Anda di halaman 1dari 30

BILINGUALISME, MULTILINGUALISME, ALIH KODE, CAMPUR KODE INTERVERENSI

DAN INTEGRASI DALAM BAHASA

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Presentasi Mata Kuliah
“Al-lughoh al-ijtima’iy”

Dosen Pengampu: Muflihah, S. Ag., MA.


Disusun Oleh:
1. Sonia Rachim (D02219025)
2. Marya Alvina Alisha (D72219040)
3. Maslachatul Khusnia (D92219073)
4. Nur Silviya Hidayatur R (D92219081)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat,
hidayah, serta inayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
“Bilingualisme, mulitlingualisme, alih Kode, campur kode,interverensi dan
integerasi dalam bahasa ” dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada teladan kita Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya dan para sahabatnya.

Dalam kesempatan ini tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih


kepada:

1. Ibu Muflihah. S. Ag., MA. selakukdosen mata kuliah Al-Lughoh al- ijtimaiy,
2. Teman-temankmatakkuliahk Al-Lughoh al- ijtimaiy,

Makalahkinikdisusunkuntuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Lughh al-


Ijtimaiy. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari
itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangunkuntukkperbaikankpenulisan makalahkselanjutnya.

Akhirkkatakpenyusunkberharapksemogakmakalah ini berguna


khususnyakbagikpenyusunkdanksemuakpihak.

Gresik, 28kSeptemberk2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar Ii
Daftar Isi Iii
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. LatarkBelakang 1
B. RumusankMasalah 2
C. TujuankPenulisan 2
BAB II: PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Bilingualisme dan Multilingualisme 3
B. Diglosia 5
C. Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia 6
D. Pengertian Alih Kode 9
E. Faktor-Faktor Penyebab Alih Kode 10
F. Pengertian Campur Kode 11
G. Faktor-Faktor Penyebab Campur Kode 11
H. Analisis Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode 12
I. Pengertian Intervensi 12
J. Macam-Macam Interferensi 13
K. Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi 15
L. Pengertian Integrasi Bahasa 16
M. Analisi Contoh Interferensi dan Integrasi dalam Bahasa 19
BAB III : PENUTUP 24
A. Kesimpulan 24
Daftar Pustaka 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarkBelakang
Dalam kehidupan masyarakat, manusia memiliki alat komunikasi dan
interaksi yaitu sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan
alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat
komunikasi yang paling baik, paling sempurna dibandingkan dengan alat
komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap
komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa
pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi
interaksi yang baik antar masyarakat.

Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain,
entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau
berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur ini akan
tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang
monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang
mempunyai hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan mengalami apa
yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan
sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai
akibat adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolingistik disebut
bilingualisme dan diglosia.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak.
Sehingga menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang
memiliki bahasa yang berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat.
Indonesia memiliki dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih
dari satu bahasa ini disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih
dari satu bahasa disebut bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya
memiliki satu bahasa yang kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa
Indonesia.

1
B. RUMUSANkMASALAH

1. Apa pengertian bilingualisme dan Multilinguisme (tsunaiyah al lughah) ?


2. Apa pengertian diglossia (lughoh muzdawijah) ?
3. Bagaimana hubungan antara bilingualisme dan diglossia ?
4. Apa pengertian alih kode dan Apa faktor penyebabnya ?
5. Apa pengertian campur kode dan Apa faktor penyebabnya ?
6. Apa perbedaan alih kode dan campur kode ?
7. Apa pengertian interverensi ?
8. Apa pengertian integrasi ?
9. Bagaimana contoh interverensi dan integrasi dalam bahasa ?

C. TUJUANkPENULISAN
1. Menjelaskan pengertian bilingualisme dan multilingualisme (tsunaiyah al
lughah).
2. Menjelaskan pengertian diglossia ( lughoh muzdawijah ).
3. Menguraikan hubungan bilingualisme dan diglossia.
4. Menjelaskan pengertian alih kode dan faktor penyebabnya.
5. Menguraikan pengertian campur kode dan faktor penyebabnya.
6. Menganalisis perbedaan alih kode dan campur kode.
7. Menjelaskan pengertian interverensi.
8. Menguraikan pengertian integrasi.
9. Menganalisis contoh interverensi dan integrasi dalam bahasa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bilingualisme dan Multilingualisme


Istilah biingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia
disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah, bilingualisme berkenaan dengan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Bilingualisme dipahami sebagai
kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa sekaligus, baik
dalam takaran kemampuan yang sama maupun berbeda. Bilingualisme menjadi
fenomena umum bagi masyarakat di era globalisasi karena persinggungan antar
penutur bahasa yang sangat intens.1 Definisi bilingualisme menurut para ahli:
 Bilingualisme oleh Papalia (1993) diartikan sebagai kefasihan untuk
berbicara dua bahasa . Dua bahasa itu biasanya adalah bahasa ibu (native
language) dan bahasa asing (foreign language).2
 Lado (Alwasilah, 1993: 107) mengemukakan bahwa kedwibahasaan yaitu
sebagai kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir
sama baiknya, secara teknik diacukan pada pengetahuan seseorang akan
dua bahasa bagaimana pun tingkatnya.
 Edwards (1994: 55) menegaskan bahwa yang dimaksud bilingualisme
adalah "competence in more than one language...every one is bilingual. In
saying this I make the assumption that there is no one in the world (no
adult, anyway) who does not know at least a few word in language other
than maternal variety." Edwards menegaskan bahwa seseorang dikatakan
bilingual apabila mampu menggunakan dua bahasa, atau mengetahui
beberapa kata dari bahasa lain diluar variasi bahasa ibunya.3
 Iqbal (2011: 9) mengemukakan bahwa dewasa ini kedwibahasaan
mencakup pengertian yang lebih luas yaitu dari penguasaan sepenuhnya
dua bahasa, hingga pengetahuan minimal akan bahasa kedua. Berapa jauh

