Perasaan yang diutarakan dan yang disampaikan oleh para penyair dan pembuat puisi dinamakan
sebagai unsur puisi (Waluyo, 1991). Unsur batin puisi secara utuh yang merupakan wacana teks
puisi yang mengandung makna atau arti yang dapat kita rasakan dengan menghayati unsur unsur
puisi ini. Unsur batin puisi atau unsur makna puisi terdiri atas 4 bagian yang tidak terpisahkan
tapi dapat dibedakan, yaitu : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair
terhadap pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991:180-181).
1. Tema
Sebuah puisi memiliki inti pokok pembicaraan meskipun puisi berbiara banyak hal
akan tetapi semua hal yang dibicarakan ataupun digambarkan harus menuju pada
inti pembicaraan pokoknya.
Tema sering diartikan sebagai ide dasar dari puisi atau semua bentuk karya.Tema
menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi. Munculnya tema dalam
puisi tertentu dalam pikiran penyair akan memberikan dorongan yang kuat untuk
menghasilkan karya puisi yang sesuai tema yang kuat untuk menghasilkan karya
puisi yang sesuai tema tersebut. Misalnya, ketika muncul ide atau gagasan yang
kuat berupa hubungan antara penyair dan tuhan, maka puisinya akan bertema
ketuhanan. Begitu pula ketika muncul ide atau gagasan yang berkaitan dengan
persoalan
sosial,
maka
puisi
nya
akan
bertema
kritik
sosial.
Dari sumber lain dijelaskan bahwa dalam sebuah puisi sang penyair tentu saja ingin
menyampaikan sesuatu hal kepada para penikmat puisinya. Dalam puisi tersebut,
penyair dapat menyampaikan dalam hasil karyanya hal yang dia dapatkan melalui
penglihatan mereka, melalui pengalaman mereka atau bahkan penyair puisi dapat
membuat puisi yang menceritakan pengalaman dirinya, orang lain atau dalam
masyarakat tersebut dengan bahasanya sendiri. Para penyair puisi ingin
mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya
sendiri. Tardigan ( 1984:10) menambahkan bahwa sang penyair ingin
mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para pembaca melalui puisinya .
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur puisi berupa tema adalah gagasan pokok
yang dikemukakan oleh sang penyair yang terdapat dalam puisinya.
Menurut Waluyo, seorang pembaca puisi atau penikmat puisi yang memiliki latar
belakang pengetahuan yang sama akan mengetahui tema puisi yang dibuat oleh
penyair dikarenakan sebuah tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo,
1991:107)
2. Perasaan Penyair (Feeling)
Pengertian perasaan (feeling) sebagai unsur puisi adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan
yang ditampilkan. Menurut Waluyo (1991:121) perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal
melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena dalam
menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh
pembaca. Sesuai dengan pendapat Tarigan (1984:11) bahwa rasa adalah sikap penyair terhadap
pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya.
3. Nada dan Suasana
Pengertian nada sebagai unsur unsur puisi menurut Tarigan (1984:17) nada adalah sikap sang
penyair terhadap pembacanya atau dengan kata lain sikap sang penyair terhadap para penikmat
karyanya, seperti : merenungkan, menertawai, memaharahi, menyindir, menasihati, menggurui,
menasehati, mengejek, dan lain-lain.
4. Amanat (Pesan)
Pengertian amanat atau pesan sebagai unsur unsur puisi adalah maksud yang
hendak disampaikan atau himbauan, pesan, tujuan yang hendak disampaikan
penyair melalui puisinya. Secara sadar ataupun tidak seorang penyair yang juga
merupakan sastrawan dan anggota masyarakat khususnya yang berperan dalam
literasi harusnya bertanggungjawab dalam menjaga kelangsungan hidup dan
ketenangan dalam masyarakat sesuai dengan hati nuraninnya. Oleh karena itu,
puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan). Walaupun menurut Waluyo
(1991:130) dalam banyak puisi, para penyair tidak secara khusus dan sengaja
mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di
balik tema yang diungkapkan penyair.
B. Unsur Fisik Puisi
Menurut Waluyo (1991:71) bahwa unsur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi
dari luar. Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan bermakna yang
dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana
bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat. Unsur unsur fisik puisi
terdiri atas diksi/pilihan kata, imaji atau imajinasi, kata konkret, majas, rima/ritme
dan tipografi.
