Anda di halaman 1dari 108

Panduan Ziarah

Arif Tour & Charter


Ngunut Tulungagung Jawa Timur

PERSONAL IDENTITY

Nama :
Alamat :

Tlp/HP. :
Bus : No Kursi :……….

WARNING…!!!
1
1. Buku ini selalu dibawa selama mengikuti ziaroh.
2. Tunjukkan buku ini kepada Koordinator Bus saat memasuki Bus.
3. Buku ini tidak dapat dipindah tangankan dengan cara apapun tanpa
seizin Panitia.
4. Barang siapa menemukan buku ini harap dikembalikan kepada yang
bersangkutan atau kepada Panitia.
5. Buku sangat terbatas, apabila hilang harap lapor Panitia.

TATA TERTIB PESERTA ZIAROH


A. KEWAJIBAN
a) Mengikuti setiap tahlil hingga selesai.
b) Berpakaian rapi dan sopan syar’an wa adatan.
c) Segera menuju maqbaroh setiap tiba di lokasi ziaroh.
d) Berkumpul di kendaraan 10 menit sebelum pemberangkatan.
e) Meminta izin kepada Panitia apabila meninggalkan bus /
rombongan.
f) Selalu membawa buku panduan dimanapun berada.
g) Menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan dan kesehatan di dalam
maupun luar bus.
h) Menjaga sopan santun dan nama baik almamater jama’ah.
i) Memperhatikan intruksi Panitia.
B. LARANGAN
a) Pindah tempat duduk atau bus tanpa seizin Panitia
b) Meninggalkan rombongan tanpa seizin Panitia
c) Duduk diatas sandaran kursi bus.
d) Membuat gaduh didalam bus dan di tempat ziarah.
e) Istirahat di selain tempat yang ditentukan

C. SANKSI
Barang siapa melanggar tata tertib diatas, maka harus patuh pada
kebijaksanaan Panitia.

D. PERINGATAN :
a) Peserta yang tertinggal setelah batas waktu yang telah
ditentukan, diluar tanggung jawab Panitia.
2
b) Barang hilang atau rusak ditanggung peserta.
c) Bepergian harap selalu bersama-sama.
d) Untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan, diharap tidak
makan / jajan sembarangan.
e) Jadwal route perjalanan bisa berubah sesuai dengan situasi dan
kondisi.
f) Aktifitas yang tidak sesuai dengan jadwal yang ada, sangat
menghambat perjalanan.
g) Selama dalam perjalanan, hendaknya memperbanyak dzikir &
sholawat.
h) Siapkan shodaqoh (recehan) sebelum sampai di tempat ziarah.

3
SEJARAH SINGKAT
PARA AULIA DI JAWA TIMUR

1. KH. ALY SHODIQ UMMAN ( PP. Hidayatul Mubtadi’in


Ngunut)
Alamat: Jl. Raya I Gg. PDAM, Lingkungan 3, Ngunut, Kec. Ngunut,
Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur 66292
A. Biografi Singkat :
KH. Ali Shodiq Umman lahir sekitar tahun 1929 M di dusun
Gentengan lingkungan IV kecamatan Ngunut Kabupaten
Tulungagung Jawa Timur. Ali Shodiq waktu itu lahir dan tinggal
bersama masyarakat Ngunut yang sangat minim akan pengetahuan
agama. Boleh dibilang, karena sangat tidak mengertinya tentang
agama, biasa disebut dengan istilah masyarakat abangan.
Ayah Ali Shodiq bernama Pak Uman. Ia adalah kusir dokar
yang hidup sederhana dan taat beribadah. Ibu Ali Shodiq bernama
Bu Marci. Pasangan suami istri ini datang dari daerah beranama
Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Mereka berdua sangat mendambakan seorang anak yang
‘alim ‘allamah dalam hal agama. Sehingga, Pak Uman pun, sangat
senang dan hormat pada setiap kiai dan santri yang ia temui.
Setiap kali ada santri yang menumpang dokar beliau, beliau siap
mengantarkannya kemanapun santri itu pergi, tanpa memungut
upah darinya.
B. PENDIDIKAN
Setelah menamatkan Sekolah Rakyat dahulu tidak ada SD
Ali Shodiq kemudian mulai “mengembara” ilmu dari satu
pesantren ke pesantren lainnya. Jika dihitung-hitung,
pengembaraan mencari ilmu beliau, kurang lebih selama 26 tahun.
Di awali dari Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Beliau di
sini tidak begitu lama, kemudian beliau nyantri ke Pondok
Pesantren Jampes, Kediri, yang waktu itu diasuh oleh KH. Ihsan
Dahlan. Kemudian pindah ke Pesantren Lirboyo (PP Hidayatul
Mubtadiien), Kediri. Ketika bulan puasa, Ali Shodiq sering
mondok di Pesantren Treteg, Pare, Kediri, yang diasuh oleh KH.
Juwaini Nuh dan pernah juga ke Pesantren Mojosari, Nganjuk,
asuhan K.H Zainuddin.
4
Ali Shodiq juga pernah tabarukan (ngalap berkah: mencari
berkah karena dan untuk Allah kepada ulama’ / wali sepuh) ke
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Asuhan romo KH.
Hasyim Asy’ari (Pendiri NU—Nahdlatul Ulama’) dan pada KH.
Ma’ruf , Kedonglo, Kediri.
Sewaktu beliau, Ali Shodiq, masih nyantri di Pesantren
Jampes, Kediri, beliau meminta kepada ibu angkat beliau, Mbah
Urip, untuk mendirikan sebuah langgar (mushola.red) kecil di
rumahnya, yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya
Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut (PPHM-
Ngunut).
C. PERNIKAHAN
Menurut Mbah KH. Ihsan (Pengasuh Pondok Pesantren
Abul Faidl, Bakalan, Wonodadi, Blitar) setelah KH. Ihsan Jampes
wafat sekitar tahun 1952, Ali Shodiq pindah ke Pesantren Lirboyo
yang waktu itu masih diasuh olehKH. Abdul Karim. Waktu Ali
Shodiq mondok di sinilah, ada peristiwa yang penting, yakni
sekitar tahun 1958, ada seorang Kiai dari Mbaran, Kediri,
KH.Umar Sufyan yang mencari beliau untuk dinikahkan.
Ali Shodiq waktu itu, karena sami’na wa ‘atho’na dengan
guru, beliau mau saja untuk dijodohkan. Tak disangka, rupanya
beliau dijodohkan oleh putri kandung dari KH. Umar Sufyan
sendiri, yakni Auliyah (setelah ibadah haji di ganti menjadi Hj.
Siti Fatimatuzzahro’). Padahal, Auliyah ini, waktu itu masih
berumur 7 tahun. Namun, akad nikahpun akhirnya tetap
dilaksanakan secara sederhana.
Hari bahagia nan penuh berkah, akad nikah seorang calon
kyai dengan putri seorang kyai pun berlangsung jua. Dengan
diantar beberapa santri Lirboyo, beliau berangkat dari Pondok
Pesantren (ponpes) Lirboyo menuju Mbaran, Kediri.
D. WAFAT BELIAU
Pada hari jum’at 23 JULI 1999 K.H ALI SHODIQ
UMMAN jatuh sakit dan kemudian di bawa ke RSI ORPEHA
Tulungagung, beliau di rawat di pavilium arafat, perawatan
intensif terus menerus di lakukan, namun keadaan pun tak
semakin membaik,akhirnya atas kesepakatan keluarga dan saran
dari pihak kedokteran RSI ORPEHA, pada hari RABU 10
5
AGUSTUS 1999, beliau di bawa RS DARMO Surabaya. Selama
4 hari beliau menjalani opname di Surabaya, namun kondisi
beliau tak kunjung membaik, bahkan harapan untuk kesembuhan
kian tipis, hingga pada hari SABTU 14 AGUSTUS 1999 pukul
10.00 BBWI (pagi) rupanya ALLAH SWT, telah menggariskan
untuk memanggil K.H ALI SHODIQ UMMAN , sehingga di pagi
yang cerah itu dengan KHUSNUL KHOTIMAH beliau kembali
ke hadiratnya, INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN.
Beliau wafat pada usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang
istri (yang pada akhirnya 7 bulan kemudian menyusul), 9 putra
putri (6 putra dan 3 putri), serta 12 cucu laki-laki dan perempuan.
Berita wafatnya K.H ALI SHODIQ UMMAN di terima keluarga
di Ngunut jam 11.00 pagi lewat telfon dan 30 menit kemudian
orang-orang yang melayat mulai berdatangan, mereka menggu
kedatangan jenazah K.H ALI SHODIQ UMMAN sambil
berdzikir, jenazah tiba di ngunut pukul 16.00 BBWI. Keesokan
harinya (ahad) pukul 10.00 BBWI setelah di lakukan sholat
jenazah sebanyak 47 kali, lalu jenazah beliau di makamkan di
makam keluarga di sebelah barat MASJID SUNAN GUNUNG
JATI, sampai di liang lahat jenazah beliau di sambut oleh menantu
beliau K.H DARORI MUKMIN, K.H MAHRUS MARYANI,
dengan di sertai putra beliau KH AGUS BADRUL HUDA ALI,
K.H AGUS IBNU SHODIQ ALI, K.H ADIB
MINANURROHMAN ALI, AGUS MINANURROHIM ALI.

2. HABIB AHMAD BIN SALIM AL-MUHDLOR


Alamat : Desa Wates Sumbergempol Tulungagung (Pondok Pesantren
Al-Khoiriyah/Menara Nur Muhammad)
Beliau adalah seorang figur pejuang sejati lahir dan batin untuk
kepentingan umat Islam. Dengan terbukti telah banyak membangun
fasilitas kepentingan umat (bukan kepentingan pribadi / keluarga)
seperti : Masjid, Madrasah, Jalan desa yang dulunya belum ada,
Jembatan penghubung antar desa dan lain - lain. Dalam hal beribadah
Beliau juga memberi contoh mengamalkan dan menekankan kepada
umat untuk beribadah sholat 5 waktu tepat waktu dan berjamaah
dengan istiqomah serta amaliahan bershalawat.
Inilah masjid - masjid yang beliau bangun :
6
1. Masjid Riyadhul Jannah Desa Bendilwungu Tulungagung
2. Masjid Nur Muhammad ( Masjid Menoro Al Muhdlor ) Ds. Wates
Tulungagung
3. Masjid Nur Muhammad kampung Kolwah Desa Surabaya Hilir
Lampung Tengah Sumatra
4. Masjid Nabawi Ds Bendilwungu Tulungagung
Perjuangan Beliau membangun Jalan dan Jembatan antar desa :
1. Jalan dan Jembatan PODO ( 1996 ), menghubungkan desa Wates -
desa Junjung Tulungagung.
2. Jalan dan Jembatan TEMPURSARI, menghubungkan desa Wates -
desa Podorejo Tulungagung
3. Jalan dan Jembatan ORA NYONO, menghubungkan desa Wates -
desa Bendilwungu Tulungagung
4. Jalan dan Dua Jembatan PODO RUKUN yang menghubungkan
antar desa Wates.
5. Jalan dan Jembatan PODO RUKUN 2, menghubungkan desa
Podorejo - desa Bendilwungu Tulungagung
6. Jalan dan Jembatan PODO NGABDI, menghubungkan desa
Bendilwungu - desa Mirigambar Tulungagung.
Habib Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdlor dalam hal pendidkan
dan moral umat Islam Beliau telah mendirikan Yayasan Pendidikan
Formal dan Non Formal yaitu : YAYASAN HABIB SAYID AHMAD
BIN SALIM AL MUHDLOR yang telah diteruskan oleh putra Beliau
yaitu HABIB HAMID BIN AHMAD AL MUHDLOR dengan
membentuk Lembaga Pendidikan Islam Al Khoiriyah ( LPI AL
KHOIRIYAH).
Di dalam Non Formalnya Beliau telah membangun :
a) Madrasah Diniyah untuk anak - anak kampung malam hari
b) Pondok Al Khoiriyah untuk anak - anak yang bermukim.
Di dalam Formal Beliau mendirikan bangunan untuk :
a) Anak - anak PAUD EMAS ( Usia 3 - 4 tahun)
b) Anak - anak PAUD
c) Anak - anak TK Islam Al Khoiriyah
d) Anak - anak SD Islam Al Khoiriyah
e) Anak - anak SMP Islam Al Khoiriyah
f) SMK Al Khoiriyah

7
Pada tahun ajaran 2015-2016 LPI Al Khoiriyah membuka
pendidikan Formal baru yang bernama SMK Al Khoiriyah.
Kegiatan dan Jadwal tetap Majlis Ta'lim Habib Sayid Ahmad
Bin Salim Al Muhdlor:
1) Amaliahan Maulid habsi dan diba'i setiap malam jum'at di Masjid
Nur Muhammad desa Wates.Amaliahan Maulid habsi dan diba'i
setiap ahad pahing di Masjid Nabawi desa Bendilwungu.Amaliahan
Maulid habsi dan diba'i setiap malam senin pon dan senin wage di
Masjid Riyadhul Jannah desa Bendilwungu.
2) Amaliahan Maulid habsi dan diba'i setiap Selapanan di 3 tempat,
desa Wates, desa Demuk, dan desa Pujung.
3) Haul Habib Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdlor. Setiap ahad
akhir bulan Rojab di desa Wates
4) Haul Syekh Abdulloh Bin Ali Nur Alam setiap minggu awal bulan
rojab di Kholwat Surabaya Ilir Lampung Tengah.
5) Haul Raden Patah Bintoro makam Bedalem setiap minggu pertama
bulan Maulud di Campurdarat Tulungagung.
6) Haul syek Zainal Abidin setiap minggu awal bulan Selo di
Macanbang Tulungagung.
7) Haul dan Ziarah Syekh Muhsin (makam Mbah Buyut) Banyu
Sangkar Madura
Kegiatan Pendidikan Hukum ( untuk pendidikan dan membantu
warga yang mendapat masalah hukum disegala bidang dan untuk
masyarakat luas)

3. SUNAN KUNING (SAYYID ZAINAL ABIDIN)


Alamat : Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang
Zaenal Abidin merupakan tokoh penyebar agama Islam di
kawasan barat dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Tulungagung.
Masyarakat luas menyebutnya dengan sebutan Sunan Kuning.
Siapakah dia sebenarnya. Berikut ini kisahnya.
Nama asli Sunan Kuning adalah Zainal Abidin berasal dari Jawa
Tengah. Ketika usia muda nyantri di Pondok Pesantren yang
dipimpin Kiai Mohammad Besari, tokoh ulama yang cukup ternama
dan disegani asal Jetis, Ponorogo. Waktu itu iam mendapat tanah
perdikan dari Sunan Pakubuwono II dari Keraton Surakarta. Selama
menjadi santri, termasuk santri yang memiliki kepandaian yang cukup
8
tinggi. Karena mampu menguasai ilmu agama Islam secara
menyeluruh mulai tafsir, hadis, al qur'an dan kitab-kitab kuning.
Usai menuntut ilmu di Kota Reog, itu Sunan Kuning diberikan
tugas atau amanat untuk menyebarkan agama Islam di daerah timur.
Yakni, Tulungagung dan sekitarnya, termasuk Blitar dan Kediri.
Karena 3 daerah tersebut masih banyak yang belum memeluk agama
Islam. mengingat dulunya merupakan wilayah kekuasaa kerajaan
Kediri dan Majapahit.
Zainal Abidin diyakini menginjakkan kaki di Tulungagung
sekitar tahun 1727 silam. Kedatangannya beliau dikuatkan oleh
sumber dari buku Sejarah dan Babat Tulungagung yang diterbitkan di
oleh Pemkab Tulungagung, Perlu diketahui bahwa, sebelum Desa
Macanbang seperti sekarang ini, dulunya merupakan kawasan hutan
belantara yang sangat angker. Selain dihuni banyak binatang buas,
juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus yang amat
menyeramkan. Saking angkernya, tidak setiap manusia berani
merambahnya. Ibaratnya, jalma mara, jalma mati. Artinya, siapa yang
berani merambah hutan ini, hampir bisa dipastikan akan pulang tinggal
nama "Di daerah Tulungagung pada waktu tersebut, masih hutan
belantara. pohon-pohon besar masih banyak.Sehingga memungkinkan
untuk warga mengkeramatkan hingga melakukan penyembahan.
Hal itulah yang memicu hati Sunan Kuning untuk
meluruskan,"ungkap Kiai Suud salah satu pengasuh Pondok Pesantren
Al Fatah Tulungagung.. Kedatangannya di Tulungagung Zaenal
Abidin diikuti santri-santrinya mengajarkan kepada warga
Tulungagung dan sekitar, untuk memeluk agama Islam secara utuh.
Tetapi ada saja halangan.
Termasuk hinaan atau dipandang miring dari masyarakat yang
belum memeluk agama Islam. Bahkan ada penentangan secara halus.
Halangan dan hinaan tidak membuat Sunan Kuning menyerah begitu
saja. ia tetap terus menyebarkan agama Islam ditengah-tengah
masyarakat yang masih menyembah batu dan pohon. Model
dakwahnya dengan cara-cara yang santun. Lebih banyak memberikan
contoh daripada berbicara. kalau berbicara hanya dengan santri-
santrinya yang belajar kepadanya. Tidak ada cacian maupun hujatan
kepada pemeluk agama dan keparcayaan lain. Hingga akhirnya banyak
umat Islam yang memeluk agama Islam.
9
Setelah banyak pengukutnya, Sunan Kuning mendirikan sebuah
masjid untuk kegiatan belajar agama Islam dan shalat berjamaah. Saat
itupula kondisi umat Islam mulai tertata dan tidak ada yang
menghalangi di daerah Bonorowo waktu itu. Masjid Macanbang
sendiri dibangun tanpa kubah, juga tanpa menara. Atapnya seperti
kebanyakan bangunan joglo. Hanya saja bersusun tiga. Sepintas,
seperti masjid zaman kerajaan Demak.
Dulu, di depan masjid terdapat kubahan batu besar yang
menyerupai kolam. Bahkan, tembok-tembok pagar batu bata mirip
batu candi yang berukuran besar. Tembok pagar tersebut hingga kini
masih berdiri dengan kokoh. Sementara kubangan kini telah tiada. Di
masjid, juga terdapat bebera benda kuno yang diperkirakan
peninggalan Sunan Kuning. Benda-benda yang dimaksud, antara lain
berupa mimbar tempat berkhotbah, dampar untuk tadarusan,
kentongan serta bedhug. Benda-benda ini, hingga sekarang masih bisa
didapati. Hanya saja, untuk mimbar tempat berkhotbah dan dampar
untuk tadarusan, warnanya sudah tidak asli lagi. Kesannya, baru dicat
dengan warna hijau. Selama sekian tahun berdakwah di Tulungagung
akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di belakang masjid. di
Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang. Tulungagung.
Makamnya Makam Sunan Kuning dalam perkembangannya
menjadi salah satu tempat yang ramai diziarahi. Terutama di malam
Jumat Legi. Tak hanya dari Tulungagung dan sekitarnya, tetapi juga
dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maklum, Zainal Abidin konon
berasal dari Jawa Tengah Makam Sunan Kuning nyaris tak pernah sepi
dari peziarah.
Menurut sang Juru Kunci, hampir setiap hari peziarah itu selalu
ada. Hanya saja, jumlahnya tidak pasti. Di hari-hari tertentu, memang
terjadi lonjakan peziarah. Ledakan pengunjung ini, biasa terjadi pada
malam Jumat Legi atau pada tanggal 1 Suro. Para peziarah itu datang
dari berbagai pen- juru daerah untuk ngalab berkah. Makam Sunan
Kuning dan para pengikutnya sendiri berada dalam sebuah bangunan
cungkup. Untuk menziarahinya, seseorang harus melalui sebuah pintu
khusus. Di- katakan pintu khusus, karena tinggi pintu cungkup tersebut
tidak lazim. Saking tidak lazimnya, peziarah harus membungkuk
untuk bisa melewati pintu tersebut.

10
4. PANGERAN BENOWO (MAKAM BEDALEM)
Alamat : Gambiran, Besole, Besuki, Kabupaten Tulungagung, Jawa
Timur 66275
Menurut cerita Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau
Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan
dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan
Mataram. Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati
yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati
bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja
terbesar Mataram. Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra
bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan
Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Menurut salah satu warga yang pernah bertepat tinggal di bedalem
tersebut, tidak ada hubungannya Raden Fatah Bintoto (pangeran
Benawa) dengan masyarakat disekitar Bedalem Besuki karena disitu
masyarakatnya mayoritas beragama Budha.
Pangeran Benowo adalah cikal bakal penyebar Agama Islam di
wilayah Bedalem dan sekitarnya. makam Bedalem tersebut berada di
Desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Sebelum
kita menuju ke komplek makam Bedalem, maka kita akan menaiki
anak tangga menuju ke atas ke arah makam Bedalem, makam
Pangeran Benowo, selain itu juga terdapat pemakaman umum
masyarakat sekitar. Sehingga makam Bedalem sendiri berada di
perbukitan, atau dataran tinggi, lebih atas dari pada keberadaan makam
umum.
Baru-baru ini masyarakat disitu dimasuki oleh agama Islam.
Dulu didaerah bedalem tersebut hanya sebuah rawa-rawa yang
ditengahnya terdapat makam yaitu makamnya Raden Fatah Bintoro.
Sebelum menuju kemakam harus melewati rawa-rawa dengan
menggunakan perahu getek yang telah disediakan disitu baru bisa
sampai pada makam tersebut. Namun kini telah dibangun dengan
megah agar banyak peziarah yang datang kemakam, tetapi peziarah
pada sekarang ini sebelum kemakam harus melewati tangga yang
berjumlah sekitar 100 tangga. Mitosnya dari tangga tersebut sulit
untuk diketahui banyaknya karena setiap kali orang naik turun tangga
jumlahnya sudah berbeda-beda. Jadi hanya orang yang terpilih yang
bisa menghitung tangga naik turun dengan jumlah yang sama
11
Dan juga ada yang mengatakan kalau disitu di bedalem tersebut
sebuah pendompo yang dibuat perkumpulan walisongo. Tidak hanya
walisongo, tetapi juga pejuang Supriadi dan Ir. Soekarno juga
berkumpul di bedalem dalam memecahkan permasalahan dizaman
penjajahan belanda. Awal mula yang membangun atau membabad
dimakam Bedalem yaitu KH. Abdul Fatah Mangonsari dan Abah
Ahmad. Dalam pembangun hanya dibantu oleh murid-muridnya
dengan jerih payahnya mereka membangun makam tersebut agar
kelihatan megah dan nyaman untuk diziarahinya. Dari masyarakat
disitu tidak ada yang membantunya dikarenakan masyarakat disitu
masih beragama budha. Namun pada saat ini masyarakat bedalem
sudah masuk agama Islam yang telah terdoktrin oleh salah satu murid
dari KH. Abdul Fatah mangonsari yang sekarang tinggal di daerah
bedalem.
Beliau menyebarkan islam disitu ketika bulan puasa ramadhan
kemarin dengan melakukan dakwah-dakwah dan mengadakan
pengajian yang diadakan setiap sore di bedalem. Beliau menyebarkan
Islam disitu guna masyarakat disitu agar merawat dan menjaga makam
tersebut. Seseorang yang berziarah disitu ada hari-hari tertentu seperti
malam jumat legi, malam jumat pon, malam ahad pon, jadi seperti
mengikuti tanggalan orang Jawa. Yang ziarah di makam bedalem
bukan hanya orang Tulungagubg saj tetapi diluar Tulungagung, seperti
Madiun, Trenggalek, Blitar, bahkan diluar jawa timur dan dilur Pulau
Jawa. Jadi selain hari-hari tertentu peziarah disitu sepi cuma ada satu
10 atau dua orang saja yang berziarah. Di hari-hari tertuntu itu
dikarenakan seorang melakukan spiritual aliran kebatinan yang
diyakini kalau hari tertentu itu penurunan ilmu kebatinan atau ilmu
Islam Jawa. Namun dalam tanda kutip ilmu jawa yang putih dalam
artian ilmu yang mempunyai banyak sisi positifnya. Sampai sekarang
Bedalem tetap menjadi suatu tempat penting bagi orang Islam
Tulungagung untuk orang-orang speritual karena memiliki
keistimewaan yang tinggi. Menurut perkataan KH. Hasyim di bedalem
mempunyai sinar putih yang tidak bisa terlihat oleh orang yang tidak
mempunyai ilmu kebatinan. Di Bedalem juga dikatakan sebagai
tempat penurunan kekuatan-kekuatan rohani, namun di hari tertentu.
Tidak dihari-hari biasa. Maka dari itu banyak yang meyakini dan
banyak yang mendatanginya. Atas dasar inilah keyakinan mengenai
12
masyarakat yang ada di daerah Bedalem tepatnya di dalam situs
Makam pangeran Benawa.

5. SYEH BASYARUDIN
Alamat : Jl. Basyarudin, Morangan, Bolorejo, Kec. Kauman,
Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur 66261
Tokoh Legendaris pertama bernama Syekh Basyaruddin,
seorang ulama besar yang pertama kali melakukan siar agama islam di
wilayah kabupaten Tulungagung.
Dan beliau sekaligus guru spiritual bupati pertama Tulungagung
yang bernama Tumenggung
Ngabei Mangoendirono.
Garis keturunan Syekh Basyaruddin masih di bawah silsilah
Syekh Abdurrahman bin Syekh Abdul Mursyad (Setono Landean,
Kediri) bin Muhammad Hasan Basyari, Ponorogo.
Setelah beranjak dewasa beliau pindah ke ponorogo, daerah asal
kakeknya.
Kemudian beliau melebarkan dakwah ke Tulungagung dan
selanjutnya menetap di dusun srigading, desa bolorejo kecamatan
kauman.
Awal proses dakwah beliau lakukan dengan mendirikan sebuah
mushola kecil di daerah tersebut, kemudian dengan sabar Syekh
Basyaruddin mendatangi rumah rumah penduduk di sekitarnya.
Beliau mengenalkan ajaran agama islam dengan penuh toleransi,
walaupun tidak sedikit penolakkan yang di hadapinya.
Tetapi dengan gigih dan selalu berdoa agar masyarakat sekitar
bisa menerima hidayat dan memeluk agama islam.
Akhirnya kerja keras beliau mendapat hasil beberapa tahun
kemudian.
Metode dakwah yang di kembangkan Syekh Basyaruddin ini
mampu merubah pandangan masyarakat tentang agama islam.
Dan banyak di antaranya yang secara sukarela menyatakan diri
memeluk agama islam, termasuk juga sang bupati Tulungagung yang
pertama.
Semasa hidupnya Syekh Basyaruddin di kenal sebagai seorang
ulama sufi yang sangat sabar.

