Anda di halaman 1dari 68

1 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab

2 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang dengan pertolongan,
rahmat dan karunia-Nya, penulis sanggup menyelesaikan buku “PENGANTAR
LEKSIKOGRAFI BAHASA ARAB” ini dengan baik dan lancar. Buku ini disusun sebagai
buku ajar mata kuliah Leksikografi Bahasa Arab di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN
Tulungagung. Selama ini ilmu leksikografi terutama yang berfokus pada Bahasa Arab masih
kurang populer dan jarang didapati bahan ajar yang memadai. Oleh karena itulah dengan
memadukan materi dari berbagai sumber kami menyusun buku ini untuk memudahkan
mahasiswa dalam memahami ilmu leksikografi (ilmu almaajim) bahasa Arab yang sangat
penting untuk dipelajari, terutama oleh mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Terima
kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada semua pihak yang berjasa dalam tersusunnya
buku ini.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan masukan dan saran dari para pembaca dan pengguna buku ini sehingga ke
depannya diktat ini dapat diperbaiki dan dikembangkan menjadi lebih baik dan sempurna.

Tulungagung, 1 Januari 2021

Penulis

3 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………..


KATA PENGANTAR…………………………………………….....
DAFTAR ISI………………………………………………………...
BAB 1: MENGENAL LEKSIKOGRAFI BAHASA ARAB .….............................. 4
A. Pengertian Leksikografi ……………………………........................ 4
B. Sejarah Leksikografi Bahasa Arab …………………........................ 5
BAB 2: MENGENAL KAMUS BAHASA ARAB..........……………………........ 9
A. Definisi Kamus………. …………………………...……………… 9
B. Asal Usul Kamus……………. …………………………………… 10
C. Kriteria Kamus…………………………………. …………………. 11
D. Fungsi Kamus …………………………………………................. 13
E. Klasifikasi Kamus Berdasarkan Tujuan ……………………………. 16
F. Komponen Kamus ……………………………. …………………… 17
BAB 3: MACAM- MACAM KAMUS BAHASA ARAB………………………... 19
A. Kamus Monolingual …..………………...…………………………. 19
B. Kamus Bilingual …………………………..…………..................... 20
C. Kamus Tematik……………………………………………………. 21
D. Kamus Etimologis..………………...……………………………… 22
E. Kamus Spesifik…………………………………………………….. 23
F. Kamus Visual …..………………...……………………………….. 23
G. Kamus Digital…………………………..………………………….. 25
H. Kamus Online………………………………………………………. 25
BAB 4: SISTEMATIKA PENYUSUNAN KAMUS……………………………… 226
A. Sistem Tematik …………...…..………………...…………………. 27
B. Sistem Fonetik …………………………..………………………… 28
C. Sistem Alfabetis Khusus…………………………………………… 35
D. Sistem Puitis …..………………...…………………………………. 39
E. Sistem Alfabetik Umum……………………..…………………….. 42
F. Sistem Artikulasi……………………..…………………………….. 47
BAB 5: BIOGRAFI TOKOH LEKSIKOGRAFI ARAB …………........................ 52
A. Khalil Al-Farahidi ………………………………..…...................... 52
B. Abu Amr Al Syaibani…..………………………………………... 54
C. Abu Mansur Al Azhari...……………………...………………… 55
D. Ibnu Duraid…..……………………………...……….,…………. 55
E. Ibnu Faris Ar-Razi.……………………………………………….. 57
F. Ibnu Jinny……………………………………………………… 60
G. Al-Jawhari…………………………………………………….. 61
H. Ibnu Mandzur ……………………………………...................... 62
I. Al-Fairuzabadi …………………………………………………. 64
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 66
BIODATA PENULIS………….……………………………………………….. 67

4 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


BAB I
MENGENAL LEKSIKOGRAFI
BAHASA ARAB

A. Pengertian Leksikografi

Bahasa Arab adalah bahasa yang paling banyak dikaji, dipelajari, dan diteliti dalam
sejarah kehidupan umat manusia. Bahasa ini telah lama memainkan perannya dalam
menciptakan peradaban umat manusia. Sejak zaman pra sejarah (belum mengenal aksara)
sampai zaman sejarah (setelah dikenalnya aksara) bahasa Arab tak hanya berperan sebagai
alat komunikasi tapi juga media dakwah dan peradaban. Bagaikan sebuah pohon besar yang
rindang, seluruh ranting dan cabang dari pohon ini sangat menarik untuk diteliti dan
melahrikan beragam cabang ilmu pengetahuan yang berbeda. Mulia dari nahwu, sharaf,
balaghah, bayan, manthiq, arudh, ilmu dilalah, semantik, semiotik, sintaksis, leksikografi,
dan lain sebagainya.
Dari sekian banyak cabang keilmuan tersebut, leksikografi adalah salah satu cabang
ilmu yang masih jarang sekali didengar dan dipelajari. Apa itu leksikografi? Secara umum
leksikografi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang teknik penyusunan kamus.
Hartman dan James dalam bukunya The Dictionary of Lexicography (1998) mendefinisikan
leksikografi sebagai:
“Lexicography is the professional activity and academic field concerned with dictionaries
and other reference works. It has two basic divisions: lexicographic practice, or dictionary
making, and lexicographic theory, or dictionary research”
Artinya: Leksikografi adalah kegiatan professional dan bidang keilmuan yang
membahas tentang kamus dan karya rujukan lainnya. Leksikografi terbagi
menjadi 2 yaitu: Leksikografi praktis yang berarti pembuatan kamus dan
leksikografi teoritis yaitu penelitian tentang kamus.

Sedangkan dalam situs encyclopedia.com dijelaskan bahwa definisi leksikografi


adalah sebagai berikut: “lexicography (is) the applied study of the meaning, evolution, and
function of the vocabulary units of a language for the purpose of compilation in book form —
in short, the process of dictionary making’
Artinya: Leksikografi adalah studi terapan tentang makna, evolusi, dan fungsi
kosakata dalam sebuah bahasa dalam rangka mengkompilasikannya dalam
bentuk buku- dengan kata lain: proses pembuatan kamus”

Dalam tataran linguistik teoritis, leksikografi mengkaji tentang asal usul, sistematika,
pengenalan para leksikograf, serta serba serbi dunia perkamusan lainnya. Sedangkan dalam
tataran linguistik praktis leksikografi mengkaji tentang tata cara pembuatan kamus. Buku
yang sedang anda baca saat ini lebih berfokus pada leksikografi dalam tataran linguistik
teoritis. Berbaca tentang istilah leksikografi, banyak yang mencampur adukkannya dengan
istilah leksikologi. Leksikologi dalam bahasa Inggris dinamakan lexicology yang berarti
ilmu/studi mengenai bentuk , sejarah dan arti kata-kata. Menurut istilah, leksikologi adalah

5 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


ilmu pengetahuan yang mempelajari seluk beluk makna/arti kosakata yang termuat atau akan
dimuat di dalam kamus. Orang yang berkecimpung dalam dunia leksikografi disebut dengan
leksikograf. Sedangkan orang yang berkecimpung di dunia leksikologi disebut leksikolog.

Gambar 1.1
Kamus Kuno Bahasa Inggris

Menurut Abdul Chaer (2007:176), hubungan antara leksikografi dan leksikologi


sangat dekat, sehingga batas antara keduanya sulit ditentukan. Ilmu tentang leksikon disebut
leksikologi, sedangkan penulisan mengenai leksikon disebut leksikografi . Produk yang
dihasilkan dari kerja leksikografi adalah kamus atau mu’jam. Menurut Ahmad Mukhtar Umar
dalam Taufiqurrohim (2011:37), leksikologi memusatkan perhatian kepada studi kosakata,
struktur dan maknanya; sedangkan leksikografi memfokuskan pada penyusunan kamus, teori
dan metode yang menjadi dasar penyusunannya. Leksikologi berorientasi kepada studi
leksikon dari segi teori keilmuannya, sedangkan leksikografi menitikberatkan kepada studi
leksikon dari segi seni atau profesi penyusunnya. Dengan kata lain, leksikologi merupakan
ilmu yang menjadi dasar atau pijakan dalam melakukan kerja leksikografi (penyusunan
kamus), sehingga kamus yang dihasilkan sesuai dengan standar, sistem, dan metode tertentu
dalam leksikologi.

Gambar 1.2
Berbagai Macam Kamus di Dunia

6 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Lalu apa istilah leksikografi dalam bahasa Arab? Jika dalam Bahasa Inggris atau
Bahasa Indoensia leksikografi beda dengan leksikologi. Bahasa Arab memiliki kata yang
sama untuk merujuk kedua ilmu itu yaitu: ilm al-ma’ajim. Secara etomologi, kata mu’jam
berasal dari kata al-ujm dan al-ajm lawan kata dari al’arb dan al-‘urb. Kata al-‘ajam berarti
orang yang ucapannya tidak fasih dan pembicaraannya tidak jelas. Itulah sebabnya orang Non
Arab disebut dengan orang ‘ajam karena bahasanya tidak jelas dan tidak bisa difahami oleh
orang Arab. Bahkan orang asing yang masih memiliki garis keturunan Arab, juga disebut
orang ‘ajam. Jadi, kata mu’jam adalah lawan kata (antonym) dari kata bayan, fasih yang
berarti jelas. Bila dilihat dari aspek morfologis, kata mu’jam berakar pada kata kerja yang
berwazan af-a-la dengan sighat isim maf’ul. Wazan empat huruf dengan huruf tambahan
berupa hamzah pada awal kata, berarti memiliki fungsi ganda. Terkadang ia berfungsi
menetapkan, tapi terkadang wazan af-a-la juga berfungsi meniadakan. Mengingat fungsi
kamus adalah meniadakan ketidakjelasan arti kosakata, menghilangkan ambigu atau
menyingkirkan ketidaktahuan Dengan mu’jam. seseorang dapat memahami arti sebuah kata.
Terus kenapa tidak memakai kata qamus? Padahal selama ini kita ketahui bahasa Arabnya
kamus itu qamus bukan mu’jam Mengenai hal ini akan kami jelaskan pada subbab berikutnya

B. Sejarah Leksikografi Bahasa Arab


Menurut Taufiqurrohim (2011) Sebuah bahasa yang terdiri dari kumpulan kata dan
kalimat, pada awalnya hanya berupa suara-suara dan belum dikodifikasi atau ditampung
dalam bentuk bahasa tulis. Apalagi terhimpun didalam sebuah kamus sebagai sebuah
buku/pedoman yang berfungsi memuat kumpulan kata dan penjelasan maknanya. Proses
transfer dari bahasa lisan ke bahasa tulis menuntut para penutur bahasa mengembangkan ilmu
tentang makna (semantic) untuk memahami kosa kata lama maupun baru yang ada di dalam
bahasa mereka. Interpretasi dan studi kosakata itu lebih dikenal dengan dengan ilmu kosakata
(ilmu al-mufradat). Pada tahapan selanjutnya, hasil kajian tersebut dikodifikasi ke dalam
sebuah kamus, hingga akhirnya melahirkan ilmu leksikografi.
Sebelum era Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab, terutama umat islam, belum banyak yang
mengenal pentingnya kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus bahasa arab. Paling
tidak, menurut Imel Ya’qub, ada 3 faktor yang menyebabkan kenapa bangsa Arab belum atau
terlambat dalam hal penyusunan kamus.
Pertama, Mayoritas bangsa Arab masih ummy (buta huruf) sebelum Islam datang di
Jazirah Arab, bangsa Arab yang bisa membaca dan menulis dapat dikatakan sangat minim.
Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan, dan al-Qur’an menegaskan, apa yang telah
diketahui orang-orang pada zamannya, yaitu bahwa beliau buta huruf, dan tak mungkin dapat
menyusun Al-Qur’an. Memang, pada era wahyu al-Qur’an diturunkan, mayoritas sahabat
Nabi juga tidak banyak yang mampu membaca dan menulis. Kenyataan ini yang
menyebabkan masyarakat bangsa Arab kurang memperhatikan masalah kodifikasi bahasa
mereka. Apalagi untuk mengumpulkan makna kosakata dan menulisnya dalam bentuk kamus.
Kedua, Tradisi nomadisme dan perang. Di dalam Jazirah Arab, penduduknya tidak
pernah menetap. Perpindahan dari tanah pertanian ke padang rumput dan dari padang rumput
ke tanah pertanian terus terjadi dan menjadi ciri setiap fase sejarah jazirah. Selain tradisi
nomadisme, penduduk jazirah Arab kerap kali berperang antar suku dan golongan. Tradisi
nomadisme dan perang menjadi sebab utama bangsa Arab untuk kurang memperhatikan
tradisi baca tulis dikalangan mereka.

7 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Ketiga, bangsa lebih senang dengan bahasa lisan. Tak dapat dipungkiri jika bangsa
Arab sangat fanatik dengan bahasa lisan. Mereka lebih mengagungkan tradisi muhadatsah.
khitabah dan syair. Barangkali, secara geografis, wilayah gurun yang sepi dan kebiasaan
migrasi juga berperan menciptakan tradisi sastra dikalangan mereka.
Beberapa faktor penyebab keterlambatan bangsa Arab dalam dunia perkamusan diatas
mendorong para masyarakat terutama para ilmuan dan pemerintah untuk segera menyusun
kamus. Apalagi ada beberapa hal yang memotivasi bangsa Arab untuk melakukannya, di
antara lain:
 Keinginan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedatangan Islam mengubah
makna beberapa kata, dan memasukkan kata-kata baru yang maknanya juga baru.
Pemakaian al-Qur’an menentukan perubahan ini. Peralihan dari makna lama ke
makna yang baru lebih mudah ditangkap oleh masyarakat berbahasa Arab jazirah.
Peralihan ini semakin sulit ditangkap oleh orang yang tanggung penguasaannya
akan bahasa ini di provinsi-provinsi yang bersebelahan dengan jazirah Arab.
Padahal, mereka amat bersemangat untuk mempelajari kandungan ayat-ayat suci al-
Qur’an.
 Keinginan untuk menjaga eksistensi bahasa Arab dalam bentuk bahasa tulis.
Penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah dan asimilasi antara orang Arab dan
non-Arab, ikut mempengaruhi tersebarnya lahn atau dialek-dialek yang
menyimpang. Ulama tafsir dan pakar bahasa berusaha keras memerangi lahn dengan
berbagai upaya untuk menjaga al-Qur’an. Bahkan, pada pertengahan abad ke-2 H.,
tatkala era tabiin semakin berkurang kualitasnya, maka bahasa Arab telah atau
hampir-hampir berubah menjadi non-Arab (a’jam) karena derasnya penyebaran
lahn dan penggunaan bahasa amiyah. Maka, tidak ada cara yang bisa melindungi
bahasa Arab kecuali dengan mengkodifikasikannya.
 Keinginan untuk mendalami gharaib atau kata-kata asing. Banyaknya buku-buku
tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi al-Qur’an dan Hadits tentang gharaib
mendorong para ahli bahasa untuk mulai menyusun kamus. Misalnya saja, Gharib
al-Hadis Karya Abu Muhammad Abdullah Bin Muslim Bin Qutaibah (w. 276 H),
Gharib al-Hadis karya Abu Ubaid Al-Qasim Bin Salam Al-Harawy (w. 224 H),
Ma’ani al-Qur’an karya Abu Ja’far al-Nuhhas (w. 338 H), dan lainnya.
 Keinginan untuk mengembangkan keilmuan baru dalam bidang bahasa.
Perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam, terutama pada masa pemerintahan
bani Abbas melahirkan berbagai disiplin ilmu dan karya-karya ilmiah. Semua ini
tidak lepas dari perkembangan bahasa Arab. Asimilasi antara Arab dan non-Arab
berlangsung efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa di luar Arab memberi saham
tertentu dalam perkembangan dalam ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga
muncul ilmu-ilmu metodologis semisal ilmu tata bahasa, ilmu tafsir, ilmu nahwu,
ilmu balaghah, ilmu fiqih dan ushul al-fiqih, dan sebagainya, yang kesemuanya
bertujuan untuk memelihara dan menjaga al-Qur’an, sekaligus menggali
kandungannya. Selain itu, gerakan menerjemahkan ilmu-ilmu dari kebudayaan lain
juga mendorong perkembangan kamus-kamus terjemah di kalangan Arab.

Latar belakang diatas mendorong al-Khalīl (100-170 H), seorang pakar nahwu dan
linguistik Arab membuat kamus Bahasa Arab pertama dalam sejarah Kitāb al-‘Ain, nama
kamus Arab pertama yang disusunnya, merupakan karya yang sangat luar biasa untuk ukuran
masa itu, karena sistematika penyusunannya yang sangat unik namun sangat masuk akal.

8 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Bukannya dimulai dari huruf alif seperti kamus pada umumnya, beliau malah memulai dari
huruf ‘ain. Apa alasannya? Akan kita jelaskan pada pembahasan berikutnya
Ada tiga periode dalam perkembangan leksikografi Bahasa Arab. Pertama, periode
inventarisasi kata. Kata-kata dikumpulkan tanpa sistematika tertentu dan pada umumnya
tanpa ada penjelasan kata. Pada periode ini, tepatnya pada akhir abad pertama hijriah,
dijumpai beberapa buku mengenai risalah al-Qur’an, seperti Gharib al-Qur’an karya Abī
Sa’īd al-Bakrī (w.H) dan Kitāb al-Nawādir karya beberapa orang seperti Abū ‘Amr ibn al-
‘Alā’ (w. 157 H), Yūnus ibn Habīb (w. 182 H), dan al-Kisā’ī (w. 198). Kedua, periode
kodifikasi sistematis sederhana. Pengumpulan kata dalam periode ini sudah mulai sistematis
namum sederhana, mengenai tema tertentu dan disistematisasikan berdasarkan huruf tertentu
pula. Di antaranya adaah Kitab al-Mathar wa Kitab al-Laba’ wa al-Laban ,dan Kitab al-
Khail, dan Kitab al-Syita’, Kitab al-Maqshur wa al-Mamdud karya Abū Zakariya al-Farra`
(144-207 H) Periode ini berlangsung pada awal dan pertengahan abad kedua hijriyah.(ad-
Dāyah, 1999:15-17) . Ketiga, periode kodifikasi komprehensif. Di zaman inilah kamus yang
benar-benar komprehensif dan layak disebut kamus pertama dalam sejarah Bahasa Arab
muncul. Kamus tersebut adalah karya al-Khalīl t. Mulai periode ini, banyak ulama yang
kemudian mengikuti sistem penyusunan kamus versi al-Khalīl, seperti al-Bari’ karya Abū
‘Alī al-Qālī (288-356 H), Dalam perkembangan berikutnya, penyusunan kamus Arab mulai
disusun berdasarkan abjad atau alfabet Arab yang dikenal dewasa ini, seperti yang digunakan
oleh al-Munjid, al-Munawwir, dan sebagainya

Gambar 1.3
Kamus al Muhith dan Lisanul Arab

9 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


BAB II
MENGENAL KAMUS

A. Definisi Kamus
Pada bab sebelumnya, kita telah mengenal istilah leksikografi sebagai ilmu yang
mempelajari tentang seluk beluk kamus. Kamus sebagai salah satu alat terpenting dalam
transfer keilmuan dan kebudayaan antar bangsa dan negara telah mengalami perkembangan
yang sangat luar biasa. Sebelum membahas perkembangan kamus, dalam hal ini kamus bahasa
Arab, baik kiranya kita mengetahui apa sebanarnya kamus itu?
Menurut C.L. Barnhart, salah saorang pakar leksikografi dari Amerika Serikat, definisi
kamus adalah sebagai berikut : ‘’Kamus adalah sebuah buku yang memuat kosakata pilihan
yang umumnya disusun berdasarkan urutan alfabet dengan disertai penjelasan maknanya dan
dilengkapi informasi lain yang berhubungan dengan kosakata, baik penjelasan tersebut
menggunakan bahasa yang sama dengan kosakata yang ada maupun dengan bahasa yang
lain”.

Gambar 2.1
Kamus Bahasa Inggris tertua di
dunia karya Samuel Johnson
(diterbitkan 15 April 1755)

Adapun dalam bahasa Arab, Kata kamus awalnya disebut dengan istilah Al-Mu’jam
(‫ )ﺍﻟﻤﻌﺟﻢ‬lalu kemudina berkembang menjadi Al-Qamus (‫)ﺍﻟﻗﺍﻣﻭﺱ‬. Sedangkan pengertian kamus
menurut Ahmad Abdul Ghafur Atthar (1979:38) adalah sebagai berikut : ‘’Kamus adalah
sebuah buku yang memuat sejumlah besar kosakata bahasa yang disertai penjelasannya dan
interpretasi atau penafsiran makna dari kosakata tersebut yang semua isinya disusun dengan
sistematika tertentu, baik berdasarkan urutan huruf hijaiyah ( lafal ) atau tema ( makna ).’’
Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut kamus, seperti :
al-mu’jam (‫ )ﺍﻟﻤﻌﺟﻢ‬, al-qamus (‫)ﺍﻟﻗﺍﻣﻭﺱ‬, al- fihris (‫ )ﺍﻟﻓﻬﺮﺲ‬, dan mausu’ah (‫ )ﺍﻟﻤﻭﺴﻭﻋﺔ‬. Walaupun

10 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


berbeda-beda istilah-istilah tersebut pada intinya merupakan kumpulan kosakata yang
dijelaskan maknanya. Tak hanya maknanya, info pendukung lain juga dicantumkan untuk
memperkaya deskripsi kata-kata yang termuat di dalam daftar tersebut. Kosakata yang banyak
tersebut disusun secara teratur bersama artinya, dengan sistematika yang diinginkan penyusun
kamus. Di bab selanjutnya akan dijelaskan beragam bentuk sistematika penyusunan kamus
yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik yang diinginkan penulis maupun
pembaca.

B. Asal Usul Kamus


Sebelum kita membahas asal usul kamus, kita harus familiar dengan istilah mu’jam,
karena pada awalnya orang Arab menyebut kamus dengan istilah mu’jam. Pada awalnya,
istilah mu’jam dipopulerkan oleh para ulama hadis, bukan para ulama bahasa. Menurut
Taufiqurrahim (2011: 38), pendapat ini dapat dibuktikan dengan adanya karya-karya ulama
hadis yang mencantumkan kata mu’jam atau memberi judul buku mereka dengan
menggunakan kata mu’jam. Misalnya, seorang muhaddist bernama Abu Ya’la Al-Mutsanna (
w. 919 H) menyusun sebuah buku yang berisi kumpulan nama-nama para sahabat yang ia beri
judul ‘’Mu’jam al-Shahabah’’ (Ensiklopedia Para Sahabat Nabi). Buku ini merupakan bukti
bahawa Abu Ya’la sebagai ahli hadits adalah orang pertama yang mempopulerkan istilah
mu’jam. Perjuangan Abu Ya’la ini lalu dilanjutkan oleh seorang ahli hadis lain bernama Abul
Qasim Abdullah bin Muhammad Al-Baghawi melalui kedua kitabnya yang berjudul ‘’al-
Mu’jam al-Kabir’’ dan ‘’al-Mu’jam al-Shagir’’. Kedua kitabnya ini menginventarisir nama-
nama para sahabat yang menjadi perawi hadis. Tongkat estafet ini lalu dilanjutkan oleh Abul
Husain Al-Baghdadi (880-962 M ) yang telah menyusun ensiklopedia yang berisi biografi
para muhaddis yang berjudul ‘’Mu’jam al-Syuyukh’’. Uniknya tak lama kemudian Ibnu Jami’
al-Shaidawi (917-1012 M) jugad mengarang kitab dengan judul yang sama yaitu ‘’ Mu’jam
al-Syuyukh’’ yang lebih komprehensif dalam menginventarisir profil para muhaddits dan
istilah-istilah yang ada dalam hadits. Untuk membedakan dengan karya Al-Baghdadi,
Mu’jam al-Syuyukh karya al-Shaidawi ini dikenal juga dengan nama ‘’Mu’jam al-Ghassany’
karena al-Shaidawi berasal dari kota Ghassan di Mesir.
Selain popular di kalangan ulama ilmu hadits, kata mu’jam juga populer di kalangan
ulama ilmu Qiraat. Abu Bakar Muhammad bin Hasan al–Naqash al–Mushili (880-962 M )
seorang ulama ilmu Qiraat menyusun sebuah kitab yang memuat berbagai macam jenis qiraat
dan nama-namanya yang ia beri judul ‘’al-Mu’jam al-Kabir wa al-Shagir’’. Munculnya kitab-
kitab yang berjudul ‘’Mu’jam’’ yang dikenalkan ulama hadits dan qiraat membuat para ahli
Bahasaterinspirasi untuk meminjam istilahmu’jam untuk menyebut kamus bahasa yang
mereka tulis, mengingat kata-kata yang tersusun di dalam kamus, diatur dengan sistematika
penulisan yang urut seperti mu’jam karya para ulama hadits dan qiraat. Dalam karya mu’jam
mereka, mereka mengeinventarisir nama-nama para muhaddis secara sistematis sesuai urutan
alfabetis mulai huruf alif hingga Ya’. Ada pula ulama hadis yang menyusun nama-nama
perawi di dalam buku-buku mereka secara berurutan berdasarkan periodesasi atau
berdasarkan tingkat kredibilitas para perawi hadis (baca : tsiqah). Tradisi penyusunan karya
ilmiah yang sistematis dan cernat sebagaimana tradisi ilmiah di kalangan ulama hadis, menjadi
inspirasi para ulama bahasa dalam penyusunan kamus, termasuk penggunaan istilah mu’jam.
Menurut Taufiqurrahim (2011: 41) sebuah buku yang memuat nama-nama secara
berurutan sesuai alfabetis dan disertai informasi terkait dengan nama itu telah layak disebut

11 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


‘’Mu’jam’’. Bahkan, bukan hanya buku yang terbatas pada penyebutan nama orang saja yang
disebut ‘mu’jam. Lebih daripada itu, sebuah buku yang memuat nama-nama tempat atau
informasi lain yang disusun secara alfabetis juga sering disebut mu’jam atau ensiklopedia
(Mausu’ah Mu’jam).
Dari tadi kita membahas tentang mu’jam Lalu apa itu Kamus? Apa beda mu’jam dn
kamus? Secara umum keduanya sama, walau dalam keadaan tertentu istilah mu’jam lebih luas
dan komprehensif (mencakup ensiklopedia juga). Menurut bahasa, ‘’Qomus’’ berasal dari
kata (‫ )ﻗﺍﻣﻭﺱ‬yang berarti ‘’menyelam’’, ‘’mencelupkan sesuatu kedalam air’’, ‘’tenggelam’’.
Dahulu, kata ‘’Qomus’’ diartikan ‘’laut, samudera luas, atau tempat tenggelamnya sesuatu’’.
Latar belakang pemakaian istilah Qamus untuk menyebut ‘Kamus’, karena sebuah kamus
memuat sejumlah kosakata, makna dan berbagai informasi lain yang jumlahnya tidak sedikit
bagaikan lautan yang mengandung berbagai kekayaan bahari. Kata Qomus ini dipopulerkan
oleh Al-Fairuzabadi, salah satu leksikograf Arab terpopuler. Para leksikograf Arab dahulu
selalu berupaya mengkodifikasi semua kosakata bahasa Arab ke dalam karya-karya mereka
yang biasanya berukuran tebal dan berbentuk besar agar semua kosakata dan maknanya dapat
tertampung di sana. Motivasi ini yang mendorong mereka selalu menyebut mu’jam dengan
istilah yang berkaitan dengan samudra atau lautan yang dalam. Misalnya, kamus karya Ibnu
Ubbad (938-995 M.) yang diberinya judul Al-Muhith (samudera), Ibnu Sidah (1007-1066 M.)
memberi judul kamusnya dengan nama al-Muhkam wa al-A’dzam (Lautan dan Samudera
Luas). Demikian juga dengan kedua kamus karya Al-Shaghani (1181-1252 M.) juga diberi
judul al-Ubab (ombak lautan) dan Majma’ al-Bahrain (Pertemuan Dua Lautan),
Hingga akhirnya Al-Fairuzabadi (1329-1415 M.) menyebut kamusnya dengan nama al-
Qomus al-Muhith. (Lautan Samudera yang Dalam). Karya Al-Fairuzabadi ini hingga kini
masih populer sebagai kitab pertama yang mempopulerkan istilah Kamus. al-Qomus al-
Muhith karya Al-Fairuzabadi ini menjadi referensi utama bagi kalangan pelajar dan peneliti
bahasa Arab yang ingin memahami kosakata bahasa Arab. Mereka dapat membedakan antara
makna kata yang shahih dan yang tidak, antara makna kata yang sifatnya qadim (makna lalu)
dan muwallad (makna baru), antara kata yang asli dari bahasa Arab dan kata serapan (dakhil)
dari bahasa asing, dan sebagainya. Fenomena itu menjadikan al-Qomus al-Muhith sebagai
kamus ilmiah paling populer. Kartya al-Fairuzabadi ini berhasil menggeser istilah mu’jam
untuk menyebut kamus menjadi istilah qomus..
Saat ini di dunia hampir semua penyusun kamus bahasa Arab menyebut karya mereka
dengan istilah al-Qomus. Mari sejenak kita kirim al-Fatihah untul al-Fairuzabadi (1329-1415
M.) yang melalui karyanya, al-qomus al-Muhith ilmu leksikografi Bahasa Arab bisa
berkembang dengan pesat.

