaman ini menimbulkan rasa hormat dan takjub sekaligus takut terhadap suatu
keajaiban yang meresapi rasa senang secara spiritual, di mana semua itu timbul ketika
manusia menghadapi misteri kekuasaan yang luar biasa, dan boleh jadi ini sampai
pada manusia bersumber dari luar sana. Pengalaman spiritual tentang alam transenden
ini oleh Otto disebut numinous, suatu keadaan angan-angan manusia tentang suatu
Kuasa Kekal di luar sana. Pengalaman alam numinous adalah rasa religius dalam diri
manusia tentang yang misterius, mentakjubkan, tapi juga menakutkan dan memikat
(mysterium, tremendum, dan fascinums). Agaknya konsepsi theosentrik ditangan
Rudolf Otto seolah menjadi bentuk pencerahan Tuhan terhadap diri manusia.

Agama theosentris kini terungkap dalam agama monotheisme dengan doktrin-


doktrin yang dipercayainya sebagai wahyu Tuhan, yang diturunkan kepada manusia
melalui nabi-nabi dan rasul di kalangan bangsa Semit. Manifestasi intervensi Tuhan
itu dipahami secara berbeda-beda diantara pemeluk agama monotheisme yang ada
sekarang.

Konsep Theologi dan Theosofi


Konsep theos berarti Tuhan, dan logos berarti pemikiran atau penalaran, maka
theologi adalah penalaran atau pemikiran tentang Tuhan. Secara lebih luas Theologi
berarti suatu cara yang digunakan untuk menjelaskan dan dengan nalar dari sudut
pandang agama tentang Kuasa Tertinggi yang mengendalikan takdir manusia dan
menentukan akhir hidup manusia. Sementara kata sofi berarti angan-angan tentang
kearifan atau kebijaksanaan, sehingga theossofi berarti berbicara tentang kearifan atau
kebijaksanaan Tuhan.
22

Kepercayaan pada Tuhan ada dalam banyak perwujudan yang berbeda-beda,


dan sudah dikenal baik pada agama monotheisme maupun agama dalam masyarakat
yang lebih sederhana. Monotheisme peradaban baru muncul ketika Tuhan Yahwe
mewahyukan dirinya kepada Bangsa Yahudi dibawah pimpinan Musa, bahwa Yahwe
adalah satu-satunya Tuhan Mahatinggi bagi Bangsa Yahudi. Adanya pewahyuan ini
menyebabkan dewa-dewa lain tenggelam dan terlupakan.

Dalam pertumbuhannya monotheisme mengalami juga proses perubahan


menjadi beberapa tipe:
1. Monotheisme afektif berarti bahwa dewa yang bersemayam di pusat, menjadi
orientasi pemujaan yaitu kepadaNya manusia berdoa, berkorban, serta
mengarahkan diri, dan ditempatkan sebagai satu-satunya Tuhan. Monotheisme
jenis ini adalah khas pada jaman Musa. Monotheisme tipe ini sering juga
disebut sebagai monotheisme profetis, hasil dari pengalaman afektif para nabi
dengan Tuhan, yang kemudian dinyatakan sebagai wahyu atau firman, sebagai
ujud dari intervensi Tuhan pada hidup manusia. Agaknya tipe ini yang
mendasari agama-agama Bangsa Semit, Yudaisme, Kristen da Islam.
2. Monotheisme filosofis adalah bayangan tentang Tuhan berdasarkan akal, di
mana pengalaman transendentalnya berbeda dengan pengalaman para nabi.
Maka monotheisme jenis ini termasuk ke dalam agama antroposentrik.

Dalam agama Yudaisme menekankan kesaksiannya akan kepercayaan bahwa


bertindak dan hidup menurut jalan utama Tuhan sebagaimana tercancum dalam kitab
Tara sudah cukup untuk menuju keselamatan. Sehingga dalam Yudaisme
menampilkan diri sebagai agama yang penuh dengan norma dan larangan-larangan
yang dapat menyerasikan tindakan manusia dengan kehendak Tuhan. Ajaran tentang
dosa yang diderita manusia secara bertingkat, harus dipulihkan melalui upacara
pertobatan dan penyesalan agar diterima Tuhan. Upacara tahun baru dan Hari
Pertobatan, seruan yang khas adalah tobat, doa, dan kebenaran untuk melawan
perintah jahat. Rasa berdosa yang mendalam, permohonan dan hidup yang penuh
penyesalan, cukup untuk memperoleh keselamatan.

Tampaknya tingkat religiusitas agama Yahudi ini terbatas hanya pada tingkat
religiusitas massa, karena Musa pun tidak mengalami peristiwa hidup yang
menunjukkan pengalaman religius virtuoso. Pengalaman penderitaan yang sulit hanya
terjadi pada saat peristiwa exodus. Namun perjalanan exodus dapat saja menghasilkan
pengalaman askese yang mendalam.

Basis theologi Kristen adalah ajaran Trinitas, bahwa keTuhanan terurai ke


dalam tiga personalitas, meski satu substansi: Tuhan Bapa, pencipta langit dan bumi,
Yesus Kristus sang putra, dan roch suci. Ajaran ini menyiratkan teori emanasi Tuhan
yang imanen di alam mondial. Itulah sebabnya ritus-ritus sakramen dilembagakan
dalam misa (ekaristi), yang membentuk replika Perjamuan Kamis Suci, sebelum
Yesus mengorbankan diri sebagai penebus dosa manusia. Bagi agama Kristen,
penebusan dosa diartikan sebagai pewahyuan tertinggi Tuhan, yang diwujudkan dalam
inkarnasi yang berimplikasi pada keselamatan manusia.
23

Ritual tahunan Gereja Kristen merupakan penghayatan kembali pertobatan


atau penyekutuan manusia dengan Tuhan melalui kelahiran, kehidupan, kematian dan
kebangkitan kembali kristus. Dalam agama Kristen agaknya juga mengajarkan tingkat
religiusitas massa maupun virtuoso. Namun pengajaran religiusitas yang terakhir itu
hanya diperuntukkan kalangan terbatas dalam biara dan tidak dikabarkan kepada
kalangan awam.

Theologi Islam tercantum dalam pilar keimanan, yang berisi:


1. percaya pada Allah sebagai pencipta jagad beserta isinya.
2. percaya pada adanya Malaikat.
3. percaya pada firman Allah yang disampaikan melalui utusan yang
dikodifikasikan menjadi Kitab Suci Al Quran,
4. percaya bahwa Muhammad adalah rosul Allah, sebagai nabi penutup,
5. percaya pada peradilan terakhir pada hari kiamat,
6. percaya pada takdir.

Islam adalah agama yang mendasarkan pada Firman yang tertuang dalam
Kitab Al Quran, yang disampaikan kepada Muhammad, yang dipercayai berasal dari
Allah. Jalan keselamatan bagi seorang Islam adalah mengikuti perintah Allah dan
teladan Rosul, serta mentaati hukum. Ritus keselamatan dalam Islam berpedoman
pada pilar keagamaan yang disebut rukun Islam: Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan
Haji. Monotheisme Islam hanya mempunyai arti dalam latar belakang politheisme
Arab sebelum Islam datang. Dalam Al Quran banyak kutipan yang memperlihatkan
Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan dibicarakan dalam bagian tersendiri, terpisah
dari semua bagian yang lain.

