BAB I
PENDAHULUAN
Dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka
diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Indonesia
termasuk dalam kelompok negara yang berisiko tinggi untuk penyakit thalasemia.
Thalasemia adalah penyakit genetik yang menyebabkan terganggunya produksi hemoglobin
dalam sel darah merah. "Prevalensi thalasemia bawaan atau carrier di Indonesia adalah
sekitar 3-8 persen," kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, dalam sambutannya
di puncak peringatan hari ulang tahun Yayasan Thalasemia Indonesia ke-25 di Gedung
BPPT, Jakarta, hari ini.Wamenkes menjabarkan, jika persentase thalasemia mencapai 5
persen, dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka
diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional thalasemia adalah 0,1 persen.
"Ada 8 propinsi yang menunjukkan prevalensi thalasemia lebih tinggu dari prevalensi
nasional," ungkap Wamenkes. Beberapa dari 8 propinsi itu antara lain adalah Aceh dengan
prevalensi 13,4 persen, Jakarta dengan 12,3 persen, Sumatera Selatan yang prevalensinya 5,4
persen, Gorontalo dengan persentase 3,1 persen, dan Kepulauan Riau 3 persen. Menurut Ali,
setiap tahun, sekitar 300.000 anak dengan thalasemia akan dilahirkan dan sekitar 60-70 ribu,
di antaranya adalah penderita jenis beta-thalasemia mayor, yang memerlukan transfusi darah
sepanjang hidupnya."Beban bagi penderita thalasemia mayor memang berat karena harus
mendapatkan transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Penderita thalasemia
menghabiskan dana sekitar 7-10 juta rupah per bulan untuk pengobatan," ungkap
Wamenkes. Dua jenis thalasemia yang lain adalah thalasemia minor, yang terjadi pada orang
sehat, namun dapat menurunkan gen thalasemia pada anaknya dan thalasemia intermedia,
yang penderitanya mungkin memerlukan transfusi darah secara berkala dan dapat bertahan
hidup sampai dewasa. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1994 menunjukkan
persentase orang yang membawa gen thalasemia di seluruh dunia mencapai 4,5 persen atau
sekitar 250 juta orang. Jumlah kasus thalasemia cenderung meningkat dan pada tahun 2001
diperkirakan jumlah pembawa gen thalasemia mencapai 7 persen dari penduduk dunia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan yang ditandai oleh defisiensi
produksi rantai globin pada hemoglobin.
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitikdimana terjadi kerusakan sel darah merah
didalam pembuluh darah sehingga umur erirosit menjadi pendek ( kurang dari 100 hari ).
( Ngastiyah, 1997 : 377 ).
Thalasemia merupakan penyakit anemua hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif,
secara molekuler dibedakan menjadi thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis
dibedakan menjadi thalasemia mayor dan minor ( Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran,
2000 : 497 ).
Hemoglobin paska kelahiran yang normal terdiri dari dua rantai alpa dan beta
polipeptide. Dalam beta thalasemia ada penurunan sebagian atau keseluruhan dalam proses
sintesis molekul hemoglobin rantai beta. Konsekuensinya adanya peningkatan compensatori
4
dalam proses pensintesisan rantai alpa dan produksi rantai gamma tetap aktif, dan
menyebabkan ketidaksempurnaan formasi hemoglobin. Polipeptid yang tidak seimbang ini
sangat tidak stabil, mudah terpisah dan merusak sel darah merah yang dapat menyebabkan
anemia yang parah. Untuk menanggulangi proses hemolitik, sel darah merah dibentuk dalam
jumlah yang banyak, atau setidaknya bone marrow ditekan dengan terapi transfusi. Kelebihan
fe dari penambahan RBCs dalam transfusi serta kerusakan yang cepat dari sel defectif,
disimpan dalam berbagai organ (hemosiderosis).
Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat
mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada
kasus yang berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani
dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu
makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi.
Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada
tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis
yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan dan kaki dapat
menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan
gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi
kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama
bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang
dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia akibat hipersplenisme.
