Anda di halaman 1dari 22

TRIKHOTOMI GEERTZ DARI ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI Kontroversi

dan Kontinuitas 
Ahmad Najib Burhani ISEAS - Yusof Ishak Institute, Singapura; LIPI - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia |
najib27@yahoo.com Abstrak: Dengan Keputusan Presiden tentang Hari Santri NasionalHari Santri
Nasional () pada tahun 2015, debat tentang trikotomi Clifford Geertz tentang santri-priyayi-abangan
muncul kembali di masyarakat Indonesia. Artikel ini, pertama, bermaksud melukiskan makna trikotomi.
Kedua, ini merangkum tiga kritik utama trikotomi, yaitu: 1) priyayi lebih tepat dimasukkan dalam kategori
kelas sosial, bukan kategori agama; 2) sebagai identitas sosial, abangan bukanlah istilah yang secara
umum diterima oleh orang-orang dalam kategori itu; 3) kategori ini tidak kaku dan, dalam hal religiusitas,
sebagian besar orang Jawa sebenarnya berada di wilayah abu-abu antara santri dan abangan. Artikel ini
kemudian menunjukkan bahwa meskipun trikotomi telah menuai kritik dari para sarjana, itu telah diterima
sebagai kategorisasi standar masyarakat Indonesia. Penerapan trikotomi ini tidak terbatas pada studi
agama atau antropologi, tetapi telah digunakan dalam studi sejarah, politik, ekonomi, dan militer.
Tantangan baru dari konsep ini, yaitu masuknya kelas sosial atau perspektif Marxis dalam mempelajari
Jawa dan perbedaan santri di masa kontemporer, yang berkontribusi pada kemunculan kembali trikotomi
dengan spektrum baru adalah fokus terakhir dari artikel ini. Kata kunci: Clifford Geertz, santri, priyayi,
abangan, Jawa, Hari Santri Nasional, santri baru. 
Pendahuluan 
Konsep abangan, santri, dan priyayi adalah tiga istilah paling populer untuk menggambarkan
dan mengklasifikasikan orang Indonesia pada abad kedua puluh dan dua puluh satu. Biasanya
dikaitkan dengan Clifford Geertz, 
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi ini 
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 
DOI: 10.15642 / JIIS.2017.11.2.329-350 
329 
330 konsep tidak hanya digunakan dalam wacana tentang agama dan budaya, tetapi juga dalam topik lain seperti ekonomi dan
politik. Beberapa sarjana berpendapat bahwa relevansi trikotomi ini, khususnya dalam politik,
secara bertahap berkurang atau setidaknya menurun. Lebih jauh lagi, dikotomi antara santri 1

dan abangan semakin lemah dari waktu ke waktu. Namun, dengan Keputusan Presiden No. 22
tahun 2015 tentang Hari Santri NasionalHari Santri Nasional () dan munculnya "santri baru" -
tidak lulus dari sistem pendidikan tradisional - debat tentang trikotomi menemukan relevansi
baru dan beberapa orang bahkan beranggapan bahwa dekrit ini santri mengadudengan
dombaabangan dan akan merangsang dikotomi lama. Keputusan presiden tentang Hari Santri 2

pada tahun 2015 tampaknya merupakan pengakuan lebih lanjut tentang dampak studi Geertz
dalam konstruksi dan rekayasa masyarakat. 
Oleh karena itu, artikel ini bermaksud untuk melukiskan makna trikotomi dan merangkum tiga
kritik utama trikotomi. Artikel ini kemudian berpendapat bahwa meskipun trikotomi dianggap
oleh beberapa sarjana lemah secara akademis, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa kritik,
itu telah diterima sebagai kategorisasi standar masyarakat Indonesia. Bagian terakhir dari
artikel ini mencoba membahas munculnya "santri baru" dan hari Santri Nasional dalam konteks
trikotomi lama Geertz. Ini menggambarkan perbedaan santri kontemporer, menyimpang dari
kategori dan karakter yang dibuat oleh Geertz pada 1960-an. 
Konsepsi Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi 
Secara historis, konsep abangan, santri, dan priyayi tidak populer dalam historiografi Jawa,
muncul dalam sumber Jawa maupun catatan Eropa hingga tahun 1850-an. Sebagai bentuk 3

sosial 
1 Lihat Anies R. Baswedan, “Islam Politik di Indonesia:Sekarang dan Masa Depan Lintasan,” Survei Asia, 44: 5 (2004): hlm. 669-690 dan Sunny
Tanuwidjaja, “Islam Politik dan partai Islam di Indonesia: Menilai secara kritis bukti kemunduran politik Islam, ”
Kontemporer Asia Tenggara, 32: 1 (2010): hlm. 29–49. 2 Lihat Ahmad Fikri, “Muhammadiyah Tolak Hari Santri Nasional,” Tempo, Kamis, (15 Oktober
2015), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/15 / 078709737 /
muhammadiyah-tolak-hari-santri-nasional dan Din Syamsuddin, “Din Syamsuddin Tolak Hari Santri Nasional,” (16
Oktober 2016), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL: http://www.khittah.co/din -syamsuddin-tolak-hari-santri-
nasional / 1083/3 MC Ricklefs, Worlds The Dilihat dan gaib di Jawa, 1926-1949: Sejarah, Sastra dan Islam di Pengadilan Pakubuwana II (Honolulu: Allen &
Unwin dan Universitas Hawai 'i Press, 1998). 
Ahmad Najib Burhani 
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 
kategorisasi, konsep-konsep ini tidak sering digunakan dalam teks-teks tertulis sampai
misionaris dan cendekiawan Belanda SE Harthoorn dan Carel Poensen (1836-1919)
menunjukkan fenomena ini untuk pertama kalinya pada 1850-an dan 1880-an. Poensen
melaporkan: 
... pesantren dan ziarah terus-menerus menyebarkan pemahaman yang lebih baik tentang semangat
dan esensi sejati dari Islam ... Memang benar bahwa secara resmi agama massa adalah ....
Mohammedanism ... tetapi di dalam hati masih ada kekuatan lain dan yang lebih tua masih
berfungsi ... orang-orang [Jawa] membagi diri menjadi dua kelas: bangsa poetihan dan bangsa
abangan (kulit putih dan merah). Kelompok pertama terdiri dari sejumlah kecil orang ... kelompok lain
terdiri dari sebagian besar orang ... Sebelum Poensen menulis surat tentang Islam dari wilayah
4

negara Jawa pada tahun 1886, Dutch East India Company dan Pemerintah Belanda
diasumsikan bahwa orang Jawa adalah Muslim atau Islams. Pandangan ini menjadi dasar
utama kebijakan mereka. Poensen, seperti disebutkan di atas, melaporkan bahwa orang
Jawa sebenarnya membagi diri menjadi dua kategori: bangsa putihan dan bangsa abangan
(kulit putih dan merah). Yang pertama merujuk pada sekelompok orang yang menganggap
Islam sebagai cara hidup mereka di dalam dan luar, sedangkan yang kedua merujuk pada
mayoritas orang Jawa yang menerima Islam sebagai agama formal mereka, tetapi gagasan
dan praktik mereka masih dipandu oleh “agama lain” ”Disebut Javanisme, kombinasi dari
sistem pemikiran dan tindakan keagamaan, terutama dari animisme Jawa kuno, Hindu /
Budha, dan Islam. 5 