13
Menurut cerita Syekh Basyaruddin dalam memilih bahan
makanan selalu dari bahan makanan di bawah kwalitas rata rata yang
di pakai masyarakat sekitar.
Contohnya jika memilih beras, beliau memilih beras yang
banyak terdapat kerikil. Kemudian setelah di masak barulah beliau
memisahkan antara beras dan kerikil dengan sabar.
Dalam bermunajat Syekh Basyaruddin senantiasa membaca ayat
ayat suci alquran. Dan setiap waktu beliau juga isi dengan berdzikir.
Agar beliau tidak ketiduran, konon dalam bermunajat di lakukan di
atas pohon di atas sungai. Jadi jiwa beliau ketiduran akan terjatuh ke
sungai.
Selain itu beliau sangat rajin puasa senen kamis. Setelah Syekh
Basyaruddin wafat, kemudian beliau di makamkan di dusun srigading,
bolorejo. Dan makam beliau menjadi salah satu tempat tujuan wisata
religi di Tulungagung.

6. KHR. ABDUL FATTAH (PONDOK MENARA)


Alamat : Mangunsari, Kec. Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung,
Jawa Timur 66229
A. SEJARAH SINGKAT
KHR. Abdul Fattah lahir pada Kamis Pon, 11 Syawal 1290
H/ 1872 M di Mangunsari Kedungwaru Tulungagung. Dari garis
ayahnya, KHR. Abdul Fattah putra KH. Hasan Tholabi Mangunsari
Tulungagung. Beliau keturunan ke 14 dari Sayyid Nawawi (Sunan
Bayat/ Sunan Pandanaran/ Ihsan Nawawi, Solo) dan keturunan
Rasulullah Saw ke 31. Sedangkan ibunya bernama Nyai Dokhinah,
buyutnya Prawiro Projo, patih Ponorogo ke 5. Nama asli KHR.
Abdul Fattah adalah Muhammad Ma’ruf.
Sebenarnya nama Abdul Fattah itu adalah nama kecil teman
akrabnya dari Popongan Jawa Tengah. Beliau berdua sangat akrab
ketika masih belajar di pondok pesantren Jamsaren Solo. Untuk
melestarikan hubungan tersebut beliau berdua saling tukar nama
semenjak pergi menunaikan ibadah haji sebagi rukun Islam ke lima.
B. PERJALANAN MENUNTUT ILMU
KHR. Abdul Fattah seorang ulama yang menguasai berbagai
bidang ilmu agama Islam yang diperoleh dari berbagai ulama.
Beliau belajar ilmu tauhid kepada KH. Imam Bahri, PP
14
Mangunsari, Pace Nganjuk. Belajar ilmu tasawwuf kepada K.
Zaenuddin, PP Mojosari, Loceret Nganjuk. Belajar ilmu Fiqh
kepada KH. Zaenuddin, PP Cempaka, Brebek Nganjuk. Belajar
ilmu tafsir kepada KH. Idris, PP Jamsaren Solo.
Belajar ilmu Hadits kepada KH. Hasyim Asy’ari, PP
Tebuireng Jombang. Belajar ilmu Nahwu (Gramatika) kepada KH.
Kholil, Bangkalan Madura. Belajar Al Qur’an kepada KH.
Munawir, PP Krapyak Yogyakarta. Dan belajar berbagai bidang
ilmu agama Islam kepada KH. Sayyid Zein dan KH. Mahfudz At-
Turmusy di Masjidil Haram Makkah Saudi Arabia. Waktu yang
dihabiskan KHR. Abdul fattah untuk belajar berbagai ilmu agama
Islam di berbagai pondok pesantren tersebut selama 24 tahun.

15
C. PERJUANGAN BELIAU
Pada masa penjajahan Jepang, ulama- ulama di Tulungagung
banyak yang ditangkap oleh Jepang. Diantaranya adalah KHR.
Abdul Fattah (Mangunsari), Kyai Syarif (Majan), Kyai Mustaqim
(Kauman) dan lainnya. Mereka disiksa dengan berbagai macam
penganiayaan; dipukul, disetrum listrik, dimasukkan ke kandang
ular, ditenggelamkan ke dalam bak air, disulut dengan api rokok
dan berbagai penyiksaan lainnya.
Mereka tetap tabah menjalani penyiksaan di dalam tahanan
Jepang. Tidak henti- hentinya mereka selalu membaca kalimat
thoyyibah; subhanallah, astaghfirullah, masya-Allah, la haula wala
quwwata illa billah dsb. KHR.Abdul Fattah ditahan Jepang jam 8
pagi. Di dalam tahanan selama 9 bulan. Pulang dari tahanan hari
Senin dan Selasanya sudah mulai mengajar santri- santrinya.
D. MENDIRIKAN PESANTREN
Dalam perkembangannya, madrasah yang dirintis
KHR.Abdul Fattah menjadi cikal bakal ponpes tertua di wilayah
Mangunsari, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Dan kini
dikenal dengan nama Ponpes Menara. Awalnya KHR. Abdul Fattah
mendirikan Madrasah, masjid, dan menara sebagai sarana ibadah
bagi umat Islam di sekitar Desa Mangunsari, Kecamatan
Kedungwaru, pada sekitar tahun 1354 H.
Dikatakan KH. Ibnu Katsir Siroj (71), pengasuh Ponpes
Menara, bahwa terbentuknya pesantren bermula dari madrasah
yang dikenal dengan nama Madrasah Bundar. Madrasah ini berdiri
tahun 1354 H, dalam proses pembangunannya terdapat keunikan
tersendiri, yang berkaitan dengan karomah sang pendiri. Yakni
pembangunan gedung madrasah ini hanya membutuhkan waktu 40
hari. Anehnya, konstruksi bangunan atap tembok tanpa
menggunakan otot besi, maklum pada waktu itu otot besi tergolong
langka sehingga beberapa lonjor bambu dijadikan otot bangunan.
Sementara itu, bangunan tersebut sebagai gambaran terhadap
kehidupan ahli tarekat bahwa kehidupannya harus melaksanakan
sebagaimana ibarat bangunan madrasah ini. Terlihat dari bentuk
luarnya persegi sedang dalamnya bulat (bundar), sedang atasnya
mlenthu, maron mengkurep, kekep mengkurep makutho dhuwur,
bulan bintang sembilan, dan lengser.
16
Seiring waktu, kegiatan madrasah ini beralih fungsi yang
semula memakai metode pendidikan klasikal (perpaduan antara
pengetahuan umum dan ilmu agama) seperti halnya kegiatan
diniyah di lingkungan ponpes, menjadi ponpes sepenuhnya. “Akan
tetapi santri juga ada yang khusus menghafal Alquran dan kitab
kuning saja tanpa mondok, ada juga yang nyambi kuliah di
lembaga pendidikan yang berada di luar ponpes,” kata KH. Ibnu
Katsir Siroj
E. KAROMAH KHR. ABDUL FATTAH.
Karomah adalah keistimewaan yang diberikan oleh Allah
kepada hamba- hambanya yang dekat dengan Allah dan selalu
digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Kebalikan dari
karomah adalah istijrod, yaitu kelebihan yang dimiliki hamba Allah
yang jauh dari Allah dan biasanya selalu digunakan untuk tujuan-
tujuan yang tidak baik. KHR. Abdul Fattah adalah termasuk hamba
yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu beliau
mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah :
1. Setiap hari Senin dan Jum’at beliau biasanya membaca sholawat
dziba’ rotibul hadad, tahlil dan dzikir bersama- sama dengan
santri . Pada suatu ketika, setelah melakukan amal- amalan
bersama santri, beliau membagi makanan dan minuman yang
dipersiapkan sendiri. Yang membuat para santri heran adalah
nasi yang disediakan hanya satu belanga dan satu kendi
minuman, namun nasi dan minuman tersebut bisa mencukupi
hadirin yang jumlahnya ratusan dan itupun masih tersisa.
2. Pada suatu hari Kyai Khobir bercerita: Kyai Khobir dan bapak
Wardud mengantarkan makanan beserta lauk pauknya ke tempat
KHR. Abdul Fattah. Beliau hanya mengambil setengah dari
makanan yang dihidangkan dan yang setengah lagi disuruh
membawa pulang. Setelah sampai di rumah, ternyata makanan
yang tadinya tinggal separo kembali utuh seperti semula.
3. Menurut cerita H. Tholhah Josermo (Surabaya), disaat KHR.
Abdul Fattah bermukim di pondok Mangunsari Pace Nganjuk,
pada suatu malam Kyai Imam Bahri (ayah gus Mundir) melihat
cahaya yang bersinar cemerlang dari kamar KHR. Abdul Fattah
yang sedang tidur di dalamnya. Akhirnya disaat itu pula KHR.

17
Abdul Fattah dibaiat sebagai thoriqoh kholwatiyah oleh Kyai
Imam Bahri, pimpinan pondok Mangussari Pace Nganjuk.
4. Pada suatu hari ada orang melihat KHR. Abdul Fattah sedang
sholat Jum’at di masjid Tawangsari, namun orang lain bercerita
melihat beliau, pada hari Jum’at yang sama, sholat Jum’at di
masjid tiban Sunan Kuning Macanbang Gondang. Sehingga
keberadaan beliau tersebut menjadi pembicaraan para santri
pondok.
5. KH. Hasyim Asy’ari Jombang (waktu itu sebagai ketua PB NU)
ingin menemui KHR. Abdul Fattah yang sedang berkhalwat.
Sebelumnya menemui Kyai Siroj untuk menanyakan bagaimana
cara menemui KHR. Abdul Fattah. Oleh Kyai Siroj diminta
menulis di sabak (papan kecil untuk menulis) nama dan
keperluannya kemudian dimasukkan lewat pintu tempat
berkhalwat.
Jika KHR. Abdul Fattah berkenan menerima biasanya
sabak diambil dan diberi jawaban “Salam dan doa semoga
maksud dan tujuan dikabulkan dan diridhoi Allah”, dan jika
belum berkenan menerima sabak tidak diambil. Ternyata sabak
tidak diambil, kemudian KH Hasyim Asy’ari kembali
meneruskan perjalanannya bersilaturrahmi kepada Kyai Zarkasyi
dan Gus Qomaruddin Kauman Tulungagung.
Diwaktu yang sama, KHR Abdul Fattah menemui Gus
Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari) di Jombang
menyatakan ingin menemui ayahnya. Dikatakan oleh Gus wahid
bahwa ayahnya pergi ke Tulungagung ingin bersilaturrahmi
kepada Gus Ma’ruf (nama asli KHR. Abdul Fattah). KHR.
Abdul Fattah tidak bersedia masuk rumah, tapi istirahat di
masjid menunggu sampai KH. Hasyim Asy’ari datang dari
Tulungagung.
Selang beberapa waktu yang ditunggu datang dan
menceritakan kisah perjalanannya dari Tulungagung. KHR.
Abdul fattah menjawab: “Sebetulnya yang harus datang aku
kepada Kyai, bukan malah kyai datang kepadaku”.
F. JASA- JASA KHR. ABDUL FATTAH
1. Penemu Makam Bedalem.

18
KHR. Abdul Fattah sebagai perintis dan pelopor
penggalian benda bersejarah, terutama makam- makam kuno.
Beliaulah yang menemukan dan menggali makam Bedalem
Campurdarat yang didalamnya dimakamkan pejuang- pejuang
Islam, yaitu Pangeran Benowo, Raden Patah dan Dampu Awang.
Setelah ditemukan makam Bedalem beliau menyuruh Kyai
Maklum untuk merawat makam dan mempelopori dakwah
Islamiyah di Campurdarat. Disamping itu beliau juga mendirikan
masjid di Bedalem.
G. WAFAT BELIAU
KH. R. Abdul Fattah wafat pada hari Selasa Pon, 3 Robiul
Akhir 1372 H ( 29 Nopember 1954 M) dan dimakamkan di barat
masjid pondok Mangunsari, sehari setelah meninggalnya, pada hari
Rabu Wage, 4 Robiul Akhir 1372 H (30 Nopember 1954 M).

7. KH. Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek)


Alamat : Pemakaman Auliya' Tambak, Ngadi, Kediri
A. BIOGRAFI SINGKAT
KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan
Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940. Beliau adalah putra KH.
Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri Pon-Pes
Al Falah MojoKediri) dengan Nyai Rodhiyah. Pendiri Pondok
Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri, Kyai Ahmad Jazuli
Usman tidak pernah membeda-bedakan dalam mendidik anak,
termasuk kepada Gus Miek.
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena,
bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala
permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain.
Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek
merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan
Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah
Dzikrul Ghofilin.
B. RIWAYAT KELUARGA
Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek minta
dinikahkan, dan akhirnya beliau menikah dengan Zaenab, putri
KH. Muhammad Karangkates, yang masih berusia 9 tahun.
Pernikahan ini berakhir dengan perceraian, ketika istrinya masih
19
berusia sekitar 12 tahun. Pada masa ini Gus Miek sudah sering
pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah,
tabarrukan ke berbagai guru sufi, dan mendapatkan ijazah wirid-
wirid.
Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati
dari Setonogedong kota Kediri. Pernikahan ini atas saran dari KH.
Dalhar dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir, para guru Gus Miek.
Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi
hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk
berdakwah keluar rumah.
Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis
Setonogedong ditentang KH. Djazuli Utsman dan Nyai Rodliyah.
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu
disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-
diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain.
Buah dari pernikahannya, mereka dikaruniai enam anak,
empat putra dan dua putri yakni H Agus Tajjuddin Heru Cokro, H
Agus Sabuth Pranoto Projo, Agus Tijani Robert Syaifunnawas, H
Agus Orbar Sadewo Ahmad, Hj Tahta Alfina Pagelaran, dan Ning
Riyadin Dannis Fatussunnah.

20
C. WAFAT
Gus Miek wafat pada pada tanggal 5 juni 1993. Beliau
menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi
Mulya Surabaya (sekarang siloam).
Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Beliau dimakamkan di
Pemakaman Auliyya' Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum
muslimin.
Di pemakaman ini pula KH. Anis Ibrahim dari Tulungagung
dimakamkan di sebelah barat makam Gus Miek, dan juga KH.
Achmad Shidiq dimakamkan di sebelah selatan makam Gus Miek.
Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang
kebanyakan adalah guru dan juga murid Gus Miek.

8. Syekh Muhammad Ihsan bin Muhammad Dahlan al-Jampesi al-


Kadiri al-Jawi asy-Syafi'I
Alamat : Jl. Ke Makam, Putih, Kec. Gampengrejo, Kabupaten Kediri,
Jawa Timur 64182
A. BIOGRAFI SINGKAT
Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah
putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan
pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah
adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes.
Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa
Barat, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk
menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.
Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan
dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur
keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di
Tanah Air.
Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh
ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang
berjuluk Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad
ke-16.
Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama
yang suka menggeluti dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam.
Meski memiliki karya kitab yang berbobot, namun ia tak suka
21
publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief, pengasuh
Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.
B. MEMBACA DAN MENULIS
Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka
membaca. Ia memiliki motto (semboyan hidup), ‘Tiada Hari tanpa
Membaca’. Buku-buku yang dibaca beraneka ragam, mulai dari
ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab hingga
bahasa Indonesia.
Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula
hobi menulis dalam dirinya. Di waktu senggang, jika tidak
dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan menulis atau
mengarang.
Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-
ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai
pengasuh pondok pesantren.
Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab
di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat ,
penjabaran dari kitab Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad
Dahlan, Semarang.
Selanjutnya, pada 1932, ulama yang di kala masih remaja
menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah
kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin . Kitab Siraj Al-Thalibin
ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga
bangsa Indonesia.
Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul
Manahij Al-Amdad , penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa
Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H),
ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 halaman itu
sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.
Selain Manahij Al-Amdad, masih ada lagi karya-karya
pengasuh Ponpes Jampes ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-
Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan, sebuah kitab yang
khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum
Islam.
Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati
wa al-Dukhan (kitab yang membahas kopi dan rokok) ini

22
tampaknya ada kaitannya dengan pengalaman hidupnya saat masih
remaja.
Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel.
Orang memanggilnya ‘Bakri’. Kegemarannya waktu itu adalah
menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok.
Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena
Bakri akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata
terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat
hebat.
Sudah dinasihati berkali-kali, Bakri tak juga mau
menghentikan kebiasan buruknya itu.
Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam
seorang ulama bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan
kerabat dengan ayahnya.
Di makam tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada
Allah agar putranya diberikan hidayah dan insaf. Jika dirinya masih
saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur
pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan masyarakat.
Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri)
bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya
sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke
kepalanya.”Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan
kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu
besar ini ke kepalamu,” kata kakek tersebut.
Ia bertanya dalam hati, ”Apa hubungannya kakek denganku?
Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,” timpal Syekh
Ihsan.
Tiba tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke
kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun
dan mengucapkan istighfar. ”Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya
Allah, ampunilah dosaku.”
Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya
bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke
pesantren lainnya di Pulau Jawa.
Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti
KH Saleh Darat (Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan
KH Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura).
23
D. TAWARAN RAJA MESIR
Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan
mampu mengangkat nama hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-
Thalibin.
Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada
1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk
menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia
diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk
lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya
kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud
dengan berdirinya sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes
Jampes di tahun 1942. Madrasah yang didirikan pada zaman
pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih
dikenal dengan sebutan ‘MMH’ (Madrasah Mufatihul Huda).
Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi
para santri dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu.
Kemudian, dalam perkembangannya, pesantren ini pun
berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah
setingkat tsanawiyah dan aliyah.
Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah Air terus ia
lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.
E. KARANGAN FENOMENAL. Siraj Al-Thalibin, Kitab Yang
Sarat Dengan Ilmu Tasawuf
Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren
tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku
berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan
Dahlan al-Jampesi.
Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya
Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad
pertengahan.
Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan
diterbitkan pertama kali pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan
An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan
saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama dengan
sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi.
24
Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak
menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad
pertengahan.
Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi
419 halaman dan juz kedua 400 halaman.
Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak oleh Darul
Fiqr–sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam
cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi
544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.
Kitab tersebut tidak hanya beredar di Indonesia dan negara-
negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di
negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada,
dan Australia, di mana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan
Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu.
Sehingga, kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di
mancanegara.
Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari
kalangan ulama di Timur Tengah. Karena itu, tidak mengherankan
jika kitab ini dijadikan buku wajib untuk kajian pascasarjana
Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga perguruan
tinggi tertua di dunia.
Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan
digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di Tanah Air
dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak.
Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip
dari situs NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis
taklim kaum Muslim di Afrika dan Amerika.
Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini
belakangan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah
sebuah penerbitan terbesar di Beirut, Lebanon, kedapatan
melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan Muhammad
Dahlan al-Jampesi.
Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub Al-Ilmiyah
ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin
dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini
sudah beredar luas di Indonesia.

25
Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi
penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di
paragraf kedua juga diganti dan penerbit menambahkan tiga
halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat
pada 1941, masih satu generasi dengan Syekh Ihsan al-Jampesi
yang wafat pada 1952.
Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan
keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal.
Penerbit juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari
Syekh KH Hasyim Asyari (Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin
Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad Yunus Abdullah
(Kediri).
Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern
ini. Misalnya, pengertian tentang uzlah yang secara umum
bermakna pengasingan diri dari kesibukan duniawi.
Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang
adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat
majemuk, namun tetap menjaga diri dari hal-hal keduniaan.
F. WAFAT
Tepat pada hari senin pukul 12 tanggal 25 Dzulhijjah 1371H
atau 16september 1952, KH. Ihsan dipanggil oleh Allah swt untuk
selama – lamanya dengan diiringi deraian air mata dari para
keluarga dan santri yang masih sangat membutuhkan bimbingan
dan pendidikan beliau. Jenazah beliau dimakamkan pada sore hari
itu juga disebelah makam ayahnya di pemakaman khusus di desa
putih yang berjarak 1KM disebelah selatan Jampes, tempat dimana
disitu para keluarga dimakamkan.

9. KH. ABDURROHMAN WAHID (GUS DUR)


Alamat : Jl. Irian Jaya Tebuireng No.10, Cukir, Kec. Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur 61471
A. BIOGRAFI SINGKAT
KH. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa dengan
panggilan Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4
Agustus 1940. Namun sebenarnya tanggal tersebut lahir dari
kesalahpahaman memahami kalau beliau dilahirkan di bulan 8.
Namun yang dimaksud bukanlah masehi, tapi hijriyah sehingga
26
yang tepat ia dilahirkan pada 4 Sya’ban tahun 1940/7 September
1940. Namun demikian, Gus Dur memperbolehkan dua tanggal
kelahiran tersebut untuk diperingati sebagai hari lahirnya.
Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman ad-Dakhil yang
bermakna “sang penakluk”, sebuah nama yang diberikan
ayahandanya, KH. Wahid Hasyim dengan inspirasi dari seorang
perintis bani Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan
Islam di Spayol. Namun belakangan, kata “Addakhil” tidak cukup
dan diganti dengan nama “Wahid” menjadiAbdurrahman Wahid.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara.
Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama,
yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj.
Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH.
Bisri Syansuri.
Secara nasab, Gus Dur bisa dikatan memiliki garis keturunan
orang besar. Beliau tak lain adalah cucu KH. Hasyim Asy’ari,
Pendiri Nahdatul Ulama dan salah seorang ulama berpengaruh
dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jika ditarik keatas dari
kakeknya, maka nasab beliau akan bersambung dengan Nabi
Muhammad SAW, melalui Maulana Ishaq, salah seorang wali
songo.
Dari jalur ibu, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri pondok
pesantren Denanyar, Jombang, KH. Bisyri Syansuri, yang ikut
mendirikan dan memimpin Nahdlatul Ulama dan berperan dalam
pergerakan nasional dan awal kemerdekaan. KH. Bisri Syansuri
tercatat pernah menjabat menjadi Rais Aam PBNU, sebagai
anggota DPR RI, dan pakar di bidang fikih.
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran
membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya.
Selain itu beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di
Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan
berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping
membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan
Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di
televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya
adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya
27
mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri
Festival Film Indonesia.
B. RIWAYAT KELUARGA
KH. Abdurrahman Wahid melepas masa lajangnya dengan
menikah Ibu Nyai. Hj Sinta Nuriyah. Buah dari pernikahannya,
beliau dikaruniai empat orang anak.
1. Alissa Qotrunnada Munawaroh
2. Zannuba Arifah Chafsoh
3. Annita Hayatunnufus
4. Inayah Wulanda
C. WAFAT
KH. Abdurrahman Wahid wafat pada tanggal 30 Desember
2009, pukul 18.40 WIB, dalam usianya yang ke 69 tahun di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Saat kepergian guru bangsa, Pondok Tebuireng tumpah ruah
penuh dengan lautan manusia yang ingin menyaksikan proses
dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak.
Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia
berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.
Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang
memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan
Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik,
Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-
masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto
Gus Dur di altarnya masing-masing.
Kini, pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan sang zahid
Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here Rest a Humanist” itu
tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi
kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini.
Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.
D. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Menuntut Ilmu Sampai Mesir Dan Irak
Pertama kali belajar, Gus Dur belajar mengaji dan membaca al-
Qur’an pada sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari. Dalam usia lima
tahun beliau telah lancar membaca al-Qur’an. Sewaktu kecil juga,
Gus Dur sudah mulai menghafal al-Qur’an dan puisi dalam bahasa
arab. Pada tahun 1944, Gus Dur dibawa ke Jakarta oleh ayahnya
28
yang mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy’ari untuk mewakili
beliau sebagai Ketua Jawatan agama dalam pemerintahan
pendudukan Jepang.
Meskipun ayahnya merupakan tokoh terkemuka, Gus Dur tidak
menempuh pendidikan di sekolah elit yang biasa dimasuki oleh
anak para pejabat. Gus Dur memulai pendidikannya di Sekolah
Rakyat (SR) sebuah sekolah bentukan pemerintah Hindia Belanda
untuk anak pribumi atau SD KRIS sebelum akhirnya pindah ke SD
Perwari. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Tanah Abang. Namun
karena tidak naik kelas, ibunya kemudian memindahkannya untuk
sekolah di SMEP di Yogyakarta dan tinggal di rumah tokoh
Muhammadiyah, pak Junaid sambil mengaji di tempat KH. Ali
Maksum, Pondok Pesantren Krapyak.
Ada kisah yang tidak sederhana dibalik peristiwa Gus Dur
tidak naik kelas. 19 April 1953, KH. Wahid Hasyim baru berusia 39
tahun, meninggal dunia akibat kecelakaan mobil di Cimahi dan Gus
Dur menyertai di perjalanan waktu itu. Hal ini menjadi peristiwa
yang amat memilukan bagi Gus Dur yang kala itu usianya baru 13
tahun, yang menyebabkan Gus Dur tidak naik kelas. Tahun 1957,
beliau meneruskan pendidikan ke Magelang di Pondok Pesantren
Tegalrejo dibawah bimbingan Kiai Chudori.
Gus Dur kemudian melanjutkan perjalanan mencari ilmunya ke
Jombang untuk belajar secara penuh di Pondok Pesantren Tambak
Beras dibawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Kemudian Gus
Dur kembali belajar di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, dan
beliau tinggal dirumah kiai Ali Maksum.
Tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian
Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Meski
sudah mahir berbahasa Arab, Gus Dur diharuskan mengambil kelas
remedial terlebih dahulu, karena tidak mampu memberikan bukti
bahwa beliau memiliki kemampuan berbahasa Arab. Hal ini
membuat Gus Dur merasa bosan, karena harus mempelajari materi
yang sudah beliau pelajari selama di pesantren. Gus Dur lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk mengunjungi toko-toko
buku, perpustakaan, hingga ke bioskop dalam upayanya dalam
menggali khazanah peradaban yang pernah terjadi di Mesir.
29
Perpustakaan bukanlah salah satu referensi Gus Dur dalam
memperkaya wawasannya. Dimanika politik di Mesir juga menjadi
referensi Gus Dur dalam memperkaya wawasan. Gus Dur dengan
cermat mengamati kondisi Mesir kala itu, khususnya berkaitan
perseteruan antara penguasa Mesir dengan organisasi Ikhwanul
Muslimin dibawah komando Sayyid Qutub.
Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, ia masuk dalam
Depertement of Religion Universitas Baghdad. Selama di Baghdad,
Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang berbeda dengan
sebelumnya, dimana Irak juga merupakan sebuah negara modern
yang memiliki peradaban Islam cukup maju.
Di Baghdad. Gus Dur menyelesaikan pendidikan sarjana.
Kemudian ia melanjutkan S2, judul tesisnya sudah diajukan. Tapi
sayangnya, sang pembimbing meninggal dunia, dan Gus Dur sangat
sulit untuk mencari penggantinya, walhasil Gus Dur memilih untuk
pulang ke Indonesia.
Tahun 1971, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Karir
Gus Dur terus merangkak dan menjadi peneliti untuk majalah
Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan sangat baik,
dan dari menulis di media massa itu Gus Dur dikenal sebagai
intelektual.
Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk mengisi
perkuliahan dan seminar yang menyebabkan ia harus pulang pergi
Jakarta-Jombang, tempat ia dan keluarganya tinggal. Namun
honorarium dari tulis menulis artikel ini tidaklah mencukupi untuk
menutupi biaya hidup keluarganya. Sehingga, Gus Dur dan sang
istri sempat harus tetap berjualan es lilin dan kacang tanah.
GURU-GURU BELIAU
1. KH. Hasyim Asy’ari
2. KH. Wahid Hasyim
3. KH. Ali Maksum
4. KH. Chudori
5. KH. Wahab Chasbullah
E. KARIER, JASA, DAN KARYA BELIAU
Karier

