Penyusun:
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis
dapat menyelesaikan Laporan Program Elektif Webinar “Pendekatan Holistik Komprehensif
Pada Kejadian Stunting”.
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik elektif. Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kegiatan ini, terutama kepada Dr. dr Febri Endra Budi Setiawan., M.Kes,
FISPH,FISCM, selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis
dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kegiatan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan
ini dapat memberikan manfaat.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................4
DAFTAR TABEL......................................................................................................................5
BAB 1.........................................................................................................................................6
Pendahuluan...............................................................................................................................6
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................6
1.2 Tujuan..........................................................................................................................7
BAB 2.........................................................................................................................................8
Tinjauan Pustaka........................................................................................................................8
2.1 Konsep/Definisi................................................................................................................8
2.2 Epidemiologi....................................................................................................................8
2.3 Patofisologi/Proses...........................................................................................................9
2.4 Gejala..............................................................................................................................10
2.5 Diagnosis........................................................................................................................10
2.6 Tatalaksana.....................................................................................................................13
BAB 3.......................................................................................................................................18
Pembahasan..............................................................................................................................18
BAB 4.......................................................................................................................................20
Penutup.....................................................................................................................................20
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................................20
4.2 Saran...............................................................................................................................20
Daftar Pustaka..........................................................................................................................21
3
DAFTAR GAMBAR
4
DAFTAR TABEL
5
BAB 1
Pendahuluan
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 terdapat 30,8% balita dengan
status gizi pendek dan sangat pendek, sedangkan di Jawa Barat sebanyak 31,1%. Terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2015.2 Di Jawa Barat, terdapat 12,9% balita usia 0-23 bulan
dan 4,2% balita sangat pendek usia 0-23 bulan pada tahun 2015.1
Stunting memiliki dampak terhadap kehidupan anak, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, berupa peningkatan risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas yang
disebabkan oleh infeksi. Selain itu, stunting dapat menyebabkan gangguan kognitif dan
perilaku. Anak dengan stunting pada dua tahun pertama cenderung untuk masuk sekolah
lebih lambat dibandingkan anak seusianya dan mendapatkan nilai yang lebih rendah. Dampak
stunting lainnya adalah risiko terjadinya sindrom metabolik yang meningkat, seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes melitus tipe 2 pada saat anak tersebut
dewasa. Lebih dari itu, anak dengan stunting cenderung memiliki status sosial ekonomi lebih
rendah kemudian hari akibat penurunan produktivitas.1
Dalam hal balita stunting, faktor yang dapat memengaruhi terdiri dari faktor prenatal dan
postnatal. Kondisi kesehatan dan nutrisi ibu saat hamil dapat memengaruhi pertumbuhan
janin. Adapun faktor postnatal yang dapat menyebabkan stunting di antaranya infeksi,
lingkungan, dan nutrisi. Infeksi yang parah dan berulang meningkatkan risiko kejadian
stunting.6 Sementara itu, pemenuhan nutrisi dari pola pengasuhan dan praktik pemberian
makan yang tepat.1
Makanan pendamping ASI (MPASI) merupakan makanan dan cairan tambahan yang
diberikan kepada anak usia 6-23 bulan karena ASI tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi anak. Pentingnya memberikan MPASI pada usia 6-23 bulan disebabkan oleh insiden
kegagalan pertumbuhan, defisiensi mikronutrien, dan infeksi paling tinggi pada usia tersebut.