Secara umum, tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain:
Letargi
Pucat
Kelemahan
Anoreksia
Sesak nafas
Tebalnya tulang kranial
Pembesaran limpa
Menipisnya tulang kartilago
Studi hematologi : terdapat perubahan – perubahan pada sel darah merah, yaitu
mikrositosis, hipokromia, anosositosis, poikilositosis, sel target, eritrosit yang immature,
penurunan hemoglobin dan hematrokrit. Elektroforesis hemoglobin : peningkatan
hemoglobin. Pada thalasemia beta mayor ditemukan sumsum tulang hiperaktif terutama seri
eritrosit. Hasil foto rontgen meliputi perubahan pada tulang akibat hiperplasia sumsum yang
berlebihan. Perubahan meliputi pelebaran medulla, penipisan korteks, dan trabekulasi yang
lebih kasar. Analisis DNA, DNA probing, gone blotting dan pemeriksaan PCR (Polymerase
Chain Reaction) merupakan jenis pemeriksaan yang lebih maju.
2.7. Penatalaksanaan
Transfusi sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Pemberian sel
darah merah sebaiknya 10 – 20 ml/kg berat badan.
Pemberian chelating agents (Desferal) secara intravena atau subkutan. Desferiprone
merupakan sediaan dalam bentuk peroral. Namun manfaatnya lebih rendah dari
desferal dan memberikan bahaya fibrosis hati.
Tindakan splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda – tanda
hipersplenisme atau kebutuhan transfusi meningkat atau karena sangat besarnya
limpa.
Transplantasi sumsum tulang biasa dilakukan pada thalasemia beta mayor.
6
2.8. Pathway
& pertumbuhan
Fe meningkat
Hemosiderosis
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : An. D
Umur : 5 Tahun
JK : Laki-Laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Nama : Tn. E
Umur : 27 Tahun
JK : Laki-Laki
Kewarganegaraan : Indonesia
3. Riwayat kesehatan
A. Riwayat kesehatan sekarang
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi
lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
B. Riwayat kesehatan keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah
orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena
talasemia mayor.
8
1. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman O2 ke sel.
2. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kegagalan untuk mencerna atau
ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah normal.
4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit b/d sirkulasi dan neurologis.
5. Resiko infeksi b/dpertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan Hb, leukopenia
atau penurunan granulosit.
6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d interpretasi
informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
3.3. Intervensi Keperawatan
No. Dx. Keperawatan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Perubahan perfusi a. Tidak terjadi palpitasi a. Awasi tanda-
jaringan b/d
b. Kulit tidak pucat tanda vital, kaji
penurunan
komponen seluler c. Membran mukosa pengisian kapiler,
yang diperlukan
lembab warna kulit/
d. Keluaran urine membran mukosa,
adekuat dasar kuku.
e. Tidak terjadi b. Tinggikan
mual/muntah dan kepala tempat
9
dalam beraktivitas
bila diperlukan.
j. Rencanakan
kemajuan aktivitas
dengan pasien,
tingkatkan
aktivitas sesuai
toleransi.
k. Gerakan teknik
penghematan
energi, misalnya
mandi dengan
duduk.
yang baik.
g. Kolaborasi
dengan ahli gizi.
h. Kolaborasi Dx.
Laboratorium Hb,
Hmt, BUN,
Albumin,
Transferin,
Protein, dll.
i. Berikan obat
sesuai indikasi
yaitu vitamin dan
suplai mineral,
pemberian Fe
tidak dianjurkan.
d. Konseling
keluarga tentang
pembatasan punya
anak/ deteksi dini
keadaan janin
melalui air
ketuban dan
konseling
perinahan:
mengajurkan
untuk tidak
menikah dengan
sesama penderita
thalasemia, baik
mayor maupun
minor.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Hal-hal yang perlu dikaji pada penderita thalasemia ini adalah asal keturunan /
kewarganegaraan, umur, riwayat kesehatan anak, pertumbuhan dan perkembangan, pola
makan, pola aktivitas. riwayat kesehatan keluarga, riwayat ibu saat hamil , data keadaan fisik
anak thalasemia. Dan diagnose keperawatan yang mungkin muncul sepertiPerubahan perfusi
jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman O2 ke sel, Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai O2 dan kebutuhan, Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien
yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal, Resiko terjadi kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis, Resiko infeksi berhubungan
dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan Hb, leukopenia atau penurunan
granulosit, Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
4.2.Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami mohon kritik dan saran dari para pembaca demi terciptanya makalah lain
yang lebih baik lagi.
16
DAFTAR PUSTAKA