Anda di halaman 1dari 19

PERUBAHAN BUNYI

DAN SILABEL
MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fonologi Bahasa Indonesia
Dengan dosen pengampu Agi Ahmad Ginanjar, M.Pd

oleh
Kelompok 7 :
Demina Siti Arofah 172121091
Rahayu Sri Lestari 172121104
Ayu Puji Lestari 172121116

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Illahi Robbi yang telah memberikan
kekuatan dan hidayah-Nya kepada kita semua serta memberikan ridho-Nya kepada
penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah fonologi
Bahasa Indonesia dengan dosen pengampu Agi Ahmad Ginanjar, M.Pd.

Atas terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyusunan makalah ini.

Dengan selesainnya makalah ini mudah-mudahan ada manfaatnya bagi


perkembangan dunia Pendidikan, khususnya bagi diri penulis sendiri dan umumnya
bagi para pembaca. Amin ya robbal ‘alamin.

Tasikmalaya, 3 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1
D. Manfaat Penulisan ................................................................................... 1
E. Langkah-langkah Ilmiah .......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Kajian Teoritis .......................................................................................... 3


B. Pembahasan .............................................................................................. 13

BAB III SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan .................................................................................................... 14
B. Saran ......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sosialnya, manusia saling berhubungan antara satu sama lain.
Dalam hal ini perlu adanya sebuah komunikasi. Kebutuhan berkomunikasi itu pun
semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman dan kebudayaan manusia.
Sehingga keadaan tersebut menempatkan Bahasa sebagai alat komunikasi manusia
pada posisi yang paling penting.

Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena
lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua
kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah
identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi
dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup
perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada
pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut
merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut
sebagai perubahan fonemis. Silabel sebagai satuan ritmis terkecil mempunyai puncak
kenyaringan (sonoritas) yang bisanya jatuh pada sebuah bunyi vokal. Kenyaringan dan
sonoritas, yang menjadi puncak silabel terjadi karena adanya ruang (resonansi) berupa
rongga mulut, rongga hidung, atau rongga rongga lain di dalam kepala atau dada.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perubahan bunyi?
2. Apa saja perubahan bunyi yang terjadi?
3. Bagaimana proses perubahan bunyi?
4. Apa yang disebut silabel?

1
2

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui apa itu perubahan bunyi.
2. Mengidentifikasi berbagai perubahan bunyi
3. Mengetahui proses perubahan bunyi
4. Mengidentifikasi silabel/ suku kata
D. Manfaat Makalah
1. Bagi kepentingan penulis sendiri untuk memberikan tambahan pengetahuan
dan wawasan secara teoritis.
2. Manfaat pembuatan makalah ini adalah diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi pembelajaran bagi mahasiswa dalam bidang pendidikan dan
membantu mahasiswa dalam mencari pengetahuan mengenai perubahan bunyi
dan silabel.
E. Prosedur makalah
Prosedur penelitian makalah yang penulis gunakan yaitu prosedur penelitian
kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Penulis mengkaji secara teoritis dan
menggambarkannya dengan teori-teori yang ditemukan melalui studi pustaka
secara eksposisi. Penulis menggunakan media buku dan internet sebagai
sumbernya yang dihubungkan dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
penulis ketahui dan miliki.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Teoritis

Bunyi bahasa merupakan bunyi, yang merupakan perwujudan dari setiap bahasa,
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berperan di dalam bahasa. Bunyi bahasa
adalah bunyi yang menjadi perhatian para ahli bahasa. Bunyi bahasa ini merupakan
sarana komunikasi melalui bahasa dengan cara lisan.
Transkripsi fonetik bunyi-bunyi bahasa beserta ciri-ciri suprasegmentalnya
dilukiskan secara akurat sesuai persis dengan bunyi ciri perosodi yang didengar; dalam
transkripsi fonemik bunyi-bunyi dituliskan sesuai dengan satuan-satuan fonemisnya.
Sedangkan transkripsi ortografis bunyi-bunyi bahasa dituliskan dengan konvensi
grafemis yang disepakati. Dalam hal bahasa indonesia tentu menurut aturan yang
disepakati dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)
Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena
lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua
kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah
identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi
dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup
perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada
pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut
merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut
sebagai perubahan fonemis.
Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal,
netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis.
Dalam KBBI silabel artinya suku kata. Silabel atau suku kata adalah satuan ritmis
terkecil dalam suatu arus ujaran. Satu silabel biasanya melibatkan satu bunyi vokal,
atau satu konsonan atau lebih.
4

B. Pembahasan
a. Perubahan Bunyi
Perubahan bunyi dapat terjadi melalui beberapa akibat yaitu:
1. Akibat pengaruh bunyi lingkungan (bunyi yang berada sebelum atau sesudahnya)

Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua


kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau
mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau
varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam
lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai
berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-
bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain,
perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal,
netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis,
sebagaimana uraian berikut.
a. Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua hal bunyi yang tidak sama menjadi
bunyi yang sama atau hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa
itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi
atau dipengaruhi.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata
tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena
bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada
tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d],
juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup
alofon dari fonem yang sama.
b. Disimilasi
5

Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip
menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Contoh:
Kata bahasa Indonesia belajar [bǝlajar] berasal dari penggabungan prefix ber
[bǝr] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi
berajar [bǝrajar]. Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama
diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bǝlajar].
Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan
alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut
disimilasi fonemis.
c. Modifikasi vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh
bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke
dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu
disendirikan.

d. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh
lingkungan. Untk mejelaskann kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan
cara pasangan minimal [baraƞ] ‘barang’−[parang] ‘paraƞ’ bisa disimpulkan
bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi
tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal setidak-tidaknya
bermasalah karena dijumpai yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir
pada kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [sǝbab’], yang persis sama
dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’].
Mengapa terjadi demikian? Karena konsonan hambatan letup bersuara [b] tidak
mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasikan menjadi hambatan
tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam
fonem /p/.
6

e. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya
penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada
penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak
menggangu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus dikembangkan
karena secara diam-diam telah didukung dan disepakti oleh komunitas
penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk
tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi.
Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tata
bahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan,
gejala itu terus berlangsung.
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu:
(aferesis, apokop, dan sinkop)
f. Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga
menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata
yang mengalami metatesis ini tidak banyak.
g. Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua
bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari
vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak
kenyaringan sehingga tetap dalam satu silaba.
h. Monoftongisasi
Monoftongisasi yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong)
menjadi vokal (monoftong). (Muslich 2012 : 126). Peristiwa penunggalan vokal
ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan
pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
7

Monoftongisasi adalah proses perubahan dua buah vokal atau gugus vokal
menjadi sebuah vokal. Poses ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia akibat
dari ingin memudahkan ucapan. (Chaer 2009 : 104).
Monoftongisasi adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud sebuah
diftong berubah menjadi sebuah monoftong.
Jadi, monoftongisasi adalah proses perubahan dua bunyi vokal menjadi sebuah
vokal.
Contoh:
Ramai menjadi (rame)
Kalao menjadi (kalo)
Danau menjadi (danau)
Satai menjadi (sate)
Damai menjadi (dame)
Sungai menjadi (sunge)
i. Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan
bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi
yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia,
penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. (Muslich 2012
: 126).
Anaptiksis adalah proses penambahan bunyi vokal di antara dua konsoan dalam
sebuah kata; atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu.
(Chaer 2009 : 105).
Anaptiksis (suara bakti) adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud
penambahan satu bunyi antara dua fonem dalam sebuah kata guna melancarkan
ucapan.
Jadi, anaptikis adalah perubahan bentuk kata dengan menambahkan bunyi vokal
tertentu di antara dua konsonan.
Contoh:
8

Putra menjadi putera


Putri menjadi puteri
Bahtra menjadi bahtera
Srigala menjadi serigala
Sloka menjadi seloka
Anaptikis ada tiga yaitu:
Protesis adalah proses penambahan bunyi ada awal kata. Misalnya:
Mas menjadi emas
Mpu menjadi empu
Tik menjadi ketik
Lang menjadi elang
Epentesis adalah proses penambahan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
Kapak menjadi kampak
Sajak menjadi sanjak
Upama menjadi umpama
Beteng menjadi benteng
Paragog adalah proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata.
Misalnya:
Huubala menjadi hulubalang
2. Akibat Adanya Koartikulasi
Koartikulasi terjadi karena sewaktu artikulasi primer untuk memproduksi bunyi
pertama berlangsung, alat-alat ucap sudah mengambil ancang-ancang untuk
membuat atau memproduksi bunyi berikutnya. Dalam peristiwa ini dikenal adanya
proses-proses.
a. Labialisasi
Labialisasi adalah pembulatan bibir pada artikulasi primer sehingga terdengar bunyi
semi vokal [w] pada bunyi utama tersebut. Kecuali bunyi labial, bunyi bahasa dapat
disertai labialisasi. Misalnya bunyi [t] pada kata <tujuan>terdengar sebagai bunyi
[tw] atau [t dilabialisasi]. Dilafalkan menjadi [twujuwan].
9

b. Retrofleksi
Retrofleksi adalah penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer,
sehingga terdengar [r] pada bunyi utamanya. Kecuali bunyi apikal, bunyi lain dapat
disertai retrofleksi. Misalnya bunyi [k] adalah bunyi dorsopalatal tetapi bunyi [k]
pada kata <kertas> dilafalkan sebagai bunyi [kr] karena bunyi [k] direrofleksikan
dulu. Jadi kata kertas dilafalkan menjadi [kretas].
c. Palatalisasi
Palatalisasi adalah pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada
artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal bunyi lain dapat disertai palatalisasi.
Misalnya bunyi [p] dalam kata <piara> terdengar sebagai [py] atau [p] dipalatalisasi,
menjadi [pyara].
d. Velarisasi
Velarisasi adalah pengangkatan pangkal lidah kearah langit-langit lunak pada
artikulasi primer. Selain bunyi velar, bunyi bunyi lain dapat diveralisasi. Misalnya
bunyi [m] dalam kata <mahluk> terdengar sebagai [mx] atau [m] di veralisasi,
menjadi [mxaxluk].
e. Glotalisasi
Glotalisasi adalah proses penyerta hambatan pada glotis atau glotis tertutup rapat
sewaktu artikulasi primer diucapkan. Selain bunyi glotal bunyi bunyi lain dapat
disertai glotalisasi. Vokal pada awal kata dalam bahasa Indonesia sering
diglotalisasikan. Misalnya bunyi [o] dalam <obat> terdengar sebagai [?o] [?obat]
atau [o] diglotalisasi.

3. Akibat Distribusi
Akibat distribusi akan terjadi perubahan bunyi yang disebut:
f. Aspirasi
Aspirasi adalah pengucapan suatu bunyi yang disertai dengan hembusan keluarnya
udara dengan kuat sehingga terdengar bunyi [h]. Misalnya bunyi konsonan letup
10

bersuara [b, d, j, g] jika berdistrubusi diawal dan ditengah kata cenderung di


aspirasikan sehingga terdengar sebagai [bh, dh, jh, gh].
Contoh: baru [bharu]
Datang [dhatang]
Jatuh [jathuh]
g. Pelepasan
Pelepasan adalah pengucapan bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat atau
diletupkan tetapi tidak dihambat atau diletupkan, kemudian dengan serentak bunyi
berikut diucapkan. Hambatan atau letupan itu dilepaskan atau dibebaskan. Pelepasan
dibedakan atas lepas tajam, lepas nasal, dan lepas sampingan.
h. Pemaduan (Pengafrikatan)
Pengafrikatan terjadi jika bunyi letup hambatan yang seharusnya dihambat dan
diletupkan tidak dilakukan, melainkan setelah hambat dilepaskan secara bergeser dan
pelan-pelan. Proses yang kedua menyebabkan adanya penyempitan jalanan arus
udara sehingga udara terpaksa keluar dengan bergeser. Artikulasinya menjadi
hambatan letupan. Gabungan antara hambatan dan geseran disebut paduan atau
afrikat. Prosesnya disebut paduanisasi atau pengafrikatan.
Contoh: hebat [hebat s]
Alat [?alats]
i. Harmonisasi Vokal
Harmonisasi vokal adalah proses penyamaan vokal pada silabel pertama terbuka
dengan vokal pada silabel kedua yang tertutup. Pada kata <sate> dilafalkan [e]. Pada
kata <bebek> dilafalkan [ὲ].
j. Netralisasi
Netralisasi ialah hilangnya kontras antara dua buah fonem yang berbeda. Contoh
bunyi [b] pada kata <jawab> bisa dilafalkan sebagai bunyi [p].

4. Akibat Proses Morfologi


11

Perubahan bunyi akibat adanya proses morfologi lazim disebut dengan istilah
morfofonrmik atau morfofonologi
a. Pemunculan Fonem
Pemunculan fonem adalah hadirnya sebuah fonem yang sebelunya tidak ada akibat
dari proses morfologi
Contoh {me} + {bina} → [membina]
{pem} + {bina} → [pembina]
b. Pelepasan Fonem
Pelepas fonem adalah peristiwa hilangnya fonem akibat proses morfologi. Misalnya,
hilangnya bunyi bunyi [h] pada proses pengimbuhan dengan akhiran {wan} pada kata
<sejarah>
c. Peluluhan Fonem
Peluluhan fonem adalah proses luluhnya sebuah fonem, lalu menyatu pada fonem
berikutnya
Contoh. {pe} + {pilih} → [pǝmilih]
{me} + {tulis} → [mǝmilih]
d. Pergeseran Fonem
Pergeseran fonem adalah berubahnya posisi sebuah fonem dari satu silabel kedalam
silabel berikutnya.
Contoh {ma.kan} + {an} → [ma.kan.an]
e. Perubahan Fonem
Perubahan fonem adalah proses perubahan sebuah fonem menjadi fonem yang lain
karena menghindari adanya dua bunyi yang sama.
Contoh {ber} + {ajar} → [bἀlajar].

5. Akibat Dari Perkembangan Sejarah


Perubahan bunyi ini tidak berkaitan dengan kajian fonologi, melainkan berkenaan
dengan pemakaian sejumlah unsur leksikal di dalam masyarakat dan budaya.
Perubahan yang berkenaan perkembangan sejarah pemakain bahasa ini antara lain,
12

1. Kontraksi
Kontraksi adalah proses menghilangkan sebuah bunyi atau lebih pada sebuah unsur
leksikal. Unsur leksikal yang dihilangkan dapat dibedakan atas aferesis. Contoh,
tetapi → tapi, hutang → utang. Apokop. Contoh, pelangit → pelangi, president →
presiden. Dan sinkop. Contoh, baharu → baru, utpatti → upeti.
2. Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata. Contoh, jalur →
lajur, sapu → apus.
3. Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan vokal tunggal menjadi vokal rangkap secara
berurutan.
Contoh, anggota → anggauta, bunyi [o] → [au]
Teladan → tauladan, bunyi [e] → [au]
4. Monoftongisasi
Monoftongisasi adalah proses perubahan dua buah vokal atau gugus vokal menjadi
sebuah vokal. Contoh [ramay] diucapakan [rame], [kalaw] diucapkan [kalo]
5. Anaftikis
Anaftikis adalah penambahan bunyi vokal di antara dua konsonan dalam sebuah kata;
atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu. Kita mengenal adanya
tiga macam anaftikis, yaitu:
a) Proteis. Contoh mas → emas, lang → elang.
b) Empentesis. Contoh kapak → kampak, upama → umpama.

6. Silabel
Silabel atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran. Satu
silabel biasanya melibatkan satu bunyi vokal, atau satu konsonan atau lebih. Silabel
sebagai satuan ritmis terkecil mempunyai puncak kenyaringan (sonoritas) yang
bisanya jatuh pada sebuah bunyi vokal kenyaringan dan sonoritas, yang menjadi
13

puncak silabel terjadi karena adanya ruang (resonansi) berupa rongga mulut, rongga
hidung, atau rongga rongga lain di dalam kepala atau dada.
Bunyi yang paling banyak menggunakan ruang resonansi itu adalah bunyi
vokal, dan bukan bunyi konsonan. Kerena itu, yang dapat disebut bunyi silabis atau
puncak silabis adalah bunyi vokal. Umpamanya, kata Indonesia [dan] kata itu terjadi
dari bunyi [d], bunyi [a], dan bunyi [n]. Bunyi [d] dan bunyi [n] adalah bunyi
konsonan, sedangkan bunyi [a] adalah bunyi vokal. Bunyi [a] pada kata [dan] itu
menjadi puncak silabis dan puncak kenyaringan sebab bunyi vokal ketika diproduksi
mempunyai ruang resonansi yang lebih besar. Secara relatif ketiga bunyi yang
membentuk kata [dan].
kemungkinan urutan bunyi konsonan-vokal dalam silabel disebut fonotaktik.
Bunyi konsonan yang berada sebelum vokal (yang menjadi puncak kenyaringan
disebut onset (O) dan konsonan yang hadir sesudah vokal disebut koda, sedangkan
vokalnya sendiri disebut nuklus. Sejauh ini urutan vokal (v) dan konsonan (K) yang
ada dalam bahasa Indonesia adalah:
1.V, seperti [i] pada kata [i+ni]
2.KV, seperti [la] pada kata [la+ut]
3.VK, seperti [am] pada kata [am+bil]
4.KVK seperti [but] pada kata [se+but]
5.KKV seperti [kla] pada kata [kla+sik]
6.KKVK seperti [trak] pada kata [trak+tor]
7.KVKK seperti [teks] pada kata [kon+teks]
8.KKKV seperti [stra] pada kata [stra+te+gi]
9.KKVKK seperti [pleks] pada kata [kom+pleks]
10.KKKVK seperti [struk] pada kata [struk+tur]
11.VKK seperti [eks] pada kata [eks+por]
Banyak kata yang berasal dari bahasa asing, dan memiliki pola silabel di mana
dua buah konsonan beruntun, maka di antara kedua konsonan itu diselipkan bunyi
[ә]. Misalnya, kata [klas] menjadi [kәlas], kata [praktek] menjadi [pe + rak tek], dan
14

kata [administrasi] menjadi [ad + mi + nis + te + ra + si]. Dengan penyisipan bunyi


[ә] itu, maka polanya menjadi pola silabel asli bahasa Indonesia.

Banyak kata-kata bahasa Indonesia yang memiliki pola silabel KV dimana V


diisi oleh bunyi [ә], seringkali bunyi [ә] itu ditanggalkan. Kata [kәlapa] yang
silabelnya [kә], [la], dan [pa] sering dilafalkan menjadi [klapa].

Menentukan batas silabel sebuah kata kadang-kadang agak sukar, misalnya


kata [makan]. Silabelnya ialah [ma], [kan], kata [makanan] silabelnya adalah [ma],
[ka], dan [nan]. Bunyi [n] yang menjadi koda pada silabel [kan] pada kata [makanan].
Secara ortografi, menurut ketentuan ejaan bahasa Indonesia silabelnya adalah [ma +
kan + an]. Contoh lain kata [bundar] dan [k prok] secara fonetis bersilabel [bu + ndar]
dan [kә + prok], tetapi secara ortografis bersilabel < bun + dar > dan < kep + rok>.
Bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada dua buah silabel yang
beruntunan disebut interlude.

Bunyi diftong sudah diperhitungkan sebagai sebuah bunyi, karena cirinya


lebih dekat kepada vokal, maka harus dianggap sebagai sebuah vokal (V).
15

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Fonem atau bunyi bahasa itu tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan
di dalam suatu runtutan bunyi. Oleh karena itu, secara fonetis maupun fonemis akibat
dari saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi bunyi-bunyi itu bisa saja berubah.

B. Saran
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat
kekurangan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
relevan dari pembaca guna memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik dan berguna
bagi pembaca.
16

DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Masnur. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriftif Sistem Bunyi

Bahasa Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

Muslich, Masnur. 2012. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriftif Sistem Bunyi

Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2003. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolonguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Ridlwan, Mochammad. Fonologi perubahan bunyi / Fonem Bahasa Indonesia

[Daring] 16 Oktober 2016. http://caramenulisbuku.com/cara-menulis-daftar-

pustaka-dari-internet/cara-menulis-daftar-pustaka-internet.htm. [11 April

2018]

Anda mungkin juga menyukai