Pada tahun 1960, Clifford Geertz mempopulerkan abangan-santri-priyayi trikotomidalam


buku klasiknya The Religion of Java. Atas dasar penelitian antropologis di Pare di Jawa
Timur, kota tempat ia memberikan nama samaran Modjokuto, pada 1950-an, Geertz
menyimpulkan bahwa sistem kepercayaan mayoritas orang Jawa dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu, abangan, santri, dan priyayi. Geertz mengatakan: 
Abangan, mewakili tekanan pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa secara keseluruhan
dan secara luas terkait dengan elemen petani 

Dokumen Pilihan tentang Kolonialisme dan Nasionalisme,


4 C. Poensen, "Surat-surat tentang Islam dari Wilayah Negara Jawa, 1886," di Indonesia.
1830-1942. ed. dan trans. Christian Lambert Maria Penders. St. Lucia (Queensland: University of Queensland
Press, 1977). 5 Lihat Poensen, "Surat tentang Islam". 
Trichotomy Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi 
NAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 
331 

332 
omor 02, Desember 2017 

Ahmad Najib Burhani 

dalam populasi; santri, mewakili tekanan pada aspek Islam dari sinkretisme dan umumnya
terkait dengan elemen perdagangan (dan elemen-elemen tertentu dalam kaum tani juga);
dan priyayi, menekankan aspek-aspek Hindu dan terkait dengan unsur birokrasi.

Geertz menyebutkan tiga lokus abangan kehidupan keagamaan, yaitu, slametan, keyakinan
roh, dan peran penting dukun . Slametan (pesta komunal) memiliki fungsi ganda; untuk
membuat tuan rumah merasa slamet (bahagia / puas, aman, tertib, dan diberkati) dan untuk
mencapai keharmonisan dalam masyarakat. Slametan menggambarkan umum abangan “ide-
ide order, 'desain untuk hidup'mereka”. Mengenai masalah penyembuhan, sihir, dan sihir,
7

Geertz mengatakan bahwa roh menjadi faktor penentu dalam abangan pandangan dunia.
Edward Evan Evans-Pritchard (1902-73), profesor Antropologi Sosial di Universitas Oxford,
dalam bukunya, Sihir, Orakel, dan Sihir di antara suku Azande, mengatakan bahwa jika
sesuatu terjadi di Azande, tempat di Sudan selatan, itu adalah dijelaskan dalam hal sihir. Di 8

antara abangan orangdi Jawa, Geertz mencatat bahwa roh (seperti bangsa alus, memedi,
gendruwo, lelembut, setan, jim, tuyul, demit, dan dayang) adalah istilah umum yang muncul
sepanjang masa hidup mereka. Ide ini terus hadir tepat di bawah permukaan keberadaan
sehari-hari mereka. Segala sesuatu yang terjadi di masyarakat terhubung dengan gagasan
tentang roh. Sistem kosmologis ini terus-menerus memaksa mereka untuk mencoba
merumuskan hubungan yang baik dengan roh. 
Jika kepercayaan roh, slametan, dan peran dukun— sebagai penyembuh atau penyihir atau
penyihir — adalah pola paling umum dari abangan agama, kata Geertz, priyayi juga memiliki
tiga lokus kehidupan keagamaan, yaitu etiket, seni, dan mistisisme. Orang Jawa
menggunakan istilah rasa untuk penyatuan etiket istana, seni, dan praktik mistis. Menurut
Geertz, rasa adalah konsep India yang diterjemahkan oleh orang Jawa sebagai "perasaan"
dan "makna." Rasa dianggap oleh orang Jawa sebagai fondasi utama "untuk
mengembangkan analisis fenomenologis dari pengalaman subyektif di mana segala sesuatu
dapat diikat". 9 

6 Clifford Geertz, Agama Jawa (Glencoe, Ill.,: Free Press, 1964), hlm. 6. 7 Ibid., Hlm. 29. 8 EE Evans-Pritchard, Sihir, Orakel dan Sihir di antara Azande (Oxford: Clarendon Press,
1976). 9 Geertz, The Religion of Java, hal. 239. 
Bersikeras pada pandangannya bahwa Hindu dan Budha berperan sebagai komponen
penentu priyayi sistem keagamaan, Geertz menyatakan bahwa etiket adalah terjemahan
Jawa dari konsep kasta Hindu. Ide dasar etiket Jawa, khususnya etiket linguistik, adalah
untuk membedakan orang berdasarkan status sosial atau pangkat mereka. Rendah hati
dalam berkomunikasi dengan orang-orang dari status sosial yang sama atau lebih tinggi,
bernama andap-asor, adalah aspek perilaku yang paling penting. Selanjutnya, atas dasar
konsepsi yang sama (kasta India), yang diterjemahkan dan disederhanakan dalam formulasi
baru oleh orang Jawa, yang berbeda dari konsep aslinya, menjadi konsep pasangan alus
(halus) dan kasarkasar (), seni Jawa dibangun. Seniadalah istanaalus, seni petani kasar.
Awalnya, menurut salah satu informan Geertz, alus adalah model pekerjaan untuk orang-
orang dari kasta Brahman dan Satriya. Kasar adalah model karya orang-orang dari kasta
Vaisia, Sudra, dan Paria. Akhirnya, gagasan utama mistisisme Jawa, salah satu dari tiga
fokus utama priyayi kehidupan religius, adalah konsep katekismus, bagaimana orang
berurusan dengan atau mengelolamereka rasa. 
Dalam menggambarkan pola keagamaan santri varian, Geertz mengatakan bahwa
kelompok ini, pertama, sangat peduli dengan doktrin agama dan, kedua, memiliki rasa
kebersamaan yang kuat. Karena dua karakteristik ini, derajat religiusitas mereka yang besar
terwujud dalam bentuk pendidikan, hukum, dan negara. Fungsi ritual diarahkan untuk
pemeliharaan komunitas. Geertz membagi santri varianmenjadi dua kategori:modernis dan
tradisionalis santri. Yang pertama terutama Muhammadiyah, sedangkan yang terakhir
terutama Nahdlatul Ulama (NU). Pada tingkat tertentu, kedua kelompok ini memiliki identitas
yang berbeda dan seringkali saling bertentangan, persaingan atau pertarungan mereka
hanya untuk satu tujuan; untuk mengklaim sebagai Muslim yang paling benar, Islam yang
paling ortodoks. Kedua kelompok ini memiliki perbedaan dalam menafsirkan doktrin agama
dan perbedaan kecil dalam ritual, tetapi keduanya, terutama selama masa kerja lapangan
Geertz pada 1950-an, berkepentingan untuk berpartisipasi dalam penerapan hukum Islam
dan menentukan negara dengan berpartisipasi di negara. 

