Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Problematika atau permasalahan berbahasa bermakna “hal yang
menjadikan masalah, hal yang dipermasalahkan, atau persoalan menggunakan
bahasa (KBBI, 2003: 719). Untuk memberikan gambaran tentang permasalahan
berbahasa atau permasalahan memakai bahasa dalam kondisi masyarakat seperti
negara kita ini, diperlukan suatu upaya pemanfaatan salah satunya melalui
pemanfaatan pendekatan sosiolinguistik karena permasalahan penggunaan bahasa
memang termasuk ke dalam wilayah kajian sosiolinguistik, terutama jika
pembahasannya menurut konteks sosial penggunaannya. 
Sosiolinguistik adalah studi bahasa yang membahas permasalahan utama
bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan. Studi dengan pendekatan ini
menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan
situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya. Selain itu, sosiolinguistik merupakan
studi tentang fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar
bahasa di Indonesia tercinta ini. Di dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-
hari anggota masyarakatnya, di samping Bahasa Indonesia (BI), dipakai juga
bahasa-bahasa daerah (BD) yang konon lebih dari 760-an jumlahnya, beserta
variasi-variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu sesuai dengan fungsi, situasi,
serta konteks berbahasa. BI berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi
intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional
umum.
Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika
dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam
masyarakat itu, dapat disebut bilingualisme secara kemasyarakatan / societal
bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan
bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antar bahasa daerah di dalam

1
2

daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia


merupakan bilingual secara perseorangan/individual bilingualism. Selain itu, jika
dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat,
masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik dengan bahasa
Indonesia sebagai "variasi tinggi" dan bahasa daerah sebagai "variasi
rendah" karena secara resmi dan umum, BI seyogianya dipakai dalam situasi
formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai
dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut
pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh
penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau
kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih
disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam
situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-
mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut
merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme /
multilingualisme.
Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara
berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si
pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke
perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga
dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan
kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual
tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial
dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin
berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya
sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik
pembicaraan dari yang resmi ke tak resmi; misalnya dari dalam ke luar studio,
seperti di lapangan TKP, dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya.
Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam
3

intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa
kalimat.
Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan
elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena
tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain,
elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi
linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak
dipengaruhi oleh faktor situasional . Bentuk linguistik campur kode yang paling
tinggi, khususnya di Indonesia, berupa leksikalisasi. Di India terdapat
campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang
disebut Hinglish, di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris
yang disebut Taglish atau hula-hula atau mix-mix, di Hongkong pembauran antara
bahasa Cina dan Inggris yang disebut Cinglish, di Malaysia pembauran kode
antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture,
di Indonesia campur kode antara BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-
gado (Nababan, 1986).
Di samping pembauran/campur kode, ada yang disebut peminjaman
bahasa (borrowing). Terjadinya peminjaman dari bahasa yang satu ke bahasa yang
lain didasari oleh kemampuan minimum bilingual/dwibahasawan, baik bilingual
secara perseorangan maupun bilingual secara kemasyarakatan, dalam kedua
bahasa tersebut. Bentuk linguistik yang dipinjam cenderung pada tataran
leksikal/terminologi. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam
situasi yang bilingual/multilingual juga akan menimbulkan gejala interferensi
(pengacauan); inteferensi adalah perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari
penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada diri
seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur
kebahasaan: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata.
Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini.
Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan
norma BI.
4