Dalam pemberian MPASI perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu waktu pemberian,
pemberian kuantitas dan kualitas, serta cara pemberian makanan dengan responsif.1
Faktanya, sekarang ini MPASI diberikan tidak sesuai waktunya, baik terlalu cepat
maupun terlalu lambat, serta kuantitas dan kualitas makanan yang diberikan tidak sesuai
6
sehingga kebutuhan nutrisi anak tidak tercukupi. Pada tahun 2007, di Indonesia hanya
terdapat 32,4% anak yang mendapatkan ASI eksklusif hingga usia enam bulan dan hanya
52,9% anak yang diberi makan sejumlah frekuensi minimal atau lebih, serta masih terdapat
anak yang mendapat makanan atau minuman melalui botol dengan dot sebanyak 27,6%.9 Hal
tersebut menunjukkan pola pemberian makan kepada anak di Indonesia yang belum
sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi WHO.1
Kondisi stunting menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia
karena prevalensi yang tinggi dan dampak yang besar. Salah satu penyebab terjadinya
stunting adalah praktik mempersembahkan makan anak yang kurang tepat. Hal tersebut dapat
diintervensi untuk mencegah kejadiannya. Hal khusus yang dicapai pada penelitian ini adalah
untuk mengetahui perilaku ibu dalam praktik pemberian makan pada anak usia 12-23 bulan
dengan kejadian stunting.1
1.2 Tujuan
7
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Konsep/Definisi
Stunting merupakan kondisi kurang gizi kronis yang disebabkan kebutuhan gizi yang
tidak terpenuhi dalam waktu lama. Stunting didefinisikan sebagai panjang badan menurut
umur (PB/U) di bawah minus dua ambang batas atau Z score.2
2.2 Epidemiologi
Arab Saudi mencatat frekuensi perawakan pendek yang relatif tinggi, yaitu pada anak
laki-laki; studi menemukan prevalensi 11,3% pada anak-anak dan 1,8% pada remaja. Pada
anak perempuan, perawakan pendek terjadi pada 10,5% anak-anak dan 1,2% pada remaja.
Namun, peneliti menemukan tingkat prevalensi perawakan pendek di Yordania adalah 4,9%.3
Sebuah studi pada populasi Galicia dari Spanyol telah mencatat 1% anak-anak dengan
perawakan pendek karena kekurangan gizi di antara 7438 anak-anak yang direkrut.[16]
Sebaliknya, studi longitudinal yang dilakukan di Kobe, Jepang, pada 27228 bayi, yang lahir
kecil untuk usia kehamilan (SGA), mendokumentasikan bahwa hanya 15 bayi, yaitu, tingkat
prevalensi 0,06%, memenuhi kriteria untuk pengobatan GH. 17] Padahal hanya 555 anak dari
114881 anak di Amerika Serikat yang bertubuh pendek.3
Sebuah studi dari India Selatan mencatat tingkat prevalensi 2,86% pada anak-anak
sekolah. Studi ini meneliti 15644 anak, di mana 448 (2,86%) di antaranya memiliki
perawakan pendek. Alasan utama di balik perawakan pendek adalah genetika dan
keterlambatan konstitusional dalam pertumbuhan pada 66,67% anak-anak, sedangkan
13,79% dan 9,20% masing-masing memiliki hipotiroidisme dan defisiensi hormon
pertumbuhan. Hanya 6,69% anak yang dilaporkan memiliki perawakan pendek akibat
malnutrisi.3
Di Indonesia, Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 terdapat 30,8%
balita dengan status gizi pendek dan sangat pendek, sedangkan di Jawa Barat sebanyak
31,1%. Terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2015.2 Di Jawa Barat, terdapat 12,9% balita
usia 0-23 bulan dan 4,2% balita sangat pendek usia 0-23 bulan pada tahun 2015.3
8
2.3 Patofisologi/Proses
Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan manusia, kelenjar endokrin yang berperan
penting adalah kelenjar hipofisis, yang terletak di bawah dan sedikit di depan hipotalamus.
Suplai darah yang kaya dalam infundibulum, yang menghubungkan dua kelenjar, membawa
hormon pengatur dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis. Hipofisis memiliki lobus anterior
dan posterior. Lobus anterior, atau adenohipofisis, melepaskan hormon utama yang
mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan manusia yaitu hormon pertumbuhan
(Growth Hormone/GH), hormon perangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormone (TSH),
prolaktin, gonadotrofin (Luteinizing dan hormon perangsang folikel), dan hormon
adrenocorticotropik (ACTH).4
9
Ada banyak bukti dari penelitian tentang anak-anak dengan perawakan pendek yang
tidak normal terjadi akibat faktor lingkungan yang mengganggu sistem endokrin,
menyebabkan pengurangan dalam pelepasan hormon pertumbuhan. Namun, hormon lain juga
terpengaruh, membuat penyebab gangguan pertumbuhan menjadi kompleks.4
2.4 Gejala
Menurut Kemenkes RI, balita bisa diketahui stunting bila sudah diukur panjang atau
tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasil pengukurannya ini berada pada
kisaran di bawah normal. Seorang anak termasuk dalam stunting atau tidak, tergantung dari
hasil pengukuran tersebut. Jadi tidak bisa hanya dikira-kira atau ditebak saja tanpa
pengukuran. Selain tubuh yang berperawakan pendek dari anak seusianya, ada juga ciri-ciri
lainnya yakni:5
Pertumbuhan melambat
Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya
Pertumbuhan gigi terlambat
Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya
Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata
terhadap orang di sekitarnya
Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun.
Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menarche (menstruasi pertama
anak perempuan).
Anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi.
2.5 Diagnosis
dalam menghadapi anak dengan perawakan pendek diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (Tabel 2.1).5
10
11
Pemeriksaan yang baik dan terarah diperlukan agar dapat diketahui etiologi dan
menghindari pemeriksaan yang tidak perlu. Kriteria awal untuk mendiagnosis anak dengan
perawakan pendek adalah:5
Perkiraan tinggi akhir berdasarkan mid-parental height dan potensi tinggi genetik
ditampilkan dibawah ini.5
Mid-parental height:
Laki-laki = [tinggi badan Ayah (cm)] + [tinggi badan Ibu (cm) + 13] 2
Perempuan = [tinggi badan Ayah (cm) – 13] + [tinggi badan Ibu (cm)] 2
12
elektrolit serum, dan pemeriksaan usia tulang, merupakan langkah pertama dan strategis
untuk mencari etiologi perawakan pendek.5
Bila tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan skrining tersebut, maka dilakukan
pemeriksaan khusus yaitu kadar hormon pertumbuhan, IGF-1, analisis kromosom, analisis
DNA, dan lain-lain sesuai indikasi.5
13
2.6 Tatalaksana
Pada varian normal perawakan pendek tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup
observasi saja bahwa diagnosisnya memang varian normal bukan yang patologis. Namun
akhir-akhir ini sudah muncul beberapa penelitian yang menggunakan aromatase inhibitor
sebagai terapi ajuvan atau tunggal pada Familial Short Stature dan Constitutional Delay of
Growth and Puberty. Hingga laporan mengenai hasil final terapi tersebut yaitu tinggi dewasa
yang dicapai belum ada, maka sebaiknya tidak digunakan secara rutin. Dasar pemikiran
penggunaan aromatase inhibitor adalah menghambat kerja estrogen pada lempeng
pertumbuhan.6
Indikasi pemberian Growth Hormone (GH) pada saat ini adalah anak pendek yang
disebabkan oleh defisiensi GH, Sindrom Turner, insufisiensi ginjal kronis, Sindrom Prader
Willi, Sindrom Noonan, defisiensi SHOX dan bayi KMK. Semakin dini pemberian GH maka
prognosis akan semakin baik.6
Pada sindrom Prader Willi, tidak ditemukan defisiensi GH juga namun tinggi dewasa
akan mencapai 154 cm (pria) dan 145-149 (wanita). Insidens diperkirakan antara 1:20000-
50000. Selain berefek pada perbaikan TB, pemberian GH juga berdampak positif pada
komposisi tubuh.6
Kurang lebih 80% anak yang lahir Kecil Masa Kehamilan (KMK) mengalami catch
up pada 6 bulan pertama kehidupan dan berakhir pada usia 2 tahun, kadang-kadang hingga
usia 4 tahun. Antara 10-15% akan tetap pendek hingga usia dewasa. Pemberian GH
terindikasi apabila hingga usia 4 tahun masih SS.6
14
Pencegahan Stunting7
Mencegah stunting dari persiapan pernikahan (WUS), kehamilan, menyusui, batita,
balita, remaja. Dengan tatalksana nutrisi optimal di masa persiapan pernikahan (WUS),
kehamilan, menyusui, batita, balita, remaja. Sehingga stunting dapat dicegah dan
diminimalisir
Optimalisasi Gizi Sesuai Siklus Kehidupan7
Jalur hijau: ketika stunting dapat dicegah oleh intervensi (perbaikan pola makan,
mencegah infeksi, dsb). Termasuk jalur hijau: Konsepsi neonates 6 bulan 2 tahun
Jalur ungu: ketika beberapa catch-up pertumbuhan linear (TB) dapat terjadi, meskipun efek
pada komponen lain dari stunting (misalnya kognisi dan fungsi kekebalan tubuh) masih
belum jelas. Termasuk jalur ungu: Usia 2 tahun Usia sekolah dan Dewasa Konsepsi.