Kritik 1: Priyayi sebagai Kelas Sosial, Bukan Kategori Agama 


Klasifikasi Geertz tentang masyarakat Jawa menjadi tiga varian yang ditunjukkan oleh istilah
yang kami telusuri dalam artikel ini yang membangkitkan berbagai kritik dari para sarjana.
Satu set kritik berfokus pada konsep priyayi dan mempertanyakan apakah itu adalah kategori
agama yang sebanding dengan 
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi. 
NAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 
333 

santri dan abangan. Bagi Heather Sutherland dan Harsja Bachtiar, priyayi
334 bukanlah kategori agama, melainkan kelas
sosial. Fungsi utama priyayi adalah 'perantara'; menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada
10

umat-Nya, memediasi budaya, dan sebagai penguasa asli untuk pemerintah kolonial. Dalam
istilah agama, “Pada kenyataannya, priyayi dapat mengikutireligi abangan atau santri tradisi-
kultural... peran budaya, politik dan sosial mereka dibentuk oleh fungsi penting mereka sebagai
mediator, pusat penghubung dan wilayah, elit dan masyarakat umum”. 11 

Sutherland mengungkapkan bahwa catatan sejarah menunjukkan sebagian besar priyayi di


Jawa adalah santri. Dia menunjukkan bahwa kerajaan Jawa kuno menggunakan sistem
teokratis dan diperintah oleh "raja-imam". Karena itu, raja-raja kerajaan tertentu secara otomatis
menjadi pemimpin agama di daerahnya. Mereka sering mengklaim sebagai penjaga dan
pemelihara agama. Salah satu gelar raja yang biasa digunakan oleh kebanyakan raja Jawa
adalah khalifatullah (wakil Tuhan di bumi). Karena sistem keturunan bangsawan, saat
priyayisadalah keturunan tua spriyayi. Sutherland menyebutkan bahwa banyak birokrat, bupati,
dan pejabat administrasi di bawah Belanda, seperti di Kudus, Tuban, dan Kendal, mengaku
sebagai keturunan walisanga (sembilan orang suci) yang membawa Islam dan kemudian
memerintah Jawa, khususnya daerah pesisir. 
Menggarisbawahi kritik Sutherland, Mitsuo Nakamura juga menemukan bahwa konsep Geertz
tentang priyayi sebagai kategori agama tidak cocok dan cocok dengan karya antropologisnya. 12

Dia sedang mempelajari Muhammadiyah, gerakan Islam terbesar kedua di Indonesia, yang
didirikan di Kauman, seperempat di dalam dinding kerajaan Jawa Yogyakarta, untuk disertasi
doktoralnya di Universitas Cornell. Aktor-aktor utama di Muhammadiyah, termasuk para pendiri
gerakan modernis ini, selalu terdiri dari priyayi dari Kesultanan Yogyakarta. Dalam konteks ini,
kontras priyayi dengan santri dapat menyesatkan. Dalam pandangan Nakamura, menjadi atau
menjadi santri tidak menyimpang dari status sosial priyayi. 
10 Lihat Heather Sutherland, “The Priyayi,” Indonesia, Vol. 19 (April 1975), hlm. 57-77 dan Harsja
W. Bachtiar, “Agama Jawa: Sebuah Komentar,” dalam
Bacaan tentang Islam di Asia Tenggara, disusun oleh Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Hussain
(Singapura: ISEAS , 1985). 11 Sutherland, “The Priyayi,” hlm. 57. 12 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul di Atas Pohon Beringin: StudiMuhammadiyah Gerakandi Kota
Jawa Tengah (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1983). 
Ahmad Najib Burhani 
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 

Kehadiran 'penjaga kunci kerajaan' (abdi dalem jurukunci), subkategori pejabat agama pengadilan
(abdi dalem santri), sebagai poros masyarakat lokal di Kotagede dan sebagai bagian integral dari
kekuasaan priyayi dari kerajaan Jawa mendukung kritik Indonesia terhadap Geertz. Abdi dalem santri
atau priyayi santri bukanlah "anomali" sebagai kategori sosial atau istilah "kebiadaban" linguistik,
seperti yang disarankan Geertz. Dalam hal religiusitas, Nakamura setuju dengan Sutherland
13

bahwa ada abangan-priyayi dan santri-priyayi. Ini sebanding dengan menjadi orang yang
religius atau non-religius; Muslim yang taat dan tidak taat. Dia mengatakan, dengan
menggunakan terminologi Marxis, sebagaikelas borjuis priyayi hanya dapat dikontraskan
dengan proletariat. “ abangan-santri Dikotomiadalah kategorisasi yang valid berdasarkan
diferensiasi agama, sementara priyayi adalah kategori status yang tidak dapat dikontraskan
dengan abangan atau santri, tetapi wong cilik, 'rakyat kecil'”. 14 

Kritik 2: Dari Abangan ke Kejawen 


Dalam studinya tentang wong Tengger (orang Tengger), Robert W. Hefner menemukan
bahwa istilah abangan bukanlah istilah yang tepat untuk menggambarkan varian animisme
kepercayaan orang Jawa, khususnya di daerah Tengger. “Orang-orang yang beragama 15

Islam nominal di wilayah ini sekarang cenderung menyebut diri mereka sebagai Jawa tulen,
Jawa asli, kejawen, atau sejumlah istilah lain yang mengungkapkan identitas seseorang
dengan 'ke-Jawa-an'”. Istilah abangan sering dianggap oleh Muslim nominal sebagai istilah
16

yang merendahkan. Dengan menerapkan istilah ini, ini menunjukkan bahwa mereka adalah
Muslim yang kurang dan harus menjadi subjek pendisiplinan atau pemurnian dan pemurnian.
Untuk Muslim ortodoks, abangan juga digunakan sebagai julukan merendahkan bagi Muslim
non-ortodoks. Inilah alasan mengapa orang Jawa lebih suka memilih istilah kejawen daripada
abangan. Istilah ini dianggap lebih tepat sebagai identitas agama mereka. Istilah lain yang
digunakan oleh Hefner dalam bukunya, Hindu Jawa, di tempat kata abangan adalah "Muslim
Jawa." Istilah ini, bagi Hefner, memiliki arti yang sama dengan kejawen. "Istilah ini
dimaksudkan untuk merujuk pada orang-orang yang memenuhi syarat identitas mereka
dengan Islam dengan bersikeras pada 

13 Ibid., Hal. 13. 14 Ibid., Hlm. 12-13. 15 Robert W. Hefner, Jawa Hindu: Tradisi Tengger dan Islam (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1985). 16 Ibid.,
Hlm. 4ff. 
Trichotomy Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi 
NAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 
335 