C. Kriteria Kamus
Apa yang terjadi jika Anda minum air laut? Semakin diminum akan semakin haus.
Begitu juga dengan kamus. Sejalan dengan namanya yang berarti lautan yang dalam,
informasi yang tersaji dalam kamus tak akan pernah cukup. Para pembuat kamus selalu
berusaha untuk memperbaiki kamusnya agar senantiasa mengejar ketertinggalan dari
perkembangan bahasa yang terjadi di tengah masyarakat. Begitu kamus selesai disusun,
muncul pula istilah atau kosakata baru di masyarakat. Dengan demikian tidak pernah ada

12 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


kamus yang lengkap, yang memuat seluruh arti kata yang ada di masyarakat. Yang ada ialah
kamus yang baik, yaitu kamus yang memenuhi syarat atau karakteristik yang layak.
Menurut Syihabuddin dalam Taufiqurrohim (2011) paling tidak ada empat syarat yang
harus dipenuhi senuah kamus agar ia menjadi kamus ideal, kamus yang baik dan memenuhi
kriteria sempurna. Keempat kriteria kamus ideal itu adalah :
1). Kelengkapan
Ada beberapa hal yang semestinya dipenuhi oleh sebuah kamus, yaitu bentuk
fenomis sebuah kata, struktur morfologi kata, aneka perubahan sintaksis yang
mungkin dialami oleh kata itu dan aneka makna yang ditimbulkannya, serta makna-
makna terkandung didalamnya.
Beberapa kriteria kelengkapan kamus yang ideal, paling tidak ia mencangkup
beberapa hal, yaitu : (a) terdapat simbol sederhana yang menerangkan cara pelafalan
kata yang dijadikan lema atau entri, (b) pemakaian definisi yang baik dan mudah, (c)
penyajian kata yang paling dasar, lalu diikuti dengan kata bentuk lainnya, mulai dari
efiksasi yang paling sederhana hingga yang palig kompleks, (d) penyajian ungkapan
dan istilah yang frekuensi Pemakaiannya sangat tinggi, (e) penyajian informasi
kebudayaan dan peradaban, dan (f) penyajian kata pengantar berkenaan dengan
khalayak sasaran kamus, cara pemakaian kamus, dan kaidah-kaidah bahasa yang
paling pokok.
2). Keringkasan
Kamus yang baik, salah satu karakterristiknya adalah yang menfokuskan
pembahasan dan uraiannya kepada hal-hal yang substansial. Informasi yang tersedia
dan tercerai berai hendaknya disusun secara hirarkis mulai dari hal yang universal
hingga yang khusus dan dari informasi primer ke informasi sekunder. Yang
dimaksud informasi primer ialah yang memiliki hubungan erat dan langsung dengan
masalah yang dibahas, sedangkan informasi sekunder adalah kebalikannya.
3). Kecermatan
Kecermatan berkaitan erat dengan masalah objektivitas uraian didalam kamus.
Untuk meraih objektivitas,biasanya kamus yang baik dilengkapi dengan foto,
gambar, ilustrasi dan contoh. Hal ini di pertegas oleh hasil telaah empiris yang
menegaskan bahwa manusia lebih mampu memahami hal-hal yang kongkrit.
Misalnya dengan bantuan gambar dan foto, daripada hal-hal yang abstrak, yang
dijelaskan secara verbalistik.
4). Kemudahan Penjelasan
Kamus yang baik hendaknya menyajikan informasi yang berkaitan erat dengan topik
yang disajikan sebagai lema. Disamping itu, inforemasi hendaknya disuguhkan
secara sederhana sehingga pembaca dapat menangkap makna dengan mudah. Untuk
memudahkan pemahaman, biasanya digunakan sarana penjelas seperti tanda panah,
pemberian warna yang menonjol pada bagian yang penting, penempatan gambar
secara proporsional, dan pemakaian nomor.

13 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


D. Fungsi Kamus
Menurut Taufiqurrohim (2011), dilihat dari aspek fungsional kamus sebagai buku yang
bertujuan menjelaskan makna kosa kata, tugas sebuah kamus harus mencakup beberapa hal
mendasar, yaitu :
1). Menjelaskan Makna Kata (Syarh Al-Makna)
Dalam menjelaskan makna, sebuah kamus harus memperhatikan beberapa hal, yaitu:
 Makna Morfologis (sharaf). Misalnya, kata ‫ ﻏﻓﺮ‬dan ‫ ﺍﺴﺗﻐﻓﺮ‬secara morfologis,
keduanya berbeda wazan antara ‫ ﻓﻌﻞ‬dan ‫ ﺍﺴﺗﻓﻌﻞ‬sehingga perbedaan wazan (bentuk
kata) ini mengakibatkan perubahan makna. Penambahan huruf alif, sin, dan ta’
pada kata ‫ ﺍﺴﺗﻐﻓﺮ‬menunjukkan makna thalab (permohonan). Bila kata ghafara ‫ﻏﻓﺮ‬
berarti ‘’Mengampuni”, makna kata is tagh fa ra ‫ ﺍﺴﺗﻐﻓﺮ‬berarti “memohon
ampunan”. Perbedaan wazan, penambahan huruf dan perbedaan makna
morfologis semacam ini harus diperhatikan dalam penyusunan kamus agar
tercapai penjelasan makna kata secara benar.
 Makna sintaksis (nahwu), yaitu makna gramatikal yang terkait dengan kedudukan
kata dalam kalimat. Misalnya, kedudukan fa’il (subyek), maf”ul (obyek), fi’ïl
mutaadi (kata kerja transitif), fiil lazim (kata kerja intransitif) dan sebagainya.
Semua kedudukan sintaksis ini dapat mempengaruhi makna kata. Untuk itu dalam
menjelaskan makna, sebuah kamus harus memperhartikan fungsi-fungsi sintaksis.
 Koneksitas makna (rabt al- makna), yaitu hubungan antara makna umum dan
makna khusus yang mungkin terdapat dalam sebuah kata. Misalnya, kata ba-ja-sa
(‫ )ﺒﺟﺲ‬berarti “Terbukanya sesuatu sehingga keluat air”, sehingga kata ini sering
diartikan “ memancar keluar, membelah, menyembuh, memaki”. Makna-makna
ini masih bersifat umum (‘aam) yang tergantung pada konteks penggunaan kata.
Inilah yang oleh Ibnu Faris (941-1004 M) disebut dengan Isytiqaq Kabir (High
Derivation). Sedangkan makna khusus dari kata ba-ja-sa (‫ )ﺒﺟﺲ‬hanya untuk
menyebut sesuatu yang pecah hingga mengeluarkan air, seperti dalam firman
Allah SWT dalamn surat Al-a’raf ayat 160 yang artinya:
“Dan mereka kami bagi menjadi duabelas suku yang masing-masingnya
berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta
air kepadanya: ” Pukullah batu itu dengan tongkatmu!”. Maka memancarlah
daripadanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui
tempat minum masing-masing. Dan kami naungkan awan diatas mereka dan
Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. : “Makanlah yang baik-baik
dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu”. Mereka tidak menganiaya
Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.”

 Makna Ganda, yaitu kosakata yang memiliki makna lebih dari satu, seperti : kata
ain (‫ )ﻋﻴﻥ‬bisa berarti mata, mata air, sumber, mata-mata spionis.
 Prioritas Makna, yaitu mendahulukan makna kata atas dasar beberapa aspek,
seperti: sejarah, keumuman, makna hakiki, dan majazi, makna fisik (hissi), makna
abstrak (tajridi).

14 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


 Teknik Menjelaskan Makna, yaitu memiliki cara yang tepat dalam menjelaskan
makna , seperti: membuat definisi kata secara cermat, menyebutkan konteks
penggunaan kata, menyebut antonim dan sinonim, memberi contoh, menambah
gambar dan informasi lain yang berfungsi untuk menjelaskan makna kata.

2). Menjelaskan Artikulasi Kata (Bayan Nutq)


Beberapa bahasa memiliki kaidah yang berbeda antara pengucapan sebuah kata
(artikulasi) dan penulisan (imla’). Bahasa-bahasa seperti Inggris dan Perancis,
memiliki mperbedaan antara tulisan dan ucapan dari suatu kata. Karena itu, seorang
penulis membutuhkan kamus, untuk memastikan bahasa tulis dari kata yang
diucapkan.
Misalnya kata sign (tanda) ditambah dengan huruf ‘n’, kata bought (jual) ditambah
dengan huruf ‘gh’, dan sebagainya. Bahkan beberapa kamus dilengkapi dengan
kaidah fonologi dan cara baca sebuah kata. Misalnya, bedtime [bed’ taim] : waktu
tidur (bahasa Inggris). Sedangkan kata-kata dalam bahasa arab, umumnya memiliki
kesamaan antara bahasa tulis dengan bahasa ucap sehingga dalam hal ini tidak begitu
memerlukan sebuah kamus atau kaidah fonologi untuk membaca kata. Bagi non –
Arab, mungkin hanya membutuhkan syakal (harakat) sebagai tanda baca.
3). Menjelaskan Huruf Hijaiyah (Bayan Hija’)
Telah kita ketahui, bahwa kamus-kamus bahasa Arab tidak harus memerlukan kaidah
fonologi untuk menjelaskan tata cara membaca sebuah kata, sebab antara pengucapan
dan penulisan kata tidak berlainan, kecuali dalam beberapa hal, yaitu :
o Kata yang hurufnya bertambah seperti :‫ ﺍﻭﻟﻭ‬, ‫ﻣﺍﺋﺔ‬
o Kata yang hurufnya berkurang, seperti: ‫ﻫﻨﺍ‬, ‫ﻟﻜﻦ‬
o Kata yang memiliki akhiran huruf Alif sebagai tanda bahwa kata itu pada
mulanya berakhiran huruf Waw, lalu di tulis dengan Alif Mahmudah
(panjang), seperti:‫ ﺮﺑﺎ‬atau ditulis dengan Alif Maqsyurah (pendek), seperti
:‫ﻫﺪﻯ‬
o Kata yang memiliki huruf hamzah di bagian tengah kata, seperti ‫ ﻫﻴﺋﺔ‬b n
4). Mencari Akar Kata (Ta’shil Isytiqaqi)
Sebuah kamus, terkadang, perlu menjelaskan akar dari sebuah kata sebelum ia
mengalami proses derivasi,seperti: kata ‫( ﺳﻴﺋﺔ‬dosa, kejelekan) berakar pada kata
kerja . ‫ ﺳﺍﺀ‬.
Selain penjelasan tentang akar kata, sebuah kamus juga perlu menjelaskan asal
usul kata (etimologi) ; apakah ia termasuk asli dari bahasa arab atau serapan
dari bahasa asing (dakhil), seperti: ‫ﻜﻣﺑﻴﻭﺗﺮ‬ (computer), ‫( ﺗﻟﻓﺍﺰ‬televisi) dan
sebagainya.
5). Memberi Informasi Morfologis dan Sintaksis
Dalam menjelaskan makna kata, sebuah kamus juga perlu memberi informasi
seputar kaidah-kaidah morfologi dan sistaks yang diperlukan pengguna kamus,
di antaranya :
 Penjelasan tentang bentuk-bentuk sharaf (morfologi), seperti : bentuk fiil
madhi, fiil mudhari’, isim fail, dzaraf, isim alat dan sebagainya.
 Penjelasan tentang fiil tsulasi mujarrad, yaitu kata kerja trileterasi yang asli,
yang belum ada penambahan huruf (mazid) dan contoh-contohnya.

15 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


 Penjelasan jenis gender dari sebuah kata. Misalnya, kata ‫( ﺮﺃﺲ‬kepala)
digunakan untuk muzakkar (maskulin), kata ‫( ﺳﺑﻴﻞ‬jalan) dapat digunakan
untuk muzakkar dan muannas (feminim) dan sebagainya.
 Penjelasan tentang jamak taksir (kata benda plural yang tidak beraturan),
seperti : ‫( ﻜﺗﺐ‬buku-buku), ‫( ﺃﻮﻻﺪ‬anak-anak), ‫( ﻤﺴﺍﺟﺪ‬beberapa masjid), dan
sebagainya.
 Penjelasan tentang fiil lazim (kata kerja intransitif yang tidak membutuhkan
maf’ul atau obyek), seperti : ‫( ﻧﺍﻢ‬tidur), atau tentang fiil mutaaddi (kata kerja
transitif yang membutuhkan maf’ul, baik secara langsung maupun dengan
bantuan huruf jar), seperti : ‫( ﺃﻜﻞ‬makan),‫( ﻧﻅﺮ‬melihat), dan sebagainya.
 Penjelasan tentang urgensi ilmu sharaf dan tata cara mencari maupun
memaknai kata. Biasanya, penjelasan ini ditulis secara ringkas di bagian
awal kamus.
6). Memberi Informasi Pengunaan Kata
Salah satu fungsi kamus yang terpenting adalah menjelaskan tentang tingkat
penggunaan sebuah kata yang disesuaikan dengan konteks bahasa dan gaya bahasa
(stailistika). Untuk mejelaskan hal ini, sebuah kamus dapat memperhatikan hal-hal
berikut :
 Qidam dan Hadats (kosakata lama dan kosakata baru); sebuah kamus harus
mempertimbangkan kosakata yang telah mati/tidak dipakai (‫)ﻤﻤﺍﺖ‬, kosakata
yang telah ditinggalkan (‫)ﻤﻬﺟﻮﺮ‬, kosakata kuno/lama (‫)ﻗﺪﻴﻢ‬, kosakata baru
(‫ )ﺣﺪﻴﺙ‬dan kosakata modern (….)
 Syuyu’iyah (tingkat keumuman); seorang penyusun kamus dituntut bias
memilih dan membedakan antara kata yang umum dipakai oleh masyarakat dan
kata yang asing.
 Tsaqafiyah dan Ijtima’iyah (tingkat budaya dan sosial); kamus diupayakan
lebih memilih kosakata yang telah disesuaikan dengan budaya masyarakat dan
strata sosial.
 Takhassus (rumpun bidang kata); hubungan sebuah kata dengan kata yang lain,
tidak bias lepas dari rumpun/bidang kata tertentu. Karena itu, kamus yang baik
terlebih kamus-kamus tematik, harus bisa memilih dan mengklasifikasikan
sebuah kosakata ke dalam rumpun, kelompok dan atau bidang tertentu (field)
secara tepat dan cermat. Misanya: kata kurikulum, metodologi, materi bisa
digolongkan ke bidang pendidikan. Lalu, kata monitor, flash disk,
motherboard, mouse, keyboard bisa diklasifikasikan ke bagian komputer, dan
lain sebagainya.
 Iqlim al-Istikhdam (tingkat penggunaan kosakata berdasarkan letak/daerah);
terkadang sebuah kamus juga dituntut untuk bisa memastikan asal-usul kata
dan tata cara pemakaian kata yang sesuai secara geografis. Biasanya, kamus-
kamus bahasa Arab tempo dulu sering menambah penjelasan tentang letak dan
daerah yang memakai kosakata yang menjadi entri, seperti: bahasa Arab Hijaz,
Irak, Yaman, Damaskus, dan sebagainya.
Untuk kamus-kamus bahasa Arab di era modern, penjelasan semacam ini lebih
sering diabaikan, mengingat hubungan antara bahasa Arab dengan bahasa-bahasa
asing lainnya telah terjadi tadakhul (serapan kata). Akibatnya, performance kamus-

16 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


kamus modern lebih mengedepan kan informasi kata serapan (dakhil) daripada asal-
usul kata.
7). Memberi Informasi Lainnya
Kamus-kamus bahasa, baik dulu maupun sekarang, hampir tidak pernah
meninggalkan informasi lain (mawsu’ah) di luar aspek bahasa. Misalnya, informasi
tentang nama-nama orang atau tokoh, nama tempat, binatang, tumbuhan, peristiwa
bersejarah, fenomena alam, rumus-rumus, table, lambang, motto, gambar, dan
sebagainya. Semakin banyak ragam informasi yang disajikan dalam sebuah kamus
(mu’jam) melebihi bahasan makna kosakata, makna eksistensi kamus bisa berubah
menjadi eksiklopedia (mawsu’ah). Di Indonesia, kita sering mengenalnya dengan
istilah Ensiklopedi, Buku Pintar, dan sebagainya.

E. Klasifikasi Kamus Berdasarkan Tujuan Pembuatan


Sebuah produk selalu dibuat berdasarkan kebutuhan dari penggunanya. Disinilah
produsen selalu melakukan survey atau riset untuk menentukan demand arau permintaan
konsumen. Begitu juga dengan kamus. Tujuan orang membei kamus berkembang dari
masa ke masa, tak hanya semata-mata ingin tahu arti sebuah kata tapi juga ingin mendapat
wawasan yang lebih luas. Kamus-kamus yang ada dapat diklasifikasan berdasarkan tujuan
pembuatannya menjadi kategori2 berikut ini:
1. Berdasarkan Penutur Bahasa Target
Ada kamus yang dibuat untuk para penutur bahasa asli (lughah hadaf).
Misalnya, Kamus Al-Munjid. Kamis al-Munjid ini menerangkan kosakata bahasa
Arab dengan penjelasan bahasa Arab. Penyusunan kamus semacam ini jelas
diperuntukan bagi orang Arab sebagai penutur asli. Sebaliknya ada kamus yang
bertujuan menjelaskan makna kata bagi penutur asing/pemakai Bahasa sasaran
(lughah syarah). Misalnya, kamus Arab-Indonesia berarti kamus ini ditujukan untuk
orang Indonesia sebagai penutur asing. Contohnya adalah Kamus al-Munawir Arab-
Indonesia atau Indonesia-Arab.
2. Berdasarkan Formalitas Bahasa
Dalam setiap Bahasa selalu ada Bahasa yang resmi atau formal dan juga Bahasa
tidak resmi alias non formal. Dalam Bahasa Arab. Bahasa yang resmi disebut Bahasa
Fushah, sedangkan yang tidak resmi disebut Bahasa Amiyah. Disinilah Kamus Fushah
hadir untuk menjelaskan bahasa tulis yang biasa digunakan sebagai bahasa resmi,
bahasa buku dan sebagainya. Lawannya, adalah kamus Kamus Amiyah yang bertujuan
untuk menjelaskan kata-kata atau ungkapan yang bisa digunakan sebagai bahasa
komunikasi verbal. Kamus Fushah sering disebut Kamus Lughah Kitabah, sedangkan
Kamus Amiyah disebut dengan Kamus Lughah Lisan. Dalam perkembangan kamus-
kamus yang Bahasa Arab, jenis kamus fushah lebih banyak bermunculan daripada
bahasa amiyah karena Bahasa Amiyah (lisan) tidak diminati karena perbendaharaan
katanya cepat berubah dan tidak ada standar yang baku. Apalagi bahasa Amiyah dari
satu negara Arab ke negara Arab lainnya berbeda-beda sesuai dengan dialeknya.
Masuk juga dalam klasifikasi ini Kamus Ta’bir yang khusus membahas tentang
ungkapan-ungkapan saja dan juga Kamus Isti’aab yang membahas kalimat dilengkapi

17 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


dengan pedoman tata Bahasa (nahwu, sharaf, dsb) yang mempermudah orang asing
dalam memahami Bahasa yang dipelajari melalui pendekatan tata Bahasa.

3. Berdasarkan Deskripsi Kata


Kebanyakan kamus hanya mendeskripsikan kata-kata dari segi makna saja tapi
ada juga kamus-kamus yang menambahkan deskripsi kata dari segi lainnya. Kamus
yang hanya mendeskripsikan kata dari segi makna ini disebut kamus wasfhi karena
menyuguhkan makna kata secara deskriptif (wasfhy) tanpa ada catatan dan informasi
lain di luar makna kosakata. Kamus washfy disebut juga dengan Kamus Lughah
karena secara spesifik hanya membahas tentang kebahasaan yang meliputi : makna
kosakata, tata Bahasa, struktur marfologis dan sintaksis, contoh-contoh dan
sebagainya. Lain halnya dengan kamus Mausu’ah (ensiklopedia). Karakteristik Kamus
Mausu’ah, ia memuat berbagai macam informasi yang berhubungan dengan kata yang
di bahas dan bukan hanya tentang kebahasaan, seperti : biografi tokoh, kronologi
sejarah, cabang ilmu pengetahuan tapi juga menjelaskan asal usul kata tersebut secara
kronologis. Salah satu congtoh kamus mausu’ah adalah kamus tarikhi yang membahas
asal-usul kronologis sebuah kata. Kamus ta’rikhi biasanya jelas lebih lengkap daripada
kamus washfi.

4. Berdasarkan Ruang Lingkup


Kamus ada yang ruang lingkupnya umum ada juga yang khusus untuk bidang
tertentu. Kamus yang umum disebut juga dengan kamus ‘Aam. Sedangkan kamus khas
adalah kamus untuk kalangan tertentu (khas). Kamus Khas, biasanya diklasifikasikan
pada disiplin bidang ilmu tertentu. Misalnya, kamus kedokteran, kamus biologi, kamus
Jurnalistik, dan sebagainya. Berkembangnya sains dan teknologi membuat para
pembuat kamus terdorong untuk menyusun kamus- kamus yang spesifik membahas
istilah-istilah yanag ada dalam bidang studi keilmuan tertentu
.

