dan Kontinuitas
Ahmad Najib Burhani ISEAS - Yusof Ishak Institute, Singapura; LIPI - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia |
najib27@yahoo.com Abstrak: Dengan Keputusan Presiden tentang Hari Santri NasionalHari Santri
Nasional () pada tahun 2015, debat tentang trikotomi Clifford Geertz tentang santri-priyayi-abangan
muncul kembali di masyarakat Indonesia. Artikel ini, pertama, bermaksud melukiskan makna trikotomi.
Kedua, ini merangkum tiga kritik utama trikotomi, yaitu: 1) priyayi lebih tepat dimasukkan dalam kategori
kelas sosial, bukan kategori agama; 2) sebagai identitas sosial, abangan bukanlah istilah yang secara
umum diterima oleh orang-orang dalam kategori itu; 3) kategori ini tidak kaku dan, dalam hal religiusitas,
sebagian besar orang Jawa sebenarnya berada di wilayah abu-abu antara santri dan abangan. Artikel ini
kemudian menunjukkan bahwa meskipun trikotomi telah menuai kritik dari para sarjana, itu telah diterima
sebagai kategorisasi standar masyarakat Indonesia. Penerapan trikotomi ini tidak terbatas pada studi
agama atau antropologi, tetapi telah digunakan dalam studi sejarah, politik, ekonomi, dan militer.
Tantangan baru dari konsep ini, yaitu masuknya kelas sosial atau perspektif Marxis dalam mempelajari
Jawa dan perbedaan santri di masa kontemporer, yang berkontribusi pada kemunculan kembali trikotomi
dengan spektrum baru adalah fokus terakhir dari artikel ini. Kata kunci: Clifford Geertz, santri, priyayi,
abangan, Jawa, Hari Santri Nasional, santri baru.
Pendahuluan
Konsep abangan, santri, dan priyayi adalah tiga istilah paling populer untuk menggambarkan
dan mengklasifikasikan orang Indonesia pada abad kedua puluh dan dua puluh satu. Biasanya
dikaitkan dengan Clifford Geertz,
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi ini
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017
DOI: 10.15642 / JIIS.2017.11.2.329-350
329
330 konsep tidak hanya digunakan dalam wacana tentang agama dan budaya, tetapi juga dalam topik lain seperti ekonomi dan
politik. Beberapa sarjana berpendapat bahwa relevansi trikotomi ini, khususnya dalam politik,
secara bertahap berkurang atau setidaknya menurun. Lebih jauh lagi, dikotomi antara santri 1
dan abangan semakin lemah dari waktu ke waktu. Namun, dengan Keputusan Presiden No. 22
tahun 2015 tentang Hari Santri NasionalHari Santri Nasional () dan munculnya "santri baru" -
tidak lulus dari sistem pendidikan tradisional - debat tentang trikotomi menemukan relevansi
baru dan beberapa orang bahkan beranggapan bahwa dekrit ini santri mengadudengan
dombaabangan dan akan merangsang dikotomi lama. Keputusan presiden tentang Hari Santri 2
pada tahun 2015 tampaknya merupakan pengakuan lebih lanjut tentang dampak studi Geertz
dalam konstruksi dan rekayasa masyarakat.
Oleh karena itu, artikel ini bermaksud untuk melukiskan makna trikotomi dan merangkum tiga
kritik utama trikotomi. Artikel ini kemudian berpendapat bahwa meskipun trikotomi dianggap
oleh beberapa sarjana lemah secara akademis, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa kritik,
itu telah diterima sebagai kategorisasi standar masyarakat Indonesia. Bagian terakhir dari
artikel ini mencoba membahas munculnya "santri baru" dan hari Santri Nasional dalam konteks
trikotomi lama Geertz. Ini menggambarkan perbedaan santri kontemporer, menyimpang dari
kategori dan karakter yang dibuat oleh Geertz pada 1960-an.
Konsepsi Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi
Secara historis, konsep abangan, santri, dan priyayi tidak populer dalam historiografi Jawa,
muncul dalam sumber Jawa maupun catatan Eropa hingga tahun 1850-an. Sebagai bentuk 3
sosial
1 Lihat Anies R. Baswedan, “Islam Politik di Indonesia:Sekarang dan Masa Depan Lintasan,” Survei Asia, 44: 5 (2004): hlm. 669-690 dan Sunny
Tanuwidjaja, “Islam Politik dan partai Islam di Indonesia: Menilai secara kritis bukti kemunduran politik Islam, ”
Kontemporer Asia Tenggara, 32: 1 (2010): hlm. 29–49. 2 Lihat Ahmad Fikri, “Muhammadiyah Tolak Hari Santri Nasional,” Tempo, Kamis, (15 Oktober
2015), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/15 / 078709737 /
muhammadiyah-tolak-hari-santri-nasional dan Din Syamsuddin, “Din Syamsuddin Tolak Hari Santri Nasional,” (16
Oktober 2016), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL: http://www.khittah.co/din -syamsuddin-tolak-hari-santri-
nasional / 1083/3 MC Ricklefs, Worlds The Dilihat dan gaib di Jawa, 1926-1949: Sejarah, Sastra dan Islam di Pengadilan Pakubuwana II (Honolulu: Allen &
Unwin dan Universitas Hawai 'i Press, 1998).
Ahmad Najib Burhani
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017
kategorisasi, konsep-konsep ini tidak sering digunakan dalam teks-teks tertulis sampai
misionaris dan cendekiawan Belanda SE Harthoorn dan Carel Poensen (1836-1919)
menunjukkan fenomena ini untuk pertama kalinya pada 1850-an dan 1880-an. Poensen
melaporkan:
... pesantren dan ziarah terus-menerus menyebarkan pemahaman yang lebih baik tentang semangat
dan esensi sejati dari Islam ... Memang benar bahwa secara resmi agama massa adalah ....
