Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan merupakan sebuah entitas ekonomi yang beroperasi untuk

menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, perusahaan

dapat dianggap sebagai suatu usaha, baik sudah memiliki badan hukum maupun

tidak, dimiliki oleh seseorang maupun badan, dan bersifat swasta atau milik negara.

Sebagai suatu organisasi, perusahaan harus melibatkan sejumlah orang yang bekerja

bersama dalam struktur hierarki untuk mencapai tujuan bersama dan memenuhi

kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan dapat beroperasi dalam berbagai sektor

ekonomi, termasuk manufaktur, jasa, perdagangan, serta pariwisata.

Pariwisata adalah salah satu bidang yang menjadi penggerak ekonomi, di

mana perusahaan-perusahaan di sektor pariwisata berkontribusi secara signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Perusahaan pariwisata tidak hanya

mencakup penyediaan akomodasi dan transportasi, tetapi juga melibatkan layanan

hiburan, restoran, dan berbagai aktivitas rekreasi. Dalam upaya memenuhi kebutuhan

wisatawan, perusahaan pariwisata perlu terus berinovasi dan beradaptasi dengan

perkembangan tren dan teknologi. Selain itu, masyarakat yang tinggal di sekitar

destinasi pariwisata dapat mengembangkan beragam kegiatan ekonomi, seperti

penyediaan akomodasi, restoran, dan sejenisnya. Kegiatan ini berpotensi untuk

1
meningkatkan pendapatan masyarakat serta berperan dalam upaya pemerintah untuk

mengurangi tingkat pengangguran (Setiawan, 2022).

Destinasi pariwisata yang mengalami perkembangan akan memberikan

manfaat bagi banyak pihak. Menurut Setiawan (2022), adanya pembangunan pada

sektor pariwisata akan meningkatkan peluang pekerjaan bagi masyarakat setempat

dan secara keseluruhan, menciptakan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi

regional. Perkembangan destinasi pariwisata juga berpotensi untuk memperluas

infrastruktur dan meningkatkan kualitas hidup penduduk setempat melalui investasi

dalam pembangunan sarana umum, pendidikan, dan layanan kesehatan. Selain itu,

sector pariwisata juga akan dapat menjadi sector yang mampu bersaing dengan sector

perekonomian lainnya.

Menurut Eva (2023), destinasi pariwisata yang mengalami perkembangan

tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, tetapi juga memiliki

daya tarik yang kuat bagi investor asing maupun domestik. Selain itu, berdasarkan

informasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi dalam sektor

pariwisata khususnya pada hotel dan restoran di tahun 2022 mengalami peningkatan

sebesar 19,1%, mencapai total Rp28,73 triliun. Angka ini menunjukkan kenaikan dari

tahun sebelumnya yang sejumlah Rp24,13 triliun. Secara khusus, realisasi investasi di

10 Destinasi Pariwisata Prioritas pada tahun 2022 meningkat sebanyak 24,7%,

mencapai Rp11,65 triliun dibandingkan dengan Rp9,34 triliun pada tahun 2021

(BPKM, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa sector pariwisata, khususnya di bidang

2
perhotelan dan restoran, sangat diminati oleh para investor, baik investor local

maupun investor asing.

Industri pariwisata dan perhotelan mengalami tantangan sejak awal tahun

2020 karena adanya pembatasan sosial sebagai dampak dari pandemi COVID-19

yang menyebar luas di seluruh dunia. Keadaan ini menyebabkan penurunan jumlah

kunjungan wisatawan, baik dari dalam maupun luar daerah, termasuk turis

mancanegara (Yulianto et al., 2022). Penurunan signifikan dalam jumlah kunjungan

wisatawan juga berdampak pada tingkat okupansi kamar hotel. Berikut ini terdapat

diagram yang memvisualisasikan perbandingan tingkat penghunian kamar dari tahun

2019 hingga 2021.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat penghunian kamar (TPK) hotel

berbintang di Indonesia sebesar 22,38% pada Juli 2021. Angka tersebut turun 16,17

poin dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 38,55%. Penurunan juga terjadi

sebesar 5,69 poin jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada Juli 2020,

TPK hotel berbintang di Indonesia tercatat sebesar 28,07%. TPK hotel berbintang

pada Juli 2021 turun di seluruh klasifikasinya. Penurunan tertinggi secara bulanan

dialami oleh hotel bintang lima sebesar 22,36 poin dari 40,49% menjadi 18,13%

(Jayani, 2021). Penurunan TPK ini terjadi karena adanya penurunan yang besar dari

kedatangan kunjungan wisatawan mancanegara dan pembatalan tiket pesawat

maupun hotel. Hal ini juga terjadi penurunan karena perlambatan perjalanan domestic

karena keengganan masyarakat untuk melakukan perjalanan yang dikhawatir dapat

meningkatkan penyebaran virus COVID-19 (Sugihamerta, 2020).

3
Sebagai salah satu sector penyumbang APBN terbesar untuk negara,

penurunan jumlah wisatawan ini memberikan dampak yang signifikan terhadap

Indonesia. Sebagai contoh, Bali, yang terkenal pendapatan utamanya dari sector

pariwisata, mengalami kelumpuhan ekonomi secara total. Oleh karena menurunnya

pemasukan dari sector wisata, perusahaan terpaksa untuk harus menunjukkan kinerja

keuangan yang baik walaupun dengan kondisi yang kurang menguntungkan. Hal ini

dilakukan untuk menarik minat investor, baik investor dalam negeri maupun asing

(Purwahita et al, 2021).

Namun, dalam upaya mempertahankan citra positif dan menjaga minat

sebagai dampak dari penurunan sektor pariwisata, beberapa perusahaan mungkin

mencoba mengoptimalkan keadaan keuangan mereka dengan cara-cara tertentu,

termasuk mengelola pajak mereka. Namun, praktik pengelolaan pajak ini perlu dilihat

dengan cermat agar tidak melibatkan praktik penghindaran pajak yang ilegal atau

tidak etis.

Tax avoidance merupakan strategi hukum dan aman yang diadopsi oleh wajib

pajak untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka. Praktik ini beroperasi dalam

batas-batas peraturan perpajakan yang ada, menggunakan metode dan teknik yang

mengeksploitasi kelemahan yang terdapat dalam perundang-undangan. Tujuan dari

penghindaran pajak adalah secara eksplisit mengurangi jumlah pajak yang harus

dibayar, memungkinkan individu atau perusahaan untuk mendapatkan keuntungan

yang lebih besar. Dengan navigasi strategis dalam kerangka hukum, wajib pajak

bertujuan untuk memanfaatkan celah atau ketidakjelasan dalam peraturan perpajakan,

4
memastikan bahwa aktivitas keuangan mereka sesuai dengan ketentuan hukum

sambil meminimalkan dampak pada kewajiban pajak keseluruhan (Rejeki dkk.,

2019).

Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi yang mempengaruhi industri

pariwisata, perusahaan-perusahaan cenderung mengadopsi strategi tax avoidance

yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti profitabilitas, leverage, dan

pertumbuhan penjualan, terutama di masa-masa sulit seperti pandemi COVID-19.

Metrik keuangan ini menjadi pertimbangan penting bagi manajemen saat mereka

menghadapi ketidakpastian ekonomi yang berdampak pada industri.

Profitabilitas merupakan faktor kunci yang mempengaruhi praktik tax

avoidance. Ketika dihadapkan pada penurunan pendapatan karena faktor-faktor

seperti penurunan kunjungan wisatawan dan tingkat hunian hotel, perusahaan di

sektor pariwisata dapat mencari strategi hukum untuk meningkatkan kinerja keuangan

mereka. Memaksimalkan profitabilitas melalui perencanaan pajak menjadi suatu

keharusan, dan perusahaan dapat fokus untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka

sesuai dengan batasan undang-undang perpajakan yang ada (Harahap, 2009). Dengan

mengoptimalkan struktur keuangan perusahaan dan menjajaki insentif keuntungan

pajak yang tersedia, bisnis pariwisata dapat mengelolanya secara strategis untuk

memberikan gambaran keuangan yang lebih baik. Hal ini didukung oleh penelitian

Tala dan Karamoy (2020) menjelaskan bahwa profitabilitas dapat berpengaruh

signifikan terhadap manajemen laba. Selain itu, penelitian oleh Purnama (2017)

menghasilkan hal yang sama dimana profitabilitas berpengaruh positif terhadap

5
manajemen laba. Perusahaan yang memiliki profitabilitas yang tinggi maka

menyebabkan perusahaan meningkatkan manajemen labanya.