F.Kompenen Kamus
Bicara tentang kamus yang bagus, kira-kira apa saja indikatornya? Jumlah katanya
yang milyaran? Gambar-gambar yang menarik? Atau cover yang tebal? Al-Qasimy dalam
Taufiqurrohim (2011) menawarkan beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam sebuah
kamus agar dikatagorikan sebagai kamus yang lengkap.
1). Bagian awal, terdiri dari:
 Mukaddimah / Latar belakang penyusunan kamus
 Petunjuk penggunaan kamus
 Pedoman tata bahasa
 Jumlah materi/kata dalam kamus
 Keterangan singkatan
 sumber yang digunakan
 Makna symbol atau gambar
 Kaidah transliterasi

2). Bagian Utama, terdiri dari:


 Font (khat) yang digunakan

18 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


 Sistem kolom
 Informasi fonetik (ashwat)
 Informasi morfologis (sharaf)
 Informasi sintaksis (nahwu)
 Informasi semantic (dalalah)
 Contoh pemakaian kata
 Dalil atau syawahid (bukti pemaknaan)
 Gambar-gambar
 Informasi derivasi kata
3). Bagian akhir
 Lampiran
 Table
 Peta
 Kronologi sejarah
 Rumus-rumus
 Tentang penyusun

19 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


BAB III
MACAM-MACAM
KAMUS BAHASA ARAB

Sejak awal dikenalnya kamus ratusan tahun yang lalu, kamus sebagai sebuah media
utama dalam belajar telah disusun dalam berbagai macam bentuk dan format sesuai fungsi
dan tujuannya. Bahasa Arab sebagai Bahasa paling dinamis dan berkembang di dunia telah
banyak menghadirkan kamus yang sangat beragam bentuknya. Menurut Taufiqurrohim
(2011:41) secara umum ada beberapa macam kamus bahasa Arab yaitu:
A. Kamus Monolingual (Tunggal Bahasa)
Kamus monolingual ini adalah kamus yang secara khusus membahas lafal atau kata-
kata dari sebuah bahasa dan dilengkapi dengan pemakaian kata tersebut. Karenanya kamus
ini bisa disebut juga dengan kamus lughawi (kamus bahasa) Kamus ini disusun dengan sistem
sistematika penyusunan tertentu untuk mempermudah para pemakai atau pembaca dalam
mencari makna sebuah kata. Kamus ini hanya memuat satu bahasa, sehingga biasanya,
pemaknaan kata hanya menyebut sinonim atau definisi kata tersebut. Misalnya, Kamus Al-
Munjid (Arab-Arab), Kamus Mukhtar Ash-Shihah (Arab-Arab). Kalau dalam Bahasa lain ada
Kamus Oxford (Inggris-Inggris), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Indonesia-Indonesia) dan
lain sebagainya. Bagi para pelajar bahasa asing yang masih pemula kamus ini mungkin agak
kurang membantu karena mereka tidak langsung mendapati arti kata yang mereka cari dalam
bahasa asli mereka. Namun bagi para pelajar bahasa asing tingkat menengah (intermediate),
kamus-kamus ini sangatlah bermanfaat karena isinya yang sangat lengkap dan komprehensif.
Terlebih jika para pelajar tersebut sedang mempelajari Qiraah (Reading). Dengan mencari
kata-kata baru yang belum dia fahami di kamus tersebut, dia secara otomatis akan mengetahui
definisi atau sinonim kata-kata tersebut dalam bahasa yang sama sehingga ia akan terlatih
untuk menerka atau menganalisis makna sebuah kata. Kalau dalam peribahasa kita bisa
mengibaratkan seperti sekali dayung dua tiga pulau terlampaui

Gambar 3.1
Kamus Al-Munjid
dan Oxford

20 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


B. Kamus Bilingual (Dwibahasa)
Kamus bilingual ini disebut juga dengan kamus kamus terjamah yang memadukan dua
Bahasa untuk menentukan titik temu makna dari kosakata. Kamus bilingual memuat kata-kata
asing yang kemudian dijelaskan satu persatu dengan mencari padanan makna yang
disesuaikan dengan bahasa nasional atau bahasa pemakai kamus. Dalam penyusunan kamus
terjemah dibutuhkan skill penyusun yang mumpuni di bidang ilmu terjemah. Selain, itu
penyusun kamus dituntut untuk menguasai dua bahasa (bilingual) secara baik.Pada dasarnya,
kamus jenis ini tergolong kamus yang paling dulu ada. Sebab, bangsa Smith di Irak, pada 3000
SM telah lama mengenal kamus terjemah. Seiring dengan tingginya tingkat komunikasi antar
umat manusia di berbagai belahan dunia yang kian mudah dan mengglobal, maka eksistensi
kamus terjemah pasti akan terus ada dan bahkan bisa berkembang pesat melebihi jenis-jenis
kamus lainnya. Kini, telah muncul kamus-kamus terjemah multilingual yang terdiri dari
beberapa bahasa, bukan hanya dua bahasa (bilingual). Realitas ini menunjukkan tingkat
kebutuhan antar bangsa yang berbeda bahasa untuk memahami bahasa orang lain hingga
terwujud komunikasi yang saling memahami.Di Indonesia kamus bilingual Arab-Indonesia
telah ada sejak sebelum kemerdekaan dalam bentuk kamus Arab-Melayu (mengingat saat itu
bahasa Indonesia masih dianggap sebagai dialek dari bahasa Melayu). Di antara kamus Arab-
Melayu yang sangat populer di Indonesia sebelum munculnya kamus Arab-Indonesia adalah
Kamoes ‘Arab-Melajoe yang dinamai dengan Kitab al-Inârah at-Tahzîbiyyah (fi al-Lugatain
al-‘Arabiyyah wa al-Malâyawiyyah). Kemudian pada tahun 1927 disusunlah kamus Idris al-
Marbawi karya Syekh Mohammad Idris bin Abdur Rauf al-Marbawi. Ia menyusun kamus
tersebut saat sedang menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Mesir. Kamus setebal 785
halaman dengan memuat 18 ribu lema ini disusun dengan sistem akar kata.
Kamus pertama dwibahasa Arab-Indonesia adalah Kamus Arab-Indonesia karangan
Mahmud Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Kamus Mahmud Yunus. Mahmud Yunus
dilahirkan di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, pada 10 Februari 1899. Beliau
merupakan salah seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di Indonesia. Sebelum
menyusun kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus sempat menyusun kamus Arab-Melayu
yang dinamai Kamus al-Zahabi. Kamus itu disusun saat tengah menempuh studi di Al-Azhar
Kairo pada 1930. Sedangkan kamus Arab-Indonesia yang sebenarnya baru disusun pada 1972.
Penyusunan kamus tersebut sebenarnya dilatarbelakangi tuntutan masyarakat, guru-guru dan
para pelajar bahasa Arab di Indonesia hingga akhirnya dibuatlah kamus Arab-Indonesia yang
tidak lagi menggunakan bahasa Melayu. Hampir seluruh pelajar di seluruh Indonesia
mengenal dan menggunakan kamus ini.

Gambar 3.2
Kamus Mahmud Yunus
edisi lama dan baru

21 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Kamus Mahmud Yunus sebagai pelopor kamus dwibahasa Arab Indonesia tentunya
masih sangat sederhana dan perlu penyempurnaan. Oleh karena itulah pada tahun 80-an KH.
Ahmad Warson Al-Munawwir dari Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
berhasil menyusun Kamus AlMunawwir. Awalnya kamus Al-Munawwir ini hanya tersedia
dalam versi Arab-Indonesia. Namun karena tingginya minat dan permintaan masyarakat
akhirnhya diterbitkanlah lah versi Indonesia-Arab beberapa tahun yang lalu. Kamus Al-
Munawwir ini sampai sekarang masih dianggap sebagai kamus dwibahasa Arab-Indonesia
yang paling lengkap dan paling terkenal di Indonesia.

Gambar 3.3
Kamus Al-Munawwir

C. Kamus Tematik (Maudhu’i)


Disebut juga kamus maknawi, karena kata-kata yang terhimpun di dalam kamus disusun
secara tematik berdasarkan topik-topik tertentu yang memiliki makna sebidang. Misalnya,
untuk tema lawn (warna) dimasukkan kata ahmar (merah), azraq (biru), abyadh (putih), dan
seterusnya. Untuk kamus tematik, penyusun mengklasifikasikan kata-kata yang memiliki
makna serumpun ke dalam tema-tema tertentu. Karena itu, kamus terjemah juga disebut
kamus maknawi sebab eksistensi sebuah kosakata terklasifikasi berdasarkan makna. Atas
dasar ini, maka bagi para pemakai kamus tematik yang ingin mencari makna sebuah kata, ia
harus memiliki kemampuan menganalisa kata yang sedang dicari tersebut masuk ke bagian
tema yang mana. Selain itu, ia harus lebih dahulu daftar isi tema yang tercantum dalam kamus
tematik/maknawi.
Kamus tematik bahasa Arab versi kuno, antara lain : Kamus Al-Mukhassash karya Ali
bin Ismail (1007-1066 M) dari Andalus yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Sidah. Dalam
kamusnya yang berjumlah 17 jilid itu, Ibnu Sidah menyusun kata-kata secara sistematik tidak
mengikuti aturan Alfabet, tapi berdasarkan makna. Ibnu Sidah membaginya menjadi 19 tema
atau bab. Kamus tematik lainnya yang tergolong lama adalah karya Al-Hamzani berjudul
Kitab Al-Alfadz Al-Kitabiyyah yang memuat ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang sering
dipakai, lalu ungkapan itu diklasifikasikan sesuai situasi dan kondisi. Al-Hamzani juga
memberikan contoh-contoh penggunaan kata atau ungkapan sehingga memudahkan para

22 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


pembaca kamus dalam mempraktekkan dan memahami sebuah kalimat dalam bahasa Arab.
Di Indonesia, beberapa kamus-kamus terjemah (Indonesia-Arab, Arab-Indonesia) juga ada
yang didesain secara tematik, sehingga kamus semacam ini bisa juga disebut kamus tematik.
Antara lain Kamus Populer Arab-Indonesia yang disusun oleh Keluarga Mahasiswa Nahdlatul
Ulama (KMNU) Mesir dan Kamus Bahasa Dunia Islam karya Hasan Baharun terbitan Darus
Segaf, Surabaya.

Gambar 3.4
Kamus Dahasa Dunia Islam

D. Kamus Etimologis (Isytiqaqi)


Perkembangan peradaban dunia dari masa ke masa membuat hubungan antar bangsa
yang berbeda bahasa tak bisa dihindarkan. Antara satu bahasa dengan bahasa lainnya saling
mempengaruhi satu sama lain, sehingga tak bisa dipungkiri banyak sekali kosa kata dari suatu
bahasa merupakan kata serapan dari bahasa lain. Disinilah kamus yang disebut juga dengan
kamus derivatif ini berfungsi sebagai kamus yang membahas asal-usul sebuah kata.
Misalnya, seseorang yang ingin mengetahui asal-usul kata dewan dalam bahasa Indonesia,
ia perlu kamus derivatif. Apakah kata diwan berasal dari bahasa Arab atau dari bahasa lain ?
Sebab, kata diwan juga ditemukan dalam bahasa Arab yang berarti ‘buku kumpulan syair,
mahkamah, pengadilan, kantor, sofa, dipan’.Kamus etimologis ini umumnya berupa kamus
online atau perangkat lunak (software se) seperti ’’ Poliglot 3000” yang bisa melacak kata-
kata yang sama dari berbagai bahasa sehingga bisa ditemukan titik temu asal muasal kata
tersebut. Selain itu bisa juga dilacak dalam berbagai jenis kamus, sekalipun bukan khusus
kamus etimologis.

Gambar 3.5
Tampilan layar aplikasi
Polyglot 300

23 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


E. Kamus Spesialis (Takhashshushi)
Kamus spesialis ini juga bisa disebut dengan kamus tematik. Hal ini dikarenakan kamus
ini hanya menghimpun kata-kata yang ada dalam satu bidang tertentu.. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan sains di zaman keemasan Islam di abad pertengahan mendorong para
leksikolog untuk membuat beragam kamus yang memuat kata-kata khusus di bidangbidang
tertentu. Contoh kamus spesialis pada zaman daulu adalah kamus At-Tadzkirah yang di tulis
oleh Dawud Al-Anthaqi al-Dharir. Kamus ini memuat kata-kata yang khusus berhubungan
dengan nama-nama tumbuhan dan serangga. Contoh lainnya, kamus Hayatul Hayawan Al-
Kubra (kehidupan binatang) karya Ad-Damiri (1341-1405 M). Kamus sebanyak dua jilid ini
memuat kumpulan kata yang khusus membahas tentang nama-nama binatang ternak, burung,
serangga, dan sebagainya.
Di zaman modern ini kamus tematik juga semakin banyak diminati. Hal ini karena
perkembangan sains dan teknologi di dunia yang sangat cepat, tak terkecuali di Negara-
Negara Arab semakin maju dimana bahasa Arab. Para leksikolog dituntut untuk mampu
mengakomodasi istilah –istilah baru dalam berbagai bidang. Seperti ekonomi, hokum, politik,
komunikasi, pertanian, statistika, pendidikan, psikologi dan sebagainya.

Gambar 3.6
Contoh Kamus Tematik dalam bidang Ekonomi dan Hukum

F. Kamus Visual
Gambar atau ilustrasi merupakan hal yang sangat membantu dalam dunia leksikografi.
Ilustrasi adalah sebuah citra yang dibentuk untuk memperjelas sebuah informasi dengan
memberi representasi secara visual. Esensi dari ilustrasi adalah pemikiran; ide dan konsep
yang melandasi apa yang ingin dikomunikasikan gambar.. Sejak zaman pra sejarah, manusia
telah menggunakan gambar atau ilustrasi untuk menjelaskan pikirannya. Jejak awal ilustrasi
bisa terlihat dari catatan visual di gua, manuskrip abad pertengahan sampai buku-buku dan
koran diabad ke 15-18. Kaitannya dengan leksikografi, ilustrasi berfungsi sebagai penjelas
atau pendamping sebuah kamus.

24 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya hadirlah kamus visual atau kamus
bergambar sebagai kamus yang lebih menonjolkan gambar-gambar dari kata yang dimaksud
daripada definisi yang mendalam tentang kata tersebut. Sebuah gambar, memang terbilang
efektif dalam menjelaskan definisi atau pengertian sebuah kata. Penggunaan lambing-
lambang (baca-gambar) dalam sebuah kamus termasuk hasil inovasi baru di bidang
leksikografi. Dalam perkembangan kamus-kamus berbahasa Arab, penggunaan gambar
dalam menjelaskan makna kosakata, telah dimulai sejak munculnya kamus Al-Munjid pada
tahun 1908. Di dalam kamus Al-Munjid ditemukan banyak sekali gambar atau ilustrasi dalam
menjelaskan beberapa tema tertentu seperti anggota tubuh, bangunan bangunan bersejarah,
buah buahan, tokoh-tokoh dunia, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, beberapa kamus terjemah Arab Indonesia atau Indonesia-Arab, juga
telah dilengkapi dengan gambar yang berfungsi mempermudah pengguna kamus dalam
memahami makna dengan melihat acuan secara langsung, sebab gambar telah dianggap
efektif dalam menjelaskan makna, terutama bagi non-arab. Salah satunya, kamus yang disusun
Prof.Dr H, Mahmud Yunus. Sebuah kamus terjemah yang telah populer di kalangan pelajar
dimana pada bagian depan kamus telah dilengkapi gambar-gambar yang diklasifikasikan
secara tematis.
Di dunia pendidikan untuk anak-anak, banyak dijumpai kamus-kamus visual atau
media gambar yang berfungsi untuk menjelaskan makna kata. Ada yang berupa lembaran
kertas, buku bergambar, alat peraga dan sebagainya.. Apalagi dalam ilmu pendidikan para
ilmuwan menyatakan bahwa setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda-beda,
diantaranya ada yang auditory (suka mendengarkan), visual (suka mengamati), dan ada juga
yang kinestetik (suka bergerak). Faktanya, terungkap bahwa kebanayakn anak-anak memilki
gaya belajarnya visual sehingga mereka sangat senang belajar dengan menggunakan gambar-
gambar. Hal ini membuat para penyusun kamus mulai berlomba-lomba membuat kamus yang
semenarik mungkin dengan warna dan gambar-gambar yang lucu dan menarik sehingga
menarik minat anak-anak untuk membacanya.

Gambar 3.7
Contoh Kamus Visual

25 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


G. Kamus Digital
Perkembangan teknologi informasi telah berhasil menghadirkan kamus digital, yaitu
perangkat lunak computer (software) yang memuat program terjemah atau kamus bahasa yang
bisa dijalankan melalui media elektronik seperti computer, hanphone, PDA, dan perangkat
lainnya. Sofware kamus digital dinilai lebih praktis dan mudah di jalankan oleh pengguna
kamus, apalagi muatan entri atau kosakata yang jumlahnya sangat komprehensif.
Untuk menggunakan kamus ini kita hanya perlu mendownload di Playstore atau website
penyedia aplikasi lainnya. Setelah didownload dan diinstall barulah kamus tersebut bisa
digunakan kapanpun dan dimanapun tanpa harus terhubung dengan jaringan internet.
Beberapa software kamus Bahasa Arab yang telah populer antara lain :
a. Al-Mawrid Al-Qareeb (Arab-Inggris, Inggris-Arab) ; yang selain mudah digunakan,
ukuran software ini hanya 40 MB.
b. Kamus Mufid 1.0 (Indonesia-Arab, Arab-Indonesia); software kamus gratisan
(freeware) bias didownload di http://download.com dan ukurannya hanya 865kb
c. Kamus Golden Al-Wafi Arabic Translator (Arab-Inggris, Inggris-Arab), sebuah
software terjemahan yang terbilang cukup lengkap, disertai berbagai fitur menarik
seperti : Free Internet Update, English Spelling Checker, dan spesifikasi kosakata
secara tematik di bidang kedokteran, biologi, fisika, matematika, tehnik dan geologi.
Golden Al-Wafi Translator diproduksi ATA Sofware Technology dan bisa di
download di alamat http://www.atasoft.com :

Gambar 3.8
Tampilan layar kamus al-Mufid

H. Kamus On-Line
Berbeda dengan kamus digital yang bisa diakses secara offline, kini juga tersedia
kamus Online, yaotu program kamus secara yang bisa diakses melalui internet. Para netter
sering memanfaatkan jasa terjemahan kamus on-line pada saat browsing ke situs-situs di
internet. Salah satu kamus on-line yang populer adalah Google Translate yang menyediakan
jasa penerjemahan lebih dari 90 bahasa asing, termasuk Bahasa arab. Kelebihan dari Google

26 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Translate ini adalah entri kata nya yang semakin berkembang karena selalu diupdate secara
berkala oleh pihak Google. Kekurangannya adalah kamus online Google Translate ini
biasanya hanya akurat ketika menerjemahkan kata per kata saja, namun masih belum
sempurna bila menerjemahkan kalimat atau paragraph. Seringkali terasa janggal dan kurang
tepat. Selain itu Google Translate ini juga sangat bergantung pada jaringan internet. Apabila
jaringan internetnya lambat maka akan menyulitkan proses penerjemahan.

Gambar 3.2
Tampilan layar Google Translate

27 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


BAB IV:
SISTEMATIKA
PENYUSUNAN KAMUS

Sebagiamana yang telah kami jelaskan di bab sebelumnya, kamus disusun berdasarkan
kebutuhan dari para penggunanya. Kebutuhan yang berbeda beda melahrikan model kamus
yang berbeda-beda. Model kamus yang berbeda-beda menggunakan sistematika penyusunan
yang berbeda pula. Dalam bab ini kami akan menjelaskan beberapa sistematika penyusunan
kamus yang paling utama. Menurut Taufiqurrohim (2011:45) ada beberapa jenis sistematika
yaitu:

A. Sistem Tematik (Ma’ani)


1). Latar Belakang Sistem Tematik
Munculnya kamus-kamus sistem tematik (ma’ani) dilatar belakangi oleh teknik
pencarian makna kosakata dengan metode sima'i, yaitu para leksikolog langsung turun ke
lapangan atau ke pedalaman Arab Badui untuk mendengar dialog dan bahasa mereka.
Setelah itu, mereka mencatat apapun temuan mereka tanpa mengenal sistematika
pembukuan yang terogranisir. Para leksikolog hanya mengklasifikasikan kosakata
berdasarkan teori al-Huqul al-Dalaliyah. Sistem tematik ini berupaya mengklasifikasikan
kumpulan makna atau kosakata yang bisa dimasukkan ke dalam suatu bidang/tema yang
berdekatan maknanya.
Kamus-kamus tematik klasik berbahasa Arab, antara lain: al-Gharib karya Abu
Ubaid al-Qasim bin Salam (150-244), Al-Alfadz AL-Kitabiyyah karya Abdurrahman AL-
Hamdzani (w. 320) Mutakhayyir al-Alfadz karya Ibnu Faris (w. 395 H.), Fiqh al-Lughnh
Sir al-'Arabiyyah karya Abu Mansyur al-Tsa'labi (w. 429), Al-Mukhashshah fi al-Lughah
karya Ibnu Sidah (398-458 H.) dan Kifayah al-Mutahaffidz karya Ibnu AL-Ajdani (w.600
H).

2). Asas Sistem Tematik


Kamus Sistem Makna (Kamus Ma'ani) adalah sistem penyusunan kosakata (item) di
dalam kamus yang digunakan seorang leksikolog dengan cara menata kata/entri kamus
secara berurutan berdasarkan makna atau kelompok kosaknta yang maknanya sebidang
(temntik). Dengan kata lain, pengelompokan entri pada kamus-kamus ma'ani lebih
mengedepankan aspek makna yang terkait dengan topik/tema yang telah ditetapkan Oleh
leksikolog. Misalnya, kata kurikulum, materi ajar, buku, sistem, kuliah, semua entri
tersebut dimasukkan ke dalam tema/topik tarbiyah (pendidikan). Kata monitor, mouse.
laptop. keyboard, dimasukkan ke tema komputer (Teknologi), dan sebagainya. Dengan
sistematika ini. maka kamus ma'ani lebih tepat disebut dengan tematik.

3). Contoh- contoh Kamus Sistem Tematik


Berikut ini beberapa kamus ma'ani bahasa Arab terkenal berserta rincian klasifikasi
bidang makna yang termaktub di dalamnya.
 Kamus Al-Gharib al –Mushannaf,
Kamus karya Abu Ubaid (w. 224 H) ini dinilai sebagai kamus pertama yang
menggunakan sistem ma'ani dimana semua kosakata (entri) telah diklasifikasikan ke
dalam bidang makna tertentu. Dalam menyusun kamus ini, Abu Ubaid memerlukan

28 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


waktu selama 40 tahun. Setiap bidang makna (tema) dinamakan 'kitab' sebagai
subjudul kamus. Ada 11 tema yang di dalam kamus ini, yaitu:
- Penciptaan manusia
- Pakaian
- Makanan
- Nama-nama penyakit
- Senjata
- Perabot rumahtangga
- Pohon dan tumbuhan
 Kamus Al Munajjad
Kamus Al-Munajjad disusun Oleh Kurra' Al-Nami (w. 310 H) dengan cara terlebih
dahulu mencari kata-kata yang memiliki hubungan polisemi dan sinonim, semua entri
dikelompokkan sesuai terna/bidang tertentu. Kurra' hanya membagi bidang makna
datam 6 (enam) tema, yaitu:
- Anggota Tubuh
- Hewan
- Burung
- Senjata
- Benda Langit
- Bumi
 Kamus Mabadi' AL-Lughah
Penyusun kamus ini adalah Al-Iskafi. Bidang tema dalam kamus ini tergolong lebih
simpel, karena hanya memakai empat bidang, yaitu:
- Alam semesta
- Benda-benda sekitar kita
- Hewan
- Tumbuhan
 Al -Mukhassash
Kamus karya Ibnu Sydah (w. 458) ini termasuk kamus ma'ani bahasa Arab terbesar
yang terbagi dalam 17 tema. Namun. Karim Hassanuddin meringkasnya menjadi lima
bidang, yaitu:
- Manusia: sifatnya, bentuknya, penyakitnya, kegiatannya
- Hewan: binatang ternak, binatang peliharaan
- Benda langit: bintang, bulan, dsb
- Benda bumi: pohon, gunung, buah
- Benda sekitar kita: Perabotan, pakaian, makanan, rumah

B. Sistem Fonetik (Nizham al-Shauty)


1). Latar belakang Sistem fonetik
Nidzam Al-Shauti (sistem fonetik) merupakan sistem penyusunan kamus pertama
yang diperkenalkan Oleh Khalil bin Ahmad Al- Farahidy. Khalil menyusun kata-kata yang
berhasil ia dengan cara mengatur urutan kata-kata secara tertib berdasarkan urutan huruf
yang muncul makhnrij al-huruf atau tempat keluarnya huruf hijaiyah menurut sistem
fonetik dalam ilmu fonologi yang kemudian lebih dikenal dengan istilah nizham al-shauty.
Faktor yang melatarbelakangi Khalil bin Ahmad al-Farahidy menyusun kamus dengan
sistem ini adalah (I) menghindari pengulangan kata datam kamus, (2) mencakup semua
materi/kata, (3) memudahkan pembaca dalam mencari makna kata, dan (4) tidak ingin

29 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


meniru sistem urutan huruf al-Hijai (alfabetis) dan obsesinya melahirkan kamus bahasa
Arab yang beda dengan kamus•karnus bahasa lainnya.
Khalil memang sosok linguist yang kreatif dan memiliki obsesi besar untuk
melahirkan kamus khas Arab. Madzhab Khalil, begitu nama lain sistem fonetik ini dikenal,
memang berbeda dengan sistem urutan huruf Hijaiyah yang diperkenalkan oleh Nasr bin
'Ashim, sebab Khalil menganggap urutan huruf-huruf Hijaiyah lebih mengedepankan
keserupaan tulisan huruf (taraduf) saja. Misalnya, huruf Ba•, Ta Tsa'. lalu Jim, Ka, Kha,
dan seterusnya, hanya sekumpulan simbol yang sama persis dengan hanya penambahan
titik di bawah atau di atas huruf. Padahal bunyi huruf-huruf yang tulisannnya mirip tersebut
berbeda sekali. Bagi Khalil, sebuah huruf hanya merupakan symbol dari suara. dan suara
adalah karakter dasar dari sebuah bahasa. Pola pikir di atas yang mendorong Khalil
menyusun kamus lafal berdasarkan suara huruf yang keluar dari makhraj-nya. Karenanya,
ia menolak munculnya kamus-kamus bahasa yang hanya memuat kumpulan makna kata
yang berdasarkan urutan huruf hijaiyah ala Nasr bin ' Ashim. Khalil menginginkan
eksistensi kamus bahasa Arab harus terbit dengan karakteristik yang berbeda dengan
kamus-kamus bahasa asing lainnya.