Mohammedanism ... tetapi di dalam hati masih ada kekuatan lain dan yang lebih tua masih
berfungsi ... orang-orang [Jawa] membagi diri menjadi dua kelas: bangsa poetihan dan bangsa
abangan (kulit putih dan merah). Kelompok pertama terdiri dari sejumlah kecil orang ... kelompok lain
terdiri dari sebagian besar orang ... Sebelum Poensen menulis surat tentang Islam dari wilayah
4
negara Jawa pada tahun 1886, Dutch East India Company dan Pemerintah Belanda
diasumsikan bahwa orang Jawa adalah Muslim atau Islams. Pandangan ini menjadi dasar
utama kebijakan mereka. Poensen, seperti disebutkan di atas, melaporkan bahwa orang
Jawa sebenarnya membagi diri menjadi dua kategori: bangsa putihan dan bangsa abangan
(kulit putih dan merah). Yang pertama merujuk pada sekelompok orang yang menganggap
Islam sebagai cara hidup mereka di dalam dan luar, sedangkan yang kedua merujuk pada
mayoritas orang Jawa yang menerima Islam sebagai agama formal mereka, tetapi gagasan
dan praktik mereka masih dipandu oleh “agama lain” ”Disebut Javanisme, kombinasi dari
sistem pemikiran dan tindakan keagamaan, terutama dari animisme Jawa kuno, Hindu /
Budha, dan Islam. 5
332
omor 02, Desember 2017
dalam populasi; santri, mewakili tekanan pada aspek Islam dari sinkretisme dan umumnya
terkait dengan elemen perdagangan (dan elemen-elemen tertentu dalam kaum tani juga);
dan priyayi, menekankan aspek-aspek Hindu dan terkait dengan unsur birokrasi.
6
Geertz menyebutkan tiga lokus abangan kehidupan keagamaan, yaitu, slametan, keyakinan
roh, dan peran penting dukun . Slametan (pesta komunal) memiliki fungsi ganda; untuk
membuat tuan rumah merasa slamet (bahagia / puas, aman, tertib, dan diberkati) dan untuk
mencapai keharmonisan dalam masyarakat. Slametan menggambarkan umum abangan “ide-
ide order, 'desain untuk hidup'mereka”. Mengenai masalah penyembuhan, sihir, dan sihir,
7
Geertz mengatakan bahwa roh menjadi faktor penentu dalam abangan pandangan dunia.
Edward Evan Evans-Pritchard (1902-73), profesor Antropologi Sosial di Universitas Oxford,
dalam bukunya, Sihir, Orakel, dan Sihir di antara suku Azande, mengatakan bahwa jika
sesuatu terjadi di Azande, tempat di Sudan selatan, itu adalah dijelaskan dalam hal sihir. Di 8
antara abangan orangdi Jawa, Geertz mencatat bahwa roh (seperti bangsa alus, memedi,
gendruwo, lelembut, setan, jim, tuyul, demit, dan dayang) adalah istilah umum yang muncul
sepanjang masa hidup mereka. Ide ini terus hadir tepat di bawah permukaan keberadaan
sehari-hari mereka. Segala sesuatu yang terjadi di masyarakat terhubung dengan gagasan
tentang roh. Sistem kosmologis ini terus-menerus memaksa mereka untuk mencoba
merumuskan hubungan yang baik dengan roh.
Jika kepercayaan roh, slametan, dan peran dukun— sebagai penyembuh atau penyihir atau
penyihir — adalah pola paling umum dari abangan agama, kata Geertz, priyayi juga memiliki
tiga lokus kehidupan keagamaan, yaitu etiket, seni, dan mistisisme. Orang Jawa
menggunakan istilah rasa untuk penyatuan etiket istana, seni, dan praktik mistis. Menurut
Geertz, rasa adalah konsep India yang diterjemahkan oleh orang Jawa sebagai "perasaan"
dan "makna." Rasa dianggap oleh orang Jawa sebagai fondasi utama "untuk
mengembangkan analisis fenomenologis dari pengalaman subyektif di mana segala sesuatu
dapat diikat". 9
6 Clifford Geertz, Agama Jawa (Glencoe, Ill.,: Free Press, 1964), hlm. 6. 7 Ibid., Hlm. 29. 8 EE Evans-Pritchard, Sihir, Orakel dan Sihir di antara Azande (Oxford: Clarendon Press,
1976). 9 Geertz, The Religion of Java, hal. 239.
Bersikeras pada pandangannya bahwa Hindu dan Budha berperan sebagai komponen
penentu priyayi sistem keagamaan, Geertz menyatakan bahwa etiket adalah terjemahan
Jawa dari konsep kasta Hindu. Ide dasar etiket Jawa, khususnya etiket linguistik, adalah
untuk membedakan orang berdasarkan status sosial atau pangkat mereka. Rendah hati
dalam berkomunikasi dengan orang-orang dari status sosial yang sama atau lebih tinggi,
bernama andap-asor, adalah aspek perilaku yang paling penting. Selanjutnya, atas dasar
konsepsi yang sama (kasta India), yang diterjemahkan dan disederhanakan dalam formulasi
baru oleh orang Jawa, yang berbeda dari konsep aslinya, menjadi konsep pasangan alus
(halus) dan kasarkasar (), seni Jawa dibangun. Seniadalah istanaalus, seni petani kasar.
