Anda di halaman 1dari 12

Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No.

1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

Adabiayah Islamic Journal : Jurnal Fakultas Agana Islam Vol. I (1) Januari-Juni 2023
ISSN: XXX-XXX

ADABIYAH ISLAMIC JOURNAL


Jurnal Fakultas Agama Islam
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/adabiyah

Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama

Man and the Need for Religious Doctrine

Rafael Elfan Risaldy1), Silvani Urza Sitorus2)


1)Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia
2)Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia

*Coresponding Email: Rafaelrisaldy14@gmail.com


Email: silvaniurza@gmail.com

Abstrak: Manusia menurut pandangan Islam adalah makhluk Allah s.w.t. yang memiliki unsur dan
daya materi yang memiliki jiwa dengan ciri-ciri berfikir, berakal, dan bertanggungjawab pada Allah
s.w.t. yang diciptakan dengan memiliki akhlak. menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari
tanah”. Sangat sulit mendapatkan pengetahuan yang komprehensif saat membahas tentang manusia,
karena manusia adalah makhluk Allah yang sangat kompleks. Bukan hanya struktur tubuhnya,
tetapi juga masalah yang dihadapi cukup kompleks. Mendidik manusia bukan hanya sekedar
mendidik, teapi harus mengetahui hakikat dari manusia itu. Keterbatasan pengetahuan manusia
tentang dirinya disebabkan karena perhatian manusia hanya tertuju pada alam materi. Pengetahuan
tentang manusia disebabkan karena manusia adalah salah satu makhluk yang dalam unsur
penciptaannya terdapat roh ilahi sedangkan manusia tidak diberi pengetahuan tentang roh kecuali
sedikit. Seorang manusia menampakkan dirinya sebagai manusia jika ia menggunakan akalnya
dalam segala hal. Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan
(atau sejenisnya) serta tata kaidah yang berhubungan dengan adat istiadat, dan pandangan dunia
yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan, pelaksanaan agama bisa dipengaruhi
oleh adat istiadat daerah setempat. Pada zaman sejarah adat menjadi alat untuk menyampaikan
ajaran-ajaran agama. Doktrin adalah sebuah ajaran pada suatu aliran politik dan keagamaan serta
pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan, keagamaan, ketatanegaraan secara bersistem,
khususnya dalam penyusunan kebijakan negara. Secara singkat, doktrin ialah ajaran yang bersifat
mendorong sesuatu seperti memobilisasinya.

Kata kunci: Manusia, Agama, Doktrin Agama.

http://ojs.uma.ac.id/index.php/adabiyah adabiayah@uma.ac.id

37
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

PENDAHULUAN
Secara etimologis Agama berasal dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari
kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang
terpadu, kata agama berarti “tidak pergi”, tetap di tempat, langgeng, abadi yang
diwariskan secara terus-menerus dari satu generasi kepada generasi yang lainnya.”
Pada umumnya, kata “agama” diartikan tidak kacau, yang secara analitis diuraikan
dengan cara memisahkan kata demi kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama
berarti “kacau”. Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-
ajarannya dengan sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan.
Agama Islam merupakan agama yang komprehensif dan berkaitan
dengan berbagai macam ilmu yang mengatur urusan manusia secara terperinci.
Islam akan lebih bermakna dalam kehidupan bagi pemeluknya jika ditinjau
dari berbagai disiplin ilmu antara lain ekonomi, ilmu sosial, budaya, politik,
pendidikan, psikologi, teknologi, hukum, sejarah serta mengandung pesan yang
bermuara pada agama Islam dari urusan yang membutuhkan logika (ta'aquly)
sampai urusan yang membutuhkan hati (ta'abbudy). Melihat sepintas sejarah
peradaban umat manusia, orang akan mengetahui kekuatan pokok dalam
perkembangan umat manusia sekarang ini adalah agama. Melalui iman maka
hal yang dikatakan baik pada manusia itu diperoleh kepada Tuhan, suatu
kebenaran yang barang kali saja orang atheis pun akan sulit menentangnya.
Orang mulia terdahulu seperti Ibrahim, Musa, Isa, Krisna, Buddha, Muhammad
SAW masing-masing dalam tingkatannya sendiri-sendiri telah mengubah
sejarah umat manusia dan menjadikannya bermartabat.
Umat manusia akan terus tenggelam dalam kerendahan dan orang-orang
yang lebih terpelajar tidak lagi memperoleh ketinggian ilmunya yang hanya
diberikan oleh agama apabila sanksi agama tidak ada. Satu fakta tekstualis, Agama
Islam memiliki pesan yang kontradiktif. Satu sisi menekankan pentingnya
lemah lembut dan disisi lain memerintahkan kekerasan atau permusuhan. Ayat
yang satu memerintahkan menghargai atau melindungi non muslim, di ayat
lainnya mengajarkan memusuhi atau memerangi non muslim. Di surah yang ini
memerintahkan melindungi harkat dan martabat manusia, tetapi di ayat
lainnya membolehkan melakukan pembunuhan (qital). Fakta fakta tekstualis
yang dianggap kontradiktif akan merugikan peradaban Islam di internal umat Islam
maupun di mata non muslim. Jika tidak dipahami dengan pendekatan berfikir yang
tepat. Setidaknya ada dua doktrin yang harus ada di dalam agama Islam yaitu
doktrin kebenaran dan doktrin keberagaman. Doktrin kebenaran berkaitan dengan
keyakinan terhadap Islam adalah agama yang suci dan memiliki
kebenaran mutlaq (absolut) jika dibanding dengan agama lainya. Selain