336 pentingnya adat istiadat Jawa yang tidak secara eksplisit disetujui oleh lebih banyak Muslim ortodoks ”.17 
Bagi Hefner, klasifikasi Geertz mengasumsikan bahwa ada ketegangan dan pertentangan
antara abangan dan santri. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat penelitian lapangan
Geertz 'Indonesia mengalami kontestasi dan tekanan politik nasional yang besar. Muslim
nominal atau abangan dekat dengan PKI (partai komunis), Muslim ortodoks atau santri
sebagian besar berada di partai Masyumi dan partai NU, dan priyayi dikaitkan dengan PNI
(partai nasionalis). Keseimbangan religiusitas yang halus dihancurkan oleh persaingan politik.
Kerangka waktu Geertz berbeda dari Hefner dan membawa ketegangan politik-agama yang
berbeda dengannya. Dalam penelitian lapangannya, Hefner melihat bahwa "Muslim 'Jawa'
dengan demikian secara terbuka mengakui rasa hormat dan ketergantungan mereka pada
bentuk pembelajaran dan ibadah Islam, bahkan di mana, seperti yang sering terjadi, mereka
juga mengakui kurangnya pendidikan mereka sendiri pada mereka. bentuk yang sama ”. 18 

Koentjaraningrat, seorang antropolog Indonesia yang berpendidikan Amerika, juga memiliki


keberatan yang serupa dengan konsepGeertz abangan. Baginya, kategorisasi religiositas yang
paling tepat di Jawa adalah dengan membedakan antara Agama Jawi dan Agama Islam Santri.
Yang pertama adalah varian yang lebih sinkretistis dari Islam Jawa dan yang terakhir adalah
bentuk yang lebih puritan atau ortodoks dari Islam Jawa. Klasifikasi Koentjaraningrat didasarkan
pada asumsi bahwa semua orang Jawa adalah Muslim. Perbedaan di antara mereka, dalam
sistemnya, adalah pada tingkat hubungan keagamaan dengan Islam. 
The Agami Jawi manifestasi dari Islam Jawa merupakan kompleks luas mistis cenderung kepercayaan
Hindu-Budha dan konsep, syncretically terintegrasi dalam kerangka Islam referensi. Agami Islam santri
Variandari Islam Jawa, bagaimanapun, meskipun tidak benar-benar kehilangan animisme serta unsur-
unsur Hindu-Budha, lebih dekat dengan pembelajaran dogma formal Islam 19 

Cukup mirip dengan klasifikasi agama Koetjaraningrat ini orang Jawa adalah kategorisasi
Andrew Beatty . Dia mengatakan bahwa kontras istilah abangan ke santri tidak populer di
daerahnya 
17 Ibid. 18 Ibid., Hlm. 107. 19 Koentjaraningrat, Budaya Jawa (Singapura: Oxford University Press, 1985), hlm. 317-318. 
Ahmad Najib Burhani 
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 

penelitian di Blambangan, Jawa Timur. “Sebaliknya ada perbedaan yang lebih tendensius
antara wong Islam, Muslim, dan wong Jawa, Jawa, yang menyiratkan keasingan Islam, jika
seseorang adalah seorang Jawa, atau ketidaksopanan orang Jawa lainnya (biasanya
tetangga), jika ada yang santri. ” Lebih lanjut, Beatty menjelaskan, dikotomi ini tidak
20

menyiratkan bahwa kedua kelompok ini selalu berada dalam oposisi, apalagi dalam konflik
abadi seperti yang seharusnya dengan membaca karya-karya Geertz. Seringkali, Beatty
mengungkapkan, bahwa kedua kelompok ini dengan mudah saling bertukar identitas. Dalam
studinya di Kesultanan Yogyakarta, Mark R. Woodward mencoba mengkritik dan memodifikasi trikotomi Geertz
tentang masyarakat Jawa dengan mengusulkan kategori baru: Santri, Islam Jawa dan
kejawen. Dalam bukunya, Islam di Jawa: Kesalehan Normatif dan Mistisisme di Kesultanan
Yogyakarta, ia melihat bahwa Islam adalah bagian dominan dari ke-Jawa-an. Sejak awal, 21

asumsinya kontras dengan pandangan Geertz bahwa Islam hanyalah sebuah elemen di
antara banyak elemen ke-Jawa-an, yaitu: pra-Hindu, Hindu, Budha, dan Islam. Islam hanya
memengaruhi permukaan budaya Jawa. Dalam pandangan Geertz, struktur yang mendasari
sistem kepercayaan Jawa tetap non-Islam. Dari urutan dan rentang waktu kehadiran agama-
agama itu di Jawa, Geertz berpendapat bahwa pengaruh Islam di pulau itu kurang dari
pengaruh ketiga agama yang datang sebelumnya. Argumennya adalah bahwa animisme
telah memberikan kontribusi besar pada kehidupan orang awam (abangan), sementara Hindu
/ Budha memberikan dampak yang kuat pada cara hidup elit (priyayi). 
Woodward menemukan bahwa struktur keagamaan yang mendasari orang Jawa adalah
Islam. Karena itu, ia tidak setuju dengan asumsi Geertz bahwa abangan selalu memusuhi
santri. Selain penolakannya konsep priyayi sebagai kategori agama, ia juga menolak konsep
abangan sebagai oposisi kutub terhadap santri. Abangan, bagi Woodward, hanyalah model
religiusitas Islam yang tidak jauh dari Islam normatif. “Saya akan menyebut varian mistis
Islam Jawa (priyayi dan abangan) sebagai Islam Jawa dan mistikus sebagai kejawen. The 

20 Andrew Beatty, Varietas Agama Jawa: Akun Antropologis (Cambridge: Cambridge


University Press, 1999), hlm. 126. 21 Mark R. Woodward, Islam di Jawa:
Kesalehan Normatif dan Mistisisme di Kesultanan Yogyakarta (Tucson: University of Arizona Press, 1989). 
Trichotomy Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi 
NAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 
337 

338 kompleks doktrin dan ritual yang terkait dengan santri populasiakan disebut sebagai Islam normatif atau kesalehan
normatif ”. 22 

Kritik 3: Tidak Ada Batas yang Keras 


Kritik ketiga terhadap trikotomi Geertz terkait dengan batas dan pengurungan ketiga kategori
struktur keagamaan ini. Andrew Beatty mengatakan bahwa pembagian bahasa Jawa menjadi
abangan, santri, dan priyayi sama sekali tidak kaku dan biasanya ada jalan tengah di antara
dua ekstrem, yang sering diabaikan oleh para sarjana. Di posisi tengah ini, orang dapat dengan
mudah melampaui batas. Beatty berkata, “Mereka [orang Jawa] bergerak di antara 'paradigma
interpretatif' yang berbeda - mereka mungkin, misalnya, melihat penyakit atau kemalangan
yang 'sama' dalam hal ilmu sihir, kuman, nasib, atau ketidakseimbangan mistik”. 23 