Leverage juga mempengaruhi keputusan tax avoidance. Pada saat

perekonomian sedang lesu, perusahaan mungkin akan menggunakan leverage untuk

meningkatkan likuiditas dan memenuhi kewajiban keuangannya. Leveraging dapat

berdampak pada kewajiban pajak dengan menciptakan pengurangan bunga, sehingga

memberikan sarana bagi perusahaan untuk mengurangi penghasilan kena pajak

mereka. Namun, penting bagi perusahaan untuk mengelola rasio leverage mereka

dengan hati-hati untuk menghindari risiko keuangan yang berlebihan. Memanfaatkan

leverage untuk perencanaan pajak memerlukan keseimbangan yang baik untuk

memastikan stabilitas keuangan sekaligus mengoptimalkan hasil perpajakan

(Hardiyanti et.al, 2022). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang

menemukan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba (Agustia

dan Suryani, 2018).

Pertumbuhan penjualan juga merupakan faktor penting lainnya yang

mempengaruhi strategi tax avoidance di sektor pariwisata dan perhotelan. Setelah

krisis seperti pandemi ini, perusahaan mungkin menghadapi tantangan dalam

mencapai pertumbuhan penjualan yang kuat. Sebagai tanggapannya, manajemen

dapat melakukan tindakan tax avoidance untuk memitigasi dampak berkurangnya

pendapatan. Perusahaan dapat memilih lokasi operasional secara strategis atau

merestrukturisasi bisnis mereka untuk memanfaatkan yurisdiksi pajak yang

menguntungkan. Keputusan-keputusan tersebut dapat membantu meringankan beban

6
keuangan dan memberikan kinerja keuangan yang lebih positif, bahkan ketika

penjualan sedang menurun (Nugraha & Mulyani, 2019). Dalam konteks industri

pariwis ata, dimana faktor eksternal seperti fluktuasi permintaan musiman dan

kebijakan pemerintah secara signifikan mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran,

tax avoidance menjadi alat untuk mengelola ketidakpastian ekonomi. Meskipun tax

avoidance diperbolehkan secara hukum, namun terdapat pertimbangan etis, terutama

ketika hal tersebut berpotensi mengurangi tanggung jawab perusahaan terhadap

pembangunan ekonomi lokal dan kontribusinya yang sah terhadap pajak. (Rejeki

dkk., 2019).

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang yang sudah dijabarkan diatas,

peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Profitabilitas,

Leverage, Pertumbuhan Penjualan, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Tax

Avoidance pada Perusahaan Subsektor Pariwisata”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas, Adapun rumusan masalah yang

dapat diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap tax avoidance?

2. Bagaimana pengaruh leverage terhadap tax avoidance?

3. Bagaimana pengaruh pertumbuhan penjualan terhadap tax avoidance?

4. Bagaimana pengaruh ukuran perusahaan terhadap tax avoidance?

7
5. Bagaimana pengaruh profitabilitas, leverage, dan pertumbuhan penjualan

secara keseluruhan/simultan terhadap tax avoidance?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap tax avoidance

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh leverage terhadap tax avoidance

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pertumbuhan penjualan terhadap tax

avoidance

4. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh ukuran perusahaan terhadap tax

avoidance

5. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh profitabilitas, leverage, pertumbuhan

penjualan, dan ukuran perusahaan secara keseluruhan/simultan terhadap tax

avoidance

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diberikan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkandapat memberikan kontribusi terhadap

pengembangan teori di bidang keuangan dan manajemen pajak, khususnya dalam

konteks industri pariwisata. Temuan penelitian ini dapat melengkapi literatur

8
yang sudah ada dengan memperkaya pemahaman mengenai faktor-faktor yang

memengaruhi praktik tax avoidance dalam industri pariwisata dan perhotelan.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang berharga bagi

manajemen perusahaan di sektor pariwisata dan perhotelan dalam mengambil

keputusan terkait dengan praktik tax avoidance. Hasil penelitian dapat menjadi

panduan strategis bagi perusahaan-perusahaan untuk memitigasi risiko keuangan,

meningkatkan profitabilitas, dan mengoptimalkan struktur keuangan mereka

secara etis. Selain itu, temuan ini juga dapat membantu pemerintah dalam

merancang kebijakan pajak yang lebih efektif dan mendukung pertumbuhan

ekonomi di sektor pariwisata.

9
BAB I

PENDAHULUAN

2.1 Landasan Teori

Pada landasan teori akan dijelaskan mengenai pajak, penghindaran pajak,

profitabilitas, leverage, pertumbuhan penjualan, dan ukuran perusahaan.

2.1.1. Pajak

Pajak Pajak adalah jumlah uang yang harus dibayarkan oleh individu, bisnis, atau

entitas lain kepada pemerintah, yang digunakan untuk mendanai pengeluaran publik.

Pajak dikenakan atas berbagai jenis pendapatan, kekayaan, konsumsi, atau transaksi

lainnya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pajak, menurut

Wulan (2020) adalah pembayaran wajib yang dilakukan kepada pemerintah oleh

orang pribadi atau badan usaha, yang diamanatkan oleh undang-undang, yang berlaku

atas penghasilan, keuntungan, dan nilai tambah suatu barang, jasa, dan transaksi

tertentu. Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak dapat diartikan sebagai

sumbangan wajib kepada negara yang berasal dari orang pribadi atau badan hukum,

yang dilaksanakan dengan undang-undang, tanpa menerima manfaat langsung, dan

dimanfaatkan oleh negara. pemerintah demi sebesar-besarnya kesejahteraan dan

kemajuan masyarakat.

Lebih lanjut, Smeets dalam bukunya yang berjudul De Economische Betekenis

der Belastingen, 1951 mendefinisikan pajak:

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma

umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat

10
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai

pengeluaran pemerintah”

Sedangkan Soemitro dalam Iskandar (2021) mendifinisikan pajak sebagai berikut:

“Perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang

memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang untuk membayar

sejumlah uang kepada (kas) negara, yang dapat dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu

imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan) dan digunakan sebagai alat

(pendorong, penghambat) untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan”

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah Dari penjelasan

diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah kewajiban pembayaran kepada

pemerintah yang diatur oleh undang-undang, tanpa adanya kontraprestasi langsung

yang diterima oleh pembayar pajak.

Selain menjadi kewajiban yang diatur oleh undang-undang, pajak juga memiliki

prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan pelaksanaannya. Menurut Suastika

(2021), terdapat 4 asas dalam pemungutan pajak, yaitu:

1. Equality

Pemberlakuan pajak di antara individu yang dikenakan pajak seharusnya

disesuaikan dengan kemampuan ekonominya, yakni harus sejajar dengan

jumlah pendapatan yang diperolehnya yang dilindungi oleh pemerintah.

Dalam konteks kesetaraan ini, tidak boleh ada negara yang melakukan

diskriminasi terhadap para pembayar pajak. Dalam situasi yang sama, semua

11
pembayar pajak harus diperlakukan dengan cara yang sama, sementara dalam

situasi yang berbeda, mereka harus diperlakukan secara berbeda.

2. Certainty

Pembayaran pajak oleh individu yang wajib membayar harus transparan dan

tidak bersifat sewenang-wenang. Prinsip ini menekankan pentingnya

kepastian hukum terkait dengan identitas pembayar pajak, objek pajak, tarif

pajak, dan ketentuan pembayarannya.

3. Convenience of Payment

Pengenaan pajak sebaiknya dilakukan pada waktu yang paling sesuai bagi

individu yang membayar pajak, yakni ketika mereka mendapatkan

penghasilan atau keuntungan yang akan dikenai pajak.

4. Economics of Collections

Pengenaan pajak seharusnya dilakukan dengan seefisien mungkin, di mana

biaya pengumpulan pajak tidak melebihi jumlah pajak yang diterima. Ini

karena tidak ada gunanya mengenakan pajak jika biaya pengumpulannya

melebihi pendapatan pajak yang akan diterima.

Pada satu sisi, pajak merupakan kewajiban yang diatur oleh undang-undang dan

menjadi sumber utama pendapatan bagi pemerintah. Namun, di sisi lain, praktik

penghindaran pajak menjadi fenomena yang tidak dapat diabaikan.

12
2.1.2. Penghindaran Pajak

Penghindaran pajak adalah praktik yang dilakukan oleh individu atau entitas

bisnis untuk mengurangi atau menghindari kewajiban pajak mereka dengan cara yang

dianggap legal tetapi tidak selalu etis. Menurut Puspita dan Febrianti (2017) upaya

mengurangi pembayaran pajak yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan

disebut sebagai penghindaran pajak. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan celah

atau kelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang sah secara hukum. Hal ini

berbeda dengan penggelapan pajak, dimana individu atau perusahaan secara ilegal

menghindari kewajiban pajak dengan cara menyembunyikan pendapatan atau

memberikan informasi palsu kepada pihak berwenang dalam hal perpajakan.