Suku-suku bangsa Arab praIslam memuja dewa-dewa seperti al-Uzza, manat,


atau Manah. Dalam kesempatan yang normal mereka lebih memuja dewa-dewa dari
pada Allah, dan yang terakhir ini dikelabuhi. Tetapi dalam kesempatan yang istimewa,
mereka kembali menyembah Allah. Pengalaman virtuoso pada tataran preparatori
dihayati Muhammad ketika ia mengasingkan diri di dalam gua Hira. Pengalaman
seperti ini agaknya bukan sebagai bertapa dalam arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai bentuk berpuasa, dan tampaknya direplikasi dalam ibadah berpuasa dalam
bulan Ramadhan. Perjalanan pilgrimage yang berperspektif simbolik adalah perjalanan
naik haji ke Mekah. Tetapi pilar rukun Islam ke lima ini di Indonesia dilunakkan
menjadi jika kuasa secara finansial.

Dalam Hinduisme, gagasan tentang Tuhan tunggal datang pelan-pelan.


Agaknya adanya kepercayaan henotheisme menyebabkan penyembahan kepada dewa
perorangan ini mengarah kepada pemujaan kepada dewa tertinggi yang ditempatkan
sebagai yang Maha Kuasa, dan sebagai pencipta. Dalam kitab Upanishad, Brahman
adalah Ada yang abadi, salah satu dari ajaran Trimurti, sekaligus sumber dari segenap
alam fenomenal; Dia adalah diri yang terdalam di dalam hakekat manusia. Ide tentang
Tuhan sebagai asal-usul, adalah penyangga dan bersemayam di alam semesta.
24

Dalam Svetasvatara Upanishad figur Tuhan yang personal, Rudra-Siva muncul


secara mencolok. Tuhan, Rudra-Siva adalah satu-satunya yang hadir dalam semua
sebab yang berlangsung dalam waktu dan dalam diri. Tuhan dipandang sebagai Tuan
dan Pencipta alam semesta, imanen dan transenden, yang mencintai kebenaran dan
membenci kejahatan serta mempunyai kualitas positif dan kepribadian yang khas.
Dialah permulaan dan akhir; dariNya semua hal menjadi dan kepadaNya mereka
kembali.
Tentu saja agama Hindu dan Buddha mengajarkan pengalaman religiusitas
virtuoso, namun ajaran hanya boleh dihayati ketika orang telah mencapai usia lanjut,
di mana orang telah selesai menempatkan keturunannya (anak-anak) dalam hidup
bermayarfakat secara mandiri.

Mitologi
Kata mitologi berakar dari kata muthos dan logos. Muthos berarti sesuatu yang
dikatakan atau cerita atau alur suatu drama yang melibatkan maklhuk manusia, alam
fauna, flora, alam fisik, dikaitkan dengan alam transendental/adimanusiawi. Logos
berarti pemikiran atau logika atau ilmu pengetahuan. Dalam konteks kajian mitologi
dapat berarti pengertian tentang studi maupun logika isi mitos. Mitos harus dibedakan
dengan legeda, dongeng dan fabel.

Legenda itu cerita yang bertalian dengan kepahlawanan manusia, hewan, boleh jadi
juga tumbuhan, dan kadang diyakini sebagai kenyataan sejarah. Dongeng adalah cerita
rekaan tentang manusia, hewan, tumbuhan, serta alam fisik yang fungsi utamanya
adalah sebagai hiburan dan pengantar tidur anak-anak, kadang dibumbuhi cerita ajaib
atau dunia hantu. Fabel adalah cerita palsu. Sementara itu mitos adalah suatu cerita
yang merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih tinggi, yang
menggambarkan realitas asali. Mitos hampir selalu bertalian dengan peristiwa
primordial, dan diaktualisasi ke masa kini dalam bentuk ritus. Cerita-cerita di atas, apa
pun bentuknya selalu berisi ajaran filosofis, atau tata moral, petuah dsb.

Mitos merupakan cerita yang disucikan bukan saja kerena obyek ceritanya
bertalian dengan alam transenden, tetapi karena penceritanya, penceritaannya,
waktunya, pendengarnya dan tempatnya dianggap mengandung daya gaib tertentu,
sehingga penceritaan mitos dianggap mengandung daya kesakralan, karena
menceritakan juga makhluk alam adikodrati seperti roh, makhluk halus, dewa, dan
juga Tuhan.

Mitos utama dalam suatu masyarakat umumnya berisi gambaran tentang awal
mulanya jagad raya. Siapa yang membuat permulaan jagad bergantung pada tingkat
perkembangan suatu kebudayaan dan masyarakatnya. Dalam masyarakat yang masih
‘primitif’ boleh jadi mereka itu adalah roh leluhur, atau makhluk gaib, atau sumber
hidup yang maha kuasa. Dalam masyarakat yang lebih maju, mereka itu adalah dewa-
dewa atau raja dewa dan pada agama theosentris adalah Tuhan. Pada agama
monotheisme awal mula jagad diceritakan dalam genesis, yaitu cerita tentang kerja
Tuhan pada saat menciptakan alam fisik beserta isinya. Di Jawa awal jagad merupakan
25

pendumadian dari sumber hidup, pada masyarakat yang percaya totemisme, mereka
itu adalah makhluk gaib, pada masyarakat trobriand mereka itu adalah roh leluhur.

Penceritaan mitos sering bertalian dengan pelaksanaan ritual tertentu, atau


prosesi ritus atau pentas drama itu sendiri dapat juga menyiratkan cerita mitos.
Sehingga audians dan waktu penceritaan mitos merupakan kalangan dan momen
tertentu, misalnya saat ritus inisiasi, artinya tak diceritakan sembarangan. Selain
sebagai pedoman ritus, mitos juga berpengaruh pada kehidupan sehari-hari secara
langsung, orang tak dapat melakukan sesuatu yang dilarang dan hanya boleh
melakukan yang dianjurkan, misalnya mitos Kanjeng Ratu Kidul, di Parangkusumo.

Selain itu mitos berisi juga tentang peristiwa-peristiwa tertentu yang kadang
menjadi keajaiban, yang tak pernah terjadi dalam hidup masyarakat keseharian. Tetapi
keajaiban itu suatu kenyataan yang normal dalam mitos dan tak normal dalam
keseharian. Cerita tentang awal jagad adalah sekedar permulaan adanya, sesudah itu
akan banyak cerita tentang peristiwa-peristiwa bertalian dengan alam dewata, alam
manusia, hewan tumbuhan dan lingkungan fisik. Cerita awal jaman mitos pada
masyarakat nelayan suku Bajo, misalnya, akan berbeda dengan petani Jawa, dan
berbeda dengan peramu sagu di Papua, bebeda dengan penggembala seperti suku-suku
di padang pasir Arab dan Afrika Utara.