Dalam penelitiannya tentang orang-orang Blambangan di ujung timur Pulau Jawa, Beatty
menggambarkan bagaimana orang-orang Jawa dari semua kategori agama dicampur bersama
dalam slametan atau pesta makan yang disebut oleh Geertz sebagai perapian ritual Jawa dan
salah satu tempat dari abangan kehidupan keagamaan. Dalam ritual itu, orang Jawa tidak dapat
secara konsisten dimasukkan ke dalam salah satu kategori yang sedang kita periksa. Bagi
Beatty, berbeda dengan Geertz, slametan bukanlah konsensus simbolik, tetapi penuh dengan
improvisasi dan fragmentasi makna. Ritual ini penuh dengan doktrin dan ajaran yang kompleks.
Dimulai dengan penerangan dupa, pemimpin ritual memberi tahu orang yang berkumpul
tentang tujuan ritual yang merupakan tawaran untuk kombinasi dewa Jawa, dewa Hindu-Budha,
dan Dewa Muslim. Ia berkata, “Memang, sebagai orientasi keagamaan, kami menemukan
ketiga varian Geertz, dan kombinasinya, hadir dalam acara yang sama. Seolah-olah pedagang
yang saleh, petani animis dan mistikus duduk di jamuan yang sama dan wajib berbicara tentang
hal yang membelah mereka ”. 24 

Menurut Beatty, dalam The Religion of Java Geertz telah menyadari keberadaan wilayah kelabu
religiusitas dan bagaimana orang-orang di daerah ini berbaur bersama dalam ritual mereka.
Namun, Geertz tidak menguraikan kelompok orang ini dan lebih suka mendiskusikan
perbedaan tajam antara santri dan abangan. Beatty akan menjelaskan lebih lanjut bahwa
tengah ini 
22 Ibid., Hlm. 2. 23 Beatty, Varietas Agama Jawa, hal. 4. 24 Ibid., Hlm. 30. 
Ahmad Najib Burhani 
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 

tanah sebenarnya adalah angka dominan agama Jawa. Dia mengatakan bahwa Nahdlatul
Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang biasanya disebut Muslim tradisional,
mewakili jalan tengah ini. 
Dalam ulasannya tentang Agama Jawa, Harsja Bachtiar juga menyimpulkan bahwa
pembagian antara santri-priyayi-abangan dalam masyarakat tidak kaku. Bachtiar menentang
asumsi Geertz bahwa tradisi rakyat identik dengan abangan tradisi. Slametan, yang dianggap
oleh Geertz sebagai inti dari abangan tradisi, misalnya juga dilakukan oleh santri. Bachtiar
lebih lanjut menyatakan, “pernyataan bahwa kaum tani, dengan perkecualian kaum tani kaya,
mewakili abangan tradisisementara para petani kaya di desa bersama dengan para
pedagang di kota mewakili santri tradisiadalah penyederhanaan yang harus dianggap
dipertanyakan” . Bachtiar juga menyebutkan bahwa dalam priyayi kategori, ada kelompok
25

santri priyayi dan abangan priyayi. 26 

Pengembangan Konsep 
Meskipun trikotomi Geertz tentang masyarakat Jawa telah dikritik dan ditentang oleh banyak
sarjana, klasifikasi sosial ini telah diterima secara luas dan digunakan sebagai prinsip
pengorganisasian standar dalam mempelajari masyarakat Indonesia. Konsepnya tidak hanya
digunakan dalam studi agama, antropologis dan sosiologis, tetapi juga dalam sejarah dan
ilmu politik. 
Dalam politik, perbedaan agama tripartit antara abangan, santri dan priyayi sering digunakan
untuk mengidentifikasi perilaku pemilih dan kecenderungan partai. Dalam Orde Lama
Indonesia (1945-1965), priyayi dikaitkan dengan PNI (partai nasionalis),modernsantri dengan
partai Masyumi,tradisionalsantri dengan partai NU (partai Islam), sedangkan abangan
dengan PKI (partai komunis) ). Muhammadiyah adalah "anggota khusus" Masyumi dan
pendukung utama partai ini. Partai NU mewakili Muslim tradisional yang sebagian besar
tinggal di pedesaan. Dalam wacana politik, afiliasi partai pemilih Indonesia dengan struktur
sosial mereka umumnya disebut sebagai politik aliran . “Di Jawa 1950-an, keempat varian ini
menemukan ekspresi politik dalam aliran, bahasa Indonesia untuk aliran atau arus. Di Jawa,
ada empatbesar - aliran PNI, PKI, 

25 Bachtiar, "The Religion of Java", hal. 281. 26 Ibid., Hlm. 284-285. 


Geertz Trikotomi dari Abangan, Santri,dan Priyayi 
NAL INDONESIA ISLAM Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 
339 

340 Masyumi, dan nu- mewakili priyayi, abangan,modernis, dan tradisionalis santri varian, masing-masing”.27 
Pada 1970-an, kategorisasi sosial Geertz digunakan lagi dalam politik. Meskipun situasi
politiknya berbeda dan partai-partai politik yang ikut serta dalam pemilu juga berbeda dari tahun
1950-an dan 1960-an, beberapa ilmuwan politik masih menerapkan konsep yang didefinisikan
di atas. Seperti diungkapkan oleh William Liddle dan Saiful Mujani, “Ilmuwan politik telah
menggunakan aliran paradigmauntuk menjelaskan pemilihan nondemokratis Orde Baru dan
pemilihan demokratis tahun 1955. Versi paradigma tersebut membentuk dasar yang dipilih
secara sadar untuk penggabungan paksa Suharto pada tahun 1973 dari semua partai Muslim
menjadi PPP [Partai Persatuan Pembangunan] dan partai nasionalis plus Kristen sekuler ke
PDI [Partai Demokrasi Indonesia] ”. 28 

Istilah ini muncul lagi sebelum pemilihan nasional 1999. Judith Bird, misalnya, mengatakan
bahwa setelah jatuhnya Soeharto, presiden kedua yang memimpin Indonesia dari tahun 1966
hingga 1998, aliran politik muncul kembali dalam politik Indonesia. “Untuk memenuhi tuntutan
rakyat akan era pasca-Soeharto: presiden yang kurang kuat, terbatas pada dua syarat; sistem
multipartai yang akan mencerminkanpopuler aliran di masyarakat Indonesia dan dapat
menggantikan partai lama yang didominasi pemerintah dengan politik koalisi ”. Dalam 29

pemilihan nasional 2004, seperti yang diamati oleh Anies Baswedan, aliran politik bahkan lebih
jelas daripada pada tahun 1999. “Lebih dari lima dekade setelah periode pertama Indonesia
bereksperimen dengan demokrasi parlementer, polarisasi politik, atau aliran politik,
mempertahankan kehadiran yang signifikan dalam pemilihan umum di tingkat nasional ...
Pemilih terus dimotivasi oleh preferensi ideologis mereka ”. 30 