Menurut Pohan (2016), penghindaran pajak dapat didefinisikan sebagai usaha

yang dilakukan untuk mengurangi beban pajak dengan cara mengelak dari kewajiban

pembayaran pajak melalui pengalihan transaksi ke dalam ranah yang tidak termasuk

dalam objek pajak. Penghindaran pajak merupakan salah satu dari tiga strategi umum

yang sering digunakan untuk mengurangi kewajiban pajak dengan memanfaatkan

celah-celah hukum atau ketidakjelasan dalam undang-undang dan regulasi

perpajakan, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

Menurut laporan Komite urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation

and Development (OECD) yang dikutip oleh Damayanti dan Pratiwi (2017), terdapat

tiga aspek utama dalam praktik penghindaran pajak, yakni:

1. Penggunaan unsur artifisial, dimana berbagai aturan dibentuk untuk

menyerupai keadaan tertentu meskipun pada kenyataannya tidak, hal ini

dimotivasi oleh kekosongan dalam peraturan perpajakan.

13
2. Pemanfaatan celah hukum atau interpretasi legal untuk kepentingan yang

bukan inti dari tujuan asli pembuat undang-undang.

3. Praktik kerahasiaan, dimana konsultan pajak sering kali memberikan strategi

atau metode penghindaran pajak dengan syarat bahwa informasi tersebut

dijaga dengan sangat rahasia oleh wajib pajak.

Selanjutnya, dalam kajian yang dilakukan oleh Stiglitz (1986) yang disebutkan

dalam penelitian oleh Wijaya & Rahayu (2021), terdapat tiga prinsip utama dalam

penghindaran pajak, meliputi:

1. Penundaan pembayaran pajak, dimana nilai pajak yang ditunda pada masa

mendatang biasanya memiliki nilai yang lebih rendah daripada pajak yang

dibayarkan saat ini.

2. Pemanfaatan perbedaan tarif pajak antar individu, yang merupakan metode

yang efektif untuk mengurangi beban pajak dalam konteks keluarga.

3. Pemanfaatan perbedaan perlakuan pajak terhadap berbagai aliran pendapatan,

seperti perlakuan pajak yang lebih ringan terhadap capital gains jangka

panjang dibandingkan dengan pendapatan modal lainnya, yang mendorong

pengalihan pendapatan modal menjadi capital gains jangka panjang.

Kemudian, ada beberapa Cara Legal yang Dilakukan Perusahaan dalam

Melakukan Penghindaran Pajak:

1. Penyusunan Struktur Perusahaan: Perusahaan dapat menggunakan struktur

perusahaan yang kompleks, seperti penggunaan anak perusahaan di yurisdiksi

dengan tarif pajak yang lebih rendah.

14
2. Pemanfaatan Insentif Pajak: Perusahaan dapat memanfaatkan insentif

perpajakan yang ditawarkan oleh pemerintah, seperti kredit pajak atau

pembebasan pajak untuk jenis investasi tertentu.

3. Pengelolaan Laba: Perusahaan dapat mengelola laba mereka dengan

memanfaatkan berbagai pembebanan pajak yang diakui secara hukum, seperti

biaya bunga atau biaya amortisasi.

4. Penggunaan Skema Pajak Internasional: Perusahaan multinasional sering

menggunakan praktik transfer pricing, di mana harga transfer antar anak

perusahaan digunakan untuk mengalihkan laba dari yurisdiksi tinggi pajak ke

yurisdiksi rendah pajak.

5. Penggunaan Penyelenggara Keuangan: Beberapa perusahaan menggunakan

jasa penyelenggara keuangan untuk mengelola portofolio investasi mereka

dengan mempertimbangkan implikasi pajak.

Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa penghindaran pajak merupakan praktik

yang dimanfaatkan oleh individu maupun perusahaan untuk mengurangi kewajiban

pajak secara legal namun tidak selalu etis. Selain itu, penghindaran pajak dilakukan

dengan memanfaatkan celah-celah hukum atau ketidakjelasan dalam regulasi

perpajakan, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

Lebih lanjut, untuk mengevaluasi seberapa besar aktivitas penghindaran pajak

yang dilakukan oleh suatu perusahaan, dapat dilakukan pengukuran menggunakan

beberapa metode, di antaranya:

1. Effective Tax Rate (ETR)

15
ETR adalah indikator yang mengukur efektivitas dari strategi pengurangan

pajak suatu perusahaan berdasarkan laporan laba rugi. Indikator ini

menunjukkan seberapa besar laba yang tersisa setelah dipotong pajak. ETR

dihitung dengan membandingkan total beban pajak dengan laba sebelum

pajak. Berikut adalah rumus hitung ETR:

Beban Pajak
ETR =
EBT

2. Cash Effective Tax Rate (CETR)

CETR dihitung dengan membagi jumlah kas yang digunakan untuk

membayar pajak dengan laba sebelum pajak (Budiman dan Setiyono, 2012).

CETR membantu mengidentifikasi seberapa agresifnya perencanaan pajak

perusahaan dengan memanfaatkan perbedaan antara laba buku dan laba fiskal.

Berikut adalah rumus hitung CETR:

Kas yang dikeluarkan untuk Pajak


CETR =
EBT

3. Book-Tax Differences (BTD)

Menurut Xing dan Shunjun (2007) sebagaimana dikutip dalam Sartika (2015),

BTD merujuk pada selisih antara laba yang dihitung berdasarkan akuntansi

dan laba yang dihitung sesuai peraturan perpajakan. Perbedaan yang

signifikan antara laba akuntansi dan laba pajak menunjukkan tingkat

agresivitas perusahaan dalam menghindari pembayaran pajak. Perbedaan ini

dapat disebabkan oleh aktivitas perencanaan pajak dan manajemen laba.

Berikut adalah rumus hitung BTD:

16
( Laba Akuntasi ) −(Laba Pajak)
BTD =
Total Aset

Melalui ketiga metode ini, dapat diidentifikasi apakah suatu perusahaan

melakukan tindakan penghindaran pajak. Meskipun tindakan tersebut mungkin sah

secara hukum, namun dapat mengakibatkan kerugian bagi negara.

2.1.3. Profitabilitas

Profitabilitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengevaluasi

kinerja suatu perusahaan. Profitabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan keuntungan dari operasinya. Menurut Standar Akuntansi Keuangan

tahun 2009, evaluasi performa suatu perusahaan, terutama dalam hal profitabilitas,

menjadi krusial untuk mengukur kemungkinan perubahan dalam sumber daya

ekonomi yang dapat diatur di masa mendatang. Potensi yang positif akan memikat

minat investor untuk menyuntikkan modal ke dalam perusahaan, oleh karena itu,

dibutuhkan pengungkapan yang komprehensif dalam laporan tahunan perusahaan.

Salah satu rasio untuk mengevaluasi profitabilitas adalah Return on Assets

(ROA). ROA berperan dalam menilai efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan

sumber daya yang tersedia (Wijaya, 2019). Menurut Surat Edaran Bank Indonesia

No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, Return on Assets (ROA) diartikan sebagai

perbandingan tingkat pengembalian dari aset yang dimiliki. ROA mencerminkan

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan semua aset

yang dimilikinya. Laba yang dipertimbangkan dalam ROA adalah Earnings after Tax

(EAT) atau laba setelah pajak. Besarnya nilai ROA berpengaruh pada nilai CETR.

CETR digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengevaluasi aktivitas

17
penghindaran pajak. Semakin tinggi ROA, semakin rendah nilai CETR karena

aktivitas penghindaran pajak lebih tinggi. Peningkatan nilai ROA menunjukkan

peningkatan profitabilitas perusahaan. Perusahaan dengan profitabilitas tinggi

memiliki peluang untuk merencanakan pajak (tax planning) secara efektif sehingga

beban pajak yang harus dibayarkan dapat diminimalisir.

Terdapat beberapa indicator yang dapat digunakan untuk menguukur

profitabilitas. Menurut Priatna (2016), rasio profitabilitas secara umum terbagi

menjadi 5, yaitu:

1. Gross Profit Margin

Gross Profit Margin (GPM) digunakan untuk mengukur efisiensi

pengendalian harga pokok. Berikut adalah rumusnya:

Penjualan−(Harga Pokok Penjualan)


GPM = x 100%
Penjualan

Di mana:

 Penjualan yang dikurangi dengan harga pokok penjualan atau laba kotor

adalah selisih antara pendapatan kotor dan biaya langsung yang terkait

dengan produksi barang atau pelayanan.