Untuk memahami mitos, tak sekedar menceritakan kembali kisah-kisahnya,


tetapi juga harus memahami atau menghayati prosesi ritus. Ritus biasanya
mengandung makna-makna simbolik perulangan peristiwa primordial. Untuk
menghayati rasa yang ilahi, orang harus berpartisipasi secara simbolik dalam keadaan
asali makhluk itu, ketika peristiwa jaman mitos itu terjadi, atau ketika makhluk itu
diciptakan dan ditata oleh sang pencipta. Memahami mitos berarti mengetahui rahasia
atau menghayati misteri asal-muasal segala sesuatu.

Peran Mitos
Agama dan juga kepercayaan apa pun selalu mengekspresikan bagian
ajarannya dalam mitos. Mitos berperan sebagai pembenaran keberadaan manusia.
Sehingga mitos memiliki peran sebagai 1) panduan ritus, 2) sebagai pedoman etika
moral, 3) penggambaran konsepsi kosmologi, 4) bersama ritus sebagai pembentuk
keyakinan dan menebalkan ikatan sosial. Narasi cerita mitos secara hurufiah sering tak
berarti apa-apa, tetapi cerita itu merupakan kisah sejati mengenai kejadian-kejadian
yang membentuk jagad raya dengan isinya, termasuk manusia, dan membimbing
manusia kearah tindakan-tindakan etika moral terhadap sesamanya, dan bagaimana
manusia harus bersikap dan menjalin hubungan dengan yang mengawali hidup.
Dengan demikian, peran mitos dalam agama adalah memahami dasar kejadian awal
keberadaan masa lampau, untuk diulangi pada masa kini yang direalisasikan dalam
ritus, dalam rangka mengejar keselamatan spiriual.
Kisah tentang terjadinya jagad raya itu tentunya merupakan mitos mainstream
(baca babon), seperti cerita genesis, atau cerita tentang binatang totem yang mengasuh
anak manusia, atau cerita Manikmaya di Jawa. di samping itu ada kisah-kisah yang
merupakan percabangan dari kisah utama itu yang menjadi cerita carangan. Realitas
26

mitos sesungguhnya merupakan realitas transenden, artinya kejadian atau peristiwa


dalam mitos bukan terjadi di alam mondial kini, tetapi terjadi di alam transenden pada
masa primordial, yang masih dibayangkan dalam alam psikologis manusia untuk
diterapkan kembali dalam kehidupan keseharian lewat ritus dan etika moral. Menurut
Mircea Eliade, realitas mitos sebagai kenyataan yang suci, kesucian sebagai kenyataan
tertinggi, sebagai sesuatu yang berbeda dengan kenyataan biasa, sebagai kenyataan
sesungguhnya secara esensial, yang penuh dengan daya kuasa maha tinggi.

Jenis Mitos
Jenis mitos itu bertalian dengan agama dan kepercayaan tertentu. Dalam agama
theosentris, mitos dikisahkan dalam genesis, yang menceritakan peristiwa penciptaan
jagad raya. Alam semesta diciptakan Tuhan atau dewa lewat pemikiran atau sabda.
Dalam agama antroposentris, mitos mengisahkan pendumadian jagad semesta.
Adapun jenis-mitos dapat dikelompokkan dalam kategori-kategori sebagai
berikut:
1. Mitos pencipataan yang menceritakan terjadinya penciptaan alam semesta,
yang digambarkan sebelumnya tidak ada. Pencipataan alam jenis ini
dikisahkan melalui pemikiran, sabda, upaya dari dewa pencipta. Contohya
mitos genesis yang mengisahkan penciptaan alam dengan sabda.
2. Mitos kosmogonik yaitu penciptaan alam melalui proses kejadian kosmik yang
seolah-olah berlasung percampuran (perkawinan) unsur-unsur yang sudah ada.
Mitos kosmogonik ada pada kebudayaan bangsa-bangsa di dunia, maka
variasinya banyak beraneka ragam. Imlikasinya kisah-kisah terjadinya alam
juga berbeda-beda: ada yang melalui penyelaman utusan dewa, ada yang
melalui proses pembelahan zat-zat primordial, ada yang nelalui proses
penyembelihan korban manusia. Menurut penafsiran filosofis, refleksi realitas
itu, tampaknya bukan berawal dari keingintahuan secara rasional untuk
mengerti dan melukiskan kejadian sebab-sebab pertama, melainkan berasal
dari kebiasaan ritual yang dipraktekkan yang menggambarkan asal mula
adanya alam. dan ritus itu tetap diulang-ulang secara periodik, sehingga dapat
menimbulkan cerita dari proses ritus itu.
3. Mitos asal-usul yang mengisahkan awal mula segala sesuatu, seekor binatang
atau jenis tumbuhan tertentu. Mitos jenis ini sering menceritakan kemunculan
kehidupan baru menggantikan yang sudah ada sebelumnya. Cerita ini
menunjukkan gambaran bagaimana alam berubah menjadi baru yang lebih
sempurna. Maka ekspresi ritusnya diselenggarakan rutin dan periodik.
Misalnya dalam kepercayaan totemisme.
Dari mitos-mitos pokok ini mucul mitos beraneka ragam yang jumlahnya tak terhitung
yang merupakan percabangan dari mitos babon itu, seperti kasus mitos di Jawa ada
mitos genesis, ada mitos kosmogonik dan mitos-mitos lainnya yang merupakan cerita
carangan dari cerita utama di atas.

Teori Keselamatan (Salvation)


Keselamatan adalah tujuan akhir dari hidup manusia, yaitu untuk menjalin
komunikasi dan hasrat bersekutu dengan Tuhan. Dari ajaran agama-agama di dunia,
27

teori keselamatan (salvation) dikelompokkan menjadi dua bagian: keselamtan


kosmologis dan soteriologis .

Keselamatan Kosmologis
Dalam ajaran keselamatan kosmologis mendasarkan keyakinan yang mencoba
memahami sifat dasar kosmos dan dituangkan dalam mitos dan ritus. Dalam ke dua
hal itu menyimpan gambaran kosmologis yang mencerminkan gambaran simbolis
bagaimana segala sesuatu ada. Mitos memberikan gambaran naratif bagaimana proses
kosmogoni dan struktur kosmologi terbentuk. Ritus merealisasikan narasi mitos
menjadi tindakan religius untuk berkomunikasi dengan realitas transenden.

Perspektif keselamatan kosmologis meletakkan “perhatian kosmologis dari agama


memberi penekanan pada aspek keyakinan religiusnya yang mencoba memahami
karakter fundamental jagad raya dan diresapi dengan mitos dan ritus. Berbagai macam
gambaran dan simbol telah digunakan untuk membentuk lukisan kosmologi mengenai
bagaimana segala sesuatu berada/dumadi.

Dalam agama antroposentrik lebih menekankan bahwa genesis adalah sebagai proses
dumadinya struktur kosmologi. Jagad raya sebagai keseluruhan dikonsepsikan sebagai
makrokosmos, di mana Tuhan yang tak diberi sifat personalistik, dibayangkan
melingkupi (hangabeki) keseluruhannya. Sementara itu, manusia dikonsepsikan
sebagai mikrokosmos, bentuk miniatur atau replikasi maskrokosmos. Berdasarkan
hukum kosmis, apa pun yang ada dalam makrokosmos, ada pula dalam mikrokosmos.
Hukum yang berlaku bagi makrokosmos, berlaku pula bagi mikrokosmos. Menurut
Zoetmulder (1990: 58), atman adalah sebagai pusat yang memancarkan kemampuan
sebagai mana Brahman adalah pusat jagad raya. Makrokosmos mengkondisikan
bentuh dan hidupnya mikrokosmos.