Studi tentang militer Indonesia tidak kebal dari trikotomi sosial-keagamaan Geertz. Banyak
pengamat berjuang untuk memaksakan pola pembelahan ini di militer. Mereka menyebut
personel militer yang saleh atau saleh sebagai santri-militer dan, sebaliknya, menggunakan
abanganmiliteruntuk anggota angkatan bersenjata yang tidak saleh. Sebagaimana dijelaskan
oleh Allan 
27 R. William Liddle dan Saiful Mujani, “Kepemimpinan, Partai, dan Agama: Menjelaskan Perilaku
Memilih di Indonesia,” Studi Politik Komparatif, 40: 7
(2007), hlm. 836. 28 Ibid., Hlm. 836. 29 Judith Bird, “Indonesia pada 1998: The Pot Boils Over,” Survei Asia, Vol. 39: 1 (Januari- Februari 1999), hlm. 31. 30 Anies R.
Baswedan, "Politik Indonesia pada 2007: Presidensi, Pemilihan Daerah, dan Masa Depan Demokrasi," Buletin Studi Ekonomi Indonesia, 43: 3
(2007), hlm. 339. 
Ahmad Najib Burhani 
JURNAL ISLAM INDONESIA Volume 11, Nomor 02, Desember 2017 

A. Samson, misalnya, posisi strategis dalam militer biasanya tidak diberikan kepada personel
militer dengan santri latar belakang. Birokrasi dalam sistem militer Indonesia lebih memilih
militer priyayi atau abangan untuk posisi strategis karena alasan nasionalistik. Santri
Militerdianggap lebih condong ke Islam daripada ke Indonesia. “Kepemimpinan militer
merasa bahwa santri menyuntikkan agama ke dalam politik (sehingga melemahkan cita-cita
nasionalisme Indonesia), bahwa mereka terlalu eksklusif dan tidak toleran untuk
mempersatukan bangsa, dan bahwa kepedulian utama mereka terhadap agama
mendiskualifikasi mereka sebagai pendukung serius modernisasi yang cepat. ” 31 

Social classifications of the Indonesian economic system also often refers to Geertz'
classification schema. The abangan are the peasants petani or the lowest class in society.
They are mostly living in the countryside. The santri are small traders and entrepreneurs.
They are the new middle class or pervanus, in Weber terminology. The priyayi are the old
aristocracy, feudal landlords, and bureaucrats. This social cleavage/ pembelahan was then
use by the PKI (communist party) for their political interest. In analyzing Indonesian
communism, Rex Mortimer says, “The PKI succeeded in developing a sufficient degree of
class solidarity among the village poor, predominantly those of abangan persuasion, to
support fairly extensive campaign on Java, Bali, and, to a less extent, parts of Sumatra”. The 32

opponent of the abangan in this case was often pointed out to the santri and priyayi who
represented bourgeoisie class. 

One Concept, Many Names 


The alternative concepts proposed by Hefner (Javanist Islam or kejawen vs. santri),
Woodward (kejawen, Islam Jawa, and normative Islam), Beatty (wong Jawa vs. wong Islam),
and Koentjaraningrat (agami Jawi and agami Islam santri) in the place of Geertz' abangan-
santri dichotomy, actually all have similar meanings. The purpose for these concepts is to
mark the level of religiosity or commitment to Islam among Javanese people, whether they
can be aptly classified as nominal Muslim or devout Muslim. Their standard measure for
classifying certain people in the dichotomy or trichotomy is the Javanese people's
appreciation for indigenous customs and compliance to Islamic teachings. Konsep Geertz,
dalam pandangan Hefner, tidak 

31 Allan A. Samson, "Angkatan Darat dan Islam di Indonesia," Urusan Pasifik, 44: (1972), hal. 248. 32 Rex. Mortimer, “Class, Social Cleavage and Indonesian Communism,” Indonesia, 8 (Oct.
1969), p. 18. 
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi 
RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 
341 

reflect the identity of the named people.33


342 It represents a certain variant in ideal form, whereas the opposite
variant is only derivative/turunan from the first. In this context, as a derivative variant from
santri, abangan reflects deficient/kurang and inferior form. It is therefore interesting to follow the
reason why Geertz names the nominal Muslim as abangan. 
In the contemporary discourse on Islam in Indonesia, Geertz is often categorized as a scholar of
the old-paradigm, often described as scholars who follow orientalist or colonial intellectual
traditions. “The Religion of Java is best understood as an elegant restatement and theoretical
reformulation of colonial depictions of Islam”. Geertz considers Islam as having only a 34

superficial impact in Java. Islam is a veneer placed over many elements of Indonesia-ness: pre-
Hinduism, Hinduism, and Buddhism. Under that perspective, the question is, why does Geertz
choose the name for the dominant group, abangan, which is a derivative name from the minority
group, the santri? Is it because the dominant group at that time was culturally and religiously
inferior? Geertz is an anthropologist. His work on Java was, of course, done in a particular time
and place. When he did his fieldwork in 1950s, the term of abangan was closely related to the
PKI (Communist party). Abang (red) is the color of communism. There was a rationalization of
the term abangan from a pejorative epithet into a dignified identity. The term abangan originally
had a negative meaning, but then become an acceptable term and lost its derogatory meaning. 
The word abangan has a different connotation in the New Order Indonesia, starting with the
Communist coup in 1965. Abangan, which was previously identified with the PKI, became a
frightening term. This is one of the reasons why during Hefner's anthropological research in
Tengger in 1970s and 1980s, people no longer used this term. Abangan became a term with a
frightening secondary political meaning. As a result, Hefner uses the term Javanist Islam or
kejawen for nominal Muslim. 
Currently, a new meaning of abangan has begun to take hold. Abangan is not related with being
a nominal Muslim, but represents a controversial mystical sect in Islam. It is said that the term
abangan is derived from the name of a very famous mystic Syeh Siti Jenar, who 
33 Hefner, Hindu Javanese. 34 Mark R. Woodward, “Talking Across Paradigms: Indonesia, Islam, and Orientalism,”
in Mark R. Woodward (ed.), Toward a New
Paradigm: recent Developments in Indonesian Islamic Thought (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996), p.
31. 
Ahmad Najib Burhani 
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 

has often been called Syeh Lemah Abang. He is a controversial figure of wali sanga (nine
saints) who brought Islam to Java. It is said that this new concept is being constructed to
35

include abangan within the boundary of Islam, though it is considered outside of mainstream
Islam. In sum, as we see from recent development, the term abangan can have many
different contextually and geographically-dependent meanings and articulations. 

