PENDAHULUAN
Secara fonetik artikulatoris adalah hal pertama yang harus dibicarakan adalah alat
ucap manusia untuk menghasilkan bunyi (Chaer, 2003:104). Bunyi bahasa merupakan bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Oleh karena itu, setiap bunyi yang bukan keluar dari
alat ucap manusia bukan bunyi bahasa. Dalam menghasilkan bunyi alat ucap manusia
mengalami proses pelafalannya. Dalam proses tersebut bunyi yang diucapkan sering
mengalami pengaruh atau dipengaruhi oleh bunyi lain. Atau dengan kata lain bunyi tertentu
sering muncul pada saat diucapkan sebuah bunyi. Bunyi yang memepengaruhi itu memang
tidak diinginkan oleh penutur suatu bahasa namun bunyi itu muncul secara serta merta dalam
pelafalan sebuah bunyi. Disadari atau tidak, bunyi yang muncul pada saat melafalkan bunyi
lain itu merupakan sebagai bunyi pemengaruh. Sedangkan bunyi yang dipengaruhi oleh bunyi
lain itu dinamakan sebagai bunyi yang mendapat pengaruh. Akibat dari pengaruh dan
pemengaruh itu terjadi proses tertentu dalam pelafalan bunyi bahasa.
Bunyi-bunyi yang muncul secara serta merta itu dalam bahasa Indonesia bukanlah
sebagai sebuah fonem. Hal itu disebabkan karena kehadiran fonem pemengaruh itu tidak
membedakan makna dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan identifikasi fonem, untuk melihat
sebuah fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata,
yang mangandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang
mirip dengan satuan bahasa pertama. Kalau 2 ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda
maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi
membedakan makna satuan bahasa itu (Chaer, 2003:125).
Perubahan fonem terjadi karena beberapa faktor, yaitu perubahan fonem terjadi
karena akibat adanya koartikulasi yang terjadi karena sewaktu artikulasi primer untuk
memproduksi bunyi pertama berlangsung, alat-alat ucap sudah mengambil ancang-ancang
untuk membuat atau memproduksi bunyi berikutnya. Akibatnya, bunyi pertama yang
dihasilkan agak berubah mengikuti ciri-ciri bunyi kedua yang akan dihasilkan (Chaer, 2009:
96-97). Berikut akan dibahas dalam penulisan esai ini tentang perubahan fonem yang
disebabkan oleh koartikulasi.
PEMBAHASAN
Koartikulasi disebut juga artikulasi sertaan, atau artikulasi kedua adalah proses
artikulasi lain yang menyertai terjadinya artikulasi utama (primer/ pertama). Koartikulasi ini
terjadi karena sewaktu artikulasi primer untuk memproduksi bunyi pertama berlangsung, alat-
alat ucap sudah mengambil ancang-ancang untuk membuat bunyi berikutnya. Akibatnya,
bunyi pertama yang dihasilkan agak berubah mengikuti cirri-ciri bunyi kedua yang
dihasilkan.
Untuk lebih jelasnya berikut ini merupakan peristiwa yang ditimbulkan akibat adanya
koartikulasi:
1. Labialisasi
Labialisasi adalah proses pelabialan atau pembulatan bentuk bibir ketika artikulasi primer
berlangsung. Selain bunyi labial, bunyi lain juga dapat dilabialisasikan,. Misalnya, bunyi [t]
atau fonem /t/ adalah bunyi apikoalveolar, tetapi pada kata <tujuan>, bunyi [t] itu akibat dari
akan diucapkannya bunyi [u] yang merupakan vocal bundar, maka bunyi [t] disertai dengan
proses pembulatan bibir, sehingga bunyi [t] terdengar sebagai bunyi [tw]. jadi, kata <tujuan>
dilafalkan menjadi [twujuwan].
2. Retrofleksi
Retrofleksi adalah proses penarikan ujung lidah melengkung kea rah palatum sewaktu
artikulasi primer berlangsung, sehingga terdengar bunyi [r]. selain bunyi apical, bunyi lain
dapat di retrofleksikan. Misalnya, bunyi [k] adalah bunyi dorsopalatal, tetapi bunyi [k] pada
kata <kertas> dilafalkan sebagai bunyi [kr] karena bunyi [k] itu diretrofleksikan dulu. Jadi,
kata <kertas> dilafalkan menjadi [kretas].
3. Palatalisasi
Palatalisasi adalah proses pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras (palatum)
sewaktu articulator primer berlangsung. Selain bunyi palatal, bunyi lainnya dapat
dipalatalisasikan. Misalnya, bunyi [p] pada kata <piara> dipalatalisasikan sehingga terdengar
sebagai bunyi [py]. maka, kata <piara> dilafalkan menjadi [pyara].
4. Velarisasi
Velarisasi ialah proses pengangkatan pangkal lidah (dorsum) kea rah langit-langit
lunak(velum) ketika artikulasi primer berlangsung. Selain bunyi velar, bunyi lain dapat
divelarisasikan. Misalnya, bunyi [m] pada kata <makhluk> divelarisasikan menjadi [mx].
oleh karena itu, kata <makhluk> dilafalkan menjadi [mxaxluk].
5. Faringalisasi
Faringalisasi ialah proses penyempitan rongga faring ketika artikulasi sedang berlangsung
dengan cara menaikkan laring, mengangkat uvular (ujung langit-langit lunak), serta dengan
menarik belakang lidah (dorsum) kea rah dinding faring. Semua bunyi dapat
difaringalisasikan.
6. Glotalisasi
Glotalisasi ialah proses penyertaan bunyi hambat pada glottis sewaktu artikulasi primer
berlangsung. Misalnya, bunyi [a] dan bunyi [o] pada kata <akan> dan <obat> dilafalkan
menjadi [?akan] dan [o?bat]. begitu juga bunyi [a] pertama pada kata <taat> dan <saat>
dilafalkan menjadi [ta?at] dan [sa?at}.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul, 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta Timur : Rineka Cipta.
FITRIANI 22882015278