Anda di halaman 1dari 39

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

Visit www.DeepL.com/pro for more information.

Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan


DOI: 10.15642/JIIS.2017.11.2.329-350
Priyayi

TRIKOTOMI GEERTZ TENTANG ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI


Kontroversi dan Kontinuitas
Ahmad Najib Burhani
ISEAS - Yusof Ishak Institute, Singapura; LIPI - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia |
najib27@yahoo.com
Abstrak: Dengan adanya Keputusan Presiden tentang
Hari Santri Nasional pada tahun 2015, perdebatan
mengenai trikotomi santri-priyayi-abangan dari Clifford
Geertz muncul kembali di masyarakat Indonesia. Artikel
ini, pertama, bermaksud untuk menggambarkan makna
dari trikotomi tersebut. Kedua, artikel ini merangkum tiga
kritik utama terhadap trikotomi tersebut, yaitu:
1) priyayi lebih tepat dimasukkan ke dalam kategori kelas
sosial, bukan kategori agama; 2) sebagai identitas sosial,
abangan bukanlah istilah yang secara umum diterima
oleh orang-orang yang berada di dalam kategori tersebut;
3) kategori ini tidak kaku dan, dalam hal religiusitas,
sebagian besar masyarakat Jawa sebenarnya berada di
wilayah abu-abu antara santri dan abangan. Artikel ini
kemudian menunjukkan bahwa meskipun trikotomi ini
telah menuai kritik dari para sarjana, namun telah
diterima sebagai kategorisasi standar masyarakat
Indonesia. Penerapan trikotomi ini tidak hanya terbatas
pada studi agama atau antropologi, tetapi juga digunakan
dalam studi sejarah, politik, ekonomi, dan militer.
Tantangan baru dari konsep ini, yaitu masuknya kelas
sosial atau perspektif Marxis dalam mempelajari Jawa
dan divergensi santri di masa kontemporer, yang
berkontribusi pada kemunculan kembali trikotomi
dengan spektrum yang baru adalah fokus terakhir dari
artikel ini.
Kata kunci: Clifford Geertz, santri, priyayi, abangan,
Jawa, Hari Santri Nasional, santri baru.

Pendahuluan
JURNAL ISLAM INDONESIA 329
VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Konsep abangan, santri, dan priyayi adalah tiga istilah yang paling
populer untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan masyarakat
Indonesia pada abad ke-20 dan abad ke-21. Istilah-istilah yang
umumnya dikaitkan dengan Clifford Geertz ini

330 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

Konsep-konsep tersebut tidak hanya digunakan dalam wacana


agama dan budaya, tetapi juga dalam topik-topik lain seperti ekonomi
dan politik. Beberapa ahli berpendapat bahwa relevansi trikotomi ini,
khususnya dalam politik, secara bertahap memudar atau setidaknya
berkurang.1 Lebih jauh lagi, dikotomi antara santri dan abangan
semakin lama semakin melemah. Namun, dengan adanya Keputusan
Presiden No. 22 tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional dan
munculnya "santri baru"-yang tidak lulus dari sistem pendidikan
tradisional-debat mengenai trikotomi menemukan relevansinya yang
baru, dan beberapa orang bahkan beranggapan bahwa keputusan
tersebut mengadu domba antara santri dan abangan dan akan
merangsang kembali dikotomi lama.2 Keputusan Presiden tentang
Hari Santri pada tahun 2015 tampaknya merupakan pengakuan lebih
lanjut atas pengaruh studi Geertz dalam konstruksi dan rekayasa
masyarakat.
Oleh karena itu, artikel ini bermaksud untuk menjelaskan makna
dari trikotomi dan merangkum tiga kritik utama terhadap trikotomi.
Artikel ini kemudian berargumen bahwa meskipun trikotomi
dianggap lemah secara akademis oleh beberapa akademisi, seperti yang
ditunjukkan oleh beberapa kritik, trikotomi telah diterima sebagai
kategorisasi standar masyarakat Indonesia. Bagian terakhir dari
artikel ini mencoba untuk membahas kemunculan "santri baru" dan
Hari Santri Nasional dalam konteks trikotomi lama Geertz. Bagian
ini menggambarkan perbedaan santri kontemporer yang
menyimpang dari kategori dan karakter yang dibuat oleh Geertz
pada tahun 1960-an.

Konsepsi Geertz tentang Abangan, Santri, dan Priyayi


Secara historis, konsep abangan, santri, dan priyayi tidak
populer dalam historiografi Jawa, tidak muncul dalam sumber-
sumber Jawa maupun catatan-catatan Eropa hingga tahun 1850-an.3
Sebagai bentuk

1 Lihat Anies R. Baswedan, "Political Islam in Indonesia: Present and Future


Trajectory," Asian Survey, 44:5 (2004): h. 669-690 dan Sunny Tanuwidjaja, "Political
Islam and Islamic parties in Indonesia: Menilai secara kritis bukti-bukti
kemunduran politik Islam," Asia Tenggara Kontemporer, 32: 1 (2010): h. 29-49.
2 Lihat Ahmad Fikri, "Muhammadiyah Tolak Hari Santri Nasional," Tempo, Kamis,

(15 Oktober 2015), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL:


http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/15/078709737/muhammadiyah-tolak-
hari-santri-nasional dan Din Syamsuddin, "Din Syamsuddin Tolak Hari Santri
Nasional," (16 Oktober 2016), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL:
http://www.khittah.co/din-syamsuddin-tolak-hari-santri-nasional/1083/
JURNAL ISLAM INDONESIA 331
VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
3 M. C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java, 1926-1949: History, Literature and
Islam in the Court of Pakubuwana II (Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai'i
Press, 1998).

332 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

kategorisasi, konsep-konsep ini tidak sering digunakan dalam teks-


teks tertulis hingga misionaris dan sarjana Belanda S.E. Harthoorn
dan Carel Poensen (1836-1919) menunjukkan fenomena ini untuk
pertama kalinya pada tahun 1850-an dan 1880-an. Laporan Poensen:
... pesantren dan ziarah terus menerus menyebarkan pemahaman
yang lebih baik tentang semangat dan esensi Islam yang
sebenarnya... Memang benar bahwa secara formal agama yang
dianut oleh masyarakat adalah .... Islam... tetapi secara batiniah
masih ada kekuatan-kekuatan lain yang lebih tua yang masih
bekerja... masyarakat [Jawa] membagi diri mereka ke dalam dua
kelas: bangsa pujangga dan bangsa abangan. Kelompok pertama
terdiri dari sejumlah kecil orang... kelompok lainnya terdiri dari
sebagian besar orang...4
Sebelum Poensen menulis surat-surat tentang Islam dari daerah
pedesaan di Jawa pada tahun 1886, Perusahaan Hindia Timur
Belanda dan Pemerintah Belanda berasumsi bahwa orang-orang
Jawa adalah Muslim atau penganut Islam. Pandangan ini menjadi
dasar utama kebijakan mereka. Poensen, seperti yang telah
disebutkan di atas, melaporkan bahwa orang Jawa sebenarnya
membagi diri mereka menjadi dua kategori: bangsa putihan dan
bangsa abangan. Yang pertama merujuk pada sekelompok orang
yang menganggap Islam sebagai jalan hidup mereka secara lahir dan
batin, sementara yang kedua merujuk pada mayoritas orang Jawa
yang menerima Islam sebagai agama formal mereka, tetapi gagasan
dan praktik mereka masih dipandu oleh "agama" lain yang disebut
kejawen, sebuah kombinasi dari sistem pemikiran dan tindakan
religius yang berasal dari, terutama, animisme Jawa kuno,
Hinduisme/Buddhisme, dan Islam.5
Pada tahun 1960, Clifford Geertz mempopulerkan trikotomi
abangan-santri-priyayi dalam buku klasiknya The Religion of Java.
Berdasarkan penelitian antropologis di Pare, Jawa Timur, kota yang
ia beri nama samaran Modjokuto, pada tahun 1950-an, Geertz
menyimpulkan bahwa sistem kepercayaan mayoritas masyarakat
Jawa dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu abangan, santri, dan
priyayi. Kata Geertz:
Abangan, mewakili penekanan pada aspek animisme dari
sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan secara luas terkait
dengan elemen petani

4 C.Poensen, "Surat-surat tentang Islam dari Daerah-daerah Pedesaan di Jawa, 1886,"


dalam Indonesia. Dokumen-dokumen Pilihan tentang Kolonialisme dan Nasionalisme,

JURNAL ISLAM INDONESIA 331


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
1830-1942. ed. dan terj. Christian Lambert Maria Penders. St Lucia (Queensland:
University of Queensland Press, 1977).
5 Lihat Poensen, "Surat-surat tentang Islam".