38
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

memiliki doktrin kebenaran mutlaq, Islam sebagai agama sempurna dan


paripurna juga memiliki doktrin keberagaman. Yaitu Islam mengajarkan
keanekaragaman yang ada di dunia. Islam menjelaskan bahwa keberagaman
atau perbedaan menjadi bawaan setiap manusia yang tidak mungkin di hindari
(sunnatullah).
Dilihat dari pengertiannya, agama dapat melahirkan bermacam-
macam definisi atau arti. Oleh karena itu, supaya kita dapat mempunyai
pengertian yang luas, perlu disajikan beberapa pengertian dari bermacam-
macam agama yang ada. Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat
dari sudut kebahasaan (etimologis) dan sudut istilah (terminologis).
Mengartikan agama dari sudut kebahasaan atau etimologis akan terasa
mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah. Hal tersebut karena
pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subjektifitas
dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, tidak mengherankan jika
muncul beberapa ahli yang tidak tertarik untuk mendefinisikan agama.
James H. Leuba, misalnya mengumpulkan semua definisi yang pernah
dibuat orang tentang agama, yang tidak kurang dari 48 teori. Namun,
akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat definisi agama itu
tidak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah semata.
Selanjutnya, Mukti Ali pernah mengatakan,“ Barang kali tidak ada kata yang paling
sulit diberi pengertian dan definisi selain kata agama.” Pernyataan ini
didasarkan pada tiga alasan: Pertama bahwa pengalaman agama adalah soal batini,
subjektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, tidak ada orang yang begitu
semangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Oleh
karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu melibatkan emosi
yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan. Ketiga, konsep
agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.
Dalam masyarakat Indonesia, selain kata agama, dikenal pula kata ad-din
yang berasal dari kata bahasa Arab dan kata Religi dari bahasa Eropa. Bila dilihat
dari asal katanya, “agama” sebenarnya berasal dari kata Sanskerta a dan gam. A =
tidak, dan gam = pergi. Jadi, kata tersebut berarti ‘tidak pergi’, ‘tetap ditempat’,
‘langgeng’, diwariskan secara turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat
yang demikian. Ada lagi yang mengatakan bahwa agam berarti teks atau kitab suci,
dan agama-agama memang mempunyai kitab suci.
Senada dengan Mukti Ali, M. Sutrapratedja mengatakan bahwa salah
satu kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum ialah adanya
perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama, di samping adanya perbedaan
dalam cara memahami serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha
memahami agama. Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda

39
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

dan keluasan interpretasi diri juga berbeda-beda. Sampai sekarang, perdebatan


tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga W. H. Clark, seorang ahi
ilmu jiwa agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat, mengatakan bahwa tidak
ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk
membuat definisi agama.
Hal tersebut karena pengalaman agama adalah subjektif, intern, dan
individual, yang setiap orang akan merasakan pengalaman yang berbeda dari
orang lain. Di samping itu, tampak bahwa pada umumnya orang lebih
condong untuk mengaku beragama, kendati pun ia tidak menjalankannya. Selain
kata “agama”, kita juga mengenal kata “din” yang dalam bahasa Semit berarti
undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan. Agam memang
membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi
orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat ia
tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak
dijalankan oleh seseorang akan menjadi utang baginya. Paham kewajiban dan
kepatuhan membawa pula pada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban
dan yang patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Sebaliknya, yang
tidak menjalankan kewajiban dan tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik.