1. Diksi atau Pilihan Kata
Unsur puisi yang penting dalam puisi adalah pilihan kata atau diksi. Dengan
menggunakan pilihan kata yang tepat, unsur unsur batin puisi yang ingin
disampaikan oleh para penyair puisi dapat tersampaikan dengan jelas dan
menyentuh perasaan para penikmat puisi sesuai dengan harapan yang diinginkan
para penyair puisi. Dengan diksi yang tepat dan benar, ekspresi ekspresi jiwa
penyair dapat terlihat oleh para pembaca bahwa oleh para pembaca pemula yang
membaca puisi tersebut. Penyair puisi juga ingin mempertimbangkan perbedaan
arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi, dalam rima dan irama serta
kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu. Dengan uraian singkat diatas, ditegaskan kembali betapa
pentingnya diksi bagi suatu puisi. Tarigan (1984:30) menjelaskan bahwa dengan
pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek,
nada suatu puisi dengan benar.
2. Imajinasi/Pengimajian
Pengertian Imaji adalah unsur unsur puisi yang memberikan gambaran dalam
sebuah puisi, baik yang menyentuh indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
perabaan dan sebagainya. Tujuan dari penggambaran agar pembaca puisi dapat
dibawa memasuki pengalaman yang diungkapkan penyair. Pembaca puisi dapat ikut
merasakan dan mengalami serta diajak secara lebih jelas.
Menurut Tarigan (1984:30) bahwa dengan menggunakan pemilihan dan
penggunaan kata yang tepat dalam puisi dapat terwujud imaji yang diharapkan oleh
para penyair puisi dalam puisi yang mereka buat.
Menurut Waluyo (1991: 97) terdapat hubungan yang erat tiap unsur unsur fisik
puisi seperti imajinasi atau imaji, pemilihan kata /diksi, dan data konkret. Dimana
diksi yang dipilih harus menghasilkan dan karena itu kata-kata menjadi lebih
konkret seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa.
Pengimajian atau pembayangan apa yang kita alami atau ingin pembaca puisi
bayangkan dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan
perasaan
Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat memperkuat serta
memperjelas daya bayang pikiran manusia dan energi tersebut dapat mendorong
imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Dengan
menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani sang penyair berusaha
membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka
menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa jasmaniah
tersebut (Tarigan, 1984:30). Dengan menarik perhatian pembacanya melalui kata
dan daya imajinasi akan memunculkan sesuatu yang lain yang belum pernah
dirasakan oleh pembaca sebelumnya. Segala yang dirasai atau dialami secara
imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery atau imaji atau
pengimajian (Tarigan, 1984:30).
Dalam puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran angan) yang dihasilkan oleh
indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan, penciuman, pemikiran dan
gerakan. Selanjutnya terdapat juga imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran
(auditif) dan imaji cita rasa (taktil) (Waluyo, 1991:79).
3. Kata Konkret
Pengertian kata konkret sebagai unsur unsur puisi adalah kata kata yang dapat
ditangkap dengan indera manusia sehingga kata tersebut dinilai tepat dan
memberikan arti yang sesungguhnya.
Dengan menggunakan kata konkret, menurut Tardigan (1984:32) para penikmat
sastra akan menganggap bahwa mereka benar-benar melihat, mendengar,
merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang dialami oleh sang penyair puisi
tersebut.
4. Majas atau Bahasa Figuratif
Pengertian majas atau bahasa figuratif sebagai unsur unsur puisi adalah kata kata
atau susunan kata dan kalimat yang membuat puisi tersebut terlihat atau bersifat
prismatis dari segi makna sehingga mengandung banyak arti atau kaya akan
makna, akan tetapi bukan dengan maksud membuatnya salah arti dapat
membuatnya banyak arti. Menurut Waluyo (1991:83), bahasa figuratif atau majas
dalam unsur unsur puisi adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk
menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang .
Waluyo menambahkan bahwa bahasa figuratif/bahasa kias/majas merupakan wujud
penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar asosi lain.
Dengan adanya kiasan dalam puisi, dapat membantu para pembaca puisi
merasakan dan melihat apa yang dilihat dan dirasakan penyair puisi tersebut.