2). Asas-Asas kamus Sistem fonetik


a. Asas Tartib al-Hu ruf
Sistematika urutan huruf dalam kamus-kamus alfadz yang memakai sistem
fonetik adalah berpedoman pada urutan huruf yang keluar dari mnkharij al-huruf (output
suara) sejak dari suara tenggorokan (halqiyah) hingga huruf-huruf yang keluar dari
kedua bibir (syafatain) dan diakhiri dengan huruf-huruf mad (vokal panjang). Karena
itu, kamus fonetik karya Khalil dinamakan dengan kamus Al- 'Ain, sebab susunan huruf
di kamus tersebut dimulai huruf ‫ ﻉ‬sebagai huruf yang keluar dari tenggorokan tengah,
makhraj pertama dalam sistem bunyi/ilmu fonetik. Dalam kajian ilmu tajwid atau ilmu
fonetik, urutan huruf berdasarkan makharij al-huruf tergambar sebagai berikut.
- Tenggorokan (halqiyah) :
- Anak lidah (lahawiyah) : ‫ﻕ ﻙ‬
- Lidah bagian tengah (syajariyah) : ‫ﺾﺵﺝ‬
- Lidah bagian depan (asaliyah) : ‫ﺺ ﺲ ﺯ‬
- Kulit ujung langit—langit (nath 'iyah) : ‫ﻄ ﺪ ﺕ‬
- Gusi (litsawiyah) : ‫ﻆ ﺫ ﺙ‬
- Ujung lidah (dzalqiyah) : ‫ﺮ ﻞ ﻦ ﻒ ﺐ ﻢ‬
- huruf dari jalur pernafasan (hawaiyah) : ‫ﻭﺍﻱ‬

Khalil, tidak dimulai dari huruf hamzah sekalipun hamzah berasal dari makhraj
huruf pertama (tenggorokan bawah). Khalil berargumen, bahwa huruf hamznh
dianggap sebagai huruf yang inkonsisten/tidak menetap (ghairu tsabat). Dalam ilmu
morfologi (ilmu sharaf), huruf hamzah' terkadang bisa menetap, berubah atau bahkan
hilang. Setiap kata di dalam kamus bersistem fonetik, diletakkan secara berkelompok
di bagian huruf yang paling awal/bawah dalam urutan makharijul-huruf, tanpa melihat
letak huruf dalam sebuah kata. Misalnya:

30 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


 Kata (‫ )ﻟﻌﺐ‬diletakkan pada bagian huruf ‘ain, sebab 'ain adalah huruf paling
awal/bawah dibanding lam atau ba', sekalipun dalam kata tersebut ain berada
setelah lam
 Kata (‫ )ﺮﺰﻖ‬berada pada kumpulan huruf qaf, bukan pada huruf ra' atau za',
sekalipun dalam kata huruf qaf terletak di bagian akhir kata. Hal ini karena
berdasarkan urutan makharjul-huruf, huruf qaf terletak lebih bawah sebab ia
keluar dari anak lidah (lahawiyah). Jadi, ia lebih dulu keluar daripada huruf ra'
(ujung lidah/ dzalqiyah) atau za' (lidah bagian depan/asaliyah).
b. Asas Taqsim al-Bina’
Dalam kamus fonetik seperti Al-‘Ain, kata-kata yang telah tersusun berdasarkan
urutan makharij al-huruj, diklasifikasikan lagi berdasarkan struktur kata (bina") yang
dibedakan menjadi beberapa bab sebagai berikut:
 Bab Tsunai Shahih, yaitu kata yang terdiri dari dua huruf asli yang shahih (tidak
ada huruf illat). Misalnya, pada bab huruf kha' dan qaf, maka di dalamnya
meliputi ‫ﺧﻖ‬, ‫ﺍﻷﺧﻗﻮﻖ‬
o Bab Tsulasti Shahih, yaitu kata yang terdiri dari tiga huruf asli yang shahih
(tidak ada huruf illat) dan tidak ada huruf tambahan (zaidah). Misalnya, Bab
huruf ain – ha’- qaf., maka di dalamnya meliputi: ‫ ﻫﻘﻊ‬dan ‫ﻋﻬﻖ‬
o Bab Tsulasti Mu'tal, yaitu kata yang terdiri dari tiga huruf yang mengandung
huruf illat (alif, waw,ya) Misalnya, di dalam Bab kha'— tha ' — huruf illat
meliputi: ‫ﺧﻄﻲ ﺧﻳﻄ ﺧﻄﺃ ﺧﻄﻮ‬
o Bab Lafif, yaitu kata yang di dalamnya terdapat dua huruf illat (alif, ya
misalnya). Bab lafif dari huruf qaf meliputi: ‫ﻗﻮﻱ ﻮﻗﻲ ﻮﺍﻖ‬
- Bab Ruba 'i, yaitu kata yang terdiri dari empat huruf asli dan di dalamnya tidak
ada huruf illat. Misalnya, bab ruba'i dari huruf jim meliputi: ‫ﺟﻟﻬﻖ ﺠﻮﺳﻖ‬
- Bab Khumasi, yaitu kata yang terdiri dari lima huruf asli dan di dalarnnya tidak
ada huruf illat. Misalnya, Ba bkhumasi dari huruf jim meliputi ‫ﺟﺮﻧﻔﺶ ﺳﻓﺮﺠﻞ‬
c. Asas Taqlib al-Kalimah
Dalam kamus fonetik seperti Al-‘Ain, kata-kata yang telah tersusun berdasarkan
urutan makharij dan telah diklasifikasikan berdasarkan struktur kata kemudian dibolak-
balik (taqlib) hingga menjadi beberapa bentuk bentuk kata yang berbeda. Adanya asas
taqlib al-kalimah bertujuan untuk menghindari pengulangan kata pada bab yang lain.
Semua aneka bentuk kata yang dihasilkan dari proses taqlib (bolak-balik) diletakkan
dalam satu bab. Contoh asas taqlib al-kalimat adalah kata ‫ﻋﻟﺐ ﻋﺑﻞ ﺑﻟﻊ ﻟﺑﻊ ﻟﻌﺐ‬
Semua kata hasil taqlib itu dimasukkan ke dalam bab huruf 'ain, sebab makhraj
dari huruf ain lebih bawah atau lebih dulu daripada dua huruf lainnya, yaitu huruf lam
dan ba’. Keenam kata hasil taqlib ini lalu ditempatkan pada Bab Tsulatsi Shahih di
bagian materi ‫ ﻋﻟﺐ‬sesuai dengan asas taqsim al-bina' (struktur kata). Jadi. asas taqlib al-
kalimat ini berfungsi sebagai teknik manual yang digunakan Khalil untuk mengevaluasi
perubahan posisi huruf dalam kata untuk menyaring sejumlah kata yang memiliki
keterkaitan bina' (struktur kata).
Proses ini sebenarnya cukup melelahkan, namun Khalil tetap melakukannya demi
menghindari terjadinya pengulangan kata pada bab atau materi yang lain. Sekalipun
semua huruf dalam kata-kata bahasa Arab bisa dibolak-balik (taqlib), namun yang perlu
diingat bahwa tidak semua kata hasil taqlib memiliki makna yang dipakai masyarakat
sehingga kata yang tidak dipakai atau tidak memiliki makna, tidak dimasukkan ke dalam
kamus.

31 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Karena itu, ada kata yang musta’ma dan muhmal. Kata musta 'mal adalah kata
yang rnemiliki makna dan dipakai oleh bangsa Arab untuk menyebut sesuatu. Kata yang
musta'mal layak dimasukkan ke dalam kamus. Sedangkan kata muhmal adalah kata
yang tidak memiliki makna atau tidak signifikan penggunaannya oleh orang Arab,
sekalipun struktur kata-nya ada karena terbentuk dari proses taqlib. Misalnya, pada bab
sin—ta '—nun, hanya terdiri dari 2 (dua) kata musta'mal, yaitu: ‫( ﺳﺗﻦ‬lari) dan ‫ﺳﻧﺖ‬
(menimpa). Sedangkan keempat kata lainnya dianggap kata muhmal yang tak
bermakna, yaitu: ‫ﺘﻧﺲ ﻧﺴﺖ ﺘﺴﻦ‬
3). Teknik pencarian makna kata pada kamus sistem fonetik
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mencari makna kata di kamus-kamus
fonetik seperti Mu 'jam Al- 'Ain, adalah sebagai berikut:
a. Tentukan huruf asli (akar kata) dari kata yang hendak dicari maknanya. Misalnya,
kata ‫( ﺍﺳﺗﻐﻓﺍﺮ‬permintaan ampunan), kata ini berasal dari akar kata ‫ﻏﻓﺮ‬
(mengampuni). Tentukan huruf yang memiliki makhraj paling bawah dari ketiga
huruf (ghain-fa’-ra') dalam kata tersebut. Di antara ketiganya, diketahui bahwa
huruf ghain keluar dari tenggorokan atas (halqiyah) sehingga ghain berada lebih
bawah/ lebih dulu dari pada fa’ dan disusul huruf ra, baru kemudian huruf h' (ujung
lidah). Jadi, kata‫ ﻏﻓﺮ‬dapat ditemukan pada bagian huruf ghain, bab ghain-ra’-fa’
b. Tentukan bentuk kata, apakah ia termasuk kata tsunai (2 huruf), tsulatsi shahih (3
huruf tanpa huruf illat dan huruf zaidah), tsulatsi mu'tal (3 huruf mengandung
huruf illat), lafif (terdiri 2 huruf illat), rubai (4 huruf) atau khumasi (lima huruf).
Kata ‫ ﻏﻓﺮ‬adalah kata yang termasuk kategori tsulatsi shahih (3 huruf tanpa huruf
illat dan huruf zaidah). Jadi, dalam kamus fonetik semisal Mu'jam Al-'Ain kata
‫ﻏﻓﺮ‬bisa ditemukan pada bagian huruf ghain, bab ghain-ra’-fa’. Pada bagian ini,
bisa ditemukan juga hasil taqlib yang terdiri dari beberapa kata, yaitu:
‫ﻓﻐﺮﻏﻓﺮ ﻓﺮﻍ ﻏﺮﻑ‬

4). Kelebihan dan kekurangan sistem fonetik


Keberadaan Sistem fonetik, yang digunakan kamus-kamus bahasa Arab periode
pertama yang lahir di akhir abad ke-2 hiiriyah dalam penyusunan kosakata, merupakan
nilai lebih (selling point) dari inovasi besar yang ditorehkan Khalil, sebagai Bapak
Leksikografi Bahasa Arab. Urutan huruf yang khas berdasarkan makhraj amat
membantu seseorang yang berusaha mencari makna kata secara langsung melalui
observasi lapangan ke dusun-dusun di bagian jazirah Arab yang saat itu dilakukan Khalil
tanpa kenal lelah. Selain itu, asas taqlibul-kalimah yang digunakannya sebagai tolak
matematis, secara statistik, dapat membuahkan derivasi kata yang lebih banyak dalam
kosakata bahasa Arab. Sekalipun, ada kata yang musta'mal (dipakai) dan yang muhmal
(diabaikan).
Sistem fonetik dalam kamus bahasa Arab mampu merubah pola penyusunan kata
yang saat itu masih tematik karena bidang studi ilmu yang masih terbatas dan
berdasarkan kemauan atau temuan sang peneliti atau penyusun kamus, sehingga sistem
fonetik dinilai bisa menjamin tingkat obyektifitas penyusun kamus dalam menata
kosakata yang ditemukannya. Kamus Fonetik adalah sebuah kamus yang lahir
bersamaan dengan besarnya motivasi umat Islam dalam mengkodifikasi bahasa mereka
sebagai alat bantu untuk menafsirkan AL-Qur'an, sehingga tidak berlebihan, jikalaau
Khalil memilih kaidah tajwid —makharijul huruf— sebagai dasar penyusunan alfabetis

32 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


khas ala Khalil. Mengingat, ilmu qiraat adalah ilmu metodologis pertama yang
berkembang di kalangan umat Islam sebelum ilmu-ilmu lainnya.
Oleh sebab itu, karya Khalil banyak diterima di kalangan para mufassir. Kamus
Ain yang menggunakan sistem fonetik, ternyatamenjadi landasan bagi generasi setelah
Khalil dalam menyusun kamus-kamus bahasa Arab. Buktinya, beberapa kamus
langsung bermunculan dengan memakai sistematika fonetis. Bahkan, Sistem fonetik
dianggap sebagai sistem baku dalam penyusunan kamus- kamus berbahasa Arab di awai
abad ke-2 hijriyah.
Walaupun, kamus- kamus fonetik yang bermunculan setelah Kamus Al- 'Ain
memiliki beberapa perbedaan dan penambahan asas. Namun pada dasarnya, karya-karya
pasca Al-'Ain masih berpedoman dengan sistem fonetik yang diperkenalkan Khalil.
Misalnya. Kamus Al-Bari ' karya Abu Ali Al-Qaly (280-356) Kamus Tahdzibul-Lughah
karya Abu Mansyur Al-Azhari (282-370) Kamus Al-Muhith karya Ash-Shahib bin
Ubbad (324-385 H.) dan Kamus Mukhtashnr Al- 'Ain karya Abu Bakar Az-Zubaidy (w.
379 H).
Para pakar juga tidak sedikit yang melontarkan kritik terhadap karya Khalil.
Akhirnya, terbit beberapa kitab yang bertujuan untuk menyempurnakan karya Khalil.
Misalnya, kitab al- Istidrak fi al-'Ain (menambal sisi kekurangan dalam kamus Al-' Ain)
karya As-Sadusi (w. 810 H.) dan kitab Takmiliah (penyempurna) karya Al-Khazaranji
Al-Basyti (w. 959 H). Selain itu, ada pula kitab-kitab yang sengaja mengkritik dan
menyebutkan sisi lemah kamus Al-' Ain. Misalnya, kitab Istidrak Al-Ghalath Al-Waqi'
fi Al-'Ain (menampakkan kesalahan yang ada di dalam kamus Al-'Ain) karya Abu Bakar
Al-Zubaidi (928-989 H.) dan kitab Ghalath Al-'Ain (kesalahan kamus Al-'Ain) karya
Al-Khatib Al-Iskafi (w. 1029)
Sementara itu, beberapa pakar bahasa juga ada yang membela Khalil. Mereka
menyusun kitab-kitab yang berusaha menjawab gugatan dan kekurangan yang
dilayangkan pada kitab Al-Ain. Misalnya, kitab At-Taunssuth (penengah) karya Ibnu
Duraid (838- 933 H), kitab AL-Rad illa AL-Mufaddhal tiawaban atas tuduhan yang
berlebihan) karya Nathwih (858—930 H.), kitab Al-Instishar li Al-Khalil (membela
Khalil) karya Al-Zubaidy (929-989). Kekurangan mendasar dari kamus-kamus
bersistem fonetik adalah adanya kesulitan bagi pemakai kamus dalam mencari letak
kata. sebab urutan huruf hijaiyah yang didasarkan pada makharij al-huruf belum
populer, terutama di kalangan non-Arab.
Lain halnya dengan Sistem Alfaba'i yang hingga kini telah dikenal luas, bahkan
Oleh masyarakat awam sekalipun. Selain itu, mengembalikan sebuah kata ke akar kata-
nya dengan men-tajrid (menghilangkan huruf ta mbahan), memerlukan pengetahuan
ilmu sharaf. Karena itu, Sistem fonetik tetap dianggap sulit bagi kalangan awam,
terutama masyarakat yang tidak mengenal kaidah bahasa (nahwu dan sharaf).
Keberadaan kata yang muhmal (diabaikan) dan tidak memasukkannya ke dalam materi
kata dalam kamus, sekalipun memiliki struktur derivatif, jelas menghilangkan kekayaan
kosakata dalam bahasa Arab. Jika kata-kata yang muhmal ini, kenyataannya memang
tidak ada atau tidak digunakan Oleh orang Arab, maka hal ini masih bisa ditolelir.
Namun. jika eksistensi kata yang dianggap muhmal itu hanya karena kurangnya
cakupan observasi yang dilakukan seorang p,enyusun kamus, sementara di tempat lain,
kata yang itu dianggap mustakmal, maka berarti kasus ini dapat mengurangi khazanah
kekayaan kosakata dalam bahasa Arab. Akhirnya, bahasa Arab lebih sering menyerap
kata dari bahasa asing.

33 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


5). Beberapa Contoh Kamus Sistem Fonetik
Setelah kamus al-' Ain dirilis Oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy, perkembangan
kamus-kamus berbahasa Arab mulai tumbuh seiring dengan munculnya sistem fonetik
Khalil. Berikut ini beberapa kamus bersistem fonetik:
a. Kamus al-Bari',
Kamus al-Bari' disusun olehAbu Ali al-Qaly (280-356) Ada dua asas yang
digunakan al-Qaly dalam kamusnya ini, yaitu
- Taqsim al-kalimah; yaitu bagian kamus diklasifikasikan menurut sistematika
makharij al-huruf seperti kamus Al- Ain. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan
dalam hal urutan huruf. Susunan huruf dalam kamus al-Bari' lebih sesuai
dengan susunan makharij al-huruf menurut para ulama ilmu tajwid dimana
huruf pertama diawali dengan huruf yang keluar dari tenggorokan bawah
(halqiyah) yaitu huruf ha' bukan huruf berikut urutan huruf secara lengkap
dalam kamus al-Bari'.
- Taqsim al-huruf; yaitu klasifikasi bina' atau struktur kata yang ada di dalam
kamus al-Bari' juga sedikit berbeda dengan kamus al-' Ain. Ada lima bina',
yaitu:
(i) Bab Tsunai
(ii) Bab Tsulatsi Shahih
(iii) Bab Tsulatsi Mu 'tal
(iV) Bab Ruba 'i
(v) Bab Khumasi.

b. Kamus Tahdzib Al-Lughah


Kamus ini disusun Oleh Abu Mansyur Al-Azhari (282—370) Ada dua
yang memotivasi Al-Azhari menyusun kamus yang diberinya judul Tahdzib
AL-Lughah, yaitu: Obsesi Al-Azhari untuk mengkodifikasi semua bahasa arab
yang berkembang di kalangan masyarakat Arab dusun (‘araby) dan keinginan
untuk mengikuti jejak Khalil bin Ahmad Al-Farahidy yang telah berhasil
menyusun kamus Al- 'Ain.
Sistematika yang dianut dalam kamus Tahdzib AL-Lughah sama dengan
kamus Al-‘Ain, baik dalam hal urutan huruf, pembagian struktur kata (bina dan
teknik pembalikan kata (taqlib) Kesamaan sistem ini menurut Al-Azhari, ia
ingin menyempurnakan
kamus Al-'Ain sekaligus menegaskan bahwa kitab Al-'Ain bukan murni
disusun Oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy, mengingat di dalamnya memuat
berbagai riwayat tentang makna kata yang dikemukakan oleh murid Khalil
bernama Abu Laits. Dengan kamusnya ini, Al- Azhari berupaya keras
menyelesaikan penyusunan kamusnya melalui penanya sendiri.
Oleh karena itu, ia menambah banyak hal dalam kamusnya ini yang
membedakannya dengan kamus 'Ain. la bukan hanya mengambil data secara
langsung dari bahasa lisan orang-orang Arab dusun, tetapi juga makna kata
menukil dari beberapa kitab (bahasa tulis) yang telah diakui maknanya.

34 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Gambar 4.1
Kamus Tahdzib al-Lughah

c. Kamus al-Muhith
Kamus Al-Muhith disusun Oleh Ash-Shahib bin 'Ubbad (324-385),
kamus ini sama dengan kamus Al-Ain dalam hal Sistematika urutan huruf
(makharij al-huruf, taqsim al-bina (klasifikasi strukturkata) dan taqlibat
(pembalikan kata). Akan tetapi, kamus Al-Muhith lebih memperioritaskan kata
dengan memperbanyak jumlah kata dan meringkas makna kata, sehingga
kamus Al-Muhith banyak memberi kontribusi dalam hal sinonim kata, tetapi
dalam hal sistematika penyusunan kamus, dalam karya Ibnu Ubbad ini tidak
ada yang inovasi baru.

Gambar 4.2
Kamus Al-Muhith

d. Kamus Mukhtashar Al- 'Ain


Kamus ini disusun Oleh Abu Bakar al-Zubaidi (w. 379 H.). Sistematika
penyusunan huruf dan teknik taqlib dalam kamus ini sama dengan sistem
kamus Al- 'Ain. al-Zubaidi hanya sedikit berbeda dalam hal taqsim al-bina’
dengan menambahkan Bab Tsunai Mudhaaf (Kata yang terdiri dari 2 huruf

35 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


dobel dan berillat), sehingga ada tujuh struktur kata yang diperkenalkan kamus
Mukhtashar AL-'Ain, yaitu:
- Bab Tsunai Shahih
- Bab Ikulatsi Shahih
- Bab Tsunai Mudha’af Mu'tal
- Bab Tsulatsi Mu'tal
- Bab Tsulatsi
- Bab Ruba'i
- Bab Khumasi

e. Al-Muhkam
Kamus al-Muhkam disusun Oleh Sidah (398-458) Sistematika dan
metode pencarian kata dalam kamus Al-Muhkam sama dengan kamus Al-'Ain.
Hanya saja, kamus ini berbeda dalam dua hal, yaitu:
- Dalam struktur kata (bina Kamus Al-Muhkam mengikuti susunan bina'
dari kamus Mukhtashar al-'Ain karya al- Zubaidi yang menggunakan tujuh
macam struktur kata (bina'). Hal ini bisa dimaklumi karena al-Zubaidi
adalah guru dari Ismail, ayah Ibnu Sidah. Sedangkan Ibnu Sida banyak
mengambil riwayat makna kata dari ayahnya itu.
- Dalam kamus al-Muhkam ini. Ibnu Sidah menambah banyak kata
melebihi jumlah kata dalam kamus Mukhtashar Al-'Ain yang menjadi
panduan penyusunan kamusnyaini. Sehingga, kamus al-Muhkam bisa
dikatakan lebih lengkap dari Muhktashar Al-'Ain. Selain itu, Ibnu Sidah
lebih memperioritaskan masalah-masalah ilmu nahwu dan Sharaf dalam
muatan kamus sehingga kamus ini lebih tepat bagi orang yang ingin
memperdalam bahasan tata bahasa Arab.

C. Sistem Alfabetis Khusus (Nizham Al-Alfaba'i Al-Khas)


1). Latar Belakang Sistem Alfabetis Khusus
Nidzam Al-Alfaba’i Al-Khas adalah sistem penyusunan kamus alfadz yang
diperkenalkan Oleh Abu Bakar bin Duraid (233-321 H.) melalui kamusnya yang berjudul
Jamharah AL-Lughah atau lebih dikenal dengan Kamus Al-Jamharah. Yang dimaksud
dengan sistem alfabetis khas adalah sistem penyusunan urutan kata-kata dalam kamus
berdasarkan urutan huruf hijaiyah yang telah disusun Oleh Nasr bin Ashim, yaitu urutan
huruf sejak alif, ba', ta•, tsa', dan seterusnya hingga huruf ya' seperti yang kita kenal saat
ini. Urutan alfabetis ini dianggap lebih mudah dan lebih populer dikalangan masyarakat,
berbeda dengan urutan huruf yang berdasarkan makharij al-huruf yang hanya dikenal oleh
orang-orang tertentu yang mengerti tentang ilmu qiraat (ilmu tajwid). Ada dua faktor yang
melatarbelakangi Ibnu Duraid menyusun sistem alfaba 'i khas, yaitu:
a. Kesulitan dalam mencari makna kata dalam kamus yang menggunakan sistem
fonetik seperti kamus Al- 'Ain karya Khalil dan kamus-kamus lain yang beredar
Saat itu. Kesulitan tersebut banyak dialami masyarakat yang tidak mengenal
urutan huruf yang berdasarkan makhraj. Selain itu, beberapa kamus bersistem
fonetik dianggap tidak konsisten denganurutan huruf yang bersistem fonetik. Ada
kamus yang dimulai dengan huruf ain, dengan huruf ha', dan sebagainya. Hal ini
mendorong Ibnu Duraid menulis kamusnya, Al- Jamharah, dengan Sistem
alfabetis.

36 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


b. Susunan huruf hijaiyah (tartib Al-hija'i) yang berhasil disusun Oleh Nasr bin
Ashim, telah populer dikalangan masyarakat. Apala gi, urutan huruf hijaiyah itu
didukung Oleh pemerintah dan diakui Oleh ulama dan masyarakat sebagai sistem
baku dalam penyusunan buku-buku islami selain kamus bahasa. Dengan adanya
kamus yang memakai tartib al-hija'i, Ibnu Duraid berharap kamus-kamus bahasa
Arab bisa lebih mudah dan lebih dikenal secara luas. Mengingat, fungsi kamus
adalah metnudahkan para pemakai dalam memahami makna, bukan malah
mempersulit pencarian makna yang harus menuntut seseorang mengenal makharij
al-huruf.

2). Asas-asas Kamus Alfadz Sistem Alfabetis Khusus


a..Asas Taqsim al-Bina '
Ibnu Duraid, dalam kamusnya Al-Jamharah yang bersistem alfabetis, lebih
mengedepankan aspek struktur kata (bina) daripada aspek urutan huruf seperti kamus
Al-'Ain karya Khalil yang bersistem fonetik. Menurut Ibnu Duraid, Struktur sebuah
kata, apakah ia terdiri dari 2 huruf (tsunai) 3 huruf (tsulatsi), 4 huruf (ruba'i) atau 5 huruf
(khumasi), adalah lebih penting untuk dipahami dalam mencari makna kata daripada
sekedar asas tartib al-huruf (urutan huruf). Ibnu Duraid hanya memperkenalkan struktur
kata yang disebutnya dengan bab-bab, yaitu:
 Bab Tsunai Mudha 'af dan Mulhaq-nya
 Bab Tsulatsi dan MuIhaq-nya
 Bab Ruba'i dan Mulhaq-nya
 Bab Khumasi dan Mulhaq-nya
Kelima bagian struktur di atas, bagi Ibnu Duraid, dianggap cukup ringkas dan
lebih mudah diingat, tetapi mencakup segala Struktur kata. Sebab, masing-masing bab,
ia tambah dengan kata-kata yang mulhaq atau kata yang digolongkan termasuk bagian
tiap bab, sub-bab dilengkapi dengan bahasan kata yang mu'tal (kata yang terdiri dari
huruf illat) dan lafif (kata yang terdiri dari 2 huruf illat).

b. Asas Tartib al-Huruf


Setiap bina’ atau masing-masing dari lima struktur kata diatas, dikelompokkan
berdasarkan urutan huruf hijaiyah sebagai berikut:…… Masing-masing huruf hijaiyah
diatur berurutan dan diberi nama bab-bab. Ada bab alif, bab ba', dan seterusnya. Pada
urutan setiap huruf, selalu diikuti oleh huruf sesudahnya. Misalnya, pada bab tsunai
(struktur kata yang terdiri dari 2 huruf), bab huruf jim. maka bab itu dimulai dengan
huruf jim dan (huruf sesudahnya), jim—kha fim—dal, jim—dzal. dan seterusnya hingga
diakhiri jim — ya'. Tentunya dengan tetap memilih kata musta’mal (kata yang
mempunyai arti dan tetap dipakai dikalangan orang Arab). Sedangkan, kata yang
muhmal (tak dipakai) tidak dicantumkan dalam kamus. Perhatikan sistem dalam kamus
Al-Jamharah karya Ibnu Duraid berikut ini:
Teknik urutan huruf hijaiyah yang diperkenalkan Ibnu Duraid di atas, sedikit
berbeda dengan Ibnu Faris (329-95 H.). Dalam kamusnya, Maqayis AL-Lughah, yang
juga menggunakan sistem alfabetis khusus. Jika Ibnu Duraid tidak mengenal
pengulangan urutan kata dan selalu diakhiri dengan huruf ya ' sebagai huruf terakhir,
maka Ibnu Faris memilih mengembalikan urutan huruf terakhir dari ya' ke hamzah
hingga huruf terakhir sebelum huruf yang dimaksud pada bab di atas, dalam sistematika
dalam kamus Maqayis Al-Lughah adalah jim—ha, jim—kha jim—dal dan seterusnya

37 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


hingga jim—ya', jim—hamzah, jim—bn jim—ta' dan diakhiri dengan jim—tsa • (huruf
ta' sebagai huruf terakhir sebelum jim, bukan ya').
Dengan teknik pengulangan urutan huruf hingga ke huruf terakhir dan tidak hanya
berhenti pada huruf ya' sebagaimana dalam kamus Maqayis Al-Lughah, Ibnu Faris
beralasan bahwa tanpa pengulangan dapat memungkinkan banyak kata yang diabaikan
(muhmal), padahal dengan teknik pengulangan, kosakata bisa lebih banyak dan
mengurangi kemungkinan hilangnya makna kata. Dengan ilustrasi perbedaan antara
sistem alfabetis Ibnu Duraid dan Ibnu Faris, maka dapat dipastikan bahwa kamus
Maqayis Al-Lughah bisa dikatakan lebih lengkap daripada kamus Jamharah Al-Lughah.