Ritus dalam bentuk prosesi aktivitas maupun sajian persembahan merupakan upaya
manusia untuk berkomunikasi dengan alam transenden, terungkap dalam bentuk sandi
atau lambang, yang menyiratkan pencarian jalan keselamatan spiritual, serta hasil
sampingnya adalah keberuntungan duniawi dan sentimen kemasyarakatan.

Keselamatan dalam tataran spiritual adalah selamat dari kedumadian secara


kosmologis. Dengan kata lain berarti selamat dari kondisi-kondisi manusiawi yang
eksistensinya terbelenggu, situasi terjerat pada kesengsaraan kelahiran kembali, dan
semua kejahatan yang merupakan konsekuensi dari jenis eksistensi ini; keselamatan
dari penderitaan dan hasrat atau nafsu dari mana muncul semua kesengsaraan manusia
dan ketidak bahagiaan. Secara fundamental, keselamatan di sini berarti pembebasan,
pelepasan dari nafsu-nafsu serta hasrat manusiawi, yang semua itu bersumber dari
struktur kosmologi jasmani manusia.

Secara kosmologis, baik makrokosmos maupun mikrokosmos tersusun dari lima unsur
kosmis, yakni: tanah, air, api, angin dan swasono atau ether. Konsepsi struktur
kosmologi ini dalam terminologi Jawa dikenal sebagai sedulur papat limo pancer
(empat saudara, dan ke lima di pusat), yang membentuk badan jasmani manusia.
28

Masing-masing elemen kosmis dalam jasmani diresapi jiwa yang yang mendorong
nafsu-nafsu jasmaniah yang perlu dipenuhi demi kelangsungan hidup jasmani itu.

Ke lima nafsu jasmanaih itu adalah sbb:


1. Unsur tanah merepresentasikan nafsu aluamah atau lodra, yaitu nafsu
kerakusan, yang manifestasinya adalah suka makan banyak dan suka tidur,
tetapi segi positifnya adalah secara fisik tegap dan kukuh.
2. Unsur air merepresentasikan nafsu mutmainah atau nuraga, yaitu nafsu yang
mendorong hasrat ketenangan dan ketenteraman, tetapi dapat terseret ke sifat
negatif yaitu: murung.
3. Unsur api merepresentasikan nafsu amarah atau angkara, yaitu nafsu mudah
marah, kedengkian, kecemburuan dan keras kepala, tetapi berjiwa kukuh
dalam pendirian.
4. Unsus angin merepresentasikan nafsu supiah atau sukardo, yaitu cerminan
nafsu kemewahan dan dorongan birahi, tetapi bersifat awas, cermat dan teliti.
5. Unsur swasono atau ether merepresentasikan nasfu mulhimah atau nimpuno,
yaitu nafsu yang dijiwai kewaspadaan dan kearifan, tetapi bersifat suka bicara.

Jalan keselamatan perspektif kosmologis hanya dapat dicapai melalui cara


menanggalkan semua nafsu-nafsu jasmaniah, sehingga jiwa manusia (sinar Tuhan)
terlepas dari belenggu materi kosmis. Secara praktis, keselamatan tipe ini dilakukan
melalui ritus-ritus askese dan meditasi (semedi). Apabila kondisi itu dapat
diwujudkan, hasilnya adalah rasa ketenteraman dan kebahagiaan luar biasa, dan ini
adalah jalan menuju ke keselamatan kosmologis, dan dalam terminilogi Jawa
dinamakan manunggaling kawula lan Gusti.

Manunggaling Kawula Gusti


Ajaran Union-mistike didasari filosofi Teosofi. Manusia harus mengatasi
keterbelengguannya dengan cara menjadi tanpa terbatas. Ajaran ini berpegangan
bahwa manusia secara alamiah berpotensi dan mungkin bagi jiwanya menjadi indentik
dengan yang tanpa batas: Tuhan. Manusia dari dimensi kejiwaannya dapat mencapai
kondisi seperti kondisi Tuhan, dan dengan sendirinya menyatu kembali dengan dan
terserap pada Tuhan.
Artinya sifat dan kesadaran kemanusiaannya tidak ada lagi, lebur ke dalam
asal-usulnya. Jenis Union-mistike di Mesir ada pada 5 ribu tahun yang lalu, di mana
manusia berupaya menjadi Tuhan Osiris. Osiris itu adalah utusan (soter/savior) Tuhan.
Ia adalah manusia dewa yang dibunuh dan dibangkitkan kembali, dan sesudah itu
meninggalkan dunia manusia dan pergi ke alam kekal, ia menjadi hakim kematian dan
berkuasa memberkahi kekekalan. Manusia dapat menuju ke alam kekal, jika ia
memiliki kehidupan kini menjadi seperti Tuhan atau menjadi Osiris, melalui ritual.
Ajaran Hinduisme, keselamatan juga dipahami sebagai manunggaling kawula
Gusti. Ajaran ini menyatakan bahwa jiwa tidak memasuki alam kedewataan, sebab ia
sudah berada di alam itu. Yang berada di alam mondial adalah badan jasmani. Namun
manusia dalam kondisi kebodohan. Keyakinannya adalah Hidup Abadi ada dalam
makhluk-makhluk. Ajaran hidup utama Hinduisme kama, artha, dharma, karma, dan
29

moksha. Moksha berarti pelepasan menuju ke ketenangan, rasa aman dan


kebahagiaan. Manakala jiwa manusia tak terlepas dari siklus hidup artinya
terinkarnasi, berarti lahir kembali untuk mengalami samsara. dalam hidup samsara itu
manusia mengalami fase-fase hidup dan harus menghadapi kama, artha, ahamkara,
avidya, klesa, manas. Semua itu adalah bagian dari belenggu samsara. Upaya yang
dilakukan adalalah melepaskan diri dari hidup samsara melalui ritus-ritus pelepasan.
Bagi ajaran Kejawen, konsepsi pelepasan dari belenggu kemanusiaan mirip
dengan ajaran Hindu-Buddha di atas. Di Jawa belenggu kemanusiaan (setan pada
agama theosentrik) dipersonifikasikan dalam bentuk raksasa (Bethara Kala). Dalam
pentas wayang raksasa itu selalu menghadang perjalanan ksatria.

Keselamatan Soteriologis
Gambaran kekacauan, penindasan, dan keadaan penuh dosa menuju
kehancuran biasanya dipropagandakan yang mengawali munculnya seorang
penyelamat dengan menawarkan ajaran baru dengan janji-janji keselamatan bagi umat
manusia. Janji itu berupa pembebasan dari penindasan, penebusan dosa awal, maupun
perbaikan keadaan tata moral dan peniadaan kejahatan dalam masyarakat. Teori
keselamatan jenis ini diajarkan dalam agama-agama Theosentrik atau agama Samawi:
Yudaisme, Kristen dan Islam.