Awalnya, menurut salah satu informan Geertz, alus adalah model pekerjaan untuk orang-
orang dari kasta Brahman dan Satriya. Kasar adalah model karya orang-orang dari kasta
Vaisia, Sudra, dan Paria. Akhirnya, gagasan utama mistisisme Jawa, salah satu dari tiga
fokus utama priyayi kehidupan religius, adalah konsep katekismus, bagaimana orang
berurusan dengan atau mengelolamereka rasa.
Dalam menggambarkan pola keagamaan santri varian, Geertz mengatakan bahwa
kelompok ini, pertama, sangat peduli dengan doktrin agama dan, kedua, memiliki rasa
kebersamaan yang kuat. Karena dua karakteristik ini, derajat religiusitas mereka yang besar
terwujud dalam bentuk pendidikan, hukum, dan negara. Fungsi ritual diarahkan untuk
pemeliharaan komunitas. Geertz membagi santri varianmenjadi dua kategori:modernis dan
tradisionalis santri. Yang pertama terutama Muhammadiyah, sedangkan yang terakhir
terutama Nahdlatul Ulama (NU). Pada tingkat tertentu, kedua kelompok ini memiliki identitas
yang berbeda dan seringkali saling bertentangan, persaingan atau pertarungan mereka
hanya untuk satu tujuan; untuk mengklaim sebagai Muslim yang paling benar, Islam yang
paling ortodoks. Kedua kelompok ini memiliki perbedaan dalam menafsirkan doktrin agama
dan perbedaan kecil dalam ritual, tetapi keduanya, terutama selama masa kerja lapangan
Geertz pada 1950-an, berkepentingan untuk berpartisipasi dalam penerapan hukum Islam
dan menentukan negara dengan berpartisipasi di negara.
santri dan abangan. Bagi Heather Sutherland dan Harsja Bachtiar, priyayi
334 bukanlah kategori agama, melainkan kelas
sosial. Fungsi utama priyayi adalah 'perantara'; menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada
10
umat-Nya, memediasi budaya, dan sebagai penguasa asli untuk pemerintah kolonial. Dalam
istilah agama, “Pada kenyataannya, priyayi dapat mengikutireligi abangan atau santri tradisi-
kultural... peran budaya, politik dan sosial mereka dibentuk oleh fungsi penting mereka sebagai
mediator, pusat penghubung dan wilayah, elit dan masyarakat umum”. 11
Dia sedang mempelajari Muhammadiyah, gerakan Islam terbesar kedua di Indonesia, yang
didirikan di Kauman, seperempat di dalam dinding kerajaan Jawa Yogyakarta, untuk disertasi
doktoralnya di Universitas Cornell. Aktor-aktor utama di Muhammadiyah, termasuk para pendiri
gerakan modernis ini, selalu terdiri dari priyayi dari Kesultanan Yogyakarta. Dalam konteks ini,
kontras priyayi dengan santri dapat menyesatkan. Dalam pandangan Nakamura, menjadi atau
menjadi santri tidak menyimpang dari status sosial priyayi.
10 Lihat Heather Sutherland, “The Priyayi,” Indonesia, Vol. 19 (April 1975), hlm. 57-77 dan Harsja
W. Bachtiar, “Agama Jawa: Sebuah Komentar,” dalam
Bacaan tentang Islam di Asia Tenggara, disusun oleh Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Hussain
(Singapura: ISEAS , 1985). 11 Sutherland, “The Priyayi,” hlm. 57. 12 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul di Atas Pohon Beringin: StudiMuhammadiyah Gerakandi Kota
Jawa Tengah (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1983).
Ahmad Najib Burhani
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017
Kehadiran 'penjaga kunci kerajaan' (abdi dalem jurukunci), subkategori pejabat agama pengadilan
(abdi dalem santri), sebagai poros masyarakat lokal di Kotagede dan sebagai bagian integral dari
kekuasaan priyayi dari kerajaan Jawa mendukung kritik Indonesia terhadap Geertz. Abdi dalem santri
atau priyayi santri bukanlah "anomali" sebagai kategori sosial atau istilah "kebiadaban" linguistik,
seperti yang disarankan Geertz. Dalam hal religiusitas, Nakamura setuju dengan Sutherland
13
bahwa ada abangan-priyayi dan santri-priyayi. Ini sebanding dengan menjadi orang yang
religius atau non-religius; Muslim yang taat dan tidak taat. Dia mengatakan, dengan
menggunakan terminologi Marxis, sebagaikelas borjuis priyayi hanya dapat dikontraskan
dengan proletariat. “ abangan-santri Dikotomiadalah kategorisasi yang valid berdasarkan
diferensiasi agama, sementara priyayi adalah kategori status yang tidak dapat dikontraskan
dengan abangan atau santri, tetapi wong cilik, 'rakyat kecil'”. 14
Islam nominal di wilayah ini sekarang cenderung menyebut diri mereka sebagai Jawa tulen,
Jawa asli, kejawen, atau sejumlah istilah lain yang mengungkapkan identitas seseorang
dengan 'ke-Jawa-an'”. Istilah abangan sering dianggap oleh Muslim nominal sebagai istilah
16
yang merendahkan. Dengan menerapkan istilah ini, ini menunjukkan bahwa mereka adalah
Muslim yang kurang dan harus menjadi subjek pendisiplinan atau pemurnian dan pemurnian.