3. Asas Taqlib al-Kalimah


Asas pembalikan huruf dalam kata (taqlib al-kalimah) dalam sistem alfabetis, baik
menurut Ibnu Duraid maupun Ibnu Faris, sama dengan teknik taqlib al-kalimah dalam
kamus Al-' Ain karya Khalil. Dengan asas taqlib al-kalimah, dapat diketahui antara kata
yang musta•mal dan kata yang muhmal. Dengan penggunaan asas taqlib al-kalimah ala
Khalil, maka sistem alfabetis ini disebut dengan sistem albetis khusus (Al-Alfaba'i Al-
Khas) sebab ia memiliki karakteristik yang eksklusif sebagaimana kamus-kamus
bersistem fonetik.
Misalnya, untuk mencari kata ‫ ﻜﺘﺐ‬maka harus diketahui terlebih dahulu:
"Manakah dari ketiga huruf tersebut yang disebutkan lebih dulu dalam urutan huruf
hijaiyah?". Jawabnya, jelas huruf ba' berada lebih dulu daripada huruf ta' dan kaf.
Pertanyaan ini berbeda dengan kamus bersistem fonetik; Manakah di antara ketiga huruf
tersebut yang pada makharij al-huruf lebih dulu atau lebih bawah?". Jawabnya, jelas
huruf kaf, sebab ia berasal dari anak lidah (lahawiyah), disusul huruf ta' sebab ia adalah
suara yang berasal dari kulit ujung langit-langit (nuth'iyyah), lalu huruf ba' yang berasal
dari ujung lidah (dzalqiyah).

3). Teknik pencarian Makna Kata


Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mencari makna kata di kamus-kamus
bersistem albetis khusus seperti kamus!amhnrah maupun Maqayis Al-Lughah, adalah
sebagai berikut:
- Teknik Tajrid, yaitu huruf-huruf Zaidah (tambahan) harus dihilangkan lebih dulu
untuk mengetahui akar kata (ushul kalimah) dari kata yang kita cari.
- Teknik Tahdid al-Bina yaitu mencari tahu struktur kata dari akar kata yang telah
kita temukan tersebut. 'Apakah ia termasuk pada bab tsunai (2 huruf), tsulatsi (3
huruf), ruba'I (4 huruf) atau khumasi (5 huruf)?". Lalu, merujuk pada bab tersebut.
- Teknik Awwal al-Huruf, yaitu mencari tahu tentang huruf yang lebih dahulu
disebutkan dalam urutan huruf hijaiyah untuk mengetahui pecahan kata yang
musta'mal sebagai hasil dari proses taqlib al-kalimah. Contoh, kita mencari makna
dari kata ‫ ﻴﺃﻜﻟﻮﻦ‬Kata ini setelah di-tajrid, ia berasal dari akar kata ‫ ﺃﻜﻞ‬. Dari segi
struktur kata, ia termasuk bina' tsulatsi (3 huruf), maka ia dicari pada kitab/bab
tsulatsi. Setelah itu, di antara huruf alif-kaf-dan lam, huruf hamzah terletak lebih
dulu daripada kaf maupun lam, Sehingga kata ia bisa ditemukan pada bab hamzah.
Pada bab hamzah, kita dapat mengetahui pecahan kata dari yang mustakmal
setelah proses taqlibul-kalimah. Di sana ditemukan kata ‫ﻷﻚ ﺃﻠﻚ ﻜﻸ‬
4). Kelebihan dan kekurangan kamus Sistem alfabetis khusus

38 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Penggunaan urutan alfabetis huruf hijaiyah yang disusun Oleh Nasr bin 'Ashim
dan telah dikenal di tengah masyarakat memberi nilai positif pada kamus-kamus yang
berrnadzab sistem alfabetis khusus. Munculnya kamus-kamus tersebut langsung
mendapat respon positif di kalangan ahli bahasa maupun masyarakat Arab. Mayoritas
mereka menilai, sistem alfabetis umum lebih mudah daripada sistem yang dirilis Khalil
bin Ahmad. Selain faktor kemudahan, lahirnya kamus dengan system alfabetis yang
tidak lagi menggunakan kaidah makharaj al-huruf (kaidah ilmu qiraat/tajwid), dinilai
sebagai babak baru di bidang leksikologi bahasa Arab. Kamus sistem alfabetis seakan
menjadi pioner lahimya ilmu leksikologi yang mandiri dengan alfabetis, corak ilmu
leksikologi sanggup memisahkan diri dari bagian ilmu qiraat, ilmu tajwid maupun ilmu
tafsir, sehingga ia kembali menjadi bagian dari bidang studi ilmu bahasa (linguistik).
5) Kamus-kamus sistem alfabetis khusus
 Kamus al-Jamharah
Kamus ini disusun Oleh Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Duraid dari
Basrah. Dalam sejarah, kamus dengan tiga jilid ini dikenal sebagai karnus kedua
pasca al-'Ain karya Khalil. Seorang orientalis bernama Comeco (1872-1953)
menambahkan kamus al-Jamharah dengan sebuah buku yang memuat sebuah
daftar isi dari materi al-Jamharah hingga semuanya menjadi empat jilid.
Tampaknya, kamus Al-lamharah karya Ibnu Duraid ini juga mendapat respon dari
para pakar leksikon bahasa Arab. Abu Amr Al-Zahid (w. 345 H.) menyusun
sebuah kamus yang memuat kosakata yang belum dihimpun di dalam Al-
Jamharah, yang ia beri Fait Al-Jamharah (Kekurangan dalam Al-Jamharah). Al-
Shahih bin 'Ubbad (938-990 H.) menyusun kamus Jawharah Al-Jamharah yang
isinya meringkas materi kamus Al-Jamharah. Hal yang sama dilakukan
Syarafuddin Mahmud bin Nashrullah Al-Anshari Al-Sya'ir (1134-1232M.)
melalui kamusnya, Mukhtshar Al-Jamharah (Ringkasan Al-Jamharah) bahkan
beberapa Sastrawan merasa perlu menyusun karya Sastra yang berisi bait-bait
syair yang termuat d alam kamus Al-Jamharah. Misalnya, kitab Syarah Syawahid
Al-Jamharah (Penjelasan Dalil-dalil atau Syair Al-Jamharah) karya Abu Alla' Al-
Ma'ry (973-1057) dan Nidzam Al-Jamharah (Bait- bait Syair Al-Jamharah) yang
memuat gubahan bait-bait syair Oleh Yahya bin Mu'thi bin Abd An-Nur Al-
Zawawi (1169-1231).

Gambar 4.3
Kamus Jamharah al-Lughah

39 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


 Kamus Maqayis AL-Lughah
Kamus bersistem alfabetis ini disusun Oleh Ahmad bin Faris bin Zakaria Al-
Qazwiny Al-Razi (931-1004). Selain kamus Maqayis, Al-Razi juga menyusun
sebuah kamus lain berjudul Al-Mujmal yang juga menggunakan system alfabetis
khusus

D. Sistem Puitis (Nidzam Al-Qafiyah)


1). Latar belakang Sistem al-qafiyah.
Munculnya kamus-kamus bahasa Arab yang menggunakan sistem al-qafiya
(sajak/sastrawi) merupakan perubahan besar besaran dalam hal sistem. Dinamakan sistem
al-qafiyah, sebab penyusunan urutan kata dalam kamus didasarkan pada urutan huruf
terakhir dari sebuah kata seperti sajak-sajak dalam syair, Pencarian makna kata dalam
kamus, tidak lagi berdasarkan urutan huruf dalam makharij al-huruf(sistem fonetik) atau
tartib hijaiyah (sistem alfabetis khusus), tetapi didasarkan pada huruf yang terakhir. Orang
pertama yang mengenalkan sistem al-qafiyah adalah Ismail bin Ahmad AL—Jawhari (w.
M.) dari Basrah dengan kamusnya yang berjudul AL-Shihah Fi AL-Lughah atau yang
dikenal dengan Kamus AL-Shihah.
Ada empat faktor yang melatarbelakangi munculnya kamus bersistem Al-Qafiyah,
yaitu:
o Obsesi Al-Jawhari untuk mewujudkan kamus invonatif dengan Sistem baru,
mengingat sistem-sistem penyusunan yang telah ada sebelumnya tidak
konsisten. Bahkan, dalam muqaddimah (pendahuluan) kamusnya, Al-Jawhari
berani menjamin bahwa sistematika kamusnya, Al-Shihah, benar-benar baru
dan tidak sedikitpun mencontoh sistem kamus yang pernah ada.
o Kebutuhan masyarakat sastra terhadap kamus-kamus yang bisa menghimpun
kumpulan kata yang memiliki sajak yang sama. Animo ini direspon Oleh Al-
Jawhari melalui sistem al-qafiyah yang bisa rnengumpulkan semua kata yang
berakhiran huruf yang sama dalam satu bab tertentu dalam kamus. Hal ini
berbarengan dengan berkembangnya ilm al-arudh wa al-qawafi, yaitu ilmu
yang membahas tentang pembuatan sajak, prosa dan puisi dalam bidang sastra
Arab.
o Kata dalam bahasa Arab tidak bisa lepas dari proses derivasi (isytiqaq). Al-
Jawhari melihat bahwa huruf terakhir dalam kata, terutama huruf lam dalam
wazan fiil, selalu tidak berubah. Berbeda dengan huruf fa' dan ain dalam wazan
fiil. Contohnya: ‫ ﺗﻓﺎﻋﻞ ﺍﺳﺘﻓﻌﻞ ﺍﻨﻓﻌﻞ ﻓﺎﻋﻝ ﻓﻌﻞ‬dan sebagainya. Dari sekian wazan fiil
tersebut, huruf lam merupakan huruf yang relatif konsisten, ia tetap berada di
akhir kata dan tidak berubah, tidak bersambung dan juga tidak dibuang.
Karakter derivasi kata inilah yang mendorong Al-Jawhari lebih memilih kamus
yang memakai sistem al-qafiyah. Selain itu, menurut Al-Jawhari, sistem al-
qafiyah dapat membantu seseorang yang tidak memahami tashrif al-kalimah
atau perubahan kata secara morfologis. Dengan sistem al-qafiyah, seseorang
yang ingin mencari makna kata tidak perlu repot harus memahami mana yang
mujarrad (akar kata) dan mana yang mazid (kata yang hurufnya bertambah),
cukup berpedoman pada huruf terakhir dari kata yang ia cari.
o Munculnya banyak karya-karya sastra seperti puisi, prosa, qasidah, lagu,
peribahasa dan sebagainya yang memakai sajak-sajak atau berakhiran huruf

40 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


yang sama. Fenomena ini mendorong Al-Jawhari menggunakan sistem al-
qafiyah yang memang tepat dan mudah bagi masyarakat dalam mencari makna
kata.
2). Asas-asas kamus al-qafiyah
Penyusunan kamus dengan sistem qafiyah seperti Kamus Al- Shihah, berpedoman ada
dua asas, yaitu:
o Kamus terdiri dari bab-bab; Kamus sistem qafiyah disusun menjadi beberapa
bab berdasarkan jumlah huruf. Mulai bab hamzah hingga bab ya’. Lalu, semua
kata yang memiliki akhiran huruf hamzah, diletakkan ke dalam bab hamzah
dan seterusnya, tanpa memperdulikan bina’ (struktur kata) antara tsunai,
tsulatsi, rub-a'i atau khumasi. Kata yang memiliki akhiran yang sama dirujuk
pada nama bab (nama huruf). Misalnya, pada bab ‘ain ditemukan kata yang
berakhiran huruf ‘ain seperti ‫ ﻮﻗﻊ ﻨﻓﻊ ﺻﺪﻉ ﺻﺮﻉ ﺠﻣﻊ ﺑﺮﻉ‬dan seterusnya.
o Tiap bab terdiri dari pasal-pasal; Dalam kamus ini kata terkumpul dalam satu
bab tertentu, lalu setiap bab dibagi menjadi pasal-pasal. Nama pasal mengikuti
huruf pertama dari kata tersebut. Misalnya, kata ‫ ﺑﺮﻉ‬bisa ditemukan pada bab
huruf 'ain pasal huruf ba'. Apabila jumlah kata dalam pasal terdiri dari beberapa
kata. dijelaskan dengan keterangan "Pasal huruf bab huruf ra", seperti: ‫ﺑﺛﺮ ﺑﺌﺮ‬
‫ ﺑﺬﺮ ﺑﺪﺮ ﺑﺨﺮ ﺑﺣﺮ ﺑﺠﺮ ﺑﺗﺮ‬dan seterusnya. Dalam contoh ini. Semua kata berawalan
huruf ba' (pasal) dan diakhiri huruf ra' (bab).

3). Teknik pencarian makna kata sistem puitis


Teknik pencarian makna kata dalam kamus-kamus bersistem qafiyah terbilang cukup
mudah dan cepat. Berikut langkah-langkah mencari makna kata dalam karnus bersistem
qafiyah.
o Teknik Tajrid, yaitu semua kata harus dikembalikan ke akar kata dengan
menghilangkan huruf-huruf tambahan (zaidah). Misalnya. kata ‫ ﻳﻜﺗﺒﻮﻦ‬menjadi
‫ﻛﺗﺐ‬
o Perhatikan huruf terakhir, karena ia menentukan letak bab kata ‫ ﻛﺗﺐ‬dapat
ditemukan pada bab huruf ba’
o Perhatikan huruf pertama dari kata yang dicari untuk menentukan letak pasal.
Kata ‫ ﻛﺗﺐ‬berada pada pasal huruf kaf sebagai huruf pertama.
4) Kelebihan dan kekurangan kamus al-qafiyah
Kelebihan dari kamus bersistem qafiyah, antara lain: mempermudah pencarian
sebuah kata sehingga membantu sasstrawan yang ingin menggubah syair, puisi, prosa dan
sebagainya. Sedangkan kekurangan yang dimiliki kamus bersistem qafiyah adalah masih
digunakannya teknik tajrid dalam mencari maknakata. Teknik tajrid juga memerlukan
pemahaman yang benar tentang tatabahasa, terutama ilmu sharaf (morfologi). Bagi
kalangan awam atau non-Arab, kesulitan mencari makna kata dalam kamus disebabkan
kurangnya pengetahuan tentang ilmu sharaf yang memerlukan waktu lama untuk
menguasai bidang ilmu tersebut.

5) Contoh-contoh kamus-kamus sistem puitis


Munculnya kamus Al-Shihah karya Al-Jawhari yang bersistem qafiyah, dianggap
sebagai 'pencerahan' di bidang leksikologi, terutama bagi kalangan sastrawan. Sistem
mendapat respon positif di kalangan para linguist Arab hingga muncul dengan Sistem
serupa. Kamus-kamus masyhur yang bersistem qafiyah, antara lain:

41 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


o Lisan Al-Arab
Kamus Lisan disusun Oleh Muhammad bin Mukarram bin Ali bin Mandzur Al-Ifriqy
yang lebih dikenal dengan Ibnu Mandzur (1232-1311 M.). Dalarn kamusnya ini, Ibnu
Mandzur mencoba mengkodifikasi semua kosakata bahasa Arab yang ia gali dari
kamus-kamus sebelumnya maupun ia cari sendiri, sehingga Lisan AL-Arab menjadi
kamus paling tebal yang berisi 80.000 kata dan sejumlah derivasi kata. Kamus Lisan
Al-Arab mencakup ilmu bahasa, ilmu qiraat, fiqh, syarah hadis, ilmu sharaf, ilmu
tafsir, sejumlah nama perawi syair dan sebagainya, sehingga menurut Ahmad Faris
Asy-Syidyaq. Kamus Lisan Al-Arab tidak lebih menyerupai sebuah ensiklopedia
(mawsu’ah) sebab segala hal ada di kamus itu. Lima baris yang memuat makna kata
pada kamus lain, tetapi di dalam Lisan Al-Arab bisa mencapai 250.

Gambar 4.2
Kamus Lisan al-Arab

Sistem kosakata dalam Lisan Al-Arab sama persis dengan kamus AL-Shihah
(Al-Jawhari) yang terdiri dari beberapa kitab (nama huruf akhir) dan tiap kitab terdiri
dari pasal-pasal (nama huruf afwan. Perbedaan antara Lisan Al-Arab dan Al-Shihah,
terletak pada masa lah pengambilan riwayat. Jika Al-Jawhari (Al-Shihah) hanya
memuat riwayat makna dari syair, qasidah, atau lainnya yang memiliki nilai shahih
(valid), tetapi Ibnu Mundzir (Lisan Al-Arab) tidak hanya membatasi pada riwayat
yang shahih. la mengambil semua makna, walaupun berasal dari syahid (dalil) yang
tidak shahih, karena sebuah kamus bahasa seharusnya mampu merekam (baca:
kodifikasi) semua kosakata bahasa Arab.

o Al-Qamus Al-Muhith
Al-Qamus Al-Muhith atau Al-Qamus Al-Wasith disusun Oleh AL-Fairuzabadi
yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Ya'qub Abu Thahir Majduddin Asy-
Syairazi AL-Fairuzabadi (1329-1415). Beliau dianggap sebagai orang pertama
yang mempopulerkan istilah "qamus" sebagai pengganti dari kata “mu'jam”. Al-
Fairuzabadi memakai sistem penyusunan sistem qnfiynh karena ia menilai kamus
Al-Shihah karya Al-Jawhari yangbersistem qafiyah mendapat sambutan positif di
kalangan masyarakat. Berbeda dengan kamus Lisan Al-Arab yang memuat segala
hal di luar unsur bahasa, kamus Al-Muhith sengaja berusaha disusun lebih ringkas,
tetapi efektif dalam penyampaikan makna kata. Hal itu terlihat dari usaha Al-
Fairuzabadi yang membuang beberapa syahid (dalil) dari ayat AL-Quran, hadis,
syair, nama tokoh bahasa dan beberapa penafsiran. Bahkan, dalam kamus ini isim
'alam seperti nama tokoh, nama kota, dan lainnya, sengaja diletakkan di bagian
belakang, sebab informasi semacam itu dinilai bukan bagian dari kamus bahasa

42 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


yang seharusnya menjelaskan makna kata. Dengan demikian, Al-Fairuzabadi
berhasil menunjukkan perbedaan mendasar antara kamus dengan kitab-kitab
lainnya seperti kitab tafsir, ensiklopedia, buku sejarah dan sebagainya sehingga
karyanya ini dianggap sebagai karya ilmiah yang sempuma sebagai sebuah kamus
bahasa.
Dilihat dari aspek materi, kamus AL-Muhith lebih banyak mengambil dari
dua kamus sebelumnya, yaitu: Kamus Al-Muhkam (Ilmu Sidah) dan Kamus Al-
Lubab. Al-Fairuzabadi hanya tinggal menambah beberapa penjelasan untuk
melengkapi kamusnya. Dilihat dari sisi perwajahan kamus (performance), ada hal
baru yang diperkenalkan kamus Al-Muhith. Disana, semua kata yang berasal dari
tambahan Al-Fairuzabadi. Ditulis dengan tinta merah. tetapi terkadang juga diberi
symbol berupa garis di atas kata. sebab ia sendiri kesulitan mencari tinta berwarna
merah. Selain itu, beberapa kata yang sulit dibaca, telah diberi harakat untuk
menghindari kesalahan baca. Tampaknya, Al-Fairuzabadi telah belajar banyak dari
kamus-kamus sebelumnya yang ternyata sulit dipahami. Dalarn penjelasan makna
tertentu, kamus Al-Muhit juga memakai simbol-simbol seperti: kata yang telah
populer, nama tempat, kata plural, nama desa, nama kota, dll.
Selain kamus Lisan Al- 'Arab (Ibnu Mundzir) dan kamus Al- Muhit (AL-
Fairuzabadi), kamus-kamus lain yang memakai Sistem qafiyah, antara lain: kamus
Al-Ubab (Ash-Shagha'i), kamus Taj AL-'Aruus (Al-Zabidy), Tahdzib Al-Lisan
(Abdullah Ismail Ash-Shawi), Tashhih Al-Lisan (Ahmad Taimur Basya), Hawasyi
AL-Shihah (Abu Qasim Al-Fadi bin Muhammad Al-Bashri), Hasyiyah 'ala Al-
Shihah (Ibnu Quttha'), Al-Jassus Al-Qamus (Ahmad Faris AL-Shidyaq), dan
banyak lagi yang lainnya.

E. Sistem Alfabetis Umum (Nizham Alfaba’i al-Amm)


1). Latar belakang sistem alfabetis umum
Sistem alfabetis umum adalah penyusunan kata dalam kamus berdasarkan
urutan huruf hijaiyah yang kita kenal hingga sekarang, sejak huruf alif hingga ya'.
Hanya saja. Perbedaan sistem alfabetis umum dengan sistem alfabetis khusus terletak
pada aspek akar kata (ushulul-kalimah). Di dalam sistem alfebetis ini, semua kata
harus di-tajrid dengan cara mengembalikan pada akar katanya. Jika akar kata telah
ditemukan, lalu kata itu dirujuk pada bagian huruf yang sama dengan huruf pertama
kata tersebut. Kita tidak perlu lagi menilai: "Manakah huruf yang lebih terletak lebih
dulu dari kata tersebut?" seperti dalam sistem alfabetis khusus. Misalnya, kata setelah
di-tajrid menjadi akar kata, lalu kata dirujuk pada bagian huruf untuk mengetahui
makna kata, sebab pada bagian itu makna kata dan derivasi kata serta kata
tambahannya telah dihimpun menjadi satu penjelasan. Lain halnya dengan kamus
yang bersistem alfabetis khusus, pada sistem itu, setelah akar kata diketahui kita perlu
menilai bahwa dari tiga huruf ini, huruf alif terletak lebih awal daripada ghain maupun
tsa', sehingga kata itu harus dirujuk pada bab alif.
Nidzam al-alfaba'i al-aam (sistem alfabetis umum) disebut juga sistem yang
merujuk pada asal kata (akar kata), Cikal bakal sistem ini. sebenarnya telah lama
dirintis oleh ulama hadis seperti Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Qatibah dalam
kitabnya, Gharib Al-Hadits, atau Al-Syaibani di kamusnya. Al-rim. Akan tetapi,
sistem ini belum diakui oleh kalangan ahli bahasa sebab karya-karya tersebut tidak
sepenuhnya disebut dengan kamus bahasa. Para peneliti berpendapat, bahwa sistem

43 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


alfabetis umum yang dikenal dalam ilmu leksikologi ini, telah lama diperkenalkan Al-
Zamakhsyari (1074-1143 M). Namun sebagian peneliti berpendapat, bahwa orang
pertama yang menyusun kamus dengan sistem alfabetis umum adalah Abul Mu’aly
Muhammad bin Tamim Al-Barmaki (W. 1005) Akhirnya, ditemukan benang merah
dari silang pendapat ini, bahwa penemu sistem alfabetis umum tetap Al -Barmaki.
Tetapi orang yang menyempurnakan sistem itu menjadi sebuah kamus adalah Al-
Zamakhsyari. Pasca era Al-Barmaki dan Al-Zamakhsyari, kamus-kamus dengan
sistem alfabetis umum terus bermunculan. Akan tetapi, sebagian ahli bahasa masih
tetap memandangnya sebagai system penyusunan kata yang paling tepat dalam kamus-
kamus bahasa Arab sebagai wujud dari integrasi antara bahasa dan sastra Arab. Karena
itu, kamus-kamus bersistem qafiyah seperti: Lisan Al-Arab dan Al-Shihah masih terus
dicetak ulang sebagai bahan rujukan memahami makna kata dan menyusun karya
sastra.
2). Asas-asas kamus sistem alfabetis
Kamus dengan sistem alfebetis dianggap sebagai babak final dari
perkembangan Sistem penyusunan kamus bahasaArab. Sistem ini dinilai lebih mudah
daripada ketiga sistem sebelumnya. Karenanya, asas yang paling mendasar dalam
kamussistem alfabetis umum hanyalah asas tajrid. Sementara asas-asas lain seperti
taqlib al-kalimah, taqsim al-bina' tidak diperhitungkan dalam kamus Sistem alfabetis.
 Asas Tajrid. Tajrid adalah mengembalikan sebuah kata ke asal kata (akar
kata) dengan cara menghilangkan huruf- huruf tambahan yang melekat pada
kata itu. Huruf-huruf tambahan yang perlu di-tajrid, antara lain: dhamir
muttashil (kata ganti sambung) seperti: ‫ ﺴﻣﻌﻨﺎ ﺴﻣﻌﺗﻢ ﺴﻣﻌﺖ‬dan sebagainya,
huruf Mudhara'ah (huruf tambahan dalam fiil mudhari') seperti: ‫ﺃﻜﺗﺐ ﺗﻜﺗﺐ‬
, ‫ ﻧﻜﺗﺐ‬, Hüruf Tatsniyah dan jamak seperti : ‫ ﻣﺴﻟﻣﻮﻦ‬dan banyak ‫ﺸﺟﺮﺗﺎﻦ‬
lagi yang lainnya
 Asas Tardid; yaitu mengembalikan sebuah kata ke asal kata (akar kata)
dengan dua cara, yaitu: Mengembalikan huruf asli dalam kata yang telah
dibuang. seperti: kata ‫ ﺮﺪ‬enjadi kata menjadi ‫ﺮﺪﺪ‬, kata ‫ ﻴﺪ‬menjadi ‫ﻴﺪﻱ‬, dsb
 mengembalikan huruf asli yang telah diganti, seperti: kata ‫ ﺑﺎﻉ‬menjadi ‫ ﺒﻴﻊ‬,
kata ‫ ﻗﺍﻢ‬menjadi ‫ﻗﻮﻢ‬, dsb.
3). Teknik pencarian makna kata
Untuk mencari letak kata dalam kamus bersistem alfabetis umum. pertama-
tama hendaknya diketahui terlebih dahulu; Apakah kata tersebut terdiri dari huruf asli,
atau ada di anta ranya huruf tambahan (zaidah).
 Jika semua hurufnya terdiri dari huruf asli. maka dicari berdasarkan
permulaan dan urutan huruf-hurufnya. Misalnya, kata ‫ ﻗﻤﺮ‬dicari pada huruf
‫ ﺮ ﻢ ﻖ‬, kata ‫ ﺸﻤﺲ‬dicari pada huruf ‫ﺶ ﻢ ﺲ‬, dan seterusnya.
 Jika di antara huruf-hurufnya terdapat huruf tambahan (zaidah). maka lebih
dahulu harus diketahui mana huruf yang asli (akarkata) dan mana yang
tambahan. Caranya dengan menerapkan teknik tajrid atau tardid seperti
penjelasan terdahulu. diketahui huruf-huruf aslinya (akar kata), maka
langsung dicari ke bab huruf. Misalnya kata ‫ ﻛﺗﺎﺏ‬dicari pada bab ‫ ﻚ‬di bagian
‫ ﻛﺗﺏ‬sebab akar kata (huruf asli)-nya setelah di-tajrid adalah berwazan ‫ﻓﻌﻞ‬

4). Kelebihan dan kekurangan kamus alfabetis umum

44 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Nilai lebih dari kamus yang bersistem alfabetis umum adalah relatif lebih
mudah bagi pengguna kamus dalam mencari makna kata. bila .dingkan dengan kamus-
kamus yang bersistem fonetik, alfabetis khusus, maupun qafiyah. Hilangnya asas-asas
seperti tartib al-hurnf, taqsim al-bina dan taqlib al-knlimah, terbilangcukup inovatif.
Kamus bersistem alfabetis umum ini. Praktis hanya menyisakan asas tajrid dan tnrdid
yang berfungsi untukmengetahui asal-usul kata (akar kata) dan fungsi ini telah lama
ditera pkan Oleh para ahli tatabahasa da lam penyusunan kamus- kamus bahasa Arab
dengan sistem apapun. Sedangkan kekurangan dari kamus yang menggunakan system
alfabetis umum adalah masih adanya kesulitan bagi pengguna kamus mencari makna
kata. Sebab. untuk mengetahui akar kata. sekalipun telah ada teknik tajrid-tardid. tetap
Saja hal itu menyulitkan bagi pengguna awam yang tidak memahami ilmu sharaf.
terutama bagi non-Arab. Problem ini yang terus mendorong para leksikolog untuk
terus membuat terobosan baru dengan berusaha melahirkan sistem yang lebih mudah,
efektif dan bersifat universal sehingga bisa dipahami oleh semua kalangan, baik bagi
orang yang mengerti tata bahasa maupun orang awam atau non-Arab.