Seperti dibahas sebelumnya, imajinasi atau imaji penting dihadirkan bukan hanya
karena sebagai unsur unsur puisi, akan tetapi dengan adanya gambaran tersebut
pembaca mampu memahami perasaan penyair puisi, oleh karena itu, kata
kias/majas/bahas figuratif hadir sehingga tercipta objek yang dapat dilihat oleh
mata melalui kata kata yang ditulis dalam puisi tersebut.
Waluyo (1991:83) memandang bahwa bahasa figuratif lebih efektif untuk
menyatakan apa yang dimaksudkan penyair puisi disebabkan oleh 4 hal yaitu: (1)
Bahasa figuratif/Majas/Bahasa kias adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna
yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas
dengan bahasa yang singkat. (2) Bahasa figuratif/Majas mampu menghasilkan
kesenangan imajinatif, (3) Bahasa figuratif/Majas adalah cara menambah
intensitas, (4) Bahasa figuratif/Majas dalah cara untuk menghasilkan imaji
tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret dan menjadikan puisi
lebih nikmat dibaca. Berikut bahasa kias/Majas atau bahasa figuratif yang biasa
digunakan dalam puisi ataupun karya sastra lainnya:
Salah satu unsur unsur puisi yang penting dan ada dalam puisi sebagai unsur fisik
yang membuat suatu puisi unik dan terdengar berbeda dengan yang lainnya adalah
rima dan ritma. Berikut penjelas rima dan ritma sebagai unsur unsur fisik puisi:
1. Rima: Pengertian Rima sebagai unsur puisi adalah pengulangan bunyi dalam
puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi
menarik untuk dibaca. Rima membuat efek bunyi makna yang diinginkan
oleh penyair puisi menjadi indah dan menimbulkan makna yang lebih kuat
sehingga pesan dapat lebih tersampaikan kepada para pembaca puisi
2. Ritma: Pengertian ritma sebagai unsur puisi menurut (1991:94) adalah
pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang
mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk
keindahan.
6. Tipografi atau Perwajahan
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Pengertian tiprografi
sebagai unsur puisi adalah bentuk visual yang dapat menambahkan makna dalam
puisi dan bentuknya dapat ditemukan pada jenis puisi konkret. Tipografi dalam puisi
memiliki bermacam macam bentuk. Macam mcam bentuk tipografi dalam puisi
contohnya grafis, kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri
khas puisi pada periode angkatan tertentu. Susunan penulisan dalam puisi disebut
tipografi.
Ciri-ciri yang dapat dilihat sepintas dari puisi adalah perwajahannya atau
tipografinya. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang
membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam baitbait. Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang
ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata
bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis
dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya.
Struktur Puisi
A. Struktur fisik puisi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
Kata konkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya
imaji.
Gaya bahasa yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu.
Rima/Irama adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Tipografi yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri,
pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
B. Sruktur Batin Puisi
Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan
makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan.
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan
rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca
Amanat/tujuan/maksud (itention); yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca.
a.
b.
c.
d.
e.
A.
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi termasuk karya sastra, dan semua karya sastra
bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna
lambang. Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi, lebih bersifat konotatif. Bahasanya
lebih banyak mengandung kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengonsentrasian atau
pemadatan segenap kekuatan bahasa dalam puisi. Apabila dilihat dari segi bentuk penulisannya, puisi
memiliki suatu tata wajah atau penampilan khusus di atas kertas, yang biasa disebut tipografi.
Pada dasarnya untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup sulit. Adapun pengertian
puisi menurut Waluyo (1987:25) beberapa yang dapat dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan
sebagai berikut.
Dalam puisi terjadi pemadatan segala unsur kekuatan bahasa;
Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan
memperhatikan irama dan bunyi;
Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan pengalaman jiwa dan bersifat
imajinatif;
Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian,
pelambangan, dan pengiasan, atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisahkan
dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya
hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya
dengan keseluruhannya.
Selain itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri artinya mempunyai saling keterkaitan antara
unsur yang satu dengan yang lain. Jalinan unsur-unsur yang terdapat dalam struktur fisik dalam
membentuk kesatuan dan keutuhan puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih
lengkap dari sekadar kumpulan unsur-unsur. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan
perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama, merupakan rekaman
dan interpretasi pengalaman manusia yang penting.