 Penjualan adalah jumlah total pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan

dari penjualan produk atau layanan sebelum dikurangi dengan biaya

produksi.

2. Net Profit Margin

Net Profit Margin digunakan untuk mengevaluasi seberapa efisien sebuah

perusahaan menghasilkan keuntungan bersih dari pendapatan total, berfungsi

18
sebagai indikator kesehatan keuangan perusahaan serta membantu dalam

pembandingan kinerja dengan pesaing industri yang sama. Berikut adalah cara

pengukuran Net Profit Margin:

Laba Setelah Pajak (EAT )


NPM = x 100%
Penjualan

Di mana:

 Laba Setelah Pajak (EAT) adalah keuntungan bersih perusahaan setelah

semua biaya dan pajak dikurangkan dari pendapatan.

 Penjualan adalah jumlah total pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan

dari penjualan produk atau layanan sebelum dikurangi dengan biaya

produksi.

3. Return on Investment

Return on Investment (ROI) adalah rasio keuangan yang mengukur tingkat

pengembalian atau efisiensi investasi dengan membandingkan keuntungan

bersih dari investasi dengan biaya investasi awal. Fungsi utama dari ROI

adalah memberikan informasi tentang seberapa efektif suatu investasi dalam

menghasilkan laba relatif terhadap biaya yang dikeluarkan. ROI sangat

penting bagi para investor dan manajemen perusahaan dalam mengevaluasi

kinerja investasi, membandingkan berbagai opsi investasi, dan mengambil

keputusan investasi yang lebih baik. Rumus untuk menghitung ROI adalah:

Laba Setelah Pajak (EAT )


ROI = x 100%
Total Aktiva

Di mana:

19
 Laba Setelah Pajak (EAT) adalah keuntungan bersih perusahaan setelah

semua biaya dan pajak dikurangkan dari pendapatan.

 Total Aktiva adalah total biaya yang dikeluarkan untuk melakukan

investasi.

4. Return on Equity

Return on Equity (ROE) adalah rasio keuangan yang mengukur tingkat

pengembalian investasi pemegang saham dengan membandingkan laba bersih

perusahaan dengan ekuitas pemegang saham. Fungsinya adalah untuk

mengevaluasi seberapa efisien perusahaan menggunakan modal yang

diberikan oleh pemegang saham untuk menghasilkan laba. ROE memberikan

wawasan tentang kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan

dari ekuitas yang tersedia, serta memberikan gambaran tentang efisiensi

manajemen dalam mengelola sumber daya perusahaan. Rumus untuk

menghitung ROE adalah:

Laba Setelah Pajak (EAT )


ROE = x 100%
Ekuitas Pemegang Saham

Di mana:

 Laba Setelah Pajak (EAT) adalah keuntungan bersih perusahaan setelah

semua biaya dan pajak dikurangkan dari pendapatan.

 Ekuitas Pemegang Saham adalah total nilai ekuitas yang dimiliki oleh

pemegang saham perusahaan, yang biasanya mencakup modal saham dan

laba ditahan.

5. Return on Assets

20
Return on Assets (ROA) adalah rasio keuangan yang mengukur kemampuan

sebuah perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari aset yang dimiliki.

Fungsinya adalah untuk mengevaluasi seberapa efisien perusahaan

menggunakan asetnya untuk menghasilkan laba. ROA memberikan gambaran

tentang efisiensi penggunaan aset perusahaan dan seberapa baik manajemen

dapat menghasilkan keuntungan dari setiap unit aset yang dimiliki. Rumus

untuk menghitung ROA adalah:

Laba Setelah Pajak (EAT )


ROA = x 100%
Total Assets

Di mana:

 Laba Setelah Pajak (EAT) adalah keuntungan bersih perusahaan setelah

semua biaya dan pajak dikurangkan dari pendapatan.

 Total Aset adalah jumlah seluruh aset yang dimiliki oleh perusahaan.

Dalam hal ini, peneliti akan menggunakan ROE karena dapat memberikan

gambaran yang cukup jelas tentang efisiensi perusahaan dalam menggunakan modal

yang diberikan oleh pemegang saham untuk menghasilkan laba. ROE mencerminkan

seberapa efektif perusahaan dalam mengalokasikan dana yang diberikan oleh para

pemegang saham untuk menghasilkan laba bersih. Dengan demikian, ROE dapat

memberikan informasi yang berguna bagi investor dan manajemen perusahaan dalam

mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan serta efisiensi penggunaan modal yang

dimiliki.

2.1.4. Leverage

21
Leverage adalah indikator yang dipakai untuk mengevaluasi kapasitas sebuah

perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab keuangan jangka panjangnya. Leverage

mencerminkan proporsi utang yang digunakan oleh perusahaan untuk mendanai

operasionalnya. Mengukur leverage membantu dalam menilai risiko yang dihadapi

oleh perusahaan. Leverage juga memainkan peran penting dalam mengoptimalkan

struktur modal perusahaan. Struktur modal yang tepat dapat mempengaruhi biaya

modal perusahaan dan nilai perusahaan secara keseluruhan. Dengan menggunakan

leverage secara bijak, perusahaan dapat memanfaatkan hutang untuk menghasilkan

keuntungan yang lebih besar daripada biaya bunga yang harus dibayar (Anni’mah &

Susanti, 2021).

Leverage, menurut Harahap dan Syarif (2013), merujuk pada perbandingan antara

utang perusahaan dan modalnya. Rasio ini memberikan gambaran tentang seberapa

besar perusahaan bergantung pada utang atau modalnya. Dalam konteks manajemen

keuangan, terdapat dua jenis leverage yang umum dikenal, yaitu leverage operasional

dan leverage keuangan. Penggunaan kedua jenis leverage ini bertujuan untuk

meningkatkan keuntungan perusahaan melebihi biaya aset dan sumber dana. Dengan

demikian, penggunaan leverage diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi

para pemegang saham. Namun, sebaliknya, leverage juga dapat meningkatkan risiko

kerugian jika perusahaan tidak mampu menghasilkan keuntungan yang cukup untuk

menutupi biaya tetapnya.

Dengan demikian, penggunaan leverage oleh sebuah perusahaan tidak hanya

penting dalam mengoptimalkan struktur modalnya, tetapi juga memiliki tujuan-tujuan

22
spesifik dalam mengevaluasi berbagai aspek kewajiban dan posisi keuangan

perusahaan.

Menurut Makiwan (2018), terdapat beberapa tujuan perusahaan menggunakan

rasio solvabilitas (rasio leverage) yakni:

1. Untuk mengetahui posisi kemampuan perusahaan terhadap kewajiban kepada

pihak lainnya (kreditor);

2. Untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang bersifat

tetap (seperti angsuran pinjaman termasuk bunga);

3. Untuk menilai keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan

modal;

4. Untuk menilai seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang;

5. Untuk menilai seberapa besar pengaruh utang perusahaan terhadap pengelolaan

aktiva;

6. Untuk menilai atau mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri

yang dijadikan jaminan utang jangka panjang;

7. Untuk menilai berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih, terdapat sekian

kalinya modal sendiri yang dimiliki.

Namun, leverage juga membawa risiko. Tingkat utang yang tinggi dapat

meningkatkan tingkat risiko keuangan perusahaan, terutama jika perusahaan

menghadapi kondisi pasar yang tidak stabil atau jika kinerja operasional menurun.

Selain itu, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi mungkin akan kesulitan

untuk membayar kembali hutangnya jika mengalami kesulitan keuangan (Anni’mah

& Susanti, 2021). Salah satu contoh risiko leverage adalah risiko keuangan yang

23
meningkat saat perusahaan memiliki tingkat utang yang tinggi. Ketika perusahaan

menggunakan banyak utang untuk mendanai operasinya, hal ini meningkatkan tingkat

keuangan yang rentan terhadap fluktuasi suku bunga atau ketidakmampuan untuk

membayar kembali utang tersebut. Selain itu, jika kinerja perusahaan menurun, beban

bunga yang harus dibayar perusahaan bisa menjadi lebih berat, mengakibatkan

tekanan keuangan yang lebih besar. Hal ini dapat berdampak negatif pada

kemampuan perusahaan untuk memperoleh pendanaan tambahan atau untuk

memenuhi kewajiban keuangannya secara keseluruhan.