5). Contoh Kamus alfabetis umum


Kamus-kamus yang menggunakan sistem alfabetis umum, ada yang termasuk
kamus kuno (qadim) dan ada yang tergolong kamus baru (hadis). Berikut ini kamus
kuno yang masyhur menggunakan Sistem alfabetis umum.
 Asas Al – Balaghah
Kamus Asas Al-Balaghah disusun Oleh Mahmud bin Umar AI-Zamakhsari
(467-538). Ada dua faktor yang mendorong penyusunan kamus ini. Pertama,
faktor agama yang Al- Zamakhsari berobsesi untuk memperkenalkan mukjizat
al-Qur'an melalui gaya bahasa orang•orang Arab yang mengandung bahasa
hakiki (makna sebenarnya) dan majazi (metofora). Kedua, faktor besarnya
animo masyarakat terhadap ilmu balaghah (ilmu tentang estetika bahasa) yang
kebetulan sesuai dengan kemampuan Al-Zamakhsari di bidang itu. Karena itu,
dalam kamusnya yang berjudul Asas Al-Balaghah (pondasi ilmu balaghah) ini,
Al-Zamakhsari kerap kali memaknai kosakata bahasa Arab dengan cara
menyebut makna yang hakiki dan majazi, sehingga kamus ini lebih dikenal
sebagai buku pedoman ilmu balaghah daripada buku leksikologi.
 Mukhtar Al-Shihah
Penyusunnya adalah Muhammad bin Abu Bakar Al-Razi (w. 666) Sesuai
dengan namanya, Mukhtar Al-Shihah (kata-kata pilihan dalam kamus Al-
Shihah), kamus ini memuat ringkasan dari kamus Al-Shihah karangan Al-
Jawhari sedikit komentar dan tambahan makna dari penyusunnya. Namun
dalam hal metodologi, Al-Razi memilih untuk mengikuti rnetode kamus Asas
Al-Balaghah karya Al-Zamakhsari.
 Al-Mishbah Al-Munir
Penyusunnya adalah Ahmad bin Muhammad at-Muqri Al- Fayyumi (w. 770
Kamus ini memuat penjelasan (syarah) dari kata-kata asing dalam karya Al—
Raffi di bidang ilmu fiqih, sehingga kamus ini lebih tepat bagi kalangan pelajar
yang ingin memahami istilah-istilah operasional di bidang hukum (fiqih).

45 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Gambar 4.3
Kamus al Misbah al-Munir
Al-Fayyumi juga menambah derivasi kata dan beberapa bab yang khusus
memuat kata kerja (fi'il) dan kata plural (jamak). Kamus ini juga membahas
panjang lebar tentang kaidah ilmu bahasa (linguistik), sharaf (morfologi) dan
ilmu nahwu (sintaks).
Sedangkan kamus baru / modern yang bersistem alfabetis umum antara lain
adalah:
 Muhit Al-Muhith
Kamus ini selesai disusun pada tahun 286 H 11869 M. Oleh Butrus bin Bulis
bin Abdullah Al-Bustani (1819-1883) Al-Bustani berpedoman pada kamus
AL-Muhith karya Al-Fairuzabadi dalam hal materi kamus. la hanya menambah
sedikit kosakata bahasa Arab yang belum dimuat dalam karya AL-Fairuzabadi,
dan juga tidak memasukkan beberapa hal seperti: nama tempat tinggal, nama
orang, nama kabilah, dan beberapa kosakata yang tidak lagi dipakai di kalangan
bangsa Arab. Hal baru yang ada di kamus Muhith Al-Muhit adalah
penambahan kosakata bahasa amiyah (pasaran), istilah ilmiah dan filsafat.
 AL -Munjid
Kamus yang dirilis pada tahun 1908 M. ini disusun Oleh Louwis bin Naqula
Dhahir Al-Ma'luf (1867-1946 M). Dinamakan Al-Munjid karena sebuah
kamus berfungsi Sebagai injad (penolong) bagi orang yang hendak mengetahui
makna sebuah kata atau informasi lainny•a. Sebenarnya, nama Al- Munjid
pernah digunakan sebagai nama kamus Oleh Kura' Al-Naml (w. 921 M.) yang
juga menyusun kamus dengan nama yang sama. Hingga kini, Kamus Munjid
masih tetap populer dan dicetak berulang-ulang oleh penerbit Dar Al-Masyriq
di Beirut, Libanon. Pada tahun 1956, tepatnya pada cetakan ke-15, Mr.
Ferdinan Tutel memberi penambahan di kamus Munjid berupa biografi tokoh-
tokoh di negara timur dan barat hingga kamus Munjid dianggap lengkap dan
serupa dengan ensiklopedi. Kemudian, nama kamus Munjid dikenal
denganAL-Munjid fi AL-Lughah AL-Adab wa AL-Ulum (kamus bantu ilmu
bahasa, sastra dan sains). Dari sisi materi, kamus Munjid banyak meringkas
dari kamus Muhith Al-Muhith karya Al-Bustani dan dari interpretasi

46 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


pernaknaan kata, kamus Mnnjid lebih condong mengikuti penafsiran makna
dalam kamus Taj Al- 'Amr karya AL-Zabidy. Sebagai kamus modern.
kelebihan kamus Munjid terletak pada tata letak dan perwajahan kamus dimana
kata-kata yang termuat telah dicetak dengan tintamerah dan dilengkapi dengan
gambar-gambar seperti: gambar tokoh, peta, tabel, hewan, tumbuhan, alat
musik, alat transportasi dan sebagainya.

Gambar 4.4
Kamus al-Munjid

 Matan Al-Lughah
Kamus ini disusun pada tahun 1958 Oleh Ahmad Ridha Al-'Amily. mantan
anggota Majma’ al-Lughah (lembaga Bahasa) di Damaskus. Secara
morfologis, kamus Matan Al-Lughah disusun dengan sistematika yang tepat
dengan cara mendahulukan materi kata kerja daripada kata benda. Lalu,
penjelasan kata kerja dimulai dengan kata kerja yang mujarrad sebelum mazid.
Ada enam kamus besar yang menjadi rujukan Matan Al-Lughah dalam
memaknai kata, yaitu: kamus Lisan Al- 'Arab (Ibnu Mandzur), Al-Qamus A/-
Muhith (Al-Fairuzabadi), Taj Al-•Aruus (Al-Zabidy), Asas Al-Balaghah (Al-
Zamakhsari), Mukhtar Al-Shihnh (Al-Razi)dan Mishab Al-Munir (Al-
Fayyumi).
Karakter yang melekat pada kamus ini adalah tidak adanya perbedaan dalam
hal ungkapan kalimat. Tampaknya, Ahmad Ridha berusaha menghilangkan
istilah-istilah yang ambigu dan mengedepankan kata yang maknanya arbitrary
(disepakati). kamus ini juga memuat kosakatabahasa amiyah (pasaran) yang
bisa ditransfer ke bahasa fushha (resmi). sehingga kamus ini berusaha untuk
menghilangkan celah antara antara bahasa amiyah dan fushah, sekaligus
meminimalisir penggunaan bahasa amiyah.

 Al-Mu’jam Al-Wasith
Kamus termasuk kamus modern yang diproduksi oleh Majma’ Al-Lughah
(Lembaga Bahasa) di Kairo, Mesir. Tim penyusun Al-Wnsith cetakan pertama
pada tahun 1380 H. terdiri dari: Ibrahim Mustofa, Ahmad Hasan Al-Ziyat,

47 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Hamid Abdul Qadir dan Muhammad Ali Al-Najjar. Sedang tim penyusun Al-
Wasit cetakan kedua pada tahun 1392 H. terdiri dari: Ibrahim Anis, Abdul
Halim Muntashir, Atiyah Al-Shawalihy dan Muhammad Khalfullah Ahmad.
Kelebihan kamus Al-Wasith terletak dengan adanya penambahan istilah-istilah
ilmiah modern, baik istilah dakhil (serapan), muhaddats (modern) dan
muwallad (baru tercipta). Kamus setebal halarnan lebih ini rnemuat sebanyak
7.000 kata dan 600 gambar.

Gambar 4.5
Kamus al-Munjid

 Al-Lughawi Al-Tarikhi
Penyusun kamus Al-Lughawi Al-Tarikhi (bahasa historis) adalah seorang
orientalis berkebangsaan Jerman bernama Fisher. Sayangnya, sebelum kamus
ini selesai disusun, Fisher meninggal dunia. Sekalipun demikian, mukaddimah
kamus ini telah menampakkan ide cemerlang dari seorang Fisher. Dalam
kamusnya ini, ia mengambil dari berbagai sumber seperti: AL-Quean, a I-
Hadis, syair, peribahasa, buku sejarah, geografi, sastra, teknologi dan
sebagainya. Hal mendasar dalam kamus ini adalah penjelasan yang lengkap
antara kata yang 'araby (arab) dan ‘ajamy (non-Arab).
 Al-Mu 'jam Al-Kabir
Kamus Al-Kabir (besar) diproduksi Oleh Majma' Al-Lughah (Lembaga
Bahasa) di Kairo, Mesir. Kamus ini bertujuan untuk mengklasifikasikan makna
yang dimuat dalam kamus-kamus bahasa Arab sepanjang masa. Karena itu, ia
dinamakan "Kamus Besar" yang dirilis secara bertahap. Tahap pertama, Juz I
(huruf hamzah) tahun 1970; Tahap kedua, Juz II (huruf bio tahun 1982; Tahap
ketiga, Juz III (huruf fa' dan tsa•) tahun 1992, dan tahap keempat, Juz IV(huruf
jim) tahun 2000.

F. Sistem Artikulasi (Nizham al-Nuthqi)


1). Latar belakang sistem artikulasi
Sekalipun munculnya kamus-kamus bersistem alfabetis umum dianggap paling
mudah dari sistem sebelumnya, namun kamus tersebut masih membutuhkan pernahaman
tentang dasar-dasar ilmu tata bahasa Arab. Bagi siswa di tingkat pemula atau bahkan bagi
kalangan non-Arab, pencarian kata dengan teknik tajrid- tardid untuk mencari kata sesuai

48 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


wazan dalam ilmu morfologi, tetap saja dianggap sulit dan membutuhkan proses yang
cukup lama. Untuk mencari makna kata dalam komus bersistem alfabetis, terlebih dulu
harus menghilangkan huruf zaidah (tambahan), mengembalikan huruf yang telah diganti
(ibdal) ke huruf asalnya atau mencari huruf yarig dibuang (mahdzuf). Problem ini menjadi
pertimbangan para pakar bahasa Arab untuk membuat kamus yang lebih mudah, terutama
bagi non-Arab. Setelah merujuk pada kamus-kamus asing, seperti kamus bahasa Prancis
yang tidak perlu mencari akar kata terlebih dahulu dalam proses pencarian makna kata,
maka para leksikolog bahasa Arab mulai menyusun kamus menggunakan sistern artikulasi.
Sistem kamus artikulasi (Nidzam Al-Nuthqi) adalah pencarian makna kata berdasarkan
huruf pertama yang terucap dan kata yang dicari langsung bisa diketahui dalam materi
kamus, tanpa harus menuntut seseorang untuk mencari akar kata.
Secara historis, sistem artikulasi yang dipakai untuk menyusun kamus-kamus bahasa
Arab sebenarnya telah lama muncul. Tepatnya, sejak Al-Kafuri menyusun kamus berjudul
Al-Kulliyaat dan Al-Juriani (1340-1413) dengan kamusnya, Al-Ta'rifaat. Hanya saja,
bangsa Arab selalu mengabaikan sistem artikulasi. Mereka beralasan bahwa sistem ini
tidak efisien, sebab sebuah kata yang sebenarnya masih dalam himpunan satu akar kata
yang semakna, bisa ditemukan dalam berbagai materi kata di dalam sebuah kamus.
Akibatnya, kamus akan semakin tebal. Misalnya, kata ‫( ﻜﺘﺎﺐ‬buku) pada bab ‫ ﻚ‬, kata ‫ﻤﻜﺘﺑﺔ‬
(perpustakaan) pada bab ‫ ﻢ‬, ‫( ﺍﺴﺗﻛﺗﺏ‬minta ditulis) pada bab ‫ ﺍ‬dan seterusnya. Padahal, makna
dasarnya sama yaitu : ‫( ﻚ ﺖ ﺐ‬tulis). Karena alasan tersebut, sistern artikulasi jadi
ditinggalkan.
Sebenarnya, sistem kamus artikulasi, pernah berusaha dikembangkan oleh Syekh
Muhammad Al-Bukhari (w. 1914) dengan cara menggabungkan materi kosakata yang
terdapat di dalam dua buah kamus besar, yaitu: Lisan Al-Arab (Ibnu Mandzur) dan Al-
Qamus Al-Muhith (Al-Fairuzabadi). Ia berupaya keras mengkonvergensi seluruh materi
dari kedua kamus popular tersebut menjadi sebuah kamus yang urutan hurufnya sistematis
sesuai dengan urutan huruf hiiaiyah dan akar kata (ushul al-kalimah). la tidak lagi memakai
derivasi kata (isytiqaq) dan teknik tajrid. Akan tetapi, usahanya ini belum berhasil, sebab
ia meninggal dunia sebelum kamus yang disusunnya rampung.
Pada dekade tahun 60-an, ide Al-Bukhari tersebut mulai dikembangkan Oleh para
leksikolog di Libanon. Salah satunya adalah Syekh Abdullah Al-'Ulayali yang berhasil
menyusun sebuah kamus bersistem sistem artikulasi berjudul Kamus Al- Marja ' di tahun
1963. Kamus ini memuat urutan kata benda tanpa sedikit pun menggunakan tashrif
(derivasi kata). la langsung menempatkan sebuah kata yang bermakna ke bab-bab hut-uf
sesuai huruf awai kata yang terucap (artikulatif).
Langkah Al-'Ulayali diikuti Oleh Jibran Mas'ud yang juga berhasil menyusun kamus
artikulasi dengan judul Al-Raid pada tahun 1964. Sistem kamus artikulasi terus
berkembang luas dan makin diminati Oleh para pengguna dan penyusun kamus. Mereka
menilai, sistem ini sangat mud ah dan efektif dalam mengenalkan letak kata dan maknanya
dalam sebuah kamus.
Pada tahun 1968, muncul kamus berjudul Al-Munjid Al-Abjadi karya Fuad Afram
AL-Bustani. Dari namanya, diketahui bahwa kamus ini jelas merupakan ringkasan dari
kamus Al-Munjid (sistem alfabetis umum) karya Louwis AL-Ma'luf yang disusun ulang
dengan Sistem artikulasi. Lalu, pada tahun 1973, kamus sistem artikulasi karya Khalil AL-
Jar yang berjudul Laaruus. Sekalipun setelah itu, kamus-kamus artikulasi terus
bermunculan, tetapi sistem artikulasi tidak pernah lepas dari kritik. Kamus artikulasi
dianggap dapat merusak materi dasar bahasa Arab, sebab sisten ini dinilai cenderung

49 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


mengabaikan kaidah tatabahasa dan karakter kata dalam bahasa Arab yang kaya akan
derivasi (pecahan) kata. Kamus sistem artikulasi di Indonesia mulai ada sejak munculnya
Kamus Al-Ashri (Kamus Kontemporer) karya Atabik Ali
2). Asas-asas kamus sistem aktikulasi
Kamus sistem artikulasi hanya berasaskan pada huruf pertama yang terucap dari
sebuah kata. Huruf pertama itu yang menjadi pedoman bagi penyusun atau pemakai untuk
merujuk ke letak kata sesuai urutan alfabetis hijaiyah pada umumnya, sejak huruf Alif
hingga Ya. Tentang eksistensi kata antara yang musta 'mal (terpakai) dan muhmal
(diabaikan), kamus artikulasi biasanya sangat selektlf dalam memilih kosakata, sebab
kamus ini hanya akan menggunakan kata yang maknanya masih populer. Sedangkan kata
yang maknanya usang atau tidak lagi digunakan oleh para penutur bahasa pasti tidak
dicantumkan agar ukuran kamus tidak tebal.
Beberapa huruf dalam kamus artikulasi terpaksa disamakan untuk menghindari
kebingungan. Misalnya, alif maqshurah (‫ )ﻯ‬dipersamakan dengan alif biasa, seperti kata:
‫ ﺍﺤﺘﻮﻯ‬dan ‫ ﺟﺰﻯ‬dsb. Alif Mamdudah (‫ )ﺁ‬dipersamakan dengan alif biasa dan tidak
mempengaruhi urutan penulisan. Hamzah (‫ )ﺀ‬dalam bentuk dan tulisan seperti apapun
dipersamakan dengan alif, karena itu tidak dibedakan antara hamzah dengan alif layyinah,
baik jika hamzah itu di atas alif, wawu atau ya', bahkan ketika berdiri sendiri. Karenanya,
jika hamzah atau alif menjadi huruf terdepan dari sebuah kosakata, maka harus dicari pada
bab atau kelompok huruf hamzah. Juga, Ta ' Marbuthah (‫ ﺔ‬atau ‫ )ﺓ‬dipersamakan dengan
Ta’ Mabsuthah (‫)ﺖ‬

3). Teknik pencarian makna kata sistem artikulasi


Dalam mencari letak makna kata dalam kamus artikulasi, pengguna kamus cukup
memahami urutan huruf alfabetis yang umumnya telah dihafal sejak huruf alif, ba', hingga
ya'- Huruf pertama dari kosakata yang dicari langsung dirujuk pada bab atau kelompok
kata, tanpa perlu mencari akar kata. Hanya saja, untuk kata kerja (fi'il), biasanya harus
dirujuk ke fiil maadli (kata kerja bentuk lampau). Misalnya, kata ‫( ﻴﻀﺮﺒﻮﻦ‬mereka sedang
memukul), maka diruiuk ke bentuk fiil madhi-nya ‫ﻀﺮﺐ‬, lalu dicari pada kelompok huruf
dhah (‫)ﺾ‬. Sedangkan untuk kata benda (isim) pengguna kamus artikulasi cukup merujuk
kelompok huruf pertama dari kata yang dicari. Misalnya, kata ‫( ﻤﺪﺮﺴﺔ‬sekolah) ditemukan
pada bab huruf ‫ ﻢ‬dan kata ‫( ﻘﻤﺮ‬bulan) ditemukan pada bab huruf ‫ﻖ‬

4). Kelebihan dan kekurangan Sistem artikulasi


Kelebihan kamus Sistem artikulasi terletak pada aspek kernudahan dalam mencari
letak kosakata sehingga pengguna yang awam bisa cepat mencari makna kata di dalam kamus
walaupun kurang memahami kaidah—kaidah ilmu sharaf. Bagi penyusun kamus, sistem
artikulasi sangat membantu dalam proses klasifikasi kata yang telah terseleksi ke dalam
kelompok kata secara cepat tanpa harus mencari asal-usul kata, derivasi kata dan jenis struktur
kata (bina). Sistem artikulasi dinilai sebagai sistem yang tepat dalam penyusunan kamus-
kamus terjemah sehingga para pengguna non-Arab lebih mudah dalam mencari dan
memahami makna
Selain itu, seiring dengan perkembangan teknologi perangkat lunak (software).
kuantitas materi-materi kata di dalam kamus artikulasi yang biasanya berjumlah besar, tidak
lagi menjadi kendala bagi para programmer atau pengembang kamus-kamus digital.
Mengingat, kini sebuah software mampu menampung jutaan byte. Lain halnya. bila materi
kata dalam kamus-kamus artikulasi ditulis secara manual menjadi sebuah buku, maka biasa

50 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


membentuk sebuah kamus tebal dan bahkan beriilid-jilid. Dan hal ini merupakan Sisi
kelemahan kamus Sistem artikulasi. Sisi lain kekurangan dari kamus-kamus artikulasi adalah
diabaikannya teknik pencarian asal kata. Dalam perspekstif pendidikan bahasa, hal ini dinilai
sebagai degradasi kualitas dan skill pengguna kamus, terutama bagi para pelajar bahasa Arab.
Sistem kamus artikulasi mengakibatkan mereka tidak lagi menghiraukan kaidah ilmu sharaf
dan ilmu nahwu, karena kaidah-kaidah tata bahasa tidak banyak berguna dalam mencari
makna kata dalam kamus.

5). Contoh- contoh kamus artikulasi


Beberapa contoh kamus yang menerapkan sistem artikulasi adalah antara lain adalah
sebagai berikut:
 Kamus Al-Marja '
Kamus sistem artikulasi ini disusun Oleh Syekh Abdullah Al-'Ulayali dan cetakan
pertamanya diterbitkan Dar Al- Mu'jam Al-Arabi, Lebanon pada tahun 1963.
Sebenarnya, kamus Al-Marja ' yang hanya berjumlah satu jilid ini belum selesai
sepenuhnya. Al-'Ulayali hanya berhenti pada bab huruf jim.
 Kamus Al-Raaid
Kamus Al-Raaid disusun oleh sastrawan dari Libanon bernama Jibran Mas'ud. Ia
berhasil mendirikan sebuah penerbitan bernama Al-Hikma. Dari sana, Jibran
Mas'ud mempopulerkan karya-karyanya.

Gambar 4.6
Kamus al-Raid

 Kamus Al-Ashri
Kamus Al-Ashri atau Kamus Kontemporer Arab Indonesia ini dikarang oleh
Atabik Ali serta Ahmad Zuhdi Muhdlor, diterbitkan pada tahun2003. Langkah
memakai kamus terjemahan arab-indonesia al-‘ashri ini tidak sama dengan
kamus-kamus yang biasa yang kita temui, contohnya kamus al-munawwir yang
mencari kata melalui dari kata dasar kata arab tersebut. Untuk memakai kamus
Kontemporer Arab – Indonesia ini anda tak perlu mengetahui kata dasarnya.
Segera mencari saja kata-kata arab yang akan anda cari. Contohnya, anda mau
tahu makna “kitaabun”, maka segera saja melacak huruf kaf serta carilah kata

51 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


kitaabun. berarti, anda tak perlu mempelajari lagi pengetahuan ilmu sharaf.
Dikarenakan anda dapat segera melacak makna dari bahasa arab yang tengah
Anda cari. Tidak butuh berpikir susah-susah melacak fi’il madhinya. Selain itu
makna kata yang dipakai didalam Kamus Al-‘Ashri ini senantiasa memakai
bahasa kontemporer atau moderen. Contohnya saja, harkatul amwaal berarti
mobilitas keuangan, bukan hanya pergerakan duit. Jadi kamus ini bisa mencari
terjemah dengan bahasa ilmiah. Kamus al-‘ashri ini juga dilengkapi dengan
beberapa gambar supaya makna dari kalimat yang sukar lebih gampang
dipahami serta diterangkan.