Dengan demikan, setiap unsur yang terdapat dalam puisi tersebut memiliki saling hubunga antara yang
satu dengan yang lain untuk terbentuknya suatu kesatuan makna dari sebuah puisi.
Tema Puisi
Sebelum membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna puisi harus ditafsirkan dan bukan
makna secara langsung yang dapat diketahui. Djojosuroto menambahkan untuk langkah selanjutnya
dapat dilakukan dengan menafsirkan konteks dalam linguistik berupa alat-alat linguistik yang secara
eksplisit digunakan dalam ujaran (2005:24). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata dan hubungan
antar kalimat dalam tiap baris puisi tersebut. Jika hal demikian dilakukan, akan diperoleh penafsiran
B.
C.
D.
1.
yang tidak berbeda dengan maksud penyairnya. Sehingga pokok pikiran atau tema pada puisi dapat
diketahui.
Setiap wacana tentu memiliki tema atau hal pokok yang menjadi topik pembicaraan, begitu pula pada
wacana sastra khususnya pada puisi juga memiliki tema di dalamnya. Tema puisi adalah gagasan pokok
yang dikemukakan penyair lewat puisinya (Djojosuroto, 2005:24). Tema puisi biasanya mengungkapkan
persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedukaan,
kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan protes. Tema dapat dijabarkan
menjadi subtema atau dapat dikatakan pokok pikiran.
Nada Puisi
Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu nada tertentu dari pembawaan sikap penyairnya. Nada atau
sikap pada puisi sering dikaitkan dengan suasana. Jika nada berarti sikap penyair terhadap pokok
persoalan (feeling) dan sikap penyair terhadap pembaca (tone), maka suasana berarti keadaan
perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap oleh panca
indera. Nada berhubungan dengan tema dan pembaca. Nada yang berhubungan dengan tema
menunjukkan sikap penyair terhadap objek yang digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek
seorang perampok, penyair dapat bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada
yang berhubungan dengan pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada menghasut, nada
santai, nada filosofis, dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang dikemukakan penyair harus sesuai. Hanya dengan cara demikian
tafsiran atas makna sebuah puisi dapat mendekati ketepatan yang dikehendaki penyair. Cara
menafsirkan puisi diantaranya ialah dengan meninjau bahasa yang digunakan oleh penyair, yaitu
menentukan konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi (hubungan struktur antar kalimat) dan
koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna puisi tidak hanya ditentukan oleh kata dan kalimat
secara lepas, akan tetapi ditentukan oleh hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik
kalimat sebelumnya dan sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).
Suasana Puisi
Dalam puisi diungkapkan perasaan penyair secara totalitas. Puisi dapat mengungkapkan perasaan
gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu, penasaaran, benci, cinta, dendam, dan sebagainya. Hal
ini dimaksudkan, penyair mengerahkan segenap kekuatan bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaan
yang bersifat total (Tarigan, 1984:5). Bahasa memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif
(Suriasumantri, 1985:181; Djojosuroto, 2005:26). Di dalam puisi, ketiga fungsi bahasa itu dimanfaatkan.
Unsur emotif mendapat porsi yang lebih dominan.
Struktur Fisik Puisi
Bunyi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik, unsur puisi yang bertugas
untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam
sebuah puisi, juga mempunyai peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau menimbulkan suasana yang
khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga digunakan sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik.
Bunyi konsonan dan bunyi vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan
berirama seperti bunyi musik, dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji
dalam pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).
Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu itu biasanya disebut efoni (euphony), atau bunyi yang indah.
Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya dipergunakan untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih
sayang atau cinta, serta hal-hal yang meng-gembirakan. Misalnya terlihat pada sajak Soeparwoto
Wiraatmadja berikut ini.