Untuk Muslim ortodoks, abangan juga digunakan sebagai julukan merendahkan bagi Muslim
non-ortodoks. Inilah alasan mengapa orang Jawa lebih suka memilih istilah kejawen daripada
abangan. Istilah ini dianggap lebih tepat sebagai identitas agama mereka. Istilah lain yang
digunakan oleh Hefner dalam bukunya, Hindu Jawa, di tempat kata abangan adalah "Muslim
Jawa." Istilah ini, bagi Hefner, memiliki arti yang sama dengan kejawen. "Istilah ini
dimaksudkan untuk merujuk pada orang-orang yang memenuhi syarat identitas mereka
dengan Islam dengan bersikeras pada
13 Ibid., Hal. 13. 14 Ibid., Hlm. 12-13. 15 Robert W. Hefner, Jawa Hindu: Tradisi Tengger dan Islam (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1985). 16 Ibid.,
Hlm. 4ff.
Trichotomy Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi
NAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017
335
336 pentingnya adat istiadat Jawa yang tidak secara eksplisit disetujui oleh lebih banyak Muslim ortodoks ”.17
Bagi Hefner, klasifikasi Geertz mengasumsikan bahwa ada ketegangan dan pertentangan
antara abangan dan santri. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat penelitian lapangan
Geertz 'Indonesia mengalami kontestasi dan tekanan politik nasional yang besar. Muslim
nominal atau abangan dekat dengan PKI (partai komunis), Muslim ortodoks atau santri
sebagian besar berada di partai Masyumi dan partai NU, dan priyayi dikaitkan dengan PNI
(partai nasionalis). Keseimbangan religiusitas yang halus dihancurkan oleh persaingan politik.
Kerangka waktu Geertz berbeda dari Hefner dan membawa ketegangan politik-agama yang
berbeda dengannya. Dalam penelitian lapangannya, Hefner melihat bahwa "Muslim 'Jawa'
dengan demikian secara terbuka mengakui rasa hormat dan ketergantungan mereka pada
bentuk pembelajaran dan ibadah Islam, bahkan di mana, seperti yang sering terjadi, mereka
juga mengakui kurangnya pendidikan mereka sendiri pada mereka. bentuk yang sama ”. 18
Cukup mirip dengan klasifikasi agama Koetjaraningrat ini orang Jawa adalah kategorisasi
Andrew Beatty . Dia mengatakan bahwa kontras istilah abangan ke santri tidak populer di
daerahnya
17 Ibid. 18 Ibid., Hlm. 107. 19 Koentjaraningrat, Budaya Jawa (Singapura: Oxford University Press, 1985), hlm. 317-318.
Ahmad Najib Burhani
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017
penelitian di Blambangan, Jawa Timur. “Sebaliknya ada perbedaan yang lebih tendensius
antara wong Islam, Muslim, dan wong Jawa, Jawa, yang menyiratkan keasingan Islam, jika
seseorang adalah seorang Jawa, atau ketidaksopanan orang Jawa lainnya (biasanya
tetangga), jika ada yang santri. ” Lebih lanjut, Beatty menjelaskan, dikotomi ini tidak
20
menyiratkan bahwa kedua kelompok ini selalu berada dalam oposisi, apalagi dalam konflik
abadi seperti yang seharusnya dengan membaca karya-karya Geertz. Seringkali, Beatty
mengungkapkan, bahwa kedua kelompok ini dengan mudah saling bertukar identitas. Dalam
studinya di Kesultanan Yogyakarta, Mark R. Woodward mencoba mengkritik dan memodifikasi trikotomi Geertz
tentang masyarakat Jawa dengan mengusulkan kategori baru: Santri, Islam Jawa dan
kejawen. Dalam bukunya, Islam di Jawa: Kesalehan Normatif dan Mistisisme di Kesultanan
Yogyakarta, ia melihat bahwa Islam adalah bagian dominan dari ke-Jawa-an. Sejak awal, 21
asumsinya kontras dengan pandangan Geertz bahwa Islam hanyalah sebuah elemen di
antara banyak elemen ke-Jawa-an, yaitu: pra-Hindu, Hindu, Budha, dan Islam. Islam hanya
memengaruhi permukaan budaya Jawa. Dalam pandangan Geertz, struktur yang mendasari
sistem kepercayaan Jawa tetap non-Islam. Dari urutan dan rentang waktu kehadiran agama-
agama itu di Jawa, Geertz berpendapat bahwa pengaruh Islam di pulau itu kurang dari
pengaruh ketiga agama yang datang sebelumnya. Argumennya adalah bahwa animisme
telah memberikan kontribusi besar pada kehidupan orang awam (abangan), sementara Hindu
/ Budha memberikan dampak yang kuat pada cara hidup elit (priyayi).
Woodward menemukan bahwa struktur keagamaan yang mendasari orang Jawa adalah
Islam. Karena itu, ia tidak setuju dengan asumsi Geertz bahwa abangan selalu memusuhi
santri. Selain penolakannya konsep priyayi sebagai kategori agama, ia juga menolak konsep
abangan sebagai oposisi kutub terhadap santri. Abangan, bagi Woodward, hanyalah model
religiusitas Islam yang tidak jauh dari Islam normatif. “Saya akan menyebut varian mistis
Islam Jawa (priyayi dan abangan) sebagai Islam Jawa dan mistikus sebagai kejawen. The
338 kompleks doktrin dan ritual yang terkait dengan santri populasiakan disebut sebagai Islam normatif atau kesalehan
normatif ”. 22
Dalam penelitiannya tentang orang-orang Blambangan di ujung timur Pulau Jawa, Beatty
menggambarkan bagaimana orang-orang Jawa dari semua kategori agama dicampur bersama
dalam slametan atau pesta makan yang disebut oleh Geertz sebagai perapian ritual Jawa dan
salah satu tempat dari abangan kehidupan keagamaan. Dalam ritual itu, orang Jawa tidak dapat
secara konsisten dimasukkan ke dalam salah satu kategori yang sedang kita periksa. Bagi
Beatty, berbeda dengan Geertz, slametan bukanlah konsensus simbolik, tetapi penuh dengan
improvisasi dan fragmentasi makna. Ritual ini penuh dengan doktrin dan ajaran yang kompleks.
