Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki keragaman bahasa. Ada 3 golongan jenis
bahasa yang terdapat di Indonesia, bahasa Daerah ,bahasa Indonesia (nasional), , serta bahasa
Asing.
Telah kita ketahuin bersama, bahasa Indonesia adalah bahasa Pemersatu bangsa Di Indonesia
seperti yang telah terdapat di SUMPAH PEMUDA Butir ke 3. Penggunaan bahasa daerah
digunakan bagi penghubung yang memiliki suatu suku yang sama, dan juga sebagai
pendukung ke-akraban dalam berkomunikasi. Serta bahasa asing digunakan sebagai bahasa
penghubung antar Negara.
Keragaman dalam berbahasa di Indonesia tidak menjadikan suatu perbedaan, perselisihan,
ataupun perdebatan. Justru keragaman ini, menjadi suatu keunikan yang menjadikan
Indonesia menjadi Negara yang kaya akan Budaya, terutama dalam berbahasa.

BAB 2
KAJIAN TEORI

A. MASYARAJAT TUTUR
Masyarakat Tutur. Menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 46) masyarakat
tutur ialah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi
dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur lain
atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.

1
Chaer dan Agustina (2004 : 36) mendefinisikan masyarakat tutur sebagai suatu
kelompok orang atau masyarakat memiliki verbal repetoir yang relatif sama serta
mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa
yang digunakan di dalam masyarakat itu.
Fishman dalam Cher dan Agustina (2004 : 36) mengatakan masyarakat tutur
adalah suatu masyarakat yang anggota-anggitanya setidak-tidaknya mengenal satu
variasi bahasa dan norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Masyarakat tutur menurut Kridalaksana (2008 : 150) ialah kelompok orang
yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok
itu, atau yang berpegang pada bahasa standart yang sama.
Gumperz dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat tutur
ialah sekelompok menusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan
interaksi yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda verbal yang sama, dan
berbeda dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam
penggunaan bahasa. Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan sosiolinguistik diatas
dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompk orang atau individu yang
memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama berdasarkan
norma-norma kebahasaan yang sesuai.
William Labov dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat
tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang jelas dalam penggunaan unsur-unsur
bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipasi penutur dalam seperangkat norma
bersama ; norma ini bisa diamati pada perilaku evaluatif yang terbuka, dan dari
keseragaman pola-pola variasai yang basatrak yang tetap sehubungan dengan tingkat
penggunaan tertentu. Dalam masyarakat yang sesungguhnya, anggota-anggotanya
memungkinkan memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara (organ of speech) yang
berbeda-neda yang pada gilirannya nantu menghasilkan idiolek yang berbeda. Dalam
masyarakat itu anggota-anggotanya dimungkinkan pula memiliki kepribadian yang
berbeda yang nantinya menimbulkan wujud dan cara bahasa yang berlainan.
Sementara itu, asal kedaerahan yang berbeda akan melahirkan bermacam-macam
variasi regional yang lazim disebut dialek. Dan akhirnya, status sosial ekonomi
anggota masyarakat yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek yang berbeda.
Faktor-faktor sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat
keakraban, latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek

2
wujud bahasa yang terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil
bahwa dalam sebuah masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam
skope yang lebih kecil. Anggota-anggota sebuah masyarakat tutur tidak hanya dicikan
oleh bentuk bahasa yang digunakannya, tetapi juga ditentukan oleh pandangan atau
persepsi mereka terhadap bentuk bahasa yang digunakan oleh mereka dan bentuk
bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat yang lain. Misalnya, masyarakat
tutur bahasa Jawa dialek Solo-Yogyakarta memiliki persepsi bahwa varian bahasa
yang digunakannya memiliki prestise yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian
dialektal yang lain seperti bahasa Jawa dialek Jawa Timur. Ciri khas bahasa seseorang
disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah bahasa disebut dialek.
Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk
variasi dialek social atau sosiolek. (Nababan dalam Chaer dan Agustina, 2004 : 39)
Verbal repertoire ialah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki
atau dikuasai seorang penutur. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoil
sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Masyarakat tutur yang repertoire pemakaiannya lebih luas, dan menunjukan
verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula.
2. Masyarakat tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari
dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistic
yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.