Oleh karena itu, manajemen harus memperhatikan dengan cermat tingkat leverage

yang digunakan oleh perusahaan dan memastikan bahwa tingkat tersebut sesuai

dengan toleransi risiko perusahaan serta kondisi pasar yang ada. Perencanaan

keuangan yang baik dan pengelolaan risiko yang efektif sangat penting untuk

menjaga keseimbangan antara memanfaatkan leverage untuk pertumbuhan dan

menghindari risiko keuangan yang tidak diinginkan.

Dalam mengukur leverage, ada beberapa cara atau rasio yang umum digunakan

oleh para analis dan manajemen perusahaan. Menurut Sagitarius dan Nuridah (2023),

terdapat 4 rasio yang dapat digunakan dalam mengukur leverage, yaitu:

1. Debt to Total Assets (DAR)

Debt to Total Assets Ratio (DAR) adalah rasio keuangan yang mengukur

proporsi dari total hutang perusahaan terhadap total aset yang dimiliki.

Fungsinya adalah untuk mengevaluasi tingkat ketergantungan perusahaan

terhadap hutang dalam pembiayaan asetnya. DAR memberikan wawasan

tentang risiko keuangan yang dihadapi oleh perusahaan karena hutang, serta

24
kemampuannya untuk mengelola kewajiban finansialnya. Semakin tinggi

DAR, semakin besar proporsi aset yang dibiayai dengan hutang, yang dapat

meningkatkan risiko keuangan terutama dalam situasi di mana pendapatan

tidak mencukupi untuk melunasi hutang tersebut. Rumus untuk menghitung

Debt to Total Assets Ratio adalah:

DAR = ( Total
Total Asset )
Hutang
x 100

Di mana:

 Total Hutang adalah jumlah seluruh kewajiban keuangan perusahaan,

termasuk hutang jangka pendek dan jangka panjang.

 Total Aset adalah jumlah seluruh aset yang dimiliki oleh perusahaan.

2. Debt to Equity

Debt to Equity Ratio adalah rasio keuangan yang mengukur tingkat

ketergantungan perusahaan terhadap hutang dalam pembiayaan

operasionalnya, dengan membandingkan total hutang perusahaan dengan total

ekuitas pemegang saham. Fungsinya adalah untuk memberikan gambaran

tentang struktur modal perusahaan dan seberapa besar perusahaan

menggunakan hutang versus modal sendiri dalam mendanai operasionalnya.

Debt to Equity Ratio juga memberikan indikasi tentang tingkat risiko

keuangan yang dihadapi perusahaan, karena semakin tinggi rasionya, semakin

besar proporsi hutang yang harus dilunasi dengan menggunakan ekuitas

pemegang saham. Rumus untuk menghitung Debt to Equity Ratio adalah:

25
DER = ( Total
Total Ekuitas )
Hutang
x 100

Di mana:

 Total Hutang adalah jumlah seluruh kewajiban keuangan perusahaan,

termasuk hutang jangka pendek dan jangka panjang.

 Total Ekuitas adalah jumlah seluruh modal yang dimiliki oleh pemegang

saham perusahaan, termasuk modal saham dan laba ditahan.

3. Debt to Capital Ratio

Debt to Capital Ratio adalah rasio keuangan yang mengukur proporsi dana

yang diperoleh perusahaan dari hutang terhadap total modal yang digunakan

dalam operasinya. Fungsinya adalah untuk mengevaluasi tingkat

ketergantungan perusahaan terhadap hutang dalam struktur modalnya. Debt to

Capital Ratio memberikan gambaran tentang seberapa besar perusahaan

menggunakan hutang dalam pendanaan operasionalnya dibandingkan dengan

modal sendiri atau ekuitas. Rasio ini penting karena memberikan indikasi

tentang tingkat risiko keuangan yang dihadapi perusahaan serta

kemampuannya untuk mengelola kewajiban hutangnya. Rumus untuk

menghitung Debt to Capital Ratio adalah:

DCR = ( Total Ekuitas+Total


Total Hutang
Hutang )
x 100

Di mana:

26
 Total Hutang adalah jumlah seluruh kewajiban keuangan perusahaan,

termasuk hutang jangka pendek dan jangka panjang.

 Total Ekuitas adalah jumlah seluruh modal yang dimiliki oleh pemegang

saham perusahaan, termasuk modal saham dan laba ditahan.

4. Debt to EBITDA

Debt to EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and

Amortization) adalah rasio keuangan yang mengukur tingkat ketergantungan

perusahaan terhadap hutang dalam hubungannya dengan kemampuannya

untuk menghasilkan laba operasional sebelum memperhitungkan bunga,

pajak, penyusutan, dan amortisasi. Fungsinya adalah untuk mengevaluasi

kemampuan perusahaan untuk membayar kembali hutangnya dengan

menggunakan pendapatan operasionalnya sebelum memperhitungkan elemen-

elemen non-operasional. Debt to EBITDA memberikan gambaran tentang

risiko keuangan yang dihadapi perusahaan dan seberapa besar perusahaan

dapat menangani beban hutangnya berdasarkan pendapatan operasionalnya.

Rumus untuk menghitung Debt to EBITDA adalah:

Debt to EBITDA = ( Total EBITDA )


Total Hutang
x 100

Di mana:

 Total Hutang adalah jumlah seluruh kewajiban keuangan perusahaan,

termasuk hutang jangka pendek dan jangka panjang.

 Total EBITDA adalah laba operasional sebelum memperhitungkan bunga,

pajak, penyusutan, dan amortisasi.

27
Dalam hal ini, peneliti akan menggunakan Rasio Debt to Equity untuk mengukur

leverage karena rasio ini memberikan gambaran yang jelas tentang seberapa besar

perusahaan menggunakan hutang dibandingkan dengan modal sendiri dalam

mendanai operasionalnya. Dengan demikian, peneliti dapat menilai tingkat

ketergantungan perusahaan terhadap hutang dan potensi risiko keuangan yang

dihadapi, serta mengidentifikasi seberapa baik perusahaan dalam mengelola

kewajiban finansialnya.

2.1.5. Pertumbuhan Penjualan

Pertumbuhan penjualan dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam jumlah

produk atau jasa yang terjual oleh sebuah perusahaan atau bisnis dalam periode waktu

tertentu. Menurut Kasmir (2021), pertumbuhan dalam penjualan merujuk pada

kemampuan suatu perusahaan untuk meningkatkan volume penjualannya secara

proporsional dengan total penjualan secara keseluruhan. Selanjutnya, Menurut

Dwinta dan Setiawan (2016) penjualan memiliki dampak strategis terhadap

perusahaan. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan perusahaan untuk menyokong

penjualan dengan harta atau aset yang memadai. Ketika penjualan meningkat,

perusahaan cenderung menambah asetnya. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa

pertumbuhan penjualan yang signifikan akan menghasilkan profit yang besar bagi

perusahaan, yang kemudian mendorong perusahaan untuk menggunakan praktik

penghindaran pajak. Lebih lanjut, menurut Van Horne dan Wachowicz (2013),

pertumbuhan penjualan (sales growth) adalah peningkatan penjualan antara tahun

sekarang dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dinyatakan dalam bentuk

28
persentase. Semakin tinggi pertumbuhan penjualan menunjukkan tingginya volume

penjualan untuk menghasilkan profit. Pertumbuhan penjualan mengukur bagaimana

kinerja perusahaan tahun sebelumnya dan untuk memprediksi penjualan pada tahun

berikutnya.

Melalui penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa pertumbuhan penjualan adalah

indikator vital bagi keberhasilan sebuah perusahaan. Namun, untuk mencapai

pertumbuhan yang signifikan, diperlukan strategi yang tepat. Salah satu strategi yang

dapat diterapkan adalah pengembangan produk dan jasa. Dengan terus memperbarui

dan meningkatkan kualitas produk atau jasa yang ditawarkan, perusahaan dapat

menarik minat konsumen baru dan mempertahankan pelanggan yang sudah ada.