METODE PENELITIAN
Terkait dari penelitian ini menggunakan Jenis penelitian dengan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif secara intheren merupakan bentuk kajian
multi metode dalam satu fokus. Menurut Sugiyono metode penelitian kualitatif
sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada
kondisi yang alamiah (natural setting), digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana penelitian adalah sebagai
instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna dari pada generalisasi. (Sugiyono. 2012:35)
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara
secara terstruktur alasan menggunakan wawancara secara terstruktur karena lebih
mudah untuk diuji reliabilitasnya dan mudah dikuantifikasikan. Dapat dilakukan
dalam waktu yang singkat sehingga memungkinkan untuk memperoleh jumlah
sampel yang besar dan dapat digeneralisasikan ke populasi yang lebih besar. Dalam
penelitian kualitatif yang menjadi instrument atau penelitian adalah peneliti sendiri.
Dalam penelitian ini, peneliti berfungsi menetapkan fokus penelitian,
memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai

40
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

kualitas data, dan membuat kesimpulan atas semua masalah yang di teliti. Untuk
memudahkan peneliti, digunakan beberapa alat bantu untuk menunjang penelitian
ini diantaranya adalah buku, pulpen, dan lainnya yang dianggap perlu sehingga
peneliti mengetahui secara langsung dari informan terkait dengan bagaimana
komunikasi antar umat beragama di desa bandar setia (Sugiyono 2011:222).
Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik kondisi yang alami, sumber data primer, dan lebih banyak
pada teknik observasi berperan serta, wawancara mendalam.

Tabel Subjek Penelitian


NO KODE NAMA JABATAN KET
1 A.01 Rachel Ruina Mahasiswa Beragama Mahasiswa
Barus Kristen Protestan Ubiversitas HKBP
Nomensen Medan
2 1.02 Muhammad Mahasiswa Beragama Mahasiswa
Alfandi Siregar Islam Universitas
Muhammadiyah
Sumatera Utara
3 A.03 Lambok Mahasiswa Beragama Mahasiswa
Sianturi Kristen Katolik Universitas Medan
4 A.04 Marcelo Mahasiswa Beragama Mahasiswa
Budha Universitas Medan
5 A.05 Afifatul Faujiah Mahasiswa Beragama Mahasiswa
Harahap Islam Universitas Islam
Negeri Sumatera
Utara

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Secara umum, dikutip dari Antropologi: agama dikategorikan menjadi dua
jenis, yaitu Agama Bumi atau Agama Alam dan Agama Wahyu atau Agama Langit.
Agama Bumi disebut sebagai kepercayaan pada sesuatu yang ada di alam bumi.
Mereka merasa yakin terhadap benda apa pun di permukaan bumi punya kekuatan
magis atau spiritual. Biasanya, agama ini dianut oleh masyarakat tradisional yang
masih menghargai kepercayaan nenek moyang. Dalam perkembangannya, Agama
Bumi kental dengan budaya dan adat setempat. Upacara atau ritual keagamaan
dilakukan dengan cara sesuai keadaan aturan daerahnya. Teti Sutardi (2007).
Sedangkan Agama Wahyu didefinisikan sebagai agama yang dianut oleh
masyarakat dunia berdasarkan rasa percaya terhadap adanya wahyu Tuhan. Orang
yang pertama kali menyampaikan wahyu atau perintah Tuhan ini disebut dengan
Nabi. Penganut Agama Wahyu percaya bahwa Tuhan mengatur seluruh aspek
kehidupan, baik di bumi maupun semesta lainnya. Kekuatan yang dimiliki