Fishman dan Gumperz dalam Chaer dan Agustina (2004 : 38) mengatakan bahwa
masayarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yang lebih terbuka
dan cenderung menggunakan barbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan
masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan
beberapa bahasa yang berlainan.Dalam sebuah masyarakat tutur, terdiri atas dua jenis
penutur menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 48) yakni :
1. Penutur berkompeten (Fully Fledge Speaker) Penutur berkompeten ialah penutur
yang benar-benar mampu menggunakan bahasa dalam berbagai pengetahuan
tentang kosa kata dan struktur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga mempunyai
kemampuan untuk mengkomunikasikannya secara pragmatis. Seorang penutur
yang berkompeten harus memiliki empat pengetahuan yakni : (1) pengetahuan
mengenai gramatikan dan kosa kata suatu bahasa, (2) pengetahuan mengenai
kaidah-kaiah berbahasa (ules of speaking), misalnya, pengetahuan bagaimana
memulai sebuah pembicaraan, (3) pengetahuan tentang bagaimana menggunakan
3
dan merespon tipe-tipe tindak tutur yang berbeda-beda, sepertyi perintah,
permohonan atau ucapan terima kasih, (4) penegetahuan tentang bagaimana
berbicara secara wajar.

2. Penutur Partisipatif ( Unfully Fledge Speaker) Penutur partisipatif ialah penutur


yang tidak atau menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur atau komunkasi.
Seorang penutur partipatif biasanya ialah seorang pendatang dalam sebuah
masyarakat tutur dan ia mengalami sebuah culture shock atau gegar budaya.
Wijaya dan Muhammad (2006 : 51) memberikan contoh sebagai berikut :
Seorang penutur asli bahasa bali pindah ke kota semarang. Ia mendengar seorang
tetangganya yang penutur bahasa Jawa mengatakan “Sesuk aku arep tunggu
manuk.” Secara harfiah kalimat tersebut berarti “Bsok saya akan menunggu
burung.” Orang bali tersebut tidak memahami makna sebenarnya kalimat tersebut
sebab ia hanya memahami kalimatnya secara harfiah, padahal, kalimat tersebut
bermakna “Besok saya akan menghalau burung.” Perbedaan penafsiran kalimat
ini karena penutur dan lawan tutur memuliki perbedayaan budaya. Didalam
sebuah masyarakat tutur terdapat individu-individu yang melakukan tuturan.
Individu-individu tersebut melaksanakan komunikasi antarindividu yang terjadi
melalui dua tindakan yakni peristiwa tutur dan tindak tutur.

B. KEDWIBAHASAN
Bahasa merupakan alat komunikasi di masyarakat untuk saling berinteraksi antara
satu dengan yang lain. Sebagaimana dalam kehidupan nyata disimpulkan bahwa
manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya dan tidak
terlepas dari saling ketergantungan diantara keduanya. Bahasa juga merupakan alat
pemersatu suatu bangsa. Dan oleh karena itu pula bahasa berperan penting dalam
suatu negara.