30
1972-1974 : Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari,
Jombang, sebagai Dekan dan Dosen
1974-1980 : Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
1980-1984 : Katib Awwal PBNU
1982-1985 : Menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
1984-2000 : Ketua Dewan Tanfidz PBNU
1987-1992 : Ketua Majelis Ulama Indonesia
1989-1993 : Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
1998 : Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua
Dewan Syura DPP PKB
1999-2001 : Presiden Republik Indonesia
2000 : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
2002 : Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa
Timur, Indonesia
2004 : Pendiri The WAHID Institute, Indonesia
F. JASA-JASA BELIAU
Mengembalikan NU Ke Khittah 1926
Saat menjadi ketua PBNU inilah di tahun 1984 NU
menginisiasi gagasan “Kembali ke Khittah 1926” dimana NU tidak
lagi terlibat secara kelembagaan dalam kegiatan politik praktis.
Gus Dur memiliki sebuah penawaran yang sangat brilian tentang
“kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang
politik praktis.
Membuat Partai Politik Bersama Tokoh NU
Menjelang pertengahan 1998, Gus Dur dalam masa periode
ketiga menduduki jabatan ketua PBNU. Melihat situasi carut negara
ini mengharuskan NU turut andil dalam perpolitikan, akhirnya Gus
Dur membuat PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) bersama-sama
tokoh NU lainnya sebagai wadah bagi masyarakat NU supaya bisa
mengikuti pemilihan legislatif pada tahun 1999, dan akhirnya PKB
bisa mengikuti pemilihan legislatif.
G. KARYA-KARYA BELIAU
1. Islamku, Islam Anda, Islam Kita
2. Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan
3. Tuhan Tidak Perlu Dibela
4. Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan
31
5. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
6. Khazanah Kiai Bisri Syansuri
7. Menggerakkan Tradisi Pesantren
8. Melawan melalui Lelucon: Kumpulan KolomAbdurrahman
Wahid di Tempo
9. Prisma Pemikiran Gus Dur
10. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren
H. PENGHARGAAN
Gus Dur Banyak Menerima Penghargaan Dari Dalam Negeri
Dan Luar Negeri Karena Jasa-Jasanya :
a) 2010 : Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6
Awards 2010
b) 2010 : Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI
c) 2010 : Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul
Ulama (IPNU)
d) 2010 : Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas
Mahendradatta, Denpasar, Bali
e) 2010 : Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny
Wahid
f) 2010 : Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
g) 2008 : Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon
Wiesenthal Center
h) 2006 : Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
i) 2004 : Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa
tokoh Tionghoa Semarang
j) 2004 : Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda
Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
k) 2004 : The Culture of Peace Distinguished Award 2003,
International Culture of Peace Project Religions for
Peace, Trento, Italia
l) 2003 : Global Tolerance Award, Friends of the United
Nations, New York, Amerika Serikat
m)2003 : World Peace Prize Award, World Peace Prize
Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
n) 2003 : Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling
laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia

32
o) 2002 : Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Jakarta, Indonesia.
p) 2002 : Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan
dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
q) 2001 : Public Service Award, Universitas Columbia , New
York , Amerika Serikat
r) 2000 : Ambassador of Peace, International and Interreligious
Federation for World peace (IIFWP), New York,
Amerika Serikat
s) 2000 : Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary
International
t) 1998 : Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
u) 1993 : Magsaysay Award, Manila , Filipina
v) 1991 : Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
w) 1990 : Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
I. DOKTOR KEHORMATAN
Gus Dur juga menerima gelar Doktor Kehormatan dari luar
negeri karena pemikirannya dan jasa-jasanya:
1) Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas
Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
2) Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology,
Bangkok, Thailand (2000
3) Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu
Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon
Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
4) Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok,
Thailand (2000)
5) Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
6) Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India
(2000)
7) Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo,
Jepang (2002)
8) Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas
Netanya, Israel (2003)
9) Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk,
Seoul, Korea Selatan (2003)
33
10) Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea
Selatan (2003)

34
10. KH. HASYIM ASY’ARI
Alamat : Jalan Irian Jaya, Diwek, Cukir, Jombang, Jawa Timur, 61471
A. SEJARAH SINGKAT
KH. Mohammad Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871
(24 Dzulqaidah 1287H). Hasyim adalah putra ketiga dari 11
bersaudara dari pasangan KH. Asy’ari pemimpin Pesantren Keras,
Jombang dan Nyai Halimah.
Dari Nasab Ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari memiliki garis
keturunan sampai dengan Rasulullah. Nasab Beliau sebagai berikut:
1. Husain bin Ali
2. Ali Zainal Abidin
3. Muhammad al-Baqir
4. Ja’far ash-Shadiq
5. Ali al-Uraidhi
6. Muhammad an-Naqib
7. Isa ar-Rumi
8. Ahmad al-Muhajir
9. Ubaidullah
10. Alwi Awwal
11. Muhammad Sahibus Saumiah
12. Alwi ats-Tsani
13. Ali Khali’ Qasam
14. Muhammad Shahib Mirbath
15. Alwi Ammi al-Faqih
16. Abdul Malik (Ahmad Khan)
17. Abdullah (al-Azhamat) Khan
18. Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
19. Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
20. Maulana Ishaq
21. ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
22. Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
23. Abdul Halim (Pangeran Benawa)
24. Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
25. Abdul Halim
26. Abdul Wahid
27. Abu Sarwan
28. KH. Asy’ari (Jombang)
35
29. KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
B. WAFAT
KH. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Beliau
dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang dan termasuk salah satu
Pahlawan Nasional Indonesia.
C. RIWAYAT KELUARGA
KH. Hasyim Asy’ari melepas masa lajangnya dengan
menikahi putri dari Kiai Ya’qub Sidoarjo, Nyai Khodijah.
Pernikahan dengan Nyai Khodijah tidak bertahan lama, karena
sewaktu Kiai Hasim Asy’ari menuntut ilmu di Mekkah, istri beliau
wafat pada tahun 1901.
Setelah istri pertama wafat, kemudian Kiai Hasyim menikah
kembali dengan Nyai Nafiqoh putri dari Kiai Ilyas, pengasuh
Pesantren Sewulan Madiun. Buah dari pernikahannya, Kiai Hasyim
dan Nyai Nafiqoh dikaruniai 12 anak. Nama putra-putri Kiai
Hasyim diantaranya sebagai berikut:
a) Hannah
b) Khoiriyah
c) Aisyah
d) Azzah
e) Abdul Wahid Hasyim
f) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
g) Abdul Karim
h) Ubaidillah
i) Mashuroh
j) Muhammad Yusuf
Dalam membina mahligai rumah tangga dengan istri kedua,
Kiai Hasyim mengalami hal yang sama dengan istri yang pertama,
pada tahun 1920, Nyai Nafiqoh wafat, dan meninggalkan Kiai
Hasyim untuk selama-lamanya.
Hal ini, membuat Kiai Hasyim tidak mau larut dalam terus
menerus larut dalam kesedihan, karena beliau harus memikirkan,
anak-anaknya yang yang harus dirawat akhirnya Kiai Hasyim
menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri dari Kiai Hasan,
pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari
pernikahan tersebut, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri,
yaitu:
36
a) Abdul Qodir
b) Fatimah
c) Khotijah
d) Muhammad Ya’kub
D. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Berkelana Menimba Ilmu
Sejak anak-anak, KH. Hasyim Asyari belajar dasar-dasar
agama dari ayahnya, KH. Asy’ari dan kakeknya, Kiai Utsman
(Pengasuh Pesantren Nggedang di Jombang).
Ketika usia menginjak 15 tahun, Kiai Hasyim mulai
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, diantaranya:
Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban,
Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di
Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Di Pesantren Siwalan, Sidoarjo, yang diasuh oleh Kiai
Ya’qub inilah, rupanya Kiai Hasyim merasa benar-benar
menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal
sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.
Cukup waktu lima tahun, bagi Kiai Hasyim untuk menyerap ilmu di
Pesantren Siwalan.
Dengan kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Kiai
Hasyim, rupanya membuat Kiai Ya’qub sendiri kesemsem berat
kepada Kiai Hasyim. Akhir, Kiai Ya’qub menikahkan salah satu
putrinya yang bernama Khodijah dengan Kiai Hasyim.
Tidak lama setelah menikah, Kiai Hasyim bersama istrinya
berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di
sana, Hasyim kembali ke tanah air, namun sayangnya, istri dan
anaknya sudah meninggal.
Pada tahun 1893, Kiai Hasyim berangkat lagi ke Tanah Suci.
Sejak itulah Kiai Hasyim menetap di Mekkah selama 7 tahun.
GURU-GURU BELIAU
1. Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
2. Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
3. Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
4. Syaikh Ibrahim Arab
5. Syaikh Said Yamani
6. Syaikh Rahmaullah
37
7. Syaikh Sholeh Bafadlal
8. Sayyid Abbas Maliki
9. Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf
10. Sayyid Husein Al Habsyi
11. KH. Muhammad Saleh Darat, Semarang
12. KH. Kholil Bangkalan
13. Kyai Ya’qub, Sidoarjo
14. Sayyid Husain Al Habsyi
15. Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
16. Sayyid Abdullah al-Zawawi
17. Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
18. Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
19. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
20. Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
21. Syekh Imam Nawawi al-Bantani
22. Sayyid al Bakry Muhammad Syatho
23. Muhammad Amin Al Kurdi
24. Yusuf bin Ismail Anabhani
E. MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN TEBUIRENG
Pada tahun l899, Kiai Hasyim pulang ke Tanah Air.Kiai
Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Utsman. Tak
lama kemudian, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang
dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah
Barat Pabrik Gula Cukir. Di sana beliau membangun sebuah
bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat
tinggal.
Dari tratak kecil inilah Pesantren Tebuireng mulai tumbuh.
Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan,
sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu
santrinya berjumlah 8 orang, tiga bulan kemudian meningkat
menjadi 28 orang dan setiap bulan setiap bulan santri beliau
semakin banyak berdatangan dari berbagai daerah.
Kiai Hasyim bukan saja Kiai ternama, melainkan juga
seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan
hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat
tidak mengajar. Saat itulah Kiai Hasyim memeriksa sawah-
sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan
38
menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai
Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
F. PENERUS BELIAU
Setelah mendirikan pesantren, satu persatu santrinya
berdatangan untuk ikut mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng.
Hingga akhirnya, ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim
dan menciptakan alumni-alumni yang menjadi tokoh-tokoh, ulama-
ulama, kiai-kiai dan lain sebagainya.
Nama-nama santri Kiai Hasyim antara lain:
1. KH. Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras,
Jombang
2. KH. Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
3. KH. R As’ad Syamsul Arifin
4. KH. Wahid Hasyim (anaknya)
5. KH. Achmad Shiddiq
6. Syekh Sa’dullah al-Maimani (Mufti di Bombay, India)
7. Syekh Umar Hamdan (Ahli Hadis di Makkah)
8. Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
9. KH. R Asnawi(Kudus)
10. KH. Dahlan(Kudus)
11. KH. Shaleh (Tayu)
G. JASA DAN KARYA BELIAU
1. Mendirikan Nahdlatul Ulama (NU)
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin
mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi
yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu
untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari
Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga.
Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa
dengan gurunya, KH. Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara jarak antara Jombang dengan Bangkalan,
adalah jarak yang sangat jauh. Tetapi dengan kelebihan yang
diberikan Allah SWT, Kiai Khalil yang berada di Bangkalan
mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim.

39
Kemudian, Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang
santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH. R
As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih
kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani
agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23
kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan
mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar.
”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan
tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu
belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu
kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali
datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai
Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad
sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di
lehernya.
Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut,
meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng
sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi
selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh
tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah
Kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kiai”. Inilah salah
satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya
Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai
Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat
bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya
mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-
nantinya melalui salat istikharah.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M,
organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama
Nahdlatul Ulama, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim
dipercaya sebagai Rais Akbar pertama.
40
2. Resolusi Jihad
Pada waku itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian
serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa
pada tahun 1937, tapi ditolak Kiai Hasyim.
Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda
kelimpungan dengan membuat perintah kepada para santri dan
pengikutnya, perintah tersebut berisi tentang, pertama, Kiai
Hasyim memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah
jihad (perang suci). Kedua, Kiai Hasyim mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda.
Perintah tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan
oleh Kementerian Agama secara luas.
Hal ini tentu saja membuat, Van der Plas (penguasa
Belanda) menjadi bingung dan akhirnya dengan peraturan yang
dibuat oleh Kiai Hasyim, beliau di penjara 3 bulan pada 1942.
Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa
santri minta ikut dipenjarakan bersama Kiai Hasyim.

3. Perjuangan Melawan Penjajah


Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng
bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah
Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang
undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak
luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M intel Belanda mengirim seorang
pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia
tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai
Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai
dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan
tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan
hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian
mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-
41
porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif
Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik
Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga
secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah
tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru
bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif
kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi
dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para
pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah dengan
penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera
dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak
melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan
membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi,
sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan
ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah
pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di
depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah
lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai
Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai
dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke
penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh
berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut
ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak
penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi
patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total.
Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh
42
tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus
mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai
Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari
para Kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga
berkat usaha dari KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdul Wahab
Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang,
terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA
(Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang
dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa
(Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai
Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad
melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi
Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya.
Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam
pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam
yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-
kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 November
kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim
dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam
gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah,
Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman
dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai
Hasyim.
4. Menjadi ketua Umum Partai Masyumi
Pada tanggal 7 November 1945 tiga hari sebelum
meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya, umat Islam
membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah
satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai
Hasyim diangkat sebagai Rois ‘am (Ketua Umum) pertama
periode tahun 1945-1947.

43
H. KARYA-KARYA BELIAU
Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang
masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di
pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain:
1. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib
wa al-Ikhwan
Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan
kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami,
Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai
pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan
serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali
persaudaraan atau silatuhrami.
2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama
berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim
Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi
landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak
NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan
wajib mereka.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah
Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar
menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam
Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan ImamAbu
Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan
kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita
jadikan rujukan.
4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul
Ulama
Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits
pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU.
Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama
berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya
memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan
rintangan dan hambatan ini.
6. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-
Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi

44
Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-
Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-
Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin
az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-
Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun
merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi
dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar
perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.
7. Risalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa
Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah
Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat
dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal
tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang
bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah.
Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas
persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari.
Terutama saat ini.
Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita
dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH.
Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya
pengetahuannya di bidang tersebut.
Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak
terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam
mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak
ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian
seperti halnya NU.
I. KISAH TELADAN
Ketika Kiai Hasyim Dan Kiai Kholil Berebut Menjadi Santri
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama
besar, KH. Hasyim Asy’ari dengan KH. Kholil Bangkalan,
gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata KH. Kholil, begitu
Kiai dari Madura ini populer dipanggil.
Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau
Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah
Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan

45
sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan
tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Kiai Kholil tetap bersikeras dengan
niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada
dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di
sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,”
katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim
tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai salat berjamaah,
keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling
mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih
pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kiai Hasyim juga KH. Kholil Bangkalan adalah
kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan
saling menghormati.
KH. Kholil adalah Kiai yang sangat termasyhur pada
zamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU
generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin
Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya.
Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya
pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran
ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu
Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar
kajian hadis Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu
mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di
Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri,KH Kholil Bangkalan.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren
paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier,
penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren
Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga
pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para
pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru
Besar) kepada Kiai Hasyim.
46
Mengambil Cincin Gurunya Dari Lubang Wc
Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan
ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru
adalah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang
mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti
kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang
perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang
tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid
wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baik, murid tidak boleh
membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari. Beliau nyantri
kepada KH. Kholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kiai
Kholil, Kiai Hasyim dididik akhlaknya. Setiap hari, kiai Hasyim
disuruh gurunya merawat sapi dan kambing. Kiai Hasyim disuruh
membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan
Kiai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis,
melainkan ilmu praktek. langsung penerapan.
Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh disuruh
gurunya melihara sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu
sebagai penghormatan kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari
gurunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru rida kepada
muridnya. Inilah yang dicari Kiai Hasyim, yakni keridaan guru.
Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kiai Kholiltapi lebih
dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari Kiai Kholil Bangkalan.
Suatu hari, seperti biasa Kiai Hasyim setelah memasukkan
sapi dan kambing ke kandangnya, Kiai Hasyim langsung mandi dan
salat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kiai Hasyim melihat gurunya,
Kiai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang
mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kiai
Hasyim untuk bertanya kepada Kiai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya
Kiai Hasyim kepada Kiai kholil Bangkalan.
”Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian
istriku jatuh di kamar mandi. lalu masuk ke lubang pembuangan
akhir (septictank),” jawab Kiai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kiai Hasyim segera meminta
izin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diizini.
47
Langsung saja Kiai Hasyim masuk ke kamar mandi dan
membongkar septictank.
Bisa dibayangkan, namanya septitank dalamnya bagaimana
dan isinya apa saja. Namun Kiai Hasyim karena hormat dan
sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk
ke septitank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya,
dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin
milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil
mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku rida padamu
wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu,
derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh
panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari KH. Kholil
Bangkalan.Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kiai
Hasyim menjadi ulama besar Disamping karena Kiai Hasyim
adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya
karena gurunya rida kepadanya.

11. SAYYID SULAIMAN BIN ABDURROHMAN


Alamat : Dusun Rejoslamet, Mancilan, Kec. Mojoagung,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur 61482
A. BIOGRAFI SINGKAT
Sayyid Sulaiman lahir sekitar tahun 1571 M, di Cirebon.
Beliau merupakan putra kedua dari pasaangan Sayyid
Abdurrahman dengan Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Saudara-saudara beliau diantaranya: Sayyid Abdurrahim
(terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan
Sayyid Abdul Karim.
B. WAFAT
Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan
penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayyid Sulaiman
pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke
Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang.
Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek,
Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan
48
dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun
kewafatannya.
Istri Sayyid Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus
menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu
ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari
Sayyid Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke
Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat
pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan
dimakamkan di Kampung Woksuru. Istri Sayyid Sulaiman ini
tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayyid ke arah selatan,
menuju Desa Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak
dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.
Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi
panggilan Raja, Sayyid Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau
jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek,
Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang
kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan
Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif,
Sayyid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya
dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau
memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta
lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua
dikabulkan oleh Allah. Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja
Mataram, dan wafat di Mojoagung.
Adipati yang disuruh menjemput Mbah Sayyid, mengirim
surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke Solo
dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah
Sayyid. Sang adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga
meninggal dunia dan dimakamkan di sana pula.
C. KELUARGA
Sayyid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya yang
notabene pamannya sendiri, Mbah Sholeh Semendi. Semula,
beliau menolak, tetapi akhirnya beliau menerima permintaan
gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua.
Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri
Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Sayyid Sulaiman.
Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai
49
meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan
Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik
Sayyid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan
di komplek pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayyid Sulaiman juga
mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau
mempunyai putra bernama Hazam.
Setelah hari pernikahan, Sayyid Sulaiman kembali ke
Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan
masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta.
D. PENDIDIKAN
Setelah meninggalkan Solo, Sayyid Sulaiman pergi dari
Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus
melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel,
Surabaya, adalah untuk nyantri kepada Raden Rahmat atau Sunan
Ampel. Kabar keberadaan Sayyid Sulaiman akhirnya sampai ke
telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk
memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayyid Abdurrahim, adik
kandung Sayyid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia
sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan
akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia
ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.
Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah
tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua
orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna
kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur,
menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang
gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua
santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan
untuk mengikat sarung kedua santrinya itu. Usai salat Subuh,
Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya,
“Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?”
Sayyid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan
tangan. Lalu, Sunan Ampel berkata,
“Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan
manggil Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas
Abdurrahim!”
50
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam
“Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh.
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke
Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di
Segoropuro. (Belakangan diketahui ternyata Mbah Sholeh adalah
paman mereka sendiri, saudaranya ibu mereka, Syarifah
Khodijah).
Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan
untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan
oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi
bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian,
muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.
Sayyid Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi
bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua.
Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek
(bakiak/sandal kayu zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-
sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka
memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala
kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh
Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak
bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayyid Sulaiman
dan Sayyid Abdurrahim,
“Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah
Sholeh.
Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian
dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayyid
Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah
Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada
semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya.
Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah
Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayyid Sulaiman dan Sayyid
Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayyid
Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar
hingga bersih total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat
pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu
51
bahwa yang mencabuti adalah Sayyid Sulaiman, Mbah Sholeh
memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti
semula. Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon tersebut
dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayyid. Sejak kejadian itu,
berita tentang kesaktian Sayyid Sulaiman tersiar dari mulut ke
mulut di seluruh penjuru Pasuruan.
Setelah mondok di Mbah Sholeh, Sayyid Sulaiman tinggal
di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan
Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat
Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka
Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir
penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.
E. MENDIRIKAN PESANTREN
Hasil jerih payah Mbah Sayyid dalam segala usahanya
membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum
muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren,
melawan dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak
tilas terciptanya apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya
moralitas agamis dan budaya pesantren.
Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para
pewaris perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-
pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan,
Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbin
Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan.
Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayyid
Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul
Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di
Geluran,Sepanjang, Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayyid
Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di
Magelang dan Pekalongan.
Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir
berada di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal sebagai
pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda.
Begitu pula Hasan. Sayyid yang masyhur dengan sebutan
“Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa
dari cengkeraman Kompeni Belanda.
52
Melalui jalur Sayyid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-
ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri,
Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini,
makam Sayyid Ali Akbar tidak diketahui.
Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu
diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil
menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan
menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayyid Ali Akbar
hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo. Untuk kedua
kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda.
Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan
kembali ke Sidoresmo.
Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan
dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali
Akbar tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon,
beliau lari ke Tarim, Hadramaut, kampung para wali di mana
kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.
F. SOSOK YANG SAKTI
Selama tinggal di Solo (Surakarta), Sayyid Sulaiman
terkenal sebagai sosok yang sakti. Kesaktiannya yang sudah
masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram.
Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayyid. Maka
diundanglah Sayyid ke keraton.
Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri
bungsu sang Raja. Sayyid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk
memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta
agar Sayyid memperagakan pertunjukan yang tak pernah
diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti,
saya minta tolong buatkan pertunjukan yang tidak umum, yang
belum pernah disaksikan oleh orang-orang sini,” pinta Raja
Mataram kepada Sayyid dengan nada menghina
Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayyid meminta
pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari
berpesan untuk ditunggu. Sayyid Sulaiman lalu pergi ke arah
timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayyid
demikian lama, namun Sayyid belum juga datang. Raja Mataram
53
hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu
hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi,
kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan yang
bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini,
barulah ia mengakui kesaktian Sayyid Sulaiman.
Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya
untuk mencari Sayyid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan
bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam
sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”.
Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar
sabdane Sayyid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara.
Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek
wisata terkenal peninggalan Mataram. Namun pada tahun 1978,
binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang
Satwataru.
Selain itu, berita tentang kesaktian Sayyid Sulaiman juga
terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak
percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian
Mbah Sayyid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang
berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang
dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih
bermuram durja.
Diadakanlah sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri,
akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada
satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri
seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus
asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayyid Sulaiman
yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Sayyid
Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa
lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya
ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah, sang Putri muncul
bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia
dibawa lari jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia
gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayyid Sulaiman
menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas
54
jasanya. Namun Mbah Sayyid menolak. Beliau memilih kembali
ke Kanigoro.
G. PINDAH KE PASURUAN
Pada saat tinggal di Cirebon, suasana di Banten dan Cirebon
sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan
Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang
terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681,
Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap
putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga
tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.
Melihat hal ini, Sayyid Sulaiman memutuskan untuk
kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro,
sebuah dusun di desa Gambir Kuning. Di Gambir Kuning beliau
mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti
kayu usuk, belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari
kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah
pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan.
Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi
untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi
itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-
kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang
mengangkat kayu itu adalah Sayyid Sulaiman sendiri.
Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena
lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh
Syekh Rafi’i, cicit Sayyid Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum
bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir
dua abad yang lalu. Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini
telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan
masjid peninggalan Sayyid Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai
dan tiang bagian dalam.
H. PERGI KE KERATON MATARAM
Kabar kekeramatan Mbah Sayyid di Pasuruan terdengar
kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus
salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayyid di
Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah
Sayyid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayyid bermaksud
memenuhi panggilan ini.
55
Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan
Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayyid
Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton,
Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia
menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah.
Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayyid. Ada tiga
keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya
ketika mereka sedang makan bersama-sama.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo
berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat
Sayyid Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini
disampaikan pada Sayyid, beliau menolak, dengan alasan akan
meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya
yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak
menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani
ini.