Dimulai dengan penerangan dupa, pemimpin ritual memberi tahu orang yang berkumpul
tentang tujuan ritual yang merupakan tawaran untuk kombinasi dewa Jawa, dewa Hindu-Budha,
dan Dewa Muslim. Ia berkata, “Memang, sebagai orientasi keagamaan, kami menemukan
ketiga varian Geertz, dan kombinasinya, hadir dalam acara yang sama. Seolah-olah pedagang
yang saleh, petani animis dan mistikus duduk di jamuan yang sama dan wajib berbicara tentang
hal yang membelah mereka ”. 24
Menurut Beatty, dalam The Religion of Java Geertz telah menyadari keberadaan wilayah kelabu
religiusitas dan bagaimana orang-orang di daerah ini berbaur bersama dalam ritual mereka.
Namun, Geertz tidak menguraikan kelompok orang ini dan lebih suka mendiskusikan
perbedaan tajam antara santri dan abangan. Beatty akan menjelaskan lebih lanjut bahwa
tengah ini
22 Ibid., Hlm. 2. 23 Beatty, Varietas Agama Jawa, hal. 4. 24 Ibid., Hlm. 30.
Ahmad Najib Burhani
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017
tanah sebenarnya adalah angka dominan agama Jawa. Dia mengatakan bahwa Nahdlatul
Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang biasanya disebut Muslim tradisional,
mewakili jalan tengah ini.
Dalam ulasannya tentang Agama Jawa, Harsja Bachtiar juga menyimpulkan bahwa
pembagian antara santri-priyayi-abangan dalam masyarakat tidak kaku. Bachtiar menentang
asumsi Geertz bahwa tradisi rakyat identik dengan abangan tradisi. Slametan, yang dianggap
oleh Geertz sebagai inti dari abangan tradisi, misalnya juga dilakukan oleh santri. Bachtiar
lebih lanjut menyatakan, “pernyataan bahwa kaum tani, dengan perkecualian kaum tani kaya,
mewakili abangan tradisisementara para petani kaya di desa bersama dengan para
pedagang di kota mewakili santri tradisiadalah penyederhanaan yang harus dianggap
dipertanyakan” . Bachtiar juga menyebutkan bahwa dalam priyayi kategori, ada kelompok
25
Pengembangan Konsep
Meskipun trikotomi Geertz tentang masyarakat Jawa telah dikritik dan ditentang oleh banyak
sarjana, klasifikasi sosial ini telah diterima secara luas dan digunakan sebagai prinsip
pengorganisasian standar dalam mempelajari masyarakat Indonesia. Konsepnya tidak hanya
digunakan dalam studi agama, antropologis dan sosiologis, tetapi juga dalam sejarah dan
ilmu politik.
Dalam politik, perbedaan agama tripartit antara abangan, santri dan priyayi sering digunakan
untuk mengidentifikasi perilaku pemilih dan kecenderungan partai. Dalam Orde Lama
Indonesia (1945-1965), priyayi dikaitkan dengan PNI (partai nasionalis),modernsantri dengan
partai Masyumi,tradisionalsantri dengan partai NU (partai Islam), sedangkan abangan
dengan PKI (partai komunis) ). Muhammadiyah adalah "anggota khusus" Masyumi dan
pendukung utama partai ini. Partai NU mewakili Muslim tradisional yang sebagian besar
tinggal di pedesaan. Dalam wacana politik, afiliasi partai pemilih Indonesia dengan struktur
sosial mereka umumnya disebut sebagai politik aliran . “Di Jawa 1950-an, keempat varian ini
menemukan ekspresi politik dalam aliran, bahasa Indonesia untuk aliran atau arus. Di Jawa,
ada empatbesar - aliran PNI, PKI,
340 Masyumi, dan nu- mewakili priyayi, abangan,modernis, dan tradisionalis santri varian, masing-masing”.27
Pada 1970-an, kategorisasi sosial Geertz digunakan lagi dalam politik. Meskipun situasi
politiknya berbeda dan partai-partai politik yang ikut serta dalam pemilu juga berbeda dari tahun
1950-an dan 1960-an, beberapa ilmuwan politik masih menerapkan konsep yang didefinisikan
di atas. Seperti diungkapkan oleh William Liddle dan Saiful Mujani, “Ilmuwan politik telah
menggunakan aliran paradigmauntuk menjelaskan pemilihan nondemokratis Orde Baru dan
pemilihan demokratis tahun 1955. Versi paradigma tersebut membentuk dasar yang dipilih
secara sadar untuk penggabungan paksa Suharto pada tahun 1973 dari semua partai Muslim
menjadi PPP [Partai Persatuan Pembangunan] dan partai nasionalis plus Kristen sekuler ke
PDI [Partai Demokrasi Indonesia] ”. 28
Istilah ini muncul lagi sebelum pemilihan nasional 1999. Judith Bird, misalnya, mengatakan
bahwa setelah jatuhnya Soeharto, presiden kedua yang memimpin Indonesia dari tahun 1966
hingga 1998, aliran politik muncul kembali dalam politik Indonesia. “Untuk memenuhi tuntutan
rakyat akan era pasca-Soeharto: presiden yang kurang kuat, terbatas pada dua syarat; sistem
multipartai yang akan mencerminkanpopuler aliran di masyarakat Indonesia dan dapat
menggantikan partai lama yang didominasi pemerintah dengan politik koalisi ”. Dalam 29
pemilihan nasional 2004, seperti yang diamati oleh Anies Baswedan, aliran politik bahkan lebih
jelas daripada pada tahun 1999. “Lebih dari lima dekade setelah periode pertama Indonesia
bereksperimen dengan demokrasi parlementer, polarisasi politik, atau aliran politik,
mempertahankan kehadiran yang signifikan dalam pemilihan umum di tingkat nasional ...