SENANDUNG NATAL
Nyanyi suci di dalam hati
Mengalun setanggi sesela hati
Adik mengapa dikau sendiri
Bersama abang mari ziarah ke gereja suci
Sunyi hati di gelap hari
Kata
Satuan arti yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata. Untuk mencapai nilai
seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat menggunakan berbagai cara, terutama alatnya yang
terpenting adalah kata, karena kata dapat menjelmakan pengalaman jiwa si pengarang dalam karya
yang dihasilkannya. Menurut Aminuddin (1995:201) gaya pemilihan kata atau kata-kata dalam karya
sastra adalah cara penggunaan kata atau kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan
gagasan dan nilai estetis tertentu. Jadi, kata memiliki arti dan efek tertentu yang akan
ditimbulkannya. Di antaranya adalah arti denotatif dan konotatif, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan
dan gaya bahasa, citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi,
yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan pengalaman jiwa dalam sajak-sajaknya. Katakata yang telah digunakan oleh penyair ini disebut kata berjiwa, yang tidak sama artinya dengan kata
dalam kamus, yang harus melalui proses pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan
perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata berjiwa sudah diberi suasana tertentu.
Kata-kata dalam tiap sajak merupakan cerminan kepribadian penyair, yaitu suatu bentuk
pengekspresiannya yang bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu, penyair mempunyai cara
sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya, misalnya pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.
PUTIH, PUTIH, PUTIH
Meratap bagai bayi
Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
.
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi Puisi, 2005)
Untuk menggambarkan penyesalannya penyair menggambarkan dirinya meratap bagai bayi, dan
menunjukkan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan, penyair menggunakan kata-kata: terkapar
bagai si tua renta. Rasa tidak berdaya orang yang sudah renta, yang tidak sanggup mengerjakan segala
sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain, lebih terasa konkret dari pada kata lemah.
Penggunaan kata pada puisi populer juga diupayakan untuk menimbulkan efek tertentu dan melahirkan
pengalaman jiwa penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini ditinjau dari arti kata yang meliputi
pemilihan kata (diksi), denotasi dan konotatif, bahasa kiasan, citraan, serta hal-hal yang berhubungan
dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi, yang semuanya digunakan penyair untuk menggambarkan
perasaan dan pengalaman jiwanya dalam tiap sajaknya. Sama halnya dengan penyair pada umumnya,
mereka yang termasuk penulis puisi populer tentunya mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan
pengalaman jiwanya.
a) Pemilihan Kata
Menurut Pradopo (2007:54-58) pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Alat untuk menyampaikan
perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung kecakapan sastrawan dalam
menggunakan kata-kata. Kehalusan perasaan sastrawan menggunakan kata-kata sangat diperlukan.
Selain itu, perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai pemakaianya. Seorang penyair
dapat menggunakan kata-kata kuna yang sudah mati, tetapi harus dapat menghidupkannya kembali.
Oleh karena itu, penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah
konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi (Waluyo, 1987:72). Sejalan dengan
Aminuddin (1995:201) yang menyatakan bahwa gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah
cara penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai
estetik tertentu. Jadi, pemilihan kata yang tepat harus dipertimbangkan urutan katanya dan kekuatan
atau daya magis dari kata-kata tersebut agar selain makna dalam sebuah puisi, aspek estetis juga perlu
diperhatikan.
Penyair dalam puisinya terkadang menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah. Penggunaan
kata daerah ini secara estetis harusdapat dipertanggung-jawabkan, artinya harus dapat menimbulkan
efek puitis, atau dimungkinkan dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tidak ada (Pradopo, 2007:52-53).
Selain itu penyair juga biasa menggunakan istilah-istilah atau kata-kata dalam bahasa asing atau
perbandingan asing, serta kalimat-kalimat bahasa asing. Penggunaan kata-kata dalam bahasa asing ini
pun harus dapat memberi efek puitis. Dalam hal ini, penyair bermaksud agar karyanya dapat
dimengerti oleh kalangan luas dan memberi efek universal. Oleh sebab itu, penggunaan atau
perbandingan itu harus sudah dikenal umum, atau sudah populer. Misalnya pada sajak Rita Oetoro
berikut ini.
RAYUAN SERAYU
panjang berliku-liku seperti
ular naga airmu mengalir turun
dari pegunungan, baur dalam
juga harus diperhatikan dan dipahami makna tambahan atau konotasinya yang ditimbulkan oleh
asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.
3. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language).