56
I. BABAD ALAS DI SIDOGIRI
Konon, Sayyid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari
Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat
Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon
Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus bertarung
melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat
angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan
markas para dedemit (jin).
Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan
ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini
berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayyid Sulaiman,
tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan
beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru
tercatat sejak periode Kiai Aminullah.
Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren
Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745.
Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun
1712. Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup
Sayyid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan sebelumnya, beliau
membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna
pembabatan Sidogiri, Sayyid Sulaiman keburu meninggal.
Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang
meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa
hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok
Pesantren Sidogiri 268 tahun pada tahun ini (2013) adalah
terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.
Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari
Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai
Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayyid
Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di
Sidogiri.
Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga
Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah
dengan Nyai Indah binti Sayyid Sulaiman. Menurut riwayat ini,
Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayyid Sulaiman.
Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang
senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau
57
istiqamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini
terus beliau lakukan sampai empat tahun.

12. SYEH JUMADIL KUBRO


Alamat : Kedaton, Sentonorejo, Kec. Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur 61362
A. SEJARAH SINGKAT
Syekh Jumadil Kubro merupakan tokoh kunci proses
Islamisasi tanah Jawa yang hidup sebelum Walisongo. Seorang
penyebar Islam pertama yang mampu menembus dinding
kebesaran Kerajaan Majapahit. Syeikh Jumadil Kubro bernama
lengkap Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar. Cucu ke-18 Dia
adalah cucu ke-18 Rasulullah Muhammad SAWdari garis
Sayyidah Fatimah Az Zahrah al- Battul.
Ayahnya bernama Syekh Jalal yang karena kemuliaan
akhlaknya mampu meredam pertikaian Raja Champa dengan
rakyatnya. Sehingga, Syekh Jalal diangkat sebagai raja dan
penguasa yang memimpin Negara Champa. Menurut cerita rakyat,
sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari
keturunan Syekh Maulana Akbar ini.
Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia
Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as- Samarkandi)
ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali
Nuralam Akbar datuk Sunan Gunung Jati yang berdakwah di
Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Syeikh Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah
asuhan ayahnya sendiri. Setelah dewasa, dia mengembara ke
negeri datuknya di Hadramaut. Di sana dia belajar dan mendalami
beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di zamannya.
Bahkan keilmuan yang dia pelajari meliputi Ilmu Syariah
dan Tasawwuf, di samping ilmu-ilmu yang lain. Selanjutnya, ia
meneruskan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan
terus beribadah ke Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah
mendalami beragam keilmuan, terutama ilmu Islam yang sangat
variatif.
Setelah sekian lama belajar dari berbagai ulama terkemuka,
kemudian dia pergi menuju Gujarat untuk berdakwah dengan jalur
58
perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah dia berjumpa
dengan ulama lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian ia dakwah bersama para ulama termasuk para putra-
putri dan santrinya menuju tanah Jawa.
Mereka menggunakan tiga kapal, sekaligus terbagi dalam
tiga kelompok dakwah. Kelompok pertama dipimpin Syekh
Jumadil Kubro memasuki tanah Jawa melalui Semarang dan
singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya perjalanan
menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil bernama
Trowulan yang berada di dekat kerajaan Majapahit.
Kemudian jamaah tersebut membangun sejumlah
padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam ilmu
kepada siapa saja yang hendak mendalami ilmu keislaman.
Kelompok kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam Jaífar
Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin dibantu saudaranya yakni
MalikIbrahim menuju kota Gresik.
Dan kelompok ketiga adalah jamaah yang dipimpin
putranya yakni al-Imam al- Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy
menuju Tuban. Namanya masyhur dengan sebutan ”Pandhito
Ratu” karena dia memperoleh Ilmu Kasyf (transparansi dan
keserba jelasan ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, dia
diberi kelebihan memahaminya).
Perjalanan dakwah Syekh Jumadil Kubro berakhir di
Trowulan, Mojokerto. Dia wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797
H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal Raja
Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam
Wuruk).
Bermula dari usul yang diajukan Syekh Jumadil Kubro
kepada penguasa Islam di Turki (Sultan Muhammad I) untuk
menyebarkan Agama Islam si wilayah Kerajaan Majapahit. Pada
saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama Hindu di
samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-
benda suci.
Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang
menunjukkan perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk
menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit
sangatlah besar. Karena pengaruh Syekh Jumadil Kubro, ia
59
dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara dakwah
yang pelan tapi pasti, menjadikan dia amat disegani.
Tak heran, bila pemakaman dia berada di antara beberapa
pejabat kerajaan di antaranya adalah makam Tumenggung Satim
Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunan Ngudung (ayah
Sunan Kudus), dan beberapa patih dan senopati yang dimakamkan
bersamanya.

13. SUNAN BUNGKUL (KI AGENG SUPO)


Alamat : Jl. Taman Bungkul, Darmo, Kec. Wonokromo, Kota SBY,
Jawa Timur 60291
A. SEJARAH SINGKAT
Sunan Bungkul atau yang memiliki nama asli Ki Ageng
Supo atau Mpu Supo seorang bangsawan dari zaman Kerajaan
Majapahit yang setelah memeluk Islam lalu ia menggunakan
nama Ki Ageng Mahmuddin. Ia adalah salah satu penyebar agama
Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Ia
adalah mertua Sunan Ampel namun ada versi lain yang
mengatakan bahwa beliau adalah mertua Raden Paku atau yang
lebih dikenal dengan Sunan Giri. Beliau diperkirakan hidup di
masa Sunan Ampel pada 1400-1481 M. Ki Ageng Supa
mempunyai puteri bernama Dewi Wardah. Makam beliau berada
tepat di belakang Taman Bungkul Surabaya.
Ada suatu cerita masyarakat yang beredar tentang Ki Ageng
Supa. Beliau ingin menikahkan puterii semata wayangnya. Namun
ia belum mendapatkan sosok lelaki yang sesuai. Lalu beliau
membuat sayembara, barangsiapa laki-laki yang dapat memetik
delima yang tumbuh di kebunnya akan dijodohkan dengan putri
Ki Ageng Supa yang bernama Dewi Wardah.Sudah banyak orang
laki-laki yang mencoba mengikuti sayembara itu, namun belum
ada yang berhasil memetik buah delima yang dimaksud. Bahkan
sebagian dari mereka ketika memanjat berusaha untuk mengambil
buah delima mereka jatuh dan berakhir dengan kematian.Pada
suatu hari Raden Paku atau yang dikenal dengan Sunan Giri
berjalan melewati pekarangan Ki Ageng Supo di mana terdapat
pohon delima yang dimaksud itu, sesampai di bawah pohon
delima tiba-tiba sebuah buah pohon delima itu jatuh di depan
60
Raden Paku. Kemudian Raden Paku menyerahkan buah Delima
tersebut kepada Sunan Ampel, gurunya di pesantren.
Sunan Ampel berkata kepad Raden Paku “Berbahagialah
engkau, karena sebentar lagi engkau akan diambil menantu oleh
Ki Ageng Supo. Engkau akan dijodohkan dengan putri beliau
yang bernama Dewi Wardah” Kanjeng Sunan, saya tidak mengerti
apa maksud Kanjeng Sunan, bukankah sebentar lagi saya akan
menikah dengan putri kanjeng Sunan”
Agaknya ini sudah menjadi suratan takdir bahwa engkau
akan mempunyai dua orang istri, putriku Dewi Murtosiah dan
putri Ki Ageng Supo, Dewi Wardah”. Kemudian Sunan Ampel
menceritakan perihal sayembara yang telah dibuat Ki Ageng
Supo. Raden Paku mengangguk-angguk mendengar cerita Sunan
Ampel.
Ada cerita dengan versi lain. Bahwa Ki Ageng Supo sengaja
memetik buah Delima dan menghanyutkan ke sungai. Buah
delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke
utara. Alur air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua.
Percabangan sebelah kiri menuju Ujung dan sebelah kanan
menuju kali Pegirikan. Buah delima itu terapung dan hanyut ke
kanan. Suatu pagi seorang santri Sunan Ampel yang mandi di
Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu. Sang
santri (Raden Paku) pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh
Sunan Ampel delima itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri
bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran, ia melihat banyak
santri mandi di sungai.Ki Ageng Supa, yakin di sinilah buah
delima itu ditemukan oleh salah satu diantara para santri tersebut.
Apakah ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu
Sunan Ampel. Raden Paku, murid Sunan Ampel dipanggil dan
mengaku. Singkat cerita Raden Paku dinikahkan dengan anak Ki
Ageng Supa, Dewi Wardah.
Ki Ageng Supo akhirnya memperoleh mantu seorang santri
dari Ampeldenta yakni Raden Paku. Sedangkan Raden Paku pada
akhirnya menikahi dua orang putri Dewi Murtosiah, putri Sunan
Ampel dan Dewi Wardah putri Ki Ageng Supo.

14. SUNAN AMPEL (RADEN RAHMAT)


61
Alamat : Jl. Ampel Masjid No.53, Ampel, Kec. Semampir, Kota SBY,
Jawa Timur 60151
A. SEJARAH SINGKAT
Sunan Ampel bernama asli Ali Rahmatullah atau Raden
Rahmat diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua
pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van
Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu
negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles
menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama
Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel
adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar
Dwarawati).
Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong,
Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong
Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab
Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di
Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu -
menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar
Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu
juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En
Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai
kapten Cina di Jiaotung (Bangil).
B. RIWAYAT KELUARGA
Sunan Ampel memiliki dua isteri, Isteri Pertama, yaitu:
Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-
Abbasyi, berputera: Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum
Ibrahim/ Sunan Bonang/Bong Ang, Syarifuddin/Raden Qasim/
Sunan Drajat, Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng
Manyuran, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah.
Sedangkan Isteri kedua adalah Dewi Karimah binti Ki
Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri,
Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fatah, Raden
Husamuddin (Sunan Lamongan), Raden Zainal Abidin (Sunan
Demak), Pangeran Tumapel, Raden Faqih (Sunan Ampel 2)
C. NASAB SUNAN AMPEL
As-Sayyid Ali Rahmatullah - As-Sayyid Ibrahim Zainuddin
As-Samarqandy - As-Sayyid Husain Jamaluddin bin - As-Sayyid
62
Ahmad Jalaluddin bin - As-Sayyid Abdullah bin - As-Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin - As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin -
As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin - As-Sayyid Ali
Khali’ Qasam bin - As-Sayyid Alwi bin - As-Sayyid Muhammad
bin - As-Sayyid Alwi bin - As-Sayyid Ubaidillah bin - Al-Imam
Ahmad Al-Muhajir bin - Al-Imam Isa Ar-Rumi bin - Al-Imam
Muhammad An-Naqib bin - Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin - Al-
Imam Ja’far Shadiq bin - Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin - Al-
Imam Ali Zainal Abidin bin - Al-Imam Al-Husain bin- Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti - Nabi Muhammad
Rasulullah SAW.
D. WAFAT
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak
dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Hingga kini, makamnya kerap dikunjungi masyarakat yang ingin
berziarah.

63
E. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Mendirikan dan Mengasuh Pesantren
Sunan Ampel dikenal sebagai wali yang berjuang
menegakkan Islam. Beliau mendirikan pesantren di Ampel Dento
Surabaya utk mempersiapkan para ulama, mubalig, dai, dan para
pemimpin islam. Di antara murid beliau selain sunan drajat putra
beliau, ada : Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Ja’far Shodiq
(Sunan Kudus) , Raden Patah, Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Anak-Anak Beliau
Anak-anak Beliau yang Meneruskan Perjuangannya adalah:

1. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)


2. Syarifuddin (Sunan Drajat)
3. Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus
4. Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri
5. Dewi Asyiqah/ Istri Sunan Kalijaga
6. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
7. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
8. Pangeran Tumapel
9. Raden Faqih (Sunan Ampel 2)
Murid-Murid Beliau
Murid-murid Sunan Ampel yang terkenal adalah:
1. Sunan Giri
2. Raden Patah
3. Raden Kusen
F. STRATEGI DAKWAH BELIAU
Lima Ajaran Dasar yang Diajarkan Sunan Ampel
Ada lima ajaran dasar dari Sunan Ampel yang sangat
populer di Jawa yakni moh limo. Moh limo dalam bahasa Jawa
memiliki arti ‘moh’ yang berarti tidak mau dan ‘limo’ yang
artinya lima. Arti dari moh limo ini, yaitu:
1. Moh main, artinya tidak berjudi
2. Moh ngombe, artinya tidak mabuk
3. Moh maling, artinya tidak mencuri
4. Moh madat, artinya tidak mengisap candu atau obat-obatan
5. Moh madon yang artinya tidak melakukan zina.
Mengubah Nama Sungai dalam Berdakwah
64
Ada strategi unik yang dilakukan Sunan Ampel dalam
berdakwah yakni dengan cara mengubah nama sungai Brantas.
Sungai ini merupakan salah satu sungai terbesar dan terpanjang
yang ada di Jawa Timur. Sungai Brantas ini namanya diganti
dengan nama Kali Emas. Selain mengubah nama Sungai Brantas,
Sunan Ampel juga mengubah nama pelabuhan Jelangga Manik
dengan nama Tanjung Perak. Penggunaan kata emas dan perak ini
ada alasannya sendiri. Dengan menyematkan kata emas dan perak,
maka orang-orang akan berbondong-bondong datang ke Jawa
Timur, terutama Surabaya karena percaya kalau di daerah tersebut
terdapat harta karun yang melimpah seperti emas dan perak.
Banyaknya orang yang berbondong-bondong datang ke Jawa
Timur membuat Sunan Ampel memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam.
Mendekatkan Istilah Islam dengan Bahasa Masyarakat Jawa
Untuk mendekatkan diri dengan masyarakat setempat,
Sunan Ampel memiliki cara unik dalam berdakwah. Caranya,
yaitu dengan mendekatkan dan memadukan istilah-istilah Islam
dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Jawa. Sebagai
contoh, kata salat diganti dengan kata sembahyang yang sering
digunakan oleh masyarakat Jawa ketika akan beribadah. Tak
hanya itu saja, kata musala juga diganti dengan nama langgar
yang terdengar mirip dengan sanggar. Sanggar adalah tempat
pemujaan atau tempat menyimpan sesajen pada masyarakat Jawa.
Tentu saja dengan pendekatan inilah, Sunan Ampel bisa
berdakwah dengan lebih lancar di tanah Jawa.
Menguasai Kebutuhan Pokok Masyarakat
Salah satu cara berdakwah Sunan Ampel lainnya dengan
menguasai kebutuhan pokok masyarakat setempat. Jadi, Sunan
Ampel akan menyediakan pasokan kebutuhan pokok lalu
membagikannya kepada masyarakat sambil berdakwah.
Pendekatan ini sangat ampuh dilakukan dan bisa membuat
masyarakat tertarik untuk belajar agama Islam karena merasa
Islam adalah agama yang mengajarkan untuk saling berbagi. Ada
satu hal yang dilakukan oleh Sunan Ampel di awal-awal masa
berdakwahnya, yaitu membuat kerajinan tangan berupa kipas
dengan bahan akar tumbuhan dan anyaman rotan. Konon, kipas
65
tersebut bisa menyembuhkan demam dan batuk. Kipas tersebut
dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat secara gratis.
Masyarakat setempat hanya perlu mengucapkan kalimat syahadat.
Melakukan Pendekatan kepada Tokoh Masyarakat
Cara lain Sunan Ampel dalam berdakwah, yaitu dengan
melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan
orang-orang yang berpengaruh di Pulau Jawa. Inilah yang
menjadikannya mendapat julukan sebagai wali pendakwah di jalur
politik. Selain melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat,
Sunan Ampel juga melakukan dakwah dengan cara membangun
jaringan kekerabatan secara lebih luas. Caranya, yaitu dengan
menikahkan anak-anaknya dengan orang-orang penting di Pulau
Jawa.
Sunan Ampel sendiri menikahi anak perempuan Bupati
Tuban yang bernama Nyai Ageng Manila. Istri keduanya adalah
Dewi Karimah yang merupakan puteri dari Ki Wiroseroyo yang
merupakan tokoh besar di tanah Jawa. Sekarang Moms sudah tahu
kan mengenai sejarah dari Sunan Ampel ini. Dengan perjuangan
dakwah dari Sunan Ampel inilah ada banyak pelajaran yang bisa
kita dapatkan.
G. KAROMAH BELIAU
Hidupkan Murid Kesayangan untuk Bersihkan Masjid
Dalam naskah-naskah kuno yang telah diterjemahkan,
Sunan Ampel juga disebutkan memiliki kesaktian yang dalam
Islam dikenal dengan nama karomah. Salah satu karomah Sunan
Ampel adalah menghadirkan Mbah Sholeh yang telah meninggal.
Dalam kisahnya, Sunan Ampel dijelaskan merasa bersedih
dan gelisah ketika Mbah Sholeh meninggal. Dia merupakan salah
satu santri yang rajin dan taat. Sosok Mbah Sholeh juga cinta
kebersihan dan selalu membersihkan masjid.
Suatu ketika, Sunan Ampel berucap "Kalau saja Mbah
Sholeh masih hidup pasti masjid bersih". Tak disangka ucapan
Sunan Ampel menjadi nyata. Keesokan hari, para santri melihat
masjid kembali kinclong.
Bukan hanya itu, yang membuat santri dan masyarakat
sekitar kaget, sosok Mbah Sholeh kembali hadir.

66
Masyarakat saat itu meyakini pembersih itu adalah Mbah
Sholeh, santri Sunan Ampel. Dan seiring waktu, Mbah Sholeh
kembali meninggal.
Sepeninggal Mbah Sholeh, Sunan Ampel terus mengulangi
pernyataannya. Ucapan "kalau Mbah Sholeh masih hidup dan
masjid jadi bersih" itu pun mengundang kehadiran Mbah Sholeh
di masjid yang didirikan pada abad ke-18 sekitar 1430 Masehi.
Demikian terus berulang sebanyak sembilan kali.
Kehadiran Mbah Sholeh berhenti usai Sunan Ampel
meninggal. Makam Mbah Sholeh sendiri terdapat sembilan buah
di pelataran masjid.
Dalam cerita rakyat, ada dua keyakinan mengenai Mbah
Sholeh. Ada yang menganggap sosok yang hadir hanya
menyerupai Mbah Sholeh yang sudah meninggal. Namun, banyak
yang meyakini kehadiran Mbah Sholeh berulang kali tidak lain
juga lantaran karomah yang dimiliki Sunan Ampel.
Kisah Ayam Jago
Dalam perjalanannya membuka lahan kosong menjadi
sebuah pemukiman, Sunan Ampel bertemu dengan banyak warga
yang masih belum beriman kepada ALLAH. Warga di sekitar
daerah itu ternyata masih sangat abangan (pengetahuan agama nya
sangat rendah). Saat itu warga sekitar banyak penjudi dan
penganut kepercayaan animisme serta doyan dengan namanya
sabung ayam.
Dari sini kembali karomah Sunan Ampelditunjukkan. Beliau
ditantang oleh warga sekitar yang suka main judi untuk beradu
ayam jago. Sunan Ampel pun selalu menang dalam pertarungan
sabung ayam Karena ayam jago yang beliau miliki bukan ayam
jago biasa. Terus menang dalam setiap pertandingan, membuat
Sunan Ampel disegani oleh warga sekitar. Melihat kehebatan sang
Sunan warga kemudian menyatakan taubat dan beriman kepada
Allah.
Masjid Perahu Terbalik
Melihat kondisi masyarakat peneleh itu, Sunan Ampel
memutuskan untuk mendirikan masjid. Tujuannya agar bisa
merangkul mereka ke jalan yang lebih baik. Memang sejak
kedatangan Raden Rahmatullah di desa Peneleh, beliau selalu
67
melihat situasi di Peneleh hingga akhirnya menetap di sekitar
Peneleh sekaligus mensyiarkan ketauhidan ajaran Allah.
Kehebatan Sabung Ayam yang ditunjukkan Sunan Ampel
dengan karomah yang dimilikinya membuat warga semakin
tunduk dan segan pada beliau. Kemudian, setiap hari masyarakat
terus mengikuti dirinya. Seiring berjalannya waktu juga diajarkan
tentang keimanan dan tata cara beribadah yang benar. Di tempat
itu pula didirikan langgar atau surau untuk tempat ibadah.
Sunan Ampel mengajarkan tata cara beribadah yang benar.
Termasuk meninggalkan kebiasaan berjudi dan sabung ayam. Jika
dilihat dari atas, Masjid Jami Peneleh ini mirip seperti perahu
terbalik yang menghadap ke arah barat. Maknanya, mengajak
masyarakat untuk beribadah (salat) ke arah kiblat (Mekah).

15. SUNAN GRESIK (MAULANA MALIK IBRAHIM)


Alamat : desa Gapuro Sukolilo, Jl. Malik Ibrahim, 200 meter dari
alun-alun kota Gresik.
A. SEJARAH SINGKAT
Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim) adalah wali
pertama dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa. Ia
dakwah dengan melebur ke masyarakat melalui jalur dagang,
pertanian, dan pengobatan yang disesuikan dengan budaya
masyarakat.
Wali pertama ini memiliki nama asli Maulana Malik
Ibrahim. Beliau juga dikenal dengan nama Syekh Maulana
Maghribi. Namun, semasa menyebarkan Islam di Jawa ia lebih
akrab disebut Sunan Gresik. Ia menyebarkan agama Islam di
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Asal-usul Sunan Gresik masih menuai perdebatan. Beberapa
sumber mengatakan Sunan Gresik adalah keturunan Arab.
Pendapat lain mengatakan Sunan Gresik diyakini berasal dari
Uzbekistan, Asia Tengah yang lahir sekitar pertengahan abad 14.
Dikutip dari buku Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
karangan Yoyok Rahayu Basuki, Sunan Gresik merupakan
keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Beliau merupakan
seorang saudagar yang berlayar ke Jawa untuk menyebarkan

68
agama Islam. Pada saat itu wilayah Jawa masih dalam kekuasaan
Majapahit.
Sunan Gresik menginjakkan kaki pertama kali di Desa
Sembalo, saat ini berada di daerah Leran, Kecamatan Manyar,
Gresik. Tepatnya 9 kilometer ke arah utara kota Gresik.
B. RIWAYAT KELUARGA
Sunan Gresik memiliki 3 isteri bernama:
1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja
Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: M
Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali
Murtadha alias Raden Santri.
2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu:
Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad.
3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi,
memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim
dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/
Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman
(Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung).
Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera
Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

69
C. NASAB SUNAN GRESIK
Nasab Sunan Gresik bersumber dari catatan dari As-Sayyid
Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya
kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang
terdiri dari:
As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin - As-Sayyid Barakat
Zainal Alam bin-As-Sayyid Husain Jamaluddin bin - As-Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin - As-Sayyid Abdullah bin - As-Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin - As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin -
As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin - As-Sayyid Ali
Khali’ Qasam bin - As-Sayyid Alwi bin - As-Sayyid Muhammad
bin - As-Sayyid Alwi bin - As-Sayyid Ubaidillah bin - Al-Imam
Ahmad Al-Muhajir bin - Al-Imam Isa Ar-Rumi bin - Al-Imam
Muhammad An-Naqib bin - Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin - Al-
Imam Ja’far Shadiq bin - Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin - Al-
Imam Ali Zainal Abidin bin - Al-Imam Al-Husain bin - Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti - Nabi Muhammad
Rasulullah SAW.
D. WAFAT
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, tahun 1419 Sunan Gresik wafat.
Makamnya terletak di desa Gapuro Sukolilo, Jl. Malik
Ibrahim, 200 meter dari alun-alun kota Gresik.
E. ISLAMISASI JAWA
Aktivitas pertama yang dilakukan oleh Sunan Gresik dalam
berdakwah saat itu adalah berdagang dengan membuka warung
yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain
itu secara khusus Sunan Gresik juga menyediakan diri untuk
mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, beliau pernah
diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa
atau Cempa. Sunan Gresik juga mengajarkan cara-cara baru
bercocok tanam. Beliau merangkul masyarakat bawah atau kasta
yang disisihkan dalam komunitas Hindu.
Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat
di hati masyarakat di sekitar, yang ketika itu tengah dilanda krisis
ekonomi dan perang saudara. Pertama-tama yang dilakukan oleh
Sunan Gresik adalah mendekati masyarakat melalui pergaulan dan
70
berdagang. Budi bahasa yang ramah senantiasa diperlihatkannya
di dalam pergaulan sehari-hari. Beliau tidak menentang secara
tajam agama dan kepercayaan yang hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang
dibawa oleh agama Islam.
Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang
tertarik masuk ke dalam agama Islam. Melalui berdagang beliau
dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan
para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegbeliautan
perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau
pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Sunan Gresik
kemudian melakukan kunjungan ke Ibukota Majapahit di
Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi
menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang
tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang
dikenal dengan nama desa Gapura.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk
melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran Islam, Sunan Gresik
membuka pesantren di daerah itu, yang merupakan kawah
condrodimuko bagi estafeta perjuangan agama Islam di masa-
masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi oleh
berjuta-juta umat Islam di Indonesia. Setiap malam Jumat Legi,
masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual
ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul
Awwal. Pada acara haul itu dilakukan khataman Al-Quran,
mauludan (pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad), dan
dihidangkan makanan khas bubur yang bernama harisah.
F. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Guru-Guru Beliau adalah Maulana Jumadil Kubro
Mendirikan dan Mengasuh Pesantren
Seiring waktu, masyarakat Gresik semakin tertarik memeluk
Islam karena sosok Sunan Gresik yang santun, dermawan dan
toleran. Kondisi ini mendorongnya membangun Masjid
Pesucinan, kini dikenal dengan Masjid Maulana Malik Ibrahim,
terletak di desa Leran, Kecamatan Manyar, wilayah pesisir utara
Gresik. Masjid Pesucinan selain sebagai tempat ibadah digunakan
juga sebagai tempat pembinaan mubalig, santri dan masyarakat,
71
bahkan di tempat ini pula lahirnya pesantren pertama di
Nusantara.
Sunan Gresik tidak hanya mengajarkan agama tapi
pengetahuan tentang tehnik irigasi persawahan, dan tambak yang
bertujuan memajukan ekonomi masyarakat pesisir di sekitar
pantai utara Gresik.
G. KAROMAH
1. Menurunkan Hujan, saat Musim Kemarau yang
Berkepanjangan.
2. Dapat Mengubah Beras menjadi Pasir.
H. Keteladan Sunan Gresik
1. Setelah pengikut beliau makin banyak, maka beliau
mendirikan masjid. Beliau juga merasa perlu membangun
bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar
seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama
pesantren . Dalam mengajarkan ilmunya, Sunan Gresik
punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis
di atas bantal. Karena itu beliau kemudian dijuluki ” Kakek
Bantal ”.

