Anda di halaman 1dari 21

PENDEKATAN HOLISTIK KOMPREHENSIF PADA KEJADIAN STUNTING

Penyusun:

Fatah Jati Pamungkas (202020401011091)

Pembimbing :

Dr. dr. Febri Endra Budi Setiawan., M.Kes, FISPH, FISCM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis
dapat menyelesaikan Laporan Program Elektif Webinar “Pendekatan Holistik Komprehensif
Pada Kejadian Stunting”.
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik elektif. Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kegiatan ini, terutama kepada Dr. dr Febri Endra Budi Setiawan., M.Kes,
FISPH,FISCM, selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis
dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kegiatan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan
ini dapat memberikan manfaat.

Trenggalek, 8 April 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................4
DAFTAR TABEL......................................................................................................................5
BAB 1.........................................................................................................................................6
Pendahuluan...............................................................................................................................6
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................6
1.2 Tujuan..........................................................................................................................7
BAB 2.........................................................................................................................................8
Tinjauan Pustaka........................................................................................................................8
2.1 Konsep/Definisi................................................................................................................8
2.2 Epidemiologi....................................................................................................................8
2.3 Patofisologi/Proses...........................................................................................................9
2.4 Gejala..............................................................................................................................10
2.5 Diagnosis........................................................................................................................10
2.6 Tatalaksana.....................................................................................................................13
BAB 3.......................................................................................................................................18
Pembahasan..............................................................................................................................18
BAB 4.......................................................................................................................................20
Penutup.....................................................................................................................................20
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................................20
4.2 Saran...............................................................................................................................20
Daftar Pustaka..........................................................................................................................21

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Diagnosis Stunting 13

4
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Petunjuk Pemeriksaan Klinis Pada Stunting 11

5
BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 terdapat 30,8% balita dengan
status gizi pendek dan sangat pendek, sedangkan di Jawa Barat sebanyak 31,1%. Terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2015.2 Di Jawa Barat, terdapat 12,9% balita usia 0-23 bulan
dan 4,2% balita sangat pendek usia 0-23 bulan pada tahun 2015.1

Stunting memiliki dampak terhadap kehidupan anak, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, berupa peningkatan risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas yang
disebabkan oleh infeksi. Selain itu, stunting dapat menyebabkan gangguan kognitif dan
perilaku. Anak dengan stunting pada dua tahun pertama cenderung untuk masuk sekolah
lebih lambat dibandingkan anak seusianya dan mendapatkan nilai yang lebih rendah. Dampak
stunting lainnya adalah risiko terjadinya sindrom metabolik yang meningkat, seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes melitus tipe 2 pada saat anak tersebut
dewasa. Lebih dari itu, anak dengan stunting cenderung memiliki status sosial ekonomi lebih
rendah kemudian hari akibat penurunan produktivitas.1

Dalam hal balita stunting, faktor yang dapat memengaruhi terdiri dari faktor prenatal dan
postnatal. Kondisi kesehatan dan nutrisi ibu saat hamil dapat memengaruhi pertumbuhan
janin. Adapun faktor postnatal yang dapat menyebabkan stunting di antaranya infeksi,
lingkungan, dan nutrisi. Infeksi yang parah dan berulang meningkatkan risiko kejadian
stunting.6 Sementara itu, pemenuhan nutrisi dari pola pengasuhan dan praktik pemberian
makan yang tepat.1

Makanan pendamping ASI (MPASI) merupakan makanan dan cairan tambahan yang
diberikan kepada anak usia 6-23 bulan karena ASI tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi anak. Pentingnya memberikan MPASI pada usia 6-23 bulan disebabkan oleh insiden
kegagalan pertumbuhan, defisiensi mikronutrien, dan infeksi paling tinggi pada usia tersebut.
Dalam pemberian MPASI perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu waktu pemberian,
pemberian kuantitas dan kualitas, serta cara pemberian makanan dengan responsif.1

Faktanya, sekarang ini MPASI diberikan tidak sesuai waktunya, baik terlalu cepat
maupun terlalu lambat, serta kuantitas dan kualitas makanan yang diberikan tidak sesuai
6
sehingga kebutuhan nutrisi anak tidak tercukupi. Pada tahun 2007, di Indonesia hanya
terdapat 32,4% anak yang mendapatkan ASI eksklusif hingga usia enam bulan dan hanya
52,9% anak yang diberi makan sejumlah frekuensi minimal atau lebih, serta masih terdapat
anak yang mendapat makanan atau minuman melalui botol dengan dot sebanyak 27,6%.9 Hal
tersebut menunjukkan pola pemberian makan kepada anak di Indonesia yang belum
sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi WHO.1

Kondisi stunting menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia
karena prevalensi yang tinggi dan dampak yang besar. Salah satu penyebab terjadinya
stunting adalah praktik mempersembahkan makan anak yang kurang tepat. Hal tersebut dapat
diintervensi untuk mencegah kejadiannya. Hal khusus yang dicapai pada penelitian ini adalah
untuk mengetahui perilaku ibu dalam praktik pemberian makan pada anak usia 12-23 bulan
dengan kejadian stunting.1

1.2 Tujuan

Untuk Mengetahui dan Memhami Definisi, Epidemiologi, Patofisiologi, Gejala,


Diagnosis dan Tatalaksana Stunting secara Holistik dan Komprehensif

7
BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1 Konsep/Definisi

Stunting merupakan kondisi kurang gizi kronis yang disebabkan kebutuhan gizi yang
tidak terpenuhi dalam waktu lama. Stunting didefinisikan sebagai panjang badan menurut
umur (PB/U) di bawah minus dua ambang batas atau Z score.2

2.2 Epidemiologi

Arab Saudi mencatat frekuensi perawakan pendek yang relatif tinggi, yaitu pada anak
laki-laki; studi menemukan prevalensi 11,3% pada anak-anak dan 1,8% pada remaja. Pada
anak perempuan, perawakan pendek terjadi pada 10,5% anak-anak dan 1,2% pada remaja.
Namun, peneliti menemukan tingkat prevalensi perawakan pendek di Yordania adalah 4,9%.3

Sebuah studi pada populasi Galicia dari Spanyol telah mencatat 1% anak-anak dengan
perawakan pendek karena kekurangan gizi di antara 7438 anak-anak yang direkrut.[16]
Sebaliknya, studi longitudinal yang dilakukan di Kobe, Jepang, pada 27228 bayi, yang lahir
kecil untuk usia kehamilan (SGA), mendokumentasikan bahwa hanya 15 bayi, yaitu, tingkat
prevalensi 0,06%, memenuhi kriteria untuk pengobatan GH. 17] Padahal hanya 555 anak dari
114881 anak di Amerika Serikat yang bertubuh pendek.3

Sebuah studi dari India Selatan mencatat tingkat prevalensi 2,86% pada anak-anak
sekolah. Studi ini meneliti 15644 anak, di mana 448 (2,86%) di antaranya memiliki
perawakan pendek. Alasan utama di balik perawakan pendek adalah genetika dan
keterlambatan konstitusional dalam pertumbuhan pada 66,67% anak-anak, sedangkan
13,79% dan 9,20% masing-masing memiliki hipotiroidisme dan defisiensi hormon
pertumbuhan. Hanya 6,69% anak yang dilaporkan memiliki perawakan pendek akibat
malnutrisi.3

Di Indonesia, Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 terdapat 30,8%
balita dengan status gizi pendek dan sangat pendek, sedangkan di Jawa Barat sebanyak
31,1%. Terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2015.2 Di Jawa Barat, terdapat 12,9% balita
usia 0-23 bulan dan 4,2% balita sangat pendek usia 0-23 bulan pada tahun 2015.3