Kontruk wilayah Republik Indonesia yang beragam suku dan budaya dan
berada dalam kawasan strategis dunia memberikan banyak pengaruh terhadap
bahasa sehingga menimbulkan beberapa problematika terhadap gejala bahasa
Indonesia sebagai bahasa utama kenegaraan atau bahasa pemersatu bangsa.
Banyak ragam problematika gejala bahasa Indonesia diantaranya yaitu gejala
kontaminasi, pleonasme, hiperkorek, serta beberapa gejala bahasa yang lain.
Begitu banyaknya problematika tersebut sehingga banyak terjadi kesalahan dalam
menggunakan tata bahasa Indonesia. Baik dalam penulisan maupun
pengucapannya. Dalam pemakaian bahasa Indonesia, termasuk bahasa Indonesia
ragam ilmiah, sering dijumpai penyimpangan dari kaidah yang berlaku sehingga
mempengaruhi kejelasan pesan yang disampaikan. Berdasarkan pemaparan latar
belakang di atas, maka saya mencoba membuat makalah yang menyangkut
problematika bahasa dengan judul makalh “Problematika Gejala Bahasa
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah yaitu sebagai berikut;
1. Apa fungsi bahasa Indonesia dan sikap bahasa?
2. Apa saja yang termasuk problematika dan penyimpangan dalam bahasa
Indonesia?
3. Adakah problem gejala bahasa yang lain dalam menggunakan bahasa
Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalh ini
diantaranya sebagai berikut:
1. Mengetahui fungsi bahasa Indonesia dan sikap bahasa.
2. Mendeskripsikan problematika dan penyimpangan bahasa Indonesia.
3. Mendeskripsikan problem gejala bahasa yang lain dalam menggunakan
bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa


Bahasa mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi ideasional, fungsi
interpersonal, dan fungsi tekstual. Ketiga fungsi ini disebut fungsi metafungsional,
dan ketiga fungsi tersebut menunjukkan realitas yang berbeda. Di bawah fungsi
ideasional, bahasa digunakan untuk mengungkapkan realitas fisik-biologis serta
berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Di bawah fungsi
interpersonal, bahasa digunakan untuk mengungkapkan realitas sosial dan
berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dan pendengar/pembaca. Di
bawah fungsi tekstual, bahasa digunakan untuk mengungkapkan realitas semiotis
atau realitas simbol dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks
(Martin, 1992).
Ketiga fungsi tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri secara lepas-lepas.
Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan metafungsi. Oleh karena itu, sebuah
tuturan kebahasaan, misalnya yang berbentuk klausa, mengemban tiga fungsi itu
sekaligus. Dengan kata lain, meskipun wujud klausa itu hanya satu, klausa yang
satu itu harus dilihat dari kapasitasnya yang mempunyai tiga fungsi sekaligus..
Hubungan antara ketiga fungsi dalam metafungsi dan realitas-realitas yang
berbeda dapat diringkas pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.1
Metafungsi dan Konstruksi Realitas
Metafungsi Konstruksi Realitas (Perihal)
IDEATIONAL Realitas fisik/biologis (Observasi)
(logika, eksperiensial)
INTERPERSONAL Realitas sosial (Peran)
TEKSTUAL Realitas semiotis/simbol

Dapat dijelaskan bahwa bahasa merupakan konstruksi realitas


fisik/biologis, realitas sosial, dan realitas simbol, yang secara bersama-sama
menjadi fondasi tempat fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual

5
6

bekerja. Secara realitas fisik/biologis, bahasa digunakan untuk melaporkan isi atau
maksud sebagai hasil dari observasi yang dilakukan oleh penutur/penulis. Hal
yang dilaporkan adalah apapun yang berada di dalam dan di sekitar diri
penutur/penulis tersebut. Secara realitas sosial, bahasa digunakan untuk
melakukan peran yang dilakukan oleh penutur/penulis terhadap
pendengar/pembaca. Peran tersebut tampak pada kenyataan bahwa bahasa
merupakan alat untuk menjalin dan sekaligus memapankan hubungan sosial.
Secara realitas semiotis/simbol, bahasa mengungkapkan isi (hasil observasi
tersebut) melalui bentuk-bentuk lingual (teks) yang sesuai dengan tujuan
pengungkapan tersebut.
Sementara untuk sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap
bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Keadaan dan
proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya
sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari
tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen
konatif.
Anderson dalam Sumarsono dan Paina (2008) membagi sikap atas dua
macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan. Sikap kebahasan
dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap
positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang
digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya
jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri
sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap
suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Garvin dan Mathiot
dalam Suwito (1983) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa
(language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), kesadaran adanya norma
bahasa (awareness of the norm).

B. Problematika Penyimpangan Bahasa Indonesia


7

Problematika penyimpangn bahasa merupakan suatu gejala bahasa yaitu


peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala
macam proses pembentukannya. Gejala bahasa dalam bahasa Indonesia
diantaranya adalah gejala analogi, gejala kontaminasi, gejala pleonasme, gejala
hiperkorek, dan gejala-gejala lainnya.
1.      Gejala Analogi
Analogi dalam bahasa artinya suatu bentukan bahasa yang meniru contoh
yang sudah ada. Terbentuknya bentukan-bentukan baru tentu akan memperkaya
perbendaharaan bahasa Indonesia. Hal ini tentu akan menguntungkan bagi bahasa
yang tumbuh dan sedang berkembang.
Tabel 1. 2
Analogi dalam Bahasa Indonesia
Kata/bentukan yang Kata/ bentukan
No sudah lama dikenal Keterangan baru
1. Putra-putri, dewa-dewi Saudara-saudari,
mahasiswa-
mahasiswi,
Kata-kata itu berasal dari pemuda-pemudi,
bahasa Sansekerta. dsb.
2. Fonem /a/: menyatakan jenis Olahragawan,
Hartawan, bangsawan kelamin laki-laki, /i/ negarawan,
menyatakan perempuan. sosiawan,
-wan menyatakan lelaki, untuk pragawati,
menyatakan perempuan negarawati,
3. Budiman dipakai akhiran –wati. sosiawati.
Seniman.

Dalam bahasa Indonesia tak ada alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan
atau membedakan jenis laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, jenis kelamin
dinyatakan dengan pertolongan kata lain yaitu kalau laki-laki (pria) dan
perempuan (wanita) di belakang kata-kata yang dimaksud. Contohnya, murid laki-
8

laki, pelayan wanita.Untuk binatang atau tumbuhan dipakai kata jantan dan
betina.Contohnya, kuda jantan, bunga betina.
Pembatasan unsur a dan i yang bukan merupakan unsur asli bahasa
Indonesia perlu dilakukan. Misalnya, di samping kata bapak tak perlu dibentuk
kata bapik sebab untuk ini sudah ada kata lain yaitu ibu. Jadi analogi dalam
bahasa tak selalu berlaku mutlak.
Analogi dari Bahasa Indonesia Asli
Dalam bahasa Indonesia ada kata-kata: dikemukakan, diketengahkan, atau
mengemukakan, mengetengahkan. Beranalogi kepada kata-kata itu dibentuklah
kata-kata baru: dikesampingkan, dikebumikan, dikedepankan, mengebelakangkan;
tidak tergolong ke dalam bentukan dike-kan. Dari kata semasa dibentuk kata-kata
baru; sedari, selagi sewaktu, semasih.Pada masa orde baru pun lahir kata
pemersatu yang kemudian muncul kata-kata baru seperti pemerlain, pemerhati.
Bentukan Analogi Hasil Suadaya Bahasa
Dari bahasa yang tersedia, orang mencoba membentuk dan melahirkan
sesuatu yang baru. Misalnya dari bahasa Belanda “onrechtvaardigheid”, dibuatlah
istilah ketidakadilan (onrechtvaardig: tidak adil, heid: morvem pembentuk kata
benda menyatakan sifat). “heid” disejajarkan dengan imbuhan ke-an dalam bahasa
Indonesia, sehingga lahirlah analogi bentukan ketidak-an seperti; ketidaktertiban,
ketidakbecusan, ketidakberesan. Pembentukan kata-kata seperti ini sungguh
sangat berhasil.
Analogi yang Salah
Analogi yang salah sering terjadi karena kata bervokal satu dijadikan kata yang
bervokal dua yang disebut diftongisasi. Contoh: teladan dijadikan tauladan,
anggota dijadikan anggauta. Mungkin hal tersebut terjadi karena pemakai bahasa
menganalogikannya dengan pemungutan kata-kata bahasa Arab seperti: taubat,
taufan, taurat. Dalam bahasa Indonesia kata-kata itu menjadi tobat, tofan,
torat.Karena analogi itulah bentukan-bentukan teladan dan anggota dikembalikan
kepada bentuk dengan au (tauladan, anggauta).Inilah yang dinamakan dengan
analogi yang salah yang menimbulkan terjadinya hiperkorek. Drs. Pernis
(Badudu, 1985:50) mengatakan bahwa “analogi ialah faktor yang terpenting
9

dalam setiap bahasa”. Hal ini nampaknya benar adanya banyak bentukan baru
yang dianalogikan dari bentukan yang sudah ada.
2. Gejala Kontaminasi
Kontaminasi adalah suatu gejala bahasa yang rancu atau kacau
susunan.Yangdirancukan adalah susunan dua unsur bahasa,baik itu
imbuhan,kata,ataupun kalimat.
 Kontaminasi Kata
Kata-kata seperti berulang kali dan sering kali adalah contoh kontaminasi kata
yang sebenarnya kata-kata tersebut terbentuk dari kata-kata: berulang-ulang dan
berkali-kali.
Berulang-ulang
Berulang kali
Berkali-kali
di belakang hari
di belakang kali
lain kali
jangan biarkan
jangan boleh
tidak boleh
Kontaminasi kata terjadi karena adanya dua kata yang sebenarnya dapat
berdiri sendiri yang ketika diucapkan dua kata tersebut diucapkan menjadi satu.
 Kontaminasi Bentukan Kata
Adakalanya kita melihat bentukan kata dengan beberapa imbuhan (afiks)
sekaligus yang memperlihatkan gejala kontaminasi. Contoh:
dipertinggi
dipertinggikan
ditinggikan
Adanya bentukan dipertinggikan menyebabkan arti khususnya menjadi tak jelas.
menyampingkan
mengenyampingkan
mengesampingkan
10

 Kontaminasi Kalimat
Kalimat yang rancu pada umumnya dapat kita kembalikan pada dua
kalimat asal yang betul strukturnya. Gejala kontaminasi ini timbul karena dua
kemungkinan, yaitu:
a. Orang kurang menguasai penggunaan bahasa yang tepat (menyusun
kalimat atau frasa ataupun dalam penggunaan beberapa imbuhan
sekaligus).
b. Kontaminasi terjadi tidak disengaja. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan antara kompetensi dan performansi. Orang tahu dua  bentuk
yang benar namun ketika ditulis atau diucapakan lahirlah sebuah bentuk
penggabungan dua bentukan yang benar.
Tabek 1.3
Contoh Kontaminasi
Kalimat Rancu Kalimat asal
Di sekolah murid-murid dilarang tidak -      Di sekolah murid-murid dilarang
boleh merokok merokok
-      Di sekolah muri-murid tidak boleh
merokok

Bentukan kontaminasi seperti contoh di atas dapat kita hindari apabila kita
tahu benar bagaimana bentukan yang semestinya dan tahu benar mengapa
bentukan-bentukan yang semacam itu salah.
3.      Gejala Pleonasme
Pleonasme berasal dari bahasa latin “pleonasmus” dalam bahasa Grika
“pleonazein” artinya kata yang berlebih-lebihan. Gejala pleonasme timbul karena
beberapa kemungkinan antara lain:
a. Pembicara tidak sadar bahwa apa yang diucapkan itu mengandung sifat
yang berlebih-lebihan. Jadi, dibuat dengan tidak sengaja;
b. Dibuat bukan karena tidak sengaja, melainkan karena tidak tahu bahwa
kata-kata yang digunakan mengandung pengertian yang berlebih-lebihan;
c. Dibuat dengan sengaja sebagai salah satu bentuk gaya bahasa untuk
memberikan tekanan pada arti (intensitas).
11