2. Beliau waktu itu bukan hanya berhadapan dengan masyarakat


Hindu melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang
tak beragama. Maupun mereka yang terlanjur mengikuti
aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam
yang bercampur dengan kegiatan Musyrik.

16. SUNAN GIRI (RADEN PAKU)


Alamat : Jl. Sunan Giri, Pedukuhan, Kebomas, Kec. Kebomas,
Kabupaten Gresik, Jawa Timur
A. SEJARAH SINGKAT
Nama kecil Sunan Giri adalah Raden Paku, putera Wali
Lanang atau Syeh Maulana Ishak dari Blambangan. Sewaktu kecil
dia dibuang oleh ibunya ke laut (Selat Bali) menggunakan peti
kayu, kemudian dipungut sebagai anak angkat oleh Syahbandar di
Gresik bernama Nyi Gede Pinatih, dan diberi nama Joko Samudro
(Djajaningrat, 1963: 24).
B. RIWAYAT KELUARGA
72
Raden Paku menikah dengan puteri Sunan Ampel bernama
Dewi Murtasiah dan bermukim di Giri.
Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW,
yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi,
Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi
Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-
Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin
Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul
Yaqin (Sunan Giri).
C. WAFAT
Sunan Giri wafat pada malam Jumat, 24 Rabiul Awal tahun
913 Hijriah atau 1428 Saka atau 1506 Masehi dalam usia 63
tahun.
Beliau dimakamkan di sebelah utara padepokan Giri
Kedaton. Makam Sunan Giri terletak di Desa Giri, Kecamatan
Kebomas, Kabupaten Gresik. Komplek makamnya terletak di
tengah puncak bukit Giri.
D. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Mengembara Menuntut Ilmu
Sebelum menyebarkan Islam, ia berguru kepada Sunan
Ampel di Pesantren Ampeldenta, Surabaya. Di pondok pesantren
itu, keilmuan Sunan Giri ditempa.
Setelah remaja Raden Paku belajar kepada Sunan Ampel
bersama putera Sunan Ampel yaitu Maulana Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang). Keduanya pergi ke Pasai, kemudian ke Malaka
untuk belajar tasawuf dan tauhid. Di Malaka,keduanya diterima
oleh Maulana Ishak (Ayah Sunan Giri).
GURU-GURU BELIAU
Sunan Ampel dan Maulana Ishak
Mendirikan dan Mengasuh Pesantren
Pada waktu Raden Paku mau pulang ke Jawa, beliau diberi
nama Maulana Ainul Yaqin oleh ayahnya. Kemudian Raden Paku
diberi segenggam tanah oleh ayahnya untuk dibangun pesantren.
73
Kemudian ayahnya memberinya segenggam tanah yang
nantinya Raden Paku disuruh menemukan jenis tanah yang sama
di jawa sebagai tempat mendirikan pesantren.
Tanah tersebut harus sama dengan bau dan jenis yang
diberikan oleh ayahnya. Raden Paku berjalan jauh untuk
menemukan tanah tersebut.
Alhasil beliau menemukannya dan membangun pesantren di
Desa Sidomukti dekat kota Gresik yang terletak di dataran tinggi.
Itulah mengapa beliau diberi nama Giri dan kahirnya dikenal
dengan sunan Giri.
Selama 3 bulan, pesantren Raden Paku sudah banyak
dikenal masyarakat luas. Bahkan banyak anak-anak yang
menimba ilmu disana. Hal ini sangat mempermudah beliau dalam
menyebarkan Agama Islam.
Saat itu, Raden Paku memiliki pengaruh besar pada
Kerajaan yanga di Pulau Jawa dan juga di luar Jawa. Bahkan
beliau mendirikan Kerajaan yang bernama Giri Kedaton.
Penerus Beliau
Anak-anak Beliau adalah :
1. Sunan Dalem Wetan / Maulana Zainal Abidin.
2. Nyai Ageng Seloluhur
3. Pangeran Pasir Bata
4. Sunan Waruju
5. Siti Rohbayat
6. Sunan Kulon
7. Ratu Gede Saworasa
8. Sunan Kidul
9. Sunan Tegalwangi.
10. Ratu Gede Kukusan
Murid-murid Beliau
Diantara murid- murid Beliau adalah Datuk Ribandang dan
Syekh Zainal Abidin
E. Metode Dakwah Beliau
Selain melalui jalur pendidikan, Sunan Giri juga berdakwah
lewat karya-karya seni yang ia ciptakan, seperti tembang atau lagu
dan permainan anak-anak. Permainan anak-anak yang dibuat oleh
Sunan Giri di antaranya adalah Jelungan, Jamuran, Gendi Gerit,
74
dan lainnya. Sedangkan tembang anak-anak yang beliau ciptakan
sebut saja Padang Bulan, Lir-ilir, Dolanan Bocah, Jor, Gula Ganti,
dan Cublak-cublak Suweng. Raden Paku juga menciptakan
permainan anak yang banyak dikenal oleh masyarakat Jawa Timur
yang bernama Jelungan. Dalam permainan tersebut dimaksud
untuk mengajarkan seseorang dalam menyelamatkan hidup.
Caranya adalah dengan berpegang teguh dengan ajaran Agama
Islam.
Sunan Giri juga berupaya merangkul tradisi lokal dan
memadukannya dengan dakwah Islam, seperti selametan, acara di
keramaian, dan upacara-upacara lainnya. Taktik dakwah seperti
ini cukup efektif dalam menarik hati warga yang kemudian
bersedia memeluk agama Islam. Kharisma dan pengaruh Sunan
Giri berhasil menggalang rakyat untuk bertahan ketika Kerajaan
Majapahit terpecah-belah sebelum akhirnya runtuh lantaran
serangan dari Kesultanan Demak yang merupakan kerajaan Islam
pertama di Jawa. Bersama para santri dan warga sekitar, Sunan
Giri mempertahankan wilayah Giri dan mendirikan Kerajaan Giri
Kedaton atau Kedatuan Giri.
Peran Sunan Giri Ketika Berdakwah Menyebarkan Islam.
Berikut adalah penjelasan mengenai peran beliau.
Peran di Blambangan, Jawa Timur
Setelah Raden Paku pergi melaksanakan ibadah haji, beliau
ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah
Blambangan. Ternyata beliau melakukan dakwah Agama Islam di
tempat Prabu Minak Sembayu yang merupakan kakek
kandungnya sendiri. Kakek beliau sangatlah senang bisa bertemu
dengan cucunya lagi. Bahkan dia tidak melarang Sunan Giri
dalam melakukan dakwah. Dengan begitu Islam mulai
berkembang di sana dan membuat Hindu Budha terdesak.
Peran di Kota Gresik, Jawa Timur
Sunan Ampel pernah mengutus Raden Paku untuk
mengunjungi Nyai Ageng Pinatih selaku ibu angkat beliau.
Setelah sampai di Gresik, beliau membantu ibunya untuk
berdagang. Di samping berdagang, beliau juga turut menyebarkan
ajaran Islam. Suatu ketika, Raden Paku menyulap karung yang
berisi pasir dan batu menjadi emas, rotan, damar, dan barang
75
mewah lainnya. Hal ini dilakukan karena beliau mengetahui
bahwa ibu angkatnya tidak pernah bersedekah.
Sejak saat itu, Nyai Ageng Pinatih mulai senang bersedekah
dan juga berzakat kepada masyarakat yang membutuhkan.
Akhirnya ajaran Islam mulai bekembang pesat di Kota Gresik dan
berlangsung hingga sekarang.
Peran Pada Peresmian Masjid Demak
Raden Paku memiliki peran dalam peresmian Masjid
Demak bersama dengan Sunan Kalijaga. Saat kegiatan peresmian,
akan dilangsungkan pertunjukan wayang beber. Wayang beber
merupakan salah satu jenis wayang yang memiliki rupa mirip
dengan wajah manusia. Raden Paku sangat menentang adanya
wayang tersebut.
Hal ini karena dalam hukum Agama Islam, dilarang
menggunakan wayang yang memiliki wajah seperti manusia.
Akhirnya pertunjukan wayang yang berlangsung menggunakan
wayang kulit oleh sunan Kalijaga. Bagi masyarakat sekitar yang
ingin menikmati pertunjukan tersebut, harus mengucapkan dua
kalimat syahadat sebagai tiket masuk. Alhasil lebih banyak lagi
masyarakat yang memeluk Agama Islam.
F. KAROMAH BELIAU
Adu Kesaktian dengan Begawan Mintu Semeru
Hampir semua para wali pernah diajak adu kesaktian.
Begitupun Sunan Giri yang menyebarkan agama Islam juga
mendapat perlawanan dari para tokoh Hindu yang sudah terkenal
pada saat itu. Begawan Mintu Semeru merupakan salah satu tokoh
yang tidak senang akan kehadiran Sunan Giri.
Begawan Mintu Semeru dikenal mempunyai kesaktian yang
sangat tinggi, dengan kehadiran Sunan Giri yang berdakwah
membuat dia tak terima dan kemudian menantang Sunan Giri
untuk adu kesaktian.
Begawan Mintu Semeru pun datang ke Gresik untuk beradu
kesaktian dengan Sunan Giri. Saat itu terjadi 4 pertarungan seperti
merubah angsa menjadi seekor naga, menyusun ribuan telur, adu
kesaktian jubah serta ikat kepala, dan menerbangkan tempayan
(wadah air).

76
Dari semua adu kesaktian itu, semua bisa dimenangkan oleh
sunan Giri, dan begawan Minto Semeru mengaku kalah. Akhirnya
begawan Minto Semeru menjadi pengikut Sunan Giru dan
menjadi santri di pesantren milik sunan Giri.
Mengubah Pasir Menjadi Barang Dagang
Saat Sunan Giri berdagang di Kalimantan, beliau menjual
barangnya dengan cara boleh dihutang atau dicicil oleh
pembelinya. Tak jarang beliau menghibahkan barang
dagangannya kepada fakir miskin.
Sunan Giri pun diprotes Abu Hurairah selaku orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih. Ia khawatir perbuatan Sunan
Giri akan membuat mereka rugi. Hal itu pun benar terjadi, setelah
10 hari dan sampai waktunya pulang ke Jawa, para pembeli yang
berhutang belum membayarnya.
Akhirnya Abu Hurairah memutuskan pulang ke Jawa tanpa
membawa hasil apa pun. Kapal yang dinaikinya pun terombang-
ambing oleh angin di lautan karena tidak ada beban muatan sama
sekali. Karena hal tersebut, Sunan Giri memerintahkan untuk
mengisi karung dengan pasir dan batu agar kapal memilki muatan.
Sesampainya di Gresik, Abu Hurairah menyampaikan
kejadian selama di Kalimantan kepada Nyai Ageng Pinatih.
Otomatis ibu Sunan Giri sangat marah.
Namun saat ibunya dan Abu Hurairah diminta untuk
mengecek kapal ternyata batu dan pasir yang sebelumnya di bawa
dari Kalimantan berubah menjadi damar dan rotan.
G. KETELADANAN SUNAN GIRI
Dengan beberapa metode dakwah yang dilakukan oleh
Sunan Giri, tentu saja banyak sekali contoh keteladanan dari
Sunan giri yang bisa kita petik hikmahnya.
Salah satu keteladanan yang bisa dipetik yaitu strategi yang
baik dalam berdakwah. Selain strategi dakwah dilakukan dengan
cara mendirikan pondok pesantren, lagu dan permainan.
Sunan Giri juga melakukan strategi dakwah di dalam dunia
politik yaitu dengan menjadi Sang Propoganda Ulung. Julukan
Sang propaganda ulung ini terbukti bahwa Sunan Giri mampu
menaklukkan kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya kerajaan
tersebut mengakui kekuasaan Sunan Giri dan memberi kebebasan
77
pada Sunan Giri untuk menyebarkan Agama Islam di kerajaan
Majapahit.
Menjadi seorang ulama, memiliki pengetahuan agama
islamnya yang luas memang penting, namun penting juga
memiliki pengetahuan umum agar bisa bersaing dengan kerajaan-
kerajaan kala itu. Diantara kepintaran-kepintaran dalam hal umum
yaitu kemampuan dalam bernegosiasi dan kemampuan dalam
memimpin.
Karena dalam berdakwah, hal yang paling dibutuhkan yaitu
cara memimpin pemerintahannya. Hal ini bertujuan agar
keberadaan kita bisa diakui oleh Pemerintahan, seperti halnya
keberadaan Sunan Giri pun dengan ikut berkecimpung di dunia
politik, maka dilihat dan diakui oleh orang-orang di pemerintahan.
Dengan adanya pengakuan dan legalitas tersebut, dakwah yang
dilakukan akan semakin mudah.

78
17. SUNAN DRAJAT (RADEN QOSIM)
Alamat : Drajat, Kec. Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
62264
A. SEJARAH SINGKAT
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau
raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan
kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau
menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan
di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak.
Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun
saka 1442/1520 masehi.
Saat di daerah Cirebon, Sunan Drajat sering disebut dengan
Syekh Syarifuddin. Di sana beliau turut membantu Sunan Gunung
Jati dalam menyebarkan dakwah agama Islam. Beliau kemudian
menikah dengan Dewi Sufiyah yang merupakan putri dari Sunan
Gunung Jati, dan dikaruniai anak bernama Pangeran Trenggana,
Pangeran Sandi, dan Dewi Wuryan.
Selain itu, beliau juga menikah dengan Nyai Kemuning dan
Nyai Retno Ayu Candrawati. Nyai Kemuning merupakan putri
dari Mbah Mayang Madu yang merupakan seorang tetua desa
Jelak.
Beliau merupakan orang yang telah menolong Sunan Drajat
disaat terdampar dalam perjalanan dakwahnya menuju ke pesisir
Gresik. Di lain sisi, Sunan Drajat juga menikahi Nyai Retno Ayu
Candrawati yang merupakan putri dari Raden Suryadilaga,
seorang adipati di kawasan Kediri.
B. NASAB SUNAN DRAJAT
Raden Qasim - As-Sayyid Ali Rahmatullah - As-Sayyid
Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy - As-Sayyid Husain
Jamaluddin bin - As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin - As-Sayyid
Abdullah bin - As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin - As-
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin - As-Sayyid Muhammad Shahib
Mirbath bin - As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin - As-Sayyid Alwi
bin - As-Sayyid Muhammad bin - As-Sayyid Alwi bin - As-
Sayyid Ubaidillah bin - Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin - Al-
Imam Isa Ar-Rumi bin - Al-Imam Muhammad An-Naqib bin - Al-
Imam Ali Al-Uraidhi bin - Al-Imam Ja’far Shadiq bin - Al-Imam
79
Muhammad Al-Baqir bin - Al-Imam Ali Zainal Abidin bin - Al-
Imam Al-Husain bin - Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi
Thalib, binti - Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
WAFAT
Sunan Drajat meninggal tahun 1522 Masehi. Beliau wafat
dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Kompleks Makam Sunan Drajat terletak
di sebuah bukit di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten
Lamongan, Provinsi Jawa Timur.
C. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Menuntut Ilmu
Diperintahkan ayahnya untuk menuntut ilmu di Cirebon
berguru dengan sunan Gunung Jati
Guru-Guru Beliau
Sunan Ampel (Ayah beliau) dan Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah)
Mendirikan dan Mengasuh Pesantren
Setelah proses pembukaan lahan selesai, Sunan Drajat
beserta pengikutnya mendirikan pemukiman seluas 9 hektar.
Berdasarkan petunjuk yang disampaikan Sunan Giri lewat mimpi,
beliau menempati daerah sisi selatan perbukitan dan dinamai
Ndalem Duwur, di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan
(kini menjadi komplek pemakaman).Sunan Drajat juga
mendirikan masjid agak jauh di bagian barat tempat tinggalnya,
untuk dijadikan sebagai pusat dakwah dan menghabiskan sisa
hidupnya di daerah tersebut.
Berkat kecerdasannya, beliau mampu memegang kendali
otonomi atas wilayah perdikan Drajat melalui kerajaan Demak
selama 36 tahun. Atas kesuksesannya tersebut maka orang-orang
menyebut beliau dengan nama “Kadrajat” yang artinya terangkat
derajatnya. Dari sebutan itulah akhirnya muncul nama Sunan
Drajat. Selain itu, beliau juga mendapatkan gelar Sunan Mayang
Madu (1520 M) dari Sultan Demak I, atas keberhasilannya dalam
mensejahterakan kehidupan masyarakat.
PENERUS BELIAU
Anak-anak Beliau
1. Pangeran Trenggana
80
2. Pangeran Sandi
3. Dewi Wuryan
Murid-murid Beliau
Duratmo atau Ki Sulaiman.
D. METODE DAKWAH BELIAU
Menurut seorang antropologi bernama E. Vogt, masyarakat
akan cenderung bersifat kolot dan juga progresif dalam menerima
perubahan budaya. Mereka yang memiliki kedudukan tertentu
dalam masyarakat cenderung tidak menyukai adanya perubahan
yang mampu mengubah kedudukannya.
Sedangkan orang yang tidak memiliki kedudukan akan
cenderung bersifat progresif. Dalam mengatasi hal-hal tersebut
maka Sunan Drajat memiliki metode yang sangat bijak
sebagaimana yang dijelaskan berikut.
Menjadi bagian Terpenting dalam Masyarakat
Untuk bisa dihormati dan diikuti oleh masyarakat maka
Sunan Bonang menjadi bagian terpenting dalam lingkungan
dakwahnya. Dalam beberapa naskah disebutkan bahwa beliau
menikahi putri-putri dari petinggi desa atau wilayah kabupaten.
Dengan demikian maka cukup mudah bagi beliau untuk
mengajak pemimpin dan rakyatnya masuk dalam agama Islam,
atau mengajak orang-orang yang lebih kaya untuk menginfakkan
sebagian harta mereka pada fakir miskin.
Selain itu, beliau juga mampu mengambil hati masyarakat
dengan menyembuhkan warga yang sakit melalui doa dan juga
ramuan tradisional.
Beliau juga terkenal dengan kesaktiannya, terbukti dengan
adanya Sumur Lengsanga di daerah Sumenggah, yang diciptakan
dari sembilan lubang bekas umbi hutan yang dicabut dan akhirnya
memancarkan air bening untuk menghilangkan dahaga para
pengikutnya selama perjalanan.
Mengayomi Masyarakat
Sunan Drajat kerap sekali memperhatikan rakyatnya,
terutama setelah pembukaan lahan baru di perbukitan Drajat.
Beliau sering melakukan ronda atau mengitari perkampungan di
malam hari untuk mengamankan dan melindungi rakyatnya dari
gangguan makhluk halus yang sering meneror warga.
81
Bahkan setelah sholat ashar, beliau juga sering berkeliling
sembari berzikir dan mengingatkan penduduk untuk
menghentikan pekerjaan mereka, serta mengajak untuk
melaksanakan sholat maghrib.
Mengentaskan Kemiskinan Rakyat
Sunan Drajat terkenal dengan jiwa sosialnya yang tinggi
dengan selalu memperhatikan kaum fakir miskin. Sesuai dengan
namanya Al-Qosim yang berarti orang yang suka memberi harta
warisan, rampasan perang, dan sebagainya.
Ajaran Sunan Drajat lebih ditekankan pada kesejahteraan
masyarakat berupa kedermawanan, solidaritas, gotong royong,
menciptakan kemakmuran, dan pengentasan kemiskinan. Setelah
hal itu terwujud barulah beliau memberikan ajaran dan
pemahaman tentang Islam.
Dengan Kearifan dan Kebijaksanaan
Sunan Drajat menyampaikan ajaran Islam melalui metode
dakwah bil-hikmah atau dengan cara-cara yang bijak dan tidak
memaksa. Beliau menggunakan pendekatan lewat pengajian-
pengajian di masjid, menyelenggarakan pendidikan pesantren, dan
memberikan fatwa/petuah untuk berbagai masalah.
Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada muridnya
tentang kaidah untuk tidak saling menyakiti baik secara perkataan
maupun perbuatan, seperti: “Hindari pembicaraan yang menjelek-
jelekkan orang lain, apalagi melakukannya”.
Melalui Kesenian Tradisional
Sama seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat juga sering
berdakwah melalui adat lokal dan kesenian tradisional, asalkan
tidak menyimpang dari ajaran Islam. Beliau sering menyampaikan
petuah melalui tembang pangkur yang diiringi dengan alat musik
gending.
Beberapa tembang pangkur yang diubah telah disimpan rapi
di museum Sunan Drajat. Selain itu, keahlian bermusik Sunan
Drajat juga dibuktikan dengan adanya seperangkat gamelan
‘Singo Mengkok’.
Lewat Pitutur Sosial
Di sisi lain, Sunan Drajat juga mengajarkan tata cara hidup
sebagai makhluk sosial yang harus saling membantu. Terbukti
82
dengan adanya artefak di komplek makam yang bertuliskan catur
piwulang.
Adapun empat pokok yang diajarkan oleh Sunan Drajat
tersebut meliputi: berikan tongkat pada orang buta, berikan makan
orang yang kelaparan, berikan pakaian pada orang telanjang, dan
berikan payung pada orang yang kehujanan.
E. KAROMAH BELIAU
Di Tolong Ikan Cucut dan Ikan Talang
Ketika kapal yang ditumpaginya karan atau tenggelam di
lautan, sang sunan berpegangan pada kayuh atau dayung
perahunya.
Sunan Drajat dapat bertahan karena pertolongan Allah.
Karena kemudian muncul ikan cucut serta ikan talang atau
cakalang yang akhirnya menyelamatkannya.
Kemudian setelah terombang-ambing ombak di lautan luas
dan ditolong oleh ikan cucut atau ikan talang ini akhirnya beliau
terdampar di desa di pesisir kota Lamongan.
Memancarkan Air dari Lubang Bekas Umbi
Ketika sunan Drajat mengadakan perjalalan dakwahnya,
beliau dan pengikutnya merasa kehausan. Maka beliau meminta
semua untuk istirahat dan mencari air untuk diminum.
Beberapa santrinya mencabut umbi hutan atau wilus untuk
diambil airnya. Ketika itu sunan Drajat berdoa kepada Allah agar
diberikan air, maka saat itu juga keluar air memancar deras dari
bekas cabutan umbi hutan tersebut.
Hingga saat ini air keluaran dari bekas cabutan umbi hutan
tersebut masih ada, bahkan dijadikan sumur oleh warga sekitar.
Sumur ini menjadi sumur abadi yang ada di daerah itu.
Memindahkan Masjid Dalam Waktu Semalam
Ketika sunan sendang Dhuwur meminta masjid kepada Ratu
Kalinyamat atau mbok Rondo Mantingan, ia diijinkan membawa
masjid bangsawan yang ada di Jepara.
Ratu Kalinyamat mengijinkan untuk memindahkan masjid
yang berada di Jepara tersebut unuk dibawa ke desa Sendang
Dhuwur.