Selain itu, pemasaran yang efektif juga memegang peranan penting dalam

meningkatkan penjualan. Melalui kampanye pemasaran yang cerdas dan terarah,

perusahaan dapat mencapai target pasar dengan lebih efisien. Pemanfaatan media

sosial dan teknologi digital menjadi salah satu cara modern yang efektif untuk

meningkatkan visibilitas merek dan produk. Namun, perlu diingat bahwa

pertumbuhan penjualan harus diimbangi dengan kontrol biaya yang baik. Terlalu

fokus pada peningkatan penjualan tanpa memperhatikan efisiensi biaya dapat

mengakibatkan margin keuntungan yang menurun. Oleh karena itu, pengelolaan

biaya operasional dengan cermat menjadi kunci dalam mencapai pertumbuhan

penjualan yang berkelanjutan. Dengan mengetahui perkembangan penjualan,

perusahaan dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam kaitannya untuk

menghasilkan laba. Menurut Kasmir (2021), pertumbuhan penjualan dapat dikalkulasikan

dengan:

29
Penjualant −Penjualant−1
Sales Growth Rates = ( Penjualant −1
) x 100%

Di mana:

 Penjualant adalah jumlah pendapatan dari penjualan produk atau layanan

pada tahun ini

 Penjualant−1 adalah pendapatan dari penjualan produk atau layanan pada

periode waktu sebelumnya, yang sering kali diambil dari periode yang sama

pada tahun sebelumnya.

Pertumbuhan penjualan menunjukan sejauh mana perusahaan dapat meningkatkan

penjualan dibandingan total penjualan keseluruhan. Dengan meningkatnya penjualan,

maka aset pun bertambah. Pertumbuhan penjualan mengambarkan tingkat

profitabilitas, yang dimana semakin tinggi tingkat pertumbuhan penjualan, maka

semakin baik kinerja operasional yang dilakukan oleh perusahaan. Hanya ada satu

cara untuk mengukur pertumbuhan penjualan, yaitu dengan growth sales rate.

2.1.6. Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan mengacu pada dimensi atau skala dari sebuah entitas bisnis,

yang dapat diukur dengan berbagai cara, seperti jumlah karyawan, pendapatan, nilai

pasar, total aset, atau cakupan geografis operasi. Hal-hal tersebut adalah indikator

penting dalam menilai kompleksitas, pengaruh, dan kontribusi ekonomi suatu

perusahaan terhadap pasar dan masyarakat secara umum (Darmawan dan Sukartha,

2014).

30
Menurut Dewinta dan Setiawan (2016), sebuah perusahaan merupakan subjek

pajak, dan ukuran perusahaan tersebut diyakini dapat memengaruhi pendekatan yang

diambil oleh perusahaan tersebut dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Hal ini juga

dapat menjadi faktor yang mendorong praktik penghindaran pajak. Semakin besar

nilai total aset yang dimiliki oleh sebuah perusahaan, maka akan semakin besar pula

ukurannya. Selain itu, total aset juga berdampak pada tingkat produktivitas

perusahaan, yang pada gilirannya mempengaruhi tingkat laba yang dihasilkan. Laba

yang diperoleh oleh perusahaan dengan aset besar juga berpengaruh pada jumlah

pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan itu sendir.

Maka dapat dipahami bahwa semakin besar ukuran perusahaan, maka harus

semakin cermat pula perusahaan tersebut mempertimbangkan risiko dalam mengelola

beban pajaknya. Perusahaan berskala kecil mungkin tidak optimal dalam mengelola

beban pajaknya karena kurangnya keahlian dalam bidang perpajakan (Sari, 2014).

Lebih lanjut, menurut ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008, ukuran entitas

bisnis dibagi menjadi empat kategori, yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha

menengah, dan usaha besar. Semakin besar ukuran perusahaan, maka perusahaan

akan lebih mempertimbangkan risiko dalam hal mengelola beban pajaknya.

Perusahaan berskala kecil tidak dapat optimal dalam mengelola beban pajaknya

dikarenakan kekurangan ahli dalam perpajakan (Sari, 2014).

Klasifikasi ukuran perusahaan menurut UU No. 20 Tahun 2008 dibagi kedalam 4

(empat) kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar.

Pengertian dari masing-masing ukuran usaha adalah sebagai berikut:

31
1. Usaha mikro merupakan perusahaan bisnis yang memiliki skala kecil, sering

kali dimulai oleh individu atau kelompok kecil dengan modal terbatas.

Kriteria yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan usaha mikro adalah

jumlah karyawan yang terbatas, pendapatan tahunan yang rendah, dan aset

yang terbatas. Usaha mikro ini biasanya memiliki cakupan operasi yang lokal

atau regional dan berfokus pada pasar niche atau segmen tertentu dalam

industri.

2. Usaha kecil memiliki skala yang sedikit lebih besar daripada usaha mikro.

Mereka memiliki lebih banyak karyawan, pendapatan yang lebih tinggi, dan

aset yang sedikit lebih besar. Usaha kecil ini mungkin sudah mulai

memperluas cakupan operasinya di wilayah yang lebih luas, meskipun tetap

fokus pada pasar lokal atau regional. Usaha kecil tidak boleh menjadi bagian

dari anak perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, berukuran

menengah atau besar.

3. Usaha menengah adalah perusahaan bisnis yang telah mencapai tingkat yang

lebih signifikan dalam hal skala, pendapatan, jumlah karyawan, dan aset.

Mereka mungkin memiliki operasi yang lebih luas, baik secara regional

maupun nasional, dan mungkin telah membangun merek yang lebih dikenal di

pasar mereka. Usaha menengah merupakan usaha yang bukan bagian dari

usaha kecil atau usaha besar.

4. Usaha besar adalah perusahaan yang memiliki skala dan cakupan operasi yang

besar, seringkali memiliki ribuan karyawan, pendapatan yang sangat tinggi,

32
dan aset dalam jumlah besar. Mereka mungkin memiliki operasi yang tersebar

di beberapa negara dan beroperasi dalam berbagai segmen industri.

Tabel 2.1
Kriteria Ukuran Perusahaan

Ukuran Perusahaan Kriteria


Asset (tidak termasuk Penjualan Tahunan
tanah dan bangunan
tempat usaha)
Usaha Mikro Maksimal 50 Maksimal 300 juta
Usaha Kecil > 50 juta – 500 juta > 300 juta – 2.5 M
Usaha Menengah > 500 juta – 10 M 2.5 M – 50 M
Usaha Besar > 10 M > 50 M

Berdasarkan penjelasan diatas tentang konsep dan klasifikasi ukuran perusahaan,

dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan memiliki implikasi yang signifikan

terhadap berbagai aspek, termasuk pengelolaan pajak. Semakin besar ukuran

perusahaan, semakin kompleks dan signifikan pula dampaknya terhadap ekonomi dan

masyarakat.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Telah banyak penelitian yang telah melakukan uji mengenai tax avoidance yang

dihubungkan dengan berbagai variable independent. Salah satunya adalah penelitian

yang telah dilakukan oleh Hastuti dan Septyanto (2022) tentang ‘pengaruh leverage

dan pertumbuhan penjualan terhadap tax avoidance”. Penelitian ini menggunakan

sampel sebanyak 51 data laporan keuangan yang didapatkan dari perusahaan pada

subsector pariwisata, restoran, dan hotel yang telah terdaftar pada Bursa Efek

Indonesia (BEI). Teknik yang digunakan untuk memilih sampel penelitian adalah

33
purposive sampling. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan

penjualan dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak pada

penelitian sebelumnya. Namun pada hasil penelitian ini, baik pertumbuhan penjualan

maupun profitabilitas tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Perbedaan

antara penelitian sebelumnya dan penelitian ini adalah pada penelitian ini

mempertimbangkan profitabilitas, leverage, pertumbuhan penjualan, dan ukuran

perusahaan terhadap tax avoidance dalam perusahaan pariwisata 2018-2022,

sementara penelitian sebelumnya hanya memperhitungkan leverage dan pertumbuhan

penjualan pada subsektor yang sama.

Apriliani dan Abdurrahman (2023) juga telah melakukan penelitian serupa yang

meneliti tentang ‘pengaruh profitabilitas, leverage, dan pertumbuhan penjualan

terhadap pertumbuhan penjualan’. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 55

data keuangan yang didapatkan dari perusahaan yang berada pada subsector

pariwisata, hotel, dan restoran yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

pada tahun 2017 – 2021. Metode yang diterapkan dalam menentukan sampel

penelitian adalah Purposive Sampling. Temuan dari penelitian ini menyatakan bahwa

adanya pengaruh yang tidak signifikan antara profitabilitas dan tax avoidance,

sementara leverage memiliki pengaruh positif terhadap tax avoidance, dan

pertumbuhan penjualan tidak memengaruhi tingkat tax avoidance. Penelitian

sebelumnya menginvestigasi pengaruh profitabilitas, leverage, dan pertumbuhan

penjualan terhadap tax avoidance pada perusahaan subsektor pariwisata, hotel, dan

restoran (2017-2021). Sementara itu, penelitian ini memperluas cakupan dengan

34
menambahkan variabel ukuran perusahaan dalam analisis tax avoidance pada

perusahaan subsektor pariwisata (2018-2022).

Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Putra (2019) menginvestigasi dampak

leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan, dan proporsi kepemilikan institusional

terhadap praktik penghindaran pajak dengan menggunakan sampel sebanyak 34

perusahaan manufaktur di sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia pada periode 2013-2015. Metode sampling yang digunakan adalah

purposive sampling dengan pendekatan analisis regresi linier berganda. Variabel

independen yang diteliti meliputi leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan, dan

proporsi kepemilikan institusional, sedangkan praktik penghindaran pajak diukur

dengan Cash Effective Tax Rates (CETR) sebagai variabel dependen. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif yang signifikan

terhadap praktik penghindaran pajak, sementara leverage memiliki pengaruh negatif

yang signifikan terhadap praktik tersebut. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan

penelitian ini adalah pada penelitian Putri dan Putra (2019) meneliti praktik

penghindaran pajak pada perusahaan manufaktur, sementara penelitian ini berfokus

pada tax avoidance pada perusahaan pariwisata.

Ganiswari (2019) melakukan penelitian terhadap dampak profitabilitas, leverage,

ukuran perusahaan, dan intensitas modal terhadap praktik penghindaran pajak dengan

menggunakan sampel dari 88 perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia selama periode 2013-2017. Metode sampling yang dipakai adalah

purposive sampling dengan pendekatan analisis regresi linier berganda. Profitabilitas,

leverage, ukuran perusahaan, dan intensitas modal dijadikan sebagai variabel

35
independen yang diperkirakan memengaruhi praktik penghindaran pajak. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa baik profitabilitas maupun leverage memiliki

pengaruh terhadap praktik penghindaran pajak. Penelitian sebelumnya memfokuskan

pada dampak profitabilitas, leverage, ukuran perusahaan, dan intensitas modal

terhadap praktik penghindaran pajak pada perusahaan pertambangan. Sementara itu,

penelitian ini meneliti pengaruh profitabilitas, leverage, pertumbuhan penjualan, dan

ukuran perusahaan terhadap tax avoidance pada perusahaan subsektor pariwisata.

Selanjutnya, Muslim dan Nengzih (2020) melakukan penelitian tentang tax

avoidance yang mana mereka meneliti tentang dampak profitabilitas dan corporate

governance terhadap tax avoidance. Metode yang digunakan untuk mengambil

sampel adalah purposive sampling, menggunakan laporan tahunan dari tahun 2012

hingga 2016. Sampel terdiri dari 90 perusahaan manufaktur yang memenuhi kriteria

penelitian dari total populasi. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1)

profitabilitas memiliki pengaruh signifikan yang negatif terhadap praktik

penghindaran pajak, dan (2) komposisi dewan komisaris, kepemilikan manajerial,

serta kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

praktik penghindaran pajak.

Aulia dan Mahpudin (2020) juga melakukan penelitian mengenai dampak dari

profitabilitas, leverage, dan ukuran perusahaan terhadap tax avoidance. Metode yang

digunakan adalah metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif dan verifikatif.

Populasi yang diteliti terdiri dari 65 perusahaan. Teknik sampling yang digunakan

adalah purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial,

profitabilitas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik penghindaran

36
pajak, sementara leverage dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap praktik

penghindaran pajak. Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa

variabel profitabilitas, leverage, dan ukuran perusahaan secara bersama-sama

mempengaruhi praktik penghindaran pajak.

Marini dkk. (2019) telah melakukan penelitian serupa yang mana mereka meneliti

tentang pengaruh pertumbuhan penjualan dan intensitas modal terhadap tax

avoidance dengan leverage sebagai variabel intervening. Metode seleksi sampel

dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan Tujuan dan sebanyak 15 sampel

terpilih dari total 52 perusahaan yang memenuhi kriteria. Data yang terkumpul

kemudian dianalisis dengan menggunakan Purposive Sampling. Temuan dari

penelitian ini mengindikasikan bahwa Pertumbuhan Penjualan, Intensitas Modal, dan

Leverage memiliki dampak signifikan terhadap Penghindaran Pajak. Selain itu,

Leverage berperan sebagai mediator antara Pertumbuhan Penjualan dan Penghindaran

Pajak, serta antara Intensitas Modal dan Penghindaran Pajak.

Sinambela (2022) juga meneliti tentang tax avoidance pada penelitiannya yang

berjudul “Pengaruh Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan Penjualan, dan Komite Audit

Terhadap Tax Avoidance”. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan yang beroperasi

dalam Sektor Sumber Daya yang tercatat di Bursa Efek Indonesia selama periode

2018-2020. Pendekatan metodologi yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif,

sementara metode pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.

Jumlah sampel yang terlibat dalam penelitian ini adalah sebanyak 12 perusahaan.

Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa dimensi ukuran perusahaan tidak

memiliki dampak signifikan terhadap praktik penghindaran pajak, sementara

37
pertumbuhan penjualan menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap

praktik tersebut. Di sisi lain, keberadaan komite audit tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap penghindaran pajak secara individual, namun secara bersama-

sama, ukuran perusahaan, pertumbuhan penjualan, dan keberadaan komite audit

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap praktik penghindaran pajak.

Nurhidayah dkk. (2021) meneliti tentang tax avoidance pada penelitiannya yang

berjudul “Pengaruh Leverage, Kepemilikan Institusional, dan Kualitas Audit

Terhadap Tax Avoidance”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan

subyek penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia (BEI) selama periode 2016-2019. Sampel penelitian terdiri dari 142

perusahaan yang dipilih menggunakan metode cluster random sampling. Hasil

analisis menunjukkan bahwa Leverage, Kepemilikan Institusional, dan Kualitas Audit

tidak signifikan mempengaruhi Penghindaran Pajak; sementara Profitabilitas

berpengaruh positif.

2.3 Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah sebuah paradigma dalam penelitian yang

menghubungkan visualisasi suatu variabel dengan variabel lainnya.

2.3.1. Pengaruh Profitabilitas Terhadap Tax Avoidance\

Profitabilitas mewakili kemampuan perusahaan untuk menghasilkan

pendapatan di masa depan dan berfungsi sebagai indikator keberhasilan

operasional. Return on Asset (ROA) merupakan salah satu metrik yang dapat

mencerminkan tingkat profitabilitas suatu perusahaan. ROA menggambarkan

38
besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan memanfaatkan total

asetnya.

Semakin tinggi laba suatu perusahaan, maka semakin tinggi ROA yang

dimilikinya, hal ini menunjukkan semakin meningkatnya tingkat profitabilitas.

Perusahaan dengan profitabilitas tinggi biasanya mendapat manfaat dari

manajemen keuangan yang baik. Salah satu aspek pengelolaan keuangan yang

bertujuan untuk menjaga profitabilitas adalah perencanaan pajak. Perencanaan

pajak bertujuan untuk mengelola pengeluaran pajak suatu perusahaan untuk

meminimalkan beban pajak yang ditanggungnya. Perusahaan secara legal dapat

mengurangi beban pajaknya melalui upaya penghindaran pajak. Akibatnya, ketika

profitabilitas meningkat, upaya penghindaran pajak cenderung meningkat.

2.3.2. Pengaruh Leverage Terhadap Tax Avoidance

Leverage adalah metrik keuangan yang menggambarkan hubungan antara

hutang perusahaan dan ekuitas atau asetnya. Perusahaan memperoleh pendanaan

dari sumber internal dan eksternal. Ketika suatu perusahaan mengandalkan

pendanaan eksternal dalam bentuk hutang untuk membiayai operasionalnya, maka

hal tersebut menimbulkan beban bunga.

Semakin tinggi tingkat leverage yang dimiliki suatu perusahaan, maka

semakin besar pula beban bunga yang timbul dari hutang tersebut. Hal ini dapat

mengakibatkan berkurangnya keuntungan perusahaan, sehingga menurunkan

pajak yang dibayarkan. Beban bunga yang tinggi juga dapat mengurangi

kecenderungan perusahaan terhadap strategi penghindaran pajak.

39
2.3.3. Pengaruh Pertumbuhan Penjualan Terhadap Tax Avoidance

Pertumbuhan penjualan merupakan indikator penting bagi kesehatan finansial

perusahaan dan dapat mempengaruhi kebijakan pajak yang diambil. Ketika suatu

perusahaan mengalami pertumbuhan penjualan yang signifikan, hal itu dapat

menyebabkan peningkatan dalam struktur bisnis dan kebutuhan akan modal kerja

yang lebih besar. Dalam situasi ini, perusahaan mungkin cenderung fokus pada

kegiatan inti operasionalnya dan mengurangi perhatian terhadap strategi

penghindaran pajak.