41
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

penguasa jagat raya ini tidak ada tandingan. Jadi, seluruh manusia wajib mengikuti
wahyu yang diajarkan-Nya melalui Nabi untuk menjalankan kebenaran. Dalam
perkembangan, terdapat beberapa agama yang termasuk Agama Wahyu atau yang
disebut juga Agama Samawi. Ada Yahudi, Katolik, Kristen, Islam, dan lain
sebagainya. Masing-masing agama punya aturan untuk ketika menjalani kehidupan
yang ditulis sedemikian rupa dalam sebuah literasi yang disebut “Kitab Suci”.
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini
dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai
bencana. Ia mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha,
yang dapat membebaskannya dari keadaan itu. Naluriah ini membuktikan bahwa
manusia perlu beragama dan membutuhkan Sang Khaliknya.
Faktor Struktur Dasar Kepribadian
Faktor yang menyebabkan manusia membutuhkan agama, Faktor Kondisi
Manusia terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Untuk
menumbuhkan dan mengembangkan kedua unsur tersebut harus mendapat
perhatian khusus yang seimbang. Unsur jasmani membutuhkan pemenuhan yang
bersifat fisik jasmaniah. Kebutuhan tersebut adalah makan-minum, bekerja, istirahat
yang seimbang, berolahraga, dan segala aktivitas jasmani yang dibutuhkan. Unsur
rohani membutuhkan pemenuhan yang bersifat psikis (mental) rohaniah.
Kebutuhan tersebut adalah pendidikan agama, budi pekerti, kepuasan, kasih
sayang, dan segala aktivitas rohani yang seimbang.
Faktor status manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling
sempurna. Jika dibanding dengan makhluk lain, Allah menciptakan manusia
lengkap dengan berbagai kesempurnaan, yaitu kesempurnaan akal dan pikiran,
kemuliaan, dan berbagai kelebihan lainnya. Dalam segi rohaniah manusia memiliki
aspek rohaniah yang kompleks. Manusia adalah satu-satunya yang mempunyai akal
dan manusia pulalah yang mempunyai kata hati. Sehingga dengan kelengkapan itu
Allah menempatkan mereka pada permukaan yang paling atas dalam garis
horizontal sesama makhluk. Dengan akalnya manusia mengakui adanya Allah.
Dengan hati nuraninya manusia menyadari bahwa dirinya tidak terlepas dari
pengawasan dan ketentuan Allah. Dan dengan agamalah manusia belajar mengenal
Tuhan dan agama juga mengajarkan cara berkomunikasi dengan sesamanya,
dengan kehidupannya, dan lingkungannya.
Fungsi Agama
Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia
dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam
semesta sehingga peraturan yang dibuatNya betul-betul adil. Secara terperinci
agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari aspek keagamaan (religius), kejiwaan

42
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

(psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), hakekat kemanusiaan (human nature),


asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics). Dari aspek religius, agama
menyadarkan manusia, siapa penciptanya. Faktor keimanan juga mempengaruhi
karena iman adalah dasar agama.
Secara antropologis, agama memberitahukan kepada manusia tentang siapa,
darimana, dan mau kemana manusia. Dari segi sosiologis, agama berusaha
mengubah berbagai bentuk kegelapan, kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Agama juga menghubungkan masalah ritual ibadah dengan
masalah sosial. Secara psikologis, agama bisa menenteramkan, menenangkan, dan
membahagiakan kehidupan jiwa seseorang. Agama merupakan salah satu prinsip
yang (harus) dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam
kehidupan mereka. Tidak hanya itu, secara individu agama bisa digunakan untuk
menuntun kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari.
Rasa Ingin Tahu Manusia
Manusia lahir tanpa mengetahui sesuatu ketika yang diketahuinya hanya
“saya tidak tahu”. Petunjuk Allah, akal dan segala potensi manusia, ilmu dan
teknologi sebagai produk dari akal, adalah untuk melaksanakan program hidup
melaksanakan program hidup dan alat untuk mencapai tujuan hidup manusia. Baik
disadari maupun tidak disadari, akal dan potensi yang dimiliki manusia terbatas
kemampuannya. Di dalam memenuhi segala hajatnya, manusia hanya dapat
mecoba, mempelajari, meneliti, memahami dan memanfaatkan yang ada pada
dirinya dan yang ada pada alam semesta. Keterbatasan panca indra dan akal
menjadikan sebagian banyak tanda tanya yang muncul dalam benaknya tidak dapat
terjawab. Hal ini dapat mengganggu perasaan dan jiwanya yang semakin mendesak
pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin gelisah apabila tak terjawab. Hal ini yang
disebut rasa ingin tahu manusia. Manusia membutuhkan informasi yang akan
menjadi syarat kebahagiaan dirinya.
Islam sebagai Doktrin dan Peradaban
Pada dasarnya manusia mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan
dan menyembah-Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing
manusia yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat dan dari satu masa
ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun
pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud maha tinggi
tersebut. Keanekaragaman agama itu menjadi lebih nyata akibat usaha manusia
sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari,
dengan mengaitkannya kepada gejala-gejala yang secara nyata ada disekitarnya.
Maka tumbuhlah legenda-legenda dan mitos-mitos, yang kesemuanya itu
merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan

43
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat. Kata doktrin berasal dari


bahasa Inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian
dibentuk kata doktrina, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau
bersifat ajaran. Selain kata doctrine sebgaimana disebut diatas, terdapat kata
doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam
hal ini misalnya doctrainare ideas ini berarti gagasan yang tidak praktis. Studi
doktrinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang
sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis karena ajaran itu belum
menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau
mengerjakan sesuatu.
Dalam konteks inilah, ada nilai kebenaran ganda: yakni wahyu yang
memiliki nilai mutlak dan penyikapan manusia terhadap kebenaran wahyu yang
sudah tentu bernilai relatif. Dengan demikian, jelaslah bahwa kebenaran agama
memiliki dua pengertian yaitu: Kebenaran tekstual atau wahyu, yakni kebenaran-
kebenaran yang ada dalam kitab-kitab suci. Kebenaran empirik, yakni keyakinan
manusia beragama berdasarkan tekstual (wahyu). Kebenaran yang pertama
bernilai mutlak dan kebenaran yang kedua bernilai relatif. Dalam studi-studi
agama selalu dibedakan cara untuk memperoleh kebenaran agama, yakni
melalui pendekatan teologis dan teoritis. Pendekatan teologis bersumber pada
wahyu yang memiliki nilai mutlak, sedangkan pendekatan teoritis bersumber pada
kenyataan-kenyataan empiris, yang memiliki nilai relatif. Dalam pendekatan
teoritis kebenaran yang diperoleh bukan untuk menggugat kebenaran agama
yang secara teologis sudah diyakini kebenarannya, tetapi untuk menjelaskan
kebenaran wahyu tersebut. Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran
atau obyek studi doktrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doktrinal yang di
maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi
teori-teori yang dikemukakan oleh Islam. Islam didefinisikan oleh sebagian ulama
sebagai berikut:

‫اإلسالم وحي إالهي أنزل إلى نبي محمد صلى هللا عليه وسلم لسعادة الدنيا واألخرة‬
Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat). Berdasarkan
pada definisi Islam sebagaimana dikemukakan di atas, maka inti dari Islam
adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah Alqur`an dan
Sunnah. Alqur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga
puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas, yang
jumlahnya 114 surah. Sedangkan Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga
ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat Sunnah atau Hadis, kita dapat
lihat di berbagai kitab hadis. Misalnya kitab hadis Muslim yang disusun oleh

44
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

Imam Muslim, kitab hadis Shahih Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan
lain-lain. Dari kedua sumber itulah, Alqur`an dan Sunnah, ajaran Islam
diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut
diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber
tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad. Dengan ijtihad ini,
maka ajaran berkembang, karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber
tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis besar atau
global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang
disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan dengan cara ijtihad. Studi Islam dari
sisi doktrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi tentang ajaran Islam
baik yang ada di dalam Alqur`an maupun yang ada di dalam Sunnah serta ada
yang menjadi penjelasan kedua sember tersebut dengan melalui ijtihad.
Hal ini karena kehidupan beragama merupkan salah satu dimensi kehidupan
yang diharapkan dapat terwujud secara terpadu. Jadi sasaran studi Islam
doktrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang kemudian dipelajari
dari sumber ajaran Islam itu. Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati.
Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam,
tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak
dicapai oleh orang yang melakukan studi. Cara-cara pendekatan dalam
mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model
studi ilmu-ilmu sosial dan model studi budaya. Tujuan mempelajari agama Islam
juga dapat dikategorikan ke dalam dua macam, yang pertama, untuk
mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan. Kedua, untuk obyek
penelitian.
Artinya, kalau yang pertama berlaku khusus bagi umat Islam saja, baik yang
masih awam, atau yang sudah sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum
bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana non Islam, yaitu memahami. Akan
tetapi realitasnya ada yang sekedar sebagai obyek penelitian saja. Untuk
memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus melalui dua model,
yaitu tekstual dan konstektual. Tekstual, artinya memahami Islam melalui
wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti memahami
Islam lewat realita sosial, yang berupa perilaku masyarakat yang memeluk
agama bersangkutan. Islam juga mempengaruhi peradaban. Peradaban islam
adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah. Kata Arab ini
sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam.
“Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah.
Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang
yang mensinonimkan dua kata “Kebudayaan” (Arab, al-Tsaqafah: Inggris, culture)
dan “Peradaban” (Arab, al-Hadharah: Inggris, civilization). Dalam perkembangan