332 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

santri, yang mewakili penekanan pada aspek-aspek Islam dari


sinkretisme dan umumnya terkait dengan elemen perdagangan
(dan juga elemen-elemen tertentu di kalangan petani); dan
priyayi, yang menekankan pada aspek-aspek Hindu dan terkait
dengan elemen birokrasi.6
Geertz menyebutkan tiga lokus kehidupan religius abangan,
yaitu slametan, kepercayaan roh, dan peran penting dukun. Slametan
(pesta komunal) memiliki fungsi ganda; untuk membuat tuan rumah
merasa slamet (senang/puas, aman, teratur, dan diberkati) dan untuk
mencapai keharmonisan dalam masyarakat. Slametan menggambarkan
"gagasan umum abangan tentang keteraturan, 'rancangan hidup'
mereka".7 Mengenai masalah pengobatan, sihir, dan magis, Geertz
mengatakan bahwa roh-roh menjadi faktor penentu dalam pandangan
hidup abangan. Edward Evan Evans-Pritchard (1902-73), profesor
Antropologi Sosial di Universitas Oxford, dalam bukunya,
Witchcraft, Oracles, and Magic among the Azande, mengatakan bahwa
jika ada sesuatu yang terjadi di Azande, sebuah tempat di Sudan
selatan, hal itu dijelaskan dalam kerangka ilmu sihir.8 Di kalangan
masyarakat abangan di Jawa, Geertz mencatat bahwa makhluk halus
(seperti bangsa alus, memedi, gendruwo, lelembut, setan, jin, tuyul, demit, dan
dayang) merupakan istilah yang lazim digunakan dalam kehidupan
mereka. Gagasan ini terus hadir di bawah permukaan kehidupan
mereka sehari-hari. Segala sesuatu yang terjadi di masyarakat
dihubungkan dengan gagasan tentang roh. Sistem kosmologi ini
secara konstan memaksa mereka untuk mencoba merumuskan
hubungan yang baik dengan roh-roh tersebut.
Jika kepercayaan roh, slametan, dan peran dukun-sebagai dukun
atau tukang sihir-merupakan pola yang paling umum dalam agama
abangan, menurut Geertz, kaum priyayi juga memiliki tiga lokus
kehidupan keagamaan, yaitu, etiket, kesenian, dan mistik. Orang
Jawa menggunakan istilah rasa untuk menyatukan etiket istana, seni,
dan praktik mistik. Menurut Geertz, rasa adalah konsep India yang
diterjemahkan oleh orang Jawa sebagai "perasaan" dan "makna".
Rasa dianggap oleh orang Jawa sebagai fondasi utama "untuk
mengembangkan analisis fenomenologis tentang pengalaman
subjektif yang dengannya segala sesuatu yang lain dapat dikaitkan".9

6 CliffordGeertz, The Religion of Java (Glencoe, Ill.,: Free Press, 1964), hlm. 6.
7 Ibid, hal. 29.
8 E. E. Evans-Pritchard, Witchcraft, Oracles and Magic among the Azande (Oxford:

JURNAL ISLAM INDONESIA 333


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
Clarendon Press, 1976).
9 Geertz, The Religion of Java, hal. 239.

334 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

Bersikeras dengan pandangannya bahwa Hindu dan Buddha


berperan sebagai komponen penentu sistem religius priyayi, Geertz
menyatakan bahwa etiket adalah terjemahan Jawa dari konsep kasta
Hindu. Gagasan yang mendasari etiket Jawa, khususnya etiket
linguistik, adalah untuk membedakan orang berdasarkan status sosial
atau pangkat mereka. Bersikap rendah hati dalam berkomunikasi
dengan orang yang memiliki status sosial yang sama atau lebih
tinggi, yang disebut andap-asor, adalah aspek perilaku yang paling
penting. Selanjutnya, berdasarkan konsepsi yang sama (kasta India),
yang diterjemahkan dan disederhanakan dalam formulasi baru oleh
orang Jawa, yang berbeda dari konsep aslinya, menjadi konsep
pasangan alus (halus) dan kasar (kasar), kesenian Jawa dibangun.
Seni istana adalah alus, seni petani adalah kasar. Awalnya, menurut
salah satu informan Geertz, alus adalah model karya orang-orang
dari kasta Brahmana dan Satriya. Kasar adalah model kerja orang-
orang dari kasta Waisya, Sudra, dan Paria. Akhirnya, gagasan utama
mistisisme Jawa, salah satu dari tiga fokus utama kehidupan religius
priyayi, adalah konsep katekisasi, bagaimana orang menghadapi
atau mengelola rasa mereka.
Dalam menggambarkan pola keagamaan varian santri, Geertz
mengatakan bahwa kelompok ini, pertama, sangat peduli dengan
doktrin agama dan, kedua, memiliki rasa kebersamaan yang kuat.
Karena dua karakteristik ini, tingkat religiusitas mereka yang tinggi
dimanifestasikan dalam bentuk pendidikan, hukum, dan negara.
Fungsi ritual diarahkan pada pemeliharaan komunitas. Geertz
membagi varian santri ke dalam dua kategori: santri modernis dan
santri tradisionalis. Yang pertama terutama adalah Muhammadiyah,
sedangkan yang kedua adalah Nahdlatul Ulama (NU). Pada tingkat
tertentu, kedua kelompok ini memiliki identitas yang berbeda dan
sering kali saling berlawanan, persaingan atau pertarungan mereka
adalah untuk satu tujuan; untuk mengklaim diri sebagai Muslim
yang paling benar, Islam yang paling ortodoks. Kedua kelompok ini
memiliki perbedaan dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama dan
sedikit perbedaan dalam ritual, namun keduanya, terutama selama
masa penelitian lapangan Geertz di tahun 1950-an, memiliki
kepedulian yang sama untuk ikut serta dalam penerapan hukum
Islam dan menentukan bangsa dengan berpartisipasi dalam negara.

Kritik 1: Priyayi sebagai Kelas Sosial, Bukan Kategori Agama


Klasifikasi Geertz tentang masyarakat Jawa menjadi tiga varian
yang ditunjukkan oleh istilah-istilah yang kita telusuri dalam artikel
ini menimbulkan berbagai kritik dari para sarjana. Salah satu kritik
JURNAL ISLAM INDONESIA 335
VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
berfokus pada konsep priyayi dan mempertanyakan apakah ia
merupakan kategori religius yang sebanding dengan