8
2.3 Patofisologi/Proses

Proses pertumbuhan dan perkembangan manusia, yang memakan waktu hampir 20


tahun adalah fenomena yang kompleks. Proses pertumbuhan di bawah kendali genetik dan
pengaruh lingkungan, yang beroperasi sedemikian rupa sehingga, pada waktu tertentu selama
periode pertumbuhan, satu atau yang lain mungkin merupakan pengaruh dominan. Pada masa
konsepsi, terdapat blueprint (cetak biru) genetik yang mencakup potensi untuk mencapai
ukuran dan bentuk dewasa tertentu. Lingkungan mengubah potensi ini. Ketika lingkungan
netral, tidak memberikan pengaruh negatif pada proses pertumbuhan, potensi genetik dapat
sepenuhnya diwujudkan. Namun demikian kemampuan pengaruh lingkungan untuk
mengubah potensi genetik tergantung pada banyak faktor, termasuk waktu di mana mereka
terjadi; kekuatan, durasi, frekuensi kemunculannya; dan usia serta jenis kelamin anak.4

Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan manusia, kelenjar endokrin yang berperan
penting adalah kelenjar hipofisis, yang terletak di bawah dan sedikit di depan hipotalamus.
Suplai darah yang kaya dalam infundibulum, yang menghubungkan dua kelenjar, membawa
hormon pengatur dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis. Hipofisis memiliki lobus anterior
dan posterior. Lobus anterior, atau adenohipofisis, melepaskan hormon utama yang
mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan manusia yaitu hormon pertumbuhan
(Growth Hormone/GH), hormon perangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormone (TSH),
prolaktin, gonadotrofin (Luteinizing dan hormon perangsang folikel), dan hormon
adrenocorticotropik (ACTH).4

Pertumbuhan normal tidak hanya bergantung pada kecukupan hormon pertumbuhan


tetapi merupakan hasil yang kompleks antara sistem saraf dan sistem endokrin. Hormon
jarang bertindak sendiri tetapi membutuhkan kolaborasi atau intervensi hormon lain untuk
mencapai efek penuh. Hormon pertumbuhan menyebabkan pelepasan faktor pertumbuhan
mirip insulin (Insulin like Growth Factor 1 (IGF-1)) dari hati. IGF-1 secara langsung
mempengaruhi serat otot rangka dan sel-sel tulang rawan di tulang panjang untuk
meningkatkan tingkat penyerapan asam amino dan memasukkannya ke dalam protein baru,
sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan linear selama masa bayi dan masa kecil. Pada
masa remaja, percepatan pertumbuhan remaja terjadi karena kolaborasi dengan hormon
gonad, yaitu testosteron pada anak laki-laki, dan estrogen pada anak perempuan.4

9
Ada banyak bukti dari penelitian tentang anak-anak dengan perawakan pendek yang
tidak normal terjadi akibat faktor lingkungan yang mengganggu sistem endokrin,
menyebabkan pengurangan dalam pelepasan hormon pertumbuhan. Namun, hormon lain juga
terpengaruh, membuat penyebab gangguan pertumbuhan menjadi kompleks.4

2.4 Gejala
Menurut Kemenkes RI, balita bisa diketahui stunting bila sudah diukur panjang atau
tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasil pengukurannya ini berada pada
kisaran di bawah normal. Seorang anak termasuk dalam stunting atau tidak, tergantung dari
hasil pengukuran tersebut. Jadi tidak bisa hanya dikira-kira atau ditebak saja tanpa
pengukuran. Selain tubuh yang berperawakan pendek dari anak seusianya, ada juga ciri-ciri
lainnya yakni:5

 Pertumbuhan melambat
 Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya
 Pertumbuhan gigi terlambat
 Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya
 Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata
terhadap orang di sekitarnya
 Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun.
 Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menarche (menstruasi pertama
anak perempuan).
 Anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi.

2.5 Diagnosis

dalam menghadapi anak dengan perawakan pendek diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (Tabel 2.1).5

10
11
Pemeriksaan yang baik dan terarah diperlukan agar dapat diketahui etiologi dan
menghindari pemeriksaan yang tidak perlu. Kriteria awal untuk mendiagnosis anak dengan
perawakan pendek adalah:5

• Tinggi badan <P3

• Kecepatan tumbuh <P25

• Perkiraan tinggi akhir dibawah tinggi potensi genetic

c. Perkiraan tinggi akhir:

Perkiraan tinggi akhir berdasarkan mid-parental height dan potensi tinggi genetik
ditampilkan dibawah ini.5

Perhitungan mid-parental height dan potensi tinggi genetik

Mid-parental height:

Laki-laki = [tinggi badan Ayah (cm)] + [tinggi badan Ibu (cm) + 13] 2

Perempuan = [tinggi badan Ayah (cm) – 13] + [tinggi badan Ibu (cm)] 2

Potensi tinggi genetik: Mid-parental height ± 8,5 cm

Pemeriksaan penunjang yang sederhana dan menentukan adalah menginterpretasikan


data-data tinggi badan dengan menggunakan kurva pertumbuhan yang sesuai. Oleh karena
malnutrisi dan penyakit kronik masih merupakan penyebab utama perawakan pendek di
Indonesia, maka pemeriksaan darah tepi lengkap, urin dan feces rutin, laju endap darah,

12
elektrolit serum, dan pemeriksaan usia tulang, merupakan langkah pertama dan strategis
untuk mencari etiologi perawakan pendek.5

Bila tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan skrining tersebut, maka dilakukan
pemeriksaan khusus yaitu kadar hormon pertumbuhan, IGF-1, analisis kromosom, analisis
DNA, dan lain-lain sesuai indikasi.5

Gambar 2.1 Alur Diagnosis Stunting5

13
2.6 Tatalaksana

Pada varian normal perawakan pendek tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup
observasi saja bahwa diagnosisnya memang varian normal bukan yang patologis. Namun
akhir-akhir ini sudah muncul beberapa penelitian yang menggunakan aromatase inhibitor
sebagai terapi ajuvan atau tunggal pada Familial Short Stature dan Constitutional Delay of
Growth and Puberty. Hingga laporan mengenai hasil final terapi tersebut yaitu tinggi dewasa
yang dicapai belum ada, maka sebaiknya tidak digunakan secara rutin. Dasar pemikiran
penggunaan aromatase inhibitor adalah menghambat kerja estrogen pada lempeng
pertumbuhan.6

Indikasi pemberian Growth Hormone (GH) pada saat ini adalah anak pendek yang
disebabkan oleh defisiensi GH, Sindrom Turner, insufisiensi ginjal kronis, Sindrom Prader
Willi, Sindrom Noonan, defisiensi SHOX dan bayi KMK. Semakin dini pemberian GH maka
prognosis akan semakin baik.6

Prevalens defisiensi GH diperkirakan antara 1:3500-4000 dengan 70% diantaranya


merupakan isolated GH deficiency. Tinggi badan dewasa penderita defisiensi GH yang tidak
diobati adalah 134–146 cm (pria) dan 128–134 cm (wanita). Sindrom Turner terjadi pada
1:2500 bayi lahir (perempuan) dan klinis yang khas adalah perawakan pendek dengan
pubertas terlambat pada perempuan. Walaupun tidak menderita defisiensi GH, tinggi badan
dewasa adalah rata-rata 21 cm dibawah midparental height atau 136-147 cm.6

Pada sindrom Prader Willi, tidak ditemukan defisiensi GH juga namun tinggi dewasa
akan mencapai 154 cm (pria) dan 145-149 (wanita). Insidens diperkirakan antara 1:20000-
50000. Selain berefek pada perbaikan TB, pemberian GH juga berdampak positif pada
komposisi tubuh.6

Kurang lebih 80% anak yang lahir Kecil Masa Kehamilan (KMK) mengalami catch
up pada 6 bulan pertama kehidupan dan berakhir pada usia 2 tahun, kadang-kadang hingga
usia 4 tahun. Antara 10-15% akan tetap pendek hingga usia dewasa. Pemberian GH
terindikasi apabila hingga usia 4 tahun masih SS.6

Pemberian GH pada anak dengan defisiensi SHOX (short stature homeobox-


containing gene) diizinkan FDA sejak tahun 2006. Pada kasus ini secara klinis ditemukan
gejala dan tanda yaitu anak pendek, deformitas Madelung, dan palatum tinggi. Defisiensi
SHOX diperkirakan merupakan penyebab utama perawakan pendek pada sindrom Turner.6

