Anda di halaman 1dari 43

MODEL PELAYANAN TENAGA KESEHATAN BERBASIS

KEWIRAUSAHAAN SOSIAL
(Study Kasus pada Tenaga Kesehatan
di RS Umum Karina Medika Purwakarta)

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit yang merupakan salah satu bentuk sarana pelayanan

kesehatan bisa diselenggarakan baik itu oleh pemerintah maupun swasta. Sebagai

sarana pelayanan kesehatan tentunya rumah sakit merupakan bagian dari usaha

sosial, namun pada saat ini rumah sakit tidak hanya dipandang sebagai usaha

sosial yang bisa dikelola dengan begitu saja namun lebih kepada industri jasa

(Kaplan dan Norton, 1996). Rubahnya arah pandang dari sebuah rumah sakit tentu

memunculkan masalah sosial yang timbul terkait pendanaan dari pelayanan

sebuah rumah sakit. Masalah sosial terkait kesehatan tersebut tentunya muncul

dari berbagai masalah sosial lainnnya yang mendorong timbulnya kesenjangan

dalam bidang kesehatan.

Masalah sosial sejatinya sudah marak terjadi dikalangan masyarakat

Indonesia, dari tahun ke tahun permasalahan sosial tersebut semakin kompleks

dan dinamis. Ragam faktor yang mendorong meningkatnya masalah sosial

tersebut diantarnya arus globalisasi, pembangunan yang tidak merata atau

pertambahan penduduk yang tidak terkontrol. Beragam hal tersebut tentunya akan

berdampak kepada kemiskinan kemudian merambah terhadap pengangguran dan

diteruskan kepada kerusakan lingkungan yang kemudian pada akhirnya juga bisa

berdampak kepada kesehatan masyarakat secara luas dan terus berputar pada roda

masalah sosial tersebut.

1
2

Kesenjangan sosial yang terjadi saat ini semakin jauh antara masalah

sosial dengan penanganannya yang mana lebih banyak permasalahan sosial yang

tidak tertangani daripada permasalahan sosial yang ditangani. Hal yang

mendorong banyaknya permasalahan sosial yang masih belum tertangani adalah

faktor dari ketidakpeduliaan. Faktor ketidakpedulian dari masyarakat sekitar

terhadap ragam masalah sosial yang ada disekitarnya memberikan dampak yang

buruk bagi beragam pihak sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat lebih

banyak berpola pikir bahwa kesenjangan tersebut sudah menjadi tanggung jawab

negara seperti halnya ketika ada kesenjangan sosial warga miskin terlilit oleh

masalah biaya kesehatan, masyarakat hanya bisa menyarankan untuk mengikuti

program kesehatan untuk kalangan orang miskin.

Hal tersebut tidak sepenuhnya disalahkan karena memang pada

hakekatnya program tersebut sudah ada, namun alangkah baiknya jika masyarakat

juga timbul kepeduliaan terhadap sekitarnya untuk saling membantu dalam

mengatasi kesenjangan sosial yang ada karena kalau hanya mengandalkan dari

pemerintah terkadang program-program yang diusungkannya juga bisa gagal

sehingga disini perlu peran masyarakat itu sendiri dalam memberdayakan

sesamanya dengan mengembangkan konsep pemberdayaan masyarakat.

Menurut Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebianto (2015: 30) bahwanya

“permberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan

harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak

mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan”.

Pada proses pemberdayaan masyarakat tersebut perlu dilakukan upaya agar


3

masyarakat semakin berdaya melalui sumber daya yang mereka miliki serta atas

partisipasi masyarakat itu sendiri. Hal tersebut penting dilakukan karena kembali

lagi kepada permasalahan warga miskin terkait kesenjangan sosial dalam masalah

kesehatan yang hanya mengandalkan bantuan pemerintah, ketika masalah

kesehatannya selesai bukan berarti masalah yang dihadapi oleh warga tersebut

sepenuhnya selesai, tentunya ada masalah sosial lainnya yang masih menunggu

untuk ditindaklanjuti yaitu kemiskinan.

Kemiskinan sering dikaitkan dengan keterbatasan penduduk dalam

memperoleh pelayanan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada ragam

indikator keterbatasan tersebut diantaranya ditunjukkan oleh tingkat kesejahteraan

penduduk yang terdiri dari tingkat pendapatan, lingkungan tempat tinggal, dan

kondisi kesehatan. Meskipun secara prinsip pembangunan kesehatan antara lain

menyebutkan bahwa semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan

yang optimal agar dapat bekarja dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia.

Kembali terhadap masalah kemiskinan, kalau tidak diatasi tentunya akan

berdampak kembali kepada pola kehidupan atau gaya kehidupan yang tidak layak,

tidak sehat dan pada akhirnya kembali terhadap permasalahan kesehatan yang

akan terus berulang ketika tidak secara cermat dilakukan penanganan yang baik

dan maksimal. Maka dari itu tidak hanya mengandalkan program bantuan

pemerintah saja, perlu upaya kepeduliaan masyarakat sekitar dalam penanganan

masalah sosial tersebut salah satunya bisa dilakukan oleh oleh tenaga-tenaga

kesehatan yang ada untuk bisa memberikan pelayanan yang baik selain dari

tugasnya sebagai tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan


4

diharapkan juga tenaga-tenaga kesehatan ini bisa melakukan kegiatan

pemberdayaan masyarakat agar kehidupannya bisa lebih baik lagi salah satunya

yaitu dengan menjalankan kegiatan kewirausahaan sosial (Social

etnerpreneurship).

Kewirausahaan sosial merupakan salah satu bentuk praktik yang terasa

manfaatnya sebagai partner pembangunan. Hery Wibowo dan Sony Akhmad

Nulhaqim (2015: 26-27) menjelaskan bahwa “kewirausahaan sosial merupakan

sebuah aktivitas efektif dan inovatif yang secara strategis berfokus pada usaha

mengatasi kegagalan pasar sosial dan penciptaan peluang-peluang baru untuk

meningkatkan nilai sosial secara sistematis dengan menggunakan sejumlah

sumber daya dan beragam format organisasi untuk memaksimalkan dampak sosial

serta membawa perubahan”. Perlunya penerapan kewirausahaan sosial bagi para

tenaga-tenaga kesehatan dikarenakan kewirausahaan sosial ini berbeda dengan

kewirausahaan bisnis yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan

pelanggan, namun kewirausahaan sosial akan melihat masalah sebagai sebuah

peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat sosial.

Proses kewirausahaan sosial yang berjalan sesuai dengan harapan akan

dapat membantu penyelesaian masalah sosial. Bahkan ketika kegiatan ini

cenderung stabil atau meningkat dan sehat maka keuntungan lainnya akan

didapatkan yang tentunya akan berdampak kepada penyelesaian ragam

permasalahan sosial yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Banyak

ragam kewirausahaan bisnis yang dilakukan oleh tenaga-tenaga kesehatan seperti

halnya kegiatan home care, konsultan, terapi komplementer, klinik kesehatan,


5

lembaga pendidikan dan lain sebagainya yang tentunya berfokus terhadap bisnis

dan profit pribadi. Namun ragam kewirausahaan bisnis tersebut bertolak belakang

dengan masih sedikitnya implementasi kewirausahaan sosial dari para tenaga

kesehatan yang ada.

Sudah banyak contoh implementasi kegiatan kewirausahaan sosial yang

berhasil dilakukan dan memberikan dampak positif yang luas, seperti halnya yang

telah dilakukan oleh Gamal Albinsaid yang merupakan sarjana kedokteran yang

magang di rumah sakit Saiful Anwar Malang ini mengimplementasikan

pengembangan konsep Klinik Asuransi Sampah (KAS). Konsep ini merupakan

konsep sistem asuransi kesehatan mikro berbasis komunitas dengan semangat

gotong royong yang diterapkan. Proses kegiatan dilakukan dengan

mengumpulkan sampah yang kemudian diolah, pengolahan sampah yang

kemudian dibagi kedalam dua bagian kategori sampah baik organik yang diolah

menjadi kompos dan anorganik yang kemudian dijadikan bahan kerajinan tangan.

Hasil kegiatan model kewirausahaan sosial tersebut dihimpun untuk

penggunaan dalam menopang pelayanan kesehatan secara komprehensip,

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Meskipun masyarakat yang

mengikuti program tersebut tidak sakit, masyarakat tidak merasa rugi karena

selain sehat yang mereka dapatkan yang tidak ternilai harganya juga karena

mereka mendapatkan berbagai program peningkatan kesehatan. Konsep

kewiruashaan sosial ini menjadi inovasi pembiayaan kesehatan bagi warga miskin

dengan saat yang bersamaan tumpukan sampah yang menjadi masalah lingkungn

juga teratasi (Kompas, 25 Juni 2014).


6

Sebagai sebuah rumah sakit yang melayani masyarakat yang mau berobat

dan menangani permasalahan yang diderita para pasiennya tentunya rumah sakit

Karina Medika juga menerima ragam pasien dari berbagai kalangan sosial yang

berbeda-beda. Begitupun halnya dengan pasien dari kalangan tidak mampu yang

cenderung mempunyai permasalahan sosial khususnya dari kategori pembiayaan

kesehatan yang memerlukan upaya penanganan yang lebih komprehensif selain

dari penyembuhan dari penyakit yang dideritanya juga penanggulangan ke

depannya agar substansi kehidupan ekonominya bisa membaik dan bisa

mengubah pola kehidupan ke arah yang lebih positf yang tentunya pada akhirnya

diharapkan bisa menjaga kesehatannya.

Upaya penanggulanan ini tentunya perlu kolaborasi dari para tenaga

kesehatan di rumah sakit Karina Medika untuk bisa memberdayakan masyarakat

yang minimal dari daerah sekitar rumah sakit untuk ikut sama-sama bergerak

dalam menjalankan proses penganggulangan kesenjangan sosial agar bisa kearah

yang lebih baik. Upaya tersebut tentunya perlu kesadaran tersendiri dari para

tenaga kesehatan untuk bisa mengajak kalangan masyarakat yang mempunyai

masalah sosial untuk sama-sama dalam mengatasi permasalahan tersebut. salah

satu upaya yang bisa dijalankan seperti halnya yang sudah dijelaskan sebelumnya

yaitu melalui kegiatan wirausahaan sosial, bagaimana proses pelaksanaan dari

para tenaga kesehatan di rumah sakit Karina Medika dalam merangkul masyarakat

untuk memberdayakannya sebagai upaya pemecahan masalah sosial sehingga

masyarakat bisa lebih mandiri, cukup dalam finansial dan tidak ada kekhawatiran

terkait permasalahan biaya ketika melakukan pengobatan di rumah sakit.


7

Upaya implementasi kewiruashaan sosial yang dilakukan tenaga kesehatan

tentunya diharpakan memberikan banyak dampak positif baik bagi tenaga

keehatan secara pribadi, rumah sakit tempat tenaga kesehatan tersebut bekerja

bahkan secara luas tentunya bermanfaat secara positif bagi masyarakat yang

mengikuti kegiatan tersebut. Maka dari itu, berdasarkan pemaparan uraian di

atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tesis dengan pengaduan

judul “ Model Pelayanan Tenaga Kesehatan Berbasis Kewirausahaan” (Studi

kasus di RS Karina Medika Purwakarta).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka pokok

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu:

1) Adakah hubungan antara kewirausahaan sosial dengan pengembangan

individu tenaga kesehatan di RS Karina Medika Purwakarta?

2) Adakah pengaruh antara kewirausahaan sosial dengan pengembangan

individu tenaga kesehatan di RS Karina Medika Purwakarta?

3) Bagaimanakah konsep kewirausahaan sosial yang dipakai oleh tenaga

kesehatan di RS Karina Medika Purwakarta?

4) Bagaimanakah implementasi kewirausahaan sosial oleh tenaga kesehatan

di RS Karina Medika Purwakarta?

5) Bagaimana dampak yang diberikan dari kegiatan kewirausahaan sosial

tenaga kesehatan di RS Karina Medika Purwakarta?


8

1.3 Tujuan Penelitian

Selaras dengan rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini,

maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa:

1) Hubungan antara kewirausahaan sosial dengan pengembangan individu

tenaga kesehatan di RS Karina Medika Purwakarta.

2) Pengaruh antara kewirausahaan sosial dengan pengembangan individu

tenaga kesehatan di RS Karina Medika Purwakarta.

3) Konsep kewirausahaan sosial yang ada pada tenaga kesehatan di RS

Karina Medika Purwakarta.

4) Implementasi kewirausahaan sosial yang dipakai oleh tenaga kesehatan di

RS Karina Medika Purwakarta.

5) Dampak yang diberikan dari kegiatan kewirausahaan sosial tenaga

kesehatan di RS Karina Medika Purwakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini tentunya diharapkan bisa memberikan banyak

manfaat sebagai berikut.

1) Manfaat Akademis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih

lanjut bagi para peneliti lain maupun masyarakat umum serta dapat

diharapkan memberi manfaat guna menambah khasanah keilmuan yang

berkaitan dengan studi model pelayanan tenaga kesehatan serta

kewirausahaan sosial yang ada didalam kalangan tenaga kesehatan.


9

2) Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan dan sarana evaluasi bagi rumah sakit terhadap

para tenaga kesehatan yang bekerja di tempatnya.

b. Sebagai bahan masukan dan sarana evaluasi bagi para tenaga kesehatan

dalam implementasi model pelayanan yang diberikan melalui kegiatan

kewirausahaan sosial.

c. Sebagai bahan masukan dan informasi yang berguna bagi pembaca,

khususnya bagi para pelajar dalam mengetahui kewirausahaan sosial

yang dapat mengembangkan seseorang atau individu.

d. Sebagai informasi bagi praktisi bisnis dalam memahami sistematika

kewirausahaan sosial.

1.5 Kajian Pustaka

1) Kewirausahaan Sosial (Social Enterpreneurship)

Kewirausahaan sosial merupakan turunan dari kewirausahaan

bisnis dengan menambahkan aspek sosial kedalamnya. Dalam

kewirausahaan sosial, aspek sosial menjadi tujuan utama usaha tersebut.

Banyak ragam teori kewirausahaan sosial yang disampaikan oleh para

pakarnya diantaranya Gregory Dees dan Paul C. Light (Budhi Wibawa,

dkk, 2011) bahwa menurut Gregory Dess kewirausahaan sosial merupakan

kegiatan yang berbeda dengan kewiraushaan bisnis dalam banyak hal.

Kunci perbedaannya adalah bahwa kewirausahaan sosial berdiri/berjalan

dengan sebuah misi/tujuan sosial yang eksplisit/jelas dalam pikiran.


10

Tujuan utama mereka adalah menjadikan dunia yang lebih baik karena hal

ini mempengaruhi bagaimana mereka mengukur kesuksesan dan

menstruksturkan pengelolaannya. Sedangkan menurut Paul C. Light

mengasumsikan bahwa social enterpreneurship terbentuk dari empat

komponen besar yaitu wirausaha, ide/gagasan, peluan dan organisasi.

Pengusaha sosial atau wirausaha sosial adalah mereka yang

memiliki semangat kewirausahaan (mengambil sumber daya yang kurang

dimanfaatkan dan menemukan cara menggunakanya untuk memenuhi

kebutuhan), inovatif (menciptakan layanan dan produk baru, serta cara-

cara baru dalam menghadapi masalah), agen perubahan (mengubah suatu

kelompok menjadi kreatif dan dinamis), serta mereka dapat mengubah

lingkungan dan komunitas yang mereka layani dengan membuka

kemungkinan untuk pengembangan diri (Leadbeatrer, 1997). Pada proses

kewirausahaan sosial melakukan pendekatan yang bermanfaat untuk

pembangunan karena mendukung penciptaan lapangan kerja, integrasi

dalam pasar tenaga kerja, serta penyediaan layanan ekonomi dan sosial.

2) Karakter Kemiskinan dan Pelayanan Kesehatan

Munculnya kesenjangan sosial terkait kemiskinan bukanlah berupa

fakta sosial yang terjadi secara begitu saja melainkan buah dari siklus yang

secara berkesinambungan dan terus belanjut sehingga sulit diputus pada

fase manapun yang dilaluinya. Memahami konsep kemiskinan tidak hanya

berdasarkan pada konsep ketiadaan, kekurangan atau keterdesakan

ekonomi semata saja, tak bisa dipungkiri bahwa kemiskinan merupakan


11

refleksi dari kenyatan gagalnya seseorang atau sekelompok orang dalam

memenuhi kebutuhan hidup, hak dasar, keadilan dalam perlakuan hukum,

kesetaraan gender dan kehidupan yang beradab dan bermartabat.

Eksistensi kaum miskin yang senantiasa terpinggirkan dan selalu

menduduki posisi yang marginal sehingga aspirasi yang disuarakan oleh

kaum miskin tak tersuarakan karena keputusan yang diambil lebih baik

memilih pada kondisi atau sikap diam saja.

Kemiskinan yang dibiarkan berlangsung terus menerus akan

menjadi beban yang semakin berat dan berlarut serta berdampak buruk

bagi masyarakat sehingga perlu upaya dalam pementasannya salah satunya

yaitu melalui pemberdayaan masyaraakt miskin. Namun sebelum memulai

pemberdayaan masyarakat miskin perlu suatu kajian dan identifikasi

secara certmat yang melatarbelakangi akar permasalahan dari kesenjangan

sosial yang ada serta pengaruh yang ditimbulkannya. Hal tersebut berguna

agar perumusan solusi kesenjangan sosial yang strategis direncanakan.

Menurut hasil penelitian dari Santosa dan Priyono (2009)

terungkap bahwa akar permasalahan kemiskinan memiliki konstruksi

hubungan yang saling bertautan. Suatu ketika, tautan antar akar

permasalahan tersebut terkonstuksi dalam bentuk jaring laba-laba. Jika

dilihat dari segi masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan

pada kenyataannya di Indonesia dalam masyarakat miskin yang telah

terstruktur akibat dari politik, sistem dan kebijakan menyebabkan adanya

diskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Karena tidak adanya sistem,


12

kebijakan, serta penerapan langsung ke masyarakat yang mendukung

masyarakat miskin agar dapat menikmati fasilitas umum dalam pelayanan

kesehatan membuat hanya kalangan-kalangan yang memiliki kelas yang

lebih tinggi dan memiliki jabatan saja yang dapat menikmati pelayanan

kesehatan dengan maksimal terkait dengan kebijakan. Mengingat sumber

pembiayaan utama biaya pengobatan di Indonesia berasal dari masing-

masing rumah tangga, Tahabrany dalam Moh. Nushasim (2009)

menyatakan bahwa sistem pendanaan kesehatan tersebut akan sangat

membebani ekonomi rumah tangga terutama kelompok berpendapatan

rendah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak terjangkau atas jaminan

kesehatan, kondisi ini menjadi sangat berat dan mempersulit mereka keluar

dari belenggu kemiskinan.

3) Pelayanan Kesehatan

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan diatur dalam undang-undang

Nomor 32 tahun 2009 yang telah diperbaharui dari undang-undang

sebelumnya, dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009 menjelaskan

bahwa pelayanan kesehatan adalah stiap kegiatan dan / atau serangkaian

kegiatan yang dilakukan secara perpadu, terintegrasi, dan

berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,

pengobatan penyakti, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan atau

masyarakat.
13

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pancasila dan undang-undang

dasar tahun 1945. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan

kesehaan pada masyaraakt Indonesia akan menimbulkan kerugian

ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat

kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara.

Berdasarkan penjelasan dari undang-undang tersebut maka dapat

dipahami bahwa kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah dan

kesehatan sangatlah penting bagi pembangunan negara. Apabila

masyarakat sehat maka pembangunan akan dapat berjalan lancar dan

begitu juga sebaliknya apabila masyarakat memiliki derajat kesehatan

yang rendah maka pembangunan tidak akan dapat berjalan dengan lancar.

Maka dari itu segala sesuatu yang dapat membahayakan kesehatan

masyaraakt harus dapat diatasi dengan sigap dan secapatnya. Pemerintah

harus dapat mengambil langkah awal untuk mengatasi masalah kesehatan

sejak dini dengan implementasi pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan merupakan setiap bentuk pelayanan atau

program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dan

dilaksanakan secara perseorangan atau secara bersama-sama dalam suatu

organisasi dengan tujuan untuk memelihara ataupun meningkatkan derajat

kesehatan yang dipunyai. Pentingnya peran tenaga kesehatan sebagai

penyelenggara dari model pelayanan kesehatan terlebih pada masyarakat


14

miskin sangat dibutuhkan terlebih inovasi-inovasi baru yang

diimplementasikan untuk merangkul masyarakat.

Perlunya peningkatan kesadaran dengan melakukan pendekatan

program berbasis masyarakat ini merupakan stimulant dan bahan

pembelajaran bagi masyarakat agar ikut berpartisipasi dan

bertanggungjawab atas masalah kesehatan di wilayahnya. Selain

permasalahan kesehatan juga diharapkan bisa berimbas kepada aspek

kesenjangan sosial lainnya yang ada didalam masyarakat menjadi lebih

baik lagi.

Tercapainya keberhasilan program-program kesehatan tersebut

tidak luput dari tanggung jawab pemerintah serta kesadaran tenaga

kesehatan dalam pemberian pengetahuan, pemahaman dan sarana

prasaran. Kolaborasi pemerintah, tenaga kesehatan dan kesadaran

masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat diharapkan bisa memberikan

dampak positif terhadap kesehatan dan berdampak lebih pada hal-hal

lainnya.

4) Model Pelayanan Tenaga Kesehatan

Banyak ragam pembahasan mengenai pengertian daripada model,

beberapa diantaranya pengertian model sebagai berikut.

Model merupakan bentuk abstraksi dari suatu kenyataan yang

merupakan suatu perwakilan yang disederhanakan dari beberapa gejala

didunia kenyataan (Thoha, 2008). Sedangkan menurut Mubarak &

Chayatin (2009) model merupakan sebuah gambaran deskriptif dari sebuah


15

praktek bermutu yang mewakili sesuatu yang nyata. Sedangkan menurut

Riehl & Roy (1980) model merupakan gambaran yang mendekati

kenyataan dari konsep.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut dapat

disimpulkan bahwa model merupakan gambaran yang mendeskripsikan

suatu kenyataan agar dapat memberikan pemahaman terhadap sesuatu

yang mendekati kenyataan dari konsep yang diharapkan. Model sangat erat

kaitannya dengan sistem, dimana model akan dapat berjalan dengan baik

melalui penggunaan sistem yang jelas dan tepat sasaran.

Pada sistem tersebut mempelajari tentang kerangka kerja yang

berhubungan dengan aspek-aspek sosial manusia, baik hubungan sosial

antar manusia dalam organisasi tersebut maupun hubungan sosial manusia

dengan lingkungan sekitarnya.

Sedangkan model pelayanan kesehatan merupakan gambaran dari

alur dan tatacara dalam melakukan pelayanan kesehatan. Pelayanan

kesehatan pada dasarnya terdapat dua pihak yaitu pihak konsumen

kesehatan dan pihak tenaga kesehatan sebagai penyedia jasa layanan

kesehatan. Dikarenakan sifat alami manusia yang bersifat sosial tidak

dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan bantuan orang lain sehingga

timbullah pelayanan kesehatan (Adisasmito, 2010).

Pelayanan pada dasarnya merupakan segala aktifitas yang

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun orang lain.

Pada dasarnya manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan


16

untuk dapat memenuhi kebutuhannya tersebut selalu membutuhkan

bantuan orang lain. Berdasarkan adanya keinginan untuk memenuhi

kebutuhan dan semua kebutuhan tidak lah mungkin dipenuhi dengan

sendirinya maka muncullah konsep pelayanan publik yang salah satunya

adalah pelayanan kesehatan.

5) Konsep Social Enterpreneurship

Definisi social entrepreneurship banyak dikembangkan di

sejumlah bidang yang berbeda, mulai dari tidak untuk profit,untuk profit,

sektor publik, dan kombinasi dari ketiganya. Menurut Bill Drayton

(pendiri Ashoka Foundation) selaku penggagas social entrepreneurship

terdapat dua hal kunci dalam social entrepreneurship. Pertama, adanya

inovasi sosial yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat.

Kedua, hadirnya individu bervisi, kreatif, berjiwa wirausaha

(entrepreneurial), dan beretika di belakang gagasan inovatif tersebut.

Hulgard (2010) merangkum definisi social entrepreneurship secara

lebih komprehensif yaitu sebagai penciptaan nilai sosial yang dibentuk

dengan cara bekerja sama dengan orang lain atau organisasi masayarakat

yang terlibat dalam suatu inovasi sosial yang biasanya menyiratkan suatu

kegiatan ekonomi. Social entrepreneurship merupakan sebuah istilah

turunan dari entrepreneurship. Gabungan dari dua kata, social yang artinya

kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan.

Pengertian sederhana dari social entrepreneur adalah seseorang yang

mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan


17

entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change),

terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan

kesehatan (healthcare) (Cukier, 2011).

Hal ini sejalan dengan yang diungkap oleh Schumpeter dalam

Sledzik (2013) yang mengungkap entrepreneur adalah orang yang berani

mendobrak sistem yang ada dengan menggagas sistem baru. Jelas bahwa

social entrepreneur pun memiliki kemampuan untuk berani melawan

tantangan atau dalam definisi lain adalah seseorang yang berani loncat dari

zona kemapanan yang ada.

Berbeda dengan kewirausahaan bisnis, hasil yang ingin dicapai

social entrepreneurship bukan profit semata, melainkan juga dampak

positif bagi masyarakat. Social entrepreneur adalah agen perubahan

(change agent) yang mampu untuk melaksanakan cita-cita mengubah dan

memperbaiki nilai-nilai sosial dan menjadi penemu berbagai peluang

untuk melakukan perbaikan (Santosa, 2007). Seorang social entrepreneur

selalu melibatkan diri dalam proses inovasi, adaptasi, pembelajaran yang

terus menerus bertindak tanpa menghiraukan berbagai hambatan atau

keterbatasan yang dihadapinya dan memiliki akuntabilitas dalam

mempertanggungjawabkan hasil yang dicapainya, kepada masyarakat.

Definisi komprehensif di atas memberikan pemahaman bahwa social

entrepreneurship terdiri dari empat elemen utama yakni social value, civil

society, innovation, and economic activity (Palesangi, 2013).


18

a. Social Value. Ini merupakan elemen paling khas dari social

entrepreneurship yakni menciptakan manfaat sosial yang nyata

bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

b. Civil Society. Social entrepreneurship pada umumnya berasal dari

inisiatif dan partisipasi masyarakat sipil dengan mengoptimalkan

modal sosial yang ada di masyarakat.

c. Innovation. Social entrepreneurship memecahkan masalah sosial

dengan cara-cara inovatif antara lain dengan memadukan kearifan

lokal dan inovasi sosial.

d. Economic Activity. Social entrepreneurship yang berhasil pada

umumnya dengan menyeimbangkan antara antara aktivitas sosial

dan aktivitas bisnis. Aktivitas bisnis/ekonomi dikembangkan untuk

menjamin kemandirian dan keberlanjutan misi sosial organisasi.

Gairah terhadap sosial entrepreneurship dewasa ini meningkat

karena terjadinya pergeseran social entrepreneurship yang semula

dianggap merupakan kegiatan ”non-profit” (antara lain melalui kegiatan

amal) menjadi kegiatan yang berorientasi bisnis (entrepreneurial private-

sector business activities) (Utomo, 2014). Social entrepreneurship saat ini

berada dipersimpangan jalan antara non-profit dan organisasi murni bisnis

sebagaimana digambarkan dalam gambar yang dikemukakan oleh Alter

(2006) berikut ini:


19

Hybrid Spectrum

Coporatio
Nonprofit
n
with Socially Thailan
Traditional Social Praticingn
Income- Responsible For-
Nonprofit Enterprise g social
Generating Business Profith
responsibl
Activities ity

Mission motive
Profit-making motive
Stakholder Accountability
Shareholder Accountability
Income reinvested in social
Porfit redistributed to
programs
shareholder
or operational costs

Gambar 1
Social Enterpreneurship

6) Aspek-aspek dalam Social Enterpreneurship

Di dalam menjalankan kegiatan social entrepreneurship, tentu saja

dipengaruhi oleh berbagai aspek. Menurut Dees (2002) beberapa aspek

yang mempengaruhi social entrepreneurship adalah:

a. Proses mendefinisikan tujuan atau misi

Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh

organisasi agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil

dengan baik. Misi sangat diperlukan bagi pegawai dan pihak yang

terlibat didalam organisasi tersebut untuk mengenal organisasi dan

mengetahui peran dan program-programnya serta hasil yang akan

diperoleh dimasa mendatang.


20

b. Proses mengenali dan menilai peluang

Mengenali dan menilai peluang merupakan salah satu aspek

yang paling penting dalam menjalankan social entrepreneurship.

Dalam social entrepreneurship, peluang dianggap sebagai sesuatu

yang baru dengan cara yang berbeda dalam membuat dan

mempertahankan nilai sosial. Ide yang muncul dan menarik

mungkin dapat beragam, akan tetapi tidak semua ide yang menarik

tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah pelung untuk

menciptakan dan mempertahankan nilai sosial. Seorang social

entrepreneur haruslah berupaya untuk mengenali berbagai peluang

dalam menciptakan atau mempertahankan nilai sosial. Sedangkan

menilai peluang adalah sebuah proses pengumpulan data yang

dicampur dengan insting. Cara ini merupakan sebuah ilmu dan

seni. Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, yang relevan

dengan ukuran, cakupan, dan waktu yang tersedia. Pada akhirnya,

didalam setiap proses pengambilan keputusan tentunya insting

sangat diperlukan.

c. Proses Manajemen Resiko (Risk Management)

Dalam merealisasikan misi atau ideidenya, seorang social

entrepreneur dihadapkan pada sebuah resiko dan tantangan. Resiko

adalah kemungkinan yang tidak diharapkan. Dua komponen yang

melekat dalam resiko adalah bahwa yang pertama, resiko dapat

didefinisikan sebagai potensi besar yang tidak diharapkan terjadi


21

karena tidak memperhitungkan sisi buruk, dan komponen dari

resiko yang kedua adalah kemungkinan bahwa hasil-hasil yang

tidak diinginkan tersebut akan benar-benar terjadi.

Jadi dalam merealisasikan ide atau gagasannya, social

entrepreneur harus memperhitungkan segala sesuatunya yang akan

terjadi. Hambatan-hambatan dalam menjalankan suatu kegiatan

socialentrepreneurship dapat muncul secara tidak terduga.

d. Mengidentifikasi dan Menarik Pelanggan

Konsumen atau pelanggan didalam social entrepreneurship

sedikit berbeda dengan konsumen dalam sebuah bisnis umumnya.

Dalam definisi social entrepreneurship, konsumen adalah mereka

yang ikut berpartisipasi dengan sukses dalam mendukung misi

sosial. Partisipasi ini bisa dalam bentuk penggunaan layanan,

berpartisipasi dalam suatu kegiatan, relawan, memberikan dana

atau barang untuk sebuah organisasi nirlaba, atau bahkan membeli

layanan atau produk yang dihasilkan organisasi tersebut. Fokus

social entrepreneurship adalah untuk menyalurkan semua hasil

sumberdaya sehingga tercipta nilai sosial. Mengidentifikasi

pelanggan sangat penting karena pelanggan merupakan pasar untuk

menyalurkan barang dan jasa.

e. Proyeksi Arus Kas

Untuk dapat terus menjalankan kegiatannya, social

entrepreneur harus dapat memproyeksikan kebutuhan uang tunai


22

untuk usaha mereka. Mereka harus memutuskan bagaimana mereka

dapat memeproleh kas untuk kelangsungan usahanya. Tentu saja,

tugas ini lebih rumit bagi social entrepreneur daripada business

entrepreneurs pada umumnya Pada beberapa kesempatan,

penyandang dana pihak ketiga (misalnya, instansi pemerintah atau

perusahaan) dapat menjadi alternatif untuk menutupi biaya

operasional. Namun dalam banyak kasus, pendapatan yang

diperoleh dari layanan yang diberikan seringkali lebih kecil dari

jumlah biaya operasional yang dibutuhkan. Dalam kasus tersebut,

dana relawan dapat digunakan untuk mengisi kesenjangan,

sehingga perencanaan penggalangan dana haruslah dibuat dengan

matang dan realistis. yang masuk akal. Tantangan bagi pelaku

social entrepreneur adalah bahwa mereka harus selektif dalam

merencanakan aliran pendapatan tunai (arus kas) agar kegiatannya

tetap berfokus pada misi yang telah ditetapkan.

7) Peranan Social Enterpreneurship dalam Pembangunan Ekonomi

Peran social entrepreneur dapat berperan baik dari segi internal

maupun eksternal. Peran social entrepreneur dari segi internal adalah

mengurai tingkat ketergantungan terhadap orang lain, menciptakan rasa

kepercayaan diri, dan dapat meningkatkan daya tarik pelakunya. Dari segi

eksternal, kewirausahaan dapat berperan sebagai menyediakan lapangan

pekerjaan bagi masyarakat yang belum mendapatkan peluang kerja.

Dengan cara itulah kewirausahaan dapat juga membantu mengurai atau


23

memberantas tingkat pengangguran yang selama ini jadi beban pikiran

masyarakat dan permasalahan sosial lainnya. Social entrepreneurship juga

berperan dalam pembangunan ekonomi karena ternyata mampu

memberikan daya cipta nilai–nilai sosial maupun ekonomi, seperti yang

dipaparkan oleh Santosa (2007) berikut:

a. Menciptakan kesempatan kerja

Manfaat ekonomi yang dirasakan dari Social

entrepreneurship di berbagai negara adalah penciptaan kesempatan

kerja baru yang meningkat secara signifikan.

b. Melakukan inovasi dan kreasi baru

terhadap produksi barang ataupun jasa yang dibutuhkan

masyarakat. Inovasi dan kreasi baru terhadap jasa kemasyarakatan

yang selama ini tidak tertangani oleh pemerintah dapat dilakukan

oleh kelompok Social Entrepereneurship seperti misalnya :

penanggulangan HIV dan narkoba, pemberantasan buta huruf,

kurang gizi. Seringkali standar pelayanan yang dilakukan

pemerintah tidak mengena sasaran karena terlalu kaku mengikuti

standar yang ditetapkan. Di lain sisi, Social entrepreneurs mampu

untuk mengatasinya karena memang dilakukan dengan penuh

dedikasi dan berangkat dari sebuah misi sosial.

c. Menjadi modal sosial

Modal sosial yang terdiri dari saling pengertian (shared

value), kepercayaan (trust) dan budaya kerjasama (a culture of


24

cooperation) merupakan bentuk yang paling penting dari modal

yang dapat diciptakan oleh social entrepreneur (Leadbeater dalam

Santosa, 2007). Siklus modal sosial diawali dengan penyertaan

awal dari modal sosial oleh pengusaha sosial. Selanjutnya dibangun

jaringan kepercayaan dan kerjasama yang makin meningkat

sehingga dapat akses kepada pembangunan fisik, aspek keuangan

dan sumber daya manusia. Pada saat unit usaha dibentuk

(organizational capital) dan saat usaha sosial mulai

menguntungkan maka makin banyak sarana sosial dibangun Di

bawah ini digambarkan “virtous circle of social capital” yang

dikemukakan oleh Leadbeater dalam Santosa (2007) :

intial
endogment Pysical
of social capital
capital

Further
Financial
Social
Capital
Capital

Dividents of Human
interest Capital

Organitatio
nal capital

Gambar 2
The Virtous Cycle of Social Capital
Sumber: Leadbeater dalam Santosa, 2007

d. Peningkatan Kesetaraan

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah

terwujudnya kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.


25

Melalui social entrepreneurship, tujuan tersebut akan dapat

diwujudkan karena para pelaku bisnis yang semula hanya

memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal, selanjutnya

akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar

dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Contoh keberhasilan Grameen Bank adalah salah satu bukti dari

manfaat ini. Pemaparan yang dilakukan oleh Nega (2013) terkait

dampak social entrepreneurship terhadap pembangunan ekonomi

di Afrika menyimpulkan bahwa social entrepreneurship

memainkan peran penting dalam pembangunan, dimana social

entrepreneurship mendorong pembangunan masyarakat antara

beragam kelompok orang, yang dapat memfasilitasi pembangunan.

Selain itu, social entrepreneurship memupuk pemecahan

masalah yang secara kreatif mengembangkan keterampilan

masyarakat. Seorang pengusaha sosial memainkan peran penting

dalam mempromosikan inisiatifinisiatif yang berasal dari sektor

yang berbeda (pemerintah, masyarakat, dan perusahaan) untuk

mengatasi tantangan ekonomi dan sosial di daerah dan masyarakat

lokal (Squazzoni, 2008). Inisiatif lintas sektor sangat penting untuk

peningkatan kapasitas daerah atau masyarakat dalam mengatur

solusi inovatif untuk masalah sosial ekonomi melampaui batas-

batas pasar dan lembaga pemerintah.


26

8) Pelayanan Publik

a. Pengertian Pelayanan

Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan

publik yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntuan tersebut

sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris

pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan:

berbelit-belit, lambat, mahal, dan melelahkan. Kecenderungan

seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai

pihak yang “melayani” bukan yang di layanai. Oleh karna itu,

pada dasarnya dibutuhkan reformasi pelayanan publik dengan

mengembalikan dan mendudukan “pelayan” dan yang “dilayani”

ke pengertian yang sesungguhnya. Pelayanan yang seharusnya

ditunjukan pada masyarakat umum kadang dibaik menjadi

pelayanan masyarakat terhadap Negara, meskipun negara berdiri

sesungguhnya adalah untuk kepentingan masyarakat yang

mendirikannya. Artinya, birokrat sesungguhnya haruslah

memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat.

Moenir dalam buku Pasolong (2010:128) mengatakan

bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui

aktifitas orang lain secara langsung. Sedangkan dalam UU No 25

Tahun 2009 disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan

atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi


27

setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik.

Pelayanan publik menurut Sinambela dalam Pasolong

(2010:128) adalah sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap sejumlah Manusia yang memiliki setiap

kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau

kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak

terikat pada suatu produk secara fisik.

b. Tujuan Pelayanan

Menurut Moenir (2006:98) Tujuan kualitas pelayanan

membutuhkan identifikasi sasaran utama yang terdiri dari:

kepuasan pelanggan, perbaikan terus menerus, pertimbangan

terhadap persamaan Masyarakat dan lingkungan efesiensi.

Sementara itu yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah

pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahaan milik

Negara kepada Masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan umum.

Menurut Moenir (2006:26) mengartikan pelayanan umum

sebagai: kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui

sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka memenuhi

kepentingan orang lain sesuai dengan haknya


28

Kemudian Menurut Moenir (2006:65) mengatakan bahwa

Pengelolaan pelayanan pada hakekatnya bertujuan sebagai berikut :

a) Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas


dan fungsi instansi penduduk dibidang pelayanan
masyarakat.
b) Mendorong upaya mengefektifkan sytem dan tata laksana
pelayanan terhadap masyarakat dapat diselenggarakan
secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
c) Mendorong timbulnya kreativitas, prakarsa dan berperan
serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan
derajat kesejahteraan masyarakat luas.

Selain itu Moenir (2006:96) menyebutkan ciri–ciri

pelayanan publik yang sama dengan pelayanan dalam dunia usaha,

yaitu : kesatu, berusaha memenuhi harapan pelanggan dan

merebut kepercayaannya. Kedua, kepercayaan pelanggan adalah

jaminan kelangsungan hidup berorganisasi

c. Faktor Sarana Pelayanan

Sarana pelayanan yang dimaksud Moenir (2006:119)

ialah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja da fasilitas lain

yang berfungsi sebagai alat utama atau pembantu dalam

pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi sosial dalam rangka

kepentingan orang–orang yang sedang berhubungan dengan

organisasi kerja itu.

Menurut Moenir (2006:119) terdapat fungsi pelayanan

antara lain:
29

a) Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan, sehingga


dapat menghemat waktu.
b) Meningkatkan produktivitas, baik barang atau jasa.
c) Kualitas produk yang lebih baik/terjamin.
d) Ketepatan susunan dan stabilitas ukuran terjamin.
e) Lebih mudah/sederhana dalam gerak pelakunya.
f) Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang
berkepentingan.
g) Menimbulkan perasaan puas pada orang-orang yang
berkepentingan sehingga dapat mengurangi sifat
emosional mereka.

d. Standar Pelayanan

Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan

sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik standar

pelayanan berbentuk suatu dokumentasi yang berisi rincian teknis

dari sebuah pelayanan.Rincian yang biasanya tercantum dalam

dokumen ini mencakup pernyataan visi dan misi pelayanan,

prosedur pelayanan, denah pelayanan, ketentuan tariff, prasyarat

pelayanan, klasifikasi pelanggan, jenis pelanggan, jenis layanan,

jaminan mutu dan janji pelayanan.

Adapun ciri pelayanan yang harus diikuti oleh pegawai

yang bertugas melayani pelanggan, menurut Moenir (2006:66),

antara lain:

a) Tersedianya pegawai yang baik.


b) Tersedianya sarana dan prasarana yang baik.
c) Bertanggung jawab kepada setiap pelanggan sejak
awal hingga selesai.
d) Mampu melayani secara capat dan tepat.
e) Mampu berkomunikasi.
f) Memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik.

Sedang menurut Gronroos dalam Arief (2007:122), ada


30

3 kriteria pokok dalam menilai kualitas jasa, yaitu outcome-

related (berhubungan dengan hasil), process-related

(berhubungan dengan proses), dan image related criteria

(berhubungan dengan citra jasa). Ketiga kriteria tersebut masih

dijabarkan menjadi enam unsur :

a) Professionalism and skill (Profesionalisme dan keahlian)


Kriteria ini merupakan outcome-related criteria dimana
Pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa service
provider), karyawan, sistem operasional dan sumber daya
fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara
professional.
b) Attitudes and behavior (Sikap dan perilaku)
c) Kriteria ini merupakan Process-related criteria dimana
Pelanggan merasa bahwa karyawan (contact personnel)
menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha
membantu dalam memecahkan masalah mereka secara
spontan dan senang hati.
d) Accessibility and Flexibility (Kemudahan pencapaian dan
penyesuaian pelayanan)
e) Kriteria ini merupakan Process-related criteria dimana
Pelanggan bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja,
karyawan, dan sistem operasionalnya, dirancang dan
dioperasikan dengan mudah. Selain itu juga dirancang
dengan maksud agar dapat bersifat fleksibel dalam
menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.
f) Reliability and trustworthiness (Keandalan
dan Kepercayaan)
g) Kriteria ini merupakan Process-related criteria dimana
Pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka
bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia
jasa/pelayanan beserta Karyawan dan sistemnya.
h) Recovery (Pengendalian situasi dan pemecahan masalah)
Kriteria ini merupakan Process-related criteria dimana
Pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila
terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia
jasa/pelayanan akan segera mengambil tindakan untuk
mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat.
i) Reputation and Credibility (Nama baik dan
dapat dipercaya)
31

Kriteria ini merupakan Process-related criteria dimana


Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa
dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang
sesuai dengan pengorbanannya.

Agar pelayanan dapat memuaskan seseorang atau

kelompok orang yang dilayani oleh penyelenggara

pelayanan, maka tenaga medis yang bertugas melayani

harus memenuhi empat kriteria pokok Moenir (2006 :197) :

a) Tingkah laku yang baik.


b)Cara penyampaian sesuatu yang berkaitan
dengan apa yang seharusya diterima oleh orang
yang bersangkutan.
c) Waktu menyampaikan yang tepat.
d)Keramahtamahan.

Dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2009 (Pasal

21) dijelaskan bahwa Komponen standar pelayanan

sekurang-kurangnya meliputi:

a) Dasar hukum, yaitu peraturan Perundang-


Undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan
pelayanan.
b) Persyaratan, yaitu syarat yang harus dipenuhi
dalam pengurusan suatu jenis pelayanan, baik
persyaratan teknis maupun administratif.
c) Sistem, mekanisme, dan prosedur, yaitu tata cara
pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan
penerima pelayanan, termasuk pengaduan.
d) Jangka waktu penyelesaian, yaitu jangka waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh
proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.
e) Biaya atau tarif, yaitu ongkos yang dikenakan
kepada penerima layanan dalam mengurus
dan/atau memperoleh pelayanan dari
penyelenggara yang besarnya ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara
dan masyarakat.
f) Produk pelayanan, yaitu hasil pelayanan yang
32

diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan


yang telah ditetapkan.
g) Sarana, prasarana, dan fasilitas, yaitu Peralatan
dan fasilitas yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pelayanan, termasuk peralatan
dan fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan.
h) Kompetensi pelaksana, yaitu kemampuan yang
harus dimiliki oleh pelaksana meliputi
pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan
pengalaman.
i) Pengawasan internal, yaitu pengendalian yang
dilakukan oleh pimpinan satuan kerja atau
atasan langsung pelaksana.
j) Penanganan pengaduan, saran, dan masukan,
yaitu tata cara pelaksanaan penanganan
pengaduan dan tindak lanjut.
k) Jumlah pelaksana, yaitu tersedianya pelaksana
sesuai dengan beban kerja.
l) Jaminan pelayanan yang memberikan
kepastian pelayanan dilaksanakan
sesuai dengan standar pelayanan.
m) Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan
dalam bentuk komitmen untuk memberikan
rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko
keragu-raguan, yaitu Kepastian memberikan
rasa aman dan bebas dari bahaya, risiko, dan
keragu-raguan.
n) Evaluasi kinerja pelaksana yaitu Penilaian
untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan standar pelayanan.

Standar pelayanan menurut Moenir (2006:124)

yaitu kesadaran pegawai pada segala tingkatan terhadap

tugas/pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya,

membawa dampak sangat positif terhadap organisasi dan

tugas/pekerjaan itu sendiri, maka akan menjadi sumber

kesungguhan dan disiplin dalam melaksanakan

tugas/pekerjaan, sehingga hasilnya dapat diharapkan


33

memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan baik

dalam perwujudan standar pelaksanaan pelayanan maupun

standar operasional pelayanan.

1.6 Penelitian Terdahulu

Berikut adalah beberapa penelitian yang mempunyai fokus yang sama sebagai

bahan untuk dijadikan referensi yaitu:

a. Penelitian oleh Nurmeilita

Penelitian yang dilakukan oleh Nurmeilita mahasiswi Program

bimbingan dan penyuluhan islam, Fakultas ilmu dakwah dan ilmu

komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta tahun 2010, yang

skripsinya berjudul “Persepsi Masyarakat Miskin Terhadap Pelayanan

Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo Jakarta”, Kajian yang diangkat dalam skripsi Nurmeilita

lebih kepada pelayanan kesehetan untuk keluarga miskin, hasil penelitian

menunjukan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan pihak RSCM

Jakarta untuk masyarakat miskin sudah dalam kategori baik, Hal ini

dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang mempersepsikan secara

positif atas penerimaan pelayanan yang diberikan oleh petugas

pelayanan baik medis maupun non medis, perbedaan penelitian ini

dengan skripsi Nurmeilita adalah jenis penelitiannya, Nurmeilita

menggunakan metode kuantitatif, sedangkan penelitian ini menggunakan

metode kualitatif, persamaan skripsi Nurmeilita dengan penelitian ini

adalah kajian yang dibahas mengenai pelayanan kesehatan terhadap


34

masyarakat tidak mampu.

b. Elvi Alfianti

Penelitian dengan judul Pemberdayaan Perempuan Melalui

Program Usaha Sosial Ekonomis Produktif Keluarga Miskin (USEP-KM)

Oleh Dinas Sosial DIY di Hargorejo Kokap Kulon Progo (2014). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui proes pelaksanaan pemberdayaan

perempuan melalui program Usaha Sosial Ekonomis Produktif Keluarga

Miskin (USEP-KM) dan dampak bagi kehidupan masyarakat desa tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitin ini yaitu metode deskriptif

kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian lapangan. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan

dokumentasi.

Hasil dari penelitin ini yaitu terkait dengan proses yang dilakukan

oleh Dinas DIY memakan waktu yang cukup panjang, mulai dari tahap

perencanaan program sampai tahap monitoring dan evaluasi. Bentuk

kegiatannyapun bermacam-macam, ada simpan pinjam, pertemuan rutin

bulan dan pelatihan keterampilan. Dampak yang diperoleh sangat baik bagi

perkembangan kehidupan masyarakat desa Hargorejo. Dalam penelitian ini

sama-sama meneliti tentang kegiatan usaha sosial, namun terdapat

perbedaan dalam jenis usaha sosial yang dilakukan.

c. Sokip Mahfudin

Penelitian dengan jduul Profil Agustina Sunyi Dalam Membangun

Kewirausahaan Sosial di Dusun Bulus Wetan Sumberagung, Jetis, Bantul


35

(2015). Dalam penelitian ini menjelaskan tentang sejarah Agustina Sunyi

membangun kewirausahaan sosial, usaha-usaha serta hasil kewirausahaan

sosial yang dilaukan oleh Agustina Sunyi. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggabungkan dua

metod yaitu sejarah dan deskriptif. Metode pengumpulan datanya

menggunakan metode observasi partisipasi pasif, wawancara tak terstruktur

dan dokumentasi.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sejarah, usaha dan

hasil yang dilakukan oleh Agustina Sunyi dalam membangun

kewirausahaan sosial tersebut terbagi menjadi tiga tahap. Tahap awal

meliputi niat, persiapan mental, spiritual dan legalitas usaha. Kedua yaitu

yaitu tahap pembangunan dengan melakukan pendekatan personal dan

komunitas. Mengikuti pameran, aktif dalam mengiktui kegiatan pemerintah

setempat, mengikuti paguyuban, dan bekerjasama dengan media masa.

Tahap terakhir yaitu menjelaskan kegiatan yang terjadi sekarang, hasil

berbentuk produk dan pendapatan, serta rencana kegiatan yang akan

datang.

Dalam penelitian ini, hanya memiliki kesamaan fokus yaitu

mengenai kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh seorang yang

beranama Agustina Sunyi, sedangkan yang ingin diteliti dalam penelitian

ini adalah kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

dalam sebuah lembaga kesehatan.


36

1.7 Lokasi Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Karina Medika dengan

perencanaan waktu penelitian yaitu rentang Januari – Februari 20020 dengan

melakukan wawancara, penyebaran kuesioner serta pengamatan langsung

mengenai variabel penelitian yang diteliti.

1.8 Pendekatan Penelitian

Penelitian tentang model kewirausahaan sosial ini menggunakan metode

deskriptif kualitatif karena melalui metode ini peneliti diharuskan untuk bertemu

dan mewawancarai langsung informan yang ingin diteliti sehingga laporan yang

dihasilkan akan lebih rinci dan sesuai dengan latar belakang maupun keadaan

alamiah yang dilakukan oleh subjek penelitian (Moeleong, 2014). Selain itu,

menurut Fatchan dalam Basrowi dan Suwandi (2008) menyatakan bahwa

penelitian menggunakan metode kualitatif juga bertujuan untuk memahami apa

yang tersembunyi mengenai suatu fenomena yang terkadang sulit untuk diketahui

dan dipahami juga dapat memberikan penjelasan secara merinci mengenai suatu

fenomena yang sulit disampaikan dengan metode penelitian kuantitatif.

1.9 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dan

mengerti betul mengenai sesuatu yang dikaji dalam penelitian. Maka dari itu

subjek penelitian dalam penelitian ini yaitu para tenaga kesehatan yang bekerja di
37

Rumah Sakit Karina Medika Purwakarta dan masyarkat binaan yang mengikuti

program kewirausahaan yang diterapkan oleh para tenaga kesehatan tersebut.

1.10 Instrumen Penelitian

Pada proses penelitian ini, peneliti menerapkan beberapa instrumen terkait

yang dibutuhkan dalam proses penelitian yaitu berupa instrumen wawancara,

angket, observasi dan dokumentasi.

1.11 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjawab rumusan

masalah dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan wawancara kepada sumber

informan, pemberian kuesioner, serta pengamatan langsung terhadap model

pelayanan tenaga kesehatan yang diberikan dengan basis kewirausahaan sosial.

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara merupakan

teknik pengumpulan data dengan cara peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan

kepada satu atau beberapa informan (Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur,

2012). Alasan memilih teknik ini karena informasi yang didapat jelas dan

langsung dari informan sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Jenis wawancara

dalam penelitian ini yaitu menggunakan jenis wawancara tak struktur. Wawancara

tak terstruktur sering disebut dengan wawancara mendalam, wawancara intensif,

wawancara kualitatif dan wawancara terbuka (open-ended interview).

Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, sususnan pertanyaan dan

susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara,
38

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara termasuk sosial

budaya informan yang dihadapi dengan cara bertatap muka secara langsung.

Teknik pengumpulan data yang kedua berupa angket, teknik yang

digunakan ini yaitu dengan cara membagikan angket yang sudah berisi

pernyataan-pernyataan serta pilihan jawaban yang telah ditentukan. Selanjutnya

terkait teknik pengumpulan data yang ketiga yaitu dengan menggunakan

observasi. Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang mengharuskan

para peneliti untuk turut terjun ke lapangan menyaksikan semua yang

berhubungan dengan apa yang ingin diteliti (Djunaidi Ghony & Fauzan

Almanshur, 2012). Alasan memilih teknik ini agar penelitian ini dapat dipercaya

karena peneliti langsung terjun kelapangan tempat para informan dan mengamati

sendiri. Obsevasi yang digunakan yaitu obsevasi terfokus yaitu jenis pengamatan

yang secara cukup spesifik mempunyai rujukan dalam rumusan masalah atau tema

penelitian.

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan melihat

langsung aktivitas para tenaga kesehatan dilapangan dan melakukan pengamatan

secara menyeluruh demi mendapatkan data yang berkualitas. Teknik

pengumpulan data yang terakhir yaitu menggunakan teknik dokumentasi.

Dokumentasi adalah suatu cara pengumpulan data dari dokumen seperti fotografi,

video, film, memo, surat dan lain-lain yang dapat digunakan sebagai bahan

informasi penunjang. Alasan menggunakan metode ini yaitu agar memperoleh

data yang lengkap, sah dan bukan berdasarkan perkiraan. Karena data-data yang

digunakan merupakan data yang sudah ada di lapangan. Adapun jenis


39

dokumentasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan memotret sendiri

kegiatan-kegiatan saat observasi.

1.12 Teknik Validitas Data

Teknik validitas data digunakan agar kebenaran data yang diteliti diakui

kebenarannya. Teknik yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu menggunakan

teknik triangulasi. Teknik triangulasi merupakan salah satu teknik pemeriksaan

keabsahan data dengan menggunakan sesuatu yang lain selain data itu untuk

melakukan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.

Dalam penelitian ini peneliti menerapkan teknik triangulasi dengan

metode pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan

menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti membandingkan hasil

wawancara, angket, observasi dan dokumentasi serta pengecekan derjaat

kepercayaan beberapa sumber data dengan menggunakan metode yang sama

seperti membandingkan antara wawancara satu dengan yang lainnya atau dengan

observasi yang satu dengan yang lainnya.

1.13 Teknik Analisis Data

Sugiyono (2010: 89), analisis data adalah proses mencari dan menyusun

secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih nama yang penting dan yang akan
40

dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri

maupun orang lain.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data model Milles and

Huberman. Milles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2010: 91) menjelaskan bahwa

analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Tahapan-

tahapan analisis data menggunakan model tersebut meliputi, reduksi data,

penyajian data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Berikut adalah kilasan

ulasan dari analisis tersebut.

1) Reduksi Data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih

jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2010). Kegiatan

ini mengarah pada proses menyeleksi, memfokuskan, menyederhanakan,

dan mengabstraksikan data mentah yang ditulis pada catatan lapangan

yang dibarengi dengan perekaman.

2) Penyajian Data

a. Milles and Huberman (dalam Sugiyono, 2010) menyatakan bahwa

dalam penelitian kualitatif, yang paling sering digunakan untuk

menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks

yang bersifat naratif. Dengan penyajian data maka data akan


41

terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan mampu

menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Penarikan

Kesimpulan atau Verifikasi

b. Menurut Milles dan Huberman, sebagaimana dikutip oleh

Sugiyono (2010), langkah ketiga dalam analisis data kualitatif

adalah penarikan simpulan dan verifikasi. Menarik simpulan atau

verifikasi adalah sebagian dari satu kegiatan konfigurasi yang utuh

sehingga mampu menjawab rumusan masalah penelitian. Simpulan

didapat dari membandingkan analisis hasil yang menjadi subjek

penelitian dengan hasil wawancara sehingga dapat diketahui

jawabannya.

3) Keabsahan Data

Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa uji keabsahan data dalam

penelitian kualitatif meliputi uji kredibilitas data, uji

transferabilitas uji dependabilitas, dan uji konfirmabilitas.

1.14 Prosedur Penelitian

Dalam penelitian kualitatif harus dipikirkan bagaimana prosedur yang

akan dijalankan selama penelitian. Prosedur atau langkah-langkah pengumpulan

data dan analisis merupakan satu kesatuan yang tumpang tindih. Jadi dalam

mengumpulkan data peneliti juga menganalisis data. Hal ini sejalan dengan

ungkapan Sukmadinata (2009: 114) bahwa:


42

Pengumpulan dan analisis data penelitian kualitatif bersifat interaktif,


berlangsung dalam lingkaran yang saling tumpang tindih, langkah-
langkahnya biasa disebut strategi pengumpulan dan analisis data, teknik
yang digunakan fleksibel, tergantung pada strategi terdahulu yang
digunakan dan data yang telah diperoleh.

Selanjutnya dalam melakukan langkah-langkah atau prosedur penelitian

yang dilakukan dalam penelitian ini merujuk pada prosedur penelitian menurut

Sukmadinata (2009: 114-115) sebagai berikut:

1) Perencanaan

Perencanaan meliputi perumusan dan pembatasan masalah serta

merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diarahkan pada

kegiatan pengumpulan data. Kemudian merumuskan situasi penelitian

satuan dan lokasi yang dipilih serta informan-informan sebagai sumber

data. Deskripsi tersebut merupakan pedoman bagi pemilihan dan

penentuan sampel purposif.

2) Memulai Pengumpulan Data

Sebelum pengumpulan data dimulai, peneliti berusaha

menciptakan hubungan baik, menumbuhkan kepercayaan serta hubungan

yang akrab dengan individu-individu yang menjadi sumber data. Peneliti

memulai wawancara dengan beberapa informan yang telah dipilih untuk

kemudian dilanjutkan dengan dilengkapi data pengamatan dan data

dokumen (triangulasi).

3) Pengumpulan Data Dasar

Setelah peneliti berpadu dengan situasi yang ditelti, pengumpulan

data lebih diintensifkan dengan wawancara yang lebih mendalam,


43

observasi dan pengumpulan dokumen yang intensif. Dalam pengumpulan

data dasar peneliti benar-benar “melihat, mendengarkan, membaca dan

merasakan” apa yang ada dengan penuh perhatian. Sementara

pengumpulan data terus berjalan analisis data mulai dilakukan dan

keduanya terus dilakukan berdampingan sampai tidak ditemukan data baru

lagi. Deskripsi dan konseptualisasi diterjemahkan dan dirangkumkan

dalam diagram-diagram yeng bersifat integratif. Setelah pola-pola dasar

terbentuk, peneliti mengidentifikasi ide-ide dan fakta-fakta yang

membutuhkan penguatan dalam fase penutup.

4) Pengumpulan Data Penutup

Pengumpulan data berakhir setelah peneliti meninggalkan lokasi

penelitian, dan tidak melakukan pengumpulan data lagi. Batas akhir akhir

penelitian terkait dengan masalah, kedalaman dan kelengkapan data yang

diteliti. Peneliti mengakhiri pengumpulan data setelah mendapatkan semua

informasi yang dibutuhkan atau tidak ditemukan lagi data baru.

Anda mungkin juga menyukai