1 Fathur Rohman, Surahmat, Linguistik Disruptif: Pendekatan Kekinian Memahami Perkembangan


Bahasa, (Jakarta: Bumi Aksara, 2019) h. 101
2 Dari Anak Sampai Usia Lanjut, hal 90
3 Al Ashadi Alimin & Eti Ramaniyar, Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa (Studi Kasus
Pendekatan Dwi Bahasa di Sekoah Dasar Kelas Rendah), (Pontianak: Putra Pabayo Perkasa, 2020),
h. 11.

3
penguasaan seseorang atas bahasa kedua bergantung pada sering
tidaknya dia menggunakan bahasa kedua itu.4
 Bloomfield (Saddhono 2012: 60) memandang kedwibahasaan sebagai
penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat


diambil kesimpulan bahwa bilingualisme (bilingualism) atau dalam bahasa
Indonesianya kedwibabahasaan adalah orang yang mampu menggunakan dua
bahasa dalam pergaulan hidup kedwibahasaan dapat dibagi ke dalam tiga
katagori, yaitu; bilingualisme koordinat (coordinate bilingualism), bilingualisme
majemuk (compound bilingualism), dan kediwibahasaan sub-ordinat (sub-
ordinate bilingualism). Dalam bilingualisme koordinat, penggunaan bahasa
dengan dua atau lebih sistem bahasa yang terpisah, sedangkan bilingualisme
majemuk, penutur menggunakan dua sistem atau lebih yang terpadu dan dapat
mengacaukan unsur- dari kedua bahasa yang dikuasainya, unsur kemudian pada
bilingualisme koordinat, seseorang menggunakan dan mencampur-adukkan
konsep- konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua (Kridalaksana
(Ohoiwutun, 2007: 67)).5

Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang
bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan). Sedangkan
kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut biingualitas (dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).

Jika diperhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan bilinguaitas,


maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingualitas”
akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-harinya, sebab hal
ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannnya. Namun, dapat pula
kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat mempraktikkan “bilingualisme”
tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya bilingualisme berimplikasi pada
bilingualitas.

4 Ibid, h. 12
5 Ibid, h. 13-14

4
Selain istilah bilingualisme, menurut Chaer ada juga istilah
multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut keanekabahasaan) yakni
keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Multilingualisme ini juga
dapat dikatakan yaitu kemampuan untuk bertutur atau menggunakan banyak
bahasa.

Di Indonesia, hampir seluruh penduduknya sekurang-kurangnya


bilingual, bahwa generasi mudanya sudah menganut multilingual. Sedikit sekali
penduduk yang hanya menganut monolingual, itu pun terbatas penduduk yang
letaknya sangat terisolir, seperti di daerah pegunungan Dieng dan suku Anaka
Dalam.6

B. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Secara umum
pengertian diglosia dapat dikatakan hampir mirip dengan bilingualisme, tetapi
istiah diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat
tutur, di mana terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa (ragam bahasa). Di sisi
lain, istilah kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakaian bahasa
itu.
Dalam pandangan Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu
bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu. Jadi menurut Ferguson diglosia ialah suatu situasi kebahasaan relatif
stabil, di mana selain terdapat jumlah dialek-dialek utama dari suatu bahasa
terdapat juga ragam bahasa yang lain. Lebih lanjut, Furgeson menjelaskan
diglosia itu terdiri dari sembilan segi, yaitu: fungsi, prestise, warisan tradisi tulis-
menulis (sastra), pemerolehan bahasa, pembakuan (standarisasi bahasa),
stabilitas, leksikon, dan fonologis.7
Menurut Fishman pengertian diglosia tidak terbatas pada dua ragam dari
satu bahasa, tetapi diacukan pada situasi dimana terlihat perbedaan-perbedaan
yang jelas dalam system linguistic yang disebabkan karena fungsi-fungsi social.

6 Aditiawarman, Bahasa Sebagai Tindakan Sosial, (Lembaga Kajian Aset Budaya Indonesia
Tunggak Tuo, 2018), hal. 32
7 Yendra, Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik), (Yogyakarta: Deepublish, 2018) h. 281

5
Atau diglosia dapat diartikan juga sebagai hadirnya dua bahasa baku dalam satu
bahasa, bahasa “tinggi” dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam
wacana-wacana tertulis, dan bahasa “rendah” yang dipakai dalam percakapan
sehari-hari.
Ada pendapat lain bahwa Istilah diglosia ini pertama kali digunakan
dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari bahasa Yunani, 'dwibahasa')
oleh bahasawan Yunani Ioannis Psycharis. Ahli bahasa Arab William Marçais lalu
juga menggunakannya pada tahun 1930 untuk menuliskan situasi bahasa di
dunia Arab.Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian
fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di
masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam
formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal.8
C. Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
Bilingualisme adalah gejala pertuturan. Bilingualisme tidak dapat
dianggap sebagai sistem.9 Macnamara (1967) memberi batasan bilingualisme
sebagai pemilikan penguasaan atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa
kedua, walaupun tingkat penguasaan bahasa yang kedua itu hanyalah pada batas
yang paling rendah. Kendati dalam kenyataanya tingkat penguasaan bahasa
pertama dengan kedua tidak pernah akan sama. Pendapat ini sejalan dengan
Haugen (1956) yang menyatakan bilingualisme sebagai sekadar mengenal
bahasa kedua.
Fishman, 10 membedakan antara kedwibaha-saan dan diglosia.
Kedwibaha-saan (bilingualisme) mengacu kepada “penguasaan atas H dan L yang
ada dalam masyarakat”; sedangkan diglosia mengacu kepada persebaran
(distribusi) fungsi H dan L dalam ranah-ranah tertentu. Untuk H (high) yaitu
varian tinggi dan L (low) yaitu varian rendah. Varian H digunakan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas yang breprestise, seperti menulis buku, berpidato
dalam situasi formal, menulis surat dinas, dan aktivitas belajar mengajar. Varian
bahasa L digunakan dalam situasi-situasi informal, misalnya berbicara dengan

8 Widi Astuti, Diglosia Masyarakat Tutur pada Penggunaan Bahasa Arab (Kajian Kebahasaan
terhadap Bahasa Fusha dan Bahasa ‘Amiyah dilihat dari Perspektif Sosiolinguistik), h. 153.
9 William F. Mackey. The Description of Bilingualism (Paris: Mouton, 1972), p. 26.
10 Joshua A. Fishman. “Bilingualism with and without Diglossia; Diglossia with and without

Bilingualism”. Journal of Social Issues, The Society for the Psychological Study of Social Issues,
Washington DC, Vol. 23 (2), April 1967, pp. 29-38.

6
rekan-rekan yang sudah akrab, tawar menawar di pasar, menulis cerita-cerita
lucu, dan sebagainya.
Di Indonesia, misalnya terjadi pemisahan secara cukup tegas antara
bahasa Indonesia yang berperan sebagai varian H dan berbagai bahasa daerah
yang berperan sebagai varian L; di Filipina antara bahasa Inggris dan dan
berbagai bahasa lokal; di Kanada antara bahasa Inggris dan bahasa Prancis, dan
sebagainya. Berdasarkan kerangka konsep ini, masyarakat di berbagai bahasa
dibedakan menjadi empat jenis, yakni:
1. Masyarakat yang biingual dan diglosia, seperti Indonesia, Filipina, Selandia
Baru.
2. Masyarakat yang bilingual, tetapi tidak diglosia. Masyarakat menolak secara
tegas adanya pembagian yang jelas antara bahasa H dan L guna memproteksi
L
3. Masyarakat yang tidak bilingual tetapi diglosia, seperti Kanada, Belgia, Swiss,
dan sebagainya.
4. Masyarakat yang tidak bilingual dan tidak diglosia, misalnya Korea, Kuba,
Portugal, Jepang.11
Tidak selamanya kedwibahasaan itu dibarengi dengan diglosia,
sebagaimana tampak pada bagan berikut.
Tabel 1. Perbedaan antara Kedwibahasaan dan Diglosia Fishman

Diglosia
+ -
Bilinguali

1. Diglosia dengan 2. Bilingualisme


sme

+ bilingualisme tanpa diglosia


3. Diglosia tanpa 4. Tanpa Diglosia
- bilingualisme maupun
bilingualisme

1. Dalam masyarakat bahasa yang mengenal kedwibahasaan dan diglosia (kotak


1), hampir tiap orang seharusnya tahu H dan L, dan kedua “ragam” itu

11 I Dewa Putu Wijana, Pengantar Sosiolinguistik

7
seharusnya didistribusikan menurut kaidah diglosia. Tetapi, tidak selamanya
bilingualisme itu sejajar dengan diglosia.
2. Bilingualisme tanpa diglosia (kotak 2) terjadi jika di dalam sebuah
masyarakat bahasa terdapat banyak sekali individu-dwibahasawan tetapi
mereka tidak membatasi bahasa ini untuk situasi ini dan bahasa itu untuk
situasi lain. Tiap bahasa bisa dipakai untuk situasi atau fungsi apa saja. Ini
terjadi pada masyarakat bahasa yang mengalami perubahan besar dalam
hubungan-hubungan diglosik dan sangat tidak stabil atau dalam transisi
(peralihan). Bilingualisme tanpa diglosia ini terjadi kalau diglosianya “bocor”,
sehingga fungsi-fungsi dapat saling ditembus. Diglosia yang bocor mengacu
kepada keadaan di mana satu ragam bahasa “menerobos” ke dalam fungsi (-
fungsi) yang semula disediakan untuk ragam lain. Salah satu akibat dari
situasi ini ialah munculnya ragam “baru”, campuran antara H dan L (terutama
kalau struktur H dan L sama), atau penggantian yang satu oleh yang lain
(terutama kalau struktur keduanya tidak sama).
3. Untuk dapat mempunyai diglosia tanpa bilingualisme (kotak 3) diperlukan
adanya dua kelompok tanpa hubungan di dalam satu perangkat politik,
agama, atau ekonomi. Kelompok pertama adalah kelompok penguasa dan
hanya memakai H. Kelompok lainnya biasanya kelompok yang jauh lebih
besar, tidak mempunyai kekuasaan dan memakai L.
4. Pola yang terakhir yang bisa terjadi ialah tidak ada kedwibahasaan maupun
diglosia (kotak 4). Untuk situasi semacam ini dituntut adanya masyarakat
bahasa yang primitif, terisolasi, dan penuh kesamaan (egalitarian), yang
dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Di situ hanya ada satu ragam
linguistik saja dan tidak ada pemilahan peran-peran yang memerlukan paling
tidak perbedaan gaya dalam tutur, setidaktidaknya perbedaan gaya yang
menimbulkan gaya ragam H dan L. Masyarakat yang tidak diglosia maupun
bilingual ini akan mencair (selfliquidating) apabila telah bersentuhan dengan
masyarakat lain.12
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil
hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingulisme, dan (2) diglosia tanpa

12Joshua A. Fishman. Sociolinguistics a Brief Introduction. Third Printing (Massachusetts:


Newbury House Publisher, 1972), p. 106.

8
bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah
terletak pada bilingualismenya.
D. Pengertian Alih Kode
Ada berbagai pengertian alih kode menurut para ahli. Wijana (2010: 178)
mengemukakan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode satu ke
kode yang lain. Alih kode dapat berupa alih 7 kode gaya, ragam, maupun variasi
bahasa lainnya. Sedangkan menurut Nababan (dalam Rahardi, 2010: 5)
menyebutkan bahwa alih kode mencakup kejadian di mana kita beralih dari satu
ragam fungsiolek ke ragam lain, atau dari satu dialek ke dialek lain dan
sebagainya. Dell Hymes (dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20) berpendapat bahwa
alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan
pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan
beberapa gaya dari suatu ragam.13

Suwito (1996: 80) mengemukakan bahwa alih kode adalah peristiwa


peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain dalam pemakaian bahasa.
Namun karena di dalam suatu kode terdapat beberapa kemungkinan variasi
bahasa (variasi regional, kelas sosial, ragam, gaya maupun register) maka
peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam alih gaya, atau alih
register. Peralihan demikian dapat diamati lewat tata bunyi, tata bentuk, tata
kalimat, maupun tata wacana.Alih kode atau dialect switching adalah
perpindahan satu dialek ke dialek lainnya dalam satu bahasa (Alwasilah dalam
Saddhono, 2009:62). Dari pendapat para ahli yang telah disebutkan dapat
disintesiskan bahwa alih kode merupakan suatu peristiwa kebahasaan, yakni
peralihan bahasa dari ragam bahasa satu ke ragam bahasa yang lain. Peralihan
ragam bahasa tersebut dapat terjadi karena berubahnya situasi berbahasa.14

Menurut (Kitu 2014: 52) alih kode merupakan salah satu aspek tentang
saling ketergantungan bahasa (language depedency) di dalam masyarakat
multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan bahasa

13 Sumarwati Maszein Hana, Suwandi Sarwiji, ‘ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM
INTERAKSI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA NEGERI 7 SURAKARTA Hana’,
BASASTRA Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 07.02 (2019), 62–71.
14 Maszein Hana, Suwandi Sarwiji.

9
secara murni tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang
lain. Dari uraian alih kode yang relatif senada, dapat disimpulkan bahwa alih
kode adalah proses peralihan bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang
disebabkan oleh hal-hal tertentu sesuai dengan situasi yang ada15
Dari beberapa pendapat yang dipaparkan diatas dapat simpulkan bahwa
alih kode adalah sebuah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain
dalam pemakaian bahasa, yang disebabkan oleh berubahnya situasi berbahasa.
E. Faktor-faktor penyebab Alih Kode.
Menurut Widjajakusumah (Saleh dan Mahmudah, 2006: 85) terjadinya alih kode
disebabkan oleh :
a. Orang ketiga;
b. Perpindahan topik;
c. Beralihnya suasana bicara.
d. Ingin dianggap terpelajar.
e. Ingin menjauhkan jarak.
f. Mengindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa daerah.
g. Mengutip pembicaraan orang lain.
h. Terpengaruh lawan bicara.
i. Berada di tempat umum.
j. Menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa daerah.
k. Mitra berbicaranya lebih muda; dan
l. Beralih media/sarana bicara.

Menurut Fisman (Chaer dan Agustina, 2010: 108) faktor penyebab


terjadinya alih kode :

1. Penutur.
2. Lawan tutur.
3. Perubahan situasi.
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
5. Perubahan topik pembicaraan.

15 Maszein Hana, Suwandi Sarwiji.

10
Penyebab terjadinya alih kode dapat ditelusuri melalui keterkaitan suatu
pembicaraan dengan konteks dan situasi berbahasa.16

F. Pengertian Campur Kode


Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain bilamana orang
mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam dalam suatu tindak bahasa
(speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut percampuran bahasa itu (Nababan, 1984: 32). Menurut Thelander
(Suwito, 1983: 76) apabila suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi
antara variasi-variasi yang berbeda di dalam suatu klausa yang sama, maka
peristiwa tersebut disebut campur kode.
Menurut Rokhman (Ulfiani, 2014: 97) campur kode adalah pemakaian
dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa. Menurut Kridalaksana
(Susmita, 2015:98) campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu
bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah
penggunaan dua bahasa atau lebih yang berupa serpihan (pieces) untuk
memperluas ragam bahasa atau gaya bahasa dalam suatu percakapan.17
G. Faktor-faktor penyebab Campur Kode
Terjadinya campur kode karena adanya hubungan timbal balik antara
peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang
mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur
kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu (Suwito, 1985: 78).
Sedangkan menurut (Suandi, 2014: 143-146) faktor penyebab terjadinya
campur kode yaitu, keterbatasan penggunaan kode, ,enggunaan istilah yang lebih
popular, pembicara dan pribadi pembicara, mitra bicara, tempat tinggal dan
waktu pembicaraan berlangsung, modus pembicaraan, topik, fungsi dan tujuan,
ragam dan tingkat tutur 18Bahasa, hadirnya penutur ketiga, pokok pembicaraan,
untuk membangkitkan rasa humor, dan untuk sekadar bergengsi.

16 Aris Munandar, ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI MASYARAKAT TERMINAL
MALLENGKERI KOTA MAKASSAR. Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Makasar.
17 Ibid. 12
18 Ibid . 13

11
H. Analisis Perbedaan Alih Kode Dan Campur Kode

Ternyata alih kode dan campur kode memiliki jenis-jenis dengan


ketentuan yang beragam. Alih kode dan campur kode pun tak sama. Alih kode
dilakukan karena alasan tertentu, seperti perubahan topik dan kehadiran orang
ketiga dalam peristiwa tutur. Dengan kata lain, alih kode terjadi demi mencapai
tujuan khusus. Sebaliknya, campur kode diterapkan tanpa maksud apa-apa atau
terjadi diluar kesadaran penutur.

Alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih


memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja,
karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama
atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode
yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa
serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai kode. Unsur bahasa lain
hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur
menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa jawa,
sehingga tercipta bahasa Indonesia ke jawa-jawaan. Thelander membedakan alih
kode dan campur kode apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari
satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi
apabila dalam suatu peristiwa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas
klausa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing
klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai
campur kode.19

I. Pengertian Intervensi
Interverensi pertama kali digunakan oleh Weinreich 20 (1953) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya

19 Azhar Arindra, “Alih Kode dan Campur Kode”. Online.


http://azharchaririahmad.wordpress.com/2011/05/12/ alih-kodedancampur-kode/. Diakses
27 September 2021
20 Abdul Chaer dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),

120

12
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan
oleh penutur yang bilingual. Interverensi menurut Nababan 21 merupakan
kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran
bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu,
Chaer dan Agustina mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa
penyimpangan dalam menggunakan bahasa dengan memasukkan sistem bahasa
lain, yang bagi penganut puris sebagai suatu kesalahan.
Huda Via Ruriana yang mengacu pada pendapat Weinrich
mengidentifikasi interferensi atas empat macam, 22yaitu:
1. Mentransfer undur suatu bahasa kedalam bahasa yang lain
2. Adanya perbahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya
pemindahan
3. Penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama
4. Kurang diperhatikan struktur bahasa kedua mengingat tidak ada
equivalensidalam bahasa pertama.
J. Macam-Macam Interferensi

Chaer dan Agustina mengidentifikasi bahasa menjadi empat macam.23

1. Interferensi Fonologi
Interferensi fonologi terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari
sesuatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain.
Interferensi fonologi dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi
fonologi pengurangan huruf dan interferensi fonologi pergantian huruf.
Contoh:
Pengurangan huruf
Slalu: selalu Sama: sama

Smua: semua Rame: ramai

Pergantian huruf

21 Nababan.P.W.J, Sosiolinguistik. (Jakarta: Gramedia, 1993), 35.


22 Sarwiji Suwandi. Serbalinguistik (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2010), 87.
23 Abdul Chaer dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),

84.

13
Cayang: sayang Adek: adik

2. Interferensi Morfologi
Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan katanya suatu
bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan struktur itu terjadi
kontak bahasa yang sedang diucapkan (bahasa Indonesia) dengan bahasa
lain yang juga dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing). Contoh:
Kepukul terpukul
Dipindah dipindahkan
Neonisasi peneonan
Menanyai bertanya
3. Interferensi Sintaksis
Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah,
bahasa asing, bahasa gaul) digunakan dalam pembentukan kaliamat bahasa
yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan
klausa. Interferensi sintaksis seperti ini tampak jelas pada peristiwa campur
kode. Contoh: mereka akan married bulan depan
Karena saya khadung apik sama dia, ya saya tanda tangan saja
4. Interferensi Semantis
Interferensi semantis terjadi dalam bidang tata makna. Menurut bahasa
resipiennya, interferens semantik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
interferensi adaptif.
a) Interferensi ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi jika bahasa yang
tersisipi menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain.
Contoh: teman-temanku tambah gokil saja.
b) Interferensi adaptif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian
dan interfensi yang muncul berdampingan dengan bentuk lama dengan
makna yang agak khusus. Contoh: mbak ari cantik sekali

14
K. Faktor penyebab terjadinya interferensi

Selain kotak bahasa, menurut weinrich (1970) ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain: 24

1. Kedwibahasaan peserta tutur


Ini disebabkan karena terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur, yang
pada akirnya dapat menimbulkan interferensi
2. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Interferensi timbul akibat dari pengabaian kaidah bahasa dan
pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai penutur secara
tidak terkontrol.
3. Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Interferensi tibul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan
secara senagaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari
interferensi cenderung akan lebih cepat terintegritas
4. Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Interferensi ini berakibat seoerti interferensi yang disebabkan tidak
cuckupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur
pinjaman itu akan lebih cepat diintegritasikan karena unsur tersebut
dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5. Kebutuhan akan sinonim
Kebutuhan kosakata bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi
dengan alasan untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara
berulang-ulang dan pemakai dapat mempunyai variasi bahasa
6. Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Karena pemakai bahasa ingin ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat
menguasai bahasa tersebut dan bergaya dalam berbahasa maka dapat
timbullah interferensi.
7. Terbawanya kebiasaan bahasa ibu

24Puspa Ruriana, Iqbal Nurul A, Dan Sri Pamungkas. Interferensi dan integrasi bahasa.
https://pusatbahasaalzhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-kemerdekaan/interferensi-dan-
integrasi/ .diakses 27 September 2021

15
Pada umumnya hal ini terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan
kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima.

L. Pengertian integrasi bahasa

Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-


olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya
(Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata
dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Oleh sebagian sosiolinguis, masalah
integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan
Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan
bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa
tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak
dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.

Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah


interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya,
interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang
juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari
suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk
leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap
belum.25

Senada dengan itu, Weinrich (1970:11) mengemukakan bahwa jika suatu


unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau
sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu semakin diterima sebagai
bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini
dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi
sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima. Berkaitan
dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian
suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau
interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan

25 Chaer, Abdul, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 56.

16
unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum
dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.26

Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan


sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya.
Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa
saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat
apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan
dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat
berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu
menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya.
Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan
penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu penyesuaian unsur integrasi
tergantung pada tiga faktor antara lain :

1) Perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa


penyerapnya
2) Unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya
sekedarnya sebagai pelengkap
3) Sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.

Prosesi integrasi dibagi menjadi empat macam, yaitu :27

1) Integrasi Audial
Integrasi secara audial mula-mula penutur Indonesia mendengar butir- butir
leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya.
Apa yang terdengar oleh telinga itulah yang diajarkan lalu dituliskan. Oleh
karena itu, kosakata yang diterima oleh audial sering kali menampakkan ciri
ketidak teraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.
2) Integrasi Visual
Integrasi visual adalah integrasi yang penyerapannya dilakukan melalui
bentuk tulisan dalam bahasa aslinya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan

26 Chaer, Abdul dan Leoni Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), 34.
27 Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta,

2008), 26.

17
menurut aturan yang terdapat dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah
dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.
3) Integrasi Penerjemahan Langsung
Integrasi penerjemahan langsung adalah integrasi dengan mencarikan
padanan kosakata asing ke dalam bahasa Indonesia.
4) Integrasi Penerjemahan Konsep
Integrasi penerjemahan konsep adalah integrasi dengan cara meneliti konsep
kosakata asing itu, lalu dicarikan konsepnya ke dalam bahasaIndonesia.

Penyerapan dari bahasa-bahasa nusantara atau dari bahasa daerah oleh


bahasa Indonesia tampaknya tidak begitu menimbulkan persoalan,sebab secara
linguistik bahasa-bahasa nusantara itu masih serumpun dengan bahasa
Indonesia, apalagi penyerapan itu terjadi dalam bidang kosakata. Kalau sebuah
kata serapan sudah ada pada tingkat integrasi, maka kata serapan itu sudah
disetujui oleh converged into the new law. Karena itu, proses yang terjadi dalam
integrasi ini disebut konvergensi (Chaer danAgustina, 2004: 169-171).

Unsur pinjaman yang terserap sebagai hasil proses interferensi akan


sampai pada taraf integrasi, baik dalam waktu yang relatif singkat maupun
dalam waktu yang relatif lama. Karena hingga saat ini sudah banyak bukti dalam
bahasa apapun yang mempunyai kontak dengan bahasalain, bahasa setiap
bahasa akan mengalami interferensi, yang kemudian disusul dengan peristiwa
integrasi. Peristiwa interferensi dan integrasi pada bahasa resipien membawa
beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada bahasa resipien akibat terjadinya
peristiwa interferensi dan integrasi itu.Kemungkinan pertama, bahasa resipien
tidak mengalami pengaruh apa-apa yang sifatnya mengubah sistem apabila tidak
ada kemungkinan untukmengadakan pembaharuan atau pengembangan di
dalam bahasa resipien itu. Kemungkinan kedua, bahasa resipien mengalami
perubahan sistem, baik pada subsistem fonologis, subsistem morfologis,
subsistem sintaksis dan subsistem semantis.28

28Mustakim, Interferensi Bahasa jawa dalam Surat Kabar Berbahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), 46.

18
M. CONTOH INTERFERENSI DAN INTEGRASI DALAM BAHASA
a. contoh interferensi
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling
dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat
hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu
mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat
terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi,
tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal
yang mengambil peranan, yaitu: bahasa sumber atau bahasa donor,
bahasa penyerap atau resipien, unsur serapan atau importasi.
Berikut contoh interferensi :29
1. Dalam bidang fonologi : jika penutur bahasa Jawa
mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang
berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata
Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang
Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/,
/nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.
2. Dalam bidang morfologi : kalau sering kali kita
mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran,
kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan.
Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk
interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya
ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu
besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan,
berpisah (bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di
atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut
interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk
dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-
sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.

29Hayi, Abdul dkk, Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa, (Jakarta. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985), 78.

19
3. Dalam bidang bentuk kalimat : Rumahnya ayahnya Ali
yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu
telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan
kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk
interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk
tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah
ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah
saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu
kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan
karena ada padanan konteks dari bahasa donor,
misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing
kampung iku, dan seterusnya
4. Dalam bidang semantik : kata demokrasi, politik,
revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
b. Contoh integrasi
Berikut contoh-contoh integrasi :30
 Integrasi audial
kosakata yang diterima oleh audial sering kali
menampakkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan
dengan kosakata aslinya.
Contoh: dongkrak ? dome kracht
pelopor ? vooloper sakelar ? schakelaar

Integrasi audial pada awalnya penutur Indonesia


mendengar butir-butir leksikal yang dituturkan oleh
penutur aslinya, lalu mencba menggunakannya. Apa
yang terdenga oleh telinga itulah yang diajarkan lalu
dituliskan. Karena itu, kosakata yang diterima oleh
audial sering kali menampakkan ciri ketidakteraturan
bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.

30 Sartika, Itha, Pengertian Interferensi dan Integrasi (Yogyakarta : Gramedia pustaka, 2011), 45.

20
a. Cecep bekerja sebagai seorang sopir.

b. Cici pergi ke bengkel untuk memperbaiki motornya.

c. Analisis
Kalimat a dan b merupakan integrasi audial yaitu kosakata yang
didengar oleh telinga itulah yang diujarkan lalu dituliskan. Kosakata
asli kalimat di atas sebagai berikut:
1. sopir (kata benda)

Bahasa inggris = chauffer

Bahasa Prancis = chauffeur

Arti = pengemudi mobil

2. Bengkel (kata benda)

Bahasa Belanda = winkel

Arti = tempat reparasi

 Integrasi Visual
bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang
terdapat dalam Pedomam Umum Pembentukan Istilah
dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan.

Contoh : System? sistem (bukan sistim)

Hierarchy? hierarki (bukan Repertoire? repertoir


(bukan repertoar)

a. Sandal kelom kerajinan khas dari Tasikmalaya.

b. Dewi, dan Witha sedang menonton televisi di


rumah Yuni.

Analisis

Kedua kalimat nomor di atas terjadi integrasi visual, yaitu integrasi yang
penyerapannya dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa aslinya (bahasa

21
Inggris, bahasa Belanda, bahasa Perancis, bahasa Arab, bahasa latin, dan bahasa
Yunani). Kosakata asli kalimat di atas sebagai berikut.

a. Khas (kata sifat)

Bahasa Arab = khas

Arti = khusus, istimewa, lain dari yang lain

b. Televisi (kata benda)

Bahasa Inggris = television

Bahasa Belanda = televisie

Arti = pesawat elektronik untuk menagkap siaran berupa


gambar dan suara dari suatu stasiun pemancar.

 Integrasi Penerjemahan langsung


integrasi dengan mencarikan padanan kosakata asing ke
dalam bahasa Indonesia.

Contoh : joint venture? usaha patungan


Balance budget? anggaran berimbang Samen
werking? kerja sama

a. Setibanya di bandara, Novia dan Santi telah lupa


segalanya.

Analisis

Integrasi pada kalimat di atas merupakan integrasi penerjemahan langsung


adalah dengan membuat istilah baru yang dapat disusun dengan
menerjemahkan istilah asing. Kata bandara pada kalimat di atas berasal dari
bahasa asing (bahasa Inggris) yaitu air port.

 Integrasi penerjemahan konsep31

Mackey, W.F, The Description of Bilingualism Reading in The Sociology of Language (The Hague:
31

Mouton, 1972), 33.

22
integrasi dengan cara meneliti konsep kosakata asing
itu, lalu dicarikan konsepnya ke dalam bahasa
Indonesia.

Contoh : Medication? pengobatan

Brother in law? ipar laki-laki Job


description? ketentuan kerja

a. Pemakaian jaringan telepon selular yang semakin


laris dipasaran.

Analisis

Kalimat di atas merupakan integrasi penerjemahan konsep adalah kesamaan dan


kesepadanan makna konsep, bukan kemiripan bentuk luarnya, atau makna
harfiahnya. Kata jaringan pada kalimat di atas berasal dari bahasa asing (bahasa
Inggris) yaitu network.

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bilingualisme (bilingualism) atau dalam bahasa Indonesianya
kedwibabahasaan adalah orang yang mampu menggunakan dua bahasa
dalam pergaulan hidup, sedangkan multilingualisme (dalam bahasa
Indonesia disebut keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari
dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian.