Tujuan manusia beragama secara emosional adalah untuk mencari jalan


keselamatan spiritual. Hal ini menjadi masalah kemanusiaan lantaran manusia
menghadapi masalah-masalah kehidupan, terjadinya peristiwa menghebohkan, kadang
mengerikan, mentakjubkan yang semua itu sering tak dapat dimanipulasi manusia
dengan upayanya. Untuk mencari keselamatan, agama-agama yang ada menyediakan
beberapa janji keselamatan, yaitu:
1. ada yang menjanjikan bahwa manusia harus memasrahkan dirinya kepada
masalah tragedi itu, dengan harapan ia memperoleh tempatnya.
2. bahwa semuanya akan berlangsung sesuai dengan yang baik saja di alam
sesudah kematian.
3. bahwa orang dapat menghindar dari pembatasan dengan cara menanggalkan
pembatasan itu dan menyatukan diri dengan Tuhan.
4. bahwa orang dapat membayangkan agama semu dengan mengembangkan
filosofi pengabaian.

Agama theosentrik menyandarkan pada janji yang pertama.

Agama Yudaisme senantiasa menekankan kesaksian akan kepercayaan dan


memberi perhatian mendalam untuk berharap dan bekerja demi kerajaan yang akan
segera datang, yakni dengan bertindak dan hidup menurut jalan utama Tuhan menuju
ke keselamatan. Tugas utama orang Yahudi adalah mendengarkan dan mentaati
kehendak Tuhan sebagaimana tercantum dalam hukum Kitab Tara. Sehingga dalam
Yudaisme menampilkan diri sebagai agama yang penuh dengan perumusan norma dan
larangan-larangan yang dapat menyerasikan tindakan manusia dengan kehendak
penciptaNya.
30

Ajaran tentang dosa yang diderita secara bertingkat-tingkat, harus dipulihkan


melalui ritual pertobatan dan penderitaan agar dapat diterima oleh Tuhan. Dalam
upacara Tahun Baru dan pada Hari Pertobatan, seruan yang khas adalah tobat, doa,
dan kebenaran untuk melawan perintah jahat. Perasaan berdosa yang mendalam,
permohonan dan khususnya hidup yang penuh penyesalan, cukup untuk memperoleh
keselamatan.

Bagi agama Kristen, penebusan dosa diartikan sebagai pewahyuan tertinggi dari
Tuhan, yang diwujudkan dalam inkarnasi yang beimplikasi pada keselamatan
manusia. Ritual tahunan gereja Kristen merupakan penghayatan kembali pertobatan
atau penyekutuan manusia dengan Tuhan melalui kelahiran, kehidupan, kematian dan
kebangkitan kembali Kristus. Basis theologi Kristen tercantum dalam ajaran Trinitas
bahwa Ketuhanan terurai ke dalam tiga personalitas, meski satu substansi: Tuhan
Bapa, pencipta langit dan bumi. Yesus Kristus sang Putra Tuhan, dan roch suci yang
dapat menyatukan umat dengan Tuhan. Ajaran theologi ini menyiratkan teori emanasi
Tuhan yang imanen di alam mondial. Itulah sebabnya ritus sakramen dilembagakan
dalam misa eukaristi, yang merupakan replikasi Perjamuan Kamis Suci.

Perjamuan Kamis Suci adalah pola dasar dan dibakukan menjadi ritus eukaristi
dalam gereja Kristen Katholik. Dalam misa, bagian awal adalah berdoa dan membaca
ayat-ayat. Bagian utama misa dimulai dari sajian roti dan anggur, pentakbisan, dan
perjamuan suci. Dalam pentakbisan, pendeta mengambil peranan Yesus dan
mengulangi tindakan ritual yang terjadi seperti ketika Perjamuan Kamis Suci sedang
terjadi, termasuk ungkapan kata-kata Yesus yang menyatakan bahwa roti adalah
kebenaran jasmani Kristus, dan anggur adalah kebenaran darah Kristus.
Penggambaran prosesi ritus ini menjadi jelas sebagai pencarian jalan keselamatan
spiritual secara soteriologis, bahwa hanya dengan ritus eukaristi, jamaah Kristen dapat
berpartisipasi sebagai gembala Kristus menuju ke kerajaan Tuhan.

Bagi ajaran Islam, keselamatan dicapai melalui ketaatan mengikuti perintah-


perintah Allah yang tercantum dalam Kitab Suci Al’Qur’an, serta patuh mengikuti
tauladan Nabi Muhammad yang tercantum dalam Kitab Hadits. Ajaran genesisnya
menyatakan meski Adam dan Hawa menyerah kepada cobaan Setan, berdosa dengan
makan buah larangan, dengan akibat mereka terusir dari Taman Firdaus, namun dosa
mereka tidak mengenai umat manusia sesudahnya.

Theologi Islam tercantum dalam pilar keimanan yang berisi enam dalil: percaya
pada Allah sebagai pencipta, pada adanya takdir, pada firman Allah, bahwa
Muhammad adalah rosul Allah, pada peradilan terakhir pada hari kiamat, dan pada
takdir. Jalan keselamatan bagi seorang penganut Islam adalah mengikuti perintah-
perintah Tuhan dan tauladan nabi serta mentaati hukum berdasarkan pilar keimanan di
atas. Ritus keselamatan Islam perpedoman pada pilar agama atau rukun Islam yang
terdiri dari lima jenis ritus.

Dengan prinsip ketaatan dan kepasrahan itu dan berpedoman pada pilar keimanan
dan syariah, maka Islam adalah agama legalistik dan ritualistik, yang menempatkan
31

tekanan besar pada ketaatan pada hukum-hukum agama yang ditunjukkan dalam kitab
sucinya, sebagai jalan pencarian keselamatan.

Pasrah
Kepasrahan itu dilandasi apa pun yang terjadi itu adalah kehendah Tuhan. Tak
seorang pun di dunia ini yang mengetahui kehendak Tuhan yang sebenarnya. Manusia
mampu berupaya (wiradad) dengan menghidari bencana, tapi Tuhan yang
menentukan. Jika upaya yang dilakukan hasilnya sia-sia, maka yang dapat dilakukan
hanyalah pasrah, biarkan kehendak Tuhan terjadi, dan apa pun yang terjadi, barangkali
itu merupakan bagian yang berarti dari rencana Tuhan yang belum dimengerti. Maka
manusia wajib mengikuti kehendak Tuhan itu melalui ajaran-ajaran yang sampai pada
dunia mondial lewat saviornya (utusan). Cerita tentang pangeran penggembala: Job
adalah ilustrasi kehendak Tuhan..

Alam Kematian itu Baik


Kebaikan sesudah kematian itu terjawab dalam ajaran teologi reinkarnasi, yang
bersumber dari agama dari timur (Hindu-Buddha). Sesungguhnya ajaran reinkarnasi
ada juga pada agama di Barat, hanya saja Kristen tidak mengajarkannya dengan
eksplisit. Ada teori sederhana tentang reinkarnasi di pulau Kiriwina, Kepulauan
Trobriand, dideskripsikan oleh Malinowski. Reinkarnasi pada suku Mailu itu tentu ada
perbedaan konsepsinya, tetapi pada intinya adalah adanya siklus hidup, dari alam
mondial melalui kematian, di mana roh meninggalkan badan jasmani menuju alam
roh. Alam roh digambarkan kehidupannya seperti juga di masyarakat manusia, hanya
saja roh hidup lebih nyaman, dan dapat mengunjungi kerabatnya di dunia mondial,
terutama pada pesta adat. Kesempatan itulah roh-roh itu merobah diri mereka menjadi
embrio dan masuk ke rahim perempuan.