336 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

santri dan abangan. Bagi Heather Sutherland dan Harsja Bachtiar,


priyayi bukanlah kategori agama, melainkan sebuah kelas sosial.10
Fungsi utama priyayi adalah 'perantara'; menyampaikan pesan-pesan
Tuhan kepada kaumnya, menjadi perantara budaya, dan sebagai
penguasa pribumi bagi pemerintah kolonial. Dalam hal agama,
"Pada kenyataannya, priyayi dapat mengikuti tradisi religius-kultural
abangan atau santri... peran kultural, politik, dan sosial mereka
dibentuk oleh fungsi esensial mereka sebagai perantara, yang
menghubungkan pusat dan daerah, elite dan rakyat jelata".11
Sutherland mengungkapkan bahwa catatan sejarah
mengindikasikan bahwa sebagian besar priyayi di Jawa adalah santri.
Ia menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan Jawa kuno menggunakan
sistem teokrasi dan diperintah oleh "pendeta-raja". Oleh karena itu,
raja-raja dari suatu kerajaan secara otomatis menjadi pemimpin agama
di wilayahnya. Mereka sering mengklaim diri mereka sebagai
penjaga dan pemelihara agama. Salah satu gelar raja yang biasa
digunakan oleh kebanyakan raja Jawa adalah khalifatullah (wakil
Tuhan di bumi). Karena sistem aristokrasi yang turun-temurun, para
priayi saat ini merupakan keturunan dari priayi-priayi terdahulu.
Sutherland menyebutkan bahwa banyak birokrat, bupati, dan pejabat
administratif di bawah pemerintahan Belanda, seperti di Kudus,
Tuban, dan Kendal, mengaku sebagai keturunan walisanga
(sembilan wali) yang membawa agama Islam dan kemudian
memerintah di Jawa, khususnya daerah pesisir.
Menggarisbawahi kritik Sutherland, Mitsuo Nakamura juga
menemukan bahwa konsep Geertz tentang priyayi sebagai kategori
agama tidak cocok dan sesuai dengan karya-karya antropologinya.12
Dia mempelajari Muhammadiyah, gerakan Islam terbesar kedua di
Indonesia, yang didirikan di Kauman, sebuah kawasan di dalam
tembok kerajaan Jawa di Yogyakarta, untuk disertasi doktoralnya di
Cornell University. Aktor-aktor utama dalam Muhammadiyah,
termasuk para pendiri gerakan modernis ini, selalu terdiri dari para
priyayi dari Kesultanan Yogyakarta. Dalam konteks ini,
membandingkan priyayi dengan santri bisa menyesatkan. Dalam
pandangan Nakamura, menjadi santri tidak berarti menyimpang dari
status sosial priyayi.

10Lihat Heather Sutherland, "The Priyayi," Indonesia, Vol. 19 (April 1975), hal. 57-77
dan Harsja W. Bachtiar, "The Religion of Java: Sebuah Komentar," dalam Bacaan
tentang Islam di Asia Tenggara, yang disusun oleh Ahmad Ibrahim, Sharon
Siddique, dan Yasmin Hussain (Singapura: ISEAS, 1985).

JURNAL ISLAM INDONESIA 337


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
11 Sutherland,
"The Priyayi," hal. 57.
12Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin: Sebuah Studi tentang Gerakan
Muhammadiyah di Sebuah Kota di Jawa Tengah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1983).

338 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

Kehadiran 'penjaga kunci kerajaan' (abdi dalem jurukunci),


sebuah subkategori dari pejabat keagamaan istana (abdi dalem
santri), sebagai poros masyarakat lokal di Kotagede dan sebagai
bagian integral dari pejabat priyayi di kerajaan-kerajaan Jawa,
mendukung kritik Geertz terhadap Indonesia. Abdi dalem santri
atau priyayi santri bukanlah sebuah "anomali" sebagai sebuah
kategori sosial dan juga bukan sebuah istilah "kebiadaban",
seperti yang dikatakan oleh Geertz.13
Dalam hal religiusitas, Nakamura setuju dengan Sutherland
bahwa ada abangan-priyayi dan santri-priyayi. Hal ini sebanding dengan
menjadi orang yang religius atau tidak religius; Muslim yang taat dan
yang tidak taat. Ia mengatakan, dengan menggunakan terminologi
Marxis, priyayi kelas borjuis hanya dapat dikontraskan dengan kaum
proletar. "Dikotomi abangan-santri adalah kategorisasi yang valid
berdasarkan diferensiasi agama, sementara priyayi adalah kategori
status yang tidak dapat dikontraskan dengan abangan atau santri,
tetapi wong cilik, 'orang kecil'".14

Kritik 2: Dari Abangan ke Kejawen


Dalam studinya mengenai wong Tengger (orang Tengger), Robert
W. Hefner menemukan bahwa istilah abangan bukanlah istilah yang
tepat untuk menggambarkan varian kepercayaan animisme
masyarakat Jawa, khususnya di daerah Tengger.15 "Orang-orang yang
beragama Islam nominal di wilayah t e r s e b u t saat ini cenderung
menyebut diri mereka sendiri sebagai orang Jawa tulen, Jawa asli,
kejawen, atau istilah lain yang mengekspresikan identifikasi mereka
dengan "ke-Jawa-an"".16 Istilah abangan sering dianggap oleh
Muslim nominal sebagai istilah yang menghina. Dengan
menggunakan istilah ini, mengindikasikan bahwa mereka adalah
Muslim yang kurang baik dan harus menjadi subjek pendisiplinan
atau islamisasi dan pemurnian kembali. Bagi Muslim ortodoks,
abangan juga digunakan sebagai julukan yang merendahkan bagi
Muslim non-ortodoks. Inilah alasan mengapa masyarakat Jawa lebih
memilih istilah kejawen daripada abangan. Istilah ini dianggap lebih
tepat sebagai identitas keagamaan mereka. Istilah lain yang
digunakan oleh Hefner dalam bukunya, Hindu Jawa, sebagai
pengganti kata abangan adalah "Muslim Jawa". Istilah ini, bagi
Hefner, memiliki makna yang sama dengan kejawen. "Istilah-istilah
ini dimaksudkan untuk merujuk pada orang-orang yang memenuhi
syarat identifikasi mereka dengan Islam dengan bersikeras pada
13 Ibid, hal. 13.

JURNAL ISLAM INDONESIA 339


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
14 Ibid, hal. 12-13.
15 Robert W. Hefner, Hindu Jawa: Tengger Tradition and Islam (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1985).
16 Ibid, hal. 4 dst.

340 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

pentingnya adat istiadat Jawa yang tidak secara eksplisit disetujui


oleh Muslim yang lebih ortodoks".17
Bagi Hefner, klasifikasi Geertz mengasumsikan adanya
ketegangan dan pertentangan antara kaum abangan dan santri. Hal
ini dapat dimengerti karena pada saat penelitian lapangan Geertz,
Indonesia sedang mengalami kontestasi dan tekanan politik nasional
yang besar. Muslim nominal atau abangan dekat dengan PKI (partai
komunis), Muslim ortodoks atau santri sebagian besar berada di partai
Masyumi dan partai NU, dan priyayi diasosiasikan dengan PNI (partai
nasionalis). Keseimbangan religiusitas yang rapuh hancur oleh
persaingan politik. Kerangka waktu Geertz berbeda dengan Hefner
dan membawa ketegangan politik-keagamaan yang berbeda pula.
Dalam penelitian lapangannya, Hefner melihat bahwa "kaum Muslim
'Jawa' dengan demikian secara terbuka mengakui rasa hormat dan
ketergantungan mereka pada bentuk-bentuk pembelajaran dan
peribadatan Islam, bahkan ketika, seperti yang sering terjadi, mereka
juga mengakui kurangnya pendidikan mereka dalam bentuk-bentuk
yang sama".18
Koentjaraningrat, seorang antropolog Indonesia yang
berpendidikan Amerika, juga memiliki keberatan yang sama dengan
konsep abangan dari Geertz. Baginya, kategorisasi yang paling
tepat untuk religiusitas di Jawa adalah dengan membedakan antara
Agama Jawi dan Islam Santri. Yang pertama adalah varian Islam Jawa
yang lebih sinkretis dan yang kedua adalah bentuk Islam Jawa yang
lebih puritan atau ortodoks. Klasifikasi Koentjaraningrat didasarkan
pada asumsi bahwa semua orang Jawa beragama Islam. Perbedaan
di antara keduanya, dalam sistemnya, adalah pada tingkat keterkaitan
agama dengan Islam.
Manifestasi Agami Jawi dari Islam Jawa mewakili sebuah
kompleksitas yang luas dari kepercayaan dan konsep-konsep
Hindu-Buddha yang cenderung mistik, yang diintegrasikan secara
sinkretis dalam kerangka acuan Islam. Varian Agami Islam
santri dari Islam Jawa, meskipun tidak sepenuhnya kehilangan
unsur-unsur animisme dan Hindu-Buddha, jauh lebih dekat
dengan ajaran dogma formal Islam19
Yang cukup mirip dengan klasifikasi agama orang Jawa dari
Koetjaraningrat adalah kategorisasi Andrew Beatty. Ia mengatakan
bahwa membandingkan istilah abangan dengan santri tidak populer
di daerahnya

17 Ibid.

JURNAL ISLAM INDONESIA 341


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
18 Ibid, hal. 107.
19 Koentjaraningrat, Javanese Culture (Singapura: Oxford University Press, 1985), hlm.
317-318.

342 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

penelitian di Blambangan, Jawa Timur. "Sebaliknya, ada pembedaan


yang lebih tendensius antara wong Islam, orang Islam, dan wong Jawa,
orang Jawa, yang menyiratkan keasingan Islam, jika seseorang
adalah seorang Jawa, atau ketidaksalehan orang Jawa lainnya
(biasanya tetangga), jika seseorang adalah seorang santri".20 Lebih
lanjut, Beatty menjelaskan, dikotomi ini tidak menyiratkan bahwa
kedua kelompok ini selalu bertentangan, apalagi dalam konflik abadi
sebagaimana yang diasumsikan oleh pembacaan karya-karya Geertz.
Seringkali, Beatty mengungkapkan, kedua kelompok ini dengan
mudahnya saling bertukar identitas.
Dalam studinya tentang Kesultanan Yogyakarta, Mark R.
Woodward mencoba mengkritik dan memodifikasi trikotomi Geertz
tentang masyarakat Jawa dengan mengajukan kategori baru: Santri,
Islam Jawa, dan kejawen. Dalam bukunya yang berjudul Islam in Java:
Kesalehan Normatif dan Mistik di Kesultanan Yogyakarta, ia melihat bahwa
Islam adalah bagian dominan dari ke-Jawa-an.21 Maka, sejak awal,
asumsinya berbeda dengan pandangan Geertz yang melihat Islam
sebagai salah satu elemen di antara banyak elemen ke-Jawa-an,
yaitu: pra-Hindu, Hindu, Budha dan Islam. Islam hanya
mempengaruhi permukaan budaya Jawa. Dalam pandangan Geertz,
struktur yang mendasari sistem kepercayaan Jawa tetaplah non-
Islam. Dari urutan dan rentang waktu kehadiran agama-agama
tersebut di Jawa, Geertz berpendapat bahwa pengaruh Islam di pulau
tersebut lebih kecil dibandingkan dengan tiga agama yang datang
lebih awal. Argumennya adalah bahwa animisme telah memberikan
kontribusi besar pada kehidupan masyarakat awam (abangan),
sementara Hinduisme/Buddhisme memberikan dampak yang kuat
pada cara hidup kaum elit (priyayi).
Woodward menemukan bahwa struktur keagamaan yang
mendasari masyarakat Jawa adalah Islam. Oleh karena itu, ia tidak
setuju dengan anggapan Geertz yang mengatakan bahwa abangan
selalu bermusuhan dengan santri. Selain menolak konsep priyayi
sebagai kategori keagamaan, ia juga menolak konsep abangan
sebagai kutub yang berlawanan dengan santri. Abangan, bagi
Woodward, hanyalah sebuah model keberagamaan Islam yang tidak
jauh dari Islam normatif. "Saya akan menyebut varian mistik Islam
Jawa (priyayi dan abangan) sebagai Islam Jawa dan mistik sebagai
kejawen. Islam Jawa dan kejawen adalah dua hal yang berbeda.

20 Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account (Cambridge:


JURNAL ISLAM INDONESIA 343
VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
Cambridge University Press, 1999), hlm. 126.
21 Mark R. Woodward, Islam di Jawa: Kesalehan Normatif dan Mistisisme di Kesultanan

Yogyakarta (Tucson: University of Arizona Press, 1989).

344 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

Kompleksitas doktrin dan ritual yang terkait dengan populasi santri


akan disebut sebagai Islam normatif atau kesalehan normatif".22

Kritik 3: Tidak Ada Batasan yang Kaku


Kritik ketiga terhadap trikotomi Geertz terkait dengan batasan
dan kungkungan dari ketiga kategori struktur religius ini. Andrew
Beatty mengatakan bahwa pembagian masyarakat Jawa menjadi
abangan, santri, dan priyayi sama sekali tidak kaku dan biasanya ada
jalan tengah di antara dua ekstrem, yang sering diabaikan oleh para
sarjana. Di posisi tengah ini, orang dapat dengan mudah melampaui
batas. Beatty mengatakan, "Mereka [orang Jawa] bergerak di antara
'paradigma interpretasi' yang berbeda - mereka mungkin, misalnya,
melihat penyakit atau kemalangan yang 'sama' dengan berbagai cara
dalam hal sihir, kuman, takdir, atau ketidakseimbangan mistik".23
Dalam studinya tentang masyarakat Blambangan di ujung timur
Pulau Jawa, Beatty menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa
dari semua kategori agama berbaur bersama dalam slametan atau
kenduri yang disebut oleh Geertz sebagai pusat ritual Jawa dan salah
satu lokus kehidupan keagamaan abangan. Dalam ritual tersebut,
orang Jawa tidak dapat dimasukkan secara konsisten ke dalam salah
satu kategori yang sedang kita teliti. Bagi Beatty, berbeda dengan
Geertz, slametan bukanlah konsensus simbolik, melainkan penuh
dengan improvisasi dan fragmentasi makna. Ritual ini penuh dengan
doktrin dan ajaran yang kompleks. Dimulai dengan menyalakan
kemenyan, pemimpin ritual mengatakan kepada para hadirin tentang
tujuan ritual yang merupakan persembahan kepada kombinasi dewa-
dewa Jawa, dewa-dewa Hindu-Budha, dan Allah SWT. Dia
mengatakan, "Memang, sebagai orientasi keagamaan, kita
menemukan ketiga varian Geertz, dan kombinasinya, hadir dalam
acara yang sama. Seolah-olah pedagang yang saleh, petani animis
dan mistikus duduk dalam satu acara makan bersama dan
diwajibkan untuk berbicara tentang hal yang memisahkan mereka".24
Menurut Beatty, dalam The Religion of Java, Geertz telah
menyadari adanya wilayah abu-abu dalam religiusitas dan bagaimana
orang-orang di wilayah ini berbaur dalam ritual mereka. Namun,
Geertz tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kelompok
masyarakat ini dan lebih memilih untuk membahas perbedaan yang
tajam antara santri dan abangan. Beatty lebih jauh menjelaskan bahwa
kelompok tengah ini

22 Ibid, hal. 2.

JURNAL ISLAM INDONESIA 345


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani
23 Beatty, Varieties of Javanese Religion, hal. 4.
24 Ibid, hal. 30.

346 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

sebenarnya adalah agama Jawa yang paling dominan. Dia mengatakan


bahwa Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang
biasanya disebut sebagai Muslim tradisional, mewakili jalan tengah
ini.
Dalam ulasannya mengenai The Religion of Java, Harsja Bachtiar
juga menyimpulkan bahwa pembagian antara santri-priyayi-abangan
dalam masyarakat tidaklah kaku. Bachtiar menantang anggapan
Geertz bahwa tradisi rakyat identik dengan tradisi abangan.
Slametan, yang dianggap Geertz sebagai inti dari tradisi abangan,
misalnya, juga dilakukan oleh kaum santri. Lebih lanjut Bachtiar
menyatakan, "pernyataan bahwa kaum tani, dengan pengecualian
petani kaya, mewakili tradisi abangan, sedangkan petani kaya di
desa bersama dengan pedagang di kota mewakili tradisi santri
merupakan penyederhanaan yang patut dipertanyakan".25 Bachtiar
juga menyebutkan bahwa di dalam kategori priyayi terdapat kelompok
priyayi santri dan priyayi abangan.26

Pengembangan Konsep
Meskipun trikotomi Geertz tentang masyarakat Jawa telah dikritik
dan ditentang oleh banyak ahli, klasifikasi sosial ini telah diterima
secara luas dan digunakan sebagai prinsip pengorganisasian standar
dalam mempelajari masyarakat Indonesia. Konsepnya tidak hanya
digunakan dalam studi agama, antropologi dan sosiologi, tetapi juga
dalam sejarah dan ilmu politik.
Dalam politik, pembedaan agama tripartit antara abangan, santri,
dan priyayi sering kali digunakan untuk mengidentifikasi perilaku
pemilih dan kecenderungan partai. Pada masa Orde Lama (1945-
1965), priyayi diasosiasikan dengan PNI (partai nasionalis), santri-
modern dengan partai Masyumi, santri-tradisional dengan partai
NU (partai-partai Islam), sementara abangan dengan PKI (partai
komunis). Muhammadiyah adalah "anggota istimewa" Masyumi dan
pendukung utama partai ini. Partai NU mewakili kaum Muslim
tradisional yang sebagian besar tinggal di pedesaan. Dalam wacana
politik, afiliasi partai dari pemilih Indonesia dengan struktur sosial
mereka biasanya disebut sebagai politik aliran. "Pada tahun 1950-an
di Jawa, keempat varian ini menemukan ekspresi politiknya dalam
istilah aliran, yang berarti aliran atau arus. Di Jawa, ada empat aliran
besar -PNI, PKI,

25 Bachtiar, "The Religion of Java", hal. 281.


26 Ibid, hal. 284-285.

JURNAL ISLAM INDONESIA 347


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

Masyumi, dan NU - yang masing-masing mewakili varian priyayi,


abangan, modernis, dan tradisionalis santri".27
Pada tahun 1970-an, kategorisasi sosial Geertz kembali
digunakan dalam dunia politik. Meskipun situasi politik sudah
berbeda dan partai politik yang mengikuti pemilu juga berbeda
dengan tahun 1950-an dan 1960-an, beberapa ilmuwan politik masih
menggunakan konsep di atas. Seperti yang diungkapkan oleh
William Liddle dan Saiful Mujani, "Ilmuwan politik telah
menggunakan paradigma aliran untuk menjelaskan pemilu
nondemokratis Orde Baru dan pemilu demokratis 1955. Sebuah
versi dari paradigma ini membentuk dasar yang dipilih secara sadar
untuk fusi paksa yang dilakukan Suharto pada tahun 1973 terhadap
semua partai Islam ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
dan partai-partai nasionalis sekuler plus Kristen ke dalam PDI (Partai
Demokrasi Indonesia)".28
Istilah ini muncul lagi sebelum pemilu 1999. Judith Bird,
misalnya, mengatakan bahwa setelah jatuhnya Soeharto, presiden
kedua yang memimpin Indonesia dari tahun 1966 hingga 1998,
politik aliran muncul lagi dalam politik Indonesia. "Untuk
memenuhi tuntutan masyarakat pasca-Soeharto: kepresidenan yang
tidak terlalu kuat, dibatasi hanya untuk dua masa jabatan; sistem
multipartai yang akan merefleksikan aliran yang populer di
masyarakat Indonesia dan dapat menggantikan partai-partai yang
didominasi oleh pemerintah lama dengan politik koalisi".29 P a d a
pemilu 2004, seperti yang diamati oleh Anies Baswedan, politik
aliran lebih terlihat jelas dibandingkan dengan tahun 1999. "Lebih
dari lima dekade setelah periode pertama Indonesia bereksperimen
dengan demokrasi parlementer, polarisasi politik, atau politik aliran,
tetap hadir secara signifikan dalam pemilihan umum di tingkat
nasional... Para pemilih tetap termotivasi oleh preferensi ideologis
mereka".30
Studi mengenai militer Indonesia tidak luput dari trikotomi
sosio-religius Geertz. Banyak pengamat yang berusaha keras untuk
memaksakan pola pembelahan ini dalam militer. Mereka menyebut
personel militer yang taat dan saleh sebagai militer-santri dan, sebaliknya,
menggunakan istilah militer-abangan untuk anggota angkatan bersenjata
yang tidak taat. Seperti yang dijelaskan oleh Allan

27 R. William Liddle dan Saiful Mujani, "Kepemimpinan, Partai, dan Agama:


Menjelaskan Perilaku Memilih di Indonesia," Comparative Political Studies, 40:7 (2007), h.
836.
28 Ibid, hal. 836.

348 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
29 JudithBird, "Indonesia pada tahun 1998:
PriyayiThe Pot Boils Over," Asian Survey, Vol. 39:
1 (Januari-Februari 1999), hal. 31.
30 Anies R. Baswedan, "Politik Indonesia 2007: Kepresidenan, Pemilihan Kepala

Daerah dan Masa Depan Demokrasi," Buletin Studi Ekonomi Indonesia, 43:3 (2007), hal.
339.

JURNAL ISLAM INDONESIA 349


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

A. Samson, misalnya, posisi strategis di militer biasanya tidak


diberikan kepada personel militer yang berlatar belakang santri.
Birokrasi dalam sistem militer Indonesia lebih memilih militer
priyayi atau abangan untuk posisi strategis karena alasan
nasionalisme. Militer santri dianggap lebih condong ke Islam
daripada ke Indonesia. "Pimpinan militer merasa bahwa para santri
menyuntikkan agama ke dalam politik (sehingga melemahkan cita-
cita nasionalisme Indonesia), bahwa mereka terlalu eksklusif dan
tidak toleran untuk menyatukan bangsa, dan bahwa perhatian
mereka yang terlalu besar terhadap agama membuat mereka tidak
layak menjadi pendukung serius modernisasi yang cepat".31
Klasifikasi sosial dalam sistem ekonomi Indonesia juga sering
mengacu pada skema klasifikasi Geertz. Kaum abangan adalah para
petani atau kelas terendah dalam masyarakat. Mereka kebanyakan
tinggal di pedesaan. Kaum santri adalah para pedagang dan pengusaha
kecil. Mereka adalah kelas menengah baru atau pervanus, dalam
terminologi Weber. Kaum priyayi adalah kaum bangsawan lama,
tuan tanah feodal, dan birokrat. Pembelahan sosial ini kemudian
dimanfaatkan oleh PKI (partai komunis) untuk kepentingan politik
mereka. Dalam menganalisis komunisme Indonesia, Rex Mortimer
mengatakan, "PKI berhasil mengembangkan solidaritas kelas yang
cukup besar di kalangan masyarakat miskin desa, terutama dari
kalangan abangan, untuk mendukung kampanye yang cukup luas di
Jawa, Bali, dan, pada tingkat yang lebih rendah, beberapa wilayah di
Sumatera".32 Lawan dari kaum abangan dalam hal ini sering kali
ditunjukan pada kaum santri dan priyayi yang merepresentasikan
kelas borjuis.

Satu Konsep, Banyak Nama


Konsep-konsep alternatif yang diajukan oleh Hefner (Islam Jawa
atau kejawen vs. santri), Woodward (kejawen, Islam Jawa, dan Islam
normatif), Beatty (wong Jawa vs. wong Islam), dan Koentjaraningrat
(agami Jawi dan agami Islam santri) untuk menggantikan dikotomi
abangan-santri dari Geertz, sebenarnya memiliki arti yang sama.
Tujuan dari konsep-konsep ini adalah untuk menandai tingkat
religiusitas atau komitmen terhadap Islam di antara orang-orang
Jawa, apakah mereka dapat diklasifikasikan sebagai Muslim
nominal atau Muslim yang taat. Ukuran standar mereka untuk
mengklasifikasikan orang-orang tertentu dalam dikotomi atau
trikotomi adalah penghargaan orang Jawa terhadap adat istiadat dan
kepatuhan terhadap ajaran Islam. Konsep Geertz, dalam pandangan
Hefner, tidak
350 JURNAL ISLAM INDONESIA
VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi
31 Allan A. Samson, "Tentara dan Islam di Indonesia," Pacific Affairs, 44: (1972), h. 248.

32 Rex.
Mortimer, "Kelas, Pembelahan Sosial dan Komunisme Indonesia," Indonesia, 8
(Oktober 1969), hlm. 18.

JURNAL ISLAM INDONESIA 351


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

mencerminkan identitas orang-orang yang disebut.33 Ini mewakili


varian tertentu dalam bentuk ideal, sedangkan varian yang
berlawanan hanyalah turunan dari yang pertama. Dalam konteks ini,
sebagai varian turunan dari santri, abangan merefleksikan bentuk
yang kurang dan lebih rendah. Oleh karena itu, menarik untuk
mengikuti alasan mengapa Geertz menamai Muslim nominal sebagai
abangan.
Dalam wacana kontemporer tentang Islam di Indonesia, Geertz
sering dikategorikan sebagai seorang sarjana berparadigma lama,
yang sering digambarkan sebagai sarjana yang mengikuti tradisi
intelektual orientalis atau kolonial. "The Religion of Java paling baik
dipahami sebagai pernyataan ulang yang elegan dan perumusan
ulang teoritis dari gambaran kolonial tentang Islam".34 Geertz
menganggap Islam hanya memiliki dampak yang dangkal di Jawa.
Islam adalah lapisan yang ditempatkan di atas banyak elemen ke-
Indonesia-an: pra-Hindu, Hindu, dan Buddha. Dalam perspektif
tersebut, pertanyaannya adalah, mengapa Geertz memilih nama untuk
kelompok dominan, abangan, yang merupakan turunan dari nama
kelompok minoritas, santri? Apakah karena kelompok dominan pada
saat itu secara budaya dan agama lebih rendah? Geertz adalah
seorang antropolog. Karyanya tentang Jawa, tentu saja, dilakukan
pada waktu dan tempat tertentu. Ketika ia melakukan penelitian
lapangan pada tahun 1950-an, istilah abangan sangat erat kaitannya
dengan PKI. Abang (merah) adalah warna komunisme. Terjadi
rasionalisasi istilah abangan dari julukan yang merendahkan menjadi
identitas yang bermartabat. Istilah abangan awalnya memiliki makna
negatif, namun kemudian menjadi istilah yang dapat diterima dan
kehilangan makna merendahkan.
Kata abangan memiliki konotasi yang berbeda pada masa Orde
Baru di Indonesia, dimulai dengan kudeta Komunis pada tahun 1965.
Abangan yang sebelumnya diidentikkan dengan PKI menjadi istilah
yang menakutkan. Inilah salah satu alasan mengapa selama
penelitian antropologi Hefner di Tengger pada tahun 1970-an dan
1980-an, orang-orang tidak lagi menggunakan istilah ini. Abangan
menjadi istilah dengan makna politis sekunder yang menakutkan.
Akibatnya, Hefner menggunakan istilah Islam Jawa atau kejawen untuk
Muslim nominal.
Saat ini, makna baru dari abangan telah mulai berlaku. Abangan
tidak terkait dengan menjadi seorang Muslim secara nominal, tetapi
mewakili sebuah aliran mistik yang kontroversial dalam Islam.
Konon, istilah abangan diambil dari nama seorang mistikus yang
sangat terkenal, Syeh Siti Jenar, yang
352 JURNAL ISLAM INDONESIA
VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi
33 Hefner,beragama Hindu Jawa.
34 Mark R. Woodward, "Berbicara Lintas Paradigma: Indonesia, Islam, dan
Orientalisme," dalam Mark R. Woodward (ed.), Menuju Paradigma Baru: Perkembangan
Mutakhir Pemikiran Islam Indonesia (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996), h.
31.

JURNAL ISLAM INDONESIA 353


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

sering disebut sebagai Syeh Lemah Abang. Ia adalah tokoh


kontroversial dari wali sanga (sembilan wali) yang membawa Islam
ke Jawa.35 Dikatakan bahwa konsep baru ini dibangun untuk
memasukkan abangan ke dalam batas-batas Islam, meskipun
dianggap berada di luar arus utama Islam. Singkatnya, seperti yang
kita lihat dari perkembangan terkini, istilah abangan dapat memiliki
banyak makna dan artikulasi yang berbeda secara kontekstual dan
geografis.

Perspektif Marxis
Ketika Geertz mengklasifikasikan orang Jawa ke dalam tiga
kategori yang berbeda, abangan, santri, dan priyayi, ia tampaknya
merujuk, meskipun secara tidak langsung, pada sistem kasta (sistem
kelas sosial keagamaan) yang berasal dari agama Hindu. Hal ini
dimungkinkan karena orang Jawa masih mempertahankan etika
Hinduistik seperti yang tampak dalam tiga gaya dasar bahasa Jawa,
yaitu, akrab (ngoko), semi formal (madya), dan formal (krama).
Mengikuti gagasan sistem kasta Hindu yang mengklasifikasikan
orang ke dalam Brahmana (pendeta, cendekiawan, dan guru), Ksatria
(prajurit dan penguasa), Waisya (pedagang dan petani), dan Sudra
(pekerja kasar), Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga
kategori agama. Dimasukkannya priyayi sebagai kategori agama
kemudian mendapat kritik paling serius.
Tampaknya akan lebih menarik untuk menyelidiki sistem
religiositas priyayi dan membandingkannya dengan religiositas proletar
dengan menggunakan perspektif Marxis. Sebagian besar sarjana yang
mengkritik dimasukkannya priyayi sebagai kategori agama, belum
mencoba untuk mempelajari varian religiusitas Jawa ini dengan
anggota masyarakat proletar; mereka tidak membawa perspektif
kelas dalam diskusi ini. Tentu saja, adalah keberatan yang valid
untuk menyatakan bahwa religiusitas priyayi tidak dapat
dikontraskan dengan santri atau abangan. Priyayi memiliki karakteristik
religiusitas yang khas yang membedakannya dengan kedua varian
tersebut. Hal ini juga tidak terkait dengan dikotomi modernis versus
tradisionalis atau perkotaan versus pedesaan. Beberapa priyayi
memiliki pemahaman agama yang tradisional dan beberapa di
antaranya memiliki pemahaman yang modern. Sebagian priyayi
merupakan bagian dari abangan, dan sebagian lagi merupakan
bagian dari santri. Rex Mortimer telah mulai membahas masalah
ini.36 Ia membahas masalah sosial
35 A.G. Muhaimin, "The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat dan Adat di

354 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Kalangan Muslim Jawa," Tesis DoktoralPriyayiyang tidak dipublikasikan, The Australian
National University, Canberra, 1995.
36 Mortimer, "Kelas, Pembelahan Sosial dan Komunisme Indonesia".

JURNAL ISLAM INDONESIA 355


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

pembelahan di Indonesia. Sayangnya, ia hanya berbicara tentang


perbedaan kelas antara santri dan abangan dan tidak menyertakan
kelompok priyayi.
Geertz mengatakan bahwa salah satu aspek khas dari praktik
keagamaan priyayi adalah mistik. Hal ini terkait dengan religiusitas
borjuis yang berusaha mencari pembenaran atas kekayaan dan status
sosial mereka. Hal ini sangat kontras dengan religiusitas proletar
yang diadopsi sebagian besar oleh kaum miskin abangan yang
berkonsentrasi pada konsep Ratu Adil (mesias) yang dapat
meningkatkan status mereka dan meringankan penderitaan mereka.
Ketiadaan sarjana yang mencoba memahami religiusitas priyayi
dalam konteks struktur kelas dan ekonomi mungkin disebabkan oleh
sikap tidak simpatik yang diambil oleh para sarjana Marxis terhadap
peran agama dalam pembelahan sosial. Satu-satunya alasan
terjadinya perpecahan sosial, dalam istilah Marxis klasik, adalah
kondisi ekonomi. Alasan lain yang mungkin mengapa aspek
penelitian ini diabaikan adalah karena topik ini sensitif di Indonesia.
Setelah kudeta Komunis pada tahun 1965, siapa pun dan apa pun
yang berhubungan dengan komunisme atau Marxisme menjadi
target pengawasan pemerintah.

Santri Baru di Indonesia Kontemporer


Pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebagaimana diidentifikasi oleh
Geertz, santri terbagi menjadi dua kategori utama: kolot
(tradisionalis) dan moderen (modernis).37 Dengan melemahnya peran
NU dan Muhammadiyah serta tumbuhnya gerakan-gerakan Islam
baru seperti Jemaah Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan Jemaah Tabligh,
maka kategori lama Geertz sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman.38 Machmudi mengindikasikan munculnya
santri-santri baru yang menyimpang dari karakter yang biasa
dilekatkan pada santri tradisionalis dan modernis.39 Ia juga
mengindikasikan adanya perubahan pada dua kategori santri lama
ini yang membuat sebagian dari mereka dengan mudah melebur ke
dalam satu kelompok dan memiliki identitas baru sebagai "santri
moderat". Berbeda dengan Geertz, Machmudi mengidentifikasi tiga
kelompok santri saat ini: konvergen, radikal, dan global. Kelompok
konvergen adalah perpaduan antara tradisionalis dan modernis.
Kelompok radikal adalah kelompok santri yang lebih suka
menggunakan cara-cara revolusioner dalam menerapkan Islam di
Indonesia. Sementara
37 Geertz, The Religion of Java, hal. 129.

356 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
38 Ahmad Najib Burhani, "Aksi Bela Islam:
Priyayi Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas
Keagamaan," Jurnal Maarif, 11:2 (Desember 2017): h. 15-29.
39 Yon Machmudi, "The Emergence of New Santri in Indonesia," Journal of Indonesian

Islam, 2:1 (2008): h. 69-102.

JURNAL ISLAM INDONESIA 357


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

Santri global adalah mereka yang memiliki orientasi trans-nasional.


Klasifikasi Machmudi ini didasarkan pada asal-usul doktrin dan
agenda keagamaan para santri.
Namun, artikel ini menemukan lebih dari tiga kelompok santri
dalam Islam kontemporer Indonesia. Berdasarkan karakter
keagamaan, aktivitas, dan perlakuan mereka terhadap dunia,
setidaknya ada enam kelompok santri: tradisionalis, modernis, neo-
modernis, neo-revivalis, radikalis, dan liberal.40 Definisi tradisionalis
dan modernis sama dengan definisi yang dijelaskan oleh Geertz dan
masih banyak diwakili oleh NU dan Muhammadiyah. Namun,
berbeda dengan identifikasi Geertz, kelompok-kelompok ini telah
meninggalkan agenda untuk mengubah Indonesia menjadi negara
Islam.41 Mereka juga tidak lagi menjadi pendukung penerapan
syariat Islam secara formal, meskipun mereka setuju dengan
penerapan syariat secara substantif.
Beberapa santri neo-modernis dan neo-revivalis mungkin
berasal dari budaya tradisionalis dan modernis. Mereka
meninggalkan perpecahan atau mengurangi perbedaan di antara
keduanya dan memperkenalkan sistem pengajaran baru melalui
kursus-kursus singkat, seminar, dan publikasi. Paramadina, yang
didirikan oleh Nurcholish Madjid, merupakan perwakilan dari santri
neo-modernis, sementara Jemaah Tarbiyah, embrio Partai Keadilan
dan Sejahtera (PKS), dapat dilihat sebagai perwakilan dari neo-
revivalis. Yang pertama sering disebut sebagai Islam substansialis,
sedangkan yang kedua adalah Islam skripturalis. Beberapa anggota
dari kedua kelompok santri ini mewakili konvergensi antara NU dan
Muhammadiyah, tetapi pada saat yang sama berbeda dari kedua
organisasi tua ini. Liberal dan radikal adalah dua kutub ekstrim
santri dalam memahami dan mempraktikkan Islam. Jaringan Islam
Liberal (JIL) sering dianggap mewakili kutub yang pertama,
sedangkan Jemaah Islamiyah (JI) dan Hizbut Tahrir merupakan
representasi dari kutub yang kedua. Ada banyak faktor yang
menyebabkan perubahan ini, di antaranya adalah, pertama,
globalisasi atau lebih spesifik lagi, arus manusia dan ide akibat
revolusi teknologi informasi dan transportasi, dan kedua, dinamika
kehidupan yang tidak dapat dijawab dengan baik oleh organisasi-
organisasi Islam yang sudah mapan, khususnya NU.

40 Karakter utama yang dimiliki oleh semua kelompok santri adalah keterikatan dan
pengabdian kepada Islam. Seorang santri adalah seorang Muslim yang taat.
41 Ahmad Najib Burhani, "Kitab Kuning dan Kitab Suci: Membaca al-Jabiri dalam

perspektif NU dan Muhammadiyah," Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 41:1 (Juni 2015):

358 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Hal. 29-42 Priyayi

JURNAL ISLAM INDONESIA 359


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

dan Muhammadiyah. Sebagaimana dijelaskan oleh Hefner dan


Burhani, anggota kelompok neo-modernis sebagian besar
merupakan lulusan dari sistem pendidikan tinggi, yaitu IAIN
(Institut Agama Islam Negeri), yang didirikan dan dikelola oleh
Kementerian Agama Indonesia dan beberapa di antaranya menerima
gelar doktor dari Amerika Serikat.42
Dengan mempertimbangkan keragaman santri dan orientasi
politik atau agama mereka, ada dua hal yang dapat disimpulkan:
Pertama, menjadi tidak tepat untuk menempatkan mereka dalam
oposisi langsung dengan abangan. Beberapa di antara mereka
bahkan lebih cocok dengan pemahaman Islam abangan dibandingkan
dengan santri lainnya. Lebih jauh lagi, seperti halnya santri, kaum
abangan juga telah mengalami beberapa transformasi. Masih bisa
ditemukan abangan yang naif, tetapi juga bisa ditemukan abangan
yang menyatakan diri dan bangga dalam masyarakat. Kedua, jika
deskripsi Geertz tentang santri lebih terfokus pada Muslim modernis
dan terkait dengan pasar, dalam konteks Hari Santri Nasional saat
ini, makna santri justru sebaliknya, yaitu lebih dekat dengan santri
tradisionalis dan mengabaikan varian santri lainnya.

Kesimpulan
Geertz telah memberikan kontribusi yang tulus dan berharga
dalam identifikasinya mengenai trikotomi abangan, santri, dan
priyayi. Pembagian menjadi tiga unit konseptual ini membantu kita
untuk mengungkap dan menemukan realitas tertentu yang sulit
dipahami dari masyarakat Jawa. Setelah ia menerbitkan bukunya,
The Religion of Java, para cendekiawan menjadi sadar akan struktur
dan pola yang berlaku di Indonesia, dan terutama di Jawa. Karyanya
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap semua penelitian
di Indonesia. Oleh karena itu, para sarjana pasca-Geertz dapat
dengan lebih mudah mengamati dan mendeskripsikan berbagai
aspek di Jawa. Memang benar bahwa sebelum Geertz
mempopulerkan konsep-konsepnya, ada beberapa sarjana yang telah
menyebutkan dikotomi antara kaum putihan atau santri dan kaum
abangan atau Muslim nominal. Namun tidak ada yang menguraikan
perbedaan ini sejelas dan seteliti Geertz. Tidak ada sarjana yang
menyebut adanya pembagian tiga golongan dalam masyarakat Jawa
dan tidak ada pula yang membuat argumen yang kuat bahwa hal
tersebut merupakan potret umum masyarakat Jawa. Setelah Geertz,
kebanyakan sarjana mempelajari masyarakat Indonesia dan Melayu -
seperti yang ditemukan di Malaysia,

360 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
42 Lihat Robert W. Hefner, Civil Islam:
PriyayiMuslims and Democratization in Indonesia
(Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2000) dan Ahmad Najib Burhani,
"Transmisi Pembaruan Islam dari Amerika Serikat ke Indonesia: Mempelajari Warisan
Fazlur Rahman melalui Karya-karya Ahmad Syafii Maarif," Indonesia and the
Malay World, 41: 119 (2013): h. 29-47.

JURNAL ISLAM INDONESIA 361


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

Singapura, Brunei, Filipina selatan, dan Thailand selatan - akan


menerapkan trikotomi ini untuk menganalisis berbagai isu politik,
ekonomi, dan tentu saja agama.
Banyak kritik yang dilontarkan oleh para ahli untuk menentang
Geertz dan pembagian tiga bagiannya. Salah satu kritik yang paling
kuat adalah terkait dengan dimasukkannya priyayi ke dalam
klasifikasi kategori religius Jawa, padahal sebenarnya priyayi
merupakan kelas sosial yang berbeda. Hal ini menjadi titik terlemah
dari teori Geertz tentang masyarakat Jawa. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika trikotomi Geertz biasanya direduksi menjadi
dikotomi santri vs abangan. Lebih jauh lagi, dinamika dan keragaman
masyarakat Indonesia juga mempengaruhi validitas kategori santri
dan abangan. Abangan tidak lagi identik dengan budaya rakyat atau
tradisi desa, tetapi juga dapat ditemukan di kalangan pedagang dan
kaum terpelajar. Santri bahkan lebih rumit dan beragam. Ia tidak
hanya terkungkung dalam kategori lama tradisionalis dan modernis,
tetapi meluas dan berkembang menjadi lebih dari dua varian,
termasuk santri liberal dan santri radikal. Sebagai penutup, setelah
lebih dari enam puluh tahun menjadi paradigma yang berpengaruh
dalam membaca masyarakat Indonesia, teori Geertz tentang agama-
agama di Jawa sudah saatnya direvisi dan disempurnakan. []

Referensi

Buku dan Artikel


Bachtiar, Harsja W. "Agama Jawa: Sebuah Komentar." dalam Bacaan
tentang Islam di Asia Tenggara, yang disusun oleh Ahmad
Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Hussain. Singapura:
ISEAS, 1985.
Baswedan, Anies R. "Politik Indonesia 2007: Pemilihan Presiden,
Pemilihan Kepala Daerah dan Masa Depan Demokrasi."
Buletin Studi Ekonomi Indonesia, 43:3 (2007): hal. 323-340.
- -. "Islam Politik di Indonesia: Lintasan Masa Kini dan Masa Depan."
Asian Survey, 44:5 (2004): hlm. 669-690.
Beatty, Andrew. Ragam Agama Jawa: Sebuah Catatan Antropologis.
Cambridge: Cambridge University Press, 1999.
Bird, Judith. "Indonesia pada tahun 1998: The Pot Boils Over."
Asian Survey, Vol. 39: 1 (Jan. - Feb. 1999): hal. 27-37.

362 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

Burhani, Ahmad Najib. "Aksi Bela Islam: Konservatisme dan


Fragmentasi Otoritas Keagamaan." Jurnal Maarif, 11:2
(Desember 2017): h. 15-29.
----------. "Kitab Kuning dan Kitab Suci: Membaca al-Jabiri dalam
perspektif NU dan Muhammadiyah." Jurnal Masyarakat Indonesia,
Vol 41:1 (Juni 2015): h. 29-42.
- --. "Transmisi Reformasi Islam dari Amerika Serikat ke
Indonesia: Mempelajari warisan Fazlur Rahman melalui karya-
karya Ahmad Syafii Maarif." Indonesia and the Malay World,
41:119 (2013): h. 29-47.
Evans-Pritchard, E. E. Sihir, Peramal, dan Sihir di antara Suku Azande.
Oxford: Clarendon Press, 1976.
Fikri, Ahmad. "Muhammadiyah Tolak Hari Santri Nasional". Tempo
(15 Oktober 2015), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/15/078709737/
muhammadiyah-tolak-hari-santri-nasional
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Glencoe, Ill,: Free Press, 1964.
Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslim dan demokratisasi di Indonesia.
Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2000.
----------. Hindu Jawa: Tengger Tradition and Islam, Princeton, New
Jersey: Princeton University Press, 1985.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Singapore: Oxford University
Press, 1985.
Liddle, R. William dan Saiful Mujani. "Kepemimpinan, Partai, dan
Agama: Menjelaskan Perilaku Memilih di Indonesia."
Perbandingan Politik, 40:7 (2007): h. 832-857.
Machmudi, Yon. "Kemunculan Santri Baru di Indonesia". Jurnal Islam
Indonesia, 2:1 (2008): h. 69-102.
Mortimer, Rex. "Kelas, Pembelahan Sosial dan Komunisme Indonesia."
Indonesia, 8 (Oktober 1969): hlm. 1-20.
Muhaimin, A.G. "Tradisi Islam Cirebon: Ibadat dan Adat di
Kalangan Muslim Jawa." Tesis PhD yang tidak
dipublikasikan, The Australian National University, Canberra,
1995.

JURNAL ISLAM INDONESIA 363


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Ahmad Najib Burhani

Nakamura, Mitsuo. Bulan Sabit Muncul di Atas Pohon Beringin: Studi


tentang Gerakan Muhammadiyah di Sebuah Kota di Jawa Tengah.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
Poensen, C. "Surat-surat tentang Islam dari Daerah-daerah Pedesaan
di Jawa, 1886." dalam Indonesia. Dokumen-dokumen Pilihan
tentang Kolonialisme dan Nasionalisme, 1830-1942. ed. dan
terj. Christian Lambert Maria Penders. St. Petersburg:
University of Queensland Press, 1977.
Ricklefs, M.C. Dunia yang Terlihat dan yang Tak Terlihat di Jawa, 1926-
1949: Sejarah, Sastra, dan Islam di Istana Pakubuwana II.
Honolulu: Allen & Unwin dan University of Hawai'i Press,
1998.
Samson, Allan A. "Tentara dan Islam di Indonesia." Pacific Affairs,
44: (19724): hlm. 545-565.
Sutherland, Heather. "Kaum Priyayi". Indonesia, Vol. 19 (April 1975): hal.
57-77.
Syamsuddin, Din. "Din Syamsuddin Tolak Hari Santri Nasional," (16
Oktober 2016), diakses pada 20 Oktober 2017 dari URL:
http://www.khittah.co/din-syamsuddin-tolak-hari-santri-
nasional/1083/
Tanuwidjaja, Sunny. "Islam Politik dan Partai Islam di Indonesia:
Menilai Secara Kritis Bukti-bukti Kemunduran Politik Islam."
Asia Tenggara Kontemporer, 32:1 (2010): h. 29-49.
Woodward, Mark R. Islam di Jawa: Kesalehan Normatif dan Mistisisme di
Kesultanan Yogyakarta. Tucson: University of Arizona Press,
1989.
----------. "Berbicara Lintas Paradigma: Indonesia, Islam, dan
Orientalisme." dalam Mark R. Woodward (ed.). Menuju
Paradigma Baru: Perkembangan Mutakhir dalam Pemikiran Islam
Indonesia. Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996.

364 JURNAL ISLAM INDONESIA


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Trikotomi Geertz tentang Abangan, Santri, dan
Priyayi

JURNAL ISLAM INDONESIA 365


VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017

Anda mungkin juga menyukai