83
Namun dengan syarat, ketika nanti memindahkan tidak
boleh ada bekas pindahan atau puing-puing pemindahannya.
Selain itu juga syaratnya harus dipindahkan dalam satu malam.
Sunan Sendang Dhuwur kemudian meminta bantuan sunan
Drajat untuk memindahkan masjid tersebut ke desa Sendang
Dhuwur.
Akhirnya dalam waktu semalam masjid yang berada di
Jepara bisa dipindahkan oleh sunan Drajat tanpa meninggalkan
secuil potongan atau serpihan di tempatnya yang lama,
Esok harinya, warga desa Sendang Dhuwur merasa kaget
karena muncul masjid bagus di desanya. Padahal kemarin tidak
ada masjid di desanya. Mere ka sangat senang dengan adanya
masjid dadakan tersebut.
Kemudian oleh masyarakat desa Sendang Dhuwur
digunakan sebagai tempat sholat dan berbagai kegiatan
keagamaan lainnya.
F. KETELADANAN SUNAN DRAJAT
Dalam melakukan syiar ajaran Islam, Sunan Drajat memilih
pendekatan melalui pendidikan moral. Ia dikenal sebagai wali
yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masyarakat miskin.
Sunan Drajat merupakan anggota Wali Songo yang
mengembangkan dakwah Islam melalui jalur pendidikan moral. Ia
juga dikenal sebagai wali yang punya kepudulian tinggi terhadap
masyarakat miskin.
Dalam bukunya berjudul Atlas Wali Songo (2012), Agus
Sunyoto mengisahkan bahwasanya Sunan Drajat mendidik
masyarakat sekitar supaya memiliki kepedulian terhadap nasib
fakir miskin, mengutamakan kesejahteraan umat, serta memiliki
empati.
G. PENGHARGAAN
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa -
sisa gamelan Singo mengkok-nya Sunan Drajat kini tersimpan di
Museum Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai
seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan
untuk melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah
84
peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang
berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten
Lamongan mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat disebelah
timur Makam. Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa
Timur tanggal 1 Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk
menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini
mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi
dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup
dan pembangunan Gapura Paduraksa senilai Rp.98 juta dan
anggaran Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali
Mesjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan
RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993 sampai 1994
pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi
paséban, balé ranté serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I
Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa
Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.

85
18. SUNAN BONANG (RADEN MAULANA MAKDUM IBRAHIM)
Alamat : Jalan Kh Mustain, Kutorejo, Kecamatan Tuban, Kutorejo,
Kec. Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur 62311
A. SEJARAH SINGKAT
Sunan Bonang merupakan salah satu wali songo (sembilan
wali) yang ikut andil dalam penyebaran agama Islam di pulau
Jawa. Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama
Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel
dan Nyai Ageng Manila.
Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama
Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong
seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Namun
ada pula yang menyatakan bahwa nama bonang diambil dari salah
satu alat musik tradisional yang biasa digunakan oleh Raden
Maulana Makdum Ibrahim untuk memudahkan pengenalan Islam
kepada masyarakat.
Sunan Bonang menikah dengan Dewi Hirah putri dari
Raden Jakandar. Dari pernikahan itu dikaruniai tiga anak. Yakni,
Dewi Ruhil, Jayeng Katon dan Jayeng Rono
B. NASAB SUNAN BONANG
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin - Sunan Ampel
(Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin - Maulana Malik
Ibrahim bin - Syekh Jumadil - Qubro (Jamaluddin Akbar Khan)
bin - Ahmad Jalaludin Khan bin - Abdullah Khan bin - Abdul
Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin - Alawi Ammil Faqih
(dari Hadramaut) bin - Muhammad Sohib Mirbath (dari
Hadramaut) bin - Ali Kholi' Qosam bin - Alawi Ats-Tsani bin -
Muhammad Sohibus - Saumi'ah bin - Alawi Awwal bin -
Ubaidullah bin - Muhammad Syahril - Ali Zainal 'Abidin bin -
Hussain bin - Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti
Muhammad SAW)
C. WAFAT
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini
makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering
diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan
Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar
wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari
86
Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin
membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak
dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan
pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid
Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada
murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang.
Mereka memperebutkannya.
D. SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN BELIAU
Sejak kecil, Beliau sudah diberi pelajaran agama islam
secara tekun dan disiplin oleh ayahnya yang juga seorang anggota
wali sanga. Dan, ini sudah bukan lagi rahasia lagi bahwa latihan
para wali lebih berat dari pada orang biasa pada umumnya. Ia
adalah calon wali terkemuka, maka Sunan Ampel mempersiapkan
pendidikan sebaik mungkin sejak dini.
Suatu hari disebutkan bahwa raden makdum ibrahim dan
raden paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama
islam hingga ke tanah seberang, yaitu negeri pasai, aceh.
Keduanya menambah pengetahuan kepada ayah kandung Sunan
giri yang bernama Syekh maulana ishaq. Mereka juga belajar
kepada para ulama besar yang menetap di negeri pasai, seperti
para ulama tasawuf yang berasal dari baghdad, mesir, arab, persia
atau iran.
Raden makdum ibrahim dan raden paku pulang ke jawa
setelah belajar di negeri pasai. Raden paku kembali kembali ke
gresik dengan mendirikan pesantren di giri sehingga terkenal
sebagai sunan giri. Sementara itu, raden makdum ibrahim
diperintahkan sunan ampel untuk berdakwah di Tuban.
Guru-Guru Beliau saat menuntut ilmu : Sunan Ampel dan
Syekh Wali Lanang (Syekh Maulana Ishaq atau ayah Raden Paku)
di Malaka
MENDIRIKAN DAN MENGASUH PESANTREN
Sekembalinya dari riyadhoh, Sunan Ampel memerintahkan
Sunan Bonang untuk melakukan dakwah di daerah Tuban, Jawa
Timur. Sunan Bonang kemudian mendirikan pondok pesantren
sebagai pusat dakwah dan menyebarkan agama Islam sesuai
dengan adat Jawa. Di sana beliau mendirikan Masjid Sangkal
Daha. Beliau kemudian menetap di Bonang desa kecil di Lasem,
87
Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa
itu beliau membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
PENERUS BELIAU
Murid-murid Beliau
Beliau mempunyai beberapa murid yang kemudian juga
masuk dalam Wali Songo seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Drajad, dan Sunan Muria.
E. METODE DAKWAH BELIAU
Berdakwah dengan Media Gamelan
Dalam berdakwah, ia sering mempergunakan kesenian
tradisional untuk menarik simpati rakyat, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut bonang.
Bonang adalah sejenis kuningan yang bagian tengahnya
lebih ditonjolkan. Apabila benjolan itu dipukul dengan kayu
lunak, maka timbul suara yang merdu di telinga penduduk
setempat. Terlebih lagi bila raden makdum ibrahim sendiri yang
membunyikan alat musik tersebut. Ia adalah seorang wali yang
mempunyai cita rasa seni yang tinggi. Jika ia membunyikan alat
itu, maka pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya. Dan,
tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan
bonang, sekaligus melagukan berbagai tembang ciptaan beliau.
Begitulah siasat raden makdum ibrahim yang dijalankan
penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya, ia
tinggal menyiapkan ajaran islam dalam berbagi tembang kepada
mereka. Dan, seluruh tembang yang diajarkannya adalah tembang
yang berisikan ajaran agama islam. Maka, tanpa terasa penduduk
sudah mempelajari gama islam dengan senan hati dan bukan
dengan paksaan.
Tombo Ati Tembang Ciptaaan Sunan Bonang
Cerita Sunan Bonang, Di antara tembang Raden Makdum
Ibrahim yang terkenal, yaitu “Tamba ati iku lima ing wernane.
kaping pisan maca qur'an angen-angen sak maknane. Kaping
pindho shalat wengi lakonono. Kaping telu wong kang saleh
kancanana. kaping papat kudu wetheng ingkang luwe. Kaping
lima dzikir wengi ingkang suwe. Sopo wonge bisa ngelakoni.
Insya Allah gusti Allah nyembadani”
88
Adapun arti tembang tersebut adalah obat sakit jiwa (hati)
itu ada lima jenisnya. Pertama, membaca al qur an direnungkan
artinya. kedua, mengerjakan shalat malam (Sunnah Tahajjud).
Ketiga, sering bersahabat dengan orang shalih (berilmu).
Keempat, harus sering berprihatin (berpuasa). Kelima, sering
berzikir mengingat Allah di waktu malam. Siapa saja mampu
mengerjakannya. InsyaAllah Allah akan mengambulkan.
Sekarang, lagu ini sering dilantunkan para santri ketika
hendak shalat jamaah baik di pedesaan maupun di pesantren.
Sebenarnya, para murid Raden Makdum Ibhramim sangat banyak,
baik itu mereka yang berada di Tuban, pulau Bawean, Jepara,
maupun Madura. Sebab, Beliau sering mempergunakan bonang
dalam berdakwah, maka masyarakat memberinya gelar Sunan
Bonang.
F. KAROMAH BELIAU
Merubah Pohon Aren menjadi Pohon Emas
Suatu ketika Sunan Bonang berjalan di hutan dan dihadang
oleh Raden Mas Said atau Brandalan Lokajaya. Raden Mas Said
hendak merampok Sunan Bonang yang membawa sebuah tongkat
berlapiskan emas. Tapi dengan tenang Sunan Bonang yang telah
mengetahui maksud Lokajaya menunjukkan perhatian dan kasih
sayangnya.
Kesantunan dan kelembutan Sunan Bonang konon berhasil
meluluhkan hati berandal dan perampok yang terkenal sadis.
Bentakan dan sikap kasar Lokajaya yang menyuruh Sunan
Bonang memilih harta atau nyawa, menjadi kesempatan Sunan
Bonang untuk menenangkan Lokajaya.
Perkataan Sunan Bonang ini akhirnya disambut dengan
suasana hening dari Lokajaya yang kala itu belum memeluk
agama Islam. Pria yang nantinya menjadi Sunan Kalijaga ini
mencoba meresapi kata - kata Sunan Bonang. Saat itulah, Sunan
Bonang kembali bertanya apakah Lokajaya masih membutuhkan
harta benda. Lalu Sunan Bonang dengan tongkat di tangannya
menunjuk buah aren yang ada di sekitarnya sembari mengatakan
"Lihat itu lebih banyak emas,".
Atas izin Allah dan karomah Sunan Bonang, buah aren itu
berubah menjadi kemilauan emas. Emas - emas itu tampak lebih
89
banyak dibanding dengan tongkat yang sebenarnya diiincar
LokaJaya. Melihat kejadian itu di depan matanya, Raden Mas
Said langsung menyatakan diri memeluk agama Islam dan
bersedia berguru kepada Sunan Bonang.
Sunan Bonang pun berujar "Sabar - sabarlah dulu anakku.
Kamu membutuhkan pisau ini? Oh gampang, gampang! Nanti aku
berikan. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya siapa namamu nak?
Mengapa kamu datang dan langsung bertindak kasar seperti ini?
Ingatlah nak, orang tuamu itu orang yang taat,".
Kisah Tembang Sunan Bonang yang Bikin Perampok Tak Bisa
Bergerak
Selain itu dikisahkan, Sunan Bonang pernah menaklukkan
Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak buahnya,
hanya menggunakan tembang dan gending Dharma dan Mocopat.
Suatu ketika Sunan Bonang sedang berjalan melintasi hutan,
Dalam perjalanan itu tiba-tiba dicegat oleh sekawanan perampok
pimpinan Kebondanu. Pada waktu dicegat oleh Kebondanu dan
anak buahnya, Sunan Bonang hanya memperdengarkan tembang
Dharma ciptaannya.
Seketika itu juga Kebondanu dan seluruh anak buahnya
tidak dapat bergerak. Kaki dan tangan serta seluruh anggota
badannya terasa kaku, tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Oleh karena itu para perampok tersebut tidak dapat berbuat
lain kecuali berteriak minta ampun kepada Sunan Bonang.
''Ampun... hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,'' begitu
konon kata Kebondanu.
Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya
pun masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Bonang.
Kisah Adu Kesaktian Sunan Bonang dan Brahmana dari India
Kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak pada gamelan
dan gaungnya. Cerita lain mengisahkan seorang brahmana
bernama Sakyakirti yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya
ingin mengadu kesaktian dengan Sunan Bonang.
"Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang
untuk berdebat dan adu kesaktian," sumpah Brahmana sembari
berdiri di atas geladak di buritan kapal layar.
90
"Jika dia kalah, maka akan aku tebas batang lehernya. Jika
dia yang menang akau akan bertekuk lutut untuk mencium telapak
kakinya. Akan aku serahkan jiwa ragaku kepadanya," sumpah
sang Brahmana.
Namun ketika kapal yang ditumpanginya sampai di Perairan
Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak
hebat.
Angin dari segala penjuru seolah berkumpul menjadi satu,
menghantam air laut sehingga menimbulkan badai setinggi bukit.
Dengan kesaktiannya, Brahmana Sakyakirti mencoba
menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya.
Satu kali, dua kali hingga empat kali Brahmana ini dapat
menghalau terjangan badai. Namun kali ke lima, dia sudah mulai
kehabisan tenaga hingga membuat kapal layarnya langsung
tenggelam ke dalam laut.
Dengan susah payah dicabutnya beberapa batang balok kayu
untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang
muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun pada akhirnya dia dan para pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak
dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah ikut
tenggelam ke dasar laut.
Meski demikian, niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan
Bonang tak pernah surut.
Dia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang
tak pernah dikenalnya. Dia bingung harus kemana untuk mencari
Sunan Bonang.
Pada saat hampir dalam keputusasaan, tiba-tiba di kejauhan
dia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sambil
membawa tongkat.
Dia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan
menghentikan langkah orang itu. Lelaki berjubah putih itu
menghentikan langkahnya dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
"Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang
bernama Sunan Bonang. Dapatkah kisanak memberitahu di mana
kami bisa bertemu dengannya?" tanya sang Brahmana.
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya lelaki itu.
91
"Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan,"
jawab sang Brahmana.
"Tapi sayang, kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam
ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih
ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan
perdebatan," kata sang Brahmana.
Tanpa banyak bicara, lelaki berjubah putih itu mencabut
tongkatnya. Mendadak saja tersembur air dari bekas tongkat
tersebut dan air itu membawa keluar semua kitab yang dibawa
sang Brahmana.
"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut?,"
tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya kemudian memeriksa
kitab-kitab itu, dan tenyata benar milik sang Brahmana.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapakah
sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Sementara itu para murid sang Brahmana yang kehausan
sejak tadi segera saja meminum air jernih yang memancar itu.
Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan rasa kuatir, jangan-
jangan murid-muridnya itu akan segera mabuk karena meminum
air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.
"Segar...Aduuh...segarnya..." seru murid-murid sang
Brahmana.
Brahmana Sakyakirti termenung. Bagaimana mungkin air di
tepi pantai terasa segar. Dia mencicipinya sedikit dan ternyata
memang segar rasanya. Rasa herannya menjadi-jadi terlebih jika
berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu yang
mampu menciptakan lubang air yang memancar dan mampu
menghisap kitab-kitab yang tenggelam ke dasar laut.
Sang Brahmana berpikir bahwa lelaki berjubah putih itu
bukanlah lelaki sembarangan. Dia mengira bahwa lelaki itu telah
mengeluarkan ilmu sihir, akhirnya dia mengerahkan ilmunya
untuk mendeteksi apakah semua itu benar hanya sihir. Namun
setelah dikerahkan segala kemampuannya, ternyata bukan, bukan
ilmu sihir, tapi kenyataan.

92
Seribu Brahmana yang ada di India pun tak akan mampu
melakukan hal itu, pikir Brahmana dalam hati. Dengan perasaan
takut dan was-was, dia menatap wajah lelaki berjubah itu.
"Mungkinkah lelaki ini adalah Sunan Bonang yang
termasyhur itu?," gumannya dalam hati.
Akhirnya sang Brahmana memberanikan diri untuk bertanya
kepada lelaki itu.
"Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?," tanya
Brahmana dengan hati yang berkebat-kebit.
"Tuan berada di Pantai Tuban," jawab lelaki berjubah putih
itu.
Begitu mendengar jawaban lelaki itu, jatuh tersungkurlah
sang Brahmana beserta murid-muridnya. Mereka menjatuhkan diri
berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah yakin sekali bahwa
lelaki inilah yang bernama Sunang Bonang yang terkenal sampai
ke Negeri India itu.
"Bangunlah, untuk apa kalian berlutut kepadaku. Bukankah
sudah kalian ketahui dari kitab-kitab yang kalian pelajari bahwa
sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya
pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung," kata
lelaki berjubah putih itu yang tak lain memang benar Sunan
Bonang.
"Ampun...Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat
tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya...," ujar sang
Brahmana meminta dikasihani.
"Bukankah Tuan ingin berdebat denganku dan mengadu
kesaktian?," tukas Sunan Bonang.
"Mana saya berani melawan paduka, tentulah ombak dan
badai yang menyerang kapal kami juga ciptaan paduka, kesaktian
paduka tak terukur tingginya. Ilmu paduka tak terukur dalamnya,"
kata Brahmana Sakyakirti.
"Engkau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan
badai, hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakan dan
menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang
percaya dan mendekat kepada-Nya dari segala macam bahaya dan
niat jahat seseorang," ujar Sunan Bonang.

93
Memang kedatangannya bermaksud jahat ingin membunuh
Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan kesaktian. Ternyata
niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-
kitab yang telah dipelajari telah terbukti. Setelah kejadian
tersebut, akhirnya sang Brahmana dan murid-muridnya rela
memeluk agama Islam atas kemauannya sendiri tanpa paksaan.
Lalu sang brahmana dan pengikutnya menjadi murid dari Sunan
Bonang.

94
G. KETELADANAN SUNAN BONANG
Sunan Bonang memiliki keistimewaan memimpin dan
bergaul dengan masyarakat. Bakat ini menunjang tugasnya untuk
meneruskan dakwah ayahnya. Terutama dalam bidang seni
budaya. Oleh karena itu Sunan Bonang lebih banyak
menggunakan seni dan budaya sebagai medida dakwahnya.
Melalui berbagai unsur kesenian beliau tanamkan roh islamiyah
baik yang berkenaan dengan aqidah huku mapun etika.
Sunan Bonang banyak menggubah syair lagu gending
dengan tema tauhid, ibadah, akhlak, kisah-kisah Nabi. Sunan
Bonang jugalah yang menggubah gamelan Jawa seperti yang ada
sekarang, beliau menggubah gamelan Jawa yang saat itu masih
kental dengan estetika Hindu dengan gaya lebih baru dan
menambahkan instrument bonang. Dengan begitu, berangsur-
angsur terkikis bermacam-jenis kepercayaan dan adat istiadat
lama yang menyesatkan dan tumbuh bersemi aqidah dan ajaran
Islam yang menjanjikan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sunan Bonang menggunakan kebudayaan jawa yang sudah
lama ada, untuk menarik perhatian masyarakat sekitar. Hal ini
bertujuan untuk menanamkan ajaran Agama Islam tanpa harus
mengubah kebiasaan dan juga unsur budaya yang telah ada
sebelumnya. Beliau memanfaatkan kesenian rakyat berupa
permainan gamelan bonang dan juga pertunjukan wayang.
Gamelan bonang adalah salah satu alat kesenian daerah berbentuk
bulat lengkap dengan benjolan di tengah yang terbuat dari
kuningan.
Alat kesenian ini dibunyikan dengan menggunakan kayu
kecil yang kemudian akan menghasilkan suara merdu. Bila Sunan
Bonang memainkan gamelan bonang ini, akan menghasilkan
suara merdu yang enak untuk didengarkan. Sehingga masyarakat
akan sangat senang jika beliau memainkan gamelan tersebut.
Sunan Bonang memiliki bakat dalam bidang seni yang
tergolong tinggi. Beliau menciptakan berbagai lagu sebagai
pengiring dalam pertunjukan wayang.Dalam lagu tersebut selalu
di selipkan ajaran Agama Islam dan juga “Dua Kalimat
Syahadat”. Dengan cara ini akan memudahkan masyarakat sekitar

95
dalam menerima ajaran Agama Islam dengan mudah dan tidak
adanya paksaan sedikitpun.
Setelah itu, beliau akan mengajarkan Islam lebih mendalam
lagi. Pada pertunjukan wayang yang beliau mainkan, selalu
disematkan ajaran Islam dan juga kalimat dzikir untuk membuat
masyarakat sekitar selalu ingat dengan dunia akhirat. Beliau
sangat mahir dalam memainkan wayang hingga membuat
masyarakat terbius dengan pertunjukannya. Saat itu, beliau
memainkan wayang dengan kisah Pandawa dan Kurawa yang
terkenal dengan ajaran Hindu.