Hidup Sesudah Mati dan Kebangkitan


Hidup sesudah mati dan konsep kebangkitan adalah dua hal yang berbeda.
Konsep Platonik berpendapat bahwa jiwa adalah tanpa awal secara alamiah dan tak
dapat rusak dan takdir nya adalah jiwa harus melepaskan dari perangkap jasmani.
Sementara Judais-Kristen berpendapat bahwa jiwa adalah ciptaan Tuhan dan dapat
dihancurkan oleh Tuhan, dan takdir yang pantas adalah disatukan kembali dengan
jasmani (resurrection). Ajaran kebangkitan kembali dalam Yudaisme dan Kristen
agaknya juga bersumber dari Mesir kuno tentang kebangkitan Dewa Osiris.
Pada waktu kini ajaran baru muncul antara lain apokalipse di budaya Yahudi
berdasar Perjanjian Lama, dan ajaran wahyu dalam Perjanjian Baru. Martin Rist
menyatakan bahwa:
Apokaliptisisme adalah kepercayaan bahwa kehadiran evil dan kerusakan
dunia, yang kini dibawah kendali Setan, akan berakhir segera dan dihancurkan,
bersamaan dengan Setan, dan sifat raksasanya dan agen kamanusiaannya, oleh
campur tangan Tuhan; sesudah itu yang akan membangunkan jaman baru yang
sempurna dan dunia baru yang sempurna, ke duanya di bawah kendalinya, di
mana kebahagian di kalangan yang hidup dan kebangkitan dari mati akan
32

menikmati berkah, kebahagiaan ada tanpa akhir. Ajaran ini mirip dengan
gerakan Ratu Adil di Jawa, Koreri atau cargo cult di Papua. Semua ini masuk
dalam kategori gerakan Mesianisme atau Melleniarium.

Kemudian dalam Judaisme dan Kristianitas akhir waktu akan melibatkan:


1. suatu kebangkitan semua kematian.
2. ada suatu pengadilan universal,
3. penghancuran atau hukuman bagi semua yang jahat.
4. berkah, dan keberadaan kekal bagi yang benar.

Beberapa bagian dari ajaran di atas diadopsi Islam menjadi ajaran hari Kiamat.

Ritual
Agama mana pun, baik antroposentris maupun theosentris mengkonsepsikan
dunianya menjadi pengetahuan kosmologi, artinya pemikiran atau pengetahuan
tentang alam jagad raya. Alam terdiri dari alam fisik dan metamfisik, di mana alam
metamfisik dikonsepsikan dipenuhi dengan daya-daya yang berada di luar kontrol
manusia, tetapi justru sebaliknya daya-daya metamfisik itu yang mengendalikan
kehidupan dan takdir manusia. Untuk bersahabat dengan daya transenden itu manusia
mulai menentukan sikap melalui cara rekonsiliasi atau pun mendomistifikasi melalui
tindakan ritual.
Ritual adalah agama dalam tindakan, berupa drama penghidupan kembali
peristiwa jaman mitis, yaitu anggapan kebenaran tentang awal segala sesuatu. Ritual
merupakan pengulangan peristiwa, ketika Tuhan menjadikan atau mendumadikan
alam beserta isinya, yang dinarasikan menjadi mitos, seperti genesis. Ritus seperti
misa dalam katholik, drama exodus passover pada orang Yahudi, semadi yoga pada
orang Hindu-Buddha dan Jawa menjadi potret lukisan penghidupan kembali jaman
mitis itu.
Ritus keagamaan merupakan sikap penghormatan kepada Daya Hidup Asali,
disampaikan dengan tingkah laku tertentu dengan ungkapan nurani melalui doa atau
mantra, sebagai pertanda pengakuan terhadap yang Maha Suci itu. Dalam kontek itu,
apa pun jika bertalian dengan yang sakral dengan sendirinya dianggap berkondisi
sakral pula, seperti manusia, tempat, benda, waktu, dan prosesi ritusnya, sehingga tak
satu orang pun yang mau atau berani berlaku sembarangan dengan kondisi itu.
Ritus dapat dikerjakan dalam bentuk berjamaah atau pun perorangan. Tujuan
religiusnya boleh jadi sama, tetapi ritus perorangan malahan bisa lebih tinggi
intensitas khusuknya, tetapi implikasi sosialnya minimum. Sebaliknya ritus berjamaah
kemungkinan sekali intensitas religiusnya boleh jadi minimum, namun implikasi
sentimen sosialnya tinggi. Pada masyarakat primitif ritus hampir selalu dilakukan
secara berjamaah, yang meliputi ritus keagamaan dan ritus magis. Ritus baik religius
maupun magis mengandung tujuan permohonan keselamatan duniawi dan pencarian
jalan keselamatan transendensi (salvation).
Ritual hampir selalu bertalian dengan mitos, atau prosesi ritual berdasarkan
cerita dalam mitos, ke duanya merupakan bagian dari ajaran agama. Yang mana yang
lebih dahulu layaknya teka-teki telur dengan anak ayam. Namun spekulasi saya
mengatakan bahwa perilaku ritus dikerjakan terlebih dahulu, yang telah berlangsung
33

bertahun-tahun, bahkan ribuan tahun, baru kemudian cerita mitisnya muncul. Ke


duanya, baik mitos maupun ritual berdimensi simbolik, sebagai perwujudan makna
religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius manusia. Bahkan
pengalaman religius terhadap yang numinous pun diungkapkan dalam bentuk simbol.
Wujud simbol memang bersifat empiris, berasal dari dan berada di alam mondial,
tetapi ketika benda itu dikaitkan dengan Yang Maha Suci, maka wujud simbol itu juga
menjadi sakral, dan disikapi dengan tindakan sakral pula. Sehingga simbol-simbol ini
digunakan untuk memberi kemungkinan suatu perpanjangan dari penampakan yang
ilahi.