45
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

ilmu Antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah


bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat.
Sedangkan, manivestasi-manivestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih
berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan
dalam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam
politik, ekonomi, dan teknologi.
Doktrin dalam agama Islam merupakan agama yang sangat multidimensi
yang dapat dikaji dari berbagai aspek baik dari tinjauan budaya-sosial maupun dari
aspek doktrin sebagaimana yang kami akan jelaskan berikut ini. Agama Islam
apabila ditelaah dari aspek doktrin maka yang akan muncul adalah ajaran-ajaran
yang ada dalam agama Islam itu sendiri yang bisa saja ajaran tersebut tidak dapat
diganggu gugat keberadaannya. Dalam Islam, trilogi doktrin (ajaran) Islam biasa
dikenal dengan trilogi ajaran Ilahi, yakni: Iman, Islam dan Ihsan. Dalam sebuah
hadits dikatakan :

‫بینما نحن جلوس عند رسول للا صلى للا‬: ‫عن عمر بن الخطاب رضي للا عنھ قال‬
‫ال یرى‬, ‫علیھ وسلم ذات یوم إذ طلع علینا رجل شدید بیاض الثیاب شدید سواد الشعر‬
‫وال یعرفھ منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى للا علیھ وسلم فأسند‬, ‫علیھ أثر السفر‬
, ‫یا محمد أخبرني عن اإلسالم‬: ‫وقال‬, ‫ركبتھ إلى ركبتیھ ووضح كفیھ على فخذیھ‬
‫فقال رسول للا صلى للا علیھ وسلم "اإلسالم أن تشھد أن ال إلھ إال للا وأن محمدا‬
‫رسول للا وتقیم الصالة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البیت إن استطعت إلیھ‬
‫أخبرني عن اإلیمان قال "أن‬: ‫قال‬, ‫سبیال "قال صدقت فعجبا لھ یسألھ ویصدقھ‬
‫ 􏰀تؤمن با‬: ‫ومالئكتھ وكتبھ ورسلھ والیوم اآلخر وتؤمن بالقدر خیره وشره "قال‬
‫فإن لم تكن تراه‬, ‫قال "أن تعبد للا كأنك تراه‬, ‫فأخبرني عن اإلحسان‬: ‫قال‬, ‫صدقت‬
‫ قال " ما المسئول بأعلم من السائل " قال‬, ‫ فأخبرني عن الساعة‬, ‫فإنھ یراك " قال‬
‫ قال " أن تلد األمة ربتھا وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء‬. ‫فأخبرني عن اماراتھا‬
‫أتدري من‬, ‫ ثم قال "یا عمر‬, ‫ ثم انطلق فلبث ملیا‬. " ‫الشاء یتطاولون في البنیان‬
‫قال "فإنھ جبریل أتاكم یعلمكم دینكم "رواه مسلم‬, ‫للا ورسولھأعلم‬: ‫ "قلت‬, ‫السائل ؟‬
“Dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu’anh, dia berkata: ketika kami tengah berada di
majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-
laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-
tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia
duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan
meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata, “Hai Muhammad,
beritahukan kepadaku tentang Islam” Rasulullah menjawab, “Islam itu engkau bersaksi
bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan
Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan
mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” Orang itu