96
‫دعاء السفر‬
‫َّحي ِْم‬
‫من الر ِ‬ ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ ِ‬
‫‪qqq‬و َل َوالَ قُ‪َّ qqq‬وةَ ِإالَّ باهللِ × ‪٣‬‬ ‫ت َعلَى هللاِ الَ َح ْ‬ ‫‪qqq‬و َّك ْل ُ‬‫بِ ْس‪ِ qqq‬م هللاِ تَ َ‬
‫ان الَّ ِذي َس َّخ َرلَنا َ هَ َذا َو َما ُكنا َّ لَهُ ُم ْقِ‪qq‬رنِي َْن َوِإن‪qq‬ا َّ ِإلَى َربِّن ‪q‬ا َ‬ ‫سُـب َْح َ‬
‫‪q‬وى َو ِم َن‬ ‫فى َسفَ ِرنا َ هَ ‪َ q‬ذا ْالبِ‪َ q‬‬
‫‪q‬ر َوالتَّ ْق‪َ q‬‬ ‫ك ِ‬ ‫لَ ُم ْنقَلِب ُْو َن‪َ .‬أللَّهُ َّم ِإنا َّ نَ ْسَألُ َ‬
‫ط ِو َعنا َّ بُ ْع َدهُ‪.‬‬ ‫ضى‪ .‬أللَّهُ َّم هَ ِّو ْن َعلَيْنا َ َسفَ َرنا َ هَذاَ َوَأ ْ‬ ‫ْال َع َم ِل َما تَرْ َ‬
‫‪q‬ل َو ْال َم‪ِ q‬‬
‫‪q‬ال‪q.‬‬ ‫فى اَْأل ْه‪ِ q‬‬ ‫الس‪q‬فَ ِر َو ْال َخلِ ْيفَ‪q‬ةُ ِ‬
‫فى َّ‬ ‫احبُ ِ‬ ‫الص‪ِ q‬‬ ‫ت َّ‬ ‫َأللَّهُ َّم َأ ْن َ‬
‫‪q‬ر َو ُس‪q‬و ِء‬ ‫الس‪q‬فَ ِر و َكآبَّ ِة ْال ُم ْنظَ‪ِ q‬‬ ‫‪q‬ك ِم ْن َو ْعثَ‪qq‬ا ِء َّ‬ ‫نى َأ ُع ْو ُ‪q‬ذ بِ‪َ q‬‬ ‫َأللَّهُ َّم ِإ ِّ‬
‫ال َواَْأل ْه ِل‪.‬‬ ‫ب فى ْال َم ِ‬ ‫ْال ُم ْنقَلِ ِ‬
‫وإذا رجع قالهن وزاد فيهن " آيِبُون‪ ,‬تَاِئبُون‪ ,‬لِ َربِّنا َ َحا ِم ُد َ‬
‫ون‬
‫"‪ .‬رواه مسلم‬
‫دعاء عند دخول المقبرة‬
‫ت‬‫ُ‪qq‬ور ِم َن ْال ُم ْس‪qq‬لِ ِمي َْن َو ْال ُم ْس‪qq‬لِ َما ِ‬ ‫‪qq‬ل ْالقُب ِ‬ ‫لس‪qq‬الَ ُم َعلَ ْي ُك ْم يَ‪qq‬ا َأ ْه َ‬ ‫اَ َّ‬
‫ف َونَحْ ُن لَ ُك ْم تَبَ‪ٌ q‬ع َوِإنَّا ِإ ْن‬ ‫ت َأ ْنتُ ْم لَنَ‪qq‬ا َس‪q‬لَ ٌ‬ ‫َو ْال ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَ‪qq‬ا ِ‬
‫‪qq‬و َن‪ .‬الَّلهُ َّم َربَّ اَألجْ َس‪qq‬ا ِد ْالبَالِيَ‪ِ qq‬ة َو ْال ِعظَ ِ‬
‫‪qq‬ام‬ ‫َش‪qq‬ا َء هللاٌ بِ ُك ْم الَ ِحقُ ْ‬
‫ك ُمْؤ ِمنَ‪q‬ةٌ َأ ْد ِخ‪ q‬لْ َعلَ ْيهَ‪qq‬ا‬ ‫ت ِم َن ال ُّد ْنيَا َو ِه َي بِ َ‬ ‫النَّ ِخ َر ِة الَّتِى َخ َر َج ْ‬
‫ك يَآَأرْ َح َم الر ِ‬
‫َّاح ِمي َْن‪.‬‬ ‫ك َو َسالَ ًما ِمنِّى بِ َرحْ َمتِ َ‬ ‫ر ُْوحًا ِم ْن ِع ْن ِد َ‬
‫ب‬ ‫َّ‬ ‫َ‬ ‫ف باهّٰلل‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫اَل َّساَل م َعلَ ْي ُكم يا ولي هّٰللا‬
‫اح ِ‬ ‫ص‪ِ q‬‬ ‫ْخ‪َ ........‬‬ ‫ِ‬ ‫ي‬ ‫لش‪q‬‬ ‫ا‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫‪q‬ار‬
‫ِ‬ ‫ع‬‫َ‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ِ‬ ‫ْ َ َ ِ َّ‬ ‫ُ‬
‫‪q‬را َمتِ ُك ْم‬ ‫ٰه ِذ ِه ْال َم ْقبَ َر ِة ِجْئنَا ُك ْم َزاِئ ِري َْن َو َعلَى َمقَا ِم ُك ْم َواقِفِي َْن َوبِ َك‪َ q‬‬
‫ُمتَ َو ِّسلِي َْن‪،‬الَ تُ َر َّد َعلَ ْينَا َخاِئبِي َْن اِ ْستَ ْو َد ْعنَا ِع ْن ‪َ q‬د ُك ْم َش ‪q‬هَا َدةَ اَ ْن الَ‬
‫اِ ٰلهَ اِالَّ هّٰللا ُ َو اَ َّن ُم َح َّم ًدا َّرس ُْو ُل هّٰللا ُ‬
‫‪97‬‬
‫ِم َن الرَّحْ مٰ ِن يَ ْغ َشا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫َسالَ ُم هّٰللا ِ يَا َسا َد ْة‬
‫ص ْدنَا ُك ْم طَلَ ْبنَا ُكم‬ ‫قَ َ‬ ‫۝‬ ‫ِعبَا َد هّٰللا ِ ِجْئنَا ُك ْم‬
‫بِ ِه َّمتِ ُك ْم َو َج ْد َوا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫تُ ِع ْينُ ْونَا تُ ِغ ْيثُ ْونَا‬
‫َعطَايَا ُك ْم هَ َدايَا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫فَاحْ ب ُْونَا َوا ْعطَ ْونَا‬
‫فَ َحا َشا ُك ْم َو َحا َشا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫فَالَ َخيَّ ْبتُ ُم ْوا َنِّ ْي‬
‫َو فُ ْزنَا ِحي َْن ُزرْ نَا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫َس ِع ْدنَا اِ ْذ َأتَ ْينَا ُك ْم‬
‫اِلَى الرَّحْ مٰ ِن َم ْوالَ ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫فَقُ ْو ُم ْوا َوا ْشفَع ُْوا فِ ْينَا‬
‫َم َزايَا ِم ْن َم َزايَا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫َع َسى نُ ْعطَى َع َسى‬
‫نَحْ ظَى‬
‫تَ ْغ َشانَا َو تَ ْغ َشا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫ظ َر ْة َع َسى َرحْ َم ْة‬ ‫َع َسى نَ ْ‬
‫َو َعي ُْن هّٰللا ِ تَرْ َعا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫َسالَ ُم هّٰللا ِ َحيَّا ُك ْم‬
‫َو َسلِّ ْم َما َأتَ ْينَا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫َسالَ ُم هّٰللا ِ َم ْوالَ ُك ْم‬
‫َو ُم ْنقِ ُذنَا َو اِيَّا ُك ْم‬ ‫۝‬ ‫ار َشافِ ُعنَا‬ ‫َعلَى ْال ُم ْختَ ِ‬
‫ق‬‫‪qqq‬و ِ‬‫ب ْال ُحقُ ْ‬ ‫ص‪َ qqq‬حا ِ‬ ‫ي َوَأِل ْ‬ ‫اَ ْس‪qqq‬تَ ْغفِ ُر هّٰللا َ ْال َع ِظ ْي َم لِ ْي َولِ َوالِ‪َ qqq‬د َّ‬ ‫‪‬‬
‫ْ‪qq‬ع ْال ُم ْس‪qq‬لِ ِمي َْن‬
‫ي َولِ َم َش‪qq‬ايِ ِخنَا َوِأِل ْخ َوانِنَ‪qq‬ا َولِ َج ِمي ِ‬ ‫اجبَ‪ِ qq‬ة َعلَ َّ‬ ‫ْال َو ِ‬
‫ت اََأْلحْ يَ‪qqqq‬ا ِء ِم ْنهُ ْم‬
‫ت َو ْال ُم‪ْ qqqq‬ؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَ‪qqqq‬ا ِ‬ ‫َو ْال ُم ْس‪qqqq‬لِ َما ِ‬
‫ت ﴿‪﴾3x‬‬ ‫َواَأْل ْم َوا ِ‬
‫َّحي ِْم۞اَ ْل ٰه ُك ُم التَّ َك‪qq‬اثُرُ۞‪َ ١‬ح ٰتّى ُزرْ تُ ُم‬ ‫هّٰللا‬
‫بِس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن ال ‪q‬ر ِ‬ ‫‪‬‬
‫ف‬ ‫‪qqqqq‬و َن۞ثُ َّم َكاَّل َس‪ْ qqqqq‬و َ‬ ‫ف تَ ْعلَ ُم ْ‬ ‫ْال َمقَ‪qqqqq‬ابِ َر۞ َكاَّل َس‪ْ qqqqq‬و َ‬
‫‪qqqqq‬و َن ِع ْل َم ْاليَقِي ِْن۞لَتَ َ‬
‫‪qqqqq‬ر ُو َّن‬ ‫‪qqqqq‬و َن۞ َكاَّل لَ ْ‬
‫‪qqqqq‬و تَ ْعلَ ُم ْ‬ ‫تَ ْعلَ ُم ْ‬
‫ْال َج ِح ْي َم۞ثُ َّم لَتَ َر ُونَّهَ‪qq‬ا َعي َْن ْاليَقِي ِْن۞ثُ َّم لَتُسَْٔـلُ َّن يَ ْو َمِئ ٍذ َع ِن‬
‫النَّ ِعي ِْم ۞﴿‪﴾3x‬‬
‫‪98‬‬
‫صالِ َح ٍة ألفاتحة‬ ‫َعلَى هَ ِذ ِه النِّيَّ ِة َو َعلَى ُكلِّ نِيَّ ٍة َ‬ ‫‪‬‬
‫ص‪qq‬لَّى هللاُ َعلَيْ‪ِ qq‬ه‬ ‫ص‪qq‬طَفَى‪ُ  ‬م َح َّم ٍد َ‬ ‫ض‪َ qq‬ر ِة النَّبِ ِّي ْال ُم ْ‬ ‫إلَى َح ْ‬ ‫‪‬‬
‫‪qq‬را ْم‬ ‫اج ِه َو ُذ ِريَّتِ ِه َواَ ْه ِ‪q‬ل بَ ْيتِ ِه ْال ِك َ‬ ‫۞و َعلَى َءالِ ِه َوَأ ْز َو ِ‬ ‫َو َسلَّ ْم َ‬
‫أجْ َم ِعيْن َشيٌْئ ِهللِ لَهُ ْم ألفاتحة‪....‬‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ ‫ب َرس ُْو ِل هللاِ َ‬ ‫ثُ َّم إلَى َحضْ َر ِة َج ِمي ِْع أصْ َحا ِ‬ ‫‪‬‬
‫‪qq‬راب ِْن‬ ‫ص‪ِ qq‬د ْي ْق َو ُع َم َ‬ ‫‪qq‬ر ِ‬ ‫ُ‪qq‬و بَ ْك ٍ‬ ‫ص‪qq‬ا َس‪qq‬يِّ ِدنَا أب ْ‬ ‫َو َس‪qq‬لَّ ْم ُخص ُْو ً‬
‫ان َو َعلِ ِّي اب ِْن أبِي طَالِبْ َو َعلَى‬ ‫ان اِب ِْن َعفَ ْ‬ ‫ْال َخطَابْ َو ُع ْث َم ْ‬
‫ْ‪qqq‬ع ْاأل ْنبِي‪qqq‬آ ِء‬‫ص‪َ qqq‬حا بَتِ‪ِ qqq‬ه اَجْ َم ِعيْن َوإلَى َج ِمي ِ‬ ‫بَاقِيَ‪ٍ qqq‬ة ِم ْن َ‬
‫ين َوال ُّشهَ َدآ ِء َوالصَّالِ ِحيْن‪َ  ‬و ْال ُعلَم‪qq‬آ ِء ْال َعا ِملِـيْن‬ ‫َو ْال ُمـرْ َسلِـْ َ‪q‬‬
‫‪q‬ر َم‬ ‫ِّين َو ْال َك‪َ q‬‬
‫َو ْال َماَل ِئ َك ِة ْال ُمقَ ‪َّ q‬ربِيْن َو ْال َك‪ q‬ر ُْوبِيِّيْن َوالرُّ ْوح ‪q‬اَنِي ْ‬
‫ْال َك‪qqq‬اتِبِيْن َولِ َس‪qqq‬يِّ ِدنَا َمالَِئ َك‪ِ qqq‬ة ِجب ِْريْ‪qqq‬ل ِم ْي َكاِئلْ اِ ْس‪َ qqq‬رافِيْلْ‬
‫الس‪qqqqq‬الَ ُم َأجْ َم ِعي َْن‬ ‫ش َعلَ ْي ِه ُم َّ‬ ‫ِع ْز َراِئلْ َو َح َملَ‪ِ qqqqq‬ة ْال َع‪qqqqq‬رْ ِ‬
‫الفاتحة‪....‬‬
‫هّٰللا‬
‫أولِيَ‪qq‬آ ِء ِ ِم ْن ُك‪qq‬لِّ َولِ ٍّي َو َولِيَّ ٍة ِم ْن‬ ‫‪q‬ع ْ‬ ‫ثُ َّم إلَى َحضْ َر ِة َج ِم ْي‪ِ q‬‬ ‫‪‬‬

‫اربِهَا فِ ْي بَرِّ هَا َوبَحْ ِرهَا َو َج ِمي ِ‬


‫ْ‪qq‬ع‬ ‫ض إلَىهّٰللا َم َغ ِ‬ ‫ق ْاألرْ ِ‬ ‫َم َش ِ‬
‫ار ِ‬
‫ض ‪َ q‬ر ِة‬ ‫ص ‪q‬ا اِلَى َح ْ‬ ‫س ُ ِس ‪َّ q‬رهُ ْم َو ُخص ُْو ً‬ ‫أولِيَآ ِء تِ ْس ‪َ q‬ع ِة قَ ‪َّ q‬د َ‬‫ْ‬
‫ْخ َعبْ‪ُ qqq‬د ْالقَا ِدرْ ْال َج ْيالَنِ ْي‬ ‫هّٰللا‬
‫ان َأ ْولِيَ‪qqq‬آ ِء ِ َس‪qqq‬يِّ ِدنَا َش‪qqq‬يهّٰللا ِ‬ ‫ُس‪ْ qqq‬لطَ ِ‬
‫ض ‪َ q‬ر ِة‬ ‫س ُ ِس َّرهُ‪َ  ‬وإلَى َح ْ‬ ‫از ِة قَ َّد َ‬ ‫ب ْال َكـَر َم ِة َو ْا َ‬
‫إلج َ‬ ‫اح ِ‬‫ص ِ‬ ‫َ‬
‫ْخ بَهَ‪qq‬ا ُء ال ‪ِّ q‬دي ْ‪ْq‬ن اَلنَّ ْق َش ‪q‬بَ ْن ِديِّ َو‬ ‫ْخ ُجنَ ْي ِديْ ْالبَ ْغ‪َ q‬دا ِديِّ َو َش ‪q‬ي ِ‬ ‫َشي ِ‬
‫ضـرْ َونَبِ ْي ِإ ْليَ‪qqqq‬اسْ َونَبِ ْي إ ْد ِرسْ‬ ‫ض‪َ qqqq‬ر ِة نَبِى ِخ ِ‬ ‫ِإلَى َح ْ‬
‫‪99‬‬
‫ض‪َ q‬ر ِة َس‪q‬يِّ ْد َش‪ْ q‬مسُ ال‪ِّ q‬دي ِ‪ْq‬ن البَ‪qq‬اقِرْ‬ ‫الس‪q‬ال ُم َوِإلَى َح ْ‬ ‫َعلَ ْي ِهـ ُم َّ‬
‫ْخ س ُْوبَاقِرْ َأجْ َم ِعي َْن‪ .‬الفاتحة ‪....‬‬ ‫الفَارْ ِسى َشي ِ‬
‫ْ‪qq‬ع أبَآ ِءنَ‪qq‬ا َوُأ َّمهَاتِنَ‪qq‬ا َو َج‪ِّ qq‬دنَا َوج‪َّ qq‬دتِنَا‪ ‬‬ ‫اح َج ِمي ِ‬ ‫‪ ‬ثُ َّم إلَى أرْ َو ِ‬
‫َو َخالِنَا َو َخالَتِنَا َو َع ِّمنَا َو َع َّمتِنَا َو َج ِمي ِْع ُأ ْستَ ِذنَا َو ُأ ْس‪qq‬تَا َذاتِنَا‬
‫‪q‬ع َج َما َعتِنَ‪qq‬ا َولِ َج ِم ْي‪ِ q‬‬
‫‪q‬ع‬ ‫خ َم َش ‪q‬ايِ ِخنَا َولِ َج ِم ْي‪ِ q‬‬ ‫َو َم َشايِ ِخنَا َو َم َشايِ ِ‬
‫إخ َوانِنَـا‪ِ q‬م َن‬ ‫َز ْو ِجنَا َو َز ْو َجتِنَا َواَ ْوالَ ِدنَا َوبَنَاتِنَا َو ُذ ِريَّتِنَ‪qq‬ا َو ْ‬
‫ت َولِ َم ْن‬ ‫ت َو ْال ُم‪ْ qq‬ؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَ‪qq‬ا ِ‬ ‫مـا ِ‬ ‫سـلِ ِمي َْن َو ْال ُم ْسلِ َ‬ ‫ْال ُم ْ‬
‫س َرحْ َم‪ q‬ةُ هللا تَ َع‪qq‬الَى َعلَ ْينَ‪qq‬ا َو َعلَ ْي ِه ْم‬ ‫ض َر فِ ْي هَ َذا ْال َمجْ لِ ِ‪q‬‬ ‫َح َ‬
‫أجْ َم ِعي َْن َشيْئ هَّلِل ِ لَنَا َولَهُ ْم‪.‬الفاتحة ‪....‬‬
‫ُ‪qqqq‬و ِر ِم َن ْال ُم ْس‪qqqq‬لِ ِمي َْن‬ ‫‪qqqq‬ل ْالقُب ْ‬ ‫ْ‪qqqq‬ع أ ْه ِ‬ ‫اح َج ِمي ِ‬ ‫‪ ‬ثُ َّم إلَى أرْ َو ِ‬
‫ب‬ ‫اح َ‬ ‫ًاص‪ِ qq‬‬ ‫ت َو ُخص ُْوص َ‬ ‫ت َو ْال ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬ ‫َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫ٰه ِذ ِه ْال َم ْقبَ َر ِة‪ ,‬الفاتحـة‪....  ‬‬
‫‪qq‬ف‬ ‫اح‪......‬اللَّهُ َّم ا ْغفِ‪qq‬رْ لَهُ ْم َوارْ َح ْمهُ ْم َو َع‪qq‬افِ ِه ْم َوا ْع ُ‬ ‫ثُ َّم إلَى َأرْ َو ِ‬ ‫‪‬‬
‫َع ْنهُ ْم َوا ْك ِر ْم نُ‪ُ q‬ز ْولَهُ ْم َو َو ِس‪ْ q‬ع َم‪ْ q‬د َخلَهُ ْم َوتَقَبَّلْ َح َس‪q‬نَاتِ ِه ْم‪َ  ‬و َكفِّرْ‬
‫َسيَِّئاتِ ِه ْم‪َ   ‬واجْ َع ِل ْال َجنَّةَ َمْأ َواهُم‪  ‬الفاتحـة‪.... ‬‬
‫مـن‬
‫ِ‬ ‫ْــم هللاِ الرَّحْ‬ ‫ْـم‪,‬بِس ِ‬ ‫َّجي ِ‬ ‫ان الر ِ‬ ‫ـن َّ‬
‫الش‪ْ qqq‬يطَ ِ‬ ‫ـو ُذبِاهللِ‪ِ q‬م َ‬ ‫َأ ُع ْ‬
‫َّح ِيم۞‬ ‫ين۞ ‪٢‬الرَّحْ ٰ َم ِن الر ِ‬ ‫َّحي ِْـم۞‪ْ ١‬ال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِم َ‬ ‫الر ِ‬
‫ين۞‪٥‬ا ْه‪ِ q‬دنَا‬ ‫َّاك نَ ْستَ ِع ُ‬‫َّــاك نَ ْعبُــ ُد َوِإي َ‬
‫ين۞ ‪ِ٤‬إي َ‪q‬‬ ‫‪َ ٣‬مالِ ِك يَ ْو ِم ال ِّد ِ‬
‫ت َعلَ ْي ِهـــ ْم‬ ‫ين َأ ْن َع ْم َ‬
‫ـراطَ الَّ ِذ َ‪q‬‬ ‫ص َ‬ ‫الص‪َ qq‬راطَ‪ْ q‬ال ُم ْستَقِيــ َم ۞ ‪ِ ٦‬‬ ‫ِّ‬
‫ين‪, ٣‬‬ ‫ب َعلَ ْي ِهــ ْم َواَل الضَّالِّين ‪٧‬أ ِم ْ‬ ‫َغي ِْر ْال َم ْغضُـو ِ‬

‫‪100‬‬
‫‪q‬و هَّللا ُ‬ ‫َّحي ِْم ‪,‬قُ‪qq‬لْ هُ‪َ q‬‬ ‫من ال‪q‬ر ِ‬ ‫هللا ال‪q‬رَّحْ ِ‬ ‫الَ ِإلهَ ِإاَّل هللاُ هللَا ُ َأ ْكبَرْ ‪,‬بِ ْس‪ِ q‬م ِ‬
‫ص َم ُد۞‪٢q‬لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُولَ ْد۞‪َ ٣‬ولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا‬ ‫َأ َح ٌد۞‪١‬هَّللا ُ ال َّ‬
‫َأ َحد۞ ‪﴾3x﴿٤‬‬
‫الَ ِإلهَ ِإاَّل هّٰللا ُ هّٰللا ُ َأ ْكبَرْ‬
‫ق‪ِ ۞١‬من َشرِّ َما‬ ‫َّحي ِْم‪ ,‬قُلْ َأ ُعو ُ‪q‬ذ ِب َربِّ ْالفَلَ ِ‬ ‫من الر ِ‬ ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ ِ‬
‫ت‬‫ـث ِ‬ ‫ب ۞‪َ ٣‬و ِمن َش ‪q‬رِّ النَّ ٰفّ ٰ‬ ‫ق۞ ِإ َذا َوقَ َ‬ ‫اس ٍ‬ ‫ق ‪َ ٢‬و ِمن َشرِّ َغ ِ‬ ‫َخلَ َ‬
‫اح َس ‪ٍ q‬د۞‪ ٥‬الَ ِإل ‪q‬هَ ِإاَّل هّٰللا ُ هّٰللا ُ‬ ‫اس ٍد ِإ َذ َ‬‫فِى ْال ُعقَ ِد۞‪َ ٤‬و ِمن َشرِّ َح ِ‬
‫َأ ْكبَرْ‬
‫‪q‬ك‬‫اس۞ ‪َ ١‬ملِ‪ِ q‬‬ ‫‪q‬ربِّ النَّ ِ‬ ‫َّحي ِْم‪ ,‬قُ‪qq‬لْ َأ ُع‪qq‬و ُ‪q‬ذ ِب‪َ q‬‬ ‫من ال‪q‬ر ِ‬ ‫بِس ِْم هللاِ ال‪q‬رَّحْ ِ‬
‫اس‪۞٤‬الَّ ِذي‬ ‫اس ْال َخنَّ ِ‬ ‫اس۞‪ِ ٣‬م ْن َش ‪q‬رِّ ْال َو ْس ‪َ q‬و ِ‪q‬‬ ‫اس ‪ِ٢‬إلَ ِه النَّ ِ‬ ‫النَّ ِ‬
‫اس‪۞٦‬‬ ‫اس۞ ‪ِ ٥‬م َن ْال ِجنَّ ِة َوالنَّ ِ‪q‬‬ ‫ور النَّ ِ‬ ‫ص ُد ِ‬ ‫ي َُوس ِْوسُ فِي ُ‬
‫الَ ِإلهَ ِإاَّل هللاُ هللَا ُ َأ ْكبَرْ‬
‫ْـم‬ ‫َّحي ِ‬ ‫مـن الر ِ‬ ‫ْــم هللاِ الرَّحْ ِ‬ ‫َّجي ِْـم‪,‬بِس ِ‬ ‫ان الر ِ‬ ‫ـن ال َّش ْيطَ ِ‬ ‫ـو ُذبِاهللِ‪ِ q‬م َ‬ ‫َأ ُع ْ‬
‫‪q‬ك‬ ‫َّح ِيم‪َ ٣‬مالِ‪ِ q‬‬ ‫ين‪ ۞٢‬ال ‪q‬رَّحْ ٰ َم ِن الر ِ‬ ‫۞‪ْ ١‬ال َح ْم‪ُ q‬د هَّلِل ِ َربِّ ْال َع‪qq‬الَ ِم َ‬
‫ين‪۞٥‬ا ْه‪ِ qqq‬دنَا‬ ‫َّاك نَ ْس‪qqq‬تَ ِع ُ‬‫َّــاك نَ ْعبُــ ُد َوِإي َ‬ ‫َ‬ ‫ين۞‪ِ٤‬إي‬ ‫‪qqq‬و ِم ال‪ِّ qqq‬د ِ‬ ‫يَ ْ‬
‫ت َعلَ ْي ِهـــ ْم َغي ِْر‬ ‫ين َأ ْن َع ْم َ‬ ‫ـراطَ الَّ ِذ َ‬ ‫ص َ‬ ‫الصِّ َراطَ ْال ُم ْستَقِيــ َم۞ ‪ِ ٦‬‬
‫ين‬ ‫ب َعلَ ْي ِهــ ْم َواَل الضَّالِّين۞‪٧‬أ ِم ْ‬ ‫ْال َم ْغضُـو ِ‬
‫ْب فِ ْي ‪ِ q‬ه هُ ‪ً q‬دى‬ ‫ك ْال ِكتَابُ الَ َري َ‬ ‫َّحي ِْم۞الم َذلِ َ‬ ‫من الر ِ‬ ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ ِ‬
‫الص‪qqq‬الَةَ‪َ q‬و ِم َّما‬ ‫‪qqq‬و َن َّ‬ ‫ب َويُقِ ْي ُم ْ‬ ‫‪qqq‬و َن بِ ْ‬
‫‪qqq‬ال َغ ْي ِ‬ ‫لِ ْل ُمتَّقِي َْن۞اَلَّ ِذي َْن يُْؤ ِمنُ ْ‬
‫ُأ‬ ‫۞والَّ ِذي َ‪ْq‬ن يُْؤ ِمنُ ْو َن بِ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَي َ‬ ‫َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُ ْو َن‬
‫‪q‬ز َل‬ ‫ْك َو َما ْن‪ِ q‬‬ ‫َ‬
‫ك َعلَى هُ ًدى ِم ْن َربِّ ِه ْم‬ ‫ك َوبِااْل ِخ َر ِة هُ ْم ي ُْوقِنُ ْو َن۞ اُولِئ َ‪q‬‬ ‫ِم ْن قَ ْبلِ َ‬
‫اح‪qٌ qqq‬د الَِإل‪qqq‬هَ ِإالَّ هُ َ‬
‫‪qqq‬و‬ ‫ُ‪qqq‬و َن۞ َوِإلهُ ُك ْم ِإل‪qqq‬هُ َو ِ‬ ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِح ْ‬ ‫َواُولِئ َ‪q‬‬
‫‪101‬‬
‫لح ُّي ْالقَي ُّْو ُم الَتَْأ ُخ‪ُ q‬ذه ِس ‪q‬نَةٌ‬ ‫‪q‬و ْا َ‬ ‫َّح ْي ُم هللاُ الَ ِإلَ ‪q‬هَ اِالَّ هُ‪َ q‬‬‫الرَّحْ مٰ ُن الر ِ‬
‫ض َم ْن َذالَّ ِذى يَ ْش ‪q‬فَ ُع‬ ‫ت َو َم‪qq‬افِى اَْألرْ ِ‬ ‫اوا ِ‬ ‫َوالَنَ ْو ٌم‪ .‬لَهُ َمافِى ال َّس َم َ‬
‫‪q‬و َن‬ ‫ِع ْن ‪َ q‬دهُ ِإالَّ بِِإ ْذنِ ‪ِ q‬ه يَ ْعلَ ُم َم‪qq‬ابَي َْن َأ ْي ‪ِ q‬د ْي ِه ْم َو َم‪qq‬ا َخ ْلفَهُ ْم َوالَي ُِح ْيطُ‪ْ q‬‬
‫ت‬‫اوا ِ‪q‬‬ ‫الس‪َ qq‬م َ‬‫بِ َش‪ْ qq‬ي ٍء ِم ْن ِع ْل ِم‪ِ qq‬ه ِإالَّ ِب َم‪qq‬ا َش‪qq‬ا َء َو ِس‪َ qq‬ع ُكرْ ِس‪qq‬يُّهُ َّ‬
‫‪q‬و ْال َعلِ ُّي ْال َع ِظ ْي ُم۞ هّلِل ِ َم‪qq‬افِى‬ ‫ض َوالَ يَؤ ُدهُ ِح ْفظُهُ َم‪qq‬ا َوهُ‪َ q‬‬ ‫َواَْألرْ ِ‬
‫ض َوِإ ْن تُ ْب ُد ْوا َمافِى َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْو تُ ْخفُ‪qْ q‬وهُ‬ ‫ت َو َما في اَْألرْ ِ‬ ‫اوا ِ‬ ‫ال َّس َم َ‬
‫اس ْب ُك ْم بِ ِه هللاِ فَيُ ْغفِ ُر لِ َم ْن يَ َشا ُء َويُ َع ِّذبُ َم ْن يَ َش ‪q‬ا ُء‪َ ,‬وهللاُ َعلَى‬ ‫ي َُح ِ‬
‫ُأ‬
‫‪qq‬ز َل اِلَيْ‪ِ qq‬ه ِم ْن َربَّ ِه‬ ‫َّس‪ْ qq‬و ُ‪q‬ل ِب َم‪qq‬ا ْن ِ‬ ‫ُك‪qq‬لِّ َش‪ْ qq‬ي ٍء قَ‪ِ qq‬د ْيرٌ۞آ َم َن الر ُ‬
‫ق‬ ‫َو ْال ُمْؤ ِمنُ ْو َن۞ ُكلٌّ آ َم َن بِاهللِ َو َمالَ ِئ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُسلِ ِه الَنُفَرِّ ُ‬
‫ْ‪qq‬ك‬‫ك َربَّنَا َوِإلَي َ‪q‬‬ ‫بَي َْن َأ َح ٍد ِم ْن ُر ُسلِ ِه َوقَالُ ْوا َس ِم ْعنَا َوَأطَ ْعنَا ُغ ْف َرانَ َ‬
‫ت َو َعلَ ْيهَ‪qq‬ا‬ ‫ف نَ ْف ًس‪q‬ا ِإالَّ ُو ْس‪َ q‬عهَا لَهَ‪qq‬ا َما َك َس‪q‬بَ ْ‬ ‫ص‪ْ q‬يرُ۞ الَيُ َكلِّ ُ‬ ‫ْال َم ِ‬
‫اخ ْذنَا ِإ ْن نَ ِسي َْن َأ ْو َأ ْخطَ ْعنَا َربَّنَا َوالَ تَحْ ِملْ‬ ‫ت َربَّنَا الَتَُؤ ِ‬ ‫َماا ْكتَ َسبَ ْ‬
‫َعلَ ْينَا ِإصْ رًا َك َما َح َم ْلتَهُ َعلَى الَّ ِذي َْن ِم ْن قَ ْبلِنَ‪qq‬ا َربَّنَ‪qq‬ا َوالَ تُ َح ِّم ْلنَ‪qq‬ا‬
‫َماالَطَاقَةَ لَنَا بِه‬
‫ف َعنَّا َوا ْغفِرْ لَنَا َوارْ َح ْمنَا ﴿‪﴾7x‬‬ ‫‪ ‬مأموم ‪َ :‬وا ْع ُ‬
‫ت َم ْوالَنَا‬ ‫ف َعنَّا َوا ْغفِرْ لَنَا َوارْ َح ْمنَا َأ ْن َ‬ ‫‪ ‬إمام ‪َ :‬وا ْع ُ‬
‫فَا ْنصُرْ نَا َعلَى ْالقَ ْو ِم ْال َكافِ ِري َْن‪.‬‬
‫َّاح ِمي َْن ﴿‪﴾7x‬‬ ‫‪ ‬مأموم ‪ِ :‬إرْ َح ْمنَا يَاَأرْ َح َم الر ِ‬
‫ت ِإنَّهُ َح ِم ْي ٌد‬ ‫‪ ‬إمام ‪َ :‬رحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُهُ َعلَ ْي ُك ْم َأ ْه َل ْالبَ ْي ِ‬
‫‪q‬ل‬ ‫س َأ ْه‪َ q‬‬ ‫ب َع ْن ُك ُم ال‪qq‬رِّ جْ َ‬ ‫َم ِج ْي‪ٌ q‬د‪ِ .‬إنَّ َم‪qq‬ا ي ُِر ْي‪ُ q‬د هللاُ لِيُ‪qْ q‬ذ ِه َ‬
‫ُص‪q‬لُّ ْو َ‪q‬ن‬ ‫ط ِه ْيرًا‪ِ .‬إ َّن هللاَ َو َمالَِئ َكتَهُ ي َ‬ ‫ت َويُطَه َِّر ُك ْم تَ ْ‬ ‫ْالبَ ْي ِ‬
‫‪102‬‬
‫صلُّ ْوا َعلَ ْي‪ِ q‬ه َو َس‪q‬لِّ ُم ْوا‬ ‫َعلَى النَّبِي يَا َأيُّهَا الَّ ِذي َ‪ْq‬ن أ َمنُ ْوا َ‬
‫تَ ْسلِ ْي َما‪.‬‬
‫ٰ‬
‫صلِّ َو َسلِّ ْم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ﴿‪﴾7x‬‬ ‫مأموم ‪َ :‬أللّهُ َّم َ‬ ‫‪‬‬