Jalur merah: menunjukkan periode ketika sindrom stunting tidak responsive terhadap
intervensi. Termasuk jalur merah: Usia sekolah Pubertas Dewasa.
Wanita usia subur harus mengatur dari remja, kehamilan, menyusui hingga ditularkan ke
anak.
Kebutuhan Nutrisi7
Dihitung dari jumlah kuantitas dan kualitas terdiri dari makronutrien ( Karbohidrat,
protein, lemak) dan mikronutrien (Vitamin (A,B,C,D,E,K), mineral (Zn, Fe, F,Cr, Ca, Na,
K,Co, Mg, P), air dan serat.
Dihitung dari: Jumlah (RDA, Schofield, WHO), Jenis/bentuk (per 2-3 jam; 6-8x/hari),
jurus memasak (rebus, kukus, tim, tumis, panggan, goreng, santan), jurus memberikan
(disulang, makan sendiri dengan sendok atau tangan)
Tantangan pada Wanita Usia Subur (WUS)7
Wanita sudah harus mengatur dirinya seperti berhenti merokok, menurunkan berat
badan bila overweight, makan makanan seperti sayur dan buah minimal 3 bulan sebelum
kehamilan.
Pola makan Wanita Subur7
Seorang wanita subur sudah harus mengatur porsi makanan dengan komposisi 1/3
makanan pokok, 1/3 sayur, 1/6 lauk pauk, dan 1/6 buah. Dalam persentase bisa juga 50%
sayuran dan buah, 33% makanan pokok dan 17% lauk pauk. Namun, pada kenyataannya 74%
porsi terletak pada makanan pokok, 17% lauk pauk dan 9% sayur dan buah. Risiko bayi lahir
dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan premature terjadi pada:
- Wanita sebelum kehamilan mengalami malnutrisi
15
- Jarak persalinan yang terlalu dekat (< 18 bulan)
- Kehamilan saat usia remaja (Indonesia: 7% 15-19 tahun memiliki anak pertama)
16
Bayi 6-8 bulan dengan nasi putih 30 gr, dadar telur 35 gr dan sayur kare wortel 20 gr yang
dihaluskan. Bayi 9-11 bulan: nasi putih 45 gr, ikan kemung bumbu kuning 30 gr serta tumis
buncis 25 gr yang dicincang. Anak 12-23 bulan: nasi putih 55 gr, semur hati ayam 45 gr,
sayur bening atau bayam 20 gr.
Jadi seorang ibu harus memiliki insting untuk pembuatan MP-ASI bagi si anak tanpa harus
bergantung pada pengasuh anak.
Nutrisi Pada Kondisi Stunting7
- Tidak berdiri sendiri
- Terapi optimal penyakit yang menyertai
- Pemberian nutrisi (kualitas & kuantitas) disesuaikan dengan kondisi klinis,
kemampuan dalam menerima makanan (riwayat nutrisi), kemampuan keluarga dalam
menyediakan makanan (status social ekonomi)
- Start slow, go slow small frequency monitor
- Kerjasama dengan orang tua, pengasuh anak anggota keluarga lain
- Perlu effort yang lebih besar
17
BAB 3
Pembahasan
Stunting bukanlah hal baru, namun masih belum tuntas dalam penyelesaian stunting.
Data Riskesdas menyatakan bahwa 1 dari 3 balita itu mengalami stunting. Meskipun datanya
menurun, namun ternyata apabila dibandingkan dengan Negara tetangga di ASEAN itu
kasusnya kita masih tinggi. Sehingga perlu peran serta masyarakat untuk melakukan
pencegahan pada stunting.7
Penyebab penyakit dari segitiga epidemiologi bisa karena host, agent, dan
environment dan apabila seimbang, tidak timbul masalah kesehatan. Sedangkan dari La
Londe Bloom peran layanan kesehatan juga harus dipertimbangkan.7
Dari faktor genetik harus dipertimbangkan karena dari ibu yang stunting, anak bisa
jadi stunting. Faktor lingkungan juga harus dijaga hyegienitas dari lingkungan untuk
menyelesaikan masalah stunting. Dari faktor perilaku, orang tua khususnya ibu mempunyai
peran yang besar dalam tumbuh kembang anak dan peran ayah juga tidak boleh diabaikan.
Sektor kesehatan di SDGs ada pada berikut.7
Tujuan ke 2 bagaimana cara mengatasi kelaparan, ketahanan pangan dan meningkatkan
gizi.
Tujuan ke 3 bagaimana menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan
bagi semua orang di segala usia. Indonesia masih memerlukan perhatian khusus tentang
kematian akibat penyakit tidak menular, saat membeli makanan lewat aplikasi juga perlu
membuat menu tentang apa yang diperlukan oleh tubuh kita, adanya polusi udara, air dan
tanah akibat kasus corona, ini harus diambil langkah yang bijak dalam mengatasi hal berikut.
7
18
Pada saat era pandemi. Telemedicine harus dipastikan bahwa kedua pihak tidak
mengalami miskomunikasi, kemudian juga diperlukan peran serta dari banyak institusi yang
bisa mensupport secara ekonomi, antar tetangga juga dapat diberdayakan untuk menghindari
kejadian stunting.7
Peran keluarga juga sangat penting, lalu bagaimana cara menjaga kebersihan
lingkungannya. Sehingga benar bahwa 1000 hari pertama kehidupan harus diperhatikan.
Kadangkala posyandu hanya sekedar timbang badan, tanpa adanya evaluasi hasil posyandu
tadi. Sehingga harus hati-hati dan harus bisa dilakukan sebuah intervensi disitu.7
Peran di bidang kesehatan, pendekatan upaya komprehensifnya meliputi promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif secara simultan tidak boleh sepotong-sepotong. Masyarakat
dapat melakukan tindakan promotif dan preventif terkait kejadian stunting sehingga
pendekatan holistik komprehensif harus terintegrasi dan harus berhubungan dengan berbagai
sektor untuk intervensi terhadap kejadian stunting tersebut. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah pemberdayaan orang terdekat. Jangan hanya pada si Ibu saja, sehingga juga harus
melibatkan bapaknya, anaknya dan seterusnya. Yang penting adalah komitmen dan visi dari
pemimpin kita tentang meminimalkan kejadian stunting. Perubahan perilaku adanya
koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah pusat dan daerah dan harusnya ada pemantauan
dan evaluasi. Apabila program tidak berjalan harusnya ada program baru untuk menggantikan
program yang tidak berjalan tadi.7
19
BAB 4
Penutup
4.1 Kesimpulan
Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan
otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak
normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Kekurangan gizi dalam waktu
yang lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal
Stunting merupakan hal yang dianggap orangtua sebagai sesuatu yang biasa. Orangtua
menganggap bahwa anak mereka masih bisa mengalami pertumbuhan sebab usianya masih
balita padahal bila stunting tidak terdeteksi secara dini, minimal sebelum berusia 2 tahun,
maka perbaikan untuk gizinya akan mengalami keterlambatan untuk tahun berikutnya, maka
lebih penting pencegahan daripada mengobati untuk stunting.
4.2 Saran
20
sebegai seorang ibu harus memperhatikan Gizi anaknya dengan baik. Agar anak dapat
tumbuh dengan normal dan sehat. Dengan adanya stunting maka ada upaya intervensi yang
meliputi pemantauan pada saat ibu hamil, pada saat bayi lahir, pada saat bayi berusia 6 bulan
sampai 2 tahun, memantau pertumbuhan balita di posyandu, dan perilaku hidup bersih dan
sehat. Sehingga dapat mengurangi prevalensi stunting yang terjadi di indonesia.
Daftar Pustaka
21