Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ANAK DENGAN PENYAKIT KRITIS DAN TERMINAL

THALASEMINEA

DOSEN PEMBIMBING :

DISUSUSN OLEH :

PRODI S1 KEPERAWATAN PARAREL

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH SURABAYA

TA. 2021-2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................i
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3. Tujuan.......................................................................................................................2
1.4. Manfaat.....................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
2.1. Definisi.....................................................................................................................3
2.2. Klasifikasi.................................................................................................................3
2.3. Etiologi.....................................................................................................................4
2.4. Manifestasi Klinis.....................................................................................................5
2.5. Komplikasi...............................................................................................................6
2.6. Patofisiologi..............................................................................................................6
2.7. WOC.........................................................................................................................8
2.8. Pemeriksaan Penunjang............................................................................................9
2.9. Panatalaksanaan......................................................................................................10
PENUTUP.............................................................................................................................11
3.1. Saran.......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................12

i
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Thalassemia merupakan salah satu kelainan genetik hematologi yang umum ditemukan
di Indonesia, tidak dapat disembuhkan, bersifat diturunkan secara resesif dan menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan serta menimbulkan beban keuangan yang berat
pada masyarakat.World Health Organization (WHO) menyatakan insiden pembawa sifat
thalassemia di Indonesia berkisar 6-10% 4, artinya dari setiap 100 orang, 6-10 orang adalah
pembawa sifat thalassemia. Di Banyumas, Tim Thalassemia Fakultas Kedokteran Unsoed
bekerjasama dengan Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) Banyumas, Palang Merah
Indonesia (PMI) dan Rumah Sakit Umum (RSU) Banyumas telah mendapatkan data bahwa
angka penyebaran alel pembawa sifat thalassemia, khususnya thalassemia-β, mencapai
angka 8% dari setiap 100 penduduk Banyumas.5 Semakin banyaknya jumlah pasien
thalassemia yang dirawat di Pusat Thalassemia Banyumas; dari 65 penderita pada tahun
2009 menjadi 450-an pada tahun 2017 menandakan bahwa thalassemia merupakan penyakit
yang serius.(Jaka et al., 2019)

Thalasemia adalah suatu penyakit anemia hemolitik herediter yang ditandai oleh
defisiensi produksi globin yang terdapat pada hemoglobin sehingga menyebabkan
terjadinya kerusakan pada sel darah merah yang mengakibatkan hemoglobin menjadi tidak
normal (hemoglobinopatia) (Nurarif & Kusuma, 2015). Menurut Thalasemia International
Federation (2017) diperkirakan ada 7% populasi global yang membawa gen hemoglobin
abnormal, termasuk penyakit thalasemia. Di wilayah Eropa ada lebih dari 53.000 pasien
dengan thalasemia sel sabit dan ada sekitar 1.800 dengan kelahiran baru yang terkena
dampak thalasemia per tahunnya. Pada tahun 2017 dari hasil skrinning pada masyarakat
umum didapatkan pembawa sifat sebanyak 699 orang (5,8%) dari 12.038 orang yang
diperiksa, thalasemia mayor pada tahun 2017 terus meningkat menjadi 8.616 kasus,
sedangkan hasil skrining pada keluarga thalasemia (ring 1) tahun 2017 didapatkan

1
sebanyak 1.184 orang (28,61%) dari 4.137 orang. Penderita thalasemia di Indonesia
tergolong tinggi dan termasuk dalam negara yang beresiko tinggi, karena setiap tahunnya
ada 3.000 bayi yang lahir dan berpotensi terkena thalasemia (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018).(Solihati & Siska Yeniyanti, 2019)

Beberapa cara pengobatan penyakit thalasemia ini adalah dengan transfusi darah secara
rutin, namun pada dasarnya penyakit thalasemia ini tidak dapat disebuhkan namun dapat
dicegah. Transfusi sel darah merah adalah pengobatan utama untuk orang yang memiliki
thalasemia sedang atau berat. Perawatan ini memberikan sel darah merah yang sehat
dengan hemoglobin normal. Jenis thalasemia akan memutuskan seberapa sering pasien
perlu transfusi(Salawane, 2018)

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang di bahas pada makalah ini iyalah “bagaimana deskripsi penyakit
thalassemia pada anak ?”