Contoh gejala pleonasme:


a. Dalam satu prasa terdapat dua atau lebih kata yang searti, misalnya:
Mulai dari waktu itu ia jera berjudi.
(mulai = dari; salah satunya saja dipakai).
b. Kata kedua sebenarnya tak perlu lagi karena pengertiannya sudah
terkandung pada kaya yang mendahuluinya. Contoh: naik ke atas, turun ke
bawah.
c. Bentuk jamak yang dinyatakan dua kali, misalnya:
Telah dipamerkan sebanyak 50 buah lukisan-lukisan.
(50 = memberi pengertian jamak, lukisan-lukisan = menyatakan jamak ).
4.      Gejala Hiperkorek
H.D. van Pernis (dalam Badudu 1985 : 58)menyebutkan gejala hiperkorek
sebagai proses bentukan betul dibalik betul.Maksudnya, yang sudah betul dibetul-
betulkan lagi akhirnya menjadi salah.Gejala hiperkorek menunjukkan sesuatu
yang salah, baik ucapan, maupun ejaan (tulisan).
a. /s/ dijadikan /sy/
Tabel. 1.4
Alih Huruf Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia
No Bahasa Arab Bahasa Indonesia Contoh
1 Sin /s/ Islam, salam, selamat,
muslim, saat, sebab, insan.
3 tsa /s/ misal, amsal, Senin, Selasa,
hadis, salju.
4 Shad /s/ sehat,sahabat, nasihat, hasil,
insaf, salat, pasal, maksud.

Hiperkorek terjadi karena kata-kata yang seharusnya tidak boleh


dijadikan /sy/ dijadikan /sy/, misalnya, insaf dijadikan insyaf, sah dijadikan syah.
b.  /h/ dijadikan /kh/
Dalam bahasa Arab, ada dua macam bunyi laringal /h/. /h/ berdesah seperti
pada kata-kata: sehat, nasihat, hasil, sahabat, dan /h/ bersuara seperti pada kata-
kata: paham, hidayat, jihad, lahir.Dalam bahasa Indonesia kedua macam fonem
ini dituliskan dengan h saja, jadi tidak dibedakan.Ucapannya pun tidak dibedakan.
12

Selain daripada itu ada fonem /kh/ yang dasar ucapannya langit-langit
lembut (artikulasi velar) seperti yang terdapat pada kata-kata: Khalik, makhluk,
khusus, khayal, akhir, khabar, ikhtisar. Dalam bahasa Indonesia, fonem itu
dituliskan dengan kh menurut ejaan lama ch. Fonem /kh/ pada awal suku bisa
dijadikan /k/ saja seperti pada kata-kata: kabar, akhir, ketubah, kesumat.
Karena pengaruh bahasa Sunda, maka huruf kh itu biasanya dituliskan
orang sebagai h saja, jadi: makhluk, husus, hayal, akhir. Memang dalam
ucapannya lebih cenderung pada bunyi /h/ dari pada /k/ walaupun /kh/
mempunyai satu daerah artikulasi yaitu velar. Bentuk mahluk, husus, ahir,
bukanlah bentuk baku.
Hewan dari bahasa Arab haiwani ditulis dengan kh menjadi khewan,
(dalam ejaan lama chewan) padahal dalam bahasa Arab h pada kata ini sama
dengan h pada sehat, nasihat, sahabat.
c. /p/ dijadikan /f/
Dalam bahasa Arab, tak terdapat fonem /p/, yang ada hanyalah
/f/.Sebaliknya dalam bahasa Melayu tak terdapat fonem /f/. Itu sebabnya pada
umumnya kata-kata yang berasal dari bahasa Arab dengan f dijadikan p seperti:
fikir – pikir, faham – paham, hafal – hapal, fasal – pasal, disesuaikan dengan
fonem atau ucapan kita. Namun yang sering salah adalah kata-kata bahasa
Indonesia yang berawalan fonem /p/ dijadikan /f/ contoh: pihak – fihak inilah
yang disebut kasus hiperkorek.
d.   /j/ dijadikan /z/
Fonem /z/ dari bahasa Arab, yang merupakan fonem asing dalam bahasa
Melayu/Indonesia sering dijadikan /j/, seperti: zaman – jaman, izin – ijin, ziarah –
jiarah, zambrut – jambrut. Fonem /z/ yang berasal dari bahas Belanda dijadikan /s/
dalam bahasa Indonesia, seperti: zak – saku; zaal – sal; zadel – sadel, zonder –
sonder (= tanpa), zuster – suster.
Dalam bahasa Indonesia ada kita lihat yang sebaliknya dari yang
disebutkan di atas ini yaitu /j/ dijadikan /z/ sehingga terjadi pula hiperkorek.
Misalnya:
ijazah,     tidak boleh dijadikan izazah.
13