Secara singkat dikatakan bahwa fungsi bahasa sebagai berikut :


 sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan maksud
 sebagai alat penyampai rasa santun
 sebagai alat penyampai rasa keakraban dan rasa hormat
 sebagai alat pengenalan diri
 sebagai alat penyampai rasa solidaritas
 sebagai alat penopang kemandirian bangsa
 sebagai alat penyalur perasaan
 sebagai cermin kepribadian bangsa

4
A. Pengertian Kedwibahasaan
Dalam kebahasaan dikenal pula istilah kedwibahasaan atau yang lebih dikenal
dengan bilingual. Berikut beberapa pengertian kedwibahasaan oleh para ahli :
1. Robert Lado
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama
atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada
pengetahuan dua bahasa yang dimiliki oleh seseorang
2. Weinrech
Kedwibahasaan adalah kebiasaan dengan menggunakan dua bahasa atau lebih
secara bergantian.
3. Francis William Mackey
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Dengan
artian kedwibahasaan dijadikan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih
oleh seseorang. Pendapat ini diperluas dengan adanya tingkatan
kedwibahasaan yang dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal,
semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
4. Hartman dan Stork
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau
masyarakat ujaran.
5. Leonard Bloomfield
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang
sama baiknya oleh seorang penutur. Penguasaan dua bahasa dengan
kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur aslinya, sangatlah sulit
untuk diukur.
6. Haugen
Kedwibahasaan adalah mengetahui dua bahasa. Secara umum pengertian
kedwibahasaan adalah pemakaian bahasa secara bergantian baik secara
produktif maupun reseptif oleh seseorang atau masyarakat. Tahu dua
bahasa , dengan artian cukup mengetahui dua bahasa secara pasif
atau understanding without speaking.
7. Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus
diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya
masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa
Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find
dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai

5
secara bergantian oleh warganya, sehingga warga Montreal dianggap sebagai
masyarakat dwibahasawan murni.
8. Henry Guntur Tarigan
Pengertian kedwibahasaan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, hitam atau
putih, tetapi bersifat “kira-kira” atau “kurang lebih”. Dengan kata lain,
pengertian kedwibahasaan berkembang dan berubah mengikuti tuntutan situasi
dan kondisi.

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa Kedwibahasaan


merupakan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau masyarakat
secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa, tentunya seseorang
harus menguasai kedua bahasa tersebutterlebih dahulu. Pertama, bahasa
ibunya sendiri atau bahasa pertamanya, yang disingkat B1. Dan bahasa kedua
adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya, disingkat dengan B2.

Orang yang menggunakan dua bahasa disebut orang yang bilingual atau dalam
istilah Bahasa Indonesia dikenal dengan Dwibahasawan. Sedangkan
kemampuan dalam menggunakan dua bahasa disebut dengan bilingualitas atau
kedwibahasaan.

B. Pembagian Kedwibahasaan
Menurut Chaer dan Agustina ada beberapa jenis pembagian kedwibahasaan
berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut :
1. Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)
Kedwibahasaan Majemuk merupakan Kedwibahasaan yang menunjukkan
kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan
berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan
antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan, tetapi bahasa
kedua bahasa tersebut berdiri sendiri-sendiri.
2. Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar
Kedwibahasaan Koordinatif menunjukkan pemakaian dua bahasa secara
seimbang oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan
dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Ini menunjukkkan bahwa
dwibahasawan memahiri kedua bahasa tersebut.
3. Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)
Merupakan kedwibahasaan yang digunakan saat seseorang memakai B1
namun sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini
dihadapkan pada situasi yang terjadi pada B1, yaitu sekelompok kecil yang

6
masih mempertahankan B1 namun dikelilingi dan didominasi oleh
masyarakat suatu bahasa yang besar sehingga masyarakat kecil ini
memungkinkan kehilangan B1 yang dimilikinya.

Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi


kedwibahasaan, diantaranya adalah :
4. Kedwibahasaan Awal (Inception Bilingualism) Oleh Baeten Beardsmore
Baeten Beardsmore menambahkankan kedwibahasaan awal (inception
bilingualism), yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh seorang individu
yang sedang dalam proses menguasai B2.
5. Pohl
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada di dalam
masyarakat, untuk itu Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe,
yaitu sebagai berikut:
 Kedwibahasaan Horizontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan situasi dengan pemakaian dua bahasa berbeda namun
masing-masing memiliki status yang sejajar, baik dalam situasi
resmi, kebudayaan, ataupun dalam kehidupan bermasyarakat.
 Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa baik itu bahasa baku maupun
dialek yang berhubungan ataupun terpisah, biasanya dimiliki oleh
seorang penutur.
 Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara
bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara
genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.

