Anda di halaman 1dari 23

PAPER NAMA : FARID AULIA NST

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

PAPER

COGAN’S SYNDROME

Disusun oleh :

Farid Aulia Nasution


130100089

Pembimbing :
dr. Marina Y. Albar, M.Ked (Oph), Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini
dengan topik “Sindrom Cogan”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada dokter pembimbing, dr.Marina Y. Albar, M.Ked(Oph), Sp.M dan
Mentor dr. Faiza Sofia Sari yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
bimbingan serta masukan dalam penyusunan paper ini.
Dengan demikian diharapkan paper ini dapat memberikan kontribusi positif
dalam proses pembelajaran serta diharapkan mampu berkontribusi dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik isi maupun susunan bahasa dan materi, untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik dari pembaca sebagai masukan untuk perbaikan paper ini.

Medan, September 2018

Penulis

i
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1.Latar Belakang.................................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2
2.1. Anatomi Bola Mata ......................................................................................... 2
2.2. Fisiologi Penglihatan ....................................................................................... 5
2.3. Sindrom Cogan ................................................................................................ 7
2.3.1. Definisi ................................................................................................ 7
2.3.2. Etiologi ................................................................................................ 7
2.3.3. Klasifikasi ........................................................................................... 8
2.3.4. Gambaran Klinis ................................................................................. 8
2.3.5. Manifestasi pada Okular .................................................................... 10
2.3.5.1. Keratitis Interstisial ............................................................ 10
2.3.5.2. Episkleritis dan Skleritis ..................................................... 11
2.3.5.3. Konjungtivitis...................................................................... 12
2.3.6. Diagnosis ........................................................................................... 13
2.3.7. Diagnosis Banding ............................................................................ 14
2.3.8. Tatalaksana......................................................................................... 15
2.3.8. Prognosis ........................................................................................... 16
BAB 3 KESIMPULAN .......................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 18
LAMPIRAN

ii
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 . Anatomi bola mata ............................................................................ 2


Gambar 2.2. Keratitis interstisial pada Sindrom Cogan (perifer) ......................... 11
Gambar 2.3. Keratitis interstisial pada Sindrom Cogan (sentral) ......................... 11
Gambar 2.4. Hiperemia pada Episkleritis ............................................................ 12
Gambar 2.5. Injeksi Konjungtiva ......................................................................... 13

iii
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sindrom Cogan adalah suatu penyakit multisitem yang jarang terjadi dengan
karakteristik kombinasi dari inflamasi pada mata dan sistem audiovestibular, dan
dapat disertai manifestasi sistemik berupa vaskulitis pada berbagai vaskular organ.
Penyakit ini umumnya menyerang dewasa muda pada usia dekade kedua hingga
ketiga. Pada anak juga dapat terjadi, namun cukup jarang. Rentang usia yang terkena
pada kasus yang pernah dilaporkan adalah 3 sampai 50 tahun dengan rerata usia 29
tahun. Penyakit ini cukup banyak dijumpai pada ras kaukasia, tetapi jarang
ditemukan pada daerah timur tengah. Penyakit ini menyerang baik laki-laki maupun
wanita tanpa ada dominasi jenis kelamin. Pada 30 % kasus dapat dijumpai adanya
manifestasi sistemik berupa vaskulitis multisistem yang progresifitasnya dapat
mengancam jiwa.1,2
Salah satu manifestasi okuli yang sering muncul pada sindrom Cogan ialah
keratitis interstisial berkisar 100 %, episkleritis dan skleritis 23 %, iritis 23 %, dan
konjungtivitis 15 %. Gejala okuli lain yang muncul adalah osilopsia, diplopia, dan
amaurosis fugax. Setelah onset awal terjadi, manifestasi yang terjadi dapat bersifat
hilang timbul dalam 2 tahun pertama sebelum manifestasinya menjadi kronik dan
permanen. Namun dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat bersifat progresif.
Episode pertama dapat berlangsung dalam beberapa minggu hingga bulan, kemudian
dapat diikuti eksaserbasi oleh karena infeksi, perubahan hormonal, atau operasi
LASIK. Dalam suatu studi, 13 % pasien mengalami sekali relaps, 62 % pasien
mengalami lebih dari sekali relaps, dan 22 % pasien tidak pernah mengalami relapse.
Tercatat bahwa 2 pasien pada studi tersebut mengalami gejala yang persisten tanpa
pernag mengalami suatu remisi.3
Mortalitas pada kasus ini mencapai 10 %, dan kematian umumnya disebabkan
oleh komplikasi sistemik berupa vaskulitis multisistem, komplikasi jantung,
perdarahan subarachnoid, dan komplikasi renal.3