1.3. Tujuan
1. Menjelaskan lebih detail penyakit thalassemia

1.4. Manfaat
Manfaat di butanya makalah ini tidak lain untuk menjadi baha referensi kususnya
untuk mahasiswa S1 kepererawatan Agar kelompok dan pembaca yaitu rekan mahasiswa
Akademi Keperawatan mampu menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan
masalah utama pada thalasemia.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Talasemia merupakan penyakit anemia hemalitik dimana terjadi kerusakan sel darah
merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari
100 hari). (Ngastiyah, 1997 : 377).

Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara


resesif. (Mansjoer, 2000 : 497).

Talasemia adalah suatu golongan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi
produksi rantai globin pada hemoglobin. (Suriadi, 2001 : 23).

2.2. Klasifikasi
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena 2 jenis yang
utama adalah :
a. Alfa Thalasemia (melibatkan rantai alfa) Alfa – Thalasemia paling sering
ditemukan pada orang kulit hitam (25% minimal membawa 1 gen). Merupakan
thalasemia dengan defisiensi pada rantai a
b. Beta Thalasemia (melibatkan rantai beta) Beta – Thalasemia pada orang di daerah
Mediterania dan Asia Tenggara. Merupakan anemia yang sering dijumpai yang
diakibatkan oleh defek yang diturunkan dalam sintesis rantai beta hemoglobin.
Thalasemia beta meliputi:
1) Thalasemia beta mayor, Bentuk homozigot merupakan anemia hipokrom
mikrositik yang berat dengan hemolisis di dalam sumsum tulang dimulai pada
tahun pertama kehidupan.Kedua orang tua merupakan pembawa “ciri”. Gejala –
gejala bersifat sekunder akibat anemia dan meliputi pucat, wajah yang

3
karakteristik akibat pelebaran tulang tabular pada tabular pada kranium, ikterus
dengan derajat yang bervariasi, dan hepatosplenomegali.
2) Thalasemia Intermedia dan minor Pada bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda –
tanda anemia ringan dan splenomegali. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan
kadar Hb bervariasi, normal agak rendah atau meningkat (polisitemia). Bilirubin
dalam serum meningkat, kadar bilirubin sedikit meningkat
c. Thalasemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak gen nya diduga
berdekatan).
Thalasemia d (gangguan pembentukan rantai d)

2.3.Etiologi
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam
pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk
menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika
hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi
tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
a. Thalasemia Mayor
Karena sifat sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan penyakit yang
ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita
kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-
sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang
bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya.
Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18
bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala
lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley. Faies cooley adalah
ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi
menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi
kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan
perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani

4
transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup
penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering
transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya
penyakit. Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita harus
menjalani transfusi darah.
b. Thalasemia Minor
Individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu hidup normal,
tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia minor tak
bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga akan terjadi
masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis
keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai
ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami
pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di
sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang
hidupnya.

2.4. Manifestasi Klinis


Pada talasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur kurang
dari 1 tahun. Gejala yang tampak adalah anak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak
sesuai dengan umur, berat badan kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai adanya
gizi buruk, perut membuncit, karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah
diraba. Adanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi gerak pasien karena
kemampuan terbatas, limpa yang membesar ini akan mudah ruptur hanya karena
trauma ringan saja.

Gejala lain (khas) ialah bentuk muka mongoloid, hidung pesek tanpa pangkal
hidung; jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar. Hal ini disebabkan
karena adanya gangguan perkembangan tulang muka dan tengkorak. (Gambaran

5
radiologis tulang memperlihatkan medula yang besar, korteks tipis dan trabekula
kasar).
Keadaan kulit pucat kekuning-kuningan. Jika pasien telah sering mendapat tranfusi
darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan
kulit.Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti pada hepar, limpa,
jantung akan mengakibatkan gangguan fatal alat-alat tersebut (hemokromatosis)
(Ngastiyah, 1997 : 378).
2.5.Komplikasi
a. Fraktur patologi
b. Hepatosplenomegaly
c. Gangguan tumbuh kembang
d. Difungsi organ, seperti: hepar, limpa, kulit jantung (Suriadi, 2001: 24)

2.6.Patofisiologi
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai alpa dan dua
rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta
thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul hemoglobin
yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada suatu
kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi secara
terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defictive. Ketidak seimbangan
polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel
darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.

Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan rantai beta
dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami
presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari
hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan
hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan pada bone marrow,

6
produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator produksi RBC secara terus
menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan
tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan edstruksi RBC
menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 :
23-24)

7
2.7. WOC

8
2.8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
Pada hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC)
menjadi rendah dan dapat mencapai nol Elektroforesis hemoglobin
memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga
hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga
mempunyai HbE maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT
dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan
peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis
rantai beta.
b. Pemeriksaan radiologis Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula
yang labor, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan
“hair-on-end” yang disebabkan perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Studi hematologi : terdapat perubahan – perubahan pada sel darah merah, yaitu
mikrositosis, hipokromia, anosositosis, poikilositosis, sel target, eritrosit yang
immature, penurunan hemoglobin dan hematrokrit.
2) Elektroforesis hemoglobin : peningkatan hemoglobin
3) Pada thalasemia beta mayor ditemukan sumsum tulang hiperaktif terutama seri
eritrosit. Hasil foto rontgen meliputi perubahan pada tulang akibat hiperplasia
sumsum yang berlebihan. Perubahan meliputi pelebaran medulla, penipisan
korteks, dan trabekulasi yang lebih kasar.
4) Analisis DNA, DNA probing, gone blotting dan pemeriksaan PCR (Polymerase
Chain Reaction) merupakan jenis pemeriksaan yang lebih maju.

9
2.9. Panatalaksanaan
a. Memberikan transfusi hingga Hb mencapai 10 gram/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
pemupukan zat besi yang disebut hemosiderotis ini dapat dicegah dengan
pemberian deferoxamine (Desferal)
b. S. Plenectomy: dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen
(transfusi) (Suriadi, 2001 : 26)
Pada keluarga dengan riwayat thalasemia perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk
menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalasemia. Pengidap thalasemia
yang mendapat pengobatan secara baik dapat menjalankan hidup layaknya orang
normal di tengah masyarakat. Sementara zat besi yang menumpuk di dalam tubuh
bisa dikeluarkan dengan bantuan obat, melalui urine. Penyakit thalasemia dapat
dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan, jika suami atau istri merupakan
pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka memiliki kemungkinan
sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia. Karena itu, ketika sang istri
mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium untuk
memastikan apakah janinnya mengidap thalasemia atau tidak.

10
BAB II

PENUTUP
3.1. Saran
Setelah membaca materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, diharapkan
pembaca khususnya mahasiswa dapat mengetahui pengkajian luka kangker yang benar
sehingga mahasiswa mampu memahami dan menerapkan dikehudupan sehari-hari.

3.1.

11
DAFTAR PUSTAKA
Jaka, P. S. De, Kedokteran, F., & Soedirman, U. J. (2019). Persepsi Calon Pasangan
Menikah di Banyumas terhadap Skrining Thalassemia : Studi Kualitatif. 115–124.

Salawane, H. (2018). Pengaruh Transfusi Darah Terhadap Tingkat Berhasilan Hidup Pasien
Thalasemia. PANDUAN KONSELING BEHAVIORAL DENGAN TEKNIK SELF
MANAGEMENT UNTUK MENINGKATKAN KERJA KERAS SISWA Pengantar.

Solihati, & Siska Yeniyanti. (2019). Pengalaman Orang Tua Yang Mendampingi
Pengobatan Anak Penderita Thalasemia Di Rumah Sakit Umum Kabupaten
Tangerang. Jurnal Kesehatan, 8(1), 110–119.
https://doi.org/10.37048/kesehatan.v8i1.167

Mansjoer, Arif. dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid II, FKUI : Jakarta.

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit , Edisi I, Setiawan EGC : Jakarta.

Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I. PT Fajar
Interpratama : Jakarta.

Hassan, Rusepno, 1998, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I. FKUI : Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai