Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Presentasi Mata Kuliah
“Al-lughoh al-ijtima’iy”
1. Ibu Muflihah. S. Ag., MA. selakukdosen mata kuliah Al-Lughoh al- ijtimaiy,
2. Teman-temankmatakkuliahk Al-Lughoh al- ijtimaiy,
Gresik, 28kSeptemberk2021
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ii
Daftar Isi Iii
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. LatarkBelakang 1
B. RumusankMasalah 2
C. TujuankPenulisan 2
BAB II: PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Bilingualisme dan Multilingualisme 3
B. Diglosia 5
C. Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia 6
D. Pengertian Alih Kode 9
E. Faktor-Faktor Penyebab Alih Kode 10
F. Pengertian Campur Kode 11
G. Faktor-Faktor Penyebab Campur Kode 11
H. Analisis Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode 12
I. Pengertian Intervensi 12
J. Macam-Macam Interferensi 13
K. Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi 15
L. Pengertian Integrasi Bahasa 16
M. Analisi Contoh Interferensi dan Integrasi dalam Bahasa 19
BAB III : PENUTUP 24
A. Kesimpulan 24
Daftar Pustaka 26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarkBelakang
Dalam kehidupan masyarakat, manusia memiliki alat komunikasi dan
interaksi yaitu sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan
alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat
komunikasi yang paling baik, paling sempurna dibandingkan dengan alat
komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap
komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa
pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi
interaksi yang baik antar masyarakat.
Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain,
entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau
berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur ini akan
tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang
monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang
mempunyai hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan mengalami apa
yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan
sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai
akibat adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolingistik disebut
bilingualisme dan diglosia.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak.
Sehingga menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang
memiliki bahasa yang berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat.
Indonesia memiliki dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih
dari satu bahasa ini disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih
dari satu bahasa disebut bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya
memiliki satu bahasa yang kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa
Indonesia.
1
B. RUMUSANkMASALAH
C. TUJUANkPENULISAN
1. Menjelaskan pengertian bilingualisme dan multilingualisme (tsunaiyah al
lughah).
2. Menjelaskan pengertian diglossia ( lughoh muzdawijah ).
3. Menguraikan hubungan bilingualisme dan diglossia.
4. Menjelaskan pengertian alih kode dan faktor penyebabnya.
5. Menguraikan pengertian campur kode dan faktor penyebabnya.
6. Menganalisis perbedaan alih kode dan campur kode.
7. Menjelaskan pengertian interverensi.
8. Menguraikan pengertian integrasi.
9. Menganalisis contoh interverensi dan integrasi dalam bahasa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
penguasaan seseorang atas bahasa kedua bergantung pada sering
tidaknya dia menggunakan bahasa kedua itu.4
Bloomfield (Saddhono 2012: 60) memandang kedwibahasaan sebagai
penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa
Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang
bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan). Sedangkan
kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut biingualitas (dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
4 Ibid, h. 12
5 Ibid, h. 13-14
4
Selain istilah bilingualisme, menurut Chaer ada juga istilah
multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut keanekabahasaan) yakni
keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Multilingualisme ini juga
dapat dikatakan yaitu kemampuan untuk bertutur atau menggunakan banyak
bahasa.
B. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Secara umum
pengertian diglosia dapat dikatakan hampir mirip dengan bilingualisme, tetapi
istiah diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat
tutur, di mana terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa (ragam bahasa). Di sisi
lain, istilah kedwibahasaan lebih ditekankan pada keadaan pemakaian bahasa
itu.
Dalam pandangan Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu
bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan
tertentu. Jadi menurut Ferguson diglosia ialah suatu situasi kebahasaan relatif
stabil, di mana selain terdapat jumlah dialek-dialek utama dari suatu bahasa
terdapat juga ragam bahasa yang lain. Lebih lanjut, Furgeson menjelaskan
diglosia itu terdiri dari sembilan segi, yaitu: fungsi, prestise, warisan tradisi tulis-
menulis (sastra), pemerolehan bahasa, pembakuan (standarisasi bahasa),
stabilitas, leksikon, dan fonologis.7
Menurut Fishman pengertian diglosia tidak terbatas pada dua ragam dari
satu bahasa, tetapi diacukan pada situasi dimana terlihat perbedaan-perbedaan
yang jelas dalam system linguistic yang disebabkan karena fungsi-fungsi social.
6 Aditiawarman, Bahasa Sebagai Tindakan Sosial, (Lembaga Kajian Aset Budaya Indonesia
Tunggak Tuo, 2018), hal. 32
7 Yendra, Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik), (Yogyakarta: Deepublish, 2018) h. 281
5
Atau diglosia dapat diartikan juga sebagai hadirnya dua bahasa baku dalam satu
bahasa, bahasa “tinggi” dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam
wacana-wacana tertulis, dan bahasa “rendah” yang dipakai dalam percakapan
sehari-hari.
Ada pendapat lain bahwa Istilah diglosia ini pertama kali digunakan
dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari bahasa Yunani, 'dwibahasa')
oleh bahasawan Yunani Ioannis Psycharis. Ahli bahasa Arab William Marçais lalu
juga menggunakannya pada tahun 1930 untuk menuliskan situasi bahasa di
dunia Arab.Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian
fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di
masyarakat. Yang dimaksud ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam
formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal.8
C. Hubungan Bilingualisme dengan Diglosia
Bilingualisme adalah gejala pertuturan. Bilingualisme tidak dapat
dianggap sebagai sistem.9 Macnamara (1967) memberi batasan bilingualisme
sebagai pemilikan penguasaan atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa
kedua, walaupun tingkat penguasaan bahasa yang kedua itu hanyalah pada batas
yang paling rendah. Kendati dalam kenyataanya tingkat penguasaan bahasa
pertama dengan kedua tidak pernah akan sama. Pendapat ini sejalan dengan
Haugen (1956) yang menyatakan bilingualisme sebagai sekadar mengenal
bahasa kedua.
Fishman, 10 membedakan antara kedwibaha-saan dan diglosia.
Kedwibaha-saan (bilingualisme) mengacu kepada “penguasaan atas H dan L yang
ada dalam masyarakat”; sedangkan diglosia mengacu kepada persebaran
(distribusi) fungsi H dan L dalam ranah-ranah tertentu. Untuk H (high) yaitu
varian tinggi dan L (low) yaitu varian rendah. Varian H digunakan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas yang breprestise, seperti menulis buku, berpidato
dalam situasi formal, menulis surat dinas, dan aktivitas belajar mengajar. Varian
bahasa L digunakan dalam situasi-situasi informal, misalnya berbicara dengan
8 Widi Astuti, Diglosia Masyarakat Tutur pada Penggunaan Bahasa Arab (Kajian Kebahasaan
terhadap Bahasa Fusha dan Bahasa ‘Amiyah dilihat dari Perspektif Sosiolinguistik), h. 153.
9 William F. Mackey. The Description of Bilingualism (Paris: Mouton, 1972), p. 26.
10 Joshua A. Fishman. “Bilingualism with and without Diglossia; Diglossia with and without
Bilingualism”. Journal of Social Issues, The Society for the Psychological Study of Social Issues,
Washington DC, Vol. 23 (2), April 1967, pp. 29-38.
6
rekan-rekan yang sudah akrab, tawar menawar di pasar, menulis cerita-cerita
lucu, dan sebagainya.
Di Indonesia, misalnya terjadi pemisahan secara cukup tegas antara
bahasa Indonesia yang berperan sebagai varian H dan berbagai bahasa daerah
yang berperan sebagai varian L; di Filipina antara bahasa Inggris dan dan
berbagai bahasa lokal; di Kanada antara bahasa Inggris dan bahasa Prancis, dan
sebagainya. Berdasarkan kerangka konsep ini, masyarakat di berbagai bahasa
dibedakan menjadi empat jenis, yakni:
1. Masyarakat yang biingual dan diglosia, seperti Indonesia, Filipina, Selandia
Baru.
2. Masyarakat yang bilingual, tetapi tidak diglosia. Masyarakat menolak secara
tegas adanya pembagian yang jelas antara bahasa H dan L guna memproteksi
L
3. Masyarakat yang tidak bilingual tetapi diglosia, seperti Kanada, Belgia, Swiss,
dan sebagainya.
4. Masyarakat yang tidak bilingual dan tidak diglosia, misalnya Korea, Kuba,
Portugal, Jepang.11
Tidak selamanya kedwibahasaan itu dibarengi dengan diglosia,
sebagaimana tampak pada bagan berikut.
Tabel 1. Perbedaan antara Kedwibahasaan dan Diglosia Fishman
Diglosia
+ -
Bilinguali
7
seharusnya didistribusikan menurut kaidah diglosia. Tetapi, tidak selamanya
bilingualisme itu sejajar dengan diglosia.
2. Bilingualisme tanpa diglosia (kotak 2) terjadi jika di dalam sebuah
masyarakat bahasa terdapat banyak sekali individu-dwibahasawan tetapi
mereka tidak membatasi bahasa ini untuk situasi ini dan bahasa itu untuk
situasi lain. Tiap bahasa bisa dipakai untuk situasi atau fungsi apa saja. Ini
terjadi pada masyarakat bahasa yang mengalami perubahan besar dalam
hubungan-hubungan diglosik dan sangat tidak stabil atau dalam transisi
(peralihan). Bilingualisme tanpa diglosia ini terjadi kalau diglosianya “bocor”,
sehingga fungsi-fungsi dapat saling ditembus. Diglosia yang bocor mengacu
kepada keadaan di mana satu ragam bahasa “menerobos” ke dalam fungsi (-
fungsi) yang semula disediakan untuk ragam lain. Salah satu akibat dari
situasi ini ialah munculnya ragam “baru”, campuran antara H dan L (terutama
kalau struktur H dan L sama), atau penggantian yang satu oleh yang lain
(terutama kalau struktur keduanya tidak sama).
3. Untuk dapat mempunyai diglosia tanpa bilingualisme (kotak 3) diperlukan
adanya dua kelompok tanpa hubungan di dalam satu perangkat politik,
agama, atau ekonomi. Kelompok pertama adalah kelompok penguasa dan
hanya memakai H. Kelompok lainnya biasanya kelompok yang jauh lebih
besar, tidak mempunyai kekuasaan dan memakai L.
4. Pola yang terakhir yang bisa terjadi ialah tidak ada kedwibahasaan maupun
diglosia (kotak 4). Untuk situasi semacam ini dituntut adanya masyarakat
bahasa yang primitif, terisolasi, dan penuh kesamaan (egalitarian), yang
dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Di situ hanya ada satu ragam
linguistik saja dan tidak ada pemilahan peran-peran yang memerlukan paling
tidak perbedaan gaya dalam tutur, setidaktidaknya perbedaan gaya yang
menimbulkan gaya ragam H dan L. Masyarakat yang tidak diglosia maupun
bilingual ini akan mencair (selfliquidating) apabila telah bersentuhan dengan
masyarakat lain.12
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil
hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingulisme, dan (2) diglosia tanpa
8
bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah
terletak pada bilingualismenya.
D. Pengertian Alih Kode
Ada berbagai pengertian alih kode menurut para ahli. Wijana (2010: 178)
mengemukakan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode satu ke
kode yang lain. Alih kode dapat berupa alih 7 kode gaya, ragam, maupun variasi
bahasa lainnya. Sedangkan menurut Nababan (dalam Rahardi, 2010: 5)
menyebutkan bahwa alih kode mencakup kejadian di mana kita beralih dari satu
ragam fungsiolek ke ragam lain, atau dari satu dialek ke dialek lain dan
sebagainya. Dell Hymes (dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20) berpendapat bahwa
alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan
pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan
beberapa gaya dari suatu ragam.13
Menurut (Kitu 2014: 52) alih kode merupakan salah satu aspek tentang
saling ketergantungan bahasa (language depedency) di dalam masyarakat
multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan bahasa
13 Sumarwati Maszein Hana, Suwandi Sarwiji, ‘ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM
INTERAKSI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA NEGERI 7 SURAKARTA Hana’,
BASASTRA Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 07.02 (2019), 62–71.
14 Maszein Hana, Suwandi Sarwiji.
9
secara murni tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang
lain. Dari uraian alih kode yang relatif senada, dapat disimpulkan bahwa alih
kode adalah proses peralihan bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang
disebabkan oleh hal-hal tertentu sesuai dengan situasi yang ada15
Dari beberapa pendapat yang dipaparkan diatas dapat simpulkan bahwa
alih kode adalah sebuah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain
dalam pemakaian bahasa, yang disebabkan oleh berubahnya situasi berbahasa.
E. Faktor-faktor penyebab Alih Kode.
Menurut Widjajakusumah (Saleh dan Mahmudah, 2006: 85) terjadinya alih kode
disebabkan oleh :
a. Orang ketiga;
b. Perpindahan topik;
c. Beralihnya suasana bicara.
d. Ingin dianggap terpelajar.
e. Ingin menjauhkan jarak.
f. Mengindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa daerah.
g. Mengutip pembicaraan orang lain.
h. Terpengaruh lawan bicara.
i. Berada di tempat umum.
j. Menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa daerah.
k. Mitra berbicaranya lebih muda; dan
l. Beralih media/sarana bicara.
1. Penutur.
2. Lawan tutur.
3. Perubahan situasi.
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
5. Perubahan topik pembicaraan.
10
Penyebab terjadinya alih kode dapat ditelusuri melalui keterkaitan suatu
pembicaraan dengan konteks dan situasi berbahasa.16
16 Aris Munandar, ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI MASYARAKAT TERMINAL
MALLENGKERI KOTA MAKASSAR. Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Makasar.
17 Ibid. 12
18 Ibid . 13
11
H. Analisis Perbedaan Alih Kode Dan Campur Kode
I. Pengertian Intervensi
Interverensi pertama kali digunakan oleh Weinreich 20 (1953) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
120
12
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan
oleh penutur yang bilingual. Interverensi menurut Nababan 21 merupakan
kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran
bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu,
Chaer dan Agustina mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa
penyimpangan dalam menggunakan bahasa dengan memasukkan sistem bahasa
lain, yang bagi penganut puris sebagai suatu kesalahan.
Huda Via Ruriana yang mengacu pada pendapat Weinrich
mengidentifikasi interferensi atas empat macam, 22yaitu:
1. Mentransfer undur suatu bahasa kedalam bahasa yang lain
2. Adanya perbahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya
pemindahan
3. Penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama
4. Kurang diperhatikan struktur bahasa kedua mengingat tidak ada
equivalensidalam bahasa pertama.
J. Macam-Macam Interferensi
1. Interferensi Fonologi
Interferensi fonologi terjadi apabila penutur mengungkapkan kata-kata dari
sesuatu bahasa dengan menyisipkan bunyi-bunyi bahasa dari bahasa lain.
Interferensi fonologi dibedakan menjadi dua macam, yaitu interferensi
fonologi pengurangan huruf dan interferensi fonologi pergantian huruf.
Contoh:
Pengurangan huruf
Slalu: selalu Sama: sama
Pergantian huruf
84.
13
Cayang: sayang Adek: adik
2. Interferensi Morfologi
Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan katanya suatu
bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Penyimpangan struktur itu terjadi
kontak bahasa yang sedang diucapkan (bahasa Indonesia) dengan bahasa
lain yang juga dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing). Contoh:
Kepukul terpukul
Dipindah dipindahkan
Neonisasi peneonan
Menanyai bertanya
3. Interferensi Sintaksis
Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah,
bahasa asing, bahasa gaul) digunakan dalam pembentukan kaliamat bahasa
yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frase, dan
klausa. Interferensi sintaksis seperti ini tampak jelas pada peristiwa campur
kode. Contoh: mereka akan married bulan depan
Karena saya khadung apik sama dia, ya saya tanda tangan saja
4. Interferensi Semantis
Interferensi semantis terjadi dalam bidang tata makna. Menurut bahasa
resipiennya, interferens semantik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
interferensi adaptif.
a) Interferensi ekspansif, yaitu interferensi yang terjadi jika bahasa yang
tersisipi menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain.
Contoh: teman-temanku tambah gokil saja.
b) Interferensi adaptif, yaitu interferensi yang muncul dengan penyesuaian
dan interfensi yang muncul berdampingan dengan bentuk lama dengan
makna yang agak khusus. Contoh: mbak ari cantik sekali
14
K. Faktor penyebab terjadinya interferensi
Selain kotak bahasa, menurut weinrich (1970) ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain: 24
24Puspa Ruriana, Iqbal Nurul A, Dan Sri Pamungkas. Interferensi dan integrasi bahasa.
https://pusatbahasaalzhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-kemerdekaan/interferensi-dan-
integrasi/ .diakses 27 September 2021
15
Pada umumnya hal ini terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan
kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima.
16
unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum
dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.26
1) Integrasi Audial
Integrasi secara audial mula-mula penutur Indonesia mendengar butir- butir
leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya.
Apa yang terdengar oleh telinga itulah yang diajarkan lalu dituliskan. Oleh
karena itu, kosakata yang diterima oleh audial sering kali menampakkan ciri
ketidak teraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.
2) Integrasi Visual
Integrasi visual adalah integrasi yang penyerapannya dilakukan melalui
bentuk tulisan dalam bahasa aslinya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan
26 Chaer, Abdul dan Leoni Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), 34.
27 Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), 26.
17
menurut aturan yang terdapat dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah
dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.
3) Integrasi Penerjemahan Langsung
Integrasi penerjemahan langsung adalah integrasi dengan mencarikan
padanan kosakata asing ke dalam bahasa Indonesia.
4) Integrasi Penerjemahan Konsep
Integrasi penerjemahan konsep adalah integrasi dengan cara meneliti konsep
kosakata asing itu, lalu dicarikan konsepnya ke dalam bahasaIndonesia.
28Mustakim, Interferensi Bahasa jawa dalam Surat Kabar Berbahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), 46.
18
M. CONTOH INTERFERENSI DAN INTEGRASI DALAM BAHASA
a. contoh interferensi
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling
dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat
hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu
mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat
terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi,
tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal
yang mengambil peranan, yaitu: bahasa sumber atau bahasa donor,
bahasa penyerap atau resipien, unsur serapan atau importasi.
Berikut contoh interferensi :29
1. Dalam bidang fonologi : jika penutur bahasa Jawa
mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang
berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata
Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang
Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/,
/nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.
2. Dalam bidang morfologi : kalau sering kali kita
mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran,
kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan.
Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk
interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya
ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu
besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan,
berpisah (bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di
atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut
interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk
dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-
sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.
29Hayi, Abdul dkk, Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa, (Jakarta. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985), 78.
19
3. Dalam bidang bentuk kalimat : Rumahnya ayahnya Ali
yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu
telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan
kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk
interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk
tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah
ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah
saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu
kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan
karena ada padanan konteks dari bahasa donor,
misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing
kampung iku, dan seterusnya
4. Dalam bidang semantik : kata demokrasi, politik,
revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
b. Contoh integrasi
Berikut contoh-contoh integrasi :30
Integrasi audial
kosakata yang diterima oleh audial sering kali
menampakkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan
dengan kosakata aslinya.
Contoh: dongkrak ? dome kracht
pelopor ? vooloper sakelar ? schakelaar
30 Sartika, Itha, Pengertian Interferensi dan Integrasi (Yogyakarta : Gramedia pustaka, 2011), 45.
20
a. Cecep bekerja sebagai seorang sopir.
c. Analisis
Kalimat a dan b merupakan integrasi audial yaitu kosakata yang
didengar oleh telinga itulah yang diujarkan lalu dituliskan. Kosakata
asli kalimat di atas sebagai berikut:
1. sopir (kata benda)
Integrasi Visual
bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang
terdapat dalam Pedomam Umum Pembentukan Istilah
dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan.
Analisis
Kedua kalimat nomor di atas terjadi integrasi visual, yaitu integrasi yang
penyerapannya dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa aslinya (bahasa
21
Inggris, bahasa Belanda, bahasa Perancis, bahasa Arab, bahasa latin, dan bahasa
Yunani). Kosakata asli kalimat di atas sebagai berikut.
Analisis
Mackey, W.F, The Description of Bilingualism Reading in The Sociology of Language (The Hague:
31
22
integrasi dengan cara meneliti konsep kosakata asing
itu, lalu dicarikan konsepnya ke dalam bahasa
Indonesia.
Analisis
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bilingualisme (bilingualism) atau dalam bahasa Indonesianya
kedwibabahasaan adalah orang yang mampu menggunakan dua bahasa
dalam pergaulan hidup, sedangkan multilingualisme (dalam bahasa
Indonesia disebut keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari
dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian.
24
tujuan, ragam dan tingkat tutur 32Bahasa, hadirnya penutur ketiga, pokok
pembicaraan, untuk membangkitkan rasa humor, dan untuk sekadar
bergengsi.
6. Thelander membedakan alih kode dan campur kode apabila dalam suatu
peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa
bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu peristiwa
tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas klausa atau frasa
campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau
frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur
kode
7. Interverensi adalah peristiwa penyimpangan dalam menggunakan bahasa
dengan memasukkan sistem bahasa lain, yang bagi penganut puris sebagai
suatu kesalahan.
8. Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah
merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya
(Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata
dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
9. Contoh inteverensi : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata
berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya
pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa
mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan
/nGgombong/.
Contoh integrasi :bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang
terdapat dalam Pedomam Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Contoh
: System? sistem (bukan sistim)
25
DAFTARkPUSTAKA
Abdul Chaer dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta,
2010).
Aditiawarman, Bahasa Sebagai Tindakan Sosial, (Lembaga Kajian Aset Budaya Indonesia
Tunggak Tuo, 2018)
Al Ashadi Alimin & Eti Ramaniyar, Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa (Studi
Kasus Pendekatan Dwi Bahasa di Sekoah Dasar Kelas Rendah), ( Pontianak: Putra
Pabayo Perkasa, 2020).
Aris Munandar, ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI MASYARAKAT
TERMINAL MALLENGKERI KOTA MAKASSAR. Fakultas Bahasa dan Sastra,
Universitas Makasar.
Hayi, Abdul dkk, Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa, (Jakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985), 78.
I Dewa Putu Wijana, Pengantar Sosiolinguistik
Joshua A. Fishman. “Bilingualism with and without Diglossia; Diglossia with and
without Bilingualism”. Journal of Social Issues, The Society for the Psychological
Study of Social Issues, Washington DC, Vol. 23 (2), April 1967.
Mackey, W.F, The Description of Bilingualism Reading in The Sociology of Language (The
Hague: Mouton, 1972).
Mustakim, Interferensi Bahasa jawa dalam Surat Kabar Berbahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1994), 46.
Nababan.P.W.J, Sosiolinguistik. (Jakarta: Gramedia, 1993), 35.
Puspa Ruriana, Iqbal Nurul A, Dan Sri Pamungkas. Interferensi dan integrasi bahasa.
https://pusatbahasaalzhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-
kemerdekaan/interferensi-dan-integrasi/ .diakses 27 September 2021
26
Sartika, Itha, Pengertian Interferensi dan Integrasi (Yogyakarta : Gramedia pustaka,
2011).
Sarwiji Suwandi. Serbalinguistik (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2010).
Sumarwati Maszein Hana, Suwandi Sarwiji, ‘ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM
INTERAKSI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA NEGERI 7
SURAKARTA Hana’, BASASTRA Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 07.02
(2019).
Widi Astuti, Diglosia Masyarakat Tutur pada Penggunaan Bahasa Arab (Kajian
Kebahasaan terhadap Bahasa Fusha dan Bahasa ‘Amiyah dilihat dari Perspektif
Sosiolinguistik)
27