e.  Gejala Hiperkorek dengan /au/ Pengganti /o,e/


Dalam bahasa Indonesia dewasa ini, kita jumpai penulisan kata-kata
seperti:
anggota  dijadikan  anggauta
teladan  dijadikan   tauladan
sentosa  dijadikan  sentausa
Contoh-contoh tersebut terjadi karena adanya analogi yang salah, yaitu
dikira berasal dari bahasa Arab seperti tuabat, taurat, aurat, taufan.Kata-kata di
atas tadi tidak berasal dari bahasa Arab, jadi bunyi /o/ atau /e/-nya jangan
dikembalikan kepada bunyi /au/.Frekuensi penulisan anggauta memang sangat
besar.
Kata-kata yang diambil dari bahasa daerah seperti sajen dan kabupaten,
buro, dan windon adalah bentuk-bentuk yang disandikan: saji + an – sajen, ka +
bupati + an – kabupaten, buru + an – buron, windu + an – windon. Namun sering
orang mengucapkan kata sajenan dan buronan.Sajen dan buron dianggap sebagai
bentuk dasar.
Ada pula gejala monoftongisasi (dua vokal dijadikan satu vokal di
dalam satu kata).Misalnya, syaitan, hairan, haiwan (dari bahasa Arab)
menjadi setan, heran, hewan.Kata taubat dan taurat menjadi tobat dan
torat.
f. Timbulnya Gejala Hiperkorek
Beberapa alasan yang menyebabkan timbulnya hiperkorek adalah :
1) Orang tak tahu mana bentuk yang asli, yang betul, lalu meniru saja yang
diucapkan/dituliskan oleh orang lain.
2) Mungkin juga karena ingin gagah, ingin hebat, sehingga disamping apa
yang sudah dibicarakan di atas, kita lihat juga orang menuliskan kata-kata
seperti hadir, rela, fasal, hasil, batin, menjadi hadir, redla, fatsal, hatsil,
bathin.
3) Dari segi linguistik /f, kh, sy, z/ bukan fonem-fonem Indonesia asli. Itu
sebabnya variasi antara f – p, kh – k – h, sy – s, z – j, tidak menimbulkan
perbedaan arti.Karena sifatnya yang tidak fonemis itulah, maka variasi
14

bentuk kembar seperti contoh di atas dimungkinkan dalam bahasa


Indonesia.
Hanya bila oleh perbedaan fonem timbul perbedaan arti, haruslah orang
berhati-hati.
Contohnya: sakit polio         - kertas folio
seni                    - zeni
khas Pasundan  - kas Pasundan

C. Problem Gejala Bahasa yang Lain dalam Menggunakan Bahasa


Indonesia.
1. Kesalahan Berbahasa yang Berhubungan dengan Pemakaian atau
Penghilangan Kata Tugas.
Kesalahan pemakaian kata tugas dalam berbahasa Indonesia ada tiga
macam:
a. Ketidaktepatan kata tugas yang digunakan. Contoh:
Hipotesis daripada penelitian ini terbukti. (tidak tepat)
Menjadi: Hipotesis penelitian ini terbukti.(baku)
b. Pemakaian kata tugas yang tidak diperlukan. Contoh:
Dalam penyusunan makalah ini dibantu oleh berbagai pihak. (tidak baku).
Menjadi: Penyusunan makalah ini dibantu oleh berbagai pihak. (baku).
c. Penghilangan kata tugas yang diperlukan. Contoh:
Data dikumpulkan sesuai kriteria yang sudah ditentukan. (tidak baku).
Menjadi: Data dikumpulkan sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan.
(baku).
d. Perombakan Bentuk Pasif
Penghilangan awalan di-untuk bentuk pasif yang seharusnya
menggunakan awalan di-. Contoh:
Praktik kerja lapangan ini mahasiswa semester satu lakukan. (tidak baku)
Menjadi: Praktik kerja lapangan ini dilakukan oleh mahasiswa semester
satu. (baku)
15