‫ك َوتَ َع‪qq‬الَى َع ْن َس‪qq‬ا َدتِنَا‬ ‫ض‪َ qq‬ي هللاُ تَبَ َ‬


‫‪qq‬ار َ‬ ‫إمام ‪َ :‬و َس‪qq‬لِّ ْم َو َر ِ‬ ‫‪‬‬
‫ب َر ُس‪ْ qqq‬و ِل هللاِ َأجْ َم ِعي َْن‪َ .‬و َح ْس‪qqq‬بُنَا هللا َونِ ْع َم‬ ‫ص‪َ qqq‬حا ِ‬ ‫َأ ْ‬
‫ص ْيرُ‪َ .‬والَ َح ْو َل َوالَقُ َّوةَ‬ ‫ْال َو ِك ْي ُل نِ ْع َم ْال َم ْولَى َو نِ ْع َم النَّ ِ‬
‫ِإالَّ بِاهللِ ْال َعلِ ِّي ْال َع ِظي ِْم‬
‫مأموم ‪َ :‬أ ْستَ ْغفِ ُر هللاَ ْال َع ِظيْم ﴿‪﴾11x‬‬ ‫‪‬‬

‫ب َع ِظي ٍْم َأ ْذنَ ْبتُ‪q‬هُ‬ ‫إمام ‪َ :‬أ ْس‪q‬تَ ْغفِ ُر هللاَ ْال َع ِظيْم ۞ ِم ْن ُك‪qq‬لِّ َذ ْن ٍ‬ ‫‪‬‬
‫ك‬ ‫ص‪ِ q‬غ ْيرًاَأ ْو َكبِ ْيرًاِإنَّ َ‬ ‫َع ْم‪ً q‬دا َأ ْو َخطَ‪ًq‬أ ِس‪ًّ q‬ر َو َعلَى نِ َيـةً َ‬
‫ب‬ ‫ُ‪qqq‬و ِ‬‫ب َس‪qqq‬تَّا ُر ْال ُعي ْ‬ ‫ب فَتَّا ُح ْالقُلُ ْ‬
‫‪qqq‬و ِ‬ ‫ال‪qqq‬ذنُ ْو ِ‬ ‫ت َغفَّا ُر ُّ‬ ‫َأ ْن َ‬
‫ب الَّ ِذى أ ْعلَ ُم‬ ‫‪q‬ذ ْن ِ‬ ‫ب َوَأتُ ْوبُ ِإلَ ْي ‪ِ q‬ه ِم َن ال‪َّ q‬‬ ‫اف ْال ُكر ُْو ِ‬ ‫َك َّش ُ‬
‫ت َعالَّ ُم‬ ‫ك َأ ْن َ‬ ‫ب الَّ ِذى الََأ ْعلَ ُم بِ‪ِ qqqq‬ه ِإنَّ َ‬ ‫َّ‬
‫ال‪qqqq‬ذ ْن ِ‬ ‫بِ‪ِ qqqq‬ه َو ِم َن‬
‫ْال ُغي ُْو ِ‬
‫ب‪.‬‬
‫ض ُل ال ِّذ ْك ِر فَا ْعلَ ْم َأنَّهُ ‪:‬‬ ‫إمام ‪َ :‬أ ْف َ‬ ‫‪‬‬

‫مأموم ‪ :‬الَِإلهَ ِإالَّ هللاُ َسيِّ ُدنَا ُم َح َّم ٌد َرس ُْو ُل هللا ﴿‪﴾3x‬‬ ‫‪‬‬

‫مأموم ‪ :‬الَِإلهَ ِإالَّ هللاُ ﴿‪﴾100x‬‬ ‫‪‬‬

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ ‫إمام ‪ :‬الَِإلهَ ِإالَّ هللاُ َسيِّ ُدنَا ُم َح َّم ٌد َرس ُْو ُل هللاُ َ‬ ‫‪‬‬
‫ث‬ ‫ت َو َعلَ ْيهَ‪qqq‬ا نُ ْب َع ُ‬ ‫َو َس‪qqq‬لَّ َم َعلَ ْيهَانَحْ يَا َو َعلَ ْيهَا نَ ُم ْ‬
‫‪qqq‬و ُ‬
‫ِإ ْن َشا َء هللاُ تَ َع ٰالى بِ َرحْ َم ِة ِ‬
‫هللا َو َك َر ِم ِه‪.‬‬
‫ان هللا َوبِ َح ْم ِد ِه ﴿‪﴾7x‬‬ ‫هللا ْال َع ِظي ِْم َ‬
‫سبح َ‬ ‫ان ِ‬ ‫مأموم ‪ُ :‬سب َْح َ‬ ‫‪‬‬
‫‪103‬‬
‫ٰ‬
‫‪qqq‬ك َس‪qqq‬يِّ ِدنَا ُم َح َّم ْد َو َعلَى الِ‪ِ qqq‬ه‬ ‫ص‪qqq‬لِّ َعلَى َحبِ ْيبِ َ‬ ‫إمام ‪َ :‬أللّهُ َّم َ‬ ‫‪‬‬
‫ار ْك َو َسلِّ ْم َأجْ َم ِعي َْن‬ ‫صحْ بِ ِه َوبَ ِ‬ ‫َو َ‬
‫ٰ‬
‫‪qq‬ك َس‪qq‬يِّ ِدنَا ُم َح َّم ْد َو َعلَى الِ‪ِ qq‬ه‬ ‫ص‪qq‬لِّ َعلَى َحبِ ْيبِ َ‬ ‫مأموم ‪َ :‬أللّهُ َّم َ‬ ‫‪‬‬
‫ار ْك َو َسلِّ ْم َأجْ َم ِعي َْن‬ ‫صحْ بِ ِه َوبَ ِ‬ ‫َو َ‬
‫إمام ‪ :‬الفَاتِحة …‬ ‫‪‬‬
‫دعاء ‪:‬‬ ‫‪‬‬
‫صلِّ َعلى َس ‪q‬يِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ٰا ِل َس ‪q‬يِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َس ‪q‬لِّ ْم‬ ‫ٰ‬
‫َأللّهُ َّم َ‬
‫هّٰلِل‬ ‫‪q‬الى َع ْن َس ‪َ q‬داتِنَا َأ ْ‬ ‫ك تَ َع‪ٰ q‬‬
‫ب َر ُس ‪ْ q‬و ِ‬ ‫ص ‪َ q‬حا ِ‬ ‫‪q‬ار َ‬ ‫ض َي هللاُ تَبَ‪َ q‬‬ ‫َو ِر ِ‬
‫ٰ‬ ‫هّٰلِل‬
‫ص‪qْ qq‬ل‬ ‫اَجْ َم ِعي َْن اَ ْل َح ْم ُد ِ‪َ q‬ربِّ ْال َع‪qq‬الَ ِمي َْن۞َأللّهُ َّم اجْ َع‪qq‬لْ َواَ ْو ِ‬
‫آن ْال َع ِظي ِْم‪َ ,‬و َم‪qq‬ا هَلَّ ْلنَ‪qq‬اهُ ِم ْن‬ ‫ْأ‬
‫اب َما قَ َر نَاهُ ِم َن ْالقُرْ ِ‬ ‫َوتَقَبَّلْ ثَ َو َ‬
‫ان هللا‬ ‫س‪qq‬بح َ‬
‫َ‬ ‫‪qq‬و ِل الَ اِلَ‪qq‬هَ اِالَّ هللاُ َو َم‪qq‬ا َس‪qq‬بَّحْ نَاهُ ِم ْن قَ ْ‬
‫‪qq‬و ِل‬ ‫قَ ْ‬
‫‪qqqqqq‬و ِل َأ ْس‪qqqqqq‬تَ ْغفِ ُر هللاَ‬ ‫ااس‪qqqqqq‬ت ْغفَرْ نَاهُ ِم ْن قَ ْ‬ ‫َوبِ َح ْم‪ِ qqqqqq‬د ِه َو َم ْ‬
‫ص‪q‬لَّى هللاُ‬ ‫اصلَّ ْينَاهُ‪َ q‬و َما َسلَّ ْمنَاهُ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َ‬ ‫ْم‪,‬و َم َ‬ ‫ْال َع ِظي َ‬
‫ازلَ‪q‬ةً‬ ‫اص‪q‬لَةً‪َّ q‬و َرحْ َم‪ q‬ةً نَّ ِ‬‫س هَ ِديَّةً َّو ِ‬ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِى هَ َذا ْال َمجْ لِ ِ‪q‬‬
‫ح َسيِّ ِدنَا َو َش ‪q‬فِي ِْعنَا ُم َح َّم ٍد‬ ‫ِ‬ ‫َّوبَرب َكةً َشا ِملَةً۞اِلَى َحضْ َر ِة ر ُْو‬
‫ص‪َ qqq‬حابِ ِه‬ ‫اح ٰأ لِ‪ِ qqq‬ه َوَأ ْ‬
‫۞وِإلَى‪َ q‬أرْ َو ِ‬ ‫ص‪qqq‬لَّى هللاُ َعلَيْ‪ِ qqq‬ه َو َس‪qqq‬لَّ َم َ‬ ‫َ‬
‫ْ‪qqqq‬ع ْال ُم ْس‪qqqq‬لِ ِمي َْن‬‫اح َج ِمي ِ‬ ‫َو ُذرِّ يَّاتِ‪ِ qqqq‬ه َأجْ َم ِعي َْن۞ َوِإلَى َأرْ َو ِ‬
‫ت ُخص ُْوصًا اِلَى َأرْ َو ِ‬
‫اح‬ ‫ت َو ْال ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬ ‫َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫ت َأ ْس ‪َ q‬مُئهُ ْم۞ َأ ٰللّهُ َّم ا ْغفِ‪qq‬رْ لَهُ ْم َوارْ َح ْمهُ ْم َو َع‪qq‬افِ ِه ْم‬ ‫َم ْن ُذ ِك َر ْ‬
‫‪qq‬ف َع ْنهُم َأ ٰ‬
‫‪qq‬ل‬‫‪qq‬رةَ َعلى اَ ْه ِ‬ ‫‪qq‬ز ِل الرَّحْ َم‪ qq‬ةَ َو ْال َم ْغفِ َ‬ ‫ِ‬ ‫ْ‬
‫ن‬ ‫َ‬ ‫ا‬ ‫م‬‫َّ‬ ‫ُ‬ ‫ه‬ ‫ّ‬ ‫لل‬ ‫َوا ْع ُ‬
‫۞ربَّنَ‪qq‬ا‬ ‫‪qq‬ل آَل اِل‪qq‬هَ اِالَّ هللاُ ُم َح َّم ٌد َر ُس ‪ْ q‬و ُل هللاِ َ‬ ‫ُ‪qq‬و ِر ِم ْن اَ ْه ِ‬ ‫ْالقُب ْ‬
‫‪q‬ان‪َ ,‬والَتَجْ َع‪qq‬ل فِى‬ ‫‪q‬او ِإل ْخ َوانِنَاالَّ ِذي َ‪ْq‬ن َس ‪q‬بَقُ ْو َن بِاِإل ْي َم‪ِ q‬‬ ‫ا ْغفِرلَنَ‪َ q‬‬
‫‪104‬‬
‫َّحي ِْم۞َأ ٰللّهُ َّم‬ ‫ف ال‪qqq‬ر ِ‬ ‫ك َرُؤ ُ‬ ‫قُلُ ْوبِنَ‪qqq‬ا ِغالَّلِلَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْو َ‬
‫اربَّنَ‪qqq‬ا ِإنَّ َ‬
‫‪q‬ر َوالَتَجْ َع ْلنَا‬ ‫‪q‬ل ْال ِع ْل ِٰم َو ْال َخ ْي‪ِ q‬‬ ‫اوَأ ْوالَ ِدنَ‪qq‬ا ِم ْن َأ ْه‪ِ q‬‬
‫اجْ َع ْلنَ‪qq‬ا َو اَ ْهلَنَ َ‬
‫‪q‬ار ْك لَنَ‪qq‬افِى َأ ْو‬ ‫الض ‪q‬يِر ۞َأاللّهُ َم بَ‪ِ q‬‬ ‫َوِإيَّاهُ ْم ِم ْن َأ ْه ِل ال َشرِّ َو َّ‬
‫الَ ِدنَ‪qqqqq‬ا َو احْ فَظَهُ ْم َوالَتَ‪َ qqqqq‬ذرْ هُ ْم۞ َوارْ فَ ْعهُ ْم لِطَا َعتِ َ‬
‫‪qqqqq‬ك‬
‫الس‪q‬الَ َمةَ َو ْال َعافِيَ‪q‬ةَ ِفى‬ ‫ك َّ‬ ‫َوارْ ُز ْقنَا بِ‪َّ q‬ر هُ ْم۞اَ ٰللّهُ َّم ِإنَّا نَ ْس‪َq‬ئلُ َ‬
‫‪q‬ر ِب‪qq‬ا‬ ‫ك طَ ْو َل ْال ُع ْم‪ِ q‬‬ ‫ال ِّدي ِ‪ْq‬ن َوال ُّد ْنيَا َواَأل ِخ َر ِة۞اَ ٰللّهُ َّم ِإنَّا نَسَْئلُ َ‬
‫۞ربَّنَ‪qq‬ا اَتِنَ‪qq‬ا فِى‬ ‫الص‪q‬الِ َح ِة َ‬ ‫‪q‬ل َّ‬ ‫اختِ ْم لَنَا بِ‪qq‬ا َأل ْع َم‪ِ q‬‬ ‫الطَّا َع ِة َو ْ‬
‫ار۞‬ ‫اب النَّ ِ‬ ‫آلخ‪َ q‬ر ِة َح َس ‪q‬نَةً َوقِنَ‪qq‬ا َع‪َ q‬ذ َ‬ ‫ال ‪ُّ q‬د ْنيَا َح َس ‪q‬نَةً َوفِى ْا ِ‬
‫ص‪qqqq‬حْ بِ ِه‬ ‫وص‪qqqq‬لَّى هللاُ َعلَى َس‪qqqq‬يِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ٰأ لِ‪ِ qqqq‬ه َو َ‬ ‫َ‬
‫۞و ْال َح ْم ُ‪q‬د هللِ َربِّ ْال َعالَ ِمي َْن‬ ‫َأجْ َم ِعي َْن َ‬
‫‪q‬ر َو‬ ‫‪q‬ر َّو ُع َم َ‬ ‫يَا َسيِّ ِديْ يَ‪q‬ا َر ُس‪ْ q‬و َل هللاِ ‪َ ،‬و يَ‪q‬ا َس‪q‬يِّ ِديْ اَبَ‪q‬ا بَ ْك ٍ‬ ‫‪‬‬
‫لش‪q‬ي َْخ َعبْ‪َ q‬د ْالقَ‪q‬ا ِد ِر اَ ْل َج ْيالَنِ ْي‪،‬‬ ‫ان َو َعلِيًّ‪qq‬ا َو يَ‪qq‬ا َس‪q‬يِّ ِديْ اَ َّ‬ ‫ُع ْث َم َ‬
‫ي‬ ‫اجتِ ْي َو يَا َولِ َّ‬ ‫ضا ِء َح َ‬ ‫هللا تَ َعالَى ِف ْي قَ َ‬ ‫اِنِّ ْي اَتَ َو َّس ُل بِ ُك ْم اِلَى ِ‬
‫ب ٰه ِذ ِه ْال َم ْقبَ َر ِة اِنِّ ْي‬ ‫اح َ‬ ‫ص ِ‬ ‫ف بِاهللِ اَل َّشي َْخ‪َ ............‬‬ ‫هللا اَ ْل َع ِ‬
‫ار َ‬ ‫ِ‬
‫اجتِ ْي ‪....‬‬ ‫ضا ِء َح َ‬ ‫َأتَ َو َّس ُل بِ ُك ْم اِلَى هللاِ تَ َعالَى فِ ْي قَ َ‬

‫‪105‬‬
‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ مٰ ِن الر ِ‬
‫َّحي ِْم‬
‫ال هللاِ ‪َ -‬أ ِغ ْيثُ ْونَا َأِلجْ ِل هللاِ ۞ َو ُك ْونُ ْوا َع ْونَنَا‬ ‫ِعبَا َد هللاِ ِر َج َ‬
‫هّٰلِل ِ ‪َ -‬ع َسى نَحْ ظَى ِبفَضْ ِل هللاِ۞ َو يَا َأ ْقطَابْ َويَا َأ ْن َجابْ ‪-‬‬
‫ب ‪ -‬تَ َعالَ ْوا‬ ‫ات َو يَا َأحْ بَابْ ۞ َو َأ ْنتُ ْم يَا ُأ ْولِى اَأْل ْلبَا ِ‬ ‫َو يَا َسا َد ْ‬
‫صر ُْوا هّٰلِل ِ ۞ َسَئ ْلنَا ُك ْم َسَئ ْلنَا ُك ْم ‪َ -‬و لِ ُّ‬
‫لز ْلفَى‬ ‫َوا ْن ُ‬
‫هّٰلِل‬
‫ص ْدنَا ُك ْم ‪ -‬فَ ُش ُّد ْوا‪َ q‬ع ْز َم ُك ْم ِ‬ ‫َر َج ْونَا ُك ْم۞ َو فِ ْي َأ ْم ٍر قَ َ‬
‫ارتِ ْي َع َسى تَْأتِ ْي‬ ‫ارب ِّْي بِ َسا َداتِ ْي ‪ -‬تَ َحقَّ ْق لِ ْي اِ َش َ‬‫۞ فَيَ َ‬
‫هّٰلِل‬
‫ب َع ْن‬ ‫ف ْالحُجْ ِ‬ ‫ارتِ ْي ۞ َو يَصْ فُ ْو َو ْقتُنَا ِ ۞ بِ َك ْش ِ‬ ‫بِ َش َ‬
‫ْف َواَأْلي ِْن ‪-‬‬ ‫س ْال َكي ِ‬ ‫َع ْينِ ْي ‪َ -‬و َر ْف ِع ْالبَي ِْن ِم ْن بَ ْينِ ْي۞ َوطَ ْم ِ‬
‫صالَةُ هللاِ َم ْوالَنَا ‪َ -‬علَى َم ْن‬ ‫بِنُ ْو ِر ْال َوجْ ِه يَا هللَا ُ ۞ َ‬
‫ق ِع ْن َد‬ ‫ق اَ ْوالَنَا ‪َ -‬شفِي ِْع ْال َخ ْل ِ‬ ‫بِ ْالهُ َدى َجانَا ۞ َو َم ْن بِ ْال َح ِّ‬
‫هللا۞ الَ اِ ٰلهَ اِالَّ هللاُ الَ اِ ٰلهَ اِالَّ هللاُ ‪ -‬الَ اِ ٰلهَ اِالَّ هللاُ يُحْ ِي‬ ‫ِ‬
‫ب ِذ ْك ًر هللاِ ‪-‬الَ اِ ٰلهَ اِالَّ هللاُ الَ اِ ٰلهَ اِالَّ هللاُ‪ -‬الَ اِ ٰلهَ اِالَّ هللاُ‬ ‫ْالقَ ْل َ‬
‫ُم َح َّم ٌد َّرس ُْو ُل هللاِ‬

‫‪106‬‬
‫‪Niat Jama’ Taqdim‬‬
‫ب َمجْ ُم ْو ًعا اِلَ ْي ِه ْال ِع َشٓا ِء تَ ْق ِد ْي ًما‬ ‫ض ْال َم ْغ ِر ِ‬‫صلِّى فَرْ َ‬‫اُ َ‬
‫هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫ب تَ ْق ِد ْي ًما‬ ‫ض ْال ِع َشٓا ِء َمجْ ُم ْو ًعا َم َع ْال َم ْغ ِر ِ‬ ‫صلِّى فَرْ َ‬‫اُ َ‬
‫هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫‪Niat Jama’ Taqdim Qoshor‬‬
‫الظه ِْر قَصْ رًا َمجْ ُم ْو ًعا اِلَ ْي ِه‬ ‫ض ُّ‬ ‫اُ َ‬
‫صلِّى فَرْ َ‬
‫ْال َعصْ ِرتَ ْق ِد ْي ًما هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫ض ْال َعصْ ِر قَصْ رًا َمجْ ُم ْو ًعا َم َع ُّ‬
‫الظه ِْر‬ ‫اُ َ‬
‫صلِّى فَرْ َ‬
‫تَ ْق ِد ْي ًما هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫‪Niat Jama’ Ta’khir‬‬
‫ب َمجْ ُم ْو ًعا َم َع ْال ِع َشٓا ِء تَْأ ِخ ْيرًا‬ ‫ض ْال َم ْغ ِر ِ‬‫صلِّى فَرْ َ‬‫اُ َ‬
‫هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫ب تَْأ ِخ ْيرًا‬
‫ض ْال ِع َشٓا ِء َمجْ ُم ْو ًعا اِلَ ْي ِه ْال َم ْغ ِر ِ‬‫صلِّى فَرْ َ‬‫اُ َ‬
‫هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫‪Niat Jama’ Ta’khir Qoshor‬‬
‫الظه ِْر قَصْ رًا َمجْ ُم ْو ًعا َم َع‬ ‫ض ُّ‬ ‫اُ َ‬
‫صلِّى فَرْ َ‬
‫ْال َعصْ ِر تَْأ ِخ ْيرًا هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫‪107‬‬
‫ض ْال َعصْ ِر قَصْ رًا َمجْ ُم ْو ًعا اِلَ ْي ِه‬ ‫اُ َ‬
‫صلِّى فَرْ َ‬
‫الظه ِْر تَْأ ِخ ْيرًا هّٰلِل ِ تَ َع ٰالى‬
‫ُّ‬

‫‪108‬‬

Anda mungkin juga menyukai