Pemilih terus dimotivasi oleh preferensi ideologis mereka ”. 30
Studi tentang militer Indonesia tidak kebal dari trikotomi sosial-keagamaan Geertz. Banyak
pengamat berjuang untuk memaksakan pola pembelahan ini di militer. Mereka menyebut
personel militer yang saleh atau saleh sebagai santri-militer dan, sebaliknya, menggunakan
abanganmiliteruntuk anggota angkatan bersenjata yang tidak saleh. Sebagaimana dijelaskan
oleh Allan
27 R. William Liddle dan Saiful Mujani, “Kepemimpinan, Partai, dan Agama: Menjelaskan Perilaku
Memilih di Indonesia,” Studi Politik Komparatif, 40: 7
(2007), hlm. 836. 28 Ibid., Hlm. 836. 29 Judith Bird, “Indonesia pada 1998: The Pot Boils Over,” Survei Asia, Vol. 39: 1 (Januari- Februari 1999), hlm. 31. 30 Anies R.
Baswedan, "Politik Indonesia pada 2007: Presidensi, Pemilihan Daerah, dan Masa Depan Demokrasi," Buletin Studi Ekonomi Indonesia, 43: 3
(2007), hlm. 339.
Ahmad Najib Burhani
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017
A. Samson, misalnya, posisi strategis dalam militer biasanya tidak diberikan kepada personel
militer dengan santri latar belakang. Birokrasi dalam sistem militer Indonesia lebih memilih
militer priyayi atau abangan untuk posisi strategis karena alasan nasionalistik. Santri
Militerdianggap lebih condong ke Islam daripada ke Indonesia. “Kepemimpinan militer
merasa bahwa santri menyuntikkan agama ke dalam politik (sehingga melemahkan cita-cita
nasionalisme Indonesia), bahwa mereka terlalu eksklusif dan tidak toleran untuk
mempersatukan bangsa, dan bahwa kepedulian utama mereka terhadap agama
mendiskualifikasi mereka sebagai pendukung serius modernisasi yang cepat. ” 31
Social classifications of the Indonesian economic system also often refers to Geertz'
classification schema. The abangan are the peasants petani or the lowest class in society.
They are mostly living in the countryside. The santri are small traders and entrepreneurs.
They are the new middle class or pervanus, in Weber terminology. The priyayi are the old
aristocracy, feudal landlords, and bureaucrats. This social cleavage/ pembelahan was then
use by the PKI (communist party) for their political interest. In analyzing Indonesian
communism, Rex Mortimer says, “The PKI succeeded in developing a sufficient degree of
class solidarity among the village poor, predominantly those of abangan persuasion, to
support fairly extensive campaign on Java, Bali, and, to a less extent, parts of Sumatra”. The 32
opponent of the abangan in this case was often pointed out to the santri and priyayi who
represented bourgeoisie class.
31 Allan A. Samson, "Angkatan Darat dan Islam di Indonesia," Urusan Pasifik, 44: (1972), hal. 248. 32 Rex. Mortimer, “Class, Social Cleavage and Indonesian Communism,” Indonesia, 8 (Oct.
1969), p. 18.
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi
RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017
341
superficial impact in Java. Islam is a veneer placed over many elements of Indonesia-ness: pre-
Hinduism, Hinduism, and Buddhism. Under that perspective, the question is, why does Geertz
choose the name for the dominant group, abangan, which is a derivative name from the minority
group, the santri? Is it because the dominant group at that time was culturally and religiously
inferior? Geertz is an anthropologist. His work on Java was, of course, done in a particular time
and place. When he did his fieldwork in 1950s, the term of abangan was closely related to the
PKI (Communist party). Abang (red) is the color of communism. There was a rationalization of
the term abangan from a pejorative epithet into a dignified identity. The term abangan originally
had a negative meaning, but then become an acceptable term and lost its derogatory meaning.
The word abangan has a different connotation in the New Order Indonesia, starting with the
Communist coup in 1965. Abangan, which was previously identified with the PKI, became a
frightening term. This is one of the reasons why during Hefner's anthropological research in
Tengger in 1970s and 1980s, people no longer used this term. Abangan became a term with a
frightening secondary political meaning. As a result, Hefner uses the term Javanist Islam or
kejawen for nominal Muslim.
Currently, a new meaning of abangan has begun to take hold. Abangan is not related with being
a nominal Muslim, but represents a controversial mystical sect in Islam. It is said that the term
abangan is derived from the name of a very famous mystic Syeh Siti Jenar, who
33 Hefner, Hindu Javanese. 34 Mark R. Woodward, “Talking Across Paradigms: Indonesia, Islam, and Orientalism,”
in Mark R. Woodward (ed.), Toward a New
Paradigm: recent Developments in Indonesian Islamic Thought (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996), p.
31.
Ahmad Najib Burhani
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017
has often been called Syeh Lemah Abang. He is a controversial figure of wali sanga (nine
saints) who brought Islam to Java. It is said that this new concept is being constructed to
35
include abangan within the boundary of Islam, though it is considered outside of mainstream
Islam. In sum, as we see from recent development, the term abangan can have many
different contextually and geographically-dependent meanings and articulations.