2. Diglosia dapat dikatakan hampir mirip dengan bilingualisme, tetapi istiah


diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat
tutur, di mana terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa (ragam bahasa). Di
sisi lain, istilah kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakaian
bahasa itu.
3. Fishman, membedakan antara kedwibaha-saan dan diglosia. Kedwibaha-saan
(bilingualisme) mengacu kepada “penguasaan atas H dan L yang ada dalam
masyarakat”; sedangkan diglosia mengacu kepada persebaran (distribusi)
fungsi H dan L dalam ranah-ranah tertentu.
4. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode satu ke kode yang lain. Alih
kode dapat berupa alih 7 kode gaya, ragam, maupun variasi bahasa lainnya.
Menurut Fisman (Chaer dan Agustina, 2010: 108) faktor penyebab terjadinya
alih kode :Penutur. Lawan tutur. Perubahan situasi.Perubahan dari formal ke
informal atau sebaliknya. Perubahan topik pembicaraan.
5. Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain bilamana orang
mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam dalam suatu tindak bahasa
(speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu
yang menuntut percampuran bahasa itu. faktor penyebab terjadinya campur
kode yaitu, keterbatasan penggunaan kode, ,enggunaan istilah yang lebih
popular, pembicara dan pribadi pembicara, mitra bicara, tempat tinggal dan
waktu pembicaraan berlangsung, modus pembicaraan, topik, fungsi dan

24
tujuan, ragam dan tingkat tutur 32Bahasa, hadirnya penutur ketiga, pokok
pembicaraan, untuk membangkitkan rasa humor, dan untuk sekadar
bergengsi.
6. Thelander membedakan alih kode dan campur kode apabila dalam suatu
peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa
bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu peristiwa
tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas klausa atau frasa
campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau
frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur
kode
7. Interverensi adalah peristiwa penyimpangan dalam menggunakan bahasa
dengan memasukkan sistem bahasa lain, yang bagi penganut puris sebagai
suatu kesalahan.
8. Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah
merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya
(Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata
dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
9. Contoh inteverensi : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata
berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya
pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa
mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan
/nGgombong/.
Contoh integrasi :bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang
terdapat dalam Pedomam Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Contoh
: System? sistem (bukan sistim)

25
DAFTARkPUSTAKA

Abdul Chaer dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta,
2010).

Aditiawarman, Bahasa Sebagai Tindakan Sosial, (Lembaga Kajian Aset Budaya Indonesia
Tunggak Tuo, 2018)

Al Ashadi Alimin & Eti Ramaniyar, Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa (Studi
Kasus Pendekatan Dwi Bahasa di Sekoah Dasar Kelas Rendah), ( Pontianak: Putra
Pabayo Perkasa, 2020).

Aris Munandar, ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI MASYARAKAT
TERMINAL MALLENGKERI KOTA MAKASSAR. Fakultas Bahasa dan Sastra,
Universitas Makasar.

Azhar Arindra, “Alih Kode dan Campur Kode”. Online.


http://azharchaririahmad.wordpress.com/2011/05/12/ alih-kodedancampur-
kode/. Diakses 27 September 2021.

Chaer, Abdul, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 56.

Fathur Rohman, Surahmat, Linguistik Disruptif: Pendekatan Kekinian Memahami


Perkembangan Bahasa, (Jakarta: Bumi Aksara, 2019)

Hayi, Abdul dkk, Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa, (Jakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985), 78.
I Dewa Putu Wijana, Pengantar Sosiolinguistik

Joshua A. Fishman. “Bilingualism with and without Diglossia; Diglossia with and
without Bilingualism”. Journal of Social Issues, The Society for the Psychological
Study of Social Issues, Washington DC, Vol. 23 (2), April 1967.

Joshua A. Fishman. Sociolinguistics a Brief Introduction. Third Printing (Massachusetts:


Newbury House Publisher, 1972).

Mackey, W.F, The Description of Bilingualism Reading in The Sociology of Language (The
Hague: Mouton, 1972).
Mustakim, Interferensi Bahasa jawa dalam Surat Kabar Berbahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1994), 46.
Nababan.P.W.J, Sosiolinguistik. (Jakarta: Gramedia, 1993), 35.

Puspa Ruriana, Iqbal Nurul A, Dan Sri Pamungkas. Interferensi dan integrasi bahasa.
https://pusatbahasaalzhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-
kemerdekaan/interferensi-dan-integrasi/ .diakses 27 September 2021
26
Sartika, Itha, Pengertian Interferensi dan Integrasi (Yogyakarta : Gramedia pustaka,
2011).
Sarwiji Suwandi. Serbalinguistik (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2010).

Sumarwati Maszein Hana, Suwandi Sarwiji, ‘ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM
INTERAKSI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA NEGERI 7
SURAKARTA Hana’, BASASTRA Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 07.02
(2019).

Widi Astuti, Diglosia Masyarakat Tutur pada Penggunaan Bahasa Arab (Kajian
Kebahasaan terhadap Bahasa Fusha dan Bahasa ‘Amiyah dilihat dari Perspektif
Sosiolinguistik)

William F. Mackey. The Description of Bilingualism (Paris: Mouton, 1972).

Yendra, Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik), (Yogyakarta: Deepublish, 2018)

27

Anda mungkin juga menyukai