Pustaka itu peneliti rujuk. (tidak baku)


Menjadi: Pustaka itu dirujuk oleh peneliti. (baku)
2. Beberapa Gejala Bahasa yang Lain
a. Gejala Bahasa Metatesis
Metatesis artinya adalah pertukaran (urutan atau tempat) fonem di
dalam sebuah kata. Jadi, gejala bahasa metatesis ini memperlihatkan
pertukaran tempat satu atau beberapa fenom di dalam sebuah kata.
Misalnya, kerikil menjadi kelikir, sapu menjadi usap, korosi (kursi)
menjadi krosi, berantas menjadi baenteras.
b. Gejala Bahasa Adaptasi
Adaptasi artinya penyesuaian. Kata-kata serapa yang diambil dari
bahsa asing berubah bunyinya sesuai dengan penerimaan pendengaran
atau ucapan lidah orang Indonesia. Sebgian besar bentukan kata ini adalah
bentukan orang kebanyakan (rakyat jelata). Misalnya, sirop dari stroop
(bahasa Belanda), riset dari researh (bahasa Inggris), tepekur dari tafakur
(bahasa Arab), lemari jadi almari (bahasa portugis)
c. Gejala Bahasa Kontraksi
Kontraksi artinya penghilangan, gejala kontraksi ini
memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan, kadang-
kadang ada perubahan atau pergantian fonem. Misalnya, tidak ada menjadi
tiada, matahari menjad mentari atau matari, perlahan-lahan menjadi pelan-
pelan. Mahardika menjadi merdeka.
d. Gejala Penambahan Fonem
Gejala penambahan fonem dapat dibedakan tiga macam.
Penambahan fonem di depan disebut protesis, penambahan fonem di
tengah di sebut epentesis, penambahan fonem di belakang disebut
paragog.
Contoh;
Gejala protesis; mas, lang, sa, menjadi emas, elang, esa.
Gejala epesntesis; kapak, sajak, makin menjadi kampak, sanjak, mungkin
Gejala porogog; sila, hulubala, ina menjadi silah, hulu balang, inang.
16

e. Gejala Penglingan Fonem


Gejala penanggalan atau penglingan fonem juga dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu penghilangan fonem pada awal kata disebut
afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, penghilangan
fonem di akhir disebut apokop.
Contoh:
Gejala afarotis; umudik, umudur, menjadi mudik, munduk (-um adalah
sisipan, tetapi karena kata dasar berawalan vokal, maka sisipan
ditempatkan di depan seperti awalan).
Gejala sinkop; bahasa, sahaya, kelemarin, menjadi basa, saya, kemarin.
Gejala apokop; tidak, import, kontakt menjadi tida (dialek), impor, kontak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Begitu banyak kesalahan atau penyimpangan dalam pemakaian berbahasa
Indonesia. Termasuk bahasa Indonesia ragam ilmiah, sering dijumpai
penyimpangan dari kaidah yang berlaku sehingga mempengaruhi kejelasan pesan
atau tulisan yang disampaikan. Diantaranya adalah:
1. Analogi
2. Kontaminasi
3. Pleonasme
4. hiperkorek
5. Kesalahan berbahasa yang berhubungan dengan pemakaian atau
penghilangan kata tugas.
Dengan begitu banyak kesalahan atau pun penyimpangan dalam bahasa
Indonesia diharapkan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mengetahui dan
memahami bahasa Indonesia yang baik dan benar.

B. Daftar Pustaka

Badudu. (1985). Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: CV Pustaka Utama.

Depdikbud. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Lambert. (1967). A Social Psychology of Bilingualism. Journal Issues 23:91-109.

Martin. (1992). Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta: Kanisius.

Nababan, P.W.J. (1986). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

Sumarsono dan Paina. (2008). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Suwito. (1983). Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta:


Henry Offset Solo.

17

Anda mungkin juga menyukai