Marxist Perspective
When Geertz classifies Javanese people into three distinct categories, abangan, santri, and
priyayi, he appears to refer, if indirectly, to the caste system (religious social class system)
derived from Hinduism. This is a possible interpretation because Javanese people preserved
Hinduistic etiquettes as appeared in the three basic styles of Javanese speech, namely,
familiar (ngoko), semi-formal (madya), and formal (krami). Following the idea of the Hindu
caste system that classifies people into Brahmins (priests, scholars and teachers), Kshatriya
(warriors and rulers), Vaisya (traders and agriculturists), and Sudra (manual workers), Geertz
divides the Javanese people into three religious categories. His inclusion of priyayi as a
religious category then received the most serious criticism.
It seems that it would be more interesting to investigate the system of priyayi religiosity and
contrast it with a proletarian religiosity using a Marxist perspective. Most of the scholars that
have criticized the inclusion of priyayi as a religious category, have not also tried to study this
variant of Javanese religiosity with the proletarian members of society; they have not brought
any class perspective to this discussion. It is, of course, a valid objection to state that priyayi
religiosity can not be contrasted with either santri or abangan. Priyayi has peculiar religious
characteristic which differentiate it from these two variants. This is also not related to the
dichotomy of modernist versus traditionalist or urban versus rural. Some priyayi has a
traditional understanding of religion and some of them have a modern understanding. Some
priyayi were part of abangan, and some of them were part of santri. Rex Mortimer has started
to deal with this issue. He discusses social
36
35 AG Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese
Muslims,” Unpublished PhD Thesis, The Australian
National University, Canberra, 1995. 36 Mortimer, “Class, Social Cleavage and Indonesian Communism”.
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi
RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017
343
Muhammadiyah and the growth of new Islamic movements like Jemaah Tarbiyah, Hizbut Tahrir,
and Tablighi Jemaah, the old category of Geertz is out of date. Machmudi indicates the 38
emergence of new santri, deviating from the characters commonly attached to traditionalist and
modernist santri. He also indicates some changes in these two old categories of santri which
39
make some of them easily blend into one group and have a new identity as “moderate santri”.
Different from Geertz, Machmudi identifies three groups of current santri: convergent, radical,
and global. The convergent group is the merge between traditionalist and modernist. The radical
is a group of santri who prefer to use revolutionary method in implementing Islam in Indonesia.
While
37 Geertz, The Religion of Java, p. 129. 38 Ahmad Najib Burhani, “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan,”
Jurnal Maarif, 11:2
(December 2017): pp. 15-29. 39 Yon Machmudi, “The Emergence of New Santri in Indonesia,” Journal of Indonesian Islam, 2:1 (2008): pp. 69-102.
Ahmad Najib Burhani
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017
global santri is those who have more trans-national orientation. Machmudi's classification is
based on doctrinal origin and religious agendas of those santri.
This article, however, found more than three groups of santri in contemporary Indonesian
Islam. Based on their religious characters, activities, and treatment to the world, there are at
least six groups of santri: traditionalist, modernist, neo-modernist, neo-revivalist, radicalist,
and liberal. The definition of traditionalist and modernist is the same as the one described by
40
Geertz and still mostly represented by the NU and Muhammadiyah. Different from Geertz's
identification, however, these groups have abandoned the agenda to change Indonesian into
an Islamic state. They also no longer become proponent of the implementation of Islamic
41
shari'a in formal way, although they agree with the implementation of substantive shari'a.
Some of neo-modernist and neo-revivalist santri may come from traditionalist and modernist
culture. They abandoned the schism or lessened the differences between the two and
introduced a new system of teaching through short courses, seminars, and publications.
Paramadina, founded by Nurcholish Madjid, is a representative of neo- modernist santri,
whereas Jemaah Tarbiyah, the embryo of the Justice and Prosperous Party (PKS), can be
seen as representative of neo- revivalist. The former is often called substantialist Islam,
whereas the latter is scripturalist Islam. Some members of these two groups of santri
represent a convergence between the NU and Muhammadiyah, but at the same time
divergent from these two old organizations. Liberal and radical are two extreme poles of
santri in the way of understanding and practicing Islam. The Network of Liberal Islam (JIL) is
often seen representing the former pole, whereas the Jemaah Islamiyah (JI) and the Hizbut
Tahrir are among representative of the latter pole. There are many factors for this change,
among them are, first, globalization or, to be specifically, the flow of people and idea because
of the revolution in the information and transportation technology and, second, dynamics of
life not dealt with or answered properly by the established Muslim organizations, particularly
the NU
40 The defining character shared by all groups of santri is the attachment and devotion to
Islam. A santri is a practicing Muslim. 41 Ahmad Najib Burhani, “Kitab Kuning
dan Kitab Suci: Membaca al-Jabiri dengan perspektif NU dan Muhammadiyah,” Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 41:1 (Juni 2015):
pp. 29-42
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi
RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017
345
Considering the diversity of santri and their political or religious orientation, two points can be
inferred: First, it becomes inappropriate to put them in direct opposition to abangan. Some of
them are even more click and fit with abangan understanding of Islam then with other santri.
Furthermore, just like santri, the abangan has also experienced some transformations. It is still
possible to find naïve-abangan, but it can also be found now self-declared and proud abangan
in society. Second, if Geertz' description of santri is more focused on modernist Muslim and
associated with market, in the current context of Hari Santri Nasional, the meaning of santri is is
the opposite, it is more closely related traditionalist santri and neglecting other variants of
santri.