Namun, pertumbuhan penjualan yang cepat juga dapat menciptakan

kompleksitas tambahan dalam struktur perusahaan dan transaksi bisnisnya. Hal

ini dapat menciptakan peluang baru untuk melakukan pengelolaan pajak yang

lebih efektif, seperti pemindahan harga antar perusahaan atau investasi dalam

wilayah dengan kebijakan pajak yang lebih menguntungkan. Dalam konteks ini,

pertumbuhan penjualan yang tinggi dapat mendorong perusahaan untuk lebih

proaktif dalam strategi penghindaran pajak guna memaksimalkan keuntungan

yang dapat diperoleh.

2.3.4. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Tax Avoidance

Ukuran perusahaan menjadi indikator untuk mengukur skala perusahaan, yang

tercermin dari nilai modal, volume penjualan, jumlah staf, total aset, dan faktor

lainnya. Sesuai dengan undang-undang No. 20 Tahun 2008, ukuran perusahaan

dibagi menjadi empat kategori: mikro, kecil, menengah, dan besar. Perusahaan

yang termasuk dalam kategori besar, dengan jumlah aset yang besar, cenderung

memiliki keunggulan dalam stabilitas dan profitabilitas dibandingkan dengan

40
yang memiliki aset lebih kecil. Perusahaan besar biasanya dilengkapi dengan

sumber daya yang besar, termasuk personel yang terampil dalam bidang

perpajakan. Oleh karena itu, perusahaan besar sering kali menerapkan strategi

pengurangan pajak (tax avoidance) karena memiliki tim yang terlatih dalam

perencanaan pajak untuk mengoptimalkan pengurangan beban pajak.

41
DAFTAR PUSTAKA

Agustia, Y. P., & Suryani, E. 2018. Pengaruh Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan,
Leverage, dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba (Studi Pada
Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode
2014-2016). Jurnal ASET (Akuntansi Riset) Vol.10, 63-74.
Anni’Mah, H., F., & Susanti, S. (2021). Pengaruh Leverage, Likuiditas, Profitabilitas
Terhadap Nilai Perusahaan Indeks IDX SMC Composite 2019. Jurnal
Akuntansi, Perpajakan Dan Auditing, 2(2), 260 - 279. Retrieved from
http://pub.unj.ac.id/index.php/japa/article/view/417
Budiman dan Setiono. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif Terhadap Penghindaran
pajak (Tax Avoidance). Simpisium Nasional Akuntansi XV.
Damayanti, H. H., & Pratiwi, D. (2017). Peran OECD dalam meminimalisasi upaya
tax agresiveness pada perusahaan multinationaly. jurnal Akuntansi
Multiparadigma (JAMAL), 8(1), 1–227.

Dewinta, I. A. R., & Setiawan, P. E. (2016). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Umur


Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, dan Pertumbuhan Penjualan Terhadap
Tax Avoidance, 14(3), 1584–1613.

Eva, F. (2003, July 28). Investor Asing Makin Minati Pariwisata RI.
https://www.idx.co.id/StaticData/NewsAndAnnouncement/ANNOUNCEME
NTSTOCK/From_EREP/202308/138d49792c_09fc55a12c.pdf
Hardiyanti W., Kartika A., & Sudarsi S. (2022). Analisis Profitabilitas, Ukuran
Perusahaan, Leverage dan Pengaruhnya Terhadap Manajemen Laba
Perusahaan Manufaktur. Owner: Riset & Jurnal Akuntansi, Volume 6 Nomor
4, pp. 4071-4083.
Harahap dan Syafri, S. (2013) Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jilid II.
Rajawali Pers: Jakarta
Harahap, & Syafri, S. (2009) Teori Kritis Laporan Keuangan. Jakarta: Bumi Aksara
Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 3. Sekretariat Negara. Jakarta.
Kasmir. (2018). Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Kementerian Investasi dukung Industri Pariwisata Super Prioritas Semakin
Berkembang. Kementerian Investasi/BKPM. (2023, August).
https://www.bkpm.go.id/id/info/siaran-pers/kementerian-investasi-dukung-
industri-pariwisata-super-prioritas-semakin-berkembang

42
Makiwan, G. (2018). Analisis Rasio Leverage untuk Memprediksi Pertumbuhan Laba
Perusahaan Manufaktur Sub Sektor Makanan dan Minuman yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015. Jurnal Bisnis, Manajemen dan
Informatika. 15(2).
Nugraha, M. I., & Mulyani, S. D. (2019). Peran Leverage Sebagai Pemediasi
Pengaruh Karakter Eksekutif, Kompensasi Eksekutif, Capital Intensity, Dan
Sales Growth Terhadap Tax Avoidance. Jurnal Akuntansi Trisakti, 6(2), 301.
Https://Doi.Org/10.25105/Jat.V6i2.5575
Pohan, Chairil. A. 2016. Manajemen Perpajakan Strategi Perpajakan dan Bisnis Edisi
Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rejeki, S., Wijaya, A. L., & Amah, N. (2019). Pengaruh Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Manajeial Dan Proporsi Dewan Komisaris Terhadap
Penghindaran Pajak Dan Transfer Princing Sebagai Variabel Moderasi (Studi
Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdafar Di Bei Tahun 2014-2017. 19
Sagitarius, E., & Nuridah, S. (2023). Pengaruh Profitabilitas dan Leverage Terhadap
Tax Avoidance Terhadap Perusahaan Pertanian. Inisiatif: Jurnal Ekonomi,
Akuntansi dan Manajemen. (2)1.
Sari, G., (2014). Pengaruh Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, Kompensasi
Rugi Fiskal dan Struktur Kepemilikan Terhadap Tax Avoidance (Studi
Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI tahun 2008-
2012). Jurnal Akuntansi Universitas Negeri Padang. Vol. 2, No. 3.
Sartono, A. (2015). Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi. Edisi Keempat.
Yogyakarta: BPFE.
Setiawan, R. I. (2022). PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DI
BIDANG PARIWISATA: PERSPEKTIF POTENSI WISATA DAERAH
BERKEMBANG. Jurnal Penelitian Manajemen Terapan (PENATARAN),
1(1), 23–35. Retrieved from
https://journal.stieken.ac.id/index.php/penataran/article/view/301
Suastika, I N. (2021). Tata Cara Pemungutan Pajak dalam Perspektif Hukum Pajak.
Jurnal Komunikasi Hukum. (7)1. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh
Sugihamretha, I. D. G. (2020). Respon Kebijakan: Mitigasi Dampak Wabah Covid-
19 Pada Sektor Pariwisata,. The Indonesian Journal of Development Planning,
Volume IV (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Republik Indonesia).
Tala, O., & Karamoy, H. 2017. “Analisis Profitabilitas Dan Leverage Terhadap
Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia”.
Jurnal Accountability, Vol. 6, No. 1.\

43
Van Horne, James C. dan John M Wachowicz, Jr. 2013. Prinsip-Prinsip Manajemen
Keuangan. Edisi 13. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Wijaya, R. (2019). Analisis Perkembangan Return on Assets (ROA) dan Return on


Equity (ROE) untuk Mengukur Kinerja Keuangan. Jurnal Ilmu Manajemen.
Putri, V. R., & Rizal, P. B. (2019) Pengaruh Leverage, Profitabilitas, Ukuran
Perusahaan dan Proporsi Kepemilikan Institusional Terhadap Tax Avoidance.
STIE Indonesia Banking.
Ganiswari, R. A., (2019) Pengaruh Profitabilitas, Leverage, Ukuran Perusahaan dan
Capital Intensity Terhadap Tax Avoidance. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Muslim, A. B., & Nengzih. (2020). Pengaruh Profitabilitas dan Corporate
Governance Terhadap Tax Avoidance. Jurnal Akuntansi Bisnis Pelita Bangsa.
(5)2.
Aulia, I., & Mahpudin, E. (2020). Pengaruh profitabilitas, leverage, dan ukuran
perusahaan terhadap tax avoidance. Akuntabel 17. (2)1. 289 – 300.
http://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/AKUNTABEL
Marini, Fatahurrazak, & Ruwanti, S. (2019). Pengaruh Pertumbuhan Penjualan dan
Intensitas Modal Terhadap Tax Avoidance Dengan Leverage Sebagai
Variabel Intervening pada Perusahaan Manufaktur Sekor Industri Barang
Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (Bei) Periode 2014-2017.
Sinambela, T. (2022). Pengaruh ukuran perusahaan, pertumbuhan penjualan, dan
komite audit terhadap tax avoidance. Jurnal Paradigma Ekonomik. (17)1. 127
– 136

44

Anda mungkin juga menyukai