1
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Bola Mata


Bola mata tidak sepenuhnya bulat. Diameter anteroposterior mata dewasa
umumnya berukuran 23 – 25 mm. Pada mata miopi ukurannya cenderung
memanjang, sedangkan pada mata hiperopia ukurannya cenderung memendek. Bola
mata terdiri atas 3 kompartemen, yaitu kompartemen anterior, kompartemen
posterior, dan ruang vitreus. Kompartemen anterior adalah suatu ruang di antara iris
dan kornea yang diisi dengan cairan aqueous. Kedalamannya dapat mencapai 3 mm
dengan volume rata – rata 200 µL. Kompartemen posterior secara anatomi adalah
ruang yang dibentuk antara iris di bagian posteriornya dengan lensa dan vitreus di
bagian depannya. Kompartemen ini juga diisi oleh cairan aqueous dengan volume
rata – rata 60 µL. Sedangkan ruang vitreus merupakan kompartemen terluas yang
dibentuk oleh dua pertiga volume bola mata yang mengandung vitreous gel. Volume
total bola mata pada dewasa rata – rata mencapai 6,6 – 7 ml.4
Bola mata dibungkus oleh tiga lapis jaringan yaitu sklera, jaringan uvea dan
retina. Sklera merupakan bagian terluar yang terdiri dari jaringan ikat yang kenyal
yang melindungi bola mata.5,6

Gambar 2.1. Anatomi Bola Mata7

2
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Kornea merupakan bagian terdepan dari sklera yang bersifat transparan yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar
dibanding kelengkungan sklera. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh
kornea. Lapisan-lapisan kornea tersebut dari bagian anterior ke posterior yaitu
lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.6
Struktur kornea terdiri dari 5 lapisan. Lapisan pertama adalah epitel yang
merupakan sel epitel skuamosa berlapis nonkeratinisasi. Tebalnya 550 µm. Lapisan
tersebut terdiri dari 5 sampai 6 lapis sel epitel yang berbeda, yaitu sel-sel superfisial,
wing cells, dan satu lapis sel-sel basal kolumnar. Tebal lapisan tersebut merupakan
10% dari ketebalan seluruh kornea. Lapisan yang kedua adalah membran Bowman
yang terdiri dari jaringan kolagen tipe IV dan proteoglikan. Lapisan ini merupakan
bagian anterior dari stroma kornea. Stroma kornea adalah bagian yang mengisi lebih
dari 90% ketebalan kornea. Lapisan tersebut terdiri dari matriks ekstraselular,
keratosit, dan jaringan saraf. Lapisan selanjutnya adalah membran Descemet.
Ketebalan membran Descemet bertambah seiring bertambahnya usia. Pada dewasa
memiliki ketebalan 10-12 μm. Lapisan yang terakhir adalah satu lapis sel endotel
berbentuk poligonal yang melapisi bagian posterior epitel. Trauma atau penyakit
pada endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga
dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya
regenerasi. 4,6,8
Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan
pangkal iris. Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah garis Schwalbe, anyaman
trabekula (yang terletak di atas kanal Schlemm), dan taji sklera (scleral spur).8
Garis Schwalbe menandai berakhirnya endotel kornea. Anyaman trabekula
berbentuk segitiga pada potongan melintang, dengan dasar yang mengarah ke corpus
ciliare. Anyarnan ini tersusun atas lembarlembar berlubang jaringan kolagen dan
elastik, yang membentuk suatu filter dengan pori yang semakin mengecil ketika
mendekati kanal Schlemm. Bagian-dalam anyaman ini, yang menghadap ke bilik
mata depan, dikenal sebagai anyaman uvea; bagian luar, yang berada di dekat kanal
Schlemm, disebut anyaman korneoskleral. Serat – serat longitudinal otot siliaris
menyisip ke dalam anyaman trabekula tersebut. Taji sklera merupakan penonjolan

3
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

sklera ke arah dalam di antara korpus siliaris dan kanal Schlemm, tempat iris dan
korpus siliaris menempel. Saluran-saluran eferen dari kanal Schlemm (sekitar 300
saluran pengumpul dan 12 vena aqueous) berhubungan dengan sistem vena
episklera.8
Aqueous humor diproduksi oleh korpus siliaris. Setelah memasuki bilik mata
belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan , kemudian
ke perifer menuju sudut bilik mata depan.8
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular yang terdiri atas iris, badan siliar,
dan koroid. Pada iris terdapat 3 susunan otot yang dapat mengatur jumlah sinar
masuk kedalam bola mata yang disebut pupil. Otot dilatator dipersarafi oleh simpatis
dan parasimpatis, sedangkan sfingter iris dan otot siliar dipersarafi oleh parasimpatis
yang berasal dari nukleus saraf kranialis N. III. Otot siliar yang terletak di siliar
mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Badan siliar yang terletak di
belakang iris menghasilkan cairan aqueous humor, yang dikeluarkan melalui
trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera.4,8
Lapisan ketiga yaitu retina, terletak paling dalam dan mempunyai tebal 1 mm
yang terdiri atas susunan sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran
neurosensoris yang akan mengubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan
diteruskan ke otak. Di bagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan
terdapat makula lutea (bintik kuning) yang berdiameter 5-6 mm yang mempunyai
fungsi penting untuk tajam penglihatan. Di bagian tengah makula lutea pula terdapat
bercak mengkilat yang merupakan refleks fovea. Secara spesifiknya terdapat 120 juta
sel batang yang berfungsi sebagai alat pengenal kehadiran sinar dan 6 juta sel kerucut
yang mengenal frekuensi sinar.4,8
Fotoreseptor batang dan kerucut terletak di lapisan terluar retina sensorik
yang avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali
proses penglihatan. Setiap sel kerucut mengandung rodopsin, yaitu pigmen
penglihatan yang fotosensitif. Saat rodopsin menyerap cahaya, akan terjadi
perubahan bentuk 11-cis-retinal (komponen kromofor pada rodopsin) menjadi all-
trans-retinol. Perubahan bentuk ini akan memicu terjadinya kaskade penghantar
kedua, dimana rangsangan cahaya akan diubah menjadi impuls saraf. Impuls ini