Conclusion
Geertz has made a genuine and valuable contribution in his identification of the trichotomy of
abangan, santri, and priyayi. This division into three conceptual units helps us to uncover and
discover certain intractable realities of Javanese society. After he published his book, The
Religion of Java, scholars become aware of this structure and pattern which prevails in
Indonesia, and most especially in Java. His work made a substantial influence to all subsequent
scholarship on Indonesia. Accordingly, post-Geertz scholars can more easily observe and
describe various aspects of Java. It is true that before Geertz popularized the concepts, there
were some scholars who had been mentioning a dichotomy between kaum putihan or santri and
kaum abangan or nominal Muslim. But no one elaborated on this distinction as clearly and
meticulously as Geertz did. No scholar called out a tripartite division in Javanese society nor
made a strong argument that it is a general portrait of the Javanese people. Setelah Geertz,
kebanyakan cendekiawan mempelajari masyarakat Indonesia dan Melayu - seperti yang
ditemukan di Malaysia,
42 Lihat Robert W. Hefner, Islam Sipil: Muslim dan Demokratisasi di Indonesia (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 2000) dan Ahmad Najib Burhani,
“Transmisi Reformasi Islam dari Amerika Serikat ke Indonesia: Mempelajari Warisan Fazlur Rahman melalui Karya
Ahmad Syafii Maarif, ” Indonesia and the Malay World, 41: 119 (2013): hlm. 29-47.
Ahmad Najib Burhani
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017
Singapore, Brunei, the southern Philippines, and southern Thailand -- would apply this
trichotomy to analyze various issues in politics, economy, and of course religion.
Numerous critiques have been raised by scholars to challenge Geertz and his three-part
division. One of the strongest criticism is related to the inclusion of priyayi in his classification
of Javanese religious category, while in fact it is a distinct social class. This becomes the
weakest point of Geertz's theory on Javanese society. It is not surprising, therefore, that
Geertz' trichotomy is commonly reduced into just dichotomy of santri vs. abangan.
Furthermore, the dynamic and diversity of Indonesian society has also influenced the validity
of the category of santri and abangan. Abangan can no longer be seen as identical with folk
culture or village tradition, but it can also be found among merchant and educated people.
Santri is even more complicated and diverse. It is not only confined in old categories of
traditionalist and modernist, but expanding and developing into more than two variants,
including liberal and radical santri. To conclude, after more than sixty years becoming an
influential paradigm to read Indonesian society, Geertz' theory on Javanese religions has
come to the time of revision and refinement. []
References
348 Burhani, Ahmad Najib. “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan.” Jurnal Maarif, 11:2
(December 2017): pp. 15-29. ----------. “Kitab Kuning dan Kitab Suci: Membaca al-Jabiri dengan
perspektif NU dan Muhammadiyah.” Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 41:1 (Juni 2015): pp. 29-
42. ----------. “Transmission of Islamic Reform from the United States to Indonesia: Studying
Fazlur Rahman's legacy through the works of Ahmad Syafii Maarif.” Indonesia and the Malay
World, 41:119 (2013): pp. 29-47. Evans-Pritchard, EE Witchcraft, Oracles and Magic among the
Azande.
Oxford: Clarendon Press, 1976. Fikri, Ahmad. “Muhammadiyah Tolak Hari Santri Nasional.”
Tempo (15 October 2015), accessed on 20 October 2017 from URL:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/15/078709737/ muhammadiyah-tolak-hari-santri-
nasional Geertz, Clifford. The Religion of Java. Glencoe, Ill.,: Free Press, 1964. Hefner, Robert
W. Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia.
Princeton, NJ: Princeton University Press, 2000. ----------. Hindu Javanese: Tengger Tradition
and Islam, Princeton, New
Jersey: Princeton University Press, 1985. Koentjaraningrat. Javanese Culture. Singapore:
Oxford University Press,
1985. Liddle, R. William and Saiful Mujani. “Leadership, Party, and Religion: Explaining Voting
Behavior in Indonesia.” Comparative Political Studies, 40:7 (2007): pp. 832-857. Machmudi,
Yon. “The Emergence of New Santri in Indonesia.” Journal
of Indonesian Islam, 2:1 (2008): pp. 69-102. Mortimer, Rex. “Class, Social Cleavage and
Indonesian Communism.”
Indonesia, 8 (Oct. 1969): pp. 1-20. Muhaimin, AG “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and
Adat Among Javanese Muslims.” Unpublished PhD Thesis, The Australian National University,
Canberra, 1995.
Ahmad Najib Burhani
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017
Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1983. Poensen, C. “Letters about Islam from the Country Areas of Java,
1886.” in Indonesia. Selected Documents on Colonialism and Nationalism, 1830-1942. ed.
dan trans. Christian Lambert Maria Penders. St. Lucia. Queensland: University of
Queensland Press, 1977. Ricklefs, MC The Seen and Unseen Worlds in Java, 1926-1949:
History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu: Allen & Unwin and
University of Hawai'i Press, 1998. Samson, Allan A. “Army and Islam in Indonesia.” Pacific
Affairs, 44:
(19724): pp. 545-565. Sutherland, Heather. “The Priyayi.” Indonesia, Vol. 19 (April 1975):
pp.
57-77. Syamsuddin, Din. “Din Syamsuddin Tolak Hari Santri Nasional,” (16 October 2016),
accessed on 20 October 2017 from URL: http://www.khittah.co/din-syamsuddin-tolak-hari-
santri- nasional/1083/ Tanuwidjaja, Sunny. “Political Islam and Islamic Parties in Indonesia:
Critically Assessing the Evidence of Islam's Political Decline.” Contemporary Southeast Asia,
32:1 (2010): pp. 29–49. Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in
the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arizona Press, 1989. ----------. “Talking
Across Paradigms: Indonesia, Islam, and Orientalism.” in Mark R. Woodward (ed.). Toward a
New Paradigm: Recent Developments in Indonesian Islamic Thought. Tempe, Arizona:
Arizona State University, 1996.
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi