Pendahuluan
JURNAL ISLAM INDONESIA 329
VOLUME 11, NOMOR 02, DESEMBER 2017
Konsep abangan, santri, dan priyayi adalah tiga istilah yang paling
populer untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan masyarakat
Indonesia pada abad ke-20 dan abad ke-21. Istilah-istilah yang
umumnya dikaitkan dengan Clifford Geertz ini
6 CliffordGeertz, The Religion of Java (Glencoe, Ill.,: Free Press, 1964), hlm. 6.
7 Ibid, hal. 29.
8 E. E. Evans-Pritchard, Witchcraft, Oracles and Magic among the Azande (Oxford:
10Lihat Heather Sutherland, "The Priyayi," Indonesia, Vol. 19 (April 1975), hal. 57-77
dan Harsja W. Bachtiar, "The Religion of Java: Sebuah Komentar," dalam Bacaan
tentang Islam di Asia Tenggara, yang disusun oleh Ahmad Ibrahim, Sharon
Siddique, dan Yasmin Hussain (Singapura: ISEAS, 1985).
17 Ibid.
22 Ibid, hal. 2.
Pengembangan Konsep
Meskipun trikotomi Geertz tentang masyarakat Jawa telah dikritik
dan ditentang oleh banyak ahli, klasifikasi sosial ini telah diterima
secara luas dan digunakan sebagai prinsip pengorganisasian standar
dalam mempelajari masyarakat Indonesia. Konsepnya tidak hanya
digunakan dalam studi agama, antropologi dan sosiologi, tetapi juga
dalam sejarah dan ilmu politik.
Dalam politik, pembedaan agama tripartit antara abangan, santri,
dan priyayi sering kali digunakan untuk mengidentifikasi perilaku
pemilih dan kecenderungan partai. Pada masa Orde Lama (1945-
1965), priyayi diasosiasikan dengan PNI (partai nasionalis), santri-
modern dengan partai Masyumi, santri-tradisional dengan partai
NU (partai-partai Islam), sementara abangan dengan PKI (partai
komunis). Muhammadiyah adalah "anggota istimewa" Masyumi dan
pendukung utama partai ini. Partai NU mewakili kaum Muslim
tradisional yang sebagian besar tinggal di pedesaan. Dalam wacana
politik, afiliasi partai dari pemilih Indonesia dengan struktur sosial
mereka biasanya disebut sebagai politik aliran. "Pada tahun 1950-an
di Jawa, keempat varian ini menemukan ekspresi politiknya dalam
istilah aliran, yang berarti aliran atau arus. Di Jawa, ada empat aliran
besar -PNI, PKI,
Daerah dan Masa Depan Demokrasi," Buletin Studi Ekonomi Indonesia, 43:3 (2007), hal.
339.
32 Rex.
Mortimer, "Kelas, Pembelahan Sosial dan Komunisme Indonesia," Indonesia, 8
(Oktober 1969), hlm. 18.
Perspektif Marxis
Ketika Geertz mengklasifikasikan orang Jawa ke dalam tiga
kategori yang berbeda, abangan, santri, dan priyayi, ia tampaknya
merujuk, meskipun secara tidak langsung, pada sistem kasta (sistem
kelas sosial keagamaan) yang berasal dari agama Hindu. Hal ini
dimungkinkan karena orang Jawa masih mempertahankan etika
Hinduistik seperti yang tampak dalam tiga gaya dasar bahasa Jawa,
yaitu, akrab (ngoko), semi formal (madya), dan formal (krama).
Mengikuti gagasan sistem kasta Hindu yang mengklasifikasikan
orang ke dalam Brahmana (pendeta, cendekiawan, dan guru), Ksatria
(prajurit dan penguasa), Waisya (pedagang dan petani), dan Sudra
(pekerja kasar), Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga
kategori agama. Dimasukkannya priyayi sebagai kategori agama
kemudian mendapat kritik paling serius.
Tampaknya akan lebih menarik untuk menyelidiki sistem
religiositas priyayi dan membandingkannya dengan religiositas proletar
dengan menggunakan perspektif Marxis. Sebagian besar sarjana yang
mengkritik dimasukkannya priyayi sebagai kategori agama, belum
mencoba untuk mempelajari varian religiusitas Jawa ini dengan
anggota masyarakat proletar; mereka tidak membawa perspektif
kelas dalam diskusi ini. Tentu saja, adalah keberatan yang valid
untuk menyatakan bahwa religiusitas priyayi tidak dapat
dikontraskan dengan santri atau abangan. Priyayi memiliki karakteristik
religiusitas yang khas yang membedakannya dengan kedua varian
tersebut. Hal ini juga tidak terkait dengan dikotomi modernis versus
tradisionalis atau perkotaan versus pedesaan. Beberapa priyayi
memiliki pemahaman agama yang tradisional dan beberapa di
antaranya memiliki pemahaman yang modern. Sebagian priyayi
merupakan bagian dari abangan, dan sebagian lagi merupakan
bagian dari santri. Rex Mortimer telah mulai membahas masalah
ini.36 Ia membahas masalah sosial
35 A.G. Muhaimin, "The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat dan Adat di
40 Karakter utama yang dimiliki oleh semua kelompok santri adalah keterikatan dan
pengabdian kepada Islam. Seorang santri adalah seorang Muslim yang taat.
41 Ahmad Najib Burhani, "Kitab Kuning dan Kitab Suci: Membaca al-Jabiri dalam
perspektif NU dan Muhammadiyah," Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 41:1 (Juni 2015):
Kesimpulan
Geertz telah memberikan kontribusi yang tulus dan berharga
dalam identifikasinya mengenai trikotomi abangan, santri, dan
priyayi. Pembagian menjadi tiga unit konseptual ini membantu kita
untuk mengungkap dan menemukan realitas tertentu yang sulit
dipahami dari masyarakat Jawa. Setelah ia menerbitkan bukunya,
The Religion of Java, para cendekiawan menjadi sadar akan struktur
dan pola yang berlaku di Indonesia, dan terutama di Jawa. Karyanya
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap semua penelitian
di Indonesia. Oleh karena itu, para sarjana pasca-Geertz dapat
dengan lebih mudah mengamati dan mendeskripsikan berbagai
aspek di Jawa. Memang benar bahwa sebelum Geertz
mempopulerkan konsep-konsepnya, ada beberapa sarjana yang telah
menyebutkan dikotomi antara kaum putihan atau santri dan kaum
abangan atau Muslim nominal. Namun tidak ada yang menguraikan
perbedaan ini sejelas dan seteliti Geertz. Tidak ada sarjana yang
menyebut adanya pembagian tiga golongan dalam masyarakat Jawa
dan tidak ada pula yang membuat argumen yang kuat bahwa hal
tersebut merupakan potret umum masyarakat Jawa. Setelah Geertz,
kebanyakan sarjana mempelajari masyarakat Indonesia dan Melayu -
seperti yang ditemukan di Malaysia,
Referensi