Menurut Aminuddin (1995:227) kajian retorik memilah figurative language (bahasa figuratif) menjadi
dua jenis, yakni (1) figure of thought: bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan
pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure: bahasa figuratif yang terkait dengan cara penataan
dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah puisi
pada dasarnya bertujuan agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau daya bayang pembaca
untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam angan-angan sendiri (Surana, 2001:90). Adanya
bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan
terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau menyamakan
sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik, dan hidup. Bahasa kiasan ada
bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum,
yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan
sesuatu yang lain (Pradopo, 2007:62-79). Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif
tersebut adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi,
metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori.
a) Perumpamaan (Simile)
Perumpamaan adalah kiasan yang tidak langsung atau yang disebut dengan perbandingan (Waluyo,
1987:84). Perumpamaan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak
digunakan dalam sajak. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan
kata-kata seperti laksana, bagaikan, bak, layaknya, seumpama, serupa, semisal dan sebagainya.
Misalnya pada sajak Kirjomulyo berikut ini.
ROMANSA KECAPI SUNDA
.
Jalanan waktu serupa jalanan alam
melingkar, membelit serupa hati
lincah seperti musim
sebulan membunga, sebulan menghijau
lain saat menguning
.
(Romansa Perjalanan, 2000)
Jalanan waktu diumpamakan serupa atau sama dengan jalanan alam yang terus melingkar dan
membelit layaknya hati serta lincah seperti musim yang terus berganti sesuai dengan perubahan iklim
udara.
b) Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan (Waluyo, 1987:84).
Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan atau diungkapkan dengan benda yang lain,
contohnya: tangan kanan (orang kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bagsa
(pahlawan), dan lain sebagainya). Jadi, metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau
seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul Aku
dalam kumpulan puisinya Kerikil Tajam, Chairil Anwar menyamakan dirinya dengan binatang jalang
yang bebas, tidak memiliki ikatan, dan tak dibatasi oleh apa pun, dalam hal ini Chairil Anwar dalam
berkarya tidak memerhatikan cara atau aturan lama, seperti berikut.
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua
(secondary term) (Pradopo, 2007:66-67). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut
juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua
atau vehicle adalah hal yang membandingkan. Misalnya Aku ini binatang jalang: Aku adalah term
pokok, sedang binatang jalang term kedua atau vehicle. Namun seringkali penyair langsung
menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor.
c) Perumpamaan Epos
Perumpamaan (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk
dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase
yang berturut-turut (Pradopo, 2007:69). Terkadang kelanjutan perbandingan ini sangat panjang. Dapat
dilihat sajak Sapardi Djoko Damono berikut.
DONGENG MARSINAH
.
Marsinah itu arloji sejati,
tak telah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.
(Ayat-ayat Api, 2000)
Dalam penggalan sajak di atas penyair mengumpamakan engkau ini seperti kolam dan melanjutkannya
gambaran tentang engkau engkau ini layaknya kolam yang berada di tengah-tengah belukar atau
semak. Ditambah lagi dengan perbandingan beriak-riak tenang, membiarkan nyiur sepasang,
bercerminkan diri ke dalam airmu. Sehingga semakin jelas apa yang digambarkan penyair dalam
puisinya. Jadi, guna perumpamaan epos ini pada dasarnya seperti perumpamaan juga, yaitu untuk
memberi gambaran yang jelas, hanya saja perumpamaan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam
dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar memberikan persamaannya saja.
d) Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2007:71). Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga
Baru. Namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern. Allegori
ini sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Misalnya dapat dilihat pada sajak Kirjomulyo berikut ini.
BUAT H. B. JASSIN
Dalam kemenangan keselip kekalahan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah pasir
Dalam kekalahan keselip kemenangan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah batu
Kita lahir dan menerima sekali waktu
alam cinta, tangis dan harap
Kita hadir dan menerima sekali saat
kemenangan dan kekalahannya
Hanya dalam sadar dan yakin
dari keduanya, lahirlah mesra
(Romansa Perjalanan, 2000)
e)
Metonimia
Metonimia adalah bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk menyatakan
sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional (Djojosuroto, 2005:19). Dalam polapola kontiguitas tiada relasi kesamaan, melainkan relasi kebertautan unsur, atau pengertian yang satu
dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain yang berdekatan. Kaitan-kaitan tersebut berdasarkan
berbagai motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal, logika, hubungan waktu atau ruang. Hal ini
diperjelas oleh Hartoko (1992:189) yang menyatakan bahwa kasus-kasus metonimia ialah akibat
digantikan sebab, isi diganti wadah. Satu contoh sajak Bercerai karya Chairil Anwar berikut ini.