Arsenan mengklasifikasikan tipe kedwibahasaan menjadi dua


berdasarkan kemampuan berbahasa, yaitu:
 Kedwibahasaan produktif atau kedwibahasaan aktif atau
kedwibahasaan simetrik, yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang
individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa yang
meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
 Kedwibahasaan reseptif atau kedwibahasaan pasif atau
kedwibahasaan asimetrik.

C. Diglosia dalam Kedwibahasaan


Diglosia merupakan suatu keadaan dimana dua bahasa digunakan dalam
masyarakat yang sama, tetapi setiap bahasa mempunyai peran dan fungsi

7
tersendiri dalam konteks sosialnya. Adanya pembagian fungsi bahasa oleh
masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan faktor situasional. Atau bisa
dikatakan bahwa diglosia dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistic.
Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan antara dua
bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku (standard
language) dan dialek daerah regional daerah (regional dialect).

D. Parameter Diglosia/Kedwibahasaan
Mackey mengungkapkan bahwa pengukuren kedwibahasaan dapat dilakukan
dengan berbagai aspek, yaitu sebagai berikut :
1. Aspek Tingkat
Dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-unsur bahasa,
seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa
2. Aspek fungsi
Dilakukan melalui kemampuan pemakaian dua bahasa yang dimiliki, sesuai
dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus
diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal (faktor
pemakaian bahasa secara internal), dan faktor eksternal (faktor luar dari
bahasa). Hal ini antara lain menyangkut masalah kontak bahasa yang
berkaitan dengan lamanya waktu kontak, dan penekanannya terhadap bidang-
bidang tertentu seperti bidang ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain.
3. Aspek Pergantian
Yaitu pengukuran terhadap kemampuan pemakai bahasa untuk berganti dari
satu bahsa ke bahsa yang lain. Kemampuan ini tengantung pada tingkat
kelancaran pemakaian masing-masing bahasa.
4. Aspek Interferensi
Yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh
keterbiasaan menggunakan dialek B1 dalam kegiatan berbahasa.

E. Konsep dan Kategori Pemilihan Bahasa


Masyarakat dwibahasa (bilingual) yang berbicara dengan menggunakan dua
bahasa harus memilih bahasa yang digunakan dalam bertutur. Pemilihan bahasa

8
tidak semudah dan sesederhana yang kita bayangkan, yaitu memilih sebuah
bahasa secara keseluruhan dalam suatu peristiwa komunikasi.
Terdapat tiga kategori dalam pemilihan bahasa. Pertama, dengan memilih satu
variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur
bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa
krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.
Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu
bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan
lain dalam satu peristiwa komunikasi. Dengan kata lain, konsep alih kode terjadi
saat dimana kita beralih dari ragam santai ke ragam formal.
Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu
bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Di
Indonesia, campur kode sering sekali digunakan saat orang berbincang-bincang
yang dicampur ialah bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Peristiwa alih kode dapat terjadi karena dua faktor utama, yakni faktor pertama
menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang
sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut
penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu.
Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi, dan alih kode yang
kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor
yang melambangkan identitas penutur. Campur kode merupakan peristiwa
percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur.
Di Indonesia, menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian
bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

F. Faktor Pemilihan Bahasa


Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa disebabkan oleh
berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp mengidentifikasikan empat faktor
utama sebagai penanda pemilihan bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu:

(1) latar (waktu dan tempat) dan situasi


(2) partisipan dalam interaksi
(3) topik percakapan, dan

9
(4) fungsi interaksi
Dari berbagai faktor di atas, perlu diperhatikan bahwa tidak ada faktor tunggal
yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa seseorang. Ini membuktikan bahwa
karakteristik penutur dan lawan tutur merupakan faktor yang paling menentukan
dalam pemilihan bahasa dalam suatu masyarakat, sedangkan faktor topik dan
latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa
dibanding dengan faktor partisipan.