46
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

berkata,”Engkau benar,” kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya Orang itu
berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman” Rasulullah menjawab, “Engkau beriman
kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya,
kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk” Orang tadi berkata,
“Engkau benar” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan” Rasulullah
menjawab, “Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau
tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan
kepadaku tentang kiamat” Rasulullah menjawab, “Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu
dari yang bertanya.” selanjutnya orang itu berkata lagi, “beritahukan kepadaku tentang
tanda-tandanya” Rasulullah menjawab, “Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan
puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin
dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.” Kemudian pergilah ia,
aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar,
tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab, “Allah dan Rosul-Nya lebih
mengetahui" Rasulullah berkata,” Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu
tentang agama kepadamu”. (HR.Muslim).

Keimanan merupakan keyakinan secara mutlak kepada Allah SWT. Elaborasi


aspek keimanan dijabarkan oleh para ulama dalam diskursus akidah atau tauhid.
Keyakinan seorang muwahhid dan mukmin membuahkan sikap penyerahan diri
secara total kepada Allah SWT. untuk melaksanakan semua perintah-Nya dan
meninggalkan semua larangan-Nya. Sikap semacam ini merupakan hakikat dari
Islam yang kemudian termaktub dalam bingkai syari'ah dan siyasah yang tercakup
dalam fiqih. Sikap ber-Islam seperti ini tentu tak cukup sekedar di bibir, tetapi perlu
direalisasikan dalam amal (tindakan) yang benar dan luhur sebagai hakikat aspek
ihsan. Pengembangan aspek ihsan tercakup dalam bidang akhlak dan tasawuf.
Keimanan merupakan sentral bagi seorang muslim. Dengan keimanan itulah Islam
akan teruji. Dengan keimanan itu pula, ia akan mampu menjadi orang yang baik
(ihsan). Antara iman, Islam dan ihsan merupakan konsep yang saling berhubungan
dan kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah. Pada hakikatnya, iman tetapi belum
Islam atau Islam tetapi belum iman. Atau sudah iman dan Islam tetapi belum
menjadi ihsan, hanyalah predikat yang dikenakan kepada hamba Allah yang belum
mampu mengamalkan konsep keimanan.

SIMPULAN
Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia
yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu
generasi ke generasi lainnya dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman
hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, yang di
dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya
menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut
tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut. Ada 3

47
Adabiyah Islamic Journal: Vol. 1. No. 1 Januari-Juni 2023
Rafael Elfan Risaldy, Silvani Urza Sitorus: Manusia dan Kebutuhan Doktrin Agama,
h. 37-48

alasan yang melatarbelakangi perlunya agama untuk manusia yaitu Fitrah manusia,
Kelemahan dan kekurangan manusia, dan Tantangan manusia. Secara terperinci
agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari: aspek keagamaan (religius),
kejiwaan (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), hakekat kemanusiaan (human
nature), asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics).

DAFTAR PUSTAKA

Atang, Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 2006, Cetke-VIII Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Abu Ahmadi, Noor Salimi, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, 2008, Cet Ke-5,
BumiAksara, Jakarta.
Budhy Munawar Rachman, Dialog Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994)
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000
Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 2015 Cet ke-21, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hasanah Hasyim.2013.Pegantar Studi Islam.Yogyakarta.Ombak.
http://nurulhakim.multiplay.com/jurnal/item/8
Jalaluddin, Psikologi Agama, 2008, Raja Grafindi Persada, Jakarta.
Magdalena Pranata Santoso, Filsafat Agama, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009)
Nurcholish Madjid, Islam kerakyatan dan keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993-
1994),
NurcholishMadjid, Islam kemoderenandanKeindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1987.
Ramayulis, Psikologi Agama, 2007, Cet ke-VIII KalamMulia, Jakarta.
Rosihon Anwar, dkk. PengantarStudi Islam, PustakaSetia, Bandung, 2009 hal 13
Rosihon Anwar, Dkk, PengantarStudi Islam, 2011, Cetke-II (Pustakasetia,
Bandung)
Ramayulis, Psikologi Agama, 2007, Cetke-VIII Kalam Mulia, Jakarta.
Tempointeraktif.Com - Pandangan Teologis Cak Nur, Cegah Kebuntuan Agama
Zakiyah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarat: Bumi
Aksara.

48

Anda mungkin juga menyukai