JARING-JARING
Kali ini
Nelayan menebar jaring di laut
Menangkap ikan
Kali lain
Tuhan menebar jaring maut
Menangkap insan.
(Biarkan Angin Itu, 1996; Apresiasi Puisi, 2005)
f)
Kata-kata jaring maut dalam penggalan puisi di atas berperan menggantikan sesuatu kekuasaan Tuhan
yang terwujud dalam kasih dan sayang Tuhan terhadap umatNya. Tuhan ingin mengumpulkan manusia
untuk kembali kejalan yang benar. Jadi, metonimi digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, yang dapat mewakili sifat yang digantikan atau digambarkan.
Personifikasi
Personifikasi adalah bahasa kiasan yang menggambarkan keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan
sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia (Waluyo, 1987:85). Menurut Djojosuroto
(2005:18) personifikasi adalah jenis bahasa kias yang mempersamakan benda dengan manusia, bendabenda mati dapat berbuat, berpikir sebagaimana seperti manusia. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa personifikasi adalah bahasa kias yang melukiskan benda-benda mati seolah-olah seperti
manusia. Di bawah ini beberapa contoh personifikasi.
PULANG MALAM
Dan hari pun telah silam
daunan berhenti menderai
tidur dan tidur
hanya bulan memanjat bukit
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan, 2000)
DI DEPAN PINTU
di depan pintu: bayang-bayang bulan
terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajaknya pergi
menghitung jarak dengan sunyi
(Sapardi Djoko Damono, Ayat-ayat Api, 2000)
g)
Sinekdoki (synecdoche)
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau
menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987:85). Dalam hal ini Pradopo (2007:7879) menggolongkan sinekdoki ini terdiri dari dua macam, yaitu: (1) pars pro toto: sebagian untuk
keseluruhan, contohnya: hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, masa
depan Indonesia yang diramaikan oleh orang-orang yang kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dikiaskan dengan bagian anggota tubuh yakni mulut yang menganga seperti orang
kelaparan atau kehausan, (2) totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian, contohnya: pergi ke dunia
luas/ anakku sayang/ pergi ke hidup bebas, perintah sang ibu kepada anaknya untuk dapat hidup
mandiri di luar rumah dikiaskan dengan kehiduan yang luas yang ada di dunia luar.
Selain bahasa-bahasa figuratif di atas, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa unsur
kepuitisan dengan menggunakan bahasa kiasan juga didukung dengan adanya sarana retorika atau
disebut juga gaya bahasa (rhetorical figure). Menurut Aminuddin (1995:227) sarana retorika atau gaya
bahasa yang digunakan oleh penyair dalam puisinya adalah bahasa figuratif yang terkait dengan cara
penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Dengan adanya sarana retorika dalam
sebuah puisi ini dapat menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada
pembaca.
Tiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masingmasing pengarang. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan
pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa digunakan.
Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan sastra itu mempunyai jenisjenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu mempunyai kekhususan dalam
menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya. Meskipun begitu, tetapi untuk puisipuisi modern atau pun puisi populer juga masih dapat ditemukan berbagai gaya bahasa dalam tiap
lariknya.
Beberapa sarana retorika yang biasa terdapat dalam suatu sajak adalah pleonasme, enumerasi,
pararelisme, retisense, hiperbola, dan paradoks. Berikut penjelasannya:
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata
yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama (Pradopo, 2007:95). Dengan cara
demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya:
naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, raih menjulang
menggapai bukit, terbang melayang mencapai langit, luka menoreh menusuk perih, duka menyeruak
menghapus suka.
Enumerasi (penjumlahan) ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan
menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca
atau pendengar (Pradopo, 2007:96). Dengan demikian suatu pernyataan atau keadaan, memberi
intensitas. Seperti sajak Kirjomulyo berikut ini.
APRIL
Ada juga citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery). Imaji ini menggambarkan
sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan seperti dapat bergerak. Citraan gerak ini
membuat hidup dan gambaran jadi dinamis. Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.