G. Pendekatan Pemilihan Bahasa


Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan dengan berdasarkan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan
pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Dimana
ranah ini merupakan wujud abstrak dari topik komunikasi, hubungan peran
antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga
masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.
Di sisi lain, ranah juga adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi
interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh
tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama,
dan pekerjaan. Dengan kata lain, bahasa rendah cenderung dipilih dalam
domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain
yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan.
2. Pendekatan Psikologi Sosial
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih
menjurus pada proses psikologis manusia daripada masyarakat luas.
Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu, seperti motivasi individu,
bukan berorientasi pada masyarakat. Pendekatan psikologi sosial melihat
proses psikologi manusia, seperti motivasi dalam memilih suatu bahasa
atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu.
3. Pendekatan Antropologi
Dari sudut pandang antropologi, pilihan bahasa berkaitan dengan
perilaku yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya. Seperti halnya

10
psikologi sosial, antropologi lebih ke bagaimana seorang penutur
berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah dalam
psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur.
Sedangkan pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana
seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai
kebudayaan yang terkandung di dalamnya.

C. ALIH KODE DAN CAMPURAN KODE

1. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang
lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan
bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa
(languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat
multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa.
Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi
masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel
memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
perubahan situasi.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
 alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke
bahasa Inggris atau sebaliknya dan
 alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa
ngoko merubah ke krama.

Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:


 Penutur seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap
mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi
menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
 Mitra Tutur mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan
penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur
berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih
bahasa.
 Hadirnya Penutur Ketiga untuk menetralisasi situasi dan menghormati
kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode,
apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.

11
 Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal
biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius
dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
 Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian,
alih ragam, atau alih gaya bicara.
 Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan
faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih
kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung
tidak komunikatif

2. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu
bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa
lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar
belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya
berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan
bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada
keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:


 Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang
bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
 Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari
bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
 sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur
 kebahasaan(linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga
ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi
karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk
bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode :
 penyisipan kata
 penyisipan frasa,
 penyisipan klausa,

12
 penyisipan ungkapan atau idiom, dan
 penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode Persamaan alih kode dan
campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat
multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat
perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing
bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan
dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode
adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan
otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa
tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai
sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode
dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-
jawaan. Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam
suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa
bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur
klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid
cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi
mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

BAB 3
PEMBAHASAN

A. SAMPEL KELUARGA
Nama : roni
Usia : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Sosial : Mahasiswa
Pendidikan : SMK (Sekolah Menengah Atas)
Etnis : Jawa-Sunda
Loyalitas Bahasa : Bahasa Indonesia

B. HORIZONTAL
1. POLA HUBUNGAN ANAK dengan ANAK
KONTEKS : kakak menanyakan makan kepada adik
A : mas , lu dah makan belum?
B : belom, ada makanan ga?
A : ada tuh di lemari makanan

13
Percakapan yang terdapat diatas, adalah percakapan yang terjadi antara kakak
(A) dan dan adik (B).
- Dari sepenggal percakapan diatas, bahasa yang digunakan adalah bahasa
santai dan akrab, bahasa Indonesia yang telah bercampur dengan bahasa
pergaulan , membuat bahasa Indonesia seperti tidak baku.

2. POLA HUBUNGAN PENULIS dengan TEMAN


KONTEKS : berbincang tentang liburan
A : cuy , besok minggu touring nyok, gas lah
B : oke gas lah
A : kemana??
B : bebas, yang penting gas aja gue mah
- Dari percakapan diatas dapat di ketahui bahwa setiap hobi ataupun
kebiasaan membuat/menimbulkan bahasa yang sama namun memiliki arti
yang berbeda, namun diakrenakan memiliki hobi atau kebiasaan yang sama,
dan digunakan secara rutin, sehingga lawan bicara pun telah paham yang
dimaksud dari percakapan tersebut.