14
Pencegahan Stunting7
Mencegah stunting dari persiapan pernikahan (WUS), kehamilan, menyusui, batita,
balita, remaja. Dengan tatalksana nutrisi optimal di masa persiapan pernikahan (WUS),
kehamilan, menyusui, batita, balita, remaja. Sehingga stunting dapat dicegah dan
diminimalisir
Optimalisasi Gizi Sesuai Siklus Kehidupan7
Jalur hijau: ketika stunting dapat dicegah oleh intervensi (perbaikan pola makan,
mencegah infeksi, dsb). Termasuk jalur hijau: Konsepsi  neonates 6 bulan  2 tahun
Jalur ungu: ketika beberapa catch-up pertumbuhan linear (TB) dapat terjadi, meskipun efek
pada komponen lain dari stunting (misalnya kognisi dan fungsi kekebalan tubuh) masih
belum jelas. Termasuk jalur ungu: Usia 2 tahun  Usia sekolah dan Dewasa  Konsepsi.
Jalur merah: menunjukkan periode ketika sindrom stunting tidak responsive terhadap
intervensi. Termasuk jalur merah: Usia sekolah  Pubertas  Dewasa.
Wanita usia subur harus mengatur dari remja, kehamilan, menyusui hingga ditularkan ke
anak.
Kebutuhan Nutrisi7
Dihitung dari jumlah kuantitas dan kualitas terdiri dari makronutrien ( Karbohidrat,
protein, lemak) dan mikronutrien (Vitamin (A,B,C,D,E,K), mineral (Zn, Fe, F,Cr, Ca, Na,
K,Co, Mg, P), air dan serat.
Dihitung dari: Jumlah (RDA, Schofield, WHO), Jenis/bentuk (per 2-3 jam; 6-8x/hari),
jurus memasak (rebus, kukus, tim, tumis, panggan, goreng, santan), jurus memberikan
(disulang, makan sendiri dengan sendok atau tangan)
Tantangan pada Wanita Usia Subur (WUS)7
Wanita sudah harus mengatur dirinya seperti berhenti merokok, menurunkan berat
badan bila overweight, makan makanan seperti sayur dan buah minimal 3 bulan sebelum
kehamilan.
Pola makan Wanita Subur7
Seorang wanita subur sudah harus mengatur porsi makanan dengan komposisi 1/3
makanan pokok, 1/3 sayur, 1/6 lauk pauk, dan 1/6 buah. Dalam persentase bisa juga 50%
sayuran dan buah, 33% makanan pokok dan 17% lauk pauk. Namun, pada kenyataannya 74%
porsi terletak pada makanan pokok, 17% lauk pauk dan 9% sayur dan buah. Risiko bayi lahir
dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan premature terjadi pada:
- Wanita sebelum kehamilan mengalami malnutrisi

15
- Jarak persalinan yang terlalu dekat (< 18 bulan)
- Kehamilan saat usia remaja (Indonesia: 7% 15-19 tahun memiliki anak pertama)

Nutrisi Ibu Hamil7


Ada beberaa poin penting tentang nutrisi ibu saat hamil:
- Variasi makanan pada saat hamil akan menurunkan resiko alergi pada bayi.
- Bayi mendapat cadangan besi dari ibu selama dalam kandungan dan cadangan zat besi
dapat bertahan hingga 6 bulan setelah lahir
- Stunting 20% terjadi di dalam Rahim.
Persiapan persalinan7
- Delayed cord clamping ( potong tali pusat setelah 1 menit)
- Persiapan inisial menyusui dini (IMD)
- Konsultasikan untuk rawat gabung setelah persalinan
- Mempelajari Teknik menyusui sedini mungkin
Pedoman Gizi Seimbang untuk Bayi dan Anak usia 0-24 bulan7
- Makanan seimbang untuk bayi dan anak sampai umur 2 tahun terdiri dari air susu ibu
(ASI) dan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI)
- MP-ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi/anak di samping ASI untuk memenuhi
gizinya
- MP-ASI harus diberikan paling cepat pada usia 4 bulan dan paling lambat usia 6 bulan
Kandungan ASI7
Kolustrum mengandung 2.000.000 unti di hari pertama melahirkan, 1.000.000 unit di
hari ke 2, 500.000 unti di hari ke 3 dan seterusnya hingga 500 unit di hari ke 14. Dimana
kolustrum tersebut mengandung antibodi. Kandungan ASI dipengaruhi makanan ibu seperti
Thiamine (B1), Riboflavin (B2), Vitamin B6, Vitamin B12, Vitamin A, Iodine, Selenium,
Essential Fattu Acid.
Anjuran Pemberian ASI7
Usia 0-6 bulan ASI ekslusif memenuhi 100% kebutuhan.
Usia 6-12 bulan: Asi memenuhi 60-70% kebutuhan, perlu makanan pendamping ASI yang
adekuat.
12 Bulan: ASI hanya memenuhi 30% kebutuhan, ASI tetap diberikan untuk keuntungan
lainnya. Cara membuat

16
Bayi 6-8 bulan dengan nasi putih 30 gr, dadar telur 35 gr dan sayur kare wortel 20 gr yang
dihaluskan. Bayi 9-11 bulan: nasi putih 45 gr, ikan kemung bumbu kuning 30 gr serta tumis
buncis 25 gr yang dicincang. Anak 12-23 bulan: nasi putih 55 gr, semur hati ayam 45 gr,
sayur bening atau bayam 20 gr.
Jadi seorang ibu harus memiliki insting untuk pembuatan MP-ASI bagi si anak tanpa harus
bergantung pada pengasuh anak.
Nutrisi Pada Kondisi Stunting7
- Tidak berdiri sendiri
- Terapi optimal penyakit yang menyertai
- Pemberian nutrisi (kualitas & kuantitas) disesuaikan dengan kondisi klinis,
kemampuan dalam menerima makanan (riwayat nutrisi), kemampuan keluarga dalam
menyediakan makanan (status social ekonomi)
- Start slow, go slow  small frequency  monitor
- Kerjasama dengan orang tua, pengasuh anak anggota keluarga lain
- Perlu effort yang lebih besar

17
BAB 3

Pembahasan

Stunting bukanlah hal baru, namun masih belum tuntas dalam penyelesaian stunting.
Data Riskesdas menyatakan bahwa 1 dari 3 balita itu mengalami stunting. Meskipun datanya
menurun, namun ternyata apabila dibandingkan dengan Negara tetangga di ASEAN itu
kasusnya kita masih tinggi. Sehingga perlu peran serta masyarakat untuk melakukan
pencegahan pada stunting.7
Penyebab penyakit dari segitiga epidemiologi bisa karena host, agent, dan
environment dan apabila seimbang, tidak timbul masalah kesehatan. Sedangkan dari La
Londe Bloom peran layanan kesehatan juga harus dipertimbangkan.7
Dari faktor genetik harus dipertimbangkan karena dari ibu yang stunting, anak bisa
jadi stunting. Faktor lingkungan juga harus dijaga hyegienitas dari lingkungan untuk
menyelesaikan masalah stunting. Dari faktor perilaku, orang tua khususnya ibu mempunyai
peran yang besar dalam tumbuh kembang anak dan peran ayah juga tidak boleh diabaikan.
Sektor kesehatan di SDGs ada pada berikut.7
Tujuan ke 2  bagaimana cara mengatasi kelaparan, ketahanan pangan dan meningkatkan
gizi.
Tujuan ke 3  bagaimana menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan
bagi semua orang di segala usia. Indonesia masih memerlukan perhatian khusus tentang
kematian akibat penyakit tidak menular, saat membeli makanan lewat aplikasi juga perlu
membuat menu tentang apa yang diperlukan oleh tubuh kita, adanya polusi udara, air dan
tanah akibat kasus corona, ini harus diambil langkah yang bijak dalam mengatasi hal berikut.
7

Tujuan ke 5 kesetaraan gender, tentang kesamaan fungsi, tugas, dan berkarya.


Tujuan ke 6 kebersihan lingkungan, pengelolaan air, serta sanitasi yang berkelanjutan bagi
semua orang. Di Indonesia sulit untuk mendapatkan air bersih, sehingga perlu pemipaan.
Belum lagi kalau masa kemarau.7

18
Pada saat era pandemi. Telemedicine harus dipastikan bahwa kedua pihak tidak
mengalami miskomunikasi, kemudian juga diperlukan peran serta dari banyak institusi yang
bisa mensupport secara ekonomi, antar tetangga juga dapat diberdayakan untuk menghindari
kejadian stunting.7
Peran keluarga juga sangat penting, lalu bagaimana cara menjaga kebersihan
lingkungannya. Sehingga benar bahwa 1000 hari pertama kehidupan harus diperhatikan.
Kadangkala posyandu hanya sekedar timbang badan, tanpa adanya evaluasi hasil posyandu
tadi. Sehingga harus hati-hati dan harus bisa dilakukan sebuah intervensi disitu.7
Peran di bidang kesehatan, pendekatan upaya komprehensifnya meliputi promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif secara simultan tidak boleh sepotong-sepotong. Masyarakat
dapat melakukan tindakan promotif dan preventif terkait kejadian stunting sehingga
pendekatan holistik komprehensif harus terintegrasi dan harus berhubungan dengan berbagai
sektor untuk intervensi terhadap kejadian stunting tersebut. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah pemberdayaan orang terdekat. Jangan hanya pada si Ibu saja, sehingga juga harus
melibatkan bapaknya, anaknya dan seterusnya. Yang penting adalah komitmen dan visi dari
pemimpin kita tentang meminimalkan kejadian stunting. Perubahan perilaku adanya
koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah pusat dan daerah dan harusnya ada pemantauan
dan evaluasi. Apabila program tidak berjalan harusnya ada program baru untuk menggantikan
program yang tidak berjalan tadi.7

19
BAB 4

Penutup

4.1 Kesimpulan

Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan
otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak
normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Kekurangan gizi dalam waktu
yang lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal

Kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya


akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya
keragaman pangan dan sumber protein hewani. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik
terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab
anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa
remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh
pada pertumbuhan tubuh dan otak anak

Stunting merupakan hal yang dianggap orangtua sebagai sesuatu yang biasa. Orangtua
menganggap bahwa anak mereka masih bisa mengalami pertumbuhan sebab usianya masih
balita padahal bila stunting tidak terdeteksi secara dini, minimal sebelum berusia 2 tahun,
maka perbaikan untuk gizinya akan mengalami keterlambatan untuk tahun berikutnya, maka
lebih penting pencegahan daripada mengobati untuk stunting.

4.2 Saran

Stunting adalah bentuk kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi ketidakcukupan


nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Kekurangan
nutrisi bisa terjadi ketika bayi masih di dalam kandungan maupun setelah lahir. Untuk itu

20
sebegai seorang ibu harus memperhatikan Gizi anaknya dengan baik. Agar anak dapat
tumbuh dengan normal dan sehat. Dengan adanya stunting maka ada upaya intervensi yang
meliputi pemantauan pada saat ibu hamil, pada saat bayi lahir, pada saat bayi berusia 6 bulan
sampai 2 tahun, memantau pertumbuhan balita di posyandu, dan perilaku hidup bersih dan
sehat. Sehingga dapat mengurangi prevalensi stunting yang terjadi di indonesia.

Daftar Pustaka

1. Rusmil VK, Ikhsani R, Dhamayanti M, Hafsah T. Hubungan Perilaku Ibu dalam


Praktik Pemberian Makan pada Anak Usia 12-23 Bulan dengan Kejadian Stunting di
Wilayah Kerja Puskesmas Jatinangor. Sari Pediatri. 2019 May 16;20(6):366-74.
2. Dfajf
3. Rani D, Shrestha R, Kanchan T, Krishan K. Short stature. InStatPearls [internet] 2020
Apr 15. StatPearls Publishing.
4. Candra A. Patofisiologi Stunting. JNH (Journal of Nutrition and Health).
2020;8(2):74-8.
5. IDAI, Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Perawakan Pendek pada
Anak dan Remaja di Indonesia, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017
6. Partini P, Mulyadi M., Djer H., A. Sjakti Titis Pr. Best Practices in Pediatrics. Ikatan
Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta 2013
7. Webinar Tips Pencegahan Stunting, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, Jawa Timur, 13 Agustus 2021.

21

Anda mungkin juga menyukai