Marxist Perspective 
When Geertz classifies Javanese people into three distinct categories, abangan, santri, and
priyayi, he appears to refer, if indirectly, to the caste system (religious social class system)
derived from Hinduism. This is a possible interpretation because Javanese people preserved
Hinduistic etiquettes as appeared in the three basic styles of Javanese speech, namely,
familiar (ngoko), semi-formal (madya), and formal (krami). Following the idea of the Hindu
caste system that classifies people into Brahmins (priests, scholars and teachers), Kshatriya
(warriors and rulers), Vaisya (traders and agriculturists), and Sudra (manual workers), Geertz
divides the Javanese people into three religious categories. His inclusion of priyayi as a
religious category then received the most serious criticism. 
It seems that it would be more interesting to investigate the system of priyayi religiosity and
contrast it with a proletarian religiosity using a Marxist perspective. Most of the scholars that
have criticized the inclusion of priyayi as a religious category, have not also tried to study this
variant of Javanese religiosity with the proletarian members of society; they have not brought
any class perspective to this discussion. It is, of course, a valid objection to state that priyayi
religiosity can not be contrasted with either santri or abangan. Priyayi has peculiar religious
characteristic which differentiate it from these two variants. This is also not related to the
dichotomy of modernist versus traditionalist or urban versus rural. Some priyayi has a
traditional understanding of religion and some of them have a modern understanding. Some
priyayi were part of abangan, and some of them were part of santri. Rex Mortimer has started
to deal with this issue. He discusses social 
36

35 AG Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese
Muslims,” Unpublished PhD Thesis, The Australian
National University, Canberra, 1995. 36 Mortimer, “Class, Social Cleavage and Indonesian Communism”. 
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi 
RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 
343 

cleavage in Indonesia. Sayangnya, ia hanya berbicara tentangkelas


344 perbedaanantara santri dan abangan dan tidak
termasuk priyayi kelompok. Geertz says that one typical aspect of priyayi religious practices is mysticism. This is related to
bourgeois religiosity which tries to search for justifications for their wealth and social status. This
is in marked contrast with proletarian religiosity which is adopted mostly by the poor element of
abangan who concentrated on the concept of Ratu Adil (the messiah) who can elevate their
status and relieve their suffering. 
The absence of scholars who try to understand priyayi religiosity in term of class structure and
economics is probably due to the unsympathetic stance taken by Marxist scholars to the role of
religion in social cleavages. The only reason for social cleavage, in classical Marxist terms, is
economic conditions. The other possible reason for this aspect of research having been ignored
is that this topic is sensitive in Indonesia. After the Communist coup in 1965, anyone and
anything related to communism or Marxism became target of the government's scrutiny. 
New Santri in Contemporary Indonesia 
In the 1950s and 1960s, as identified by Geertz, santri was divided into two main categories
only: kolot (traditionalist) and moderen (modernist). With the weakening role of the NU and 37

Muhammadiyah and the growth of new Islamic movements like Jemaah Tarbiyah, Hizbut Tahrir,
and Tablighi Jemaah, the old category of Geertz is out of date. Machmudi indicates the 38

emergence of new santri, deviating from the characters commonly attached to traditionalist and
modernist santri. He also indicates some changes in these two old categories of santri which
39

make some of them easily blend into one group and have a new identity as “moderate santri”.
Different from Geertz, Machmudi identifies three groups of current santri: convergent, radical,
and global. The convergent group is the merge between traditionalist and modernist. The radical
is a group of santri who prefer to use revolutionary method in implementing Islam in Indonesia.
While 
37 Geertz, The Religion of Java, p. 129. 38 Ahmad Najib Burhani, “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan,”
Jurnal Maarif, 11:2
(December 2017): pp. 15-29. 39 Yon Machmudi, “The Emergence of New Santri in Indonesia,” Journal of Indonesian Islam, 2:1 (2008): pp. 69-102. 
Ahmad Najib Burhani 
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 

global santri is those who have more trans-national orientation. Machmudi's classification is
based on doctrinal origin and religious agendas of those santri. 
This article, however, found more than three groups of santri in contemporary Indonesian
Islam. Based on their religious characters, activities, and treatment to the world, there are at
least six groups of santri: traditionalist, modernist, neo-modernist, neo-revivalist, radicalist,
and liberal. The definition of traditionalist and modernist is the same as the one described by
40

Geertz and still mostly represented by the NU and Muhammadiyah. Different from Geertz's
identification, however, these groups have abandoned the agenda to change Indonesian into
an Islamic state. They also no longer become proponent of the implementation of Islamic
41

shari'a in formal way, although they agree with the implementation of substantive shari'a. 
Some of neo-modernist and neo-revivalist santri may come from traditionalist and modernist
culture. They abandoned the schism or lessened the differences between the two and
introduced a new system of teaching through short courses, seminars, and publications.
Paramadina, founded by Nurcholish Madjid, is a representative of neo- modernist santri,
whereas Jemaah Tarbiyah, the embryo of the Justice and Prosperous Party (PKS), can be
seen as representative of neo- revivalist. The former is often called substantialist Islam,
whereas the latter is scripturalist Islam. Some members of these two groups of santri
represent a convergence between the NU and Muhammadiyah, but at the same time
divergent from these two old organizations. Liberal and radical are two extreme poles of
santri in the way of understanding and practicing Islam. The Network of Liberal Islam (JIL) is
often seen representing the former pole, whereas the Jemaah Islamiyah (JI) and the Hizbut
Tahrir are among representative of the latter pole. There are many factors for this change,
among them are, first, globalization or, to be specifically, the flow of people and idea because
of the revolution in the information and transportation technology and, second, dynamics of
life not dealt with or answered properly by the established Muslim organizations, particularly
the NU 

40 The defining character shared by all groups of santri is the attachment and devotion to
Islam. A santri is a practicing Muslim. 41 Ahmad Najib Burhani, “Kitab Kuning
dan Kitab Suci: Membaca al-Jabiri dengan perspektif NU dan Muhammadiyah,” Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 41:1 (Juni 2015):
pp. 29-42 
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi 
RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 
345 

and Muhammadiyah. As explained by Hefner and Burhani, members


346 of the neo-modernist group were mostly graduated
from the system of higher education, ie IAIN (State Islamic Institute), established and managed
by the Indonesian Ministry of Religious Affairs and some of them received doctoral degree from
the United States. 42 