C. VERTIKAL
1. POLA HUBUNGAN
KONTEKS : Penulis diskusi terhadap murid soal pelajaran
A : baik adik adik sudah paham semua?
B : iya kak, udah paham kok, saya sudah paham semua… anjay..
A : wah, okeyysip kalau begtu..
- dari percakapan diatas, kebiasaan yang terdapat pada masyarakat muda saat
ini, membuat ke-santunan dalam berbahasa perlahan menurun. Anggapan ke
akraban membuat pemahaman dapat menggunakan bahasa yang kurang
santun, ditambah menggunakan bahasa gabungan yang sifat nya tidak jelas
asal usul terciptanya bahasa tersebut.

2. POLA HUBUNGAN PENULIS DENGAN ORANG TUA (TETANGGA)


KONTEKS : penulis bertanya kepada orangtua anak (tetangga) yang
menjadi teman penulis.
P : pakde, bayu nya ada engga??
T : ora ana dim, lagi nganter ibune..
P : yah, yowis pakde, bilang tadi dimas nyariin, makasih yo pade
T : iyoo
- Dari percakapan diatas dapat diketahui bahwa kedua nya menggunakan
2 bahasa yang digabungkan (kedwibahasan) . hal ini terjadi dikarenakan kedua
pelaku percakapan memiliki asal suku yang sama, namun dicampur bahasa
nasional (Indonesia) karena keduanya sering juga berkomunikasi dengan

14
orang yang notabane nya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
sehari hari.

BAB 4
PENUTUP

Kesimpulan
Indonesia memiliki keragaman bahasa yang sangat luar biasa. Baik bahasa ibu
(bahasa Indonesia) ataupun Bahasa daerah. Keragam bahasa yang ada di Indonesia
membuat masyarakat Indonesia yang memiliki keuikan dalam berbahasa. Dari
keragam ini, diharapkan bisa menjadi kekuatan dalam berbahasa bagi masyarkat
Indonesia.

Pengaruh budaya (terutama bahasa ) yang datang dari luar Negara Indonesia, yang
masuk melalui berbagai cara, diharapkan tidak menjadi pengaruh lunturnya kecintaan
Masyarakat terhadap Bahasa Yang ada dan asli dari Indonesia. Karena telah tertuang
dalam sumpah pemuda ynag dicetuskan pertama kali pada tanggal 28 Oktober 1928
ayat ketiga bahwa “KAMI PUTRA PUTRI INDONESIA MENJUNJUNG BAHASA
PERSATUAN, BAHASA INDONESIA”.
Saran
Kearifan keragaman bahasa di Indonesia harus terus kita lestarikan. Banyak cara yang
dapat kita gunakan untuk terus melestarikannya, diantaranya dengan menggunakan
bahasa ibu(bahasa Indonesia) ataupun bahasa daerah dengan cara yang benar.

Dengan tidak mengubah, mengganti, mencampurkan bahasa, adalah salah satu cara
bukti kita bahwa telah mencintai bahasa yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Muharram,2008, http://muharrambanget.blogspot.co.id/2008/11/masyarakat-tutur.html.
Diakses pada tanggal 9 Oktober 2016.

15
Nusavinotti, 2012, https://nusavinotti.wordpress.com/2012/03/01/kedwibahasaan/. Diakses
pada tanggal 9 Oktober 2016.

Henscyber, 2009, http://anaksastra.blogspot.co.id/2009/02/alih-kode-dan-campur-kode.html.


Diakses pada tanggal 10 Oktober 2016.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni, 2011, http://www.harianguru.com/2015/10/contoh-alih-kode-


dan-campur-kode-dalam.html. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2016.

16

Anda mungkin juga menyukai