AKU TENGAH MENANTIMU
aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
(Ayat-ayat Api, 2000)
Di bawah ini penyair mengggunakan bermacam-macam citraan secara bersama-sama. Misalnya pada
sajak berikut.
TROMPET
Terompet dilengkingkan napas nestapa
bagai pekik elang tua
membuat garis di pasir pantai
Bau pandan di sepi malam
duri-durinya menyuruk di daging.
Amboi, aroma daun pandan!
Amboi amis darah dan daging!
Nestapa!
Maha duka!
Didambakannya dahlia dua tangkai,
burung-burung dua pasang,
emas fajar yang pertama.
Nestapa! Maha duka!
Menyepak-nyepak dalam dada
buyar napas isi rasa
lepas lewat kerongkongan tembaga.
Terompet dilengkingkan napas nestapa.
Arwah leluhur mencekik malam dena
(Empat Kumpulan Sajak, 1978; Pengkajian Puisi, 2007)
Penyair menggunakan banyak menggunakan imaji auditif seperti: terompet dilengkingkan dan pekik
elang. Kata-kata bau pandan, aroma daun pandan, dan amis darah dan daging merupakan
pengimajian penciuman. Imaji perabaan terdapat pada baris ke-5 yang berbunyi duri-durinya
menyuruk di daging. Penyair juga mengimajikan citra penglihatan pada puisinya contohnya emas fajar
yang pertama. Selain itu ada pula diselipkan citra gerak yakni pada baris-baris terakhir yang berbunyi
menyepak-nyepak dalam dada.
Untuk memberi suasana khusus dan memberi gambaran suatu tempat secara jelas penyair
menggunakan kesatuan citra-citra yang masih dalam satu ruang lingkup. Ada kalanya penyair juga
menggunakan imaji-imaji pedesaan, alam, dalam sajak-sajaknya, atau dapat juga dengan menggunakan
imaji yang memberi gambaran tentang citra-citra kekotaan dan khidupan modern. Misalnya pada sajak
Agnes Sri Hartini Arswendo yang berikut ini. Penyair menggunakan imaji yang menggambarkan citracitra pedesaan dan alam.
DARI JENDELA
Dari jendela kaca kereta Senja kusaksikan
anakku berlari menerobos sawah dan kali
berjalan di atas batang padi
dengan longdress putih dan sayap bidadari
Kata-kata yang mendapat penekanan pada tiap baris larik di atas ditandai dengan pelantunan irama
bertekanan lembut (rendah) seperti: kuku-kuku besi dan perut bumi.
Nama-nama yang membentuk kaki puisi yaitu: 1) / ^ - / ^ - / (jambe), 2) / ^ ^ - / ^ ^ - / (anapes), 3) /
- ^ / - ^ / (troacheus), dan 3) / - ^ ^ / - ^ ^ / (dactylus). Suku kata dalam jambe bervariasi, ada yang
diberi tekanan dan ada yang tidak. Ada yang bertekanan keras dan lembut. Pada troacheus, tekanan
keras terdapat pada suku kata pertama. Pada daktylus, tekanan terdapat pada awal baris, dan
selanjutnya diselingi dua suku kata tidak bertekanan. Pada anapest tekanan dimulai pada suku kata
ketiga dan pada awal kata tidak bertekanan (Waluyo, 1987:96).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa puisi modern termasuk puisi populer dinyatakan
bahwa lebih mementingkan makna dari pada alun irama. Namun pada tiap larik puisi tetap mempunyai
irama dalam setiap pembacaannya. Jadi, dalam puisi populer perulangan bunyi dan tekanan-tekanan
kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh konsonan dan vokal atau panjang pendek kata, juga
disebabkan adanya kelompok sintaksis dapat menimbulkan irama. Seperti halnya puisi pada umumnya,
puisi populer dengan metrum tertentu cukup sulit ditemukan. Namun jika ada metrum itu hanya
buatan-buatan penyair-penyair secara pribadi yang tentunya berbeda satu dengan lainnya, tanpa
aturan
dan
patokan
tertentu.
Sumber:
Ariesya, Miranty. 2009. Struktur Puisi Populer Karya Pendengar Radio Primadona
Pontianak. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Indonesia. Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Tanjungpura.
Share
Diposkan oleh BelajarBahasa pada 19.22 Label: Kesastraan