Considering the diversity of santri and their political or religious orientation, two points can be
inferred: First, it becomes inappropriate to put them in direct opposition to abangan. Some of
them are even more click and fit with abangan understanding of Islam then with other santri.
Furthermore, just like santri, the abangan has also experienced some transformations. It is still
possible to find naïve-abangan, but it can also be found now self-declared and proud abangan
in society. Second, if Geertz' description of santri is more focused on modernist Muslim and
associated with market, in the current context of Hari Santri Nasional, the meaning of santri is is
the opposite, it is more closely related traditionalist santri and neglecting other variants of
santri. 
Conclusion 
Geertz has made a genuine and valuable contribution in his identification of the trichotomy of
abangan, santri, and priyayi. This division into three conceptual units helps us to uncover and
discover certain intractable realities of Javanese society. After he published his book, The
Religion of Java, scholars become aware of this structure and pattern which prevails in
Indonesia, and most especially in Java. His work made a substantial influence to all subsequent
scholarship on Indonesia. Accordingly, post-Geertz scholars can more easily observe and
describe various aspects of Java. It is true that before Geertz popularized the concepts, there
were some scholars who had been mentioning a dichotomy between kaum putihan or santri and
kaum abangan or nominal Muslim. But no one elaborated on this distinction as clearly and
meticulously as Geertz did. No scholar called out a tripartite division in Javanese society nor
made a strong argument that it is a general portrait of the Javanese people. Setelah Geertz,
kebanyakan cendekiawan mempelajari masyarakat Indonesia dan Melayu - seperti yang
ditemukan di Malaysia, 
42 Lihat Robert W. Hefner, Islam Sipil: Muslim dan Demokratisasi di Indonesia (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 2000) dan Ahmad Najib Burhani,
“Transmisi Reformasi Islam dari Amerika Serikat ke Indonesia: Mempelajari Warisan Fazlur Rahman melalui Karya
Ahmad Syafii Maarif, ” Indonesia and the Malay World, 41: 119 (2013): hlm. 29-47. 
Ahmad Najib Burhani 
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 

Singapore, Brunei, the southern Philippines, and southern Thailand -- would apply this
trichotomy to analyze various issues in politics, economy, and of course religion. 
Numerous critiques have been raised by scholars to challenge Geertz and his three-part
division. One of the strongest criticism is related to the inclusion of priyayi in his classification
of Javanese religious category, while in fact it is a distinct social class. This becomes the
weakest point of Geertz's theory on Javanese society. It is not surprising, therefore, that
Geertz' trichotomy is commonly reduced into just dichotomy of santri vs. abangan.
Furthermore, the dynamic and diversity of Indonesian society has also influenced the validity
of the category of santri and abangan. Abangan can no longer be seen as identical with folk
culture or village tradition, but it can also be found among merchant and educated people.
Santri is even more complicated and diverse. It is not only confined in old categories of
traditionalist and modernist, but expanding and developing into more than two variants,
including liberal and radical santri. To conclude, after more than sixty years becoming an
influential paradigm to read Indonesian society, Geertz' theory on Javanese religions has
come to the time of revision and refinement. [] 
References 

Books and Articles 


Bachtiar, Harsja W. “The Religion of Java: A Commentary.” in Readings on Islam in
Southeast Asia, compiled by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, and Yasmin Hussain.
Singapore: ISEAS, 1985. Baswedan, Anies R. “Indonesian Politics in 2007: The Presidency,
Local Elections and the Future of Democracy.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 43:3
(2007): pp. 323–340. ----------. “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory.” 
Asian Survey, 44:5 (2004): pp. 669-690. Beatty, Andrew. Varieties of Javanese Religion:
An Anthropological Account. 
Cambridge: Cambridge University Press, 1999. Bird, Judith. “Indonesia in 1998: The Pot Boils
Over.” Asian Survey, 
Vol. 39: 1 (Jan. - Feb. 1999): pp. 27-37. 
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi 
RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 
347 

348 Burhani, Ahmad Najib. “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan.” Jurnal Maarif, 11:2
(December 2017): pp. 15-29. ----------. “Kitab Kuning dan Kitab Suci: Membaca al-Jabiri dengan
perspektif NU dan Muhammadiyah.” Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 41:1 (Juni 2015): pp. 29-
42. ----------. “Transmission of Islamic Reform from the United States to Indonesia: Studying
Fazlur Rahman's legacy through the works of Ahmad Syafii Maarif.” Indonesia and the Malay
World, 41:119 (2013): pp. 29-47. Evans-Pritchard, EE Witchcraft, Oracles and Magic among the
Azande. 
Oxford: Clarendon Press, 1976. Fikri, Ahmad. “Muhammadiyah Tolak Hari Santri Nasional.”
Tempo (15 October 2015), accessed on 20 October 2017 from URL:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/15/078709737/ muhammadiyah-tolak-hari-santri-
nasional Geertz, Clifford. The Religion of Java. Glencoe, Ill.,: Free Press, 1964. Hefner, Robert
W. Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. 
Princeton, NJ: Princeton University Press, 2000. ----------. Hindu Javanese: Tengger Tradition
and Islam, Princeton, New 
Jersey: Princeton University Press, 1985. Koentjaraningrat. Javanese Culture. Singapore:
Oxford University Press, 
1985. Liddle, R. William and Saiful Mujani. “Leadership, Party, and Religion: Explaining Voting
Behavior in Indonesia.” Comparative Political Studies, 40:7 (2007): pp. 832-857. Machmudi,
Yon. “The Emergence of New Santri in Indonesia.” Journal 
of Indonesian Islam, 2:1 (2008): pp. 69-102. Mortimer, Rex. “Class, Social Cleavage and
Indonesian Communism.” 
Indonesia, 8 (Oct. 1969): pp. 1-20. Muhaimin, AG “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and
Adat Among Javanese Muslims.” Unpublished PhD Thesis, The Australian National University,
Canberra, 1995. 
Ahmad Najib Burhani 
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 

Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1983. Poensen, C. “Letters about Islam from the Country Areas of Java,
1886.” in Indonesia. Selected Documents on Colonialism and Nationalism, 1830-1942. ed.
dan trans. Christian Lambert Maria Penders. St. Lucia. Queensland: University of
Queensland Press, 1977. Ricklefs, MC The Seen and Unseen Worlds in Java, 1926-1949:
History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu: Allen & Unwin and
University of Hawai'i Press, 1998. Samson, Allan A. “Army and Islam in Indonesia.” Pacific
Affairs, 44: 
(19724): pp. 545-565. Sutherland, Heather. “The Priyayi.” Indonesia, Vol. 19 (April 1975):
pp. 
57-77. Syamsuddin, Din. “Din Syamsuddin Tolak Hari Santri Nasional,” (16 October 2016),
accessed on 20 October 2017 from URL: http://www.khittah.co/din-syamsuddin-tolak-hari-
santri- nasional/1083/ Tanuwidjaja, Sunny. “Political Islam and Islamic Parties in Indonesia:
Critically Assessing the Evidence of Islam's Political Decline.” Contemporary Southeast Asia,
32:1 (2010): pp. 29–49. Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in
the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arizona Press, 1989. ----------. “Talking
Across Paradigms: Indonesia, Islam, and Orientalism.” in Mark R. Woodward (ed.). Toward a
New Paradigm: Recent Developments in Indonesian Islamic Thought. Tempe, Arizona:
Arizona State University, 1996. 
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi 

RNAL OF INDONESIAN ISLAM Volume 11, Number 02, December 2017 


349 
350 
me 11, Number 02, December 2017 

Ahmad Najib Burhani 

Anda mungkin juga menyukai