4
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

kemudian dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan melalui nervus optikus menuju


korteks penglihatan oksipital.9
Pada bagian tengah dari retina posterior terdapat makula yang secara klinis
dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina
temporal. Makula secara histologis memiliki ketebalan lapisan sel ganglion lebih dari
satu lapis.4,8
Di tengah makula terdapat fovea sentralis, yaitu suatu daerah yang secara
histologis ditandai oleh adanya penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan
parenkim lain. Hal ini dapat terjadi akibat akson-akson sel fotoreseptor berjalan
miring dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina
lepas secara sentrifugal. Fovea sentralis adalah bagian retina yang paling tipis dan
hanya mengandung fotoreseptor kerucut. Fungsi dari fovea sentralis ini adalah
sebagai penghasil ketajaman penglihatan yang optimal.4,8
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu arteri sentralis retina dan arteri
koriokapilaris. Arteri sentralis retina memperdarahi 2/3 daerah retina bagian dalam,
sementara 1/3 daerah retina bagian luar diperdarahi oleh arteri koriokapilaris. Fovea
sentralis sendiri diperdarahi hanya oleh arteri koriokapilaris dan rentan untuk
mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi.
Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang, sehingga
membentuk sawar darah-retina.4,8
Lensa terletak di belakang pupil yang ditopang di daerah ekuatornya pada
badan siliar melalui Zonula Zinn. Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang
berbentuk lensa didalam mata dan bersifat bening. Lensa terdiri dari zat tembus
cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat
terjadinya akomodasi.6

2.2. Fisiologi Penglihatan


Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil, kemudian
difokuskan oleh lensa ke bagian belakang mata, yaitu retina. Fotoreseptor pada retina
mengumpulkan informasi yang ditangkap mata, kemudian mengirimkan sinyal
informasi tersebut ke otak melalui saraf optik. Semua bagian tersebut harus bekerja
simultan untuk dapat melihat suatu objek.9

5
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Media refraksi mata terdiri dari kornea, aqueous humor, lensa, dan vitreous
humor. Agar bayangan dapat jatuh tepat di retina, cahaya yang masuk harus
mengalamai refraksi melalui media-media tersebut. Jika terdapat kelainan pada
media refraksi, cahaya mungkin tidak jatuh tepat pada retina.9
Rangsangan cahaya tadi diterima oleh sel batang dan kerucut di retina, yang
diteruskan melalui saraf optik (N. II), ke korteks serebri pusat penglihatan. Agar
bayangan tidak kabur, kelebihan cahaya diserap oleh lapisan epitel pigmen di retina.
Bila intensitas cahaya terlalu tinggi maka pupil akan mengecil untuk menguranginya.
Daya refraksi kornea hampir sama dengan aqueous humor, sedang daya refraksi
lensa hampir sama pula dengan badan kaca. Keseluruhan sistem refraksi mata ini
membentuk lensa yang cembung dengan fokus 23 mm. Dengan demikian, pada mata
yang emetrop dan dalam keadaan mata istirahat, sinar sejajar yang datang di mata
akan dibiaskan tepat di fovea sentralis dari retina. Fovea sentralis merupakan
posterior principal focus dari sistem refraksi mata ini, dimana cahaya yang datang
sejajar, setelah melalui sistem refraksi ini bertemu. Letaknya 23 mm di belakang
kornea, tepat dibagian dalam makula lutea.9,10
Lensa memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya biasnya untuk
memfokuskan bayangan dari objek yang dekat. Kemampuan ini disebut dengan daya
akomodasi. Akomodasi dipengaruhi oleh persarafan simpatis, di mana persarafan ini
akan menyebabkan otot polos pada badan siliar yang merupakan perlekatan ligamen
penggantung lensa (zonula Zinn) berkontraksi. Kontraksi dari badan siliar yang
berbentuk melingkar seperti sfingter menyebabkan jarak antara pangkal kedua
ligamen tersebut mendekat. Hal ini akan menyebabkan ketegangan dari ligamen
tersebut berkurang sehingga regangan ligamen terhadap lensa pun juga berkurang.
Bentuk lensa kemudian akan menjadi lebih cembung/konveks.9,10

6
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

2.3. Sindrom Cogan


2.3.1. Definisi
Sindrom Cogan merupakan suatu penyakit vaskulitis autoimun sistemik yang
jarang terjadi dengan karakteristik inflamasi intraokuli dan disfungsi
vestibuloauditori. Penyakit ini pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1934 oleh
Morgan dan Baumgartner sebagai suatu keratitis interstisial yang berkaitan dengan
disfungsi vestibuloauditori, namun ini kemudian digambarkan sebagai suatu masalah
klinis pada tahun 1954 oleh Dr. David Cogan, yang melaporkan 5 kasus terkait.2,11

2.3.2. Etiologi
Sejak tahun 1945, lebih dari 250 kasus sindrom Cogan dilaporkan dan
memiliki keterkaitan dengan proses autoimun, namun belum dapat dijelaskan
bagaimana proses autoantibodi yang terjadi pada kasus ini. Penyebab utama pada 20
% kasus belum diketahui. Beberapa hipotesis menjelaskan penyebab dari penyakit
ini. Hipotesis pertama menjelaskan bahwa ada peranan infeksi Chlamydia, yaitu
Chlamydia psittaci yang berhasil diisolasi pada penderita sindrom Cogan.
Selanjutnya infeksi Chlamydia trachomatis yang berhasil diidentifikasi pada 4 pasien
dari 13 pasien dengan sindrom Cogan. Walaupun demikian, kebanyakan infeksi
Chlamydia tidak memicu reaksi imun terhadap mata, telinga, dan pembuluh darah.
Infeksi Chlamydia sering berhubungan dengan kejadian kardiovaskular seperti
miokarditis, endokarditis, dan penyakit katup jantung.2,12
Namun studi terbaru menyebutkan bahwa sindrom Cogan memiliki kaitan
dengan suatu proses autoimun. Pada tahun 1999, Garcia Berrocal dkk, menyatakan
bahwa sindrom Cogan merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas terhadap satu atau lebih agen infeksius yang menyebabkan
vaskulitis. Mereka berpendapat bahwa infeksi virus dapat merangsang respon
antibodi yang selanjutnya menyebabkan reaksi imunitas silang terhadap protein pada
sistem audiovestibular, mata, dan organ lainnya.2
Bonaguri C dkk, pada tahun 2007 mempublikasikan bahwa antibodi anti-Hsp
70 (anti – Heat shock protein) sebagai penanda asal suatu proses autoimun. Antibodi
ini dijumpai pada 50 % pasien dengan sindrom Cogan tipikal. Selanjutnya ANCA
(anti neutrophil cytoplasmic antibody) juga diidentifikasi pada 5 pasien sindrom

7
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Cogan. Faktor reumatoid dan ANA (anti-nuclear antibody) juga ditemukan pada
sebagian kecil penderita sindrom Cogan yang membuktikan bahwa terjadi suatu
proses imunitas pada kasus ini.2

2.3.3. Klasifikasi
Sindrom Cogan diklasifikasikan menjadi tipikal dan atipikal berdasarkan
gejala okulinya. Munculnya keratitis interstisial merupakan gambaran dari sindrom
Cogan yang tipikal. Keratitis interstisial yang terjadi pada sindrom Cogan adalah tipe
yang non sifilis. Sedangkan tipe yang atipikal memiliki banyak jenis kelainan okuli
seperti konjungtivitis kronik dan rekuren, skleritis, uveitis, edema diskus optikus,
eksoftalmia, xeroftalmia, ptosis, tendonitis, dan vaskulitis retina. Pada tahun 1980,
Haynes dkk, menyusun kriteria diagnostik sindrom Cogan tipikal dan atipikal
berdasarkan gejala okulinya.13
Kriteria diagnostik sindrom Cogan tipikal:13
1. Gejala okuli, berupa keratitis interstisial non sifilis
2. Gejala audiovestibular yang menyerupai sindrom Meniere (tinitus dan vertigo
dengan onset tiba – tiba, disertai penurunan fungsi pendengaran secara
bertahap)
3. Interval antara onset gejala okuli dengan manifestasi audiovestibular kurang
dari 2 tahun
Kriteria diagnostik sindrom Cogan atipikal:13
1. Manifestasi inflamasi okuli dengan atau tanpa keratitis interstisial
2. Manifestasi okuli tipikal berkaitan dengan gejala audiovestibular dan berbeda
dengan episode penyakit Meniere
3. Adanya keterlambatan lebih dari 2 tahun antara onset okuli tipikal dengan
manifestasi audiovestibular.

2.3.4. Gambaran Klinis


Onset awal dari penyakit ini diawali dengan adanya gejala infeksi saluran
pernafasan atas yang berkisar 27% pada kasus. Gejala infeksi saluran pernafasan ini
dapat berlangsung selama 1 – 2 minggu sebelum gejala pada mata dan
audiovestibular. Setelah itu, gejala dapat menyerang mata atau telinga. Interval

8
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

waktu antara kedua onset gejala bervariasi antara 1 bulan hingga 11 tahun. Sangat
jarang manifestasi pada kedua organ dijumpai secara bersamaan. Pada orang dewasa,
manifestasi awal yang muncul pada mata berkisar 25 – 50 %, pada sistem
audiovestibular sekitar 32 – 36 %, dan 5 % lagi keterlibatan organ.2,3,14
Sindrom Cogan memiliki manifestasi pada beberapa organ, antara lain:
1. Manifestasi pada Mata
Salah satu gejala yang muncul dan menjadi tanda dari sindrom Cogan tipikal
adalah keratitis interstisial yang hampir muncul pada 80 % kasus dan bersifat
bilateral. Namun pada beberapa kasus, gejala ini muncul belakangan
sehingga sering menyebabkan salah diagnosis pada awal pemeriksaan. Gejala
lain yang muncul dan menjadi tanda sindrom Cogan atipikal adalah glaukoma
sudut tertutup, vaskulitis retina, papillitis, oklusi vena sentral, neuropati
vaskulitik optik, dan papiledema. Gambaran yang pertama sekali dijumpai
pada kornea berupa infiltrat subepitel yang berwarna putih redup yang dapat
dijumpai pada kedua kornea dan sering menyerupai gambaran
keratokonjungtivitis viral. Perkembangan selanjutnya dapat dijumpai
gambaran infiltrat nodular multifokal pada posterior kornea.14,15
2. Manifestasi audiovestibular
Gejala yang paling sering muncul adalah tuli, vertigo, tinnitus, ataksia, dan
osilopsia. Gangguan pendengaran biasanya muncul tiba – tiba, bersifat
bilateral, dan progresif dan dapat berkembang menjadi tuli dalam 1 – 3 bulan.
Namun pada beberapa pasien, gangguan pendengaran awalnya dapat bersifat
unilateral, kemudian berkembang menjadi bilateral. Tuli dapat menjadi
permanen pada 20 % kasus.15
3. Manifestasi sistemik
Gejala sistemik muncul hampir pada 30 – 50 % kasus. Gejala awal yang
muncul berupa nyeri kepala sekitar 40 %, atralgia 35 %, demam 27 %, atritis
23 %, dan mialgia 22 %. Gejala yang selanjutnya berkembang adalah
vaskulitis sistemik, dengan gejala yang sering muncul berupa flebitis
ekstremitas atas yang berulang, vaskulitis, poliarteritis nodosa, vaskulitis
pada arteri testikular dan arteri iliaka eksternal.15
4. Manifestasi kardiovaskular

9
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Manifestasi yang paling sering dijumpai adalah aortitis dengan insufisiensi


aorta yang dapat berkembang menjadi penyakit gagal jantung kongestif.
Komplikasi ini dapat terjadi pada 10 % kasus.15
5. Manifestasi pada sistem persarafan
Keterlibatan saraf dalam hal ini adalah dijumpainya hemiparese atau
hemiplegi oleh karena cedera pembuluh vakular dan afasia oleh karena
iskemik sementara.15
6. Manifestasi gastrointestinal
Hal ini meliputi diare, melena, dan nyeri perut. Kondisi tersebut sebagian
besar diakibatkan oleh arteritis mesenterik.15

2.3.5. Manifestasi pada Okular


2.3.5.1. Keratitis Interstisial
Keratitis adalah peradangan kornea. Radang kornea biasanya diklasifikasikan
menurut lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan interstisial atau
profunda. Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri, (pneumococci, streptococci) ,
jamur, dan protozoa. Keratitis umumnya didahului: defisiensi vitamin A, reaksi
konjungtivitis menahun, trauma dan kerusakan epitel, lensa kontak, daya imunitas
yang berkurang, musim panas dan daerah yang lembab, pemakaian kortikosteroid,
dan herpes genital.16
Gambaran klinik keratitis dibedakan menjadi keratitis superfisialis (epitel
yaitu mengenai kornea di depan membran Bowman; subepitel yaitu mengenai kornea
dibawah epitel kornea) dan keratitis profunda/interstisialis (di dalam stroma
kornea).16
Keratitis interstisial merupakan keratitis nonsupuratif profunda disertai
dengan neovaskularisasi atau sering juga disebut keratitis parenkimatosa. Keluhan
yang timbul biasanya dapat berupa fotofobia, lakrimasi, kelopak meradang, sakit dan
menurunnya visus. Seluruh kornea keruh dan iris sukar dilihat. Permukaan kornea
seperti permukaan kaca. Injeksi siliar dapat dijumpai dengan serbukan pembuluh ke
dalam sehingga memberi gambaran merah kusam atau disebut “salmon patch” dari
Hutchinson. Kelainan ini biasanya bersifat bilateral.16

10
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Pada keratitis oleh karena sifilis kongenital dapat dijumpai tanda – tanda
berupa hidung pelana (sadlenose) dan trias Hutchinson, disertai pemeriksaan
serologik positif terhadap sifilis.16
Pengobatan keratitis profunda bergantung pada penyebabnya. Dapat
diberikan tetes mata sulfas atropin untuk mencegah terjadinya sinekia dan tetes mata
kortikosteroid.16

Gambar 2.2. Keratitis interstisial pada Sindrom Cogan (perifer)11

Gambar 2.3. Keratitis interstisial pada Sindrom Cogan (sentral)11

2.3.5.2. Episkleritis dan Skleritis


Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Proses radang ini dapat disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas terhadap penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid artritis,
SLE, dan lainnya. Keluhan pada episkleritis berupa mata terasa kering, dengan rasa
sakit ringan, mengganjal, dan konjungtiva yang kemotik. Episkleritis umumnya
terjadi unilateral.16

11
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Dapat terlihat mata merah pada satu sektor akibat pelebaran vaskular di
bawah konjungtiva. Pembuluh darah ini dapat mengecil bila diberi fenil efrin 2,5 %
topikal. Episkleritis dapat sembuh sendiri, namun dapat juga residif pada area yang
sama atau berbeda dan umumnya berlangsung hingga 4 – 5 minggu.16
Skleritis umumnya terjadi secara bilateral, lebih banyak dijumpai pada wanita
dan timbul pada usia 50 – 60 tahun. Keluhan yang dapat dijumpai adalah munculnya
rasa sakit yang berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu yang kadang –
kadang dapat membangunkan sewaktu tidur. Selain itu dapat juga dijumpai mata
berair, fotofobia, dan penurunan visus.16
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antiinflamasi steroid maupun
nonsteroid atau obat imunosupresif lainnya.16

Gambar 2.4. Hiperemia pada Episkleritis17

2.3.5.3. Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut maupun kronis.
Penyebab konjungtivitis antara lain bakteri, klamidia, alergi, viral ,berkaitan dengan
penyakit sistemik.16
Gambaran klinis yang terlihat pada konjungtivitis dapat berupa hiperemi
konjungtiva bulbi (injeksi konjungtiva), lakrimasi, eksudat dengan sekret yang lebih
nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak membengkak, kemosis, hipertrofi
papil, folikel, membran, pseudomembran, granulasi, flikten, mata terasa seperti
adanya benda asing, dan adenopati preaurikular. Biasanya sebagai reaksi

12
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

konjungtivitis akibat virus berupa terbentuknya folikel pada konjungtiva. Bilik mata
dan pupil dalam bentuk yang normal.16

Gambar 2.5. Injeksi Konjungtiva17

2.3.6. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada gejala – gejala klinis yang telah disebutkan
sebelumnya, terutama gejala pada mata dan telinga, sehingga pemeriksaan pada mata
dan telinga diutamakan. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai injeksi siliar dengan
iritis ringan dan gambaran opak yang cukup dalam pada stroma kornea, ireguler, dan
biasanya pada bagian posterior kornea dekat dengan limbus. Skar subepitel dan erosi
spitel dapat muncul setelah proses penyembuhan dari inflamasi kornea. Pemeriksaan
audiometri, tes kalori, elektronistagmografi dapat dilakukan untuk menilai fungsi
audiovestibular.2
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk menegakkan suatu sindrom Cogan. Tes
serologi diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding oleh karena sifilis dan
penyakit Lyme. Pemeriksaan laboratorium berupa hitung darah lengkap, urinalisis,
elektrolit serum, kreatinin, fungsi hati, dan sedimentasi eritrosit dibutuhkan untuk
melihat ada tidaknya keterlibatan sistemik. Pemeriksaan ESR (Erythrocyte
Sedimentation Rate) dan CRP (C-Reactive Protein) dapat bermanfaat untuk
memantau kondisi dari penyakit ini.2,3
Pemeriksaan marker inflamasi lain seperti APA (antiphospolipid antibody),
PR3 (proteinase 3), ANCA (anti neutrophil cytoplasmic antibody), RF (rheumatoid
factor) tidak terlalu spesifik, dan umumnya dapat dijumpai meningkat pada kasus ini.

13
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Begitu juga dengan pemeriksaan anti-Hsp 70 (anti heat-shock protein) tidak begitu
dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.3
Pemeriksaan penunjang lainnya berupa ekokardiografi dapat membantu
untuk menemukan adanya aortitis dengan disfungsi katup aorta. Angiografi koroner
juga dibutuhkan jika dijumpainya tanda dan gejala dari penyakit jantung iskemik.
Pasien dengan adanya gangguan fungsi pendengaran, dapat dilakukan pemeriksaan
CT atau MRI untuk menyingkirkan adanya suatu neuroma atau lesi serebelopontin
sebagai penyebab gangguan pendengaran yang asimetris.18

2.3.7. Diagnosis Banding


Beberapa penyakit memiliki kondisi yang sama dengan sindrom Cogan yang
berhubungan dengan gejala okuli dan audiovestibular antara lain: sifilis kongenital,
sindrom Susac (vaskulopati retinocochleaserebral), sindrom Vogt-Koyanagi-
Harada, dan penyakit sistemik lainnya (poliarteritis nodosa, wegener’s
granulomatosis, takayasu’s arteritis temporalis).2
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada berhubungan dengan audiovestibular dan
uveitis, alopesia, poliosis, dan vitiligo. Ini merupakan suatu kondisi uveoensefalitis
dengan tanda meningitis, penurunan fungsi penglihatan hingga kebutaan, tuli
sensorineural dan perubahan warna rambut (poliosis) atau alopesia. Tanda meningitis
terkadang dapat dijumpai pada sindrom Cogan, namun poliosis dan alopesia tidak
dijumpai pada sindrom Cogan.2
Sindrom Susac disebabkan lesi pada retina, cochlea, dan arteriola serebral.
Manifestasi yang muncul dapat berupa penurunan tajam penglihatan, tuli, dan
penyakit susunan saraf pusat.2
Wegener’s granulomatosis umumnya menyerang mata dan telinga. Lesi
hemoragik pada tenggorokan dan hidung, vaskulitis pada pembuluh darah kecil,
glomerulonefritis, infiltrat pada paru, dan kemunculan ANCA (Anti Neutrophil
Cytoplasmic Antibodies) dapat dijumpai pada penderita wegener’s granulomatosis.
Pasien dengan sindrom Cogan tidak memenuhi kriteria diagnostik pada wegener’s
granulomatosis. Penyakit ini biasanya sulit untuk didiagnosis pada stadium awal.2

14
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Pasien dengan poliangiitis sering mengalami inflamasi pada matanya.


Bedanya kondisi penyakit ini dengan sindrom Cogan ialah ditemukannya ANCA
pada 80 % kasus dan vaskulitisnya hanya terbatas pada pembuluh darah kecil.2
Penyakit Arteritis Takayasu merupakan suatu vaskulitis yang penyebabnya
tidak diketahui yang menyerang wanita muda. Keterlibatan fungsi visual dapat
dijumpai, namun keratitis dan skleritis jarang dijumpai pada kasus ini.2

2.3.8. Tatalaksana
Penanganan pada kasus sindrom Cogan berdasarkan derajat keparahan dan
keterlibatan organ. Pada kasus inflamasi mata yang ringan, pemilihan terapi yang
sesuai adalah glukokortikoid topikal dan agen siklopegik, seperti tetes mata atropin.
Pada suatu studi kasus, pemberian siklosporin A topikal berhasil pada kasus
inflamasi segmen anterior yang berat. Pasien dengan vaskulitis retina dan uveitis
posterior biasanya membutuhkan terapi sistemik. Pada kasus inflamasi mata yang
berat dengan keterlibatan telinga, dan adanya perkembangan vaskulitis sistemik,
maka dibutuhkan terapi imunosupresi sistemik.2
Penanganan kasus ini dapat meliputi terapi farmakologi dan terapi biologi.
Pada terapi farmakologi. Keratitis interstisial cukup berespon baik dengan tetes mata
kortikosteroid dan atropin lokal. Adanya keterlibatan sistem audiovestibular dapat
dimulai dengan terapi awal kortikosteroid sistemik (1 – 2 mg/kg/ hari prednison atau
perdnisolon). Terapi ini sebaiknya dihentikan jika tidak dijumpai perbaikan dalam 2
minggu. Tetapi jika memberikan perbaikan yang cukup berarti maka terapi ini dapat
dilanjutkan hingga 2 – 6 bulan. Tetapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang,
memberikan efek samping yang banyak antara lain osteoporosis, nekrosis sendi
aseptik, insufisiensi adrenal, gastrointestinal, hepatik, efek oftalmologis,
hiperlipidemia, dan pertumbuhan terganggu. Sejak penggunaan kortikosteroid dosis
tinggi dan pengobatan jangka panjang dibutuhkan, agen imunosupresif lain
siklofosfamid (Cyc), azathioprine (AZA), methotrexate (MTX), dan penghambat
TNF-α sering dikombinasikan dengan steroid. Infliximab tampak lebih efektif
sebagai terapi pada awal gejala audiovestibular dan pada pasien yang resisten dengan
terapi lain. Rituximab dapat bermanfaat untuk mencegah ketulian dan implan cochlea
pada kasus berat namun tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama.2,19,20

15
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Pada kondisi tuli sensorineural yang berat, pemasangan implan cochlea dapat
menjadi andalan untuk mempertahankan fungsi pendengaran. Umumnya hasil yang
didapatkan setelah operasi pemasangan implan cukup baik. Pada kondisi keratopati
lipid dapat dilakukan transplantasi kornea. Sedangkan pada glaukoma sekunder
akibat sindrom Cogan dapat dilakukan trabekulektomi dan pengobatan jangka
panjang. Kelainan jantung berupa aneurima, penyakit jantung iskemik, dan kelainan
katup, dapat dilakukan pemasangan aortic stent grafting dan operasi perbaikan
katup.3

2.3.9. Prognosis
Mortalitas pada kasus sindrom Cogan mencapai 10%. Pasien dengan
vaskulitis yang serius dapat mengurangi angka ketahanan hidup pasien. Kematian
pada kasus ini disebabkan oleh vaskulitis sistemik, komplikasi jantung (ruptur
aneurysma aorta, miokard infark, dan gagal jantung kongestif).21
Penyebab morbiditas paling sering dijumpai pada sindrom Cogan adalah
kehilangan pendengaran. Pada studi Grasland, 54 % pasien sindrom Cogan tipikal
dan 37 % sindrom Cogan atipikal mengalami kehilangan pendengaran bilateral.
Sementara itu kehilangan penglihatan jarang dijumpai oleh karena berespon baik
dengan penggunaan topikal steroid.3

16
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

BAB 3
KESIMPULAN

Penyakit sindrom Cogan merupakan penyakit jarang dan digambarkan


dengan manifestasi pada okuli dan audiovestibular. Sindrom Cogan yang tipikal
dikarakteristikkan dengan keratitis interstisial dan gangguan pendengaran,
sedangkan yang atipikal digambarkan dengan inflamasi okuli lainnya, disertai
manifestasi sistemik berupa vaskulitis. Etiopategenesis dari penyakit ini belum
begitu jelas, namun banyak studi yang mengkaitkannya dengan suatu proses
autoimun akibat rangsangan oleh suatu infeksi.
Sindrom ini diklasifikasikan menjadi tipikal dan atipikal berdasarkan
manifestasi yang terjadi pada okuli dan interval antara onset menifestasi pada okuli
dan manifestasi pada sistem audiovestibular. Keratitis interstisial menjadi tanda
utama pada sindrom Cogan yang tipikal, sedangkan pada tipe yang atipikal yang
dijumpai adalah jenis inflamasi lainnya.
Pemeriksaan pada mata dan telinga menjadi hal yang penting untuk
mendiagnosis penyakit ini. Pemeriksaan ulangan juga dianjurkan dalam hal
mencegah kesalahan diagnosis pada kasus ini. Tidak ada pemeriksaan spesifik yang
dapat menjadi indikator mutlak dalam mendiagnosis sindrom Cogan.
Kortikosteroid menjadi terapi lini utama pada sindrom Cogan, dan
memberikan hasil perbaikan pada fungsi audiovestibular. Terapi lain seperti
penggunaan obat – obatan imunosupresif telah dicoba dan memberikan hasil yang
bervariasi. Terapi pembedahan dapat dilakukan pada kondisi penyakit yang parah
dan disertai dengan komplikasi sistemik.

17
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Damacco R. Chapter 25: Cogan’s Syndrome. In: Damacco F, Ribatti D, Vacca


A. Systemic Vasculitides: Current Status and Perspective. Switzerland: Springer
Int. Pub. 2016. p. 289-97.
2. Adriana I.D, Mihaela T.C, Mehdi B, Algerino D.S, Cornel S. Cogan’s
Syndrome. Romanian Journal of Ophtalmology. 2015:59(1): 6 – 13.
3. Chang V. Cogan’s Syndrome. In: Papaliodis G.N. Uveitis: A Practical Guide to
the Diagnosis and Treatment of Intraocular Inflammation. Springer Int. Pub.
2017. p. 149 – 63.
4. American Academy of Ophtalmology. BCSC section 2: Fundamentals and
Principles of Ophtalmology. 2014. p. 37-81.
5. Faiz, O, Moffat, D, et al. Anatomy at a Glance. Blackwell Science. 2002.
p. 154-5.
6. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI . 2014. p. 3-10.
7. Schlote,T. Rohrbach,J. Grueb,M. Mielke,J. J Pocket atlas of ophtalmology .
Thieme. 2006. p. 2-7.
8. Riordan-Eva, Paul, and Whitcher J.P. Vaughan & Asbury: Oftalmologi
Umum. Jakarta: EGC. 2014. p. 5-14.
9. Sherwood, Lauralee. Human physiology: from cells to systems. Cengage
learning, 2015. p. 211-21.
10. Barrett, Kim E., et al. Ganong’s 23th edition: Review of Medical
Physiology. Lange Medical Book. 2010. p. 181-98
11. Bowling, Brad, et.al. Kanski Clinical Ophtalmology a systematic approach 8th
edition. Elsevier. 2016. p. 196-7.
12. Durtette C, Hachulla E, Resche-Rigon M, Papo T, Zenone T, Lioger B. Cogan
Syndrome: Characteristic, Outcome and Treatment, in a French Nationwide
Retrospective Study and Literature Review. Autoimmunity Reviews. 2017. p. 1-
15.
13. Masiak A, Waskowska A, Lipowski P, Smolenska Z, Przewozny T, Zdrojewski
Z. Diagnostic Difficulties of Cogan Syndrome. J of Clinical Case Reports.
2016:6(1); 1 – 5.
14. American Academy of Ophtalmology. BCSC section 2: External Disease and
Cornea. 2014. p. 195.
15. Kessel A, Vadasz Z, Toubi E. Cogan’s Syndrome – Pathogenesis, Clinical
Variants, and Treatment Approach. Elsevier: Autoimmune Reviews 3.
2014. p. 351-4.
16. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI . 2014.

18
PAPER NAMA : FARID AULIA NST
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100089
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

17. Lang GK. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas. Thieme; 2006.


18. Tayer-Shifman O.E, Ilan O, Tovi H, Tal Y. Cogan’s Syndrome – Clinical
Guidelines and Novel Therapeutic Approach. Springer: Clinic Rev Allerg
Immunology. 2014.
19. D’Aguanno V, Ralli M, de Vincentiis M, Greco A. Optimal Management of
Cogan’s Syndrome: A Multidisciplinary Approach. J of Multidisciplinary
Healthcare. 2018: 11. p. 1-11.
20. Cimino L, Fontana L, Salvarani C. Cogan’s Syndrome. In: Zierhut M, Pavesio
C, Ohno S, Orefice F, Rao N.A. Intraocular Inflammation. Springer – Verlag
Berlin Heidelberg. 2016. p. 749-54.
21. Sevgi D.D., Sobrin L, Papaliodis G.N. Case Report: Cogan Syndrome with
Severe Medium and Large Vessel Vasculitis. Digital Journal of Ophtalmology.
2015:22. p. 32-4.

19

Anda mungkin juga menyukai