Sifat Ritual
Dalam antropologi pengertian ritual itu amat luas dikonsepsikan, meliputi adat
kebiasaan sehari-hari, baik kebiasaan mundane maupun kebiasaan bernilai keramat.
Keragaman sifat ritual itu dapat dipilah menjadi tiga jenis: 1) ritus sekuler, atau
seremoni, 2) ritus semi religius, yaitu seremoni yang sifatnya sekuler, diberi sifat
sakral dengan ritus agama, 3) ritus agama. Penyelenggaraan ritual, apa pun sifatnya
selalu bertalian dengan deklarasi peralihan status, dari yang rendah menuju yang lebih
tinggi.
Seremoni adalah ritual sekuler tanpa nilai religius. Fungsi utama seremoni
adalah bersifat sosial-politik-ekonomi dan budaya. Sekalipun dalam seremoni sering
ada upacara sumpah, atau mengheningkan cipta, tapi itu bukan bentuk sakralisasi
seremoni itu, misalnya upacara wisuda sarjana, peringatan kemerdekaan, penobatan
raja, pelantikan pejabat dan serah terima jabatan. Tujuan seremoni lebih bersifat
menghadirkan kembali semangat kerja sama dan jiwa kebersamaan dalam kerukunan
bermasyarakat seperti tujuan yang telah dicanangkan pada masa lalu.
Upacara semi keagamaan itu pada dasarnya merupakan seremoni sekuler,
tetapi disakralisasikan dengan ritus keagamaan yang bertalian dengan konsep
kosmologi dan kosmogoni. Sekalipun ritual ini vital secara sosial, dan dilandasi
keyakinan dan penghormatan kepada daya transenden agar melimpahkan berkah dan
keselamatan. Sifat dan tujuan seremoni ini bertalian dengan kehidupan keseharian,
seperti bertani, berladang, berburu, meramu, mencari ikan dilaut lepas, berdagang,
peringatan daur hidup, tahun baru, bersih desa, peringatan hari kelahiran, bernadar dll.
Ritus keagamaan adalah tindakan pemujaan, penyerahan diri dan berkorban.
Tujuan utama ritus ini adalah semata penghormatan kepada daya transenden, dalam
berbagai bentuk sikap kepada agen supranatural agar diterima menjadi bagian dalam
persekutuan. Sekalipun begitu ritus ini juga ada implikasi sosial-politik-ekonomi dan
budaya, terutama yang bertalian dengan ritus berjamaah. Contoh ritus agama adalah
persembahyangan di tempat ibadah, atau tempat lain yang disucikan.

Unsur-Unsur Ritus
Ritual apa pun sifat dan tujuannya selalu berbentuk drama, yang meliputi
berbagai tindakan, narasi dan benda-benda upacara. Unsur-unsur dalam setiap upacara
meliputi:
34

1. Tempat yang disucikan adalah pada dasarnya bersifat sekuler, tetapi lantaran
digunakan untuk keperluan ritus agama, maka tempat itu dengan sendirinya
terkait dengan alam transenden. Perwujudannya adalah konstruksi struktur
ruang.
2. Waktu yang disucikan adalah saat tertentu yang dianggap bernilai sakral,
misalnya saat peralihan dari malam menjadi siang, saat tengah hari, peralihan
dari siang menjadi malam, tengah malam, dan juga waktu-waktu lain menurut
perhitungan tertentu. Hari Minggu (Kristen), Jumat (Islam), Selasa dan Jumat
Kliwon bagi orang Jawa..
3. Obyek suci adalah benda yang disucikan yang menjadi pusat orientasi
pemujaan, yang umum berbentuk simbol tertentu.
4. Pantisipan dan pemandu uparana adalah pelaku-pelaku drama ritual, yang
berpartisipasi dalam komunita ritual yang sering bersifat egaliter dan tak
terstruktur. Peneliti ikut menghayati sebagai partisipan dan mengidentifikasi
siapa saja yang terlibat dalam seting dan peran yang mereka mainkan.
5. Prosesi adalah proses berjalanannya ritus, sikap dan tindakan para partisipan
dan pemandu ritus, peneliti juga harus ikut menghayati prosesi itu dari awal
sampai akhir, dan dengan cermat mengamatinya dan mendengarkan wacana
yang terjadi.
6. Doa atau mantra yang dibacakan dalam ritus. Apabila memungkinkan peneliti
mentranskrip doa itu, melalui rekaman audio. Jika rekaman hasilnya kurang
jelas, jika memungkinkan dapat menanyakan kepada mereka yang
membacakan doa itu, sekaligus menanyakan maknanya.
7. Sesaji atau persembahan yang diberikan kepada target ritus. Peneliti harus
mengabadikan selengkapnya sesaji atau persembahan itu dengan foto tustel
atau video kamera. Pengambilan gambar oleh peneliti tergantung pada tingkat
partisipasinya dalam seting ritus. Jika peneliti berpartisipasi penuh maka ia
tidak ada kesempatan untuk mengambil gambar, maka tugas itu dapat
digantikan oleh orang lain atas arahan peneliti.
8. Mitos merupakan panduan dilakukannya ritus. peneliti perlu mentranskripsi
mitos yang masih ada, baik secara lesan maupun dokumen tertulis.
35

Makna Ritual
Ritual merupakan ungkapan yang bersifat simbolik logis, disamping itu
bernakna kultural-religius, sosial, dan psikologis. Simbol-simbol dalam ritual
mengungkapkan perasaan religius emosional, ideologi, dan sentimen sosial.
Pengobyekan simbol yang dikeramatkan berperan penting untuk menjamin kelanjutan
dan kebersamaan sosial dan kelompok keagamaan.
Ritual juga dipakai untuk menetapkan keseimbangan baru ketika terjadi
perubahan-perubahan dalam masyarakat, agar penyatuan kembali dapat diwujudkan.
Tema ini amat kentara dalam ritus-ritus yang diselenggarakan bertalian dengan
peralihan daur hidup. Dalam perjalanan hidup manusia, fisiologinya mengalami
pertumbuhan seiring bertambahnya usia, sehingga fungsi-fungsi organ juga
mengalami perkembangan perannya. Perkembangan fungsi fisiologis itu berimplikasi
keseimbangan sosial yang memerlukan pemecahan pemulihannya. Menurut van
Gennep, ritual berhubungan dengan perpindahan orang dan kelompok dalam wilayah
serta peralihan status sosial itu.
Perubahan dalam hubungan sosial melibatkan juga perpindahan antar
kelompok, atau perubahan status sosial individu yang berimplikasi pada kondisi
religio-magis kelompok atau orang tersebut, yang dipercayai dapat mengganggu
keseimbangan sosial. Maka suatu ritus diperlukan untuk itu agar kemungkinan terjadi
krisis dapat dihindari. Ritus ini sering juga disebut sebagai ritus peralihan status
sepanjang hidup seseorang. Dalam setiap ritus dapat dipilah menjadi tiga tahap:
36

1. tahap perpisahan atau preliminal, di mana individu yang diupacarai dipisahkan


secara ritual dari kehidupan normal.
2. tahap peralihan atau liminal, yaitu secara konseptual induvidu berada dalam
sebuah lorong atau pintu gerbang, atau boundary, di mana ia diposisikan dalam
kondisi sakral dan rentan terhadap ancaman metafisik, serta harus dibersihkan
dari kondisi masa lalu dan dibekali dengan pengetahuan untuk menjalani hidup
dalam status barunya.
3. tahap penggabungan atau kongregasi, di mana individu itu secara resmi
dikukuhkan dalam status barunya, yang biasanya ditandai dengan berkumpul
bersama serta pesta makan bersama di akhir ritus itu.
Semua ritus, baik religius, magis, konstitutif, maupun faktitif berprosesi berdasarkan
tiga perspektif seperti di atas itu, baik dalam agama antroposentrik maupun
theosentrik. Selain ritus peralihan seperti di atas, masih ada jenis ritus yang lain,
bersifat intensifikasi, seperti perayaan Tahun Baru, bersih desa, nadar, ritus dalam
perburuan dan pertanian, yang melambangkan pembaruan dan kesuburan. Apapun
jenis ritusnya, sebenarnya prinsip peralihan dan perubahan status tetap ada.