Gambar 4.8
Kamus al-Ashri

52 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


BAB V
MENGENAL TOKOH-TOKOH
LEKSIKOGRAFI ARAB

A. Khalil Ibnu Ahmad Alfarahidi


Lahir di Basrah pada tahun 100 H dengan nama lengkap Abu ‘Abd ar-Rahman Al-Khalil
ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi, sejak kecil Al-Khalil senantiasa
mengikuti kajian-kajian ilmu mulai dari hadits, fiqih, dan juga bahasa. Guru yang paling
berpengaruh adalah ‘Isa ibn ‘Amr dan Abu ‘Amr ibn al-’Ala’. Beliau juga gemar mempelajari
ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari luar Arab, terutama matematika. Beliau adalah sahabat
dan juga pengagum Ibn Muqoffa’. Al-Khalil membaca semua karya terjemahan Ibn Muqoffa,
dan juga lainnya, termasuk ilmu tentang irama musik, yang berasal dari Yunani. Beliau sangat
menguasai ilmu tentang musik ini, sampai-sampai dijadikan pegangan oleh Ishaq al-Mushili
dalam karyanya tentang ilmu tersebut. Al-Khalil merupakan seorang yang jenius.. Beliau
adalah tokoh yang sangat vital dalam sejarah ilmu bahasa Arab. Peran beliau dalam ilmu ini
hampir meliputi semua aspek ilmu bahasa, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
hingga ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan bahasa Arab.
Dalam ilmu fonologi (ilmu al-ashwat), peran Al-Khalil sangatlah besar. Hal ini bisa
dilihat dari karya dan pemikirannya berikut ini:
 Al-Khalil menyusun kamus Al-’Ain merupakan kamus pertama dalam bahasa Arab
yang mengumpulkan sekian banyaknya kosakata bahasa Arab. Sistem yang
digunakan Al-Khalil dalam kamus beliau adalah dengan menyusun kata-kata
berdasarkan tempat keluarnya bunyi huruf (makharij al-huruf). Dalam hal ini, beliau
mengawali dengan bunyi bahasa yang keluar dari dalam tenggorokan (al-halq),
kemudian lidah (al-lisan), rongga mulut (al-fam), dan dua bibir (asy-syafatain).
Berikut adalah urutan huruf berdasarkan tempat keluar bunyinya yang beliau
terapkan dalam kitab al-Ain:
‫ﻉ ح ﻫـ خ غ ق ك ﺝ ﺵ ض ص ﺱ ﺯ ط د ﺕ ﻅ ﺫ ﺙ ر ﻝ ﻥ ف ﺏ م ﻱ ﻭ ء‬
(urutan -> dari kanan ke kiri)

Gambar 5.1
Kamus al-Ain karya Al-Khalil

53 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


 Al-Khalil memperkenalkan sifat alat wicara dalam mengeluarkan bunyi huruf.
Dalam hal ini istilah hams, jahr, syiddah, rakhawah, isti’la, dan istifal, kemudian
isymam, imalah, dan raum.
 Al-Khalil memperkenalkan perubahan yang terjadi pada bunyi huruf ketika dalam
tataran kata. konsep qalb, hazf, i’lal, ibdal, dan idgham.
 Al-Khalil memperkenalkan penggunaan tanda titik dan harakat (syakal). Beliau
menandai bunyi u (dammah) dengan wawu kecil di atas huruf, bunyi a (fathah)
dengan alif yang ditulis horizontal, dan bunyi i (kasrah) dengan ya’ kecil yang
disambung dibawah huruf.
Selain dalam bidang fonologi, Al-Khalil juga berperan sangat besar dalam bidang dalam
Morfologi Bahasa Arab (‘ilm as-sharf). Hal ini bisa dilihat dari karya dan pemikirannya
berikut ini:
 Al-Khalil memunculkan konsep pembagian kalimah
menjadi mujarradah dan mazidah. Yang pertama adalah yang kalimah yang tidak
terdapat huruf tambahan yang lazim, berbeda dengan yang kedua. Beliau
menyatakan bahwa kalimah yang mujarradah jumlah huruf aslinya tidaklah lebih
dari lima dan tidak kurang dari tiga. Beliau kemudian membuat ukuran (wazn)
untuk yang tiga huruf (tsulatsi) dengan fa’, ‘ain, dan lam (‫)ﻓﻌﻞ‬, kemudian
menambahkan satu lam di akhir untuk ruba’i, yang terdiri dari empat huruf
asli (‫ )ﻓﻌﻠﻞ‬dan dua lam untuk yang khumasi(‫)ﻓﻌﻠّﻞ‬. Kemudian, Al-Khalil menyatakan
bahwa huruf tambahan dalam hal ini ada sepuluh,
yaitu ‫ﺱ‬, ‫ﺃ‬, ‫ﻝ‬, ‫ﺕ‬, ‫م‬, ‫ﻭ‬, ‫ﻥ‬, ‫ﻱ‬, ‫ﻫـ‬, dan ‫ﺍ‬,
atau yang dikumpulkan dalam kalimat‫ﺳأﻟﺘﻤﻮﻧﻴﻬﺎ‬. Beliau juga
membuatkan wazn untuk tiap mazidah, semisal ‫ﺃﻓﻌﻞ‬, ‫ﺗﻔﻌّﻞ‬,‫ﺍﺳﺘﻔﻌﻞ‬, dan lainnya.
 Al-Khalil adalah yang membuat kaidah-kaidah perubahan-perubahan yang terjadi
dalam pembentukan kata terkait bunyi bahasa. Beliau membuat kaidah tentang
qalb, hadzf, I’lal, ibdal, dan idgham. Contoh, beliau menyatakan bahwa huruf
tambahan lebih layak untuk dibuang, seperti dalam pembuatan ism maf’ul dari fi’l
tsulatsi yang ajwaf (terdapat huruf ‘illat di tengah). Kata ‫ َﻣﻘُ ْﻮﻝ‬, aslinya
adalah ‫ َﻣ ْﻘ ُﻮ ْﻭﻝ‬berdasar wazn ‫ َﻣ ْﻔﻌُ ْﻮﻝ‬, harakat dhomah dipindahkan ke qof (naql al-
harakah), kemudian wawu yang kedua yang bukan huruf asli kata dihilangkan
(hadzf).

Dalam bidang nahwu, Al-Khalil bin Ahmad adalah guru para ahli nahwu. Di antara
murid beliau adalah Sibawaih, penulis Al-Kitab, sebuah karya besar dalam ilmu tata bahasa
arab. Beberapa karya dan pemikiran Al-Khalil yang sangat penting dalam ilmu nahwu
adalah sebagai berikut:
 Al-Khalil adalah orang yang membuat istilah-istilah nahwu seperti mubtada’,
khabar, maf’ul bih, fa’il, hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Beliau juga yang
mengistilahkan rafa’, nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah, dan
mengistilahkan harakah mabni dengan dham, fath, kasr, dan waqf (sukun).
 Al-Khalil terkenal atas konsep beliau tentang ‘amil dan ma’mul serta konsep
trilogy sima’, ta’lil, dan qiyas.
Khususnya dalam bidang leksikografi, beliau bisa dibilanh sebagai bapak
leksikohgrafi Arab. Sebagaimana disebut di atas, Al-Khalil telah membuat buku yang
memuat kosakata-kosakata bahasa Arab. Kitab Al-’Ain adalah kamus bahasa Arab pertama
yang telah dibuat. Urutan kata-kata dalam Al-’Ain ini didasarkan kepada urutan letak

54 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


keluarnya bunyi huruf, mulai dari tenggorokan bagian dalam, yaitu huruf ‘ain (‫)ﻉ‬. Oleh
karena itu, kitab ini diberi nama Al-‘Ain. Di buku tersebut Al-Khalil menyusun kata-kata
yang mungkin muncul dalam bahasa Arab dengan membuat variasi dari permutasi tiga
huruf penyusunnya. Misal, dari huruf kaf, ta’, dan ba’ bisa dibuat kataba, kabata, takaba,
tabaka, bataka, dan bakata. Kemudian, Al-Khalil membedakan hasil variasi mana yang
dipakai sebagai kata dalam bahasa Arab. Metode yang diterapkan Al-Khalil dalam
menyusun kamus ini adalah hasil pengetahuannya atas ilmu matematika, khususnya teori
tentang permutasi dan asosiasi. Walaupun metode ini tidak diikuti oleh para pakar pada
masa berikutnya, tetapi ini merupakan sebuah temuan yang berharga. Walaupun demikian,
karya Al-Khalil dalam menunjukkan makna leksikal kata-kata bahasa Arab ini adalah yang
pertama, jauh sebelum ditulisnya Lisan al-‘Arab oleh Ibn Mandzur, ataupun Al-Munjid.
Kontribusi beliau dalam bidang semantik ini adalah bukti keluasan ilmu beliau.
Demikianlah betapa besarnya sumbangsih Al-Khalil dalam bidang bahasa Arab,
terutama dalam bidang leksikografi. Al Khalil tutup usia pada tahun 170 H di kota
kelahirannya Basrah dengan meninggalkan banyak karya dan pemikiran yang ternilai
harganya.

B. Abu Amr Al-Syaibani


Lahir di desa Ramadah, dekat kota Kufah, pada tahun 110 H (728 M), Abu Amr Ishaq
bin Murar Al-Syaibani, yang masih keturunan Bani Syaibani merupakan salah satu tokoh
penting dalam leksikogrfai bahasa Arab. Abu Amr adalah ulama yang paling memahami
dialek dan bahasa bangsa Arab. Bahkan ia dikenal sebagai ulama yang paling paham tentang
kalimat-kalimat asing (gharib-nawadir). Sejak masa remaja, ia gemar belajar Bahasa Arab
bersama kawan-kawannya di seluruh pelosok kota Damaskus. Abu Amr rela masuk ke
pelosok desa dan bergaul dengan orang-orang badui di pedalaman untuk memahami dialek
dan bahasa Arab yang mereka ucapkan. Akhirnya, ia pun menulis beberapa buku yang
memuat koleksi bahasa dan dialek orang Kufah dan Baghdad sekaligus. Guru Abu Amr
Assyaibani yang paling terkenal adalah Al-Mufaddhal Al-Dhabi dan Al-Muhaddits Rukn Al-
Syami. Sedangkan murid-murid Abu Amr, antara lain: Amr (putranya sendiri), Imam Ahmad
bin Hambal, Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam.
Masa hidup Abu Amr dihabiskannya untuk mencari riwayat syair-syair kuno di pelosok
desa dan mencari data-data kebhasaan untuk mendukung penelitiannya. Abu Amr berhasil
menyusun lebih dari 80 buah kitab diwan (kumpulan syair) dari berbagai kabilah yang telah
dihampirinya.. Prestasi ini yang membuat Abu Amr dikenal sebagai sosok ilmuan dan
saastrawan yang peduli terhadap pengembangan dan pelestarian bahasa Arab.
Dalam bidang leksikografi, Abu Amr Asyaibani juga tercatat sebagai penyusun kamus
tematik pertama dalam sejarah bahasa Arab. Beberapa karyanya antara lain, Kamus Al-Jim,
Al-Khail, Al-Lughaat, Al-Nawadir Al-kabir, Gharib AL-Hadits, Al-nahlah, AL-Ibil, Khalq Al-
Lisan. Dari sekian judul bukunya, kitab Huruf fi Al-Lughah atau yang dikenal Kitab Al-
Jim adalah kamus yang memiliki pengaruh besar terhadap pengembangan leksikologi bahasa
Arab. Kamus Al-Jim adalah kamus makna yang disusun secara tematik. Pemilihan huruf Jim
sebagai judul kamus, telah mengecohkan para ulama lain. Mereka mengira urutan huruf yang
disusun di dalam kamus Al-Jim berawal dari huruf Jim seperti kamus Al ‘Ain yang dimulai
dari huruf ‘Ain. Padahal, kamus Al-Jim dimulai dari huruf Alif hingga Ya sesuai dengan huruf
hijaiyah.

55 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Abu Amr al-Syaibani menghabiskan sebagian besar hidupnya di Baghdad hingga
akhirnya pada tahun 206 H (821 M) beliau tutup usia disana dengan mewariskan khazanah
keilmuan yang yang sangat bermanfaat.

Gambar 5.2
Huruf Jim

C. Abu Mansyur Al-Azhari


Lahir tahun 282 H (895 M) di Qaramithah, sebuah kawasan dimana penduduknya
selalu berbicara dalam bahasa Arab Fushah, Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin Al-
Azhari Al-Harawi merupakan cucu dari Al-Azhar, seorang ulama fiqih terkemuka di
Khusaran. Budaya masyarakat kota Qaramithah yang selalu menjunjung tinggi bahasa Arab
Fushah dan menolak interbensi bahasa Arab ammiyah (pasaran) benar-benar mempengaruhi
karakter Al-Azhari sehingga ia mampu berbahasa Arab dengan fasih dan memiliki rasa
fanatisme tinggi terhadap bahasa Arab fushah.
Oleh sebab itu, kamusnya ia beri judul Tahdzib Al-Lughah yang berarti “usaha untuk
membenarkan atau mengembalikan kemurnian bahasa Arab”. Pada bagian mukaddimah, ia
mengatakan: “Kuberi nama kamusku dengan Tahdzib Al-Lughah, karena aku bermaksud
untuk mengumpulkan semua bahasa Arab yang pernah dihimpun sebelum ini dan menghapus
semua kata-kata yang sengaja di masukkan ke dalam bahasa Arab. Aku akan mengembalikan
bahasa Arab kepada struktur aslinya yang benar (fushah). Selain itu, kamus ini aku jaga
dengan sekuat tenaga agar tidak terjadi kesalahan tulis (tashif). Aku pun tidak ingin
memperpanjang bahasan dan memperbanyak materi kata yang tidak diperlukan di dalam
sebuah kamus. Di sini, semua kata/kalimat yang gharib(asing) yang diriwayatkan dari perawi
yang tidak tsiqah (kuat hafalannya), pasti akan kubuang”.
Dengan sistematika fonetik (nizhan shauty) seperti kitab Al-Ain karya Al-Khalil,
Kamus Thadzib al-Lughah ini mendapat respon yang sangat positif dari beberapa ulama
bahasa Arab. Ibnu Mandzur, penyusun kamus Lisan Al ‘Arab, memberikan testimoninya:
“Untuk kitab-kitab bahasa, belum pernah kutemukan kitab seindah Tahdzib Al-Lughah karya
Al-Azhari dan selengkap kamus Al-Muhkam karya Ibnu Sidah. Sedangkan kamus-kamus yang
lain itu hanya kamus kelas dua”.. Meskipun demikian, ada juga yang mengkritisi bahwa
kamus tersebut tidak member kontribusi dan pengaruh besar terhadap pengembangan ilmu
leksikologi. Mengingat, kamus tersebut dianggap ‘ikut-ikutan’ dengan sistematika fonetik
yang dirilis Khalil. Selain itu, tak satu pun ulama yang memakai kamus Tahddzib Al-
Lughah sebagai obyek kajian, kecuali Abdul Karim bin Athoilah Al-Iskandari yang menyusun
ringaksan kamus Tahdzib Al-Lughah dengan judul Mukhtashr At-Tahdzib. Walaupun
demikian, makna-makna leksikal dalam kamus Tahdzib Al-Lughah tetap dijadikan rujukan
oleh para generasi ulama sesudah Al-Azhari. Misalnya, Al-Shaghani(1181-1252 M) dalam
karyanya, Al-‘Ubab, kemudian Al-Razi (w. 1278 M) dalam kamsunya, Mukhtar Al-Shahih,
lalu Ibnu Mandzur (1232-1311 M) melalui kamusnya, Lisan Al-‘Arab dan beberapa ulama

56 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


lain yang mengaku telah menjadikan kamus Tahdzib Al-Lughah sebagai referensi dalam
memahami makna leksikal.
Saat ini, Naskah asli kamus Tahdzib Al-Lughah sebanyak 18 naskah tersimpan dengan
baik di Perpustakaan Arif di kota Madinah yang ditulis oleh seorang Khattah benama Yaqut
Al-hamawi pada tahun 616 H. kamus Tahdzib Al-Lughah, pertama kali dicetak pada tahun
1964 di Mesir setelah melalui proses editing yang dilakukan para ulama bahasa.

Gambar 5.2
Kamus Tahdzib al-Lughah karya Al-Azhari

D. Ibnu Duraid

Nama lengkapnya Muhammad bin Al Hasan bin Duraid Al Azdi (321-233 H/ 838-933
M). Ibnu Duraid lahir di Basrah, lalu pindah ke Oman dan menetap di sana selama 12 tahun,
kemudian iaa kembali lagi ke Basrah, Irak. Ibnu Duraid dikenal sebagai pakar bahasa dan
sastra Arab. Ia gemar mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menuntut ilmu
bahasa. Ia pernah berkelana ke daerah-daerah pinggiran di Persia. Pengembaraannya di negeri
Iran tercatat dalam Diwan Faris karya Ali Mikal. Namun, pada akhirnya ia lebih memilih
kembali ke Baghdad ada masa Dinasti Abbasiyyah yang dipimpin Al-Muqtadir. Ibnu Duraid
termasuk ilmuan yang dibiayai oleh negara. Setiap bulan, ia mendapat gaji sebesar 50 dinar
atas jasa-jasanya di bidang pengembangan ilmu bahasa. Seluruh hidupnya, ia pergunakan
untuk menghasilkan karya-karya ilmiah yang berperan besar dalam pengembangan ilmu
tatabahasa yang saat itu tumbuh pesat di Basrah, Irak. Ibnu Duraid meninggal di Baghdad di
usia 95 tahun.
Ibnu Duraid dikenal sebagai sosok ulama yang ulet, cerdas dan kuat hafalannya. Ia
berhasil mencetak murid-murid yang spesialis di bidang bahasa dan sastra. Di antara muridnya
yang terkenal, antara lain: Abu Hatim Al-Sijistani (w. 862 M), Al-‘Utba (w.869), Al-Sirafi
(897-979), Abu Faraj Al-Isfahani (893-?), Ibnu Khalawih (w. 980 M) dan AL-Zajjaj (855-923
M).
Kontribusi Ibnu Duraid dalam bidang leksikografi tidak bisa diragukan lagi. Beliau adalah
penyusun Kamus Al-Jamharah yang merupakan kamus pertama menggunakan sistem
alfabetis khusus. Ia berani tampil beda dengan mengesampingkan model-model kamus fonetik

57 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


yang kala itu berkiblat pada kamus Al 'Ain karya Khalil. Namun, materi-materi kata dalam
kamus-nya Ibnu Duraid banyak mengambil dari kamus Al-‘Ain. Bahkan, dalam hal
penjelasan makna (syarah), gaya bahasa (uslub) dan argumentasi (istisyhad), antara kamus
Al-Jamharah dan Al-‘Ain dapat dikatakan hamper sama. Hal ini yang kemudian menuai kritik
dari beberapa pihak yang menuduh Ibnu Duraid bukan sebagai leksikolog, sebab ia dianggap
hanya bisa mengganti kamus Al-‘Ain dengan sampul (baca:sistematika) yang berbeda,
sementara kandungannya tetap bermuara dari kamus al-‘Ain. Kamus Al-Jamharah dapat
dikatakan kurang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan leksikologi bahasa Arab.
Hal itu bisa dimaklumi karena Ibnu Duraid masih berada di bawah bayangg-
bayang Khalil dalam hal penyusunan kamus. Apalagi, sistematika urutan Alfabetis Hijaiyah
yang diusung Ibnu Duraid hanya mengekor pada hasil kreasi Nashr bin Ashim yang sebelum
ya telah menyusun huruf hijaiyah secara berurutan dari huruf Alif hingga ya’. Namun
demikian, kamus Al-Jamharah tetap merupakan sebuah karya yang bagus dan bermanfaat.
Selain kamusnya, Al-Jamharah atau Jamharah Al-Lughah sebanyak tiga jilid, karya-
karya lain Ibnu Duraid adalah Al-Isytiqaq, Al-Maqshurwa Al-Mamdud (ilmu sharaf), Al-
Mujtaba, Taqwim Al-Lisan, Dakhair Al-Hikmah, Shifah Al-Sirajwa Al-Lijam, Al-Malahin, Al-
Sahab Al-Ghaits, Adab Al-Katib, Al-Amaly, Al-Wisyah, Zuwar Al-‘Arab dan Al-Lughaat.

Gambar 5.4
Kamus Jamharah al-Lughah karya Ibnu Duraid

E. Ibnu Faris Al-Razi


Lahir pada tahun 329 H/941 M dengan nama Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya
ibn Habib al-Razi, nasab dan tanah kelahiran leksikolog ini masih diperdebatkan. Ada yang
berpendapat bahwa ia lahir di Quzwain. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena hanya
didasarkan pada logat Quzwain yang pernah diucapkannya. Pendapat lain menyatakan bahwa
ia berasal dari Rustaq. al-Qifthi berpendapat bahwa Ibn Faris berasal dari Hamadzan, lalu
hijrah ke Quzwain dan meninggal di Rayy, semuanya berada di Persia (Iran – Sekarang),.
Yaqut al-Hawawi juga meriwayatkan bahwa ia juga pernah ke Baghdad untuk mempelajari
hadits.
Ayahnya, Faris ibn Zakariya, dikenal sebagai ahli bahasa dan fiqh. Darinya ia mula-mula
belajar fiqh mazhabSyafi‘i. Dari ayahnya pula, ia meriwayatkan dan mempelajari Kitâb al-
Manthiq (logika) karya Ibn Sikkit (186-244 H). Ia juga belajar nahwu dengan metode Kufah

58 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


kepada Abu Bakr Ahmad ibn al-Hasan al-Khathib berdasarkan riwayat Tsa‘lab (200-291 H).
Ia juga mempelajari Kitâb al-‘Ain karya al-Khalil ibn Ahmad melalui Abu al-Hasan ‘Ali ibn
Ibrahim ibn Salamah al-Qaththan. Selain itu, ia juga mempelajari hadits dari Abu al-Hasan
‘Ali ibn ‘Abd al-‘Aziz, seorang sahabat Abi ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam. Darinya ia
meriwayatkan dua buah karya Abu ‘Ubaid, yaitu: Gharib al-Hadîts dan Mushannif al-
Gharîb.Guru yang lain adalah Ab Bakr Muhammad ibn Ahmad al-Ashfahani, ‘Ali ibn Ahmad
al-Sawî, dan Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad at-Thabarani. Diriwayatkan bahwa ia sangat
mengagumi Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Thahir al-Munajjim, salah seorang gurunya. Dari
beberapa gurunya itu, diperoleh informasi bahwa Ibn Faris adalah ahli nahwu yang bermazhab
Kufah, atau setidak-tidaknya mengikuti metode para ahli nahwu Kufah.
Di antara murid Ibn Faris adalah Badî’ al-Zamân al-Hamadzani (968-1007 M.), sastrawan
yang terkenal pada masanya, Abu Thalib ibn Fakhr al-Daulah al-Buwaihi, Isma‘il ibn ‘Ibad,
dan ‘Ali ibn al-Qasim al-Maqarri. Muridnya yang terakhir ini pernah mempelajari karya ibn
Faris, yaitu: Awjaz al-Sair li Khair al-Biyar . Dari karya ini, diketahui bahwa Ibn Faris pernah
tinggal di Mosul, kota di Utara Irak. Mayoritas ahli sejarah bersepakat bahwa ia meninggal
dan dimakamkan di kota Rayy, Persia. Tahun wafatnya masih diperdebatkan. Setidaknya ada
lima pendapat mengenai tahun kematiannya. Yaqut al-Hamawi meriwayatkan dari al-Humaidi
bahwa ia meninggal tahun 360 H; sementara itu, Ibn al-Jauzi dan Ibn al-Atsir, yang juga
diriwayatkan oleh Yaqut, berpendapat bahwa ia meninggal tahun 369 H. Ibn Khillikan
menyebutkan bahwa ia meninggal tahun 375 H di Mahmadiyah. Di tempat lain Ibn Khillikan
menyatakan bahwa ia meninggal pada tahun 390 H. Pendapat yang paling mendekati
kebenaran adalah bahwa ia wafat pada tahun 395 H. Pendapat ini didukung oleh al-Qifthi
dalam Inbâh al-Ruwât, al-Suyuthi dalam Bughyat al-Wu‘ât berdasarkan riwayat dari al-
Dzahabi, lalu Ibn Taghri Bardi dalam al-Nujûm al-Zâhirah, Ibn Katsir dalam al-Bidâyah wa
al-Nihâyah, dan Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Udabâ’.Pendapat yang terakhir ini juga
diperkuat oleh temuan Yaqut bahwa dalam kitab Tamâm al-Fashîh dan Irsyâd al-Arîbkarya
Ibn Faris terdapat tulisan tangannya yang menunjukkan tahun penyusunan-nya masing-
masing tahun 390 H. dan tahun 391 H. Jadi, ia meninggal kurang lebih dalam usia 66 tahun.
Ibn Faris meninggalkan tidak kurang dari 45 karya penting di beberapa bidang, seperti:
bahasa dan sastra Arab, ushûl al-fiqh, fiqh, tafsir, sejarah, dan etika. Beliau adalah penyusun
kitab Ikhtilâf al-Nahwiyyîn. al-Suyuthi dan Hâji Khalifah menyebutnya dengan judul: Ikhtilâf
al-Nuhât; sedangkan Yaqut menyebutnya dengan judul: Kifâyat al-Muta‘allimîn fî Ikhtilâf
al-Nahwiyyîn. Beliau juga menyusun kitab al-Ifrâd; al-Amâlî; Tafsîr Asmâ’ al-Nabî fi al-
Isytiqâq al-Lughawî; Tamâm Fashîh al-Kalâm; Dzakhâir al-Kalimât, Dzamm al-Khatha’ fi
al-Syi‘r; dan (Lâma’ât..
Adapun karya monumentalnya di bidang leksikografi adalah adalah: Maqâyîs al-Lugah,
al-Mujmal, dan al-Itbâ‘ wa al-Muzâwajah fi al-Lughah. Ibn Faris dinilai mempunyai
komitmen akademis yang tinggi dalam menekuni dan mengembangkan keilmuan bahasa dan
sastra Arab. Karena itu, ia tidak hanya seorang linguis (ahli bahasa), tetapi juga sastrawan dan
penyair. Dalam menjelaskan makna suatu kata secara kontekstual, ia tidak jarang
mempergunakan syair sebagai “pengikat” konteks. Dalam hal ini, dua karya
leksikologisnya, Maqâyîs al-Lughah –ada yang menyebut Maqâyîs fi al-Lughah dan al-
Mujmal, tidak kalah penting jika dibandingkan dengan Kitâb al-‘Ain karya al-Khalil ibn
Ahmad (718-789 M) dan al-Jamharah karya Ibn Duraid (837-933 M). Dengan kata lain, Ibn
Faris tetap mengapresiasi dan menjadikan kamus yang telah ada sebelumnya sebagai referensi
dalam penyusunan kamusnya.

