Anda di halaman 1dari 4

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur
lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau
berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap
menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang
monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang
mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami apa
apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan
sebagai akibatnya. peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibat adanya kontak
bahasa tersebut adalah apa yang di dalam sosiolinguistik disebut
bilingualisme, diglosia, alih kode, campur
kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan pergeseran bahasa.

1. Bilingualisme
Bilingualisme (Inggris: Bilingualism): Kedwibahasaan (Indonesia). Secara
harfiah yang dimaksud bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua
bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik secara umum, bilingualisme
diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey dalam Chaer,
2014:84). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut bilingual:
dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas: kedwibahasawanan. Selain istilah bilingualisme dengan segala
penjabarannya, ada jug istilah multilingualisme: keanekabahasaan yakni keadaan
digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian.
Adapun pendapat ahli (dalam Chaer, 2014) tentang bilingualisme yaitu
sebagai berikut.
Bloomfield dalam buku Language (1933)
Bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua
bahasa dengan sama baiknya. Jadi sesorang dapat disebut bilingual apabila
dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya .
Robert Lado (1964)
Bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang
dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu
pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya.

Muhamad Firman Al-Fahad, M.Pd.


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
2020
Haugen (1966)
Kedwibahasaan sebagai kemampuan dan pemahaman seseorang dalam
menggunakan satu bahasa dengan lancar dan juga kemampuan menghasilkan
ujaran bahasa lain yang bermakna. Pernyataan Haugen itu mengisyaratkan
seseorang diklasifikasikan sebagai dwibahasawan sejak awal pemerolehan
bahasa ke dua (B2).
Bilingualism is defined bilinguals as individuals who are fluent
in one language but who can produce complete meaningful
utterances in the other language.This definition allows even
early-stage L2 learners to be classified as bilinguals.
Lightbown (2000) menyatakan bahwa dwibahasawan dibagi atas dua jenis,
yakni dwibahawan simultan dan dwibahasawan majemuk. Dwibahawan simultan
adalah seseorang yang menguasai dua bahasa sejak kecil dan mampu
menggunakannya dalam waktu yang bersamaan dalam peristiwa tutur.
Dwibahasawan majemuk adalah seseorang yang mampu menggunakan dua
bahasa secara bergantian sesuai dengan peristiwa tutur.
Simultaneous bilinguals are those who are exposed to both languages
since birth, similar to compound bilinguals who are those who use
both languages at the same time while a coordinate bilingual is
someone who uses different languages at different times for different
purposes.
Berdasarkan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme
merupakan satu rentang berjenjang mulai menguasai B1 yang ditambahkan
dengan sedikit mengetahui akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang
berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan
B1.
Selanjutnya mengenai bilingualisme yang telah dijelaskan, terdapat pula
pertanyaan apakah yang dimaksud bahasa dalam bilingualisme?. Bloomfield
(dalam Chaer, 2014) menjelaskan bilingualisme adalah kemampuan seorang
penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Ditambahkan juga
bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode. Mackey
(dalam Chaer, 2014) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah
praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa lain.
Weinrich (dalam Chaer, 2014) menjelaskan pengertia bahasa dalam arti luas yakni
tanpa membedakan tingkat yang ada di dalamnya. Menguasai dua bahasa dapat
berarti dua sistem kode, dua dialek atau ragam bahasa yang sama.

Muhamad Firman Al-Fahad, M.Pd.


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
2020
2. Diglosia
Ferguson (dalam Chaer, 2014) menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa
yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Adapun
rumusan asli tentang diglosia menurut Ferguson adalah sebagai berikut.
Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition to
the primary dialects of the language (which may include a standard or
regional standards), there is a very divergent, highly codified (often
grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large
and respected body of written literature, either of an earlier period or in
another speech community, which is learned largely by formal education
and is used for most written and formal spoken purposes but is not used
by any sector of the community for ordinary conversation.
Adapun secara terperinci apa yang dikatakan Ferguson tentang teori
diglosia adalah sebagai berikut.
1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang rekatif stabil, di mana selain
terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam bahasa
utama) dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain;
2) Dialek-dialek utama itu diantaranya bisa berupa sebuah dialek standar atau
sebuah standar regional;
3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri yaitu:
a. Sudah (sangat) terkodifikasi
b. Gramatikalnya lebih kompleks
c. Merupakan wahana kesusastraan tertulis yag sangat luas dan dihormati
d. Dipelajari melalui pendidikan formal
e. Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
f. Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan
sehari-hari.
Selanjutnya ferguson juga menelaah dan mengambil contoh empat
masyarakat tutur dengan bahasa mereka yaitu masyarakat tutur bahasa Arab,
Yunani modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti. Adapun aspek atau topik yang
harus diperhatikan dalam diglosia yaitu fungsi, prestise, warisan sastra,
pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatikal, leksikon, dan fonologi.
Berkaitan dengan aspek tersebut dapat disimpulkan, Ferguson memandang
diglosia dari sudut pandang tinggi (T) dan rendah (R) dialek atau ragam bahasa
yang digunakan masyarakat tutur dengan fungsinya masing-masing.

Muhamad Firman Al-Fahad, M.Pd.


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
2020
Sumber Pustaka

Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2014. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Lightbown, Pasty M. 2000. Classroom SLA Research and Second Language Teaching.
Oxfor: Oxford University Press.

Muhamad Firman Al-Fahad, M.Pd.


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP – Universitas Pakuan
2020

Anda mungkin juga menyukai