Fungsi Ritual
Analisis kaum Fungsionalis Barat tertalu menekankan ritus dalam konteks
sosiologis, yaitu peran ritus itu dalam fungsinya memadukan masyarakat. Agaknya
implikasi sosial aktivitas ritus itu hanyalah merupakan epipenomenon, akibat logis
dari perjumpaan kolektif secara periodik, terutama ritus yang penyelenggaraannya
mengumpulkan banyak orang.
Masyarakat itu meyakini bahwa perpecahan, pelanggaran adat dan
penyimpangan akan berakibat malapetaka yang menimpa warga masyarakat. Hal
seperti itu sering dipandang sebagai hukuman dari daya gaib dan agen adi-manusiawi.
Maka, untuk menghilangkan petaka yang menimpa perlu diadakan ritus pengampunan,
agar keseimbangan dipulihkan. Ritual sering juga dipandang sebagai pemecahan dari
situasi pertentangan kelompok. Bahkan menurut Mark Gluckman, ritual dipakai untuk
menutupi pertentangan kelompok itu.
Ritus apapun jenisnya secara eksplisit dinyatakan bertujuan tertentu, yang
secara umum sebagai upaya manusia menjalin komunikasi dengan alam transenden,
apa pun yang ada di sana. Tentu saja jalinan komunikasi itu dibedakan berdasarkan
agen yang dihubungi dan terget yang ingin dicapai. Maka atas dasar target itu, fungsi
ritus dapat dikelompokkan menjadi empat kategori:

1. Ritus pemujaan atau upacara religius berupa tindakan kultus kepada leluhur,
dewa-dewa, Tuhan atau roh halus penunggu tempat keramat.
2. Ritus magis, suatu tindakan ritual di mana orang berupaya berkomunikasi
dengan daya gaib, untuk dimanfaatkan agar mencapai tujuan tertentu, baik
tujuan yang bersifat kebajikan atau pun kebatilan. Semua itu semata
berdasarkan keinginan manusia itu sendiri. Ritus magis biasanya menggunakan
media tertentu yang bersifat homeophatik atau kontagius.
3. Ritus konstitutif yang mengungkapkan dan merubah status hubungan sosial,
yang disakralisasikan melalui jalinan dengan agen-agen supranatural, apakah
itu roh halus, leluhur, dewa, dan Tuhan, agar melindungi keselamatan
37

hubungan-hubungan sosial itu, seperti halnya pada upacara peralihan daur


hidup. Perubahan status sosial seusai ritus peralihan, maka hubungan-
hubungan sosial juga akan mengalami perubahan peran.
4. Ritus faktitif yang pada dasarnya bertalian dengan konsepsi kosmogoni, yang
melambangkan kesuburan untuk meningkatkan produksi demi kesejahteraan
materi. Dalam hal ini ritus ini meliputi seperti bersih desa, upacara slametan di
Jawa, Garebeg di Kraton.

Ritus Religius
Ritus religius dapat ditemukan dalam masyarakat tribal, tradisional, maupun
masyarakat modern. Maka ritus ini dilakukan dalam agama antroposentris maupun dan
terutama pada agama theosentris. Sekalipun semua ritus itu bertujuan mencari jalan
keselamatan, tetapi ritus religius itu bertujuan khusus, yakni mencari jalan
keselamatan (salvation) secara spiritual. Sementara yang lainnya adalah ritus
pencarian jalan keselamatan jasmaniah.
Pada masyarakat tribal, ritus religius umumnya berupa perhormatan kepada
roh leluhur mereka. Seperti pada masyarakat Tikopia yang dideskripsikan oleh
Raymond Firth, bahwa upacara religius merupakan sarana untuk mempetahankan
kontak dengan roh-roh yang berkuasa dan membuat mereka menaruh perhatian yang
menguntungkan bagi orang Tikopia, agar roh leluhur itu mengaruniakan makanan,
kesejahteraan dan kesehatan. Hubungan dengan dunia roh amat perlu dipertahankan,
dengan mempersembahkan hadiah-hadiah dan bersikap merendah.
Pada masyarakat semi modern, ritus penghormatan kepada roh leluhur belum
juga hilang, seiring majunya masyarakat, dan bertambahnya jumlah ritus pemujaan,
baik kepada dewa-dewa, serta raja dewa, bahkan kepada Tuhan yang tunggal.
Masyarakat di Cina, Jepang, India, Jawa, dan banyak masyarakat yang lain
mencerminkan pemujaan-pemujaan semua ini. Kasus Jawa sebagai contoh, ritus
religius meliputi dari penghormatan kepada roh leluhur, kepada dewa-dewa, kultus
kepada Tuhan, sampai upaya menyatukan diri dengan Yang Tunggal.
Ritus religius mengandung emosi terhadap sesuatu yang lain yang tiada batas.
Pengahayatan terhadap yang tiada batas ini seolah-olah manusia dapat membayangkan
alam numinus. Emosi keagamaan ini merupakan suatu pengalaman religius yang amat
menarik, mempesona, mentakjubkan, sekaligus menakutkan, dan menyerahkan diri
kepada alam numinus itu agar memberikan perlindungan dan membebaskan dari
perasaan takut itu.
Menurut Mircea Eliade, ritual mengakibatkan perubahan ontologis pada
manusia dan mentransformasikan ke dalam situasi yang baru, yang berbeda dengan
sebelumnya, misalnya: dengan ritus religius menempatkan orang pada kondisi kudus
yang lebih dari pada sebelumnya. Itulah sebabnya ritus religius selalu berteladan pada
mitos peristiwa promordial, yang dipersepsikan suci.

Ritual Konstitutif atau Peralihan Berdasar Adat


Ritual ini dilakukan berdasarkan ketentuan adat, dan umumnya berlaku pada
upacara peralihan sepanjang daur hidup manusia dari bayi masih dalam kandungan,
sampai orang tersebut meninggal dan sesudahnya. Ritus ini sering pula disebut sebagai
38

ritus krisis, lantaran menjelang masa peralihan tahap-tahap usia berdasar ketentuan
adat, tiap orang berada dalam kondisi krisis, suatu kondisi tak menentu, penuh dengan
bahaya dan gangguan. Tahap usia ini tentu bertalian dengan perubahan fisik dan boleh
jadi juga secara psikologis. Gangguan itu terutapa diyakini bersuber dari alam
metafisik yang tak mudah dideteksi manusia secara nalar. Maka diperlukan ritus semi
religius, dengan memberikan persembahan-persembahan sebagai sogokan, agar alam
metafisik dapat ditenangkan atau dijinakkan.

Ritual Faktitif
Ritus ini bertalian dengan konsepsi kosmogoni atau ritus peringantan pada
suatu kejadian istimewa. Tujuan dari ritus ini terutama adalah kesejahteraan dan
keselamatan manusia secara sekuler dalam hidup bermasyarakat. Perubahan yang
ingin direalisasikan adalah tanah menjadi lebih subur dan panen menjadi lebih
melimpah demi kesejahteraan semua orang; juga agar masyarakat mengalami keadaan
yang damai, tenteram bebas dari bencana apapun.

Anda mungkin juga menyukai