59 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Meskipun dalam menyusun kedua kamusnya itu bersumber pada karya al-Khalil dan Ibn
Duraid, Ibn Faris menggunakan metode baru pada masanya, yaitu metode isytiqâq (derivasi,
turunan kata), sebuah pendekatan dalam penyusunan entri kamus yang didasarkan pada
derivasi, bukan pada awal huruf dan pembalikannya (taqlîb) seperti cara yang digunakan Ibn
Duraid, dan juga bukan berdasarkan akhir kata seperti yang ditempuh oleh al-Jauharî
dalam al-Shihâh, Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, dan al-Fairuzabadi dalam al-
Muhîth. Demikian pula, kedua karyanya tersebut juga berbeda dengan Asâs al-
Balâghah karya al-Zamakhsyari (1075-1144 M) dan al-Mishbâh al-Munîr karya al-Fayumi
yang keduanya disusun berdasarkan huruf awal suatu kata.
Tujuan utama Ibn Faris dalam menyusun kedua kamusnya tersebut adalah: (1)
mengembalikan semua mufradât(kosakata) dari setiap entri (mâddah) kepada satu atau
beberapa makna yang searti dari keseluruhan kosa kata yang menjadi turunan dari kata
tertentu; (2) standarisasi derivasi dan arti masing-masing kata yang dinilai benar berdasarkan
pendapat mayoritas ahli bahasa Arab. Karena itulah, ia memberi judul salah satu kamusnya
dengan al-Maqâyîs (ukuran, standar), yang oleh beberapa ahli bahasa disebut “al-isytiqâq al-
kabîr” (derivasi makro). Metode Ibn Faris dalam penyusunan kamusnya itu didasarkan pada
pendapat bahwa “Para penutur bahasa, kecuali yang menyimpang, bersepakat bahwa bahasa
Arab itu mempunyai qiyâs (analogi, standar), dan bangsa Arab itu menderivasikan sebagian
kata-kata mereka dari kata-kata yang lain. Kata “jinn” misalnya merupakan derivasi dari
“ijtinân“, yang keduanya mempunyai kedekatan arti, yakni: tertutupi, terselimuti, sehingga
makhluk jin itu tidak terlihat oleh mayoritas indera penglihatan manusia.
Al-Maqâyîs karya Ibn Faris itu hingga kini masih menjadi salah satu rujukan penting
dalam pengambilan arti suatu kata Arab. Kitab ini setidak-tidaknya telah diterbitkan dalam
dua versi dan ditahqiq oleh dua editor berbeda. Yang pertama diedit oleh ‘Abd al-Salam Harun
dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1946-1952 oleh penerbit ‘al-Babi al-Halabi di Kairo,
sebanyak enam jilid. Pada tahun 1981, kamus ini sudah mengalami cetak ulang ketiga yang
diterbitkan oleh Maktabah al-Khaniji di Kairo. Sedangkan yang kedua diedit oleh
Syihabuddin Abu ‘Amr yang diterbitkan dalam satu jilid tebal oleh Dâr al-Fikr pada tahun
1994, dan pada tahun 1998 telah mengalami cetak ulang yang kedua. Edisi Dâr al-Fikr ini
lebih simpel dan menarik karena entri-entrinya dicetak dengan warna merah. Hal ini menjadi
bukti bahwa al-Maqâyîshingga sekarang masih dinilai otoritatif sebagai referensi makna
bahasa, terutama makna leksikal (al-ma’na al-mu’jami) dalam dalam analisis semantik dan
pemaknaan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.

Gambar 5.5
Kamus Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris

60 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Adapun kitab karyanya yang lain, al-Itbâ‘ wa al-Muzâwajah fi al-Lughah adalah semacam
karya ensiklopedis yang disusun berdasarkan urutan huruf alfabetis. Buku ini lalu diringkas
dan disempurnakan oleh al-Suyuthi dengan judul: al-Ilmâ‘ fi al-Itbâ‘;

F. Ibnu Jinni
Nama lengkapnya ialah Abu al-Fath Utsman Ibnu Jinni, lahir di Mausil (Mosul) Irak.
Tidak ada sumber sejarah yang pasti menginformasikan tahun kelahirannya, tetapi ada yang
berspekulasi bahwa ibnu Jinni lahir pada tahun 321 H atau 322 H.Asal keturunan Ibnu Jinni
juga tidak diketahui dengan jelas. Ayahnya keturunan Roma dan yunani, budak Sulaiman bin
Fahad bin Ahmad al-Azdi. Jadi, Ibnu Jinni bukan orang Arab. Nama Jinni jika
ditranslitrasikan berasal dari kata gennaius, yang berarti “mulia, jenius, baik fikirannya dan
ikhlas. Oleh karena itu, Ibnu jinni sering menggunakan nama majikannya di belakang
namanya, yaitu, Abu al-Fatah Usman Ibn Jinni al-Azdi.
Berasal dari kalangan sederhana dan bukan bangsawan, Ibnu Jinni adalah sosok yang
pantang menyerah dalam menuntut ilmu. Ibnu Jinni menghabiskan masa kanak-kanaknya juga
di kota kelahirannya tersebut. Di Mosul juga ia mendapatkan pendidikan dasarnya, belajar
ilmu nahwu pada gurunya yang bernama Ahmad bin Muhammad al-Mausili al-Syafi’i yang
lebih dikenal dengan sebutan al-Akhfasy. Setelah itu, ia pindah ke Baghdad dan menetap di
sana. Di kota ini, ia mendalami lingistik selama kurang lebih empat puluh tahun pada gurunya
yang sangat ia hormati dan ia kagumi, Abu ‘Ali al-farisi. Begitu lamanya Ibnu Jinni menimba
pengetahuan bahasa pada Abu ‘Ali, sehingga keduanya terjalin hubungan yang sangat erat
seperti hubungan persahabatan.
Selain berguru secara khusus kepada Abu ‘Ali , Ibnu Jinni juga banyak belajar pada
tokoh linguistik lain, terutama yang terkait dengan pengambilan sumber bahasa (ruwat al-
lugah wa al-adab), di antara mereka ialah Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan yang lebih
dikenal dengan sebutan Ibnu Miqsam, seorang pakar qira’ah al-Qur’an, Abu Abdillah
Muhammad bin al-‘Assaf al-‘Uqaili al-Tamimi, terkadang Ibnu Jinni menyebutnya dengan
Abu Abdillah al-Syajari.
Ibnu Jinni hidup pada abad keempat hijriah (abad X M) yang merupakan abad puncak
perkembangan dan kematangan ilmu-ilmu keislaman, yang pada umumnya para ilmuawan
pada abad ini tidak saja menguasai satu disiplin pengetahuan, tetapi juga menguasai disiplin-
disiplin lainnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila para penulis biografi Ibnu Jinni
menyatakan bahwa karya-karya tokoh yang satu ini menggabungkan teori linguistik, teori
prinsip fiqh (ushul fiqh), juga teori Ilmu Kalam karena dia penganut mazhab Mu’tazilah,
mazhab yang juga dianut oleh guru besarnya, Abu Ali al-Farisi. Ibnu Jinni menetap di
Baghdad hingga wafat pada tahun 392 H tepatnya pada malam jum’at.
Baik ulama sezamannya, maupun generasi para linguis yang muncul kemudian,
mengakui penguasaan dan keluasan pengetahuan Ibnu Jinni atas linguistik Arab. Abu Tayyib
al-Mutanabbi (w.354 H), penyair yang sangat terkenal dan sahabat Ibnu Jinni, misalnya,
pernah berkomentar tentang Ibnu Jinni, “Dia adalah sosok yang kehebatannya belum
diketahui oleh banyak orang”. Bahkan, apabila al-Mutanabbi ditanya tentang makna suatu
kata yang ia ucapkan (dalam puisinya), atau tanda harakat (I’rab) yang dianggap aneh, dia
selalu menjawab, “Tanyakanlah pada syaikh juling, Ibnu Jinni, dia akan menjawab
semuanya”. Demikian pula Thash Kubri Zadah yang dikenal dengan Ahmad bin Mustafa,
dalam bukunya Miftah al-Sa’adah, menyebutkan bahwa Ibnu Jinni adalah intelektual yang
sangat cerdas, memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam di bidang nahwu dan sharaf.

61 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Ibnu Jinni adalah linguis yang prolific dan produktif. Ini dibuktikan dengan berbagai
karyanya. (1) Al-Khashaish; Buku ini pertama kali dicetak dan diterbitkan oleh al-Hilal,
Masir, tahun 1923. Meskipun buku tersebut belum meluas, namun pengaruhnya sagat besar
di kalangan para ilmuan, sastrawan, peneliti maupun pemakai bahasa Arab. (2) Sirr al-
Shina’ah; Tulisan pada buku ini berupa manuskrip-manuskrip. Banyak para ilmuan yang
mengedit dan memberikan komentar terhadap buku tersebut kemudian mencetaknya seperti
yang telah dilakukan oleh penulis buku Kasyfu al-dzhunun Abu Abbas bin Ahmad
Muhammad al-Isybili yang terkenal dengan nama Ibn al-Hajj (wafat tahun 647 H). (3) Tafsir
tashrif al-maazini (4) Syarh mustagliq abyaat al-humasah wa isytiqaq asmaai al-humasah
(5) Syarh al-Maqshur wa al-mamdud li ibn al-Sukait (6) Tafsir diiwan li-mutannabii al-
kabir. (7) Al-luma’ fii al-‘arabiyah.

Gambar 5.6
Kitab Al-Khashaish karya Ibnu Jinny

G. Al-Jawhari
Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Jauhari (Arab: ‫ﺃﺑﻮ ﻧصﺮ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺣﻤﺎد ﺍﻟﺠﻮﻫﺮﻱ‬atau (
lebihdikenal dengan Ismail bin Hammad al-Jauhari (wafat pada tahun 393 H/1003) adalah
seorang ulama dibidang bahasa Arab dan nahwu. Ia berasal dari Farab, salah satu kota di
negeri Turki. Ia mengelilingi negeri Irak, mempelajari bahasa Arab dari Abu Ali al-Farisi dan
as-Sairafi, ia juga mengelilingi negeri Rabi'ah dan Mudhar untuk mempelajari bahasa Arab
dari orang-orang Arab 'Aribah
Kontribusi Al-Jawhari dalam bidang leksikografi sangatlah besar. Salah satu karya beliau,
Kitab al-Shihhah atau judul lengkapnya Taj al-Lughah wa al-Shihhah al-
‘Arabiyyah merupakan sebuah kamus Bahasa Arab yang terkenal, yang menjadi rujukan para
ulama dan ahli bahasa Arab sejak turun temurun.
Para pengkaji dan penyelidik Bahasa Arab bersepakat bahawa al-Jawhari adalah salah
satu daripada keajaiban zaman dari sudut kepintaran dan kebijaksanaannya. Beliau dianggap

62 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


sebagai pemudah kepada dunia perkamusan Bahasa Arab. Beliau telah mencipta kaedah
penyusunan kamus mengikut akhiran perkataan. Dalam Bahasa Arab ia dikenali
sebagai Qawafi atau bisa juga disebut system puitis.
Kitab Shihhah karangan al-Jawhari disusun berdasarkan akhiran perkataan. Pembaca
yang ingin mencari sesuatu kalimah perlu melihat huruf terakhir pada kalimah (setelah
dibuang huruf-huruf tambahan) dan kemudian melihat huruf terawal untuk mengetahui
bahagian yang menempatkannya. Huruf terakhir pada binaan kalimah dicari pada bab dan
huruf terawal pada binaan kalimah dicari pada bahagian. Contohnya dalam Bab Hamzah,
Bahagian Wau, kalimah-kalimah yang akan kita temui ialah ,‫ ﻭطأ‬,‫ ﻭضأ‬,‫ ﻭرﺃ‬,‫ ﻭﺫﺃ‬,‫ ﻭدﺃ‬,‫ ﻭﺟأ‬,‫ ﻭﺛأ‬,‫ﻭﺑأ‬
‫ ﻭﻣأ‬,‫ ﻭﻛأ‬dan seterusnya. al-Jawhari juga bukan sekadar mengambil kira huruf terakhir dan huruf
terawal, malah beliau turut menyusun pecahan selepasnya berdasarkan huruf kedua atau
ketiga dalam binaan kalimah.

Gambar 5.7
Kamus al-Shihah karya Al-Jawhari

H. Ibnu Mandzur
Leksikolog bernama lengkap Muhammad bin Mukram bin Ahmad bin Habqah Al-
Anshari Al-Afriqi ini lahir pada tahun 630 H (1232 M). Nasabnya bersambung kepada
Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari.. Beliau adalah termasuk ulama yang disegani dan mempunyai
banyak murid seperti Ibnu Muqir, murtadha Ibnu Hatim, Abdur Rahim, Ibnu Thufail.. Beliau
wafat tahun 711 H. Ibnu Mandzur terkenal sebagai leksikolog yang produktif dan selalu
mencatat atau menulis karangan sepanjang hidupnya,
Sejak masih muda, Ibnu Mandzur mempunyai kegemaran meringkas kitab –kitab
popular saat itu, diantaranya: Mukhtashar al-Aghami, Mukhtashar Tarikh Baghdad (Al Kitab
Al-Baghdady), Muhktashar tarikh Dimasyqu (Ibnu Asakir) Mukhtashar Mufradaa ibnu
Baythar, dan mukhtashar Al-Dakhirah. Shufdi mengatakan “aku hampir tidak menemukan
kitab-kitab tebal melainkan mtelah di ringkas oleh ibnu mandzur”. Menurut qutbuddin, putra
ibnu mandzur, karya tulis ayahnya tidak kurang dari 500 jilid buku. Puncak produktifitasnya
adalah saat ia berhasil mengarang kamusnya yang berjudul “Lisan al-Arab". Kamus yang
fenomenal ini tidak merubah ringkasan kitab dari kitab-kitab kebahasaan, bahkan kamus
beliau lebih besar dan luas dari pada setiap kamus-kamus sebelumnya.

63 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


Mengenai latar belakang pembuatan kamus Lisan Al-Arab ini, Ibnu Mandzur berkata
dalam muqaddimahnya: “saya senang sekali menelaah buku-buku bahasa dan kamus, saya
juga suka mengi’lal dan mentasrif kata-kata, saya juga suka menganalisa karya pakar-pakar
bahasa dari dua sisi. Ada yang pengelompokannya baik namun tidak baik dalam
penempatannya. Dan begitu juga sebaliknya, baiknya penempatan tidak bermanfaat apabila
kurang baik pengumpulannya”. Maksudnya beliau berkehendak mengumpulkan kedua
kebaikan diatas dalam kamusnya: antara baiknya pengumpulan dan peletakan. Beliau
membuat perumpamaan Tahzibul Lughah karya Imam Al-Azhari dan al-Muhkam karya Ibnu
Sidah. Karya-karya tersebut kontennya detail secara sempurna namun lemah dalam
penyusunan bab yang campur baur. Oleh karena itu dia berambisi untuk memperbaiki
penyusunan dan strukturnya dengan sedikit berpedoman kepada kitab as-Shihah karya al-
Jaauhari. Dalam pendahuluan lisan al-arab, terdapat penjelasan bahwa kamus itu bersumber
dari lima kamus populer sebelumnya, yaitu: kamus Tahdzib (al-azhari), Muhkam (ibnu sidah),
al-shihah (al-jawhari), hawasyi (ibnu bari ) dan nihayah (ibnul atsir).
Kamus Lisan Al-‘Arab diakui sebuah kamus paling besar dan lengkap di zamannya
sanggup menampung semua kandungan dari kamus-kamus sebelumnya seperti: kamus Al-
Muhkam, Al-Shihah, Tahdzib al-Lughah, al-Jamarah, al-nihayah, hasyisah al-shihah. Para
ulama mengakui, bahwa membaca kamus karya ibnu mandzur ini, laksana telah membaca
kamus-kamus pendahulunya. Tak berlebihan, jika kamus Lisan al-‘Arab, tergolong kamus
paling lengkap, sebab ia memuat lebih dari 80.000 kata. Itupun belum termasuk kata-kata
derivasinya. Sayangnya, menurut Abed Al-Jabiri, kamus Lisan Al-Arab yang terdiri dari
banyak volume ini, tidak memuat nama-nama segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
atau industry, juga konsep-konsep teoritis dan berbagai istilah yang telah dikenal pada saat
itu, abad 7 dan 8 H. dan yang ada di Kairo salah satu pusat peradaban utama dalam sejarah
islam.
Karya-karya ibnu mandzur lainnya, mayoritas berupa buku ringkasan (mukhtashar)
dari kitab popular sebelumnya, sehingga ia di kenal sebagai pennulis yang sanggup meringkas
dari isi buku-buku besar di sungguhkannya dengan bahasa yang ringkas sehingga mudha
dipahami oleh generasi selanjutnya. Ashafadi berkata, Sistem penyusunan kosa kata dalam
Lisan al-Arab sama persis dengan assihah (al-jauhari) yang terdiri dari beberapa kitab (nama
huruf akhir) dan tiap kitab terdiri dari pasal-pasal (nama huruf awal). Perbedaan antara lisan
al arab dan assihah, terletak pada masalah pengambilan riwayat. Jika al-jauhari (al-sihhah)
hanya memuat riwayat makna dari syair, qasidah, atau lainnya yang memiliki nilai sahih
(falid), tetapi ibnu mandur (lisan al-arab) tidak hanya m embatasi pada riwayat yanh sahih. Ia
mengambil semua makna, walaupun berasal dari syahid (dalil) yang tadak sahih, karena
sebuah qamus bahasa saharusnya mampu merekam (baca: kodifikasi) semua kosa kata bahasa
arab.

Ibnu Mandzur memilih urutan materi kamusnya seperti yang dilakukan Jauhari
sebelumnya dalam kamus shihhahnya, artinya urutan bab dan fashalnya. Jadi tidak perlu
mengulang. Dalam penyusunan ini Ibnu Mandzur menyusunnya dengan mengisinya, tidak
merubah, menambah atau menguranginya. Didalamnya dibahas tentang huruf yang
menyimpulkan bab, dan kamu mencari sesuatu dalam kamus ini dari halaman pertama
sehingga jelaslah bab yang pertama, bab alif hamzah, dengan mencari sepanjang huruf
hamzah. Dalam hal ini memindahdari Imam Abbas, Jauharidan Ahmad bin Yahya. Oleh
karena itu, Ibnu Mandzur meletakkan dua fasal mukaddimah yang mengiringi permulaannya.
Kadang-kadang pertamanya diperoleh dari tafsir makharijul hurufnya, yang ada di permulaan

64 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


sebagian surah al-Qur’an. Setelah ini dibahas tentang sesuatu yang berhubungan dengan
materi kamus itu sendiri.

Gambar 5.8
Kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur

I. Al-Fairuzabadi
Leksikolog yang dilahirkan di Kazrawan, sebuah kampung di Syiraz, Iran pada tahun
729 H/1329 M ini ialah seorang ulama yang berandil besar dalam perkembangan leksikografi
Bahasa Arab. Lahir dengan nama lengkap Abu Tahir Muhammad bin Yakkub bin
Muhammad al-Fairuzabadi, leksikolog yang akrab dipanggil Fairuzabadi ini sejak usia
delapan tahun telah mulai belajar bahasa dan sastera secara mendalam dari ayahnya sendiri
dan al-Qawwam bin Najm serta ulama-ulama terkenal lainnya di Syiraz.
Al-Fairuzabadi mempunyai motto dalam hidupnya: ‘Tidak ada masa tanpa buku’
sehingga beliau sempat dijuluki sebagai ‘kutu buku’. Minat beliau terhadap buku-buku sangat
besar sehingga ia sekuat tenaga selalu berusaha untuk membelii buku walaupun harganya
sangat mahal dan sukar didapati. Beliau berani mengeluarkanu berapa saja untuk buah buku
yang diinginkannya. Diceritakan bahawa beliau senantiasa membawa buku-bukunya saat
menetap di suatu tempat atau sedang dalam perjalanan. Jika beliau berpergian selalu kelihatan
membawa beberapa buah peti yang penuh dengan buku. Beliau akan membaca buku-buku
yang dikehendakinya setiap kali berhenti untuk beristirahat, kemudian ditutupnya dan
meneruskan perjalanannya.
Karya al-Fairuzabadi yang sangat terkenal dalam bidang leksikografi bahasa Arab
adalah Al-Qamus Al-Muhith, yang telah diakui kualitasnya dalam dunia Islam dan merupakan
buku yang paling banyak dibaca oleh para penulis saat itu. Ada yang memebrikan penjelasan
(syarah), kritik (naqd), pembelaan (difa’), dan juga ringkasan (ikhtishar). DIrilisnya kamus
Al-Qamus Al-Muhith juga merupakan momen yang sangat bersejarah karena dari sinilah
istilah kamus itu berasal. Kamus yang selama ini disebut Mu’jam akhirnya bergeser menjadi
Kamus berkat popularitas Al-Qamus Al-Muhith yang mendunia. Qamus sendiri arti asliny
adalah Samudra yang dalam, mengacu pada konten Al-Muhith yang sangat komprehensif dan
menyeluruh.
Ketika berusia lima puluh tahun, Fairuzabadi mengembara ke berbagai negara. Salah
satunya ke Syria dan tinggal di sana beberapa saat, kesempatan itu 2018 telah digunakan
oleh banyak orang untuk mengambil ilmu beliau hingga akhirnya beliau semakin menjadi
terkenal. Fairuzabadi juga mengambil kesempatan untuk bertemu dengan ulama-ulama
terkenal di Syria seperti Ibnu Qayyim, Ibnu al-Hamawi, Ahmad bin Mattar An-Nablusi dan

65 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


lain-lain. Kemudian beliau mengunjungi kota Kahirah dan beberapa kota lainnya di belahan
utara sehingga sampai ke India. Setelah itu, beliau berziarah ke kota Zabid di Yaman dan
disambut dengan penuh penghormatan oleh Sultan al-Asraf Ismail bin Rasul yang memerintah
Yaman ketika itu. Kebetulan Hakim Agung Yaman Jamaluddin Ar-Rini baru saja wafat, maka
Sultan melantik Fairuzabadi menjadi Hakim Agung. Hubungan Fairuzabadi dengan Sultan
Yaman pun bertambah erat saat seorang puteri Fairuzabadi menikah dengan Sultan Yaman
tersebut. Beliau menetap di Zabid dengan bahagia hingga wafat beliau wafat pada tahun 1415
M.

Gambar 5.9
Kamus al-Muhith karya Fairuz Abadi

66 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Fairuz.. Al-Qamus al-Muhith, 1301 H, Kairo: al-Hai’ah al-Misriyah al-‘Ammah


lil Kitab.

Abdul Chaer, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. 2007. Jakarta: Rineka Cipta.

Abdullah, Ahmad. Al-Ma’âjîm al-Lughawiyah wa Thuruwu Tartibîhâ. 1412 H. Riyadh :


Dar Rayah.

Al-Farahidi, Khalil bin Ahmad. Kitab al-‘Ayn, t.t., Libanon: Muasasat al-A’lami.

Anīs, Ibrāhīm. al-Mu’jam al-Wasīth, 1972. Kairo: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-
Qāhiri.

Atabik, Ali, Kamus Al-‘Ashri, 2001. Yogyakarta: Multi Karya Grafika

Ibrāhīm, Rajab ‘Abd al-Jawād. 2001. Dirāsah fi ad-Dalālah wa al-Ma’ājim. Kairo: Dār
Gharīb.

Jamaluddin, Bin Manzur, .Lisan Al-‘Arab, 1990. Bairut: Dar As-Sodir

Nuryani‚’Ilm al-Mu’jam: an-Nazhariyyāt wa at-Tathbiq, 2015. Prosiding al-Lughah al-


‘Arabiyyah Asās as-Śaqāfah al-Insāniyyah, UIN Maliki Malang.

Taufiqurrochman, H. R. Leksikologi Bahasa Arab. 2008. Malang: UIN Malang Press,

Ya’qūb, Emil Badī’. 1981. al-Ma’ājim al-Lughawiyyah al-‘Arabiyyah. Beirut: Dār al-
Śaqāfah al-Islāmiyyah.

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus ‘Arabi-Indunisi, Jakarta: Hidakarya Agung.

Wahab, Muhbib Abdul, Peta Perkembangan Leksikografi Arab di Indoensia: Studi Kritis
atas Kamus Karya Mahmud Yunus, Arabi : Journal of Arabic Studies, 2 (1), 2017

Qāsim, Riyādh Zakī. al-Mu’jam al-‘Arabī: Buhūts fi al-Māddah wa al-Manhaj wa al-


Tathbīq. 1987. Beirut: Dār al-Ma’rifah.

www.wikipedia.org

67 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab


BIODATA PENULIS

Mufti Rasyid, M.Pd.I, lahir pada tanggal 31 Agustus 1987 di


Jombang, Jawa Timur. Setelah menamatkan program sarjana dalam
bidang pendidikan bahasa Arab di Institut Keislaman Hasyim
Asy’ari Tebuireng (2009), penulis mulai menekuni dunia
pengajaran dengan menjadi guru di beberapa sekolah seperti SMA
A . Wahid Hasyim, MTs Salafiyah Syafiiyah Tebuireng, SMA IT
Misykat Al-Anwar, dan MA Darul Ulum Jombang. Setelah
menamatkan program magister pendidikan Bahasa Arab di
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (2015), penulis
mulai menekuni karir sebagai dosen di STAIN Kediri (2015-2017)
dan IAIN Tulungagung (2018- sekarang).
Tak hanya menekuni dunia pengajaran, penulis juga tertarik dengan seni dan budaya.
Pada tahun 2012 penulis mendapatkan beasiswa culture exchange Fulbright CCIP
(Community College Initiative Program) di Parkland College, Amerika Serikat. Pada tahun
2016 penulis terpilih menjadi finalis Eagle Award Documentary Cimpetition di Metro TV
Jakarta. Hingga akhirnya pada bulan oktober 2019 penulis menjadi peserta program
kebudayaan dan kepemudaan internasional bertajuk ISWIP (International Student Week in
Pakistan) di Lahore, Pakistan.

68 | Pengantar Leksikografi Bahasa Arab

Anda mungkin juga menyukai